Bagian 30 - Ilmu Pedang Tanpa Jurus

Tangan berguna menjadi pedang.


Tadinya Tian Boguang menganggap Linghu Chong sebagai sahabat yang patut dihormati. Namun setelah bertanding sengit melewati seratus jurus, penjahat itu kehilangan kesabarannya dan mencekik leher si pemuda dengan kedua tangannya.

Wajah Linghu Chong terlihat kebiru-biruan menahan sesak. Namun ia masih berusaha menggelengkan kepala untuk menjawab ancaman musuhnya itu.

Tian Boguang semakin gusar dan berteriak, “Aku tidak peduli seratus jurus atau dua ratus jurus. Yang penting aku menang dan kau harus ikut denganku. Aku sudah tidak peduli lagi dengan batasan tiga puluh jurus! Aku tidak peduli dengan sesepuh itu pula!”

Linghu Chong ingin sekali tertawa mengolok-olok penjahat itu. Namun karena lehernya dicekik rapat membuat mulutnya hanya bisa menyeringai tanpa bersuara.

Tiba-tiba terdengar si orang tua berteriak, “Goblok! Sungguh goblok! Tangan tidak memegang pedang, berarti jari bisa menjadi pedang. Apakah jurus Giok Emas Memenuhi Ruangan hanya bisa dimainkan dengan pedang asli?”

Kata-kata si kakek benar-benar bagaikan sihir. Mendengar itu Linghu Chong langsung menggerakkan tangan kanannya dan memainkan jurus tersebut. Jari tengah dan jari telunjuk pemuda itu berpadu menotok titik Tanzhong di dada Tian Boguang. Akibatnya sungguh fatal. Tian Boguang pun roboh di tanah, dan melepaskan cengkeraman tangannya pada leher Linghu Chong.

Linghu Chong sendiri termangu-mangu menyadari tusukan tangannya telah berhasil merobohkan Tian Boguang si Pengelana Tunggal Selaksa Li yang memiliki nama besar di dunia persilatan. Perlahan ia meraba leher sendiri yang masih sakit akibat cekikan tadi, kemudian kedua matanya memandangi tubuh si penjahat cabul yang kejang-kejang dan terkulai di tanah. Setelah mengetahui kalau Tian Boguang kehilangan kesadarannya, pemuda itu merasa sangat gembira. Ia lantas berjalan ke arah si kakek tua dan kemudian menyembah beberapa kali sambil berseru, “Kakek Guru Feng, maafkan saya yang tadi telah bersikap kurang hormat!”

“Jadi, sekarang kau sudah tidak sangsi lagi bahwa aku ini bukan penipu?” tanya si kakek sambil tertawa hambar.

“Ampun, mana mungkin saya berani?” sahut Linghu Chong sambil menyembah lagi. “Saya sungguh beruntung bisa berjumpa dengan angkatan tua dari perguruan sendiri. Kejadian ini sungguh sangat menggembirakan bagi saya.”

“Kau boleh bangun,” ujar si kakek yang tidak lain bernama Feng Qingyang itu.

Setelah memberi hormat beberapa kali lagi Linghu Chong pun merangkak bangun. Dilihatnya wajah Feng Qingyang pucat pasi dan kurus kering. Segera ia bertanya, “Apakah Kakek Guru lapar? Di gua ada sedikit makanan. Mari kita ke dalam.”

“Tidak perlu,” jawab Feng Qingyang sambil menggeleng.

Sambil memandang sinar matahari yang menyilaukan, orang tua itu berkata lirih, “Sungguh hangat sinar mentari ini. Sudah puluhan tahun aku tidak berjemur di bawah sinar matahari.”

Dalam hati Linghu Chong merasa sangat heran, namun sedikit pun tidak berani bertanya.

Feng Qingyang kemudian menoleh ke arah Tian Boguang yang masih tergeletak tidak berdaya. Ia berkata, “Kau telah menotok titik Tanzhong orang itu. Mengingat tenaga dalamnya cukup hebat, aku yakin dalam dua jam lagi ia akan terbebas dari totokan dan kembali mengganggumu. Kau harus bisa mengalahkan dia lagi, dan sesudah itu paksa dia supaya menutup mulut tidak menyebarkan keberadaanku di sini.”

“Saya tadi sudah bertanding berkali-kali melawannya namun selalu kalah. Kemenangan yang baru saja terjadi hanya karena kebetulan dan tiba-tiba. Sampai saat ini saya masih belum yakin bisa memngalahkannya,” ujar Linghu Chong ragu-ragu.

Feng Qingyang menghela napas dan berkata lirih, “Kau adalah murid Yue Buqun. Seharusnya aku tidak boleh mengajarkan ilmu silat kepadamu. Hari itu… hari itu… aku bersumpah untuk tidak akan bertarung lagi sepanjang sisa hidupku. Saat aku muncul dan memainkan jurus pedang di hadapanmu malam itu, aku hanya ingin menunjukkan kepadamu bahwa Sembilan Belas Jurus Pedang Gadis Kumala bukan ilmu sembarangan. Apabila dimainkan dengan cara yang benar, mana ada orang yang bisa sembarangan menyentil pedang hingga lepas dari pegangan? Nah, sekarang aku perlu meminjam tanganmu untuk memaksa bajingan Tian Boguang untuk bersumpah dan tutup mulut supaya tidak membocorkan keberadaanku. Sekarang, ikutlah denganku!”

Usai berkata demikian, orang tua itu lantas menyusuri lorong sempit menuju gua belakang. Linghu Chong mengikuti sambil berpikir ternyata Feng Qingyang juga mengetahui keberadaan gua rahasia tersebut.

Setelah sampai di dalam, Feng Qingyang menunjuk gambar-gambar di dinding sambil berkata, “Gambar-gambar jurus pedang Huashan ini tentu sudah kau amati semua dan kau hafalkan dengan baik. Namun begitu kau gunakan dalam pertarungan, semua menjadi tidak berguna.”

Diam-diam Linghu Chong berpikir, “Ternyata saat aku mempelajari jurus-jurus yang terukir di gua ini, Kakek Guru Feng mengintai dan mengamati perbuatanku. Walaupun berkali-kali aku keluar masuk gua ini namun tidak sedikit pun aku menyadari kehadiran Beliau; mungkin karena aku terlalu memusatkan perhatianku kepada gambar-gambar ini. Aih, andai saja Kakek Guru Feng seorang musuh yang berniat jahat… hm, bagaimana mungkin aku bisa menghindar dari maut?”

Terdengar Feng Qingyang berkata, “Si bocah Yue Buqun benar-benar tolol. Tidak becus menjadi guru. Padahal, sebenarnya bakatmu sangat cemerlang. Tapi karena didikannya, kau jadi sebodoh kerbau.”

Mendengar ucapan Feng Qingyang yang merendahkan gurunya itu Linghu Chong merasa sakit hati. Ia pun menukas dengan nada tegas, “Kakek Guru, saya tidak jadi minta diajari. Biar saya keluar saja mengalahkan Tian Boguang dan memaksanya tutup mulut tentang keberadaan Kakek Guru di sini. Habis perkara.”

Feng Qingyang terperanjat namun segera menyadari sebab-musababnya. Ia pun bertanya, “Bagaimana kalau dia menolak bersumpah? Apakah kau akan membunuhnya?”

Linghu Chong termangu-mangu dan tidak tahu harus menjawab bagaimana. Selama ini ia selalu kalah dalam menghadapi Tian Boguang, namun lawannya itu tidak pernah menurunkan tangan untuk membunuhnya. Sebaliknya, bagaimana mungkin dirinya begitu keji membunuh Tian Boguang hanya karena  menang satu kali saja? Demikian pikir Linghu Chong.

“Apakah kau tersinggung karena aku mengolok-olok gurumu?” lanjut Feng Qingyang. “Baiklah kalau begitu aku tidak akan menyebut namanya lagi. Dia sendiri memanggil ‘paman’ kepadaku. Maka, cukup pantas rasanya kalau aku memanggil ‘bocah’ kepadanya, bagaimana?”

“Apabila Kakek Guru tidak lagi merendahkan guruku yang mulia, tentu saya akan mengikuti semua petunjuk dan mendengarkan dengan seksama,” jawab Linghu Chong.

“Hei, ini sepertinya aku yang memohon kepadamu supaya belajar dariku, begitu?” ujar Feng Qingyang tersenyum geli.

“Saya tidak berani berpikir demikian. Mohon Kakek Guru sudi memaafkan,” sahut Linghu Chong.

Feng Qingyang kemudian menunjuk gambar-gambar jurus pedang Huashan di dinding gua, kemudian mulai menjelaskan, “Gambar-gambar yang terukir ini memang jurus andalan perguruan kita. Beberapa di antaranya bahkan ada yang tidak terwariskan sehingga punah begitu saja. Bahkan si Yue… Yue.... hm, gurumu juga tidak mengetahuinya. Namun, meskipun jurus-jurus ini sangat bagus, tapi kalau dipisah-pisah cara memakainya tetap saja bisa dipecahkan musuh....”

Mendengar sampai di sini membuat hati Linghu Chong terasa berbunga-bunga. Ia merasa baru sekarang mengetahui intisari ilmu pedang yang sudah lama dipelajarinya. Wajahnya tampak memancarkan kebahagiaan luar biasa.

“Apa yang sedang kau pikirkan? Apa kau sudah paham?” tanya Feng Qingyang.

“Jadi, menurut Kakek Guru jika jurus demi jurus itu dimainkan menjadi suatu rangkaian, maka musuh tidak mampu memecahkannya?” tanya Linghu Chong.

Feng Qingyang manggut-manggut dengan perasaan gembira. “Sudah kubilang kau ini sebenarnya sangat cerdas. Daya tangkapmu tinggi,” ujarnya sambil kemudian menunjuk salah satu gambar orang bersenjata toya yang terukir di dinding gua itu. “Para tetua aliran sesat ini....”

“Apa? Mereka tetua aliran sesat?” sahut Linghu Chong mempertegas.

“Apa kau belum tahu?” tanya Feng Qingyang sambil kemudian menunjuk beberapa kerangka yang berserakan di lantai gua. “Semua kerangka yang terkurung di sini dulunya adalah sepuluh orang anggota aliran sesat. Bahkan, mereka adalah tetua aliran sesat.”

“Mengapa... mengapa mereka bisa mati di sini?” Linghu Chong balik bertanya dengan heran.

“Dua jam lagi Tian Boguang akan terbebas dari totokan. Silakan kalau kau ingin menghabiskan waktu hanya untuk mengungkit-ungkit masa lalu. Apa kau tidak ingin belajar silat dariku?” sahut Feng Qingyang.

“Benar, benar!” jawab Linghu Chong. “Saya menunggu petunjuk Kakek Guru.”

Dengan menghela napas Feng Qingyang berkata, “Para tetua aliran sesat ini sebenarnya sangat cerdas dan pandai. Mereka berhasil memecahkan semua ilmu silat andalan Serikat Pedang Lima Gunung. Sayang sekali, mereka semua harus mati terperangkap di sini.”

Meskipun bibirnya tersenyum namun hati Linghu Chong berkata, “Tadi aku tidak boleh mengungkit-ungkit kematian mereka, tapi sekarang justru Kakek Guru yang bercerita panjang lebar.”

Feng Qingyang melanjutkan cerita, ”Sebenarnya ilmu silat bukan melulu tentang jurus, tapi juga meliputi kecerdikan, rencana, tipu daya, dan jebakan. Tidak peduli apakah kau pandai menghancurkan segala jurus, tapi kalau bertemu seseorang yang pandai membuat tipu daya, maka semuanya akan sia-sia…” Bercerita sampai di sini, Feng Qingyang lantas mengangkat kepala seolah membayangkan kenangan masa lalu.

Mendengar nada bicara dan melihat raut muka Feng Qingyang membuat Linghu Chong tidak berani menyela dan hanya bertanya di dalam hati, “Mungkinkah saat itu para tokoh Serikat Pedang Lima Gunung sudah merasa kalah apabila bertarung secara jantan, sehingga mereka menggunakan jebakan dan tipu muslihat? Kakek Guru Feng adalah anggota Serikat Pedang Lima Gunung yang mungkin juga tidak keberatan dengan cara-cara tersebut. Bagiku, untuk menghadapi musuh-musuh kuat dari aliran sesat, menggunakan cara-cara licik adalah hal yang bisa dimaklumi.”

Feng Qingyang melanjutkan cerita, “Jika kita menilai kehebatan dan penguasaan ilmu silat seseorang berdasarkan pemahaman mereka tentang teori, maka para tetua aliran sesat ini tidak seharusnya masuk ke dalam jajaran tokoh silat papan atas. Mereka tidak paham kalau jurus adalah ‘mati’, sedangkan orang yang memainkan jurus adalah ‘hidup’. Tidak peduli betapa hebatnya gerakan untuk mematahkan jurus yang mati, namun itu semua akan sia-sia jika bertemu lawan yang menyerang dengan hidup. Jika bertemu lawan yang demikian, secepat mungkin mereka akan terpuruk dan bertekuk lutut memohon ampun. Maka, dalam hal ini kau harus selalu mengingat kata ‘hidup’. Jika kau berlatih jurus, kau harus melatihnya dengan cara yang hidup; jika kau memainkan jurus, maka kau harus memainkannya dengan cara yang hidup. Jika kau melakukannya dengan cara kaku dan terikat aturan tata tertib tanpa memadukannya dengan keahlianmu yang hidup, maka tak peduli kau menguasai ratusan atau ribuan jurus yang ampuh akan tetap tidak berguna jika kau bertemu dengan lawan tangguh yang sesungguhnya. Setiap jurusmu akan dengan mudah dipatahkan olehnya.

Mendengar penjelasan tersebut, Linghu Chong merasakan kebahagiaan yang teramat sangat. Pada dasarnya ia memang bersifat terbuka dengan pemikiran yang merdeka. Setiap kata-kata Feng Qingyang terasa menggetarkan relung hatinya. Ia hanya bisa berkata, “Aih, benar sekali! Harus mempelajarinya dengan hidup dan menggunakannya secara hidup.”

Feng Qingyang kembali berkata, “Di dalam Serikat Pedang Lima Gunung banyak terdapat orang-orang tolol yang mengira asalkan bisa belajar sebaik-baiknya dari petunjuk guru maka dengan sendirinya mereka bisa menjadi jago silat papan atas.” Sampai di sini orang tua itu menghela napas kemudian melanjutkan, “Padahal, apa gunanya bersyair tanpa memahami makna syair itu sendiri? Ada pepatah berbunyi, ‘mampu menghafalkan tiga ribu judul syair, tentu bisa mencipta satu syair’. Memang benar, setelah menghafal beberapa syair dengan lancar, seseorang bisa menulis satu atau dua judul syair pasaran. Tapi kalau tidak timbul dari jiwa seninya yang hidup, apa bisa menjadi penyair sejati?”

Sebenarnya ucapan Feng Qingyang tersebut juga untuk menyindir Yue Buqun sebagai orang “tolol”, namun karena uraiannya disertai alasan-alasan yang masuk akal, serta tidak langsung menyebut nama, membuat Linghu Chong tidak menyatakan keberatan.

“Belajar dan menggunakannya secara hidup hanya langkah pertama saja,” lanjut Feng Qingyang. “Harus dapat menyerang tanpa jurus itulah tingkatan yang paling sempurna. Tadi kau bilang jurus demi jurus dilancarkan menjadi suatu rangkaian sehingga musuh tak mampu melawan. Ucapanmu itu hanya benar setengahnya. Seharusnya, bukan cuma sekaligus dilancarkan menjadi suatu rangkaian serangan, tapi pada hakikatnya harus tidak jelas jurus apa yang dilancarkan. Betapapun hebatnya kau merangkai jurus menjadi satu kesatuan, tetap saja ada peluang bagi musuhmu untuk mematahkannya. Sebaliknya, kalau kita menyerang tanpa jurus yang jelas, maka dengan sendirinya musuh akan kesulitan dan tidak bisa mematahkan serangan kita.”

Linghu Chong berdebar-debar mendengar ajaran itu. Sampai-sampai ia menggumam sendiri, “Menyerang tanpa jurus? Bagaimana cara memecahkannya? Menyerang tanpa jurus? Bagaimana cara memecahkannya?” Sampai di sini ia merasa seolah-olah menemukan dunia baru terhampar luas di depan matanya.

Feng Qingyang melanjutkan, “Jika kau ingin memotong daging, maka terlebih dulu harus ada daging; jika kau ingin memotong kayu bakar, maka terlebih dulu harus ada kayu bakar; jika musuhmu ingin mematahkan jurusmu, maka kau harus ada jurus untuk dipatahkan. Misalnya ada seorang yang tidak kenal ilmu silat sama sekali dan dia menyerang secara serabutan. Bagaimanapun pandainya dirimu juga tidak akan tahu ke arah mana orang itu akan menyerang, apalagi bisa mematahkan serangannya. Seorang ahli silat papan atas sekalipun juga merasa kesulitan kalau harus mematahkan serangan yang serabutan. Akan tetapi, orang seperti itu masih mudah untuk ditaklukkan, misalnya, ia kurang mampu menguasai diri. Beda halnya dengan serangan tanpa jurus yang dilancarkan oleh seorang ahli silat. Tidak ada jurus yang bisa dipatahkan, juga tidak mudah orang itu dirobohkan.”

Usai berkata demikian Feng Qingyang memungut sebatang tulang paha yang berserakan di atas tanah dan kemudian mengacungkannya ke arah Linghu Chong sambil bertanya, “Ayo, bagaimana caramu mematahkan seranganku ini?”

Feng Qingyang mengacungkan tulang paha.

Linghu Chong terperanjat. Selang agak lama barulah ia menjawab, “Ini bukan jurus sehingga tidak bisa dipecahkan.”

“Betul sekali,” ujar Feng Qingyang tersenyum. “Apapun senjata yang digunakan musuh, ataupun hanya memakai tangan kosong dan tendangan belaka, tetap saja ada jurus yang mendasarinya. Asalkan kau mengetahui arah serangannya, maka sudah pasti kau bisa mematahkannya, serta merobohkan dia.”

“Tapi jika musuh juga tidak memakai jurus, lantas bagaimana?” tanya Linghu Chong.

“Jika demikian, tentu dia seorang ahli silat kelas satu. Kalau seperti ini tinggal menunggu hasil akhirnya. Mungkin dia lebih mahir daripadamu, atau kau yang lebih pandai darinya,” jawab Feng Qingyang sambil menghela napas. “Tapi, di zaman sekarang sudah sulit menemukan tokoh-tokoh hebat seperti itu. Mungkin suatu saat nanti kau bisa kebetulan bertemu dengan mereka. Sungguh, kau akan termasuk orang yang sangat beruntung. Sepanjang hidupku, aku hanya bisa bertemu tiga orang yang bisa seperti itu.”

“Tiga orang? Siapa sajakah mereka itu?” tanya Linghu Chong.

Feng Qingyang memandangnya sejenak, kemudian tersenyum dan menjawab, “Sungguh tidak kusangka di antara murid-murid Yue Buqun ternyata ada yang suka mengurusi masalah remeh, tapi tidak mau belajar secara tekun. Hm, bagus, bagus!”

Wajah Linghu Chong bersemu merah dan segera ia memberi hormat sambil berkata, “Maaf, Kakek Guru! Saya mengaku salah.”

“Tidak, kau tidak salah,” seru Feng Qingyang sambil tertawa. “Kau memiliki semangat yang hidup, cocok sekali dengan seleraku. Hanya saja, saat ini waktumu cuma sedikit. Sekarang kau harus menggabungkan tiga atau empat puluh macam jurus pedang Huashan yang paling hebat. Kemudian bayangkan bagaimana cara memainkannya secara sekaligus dalam satu rangkaian, tapi setelah itu lupakanlah semuanya. Ya, lupakanlah semuanya tanpa kecuali. Jangan ada satu jurus pun yang tersisa di dalam benakmu! Nah, sebentar lagi kalau Tian Boguang sudah sadar dan melabrakmu, maka kau bisa menggunakan Ilmu Pedang Huashan Tanpa Jurus tersebut untuk menghadapi penjahat itu.”

“Baik!” jawab Linghu Chong dengan perasaan terkejut bercampur gembira. Ia kemudian mengamati gambar-gambar di dinding gua dengan seksama. Sebenarnya selama beberapa bulan terakhir ini ia sudah mengamati semua gambar itu dengan baik, sehingga sekarang hanya tinggal merangkainya menjadi satu kesatuan yang utuh.

“Segala sesuatu harus berjalan apa adanya,” ujar Feng Qingyang sambil menunjuk. “Lakukan apa yang bisa dilakukan, hentikan apa yang harus dihentikan. Jika jurus yang satu dengan lainnya sukar dirangkaikan, maka jangan sekali-kali dipaksakan!”

Linghu Chong mengangguk. Petunjuk tersebut semakin memudahkan dirinya untuk merangkai jurus-jurus yang ia pilih. Tidak lama kemudian sebanyak tiga sampai empat puluh jurus pedang Huashan sudah dapat dirangkainya menjadi satu. Namun bagaimana cara melebur jurus-jurus tersebut menjadi satu kesatuan sehingga tanpa celah sedikit pun masih merupakan hal yang sulit.

Maka, pemuda itu lantas mengayunkan pedangnya menebas ke kanan dan ke kiri, ke atas dan ke bawah, tanpa menghiraukan apakah gerakannya itu mirip dengan gambar di gua atau tidak. Ia mengerahkan serangan sesuka hatinya. Kadang apabila serangannya itu menjadi sangat lancar membuat hatinya merasa senang.

Selama belasan tahun berguru di Huashan ia selalu berlatih dengan tekun dan terarah, serta tidak boleh gegabah sedikit pun. Apalagi Yue Buqun adalah guru yang sangat disiplin dan ketat. Apabila ada murid yang berlatih suatu jurus dan ada sedikit saja gerakan tangan atau kaki yang kurang pas, maka ia buru-buru membetulkannya. Bagi Yue Buqun, siapapun yang berlatih gerakan jurus, harus melakukannya dengan sempurna tanpa kesalahan sedikit pun. Linghu Chong selaku murid nomor satu senantiasa ingin menjadi yang terbaik di antara sesama murid Huashan. Demi mendapat pujian dari sang guru dan ibu-guru, tidak jarang ia berlatih keras dengan penuh daya upaya.

Namun kali ini yang ia alami adalah kebalikan dari yang sudah-sudah. Feng Qingyang justru menyuruhnya untuk bermain pedang sesuka hati. Semakin bebas, semakin baik. Ia pun terus-menerus mengayunkan pedangnya dengan penuh kebebasan. Perasaannya begitu senang tidak terlukiskan, bahkan lebih gembira dibanding saat meneguk arak berusia setengah abad.

Saat pikirannya mabuk kepayang karena pengalaman baru tersebut, tiba-tiba terdengar suara Tian Boguang memanggil dari luar gua, “Saudara Linghu, saatnya keluar untuk bertanding kembali!”

Linghu Chong tersadar dari alam khayal. Ia pun menghentikan permainan pedangnya dan bertanya, “Kakek Guru, apakah kali ini aku sudah mampu menahan serangan golok kilatnya dengan ayunan pedangku yang tanpa arah ini?”

“Jika kau ingin menahan serangan goloknya, tentu tidak bisa. Tapi untuk apa kau ingin menahan serangannya?” ujar Feng Qingyang balik bertanya.

“Benar sekali!” seru Linghu Chong gembira. “Dia ingin sekali mengajakku turun gunung sehingga sedikit pun ia tidak berani melukaiku, apalagi membunuhku. Kali ini aku tidak akan peduli lagi pada ilmu goloknya. Yang penting aku harus terus menyerang dan menyerang tanpa henti.”

Pemuda itu lantas keluar gua dengan pedang terhunus. Tampak Tian Boguang sudah berdiri dengan golok di tangan. Penjahat itu menegur, “Saudara Linghu, kau sudah mendapat petunjuk dari Sesepuh Feng, tentu sekarang ilmu pedangmu maju pesat. Aku tadi roboh karena lengah sehingga tertotok olehmu. Kali ini aku lebih penasaran dan pantang menyerah. Mari kita bertanding lagi!”

“Baik!” sahut Linghu Chong sambil menusukkan pedangnya secara miring dan melenceng. Pedangnya itu tampak bergoyang-goyang, sedikit pun tidak tampak bertenaga.

Namun demikian, serangan ini justru membuat Tian Boguang kebingungan. “Hei, jurus macam apa pula ini?”

Melihat pedang Linghu Chong semakin dekat, Tian Boguang buru-buru berniat menangkis. Namun tiba-tiba Linghu Chong menarik pedangnya dan menusuk ke tempat kosong. Kemudian pedang itu ditarik mundur seolah hendak menusuk dada sendiri, tapi setelah itu pergelangan tangannya memutar sehingga gagang pedang tersebut menuju ke tempat kosong pula di samping badan sebelah kanan.

Tian Boguang terdesak oleh serangan Linghu Chong.

Melihat itu Tian Boguang bertambah heran. Dengan gerakan lembut ia mencoba mengayunkan goloknya. Namun, Linghu Chong sama sekali tidak menghindar, justru sebaliknya, ia menusukkan pedang ke arah perut lawannya itu.

“Aneh sekali!” seru Tian Boguang sambil membatalkan serangannya dan menangkis pedang itu ke bawah.

Setelah melewati beberapa jurus, Linghu Chong mulai memainkan jurus-jurus pedang Huashan yang tergambar di dinding. Semuanya adalah jurus menyerang, tanpa gerakan bertahan sedikit pun. Serangan yang sambung-menyambung menjadi satu ini mau tidak mau membuat Tian Boguang kalang kabut menghadapinya.

Tian Boguang pun berkata, “Jika kau tidak peduli dengan golokku lagi, maka jangan salahkan aku jika aku bersungguh-sungguh memotong lenganmu!”

“Tidak semudah itu!” jawab Linghu Chong sambil tertawa sambil melancarkan tiga tusukan, yang kesemuanya terlihat aneh dan janggal. Berkat ketajaman mata dan kecepatan tangannya, Tian Boguang mampu menangkis ketiga serangan tersebut. Namun begitu mencoba serangan balasan, tak disangka-sangka Linghu Chong justru melemparkan pedangnya ke udara membuat Tian Boguang ikut menengadah ke atas. Pada saat itulah tahu-tahu hidungnya terkena pukulan Linghu Chong hingga mengeluarkan darah. Selanjutnya, Linghu Chong pun menggunakan jari tangannya sebagai pedang dan secepat kilat menotok titik Tanzhong penjahat itu seperti tadi. Tanpa ampun, tubuh Tian Boguang pun jatuh terkulai di tanah dengan wajah penuh rasa heran bercampur marah.

Linghu Chong berbalik ke arah gua dan mendengar suara Feng Qingyang memanggil, “Kau punya kesempatan tiga jam untuk berlatih kembali. Dia sudah roboh untuk kedua kalinya dan keadaannya bertambah payah. Untuk sementara ini ia tidak mampu bangun kembali. Namun karena semakin marah, bisa jadi saat bangun nanti dia akan melancarkan serangan yang lebih berbahaya. Kau harus berhati-hati. Nah, sekarang coba kau latih ilmu pedang Hengshan!”

Setelah mendapatkan beberapa petunjuk dan nasihat dari Feng Qingyang, Linghu Chong kini mampu merangkai beberapa jurus menjadi kesatuan tanpa jurus. Artinya, ia menyerang dengan intisari jurus tanpa terikat pada susunan gerakan jurus tersebut. Ilmu pedang Hengshan yang unik dan susah ditebak gerak perubahannya, kini di tangan Linghu Chong menjadi lebih sulit lagi untuk ditemukan celahnya.

Setelah totokannya terbuka, Tian Boguang kembali bertarung melawan Linghu Chong. Setelah melewati tujuh atau delapan puluh jurus, Linghu Chong kembali berhasil membuat penjahat itu roboh terkapar. Saat itu matahari sudah condong ke barat. Linghu Chong pun menarik tubuh Tian Boguang dan menyembunyikannya di balik batu besar.

Tak lama kemudian Lu Dayou pun datang mengantar makanan. Saat itu Feng Qingyang sudah bersembunyi di gua belakang.

Linghu Chong segera makan dengan lahap, sambil berkata, “Adik Keenam, nafsu makanku sekarang sudah pulih kembali. Besok kau bisa membawakan aku makanan lebih banyak.”

Lu Dayou sendiri bisa melihat dengan jelas raut wajah Linghu Chong yang berseri-seri dan tampak bercahaya, sepertinya memang jauh lebih sehat dibanding sebelumnya. Ia juga melihat pakaian yang dikenakan sang kakak tampak basah oleh keringat pertanda Linghu Chong baru saja berlatih pedang dengan sangat giat. Tak terlukiskan betapa gembira perasaan hati Lu Dayou menyaksikan hal itu.

“Bagus sekali!” katanya dengan nada gembira. “Besok akan kubawakan keranjang penuh dengan makanan.”

Setelah Lu Dayou pergi, Linghu Chong membuka totokan pada tubuh Tian Boguang dan memanggil Feng Qingyang keluar untuk mengajak mereka makan bersama. Feng Qingyang hanya makan setengah mangkuk, sedangkan Tian Boguang yang masih kesal makan tanpa selera. Ia lantas membanting mangkuk di tangannya sampai pecah dan isinya berserakan di tanah.

Linghu Chong tertawa terbahak-bahak dan bertanya, “Untuk apa Saudara Tian marah-marah kepada sebuah mangkuk nasi?”

“Aku marah kepadamu, keparat!” bentak Tian Boguang. “Gara-gara aku tidak ingin membunuhmu, maka kau bisa seenaknya menyerangku dengan gencar tanpa gerakan bertahan sedikit pun. Huh, tentu saja kau yang diuntungkan! Jika bukan karena aku menaruh kasihan kepadamu, tentu kepalamu sudah putus kupenggal dari tadi. Huh, ini semua gara-gara biksuni… biksuni…”

Dalam hati ingin sekali Tian Boguang memaki Biksuni Yilin. Namun entah mengapa ia menelan ucapannya itu dan segera berdiri sambil menghunus golok.

“Ayo, Linghu Chong, kita bertanding lagi!” serunya kemudian

“Baik!” jawab Linghu Chong sambil berdiri pula dengan pedang di tangan.

Dengan menggunakan siasat yang sama, Linghu Chong menyerang Tian Boguang tanpa memedulikan tebasan golok lawan. Dengan gerakan sesuka hati namun cerdas, ia menusukkan pedang ke arah lawan. Namun kali ini Tian Boguang juga menyerang dengan lebih ganas. Setelah dua puluh jurus terlewati, ia mengayunkan goloknya sebanyak dua kali yang masing-masing melukai lengan kiri dan paha Linghu Chong. Meskipun hanya luka ringan, namun ini menunjukkan permainan golok Tian Boguang sudah tidak mengenal belas kasihan lagi. Sebaliknya, akibat menahan rasa sakit tersebut permainan Linghu Chong menjadi kacau balau. Beberapa jurus kemudian sebuah tendangan Tian Boguang berhasil membuatnya roboh di tanah.

“Kau masih ingin bertarung lagi?” bentak Tian Boguang sambil meletakkan goloknya di leher Linghu Chong. “Setiap kali bertanding lagi, maka kau akan kuhadiahi dengan dua luka goresan. Memang aku tidak ingin membunuhmu. Tapi itu sudah cukup membuatmu jera dan kesakitan.”

“Sudah pasti aku ingin bertanding lagi,” sahut Linghu Chong sambil tersenyum. “Meskipun aku kalah darimu, tidak mungkin Kakek Guru Feng berpeluk tangan begitu saja dan membiarkanmu berbuat seenaknya.”

“Sesepuh Feng adalah tokoh angkatan tua. Tidak mungkin Beliau sudi bertarung denganku,” ujar Tian Boguang sambil menyarungkan goloknya. Diam-diam ia merasa gentar juga kalau-kalau Feng Qingyang sampai turun tangan. Meskipun terlihat sudah sangat tua, namun Feng Qingyang bukan manusia pikun dan jompo. Ia memiliki sorot mata yang tajam, membuat Tian Boguang yakin bahwa orang tua itu memiliki tenaga dalam sangat tinggi, belum lagi ditambah dengan ilmu pedangnya yang sempurna bagaikan dewa. Meskipun jika terjadi pertarungan nanti Feng Qingyang tidak akan membunuhnya, namun jika dirinya harus dipaksa turun meninggalkan puncak Gunung Huashan tanpa hasil juga sama buruknya dengan kematian.

Linghu Chong lantas merobek kain bajunya sendiri untuk membalut kedua lukanya itu. Ia kemudian masuk ke dalam gua dengan wajah kecewa. “Kakek Guru, dia sudah mengganti siasat. Sekarang dia menyerang dengan sungguh-sungguh. Bila lengan kanan saya sampai terluka, tentu saya tidak bisa memegang senjata lagi. Rasanya masih mustahil untuk bisa mengalahkan dia.”

Feng Qingyang menjawab, “Untungnya, sekarang sudah malam. Lebih baik kau berjanji untuk melanjutkan pertandingan esok pagi. Malam ini kau harus berlatih dengan giat. Akan kuajarkan tiga jurus padamu.”

“Hanya tiga jurus?” sahut Linghu Chong heran. “Mengapa harus semalam suntuk?”

Feng Qingyang menjawab, “Aku lihat kau ini cukup pintar. Entah benar-benar pintar atau hanya sok pintar. Jika kau benar-benar pintar, maka tiga jurus ini tentu bisa kau kuasai dalam waktu semalam. Tapi jika bakatmu kurang baik, maka… esok pagi tidak perlu susah payah berkelahi dengan dia. Kau mengaku kalah saja dan ikut pergi bersamanya.”

Mendengar itu, Linghu Chong yakin kalau tiga jurus yang dijanjikan Feng Qingyang tentu jurus yang sangat istimewa dan sulit untuk dipelajari. Dengan tegas ia pun menjawab, “Kakek Guru, seandainya saya gagal menguasai ketiga jurus tersebut dalam semalam, maka lebih baik saya mati dibunuh Tian Boguang daripada menyerah kalah dan ikut pergi bersamanya.”

“Bagus sekali!” jawab Feng Qingyang sambil tersenyum. Orang tua itu menengadah sambil memikirkan sesuatu. Sejenak kemudian ia berkata, “Mempelajari tiga jurus dalam semalam tentu rasanya seperti dipaksakan. Baiklah, kalau begitu jurus kedua ditunda saja. Kau pelajari saja jurus pertama dan ketiga. Tapi… tapi… dalam jurus ketiga banyak terdapat variasi atau gerak perubahan yang berasal dari jurus kedua. Kalau begitu kita kesampingkan saja bagian-bagian yang ada hubungannya dengan jurus kedua. Kita coba lain waktu.”

Orang tua itu terlihat berbicara sendiri, merenung, kemudian menggeleng-gelengkan kepala. Hal ini membuat Linghu Chong semakin tertarik dan penasaran. Ia membayangkan suatu ilmu semakin sulit dipelajari tentu semakin besar nilai manfaatnya.

Kemudian terdengar Feng Qingyang menggumam lagi, “Jurus pertama mengandung tiga ratus enam puluh gerak perubahan. Jika kau lupa satu gerakan saja pada jurus ini, maka akan berakibat jurus ketiga sukar dimainkan dengan tepat. Wah, ini rasanya sulit.”

Linghu Chong semakin terheran-heran karena baru satu jurus saja sudah mengandung tiga ratus enam puluh gerak perubahan.

Feng Qingyang kemudian berhitung dengan menggunakan jari, “Gumei menuju Wuwang; Wuwang menuju Tongren; Tongren menuju Dayou; Jia berubah menjadi Bing; Bing berubah menjadi Geng; Geng berubah menjadi Kui. Zi menyambung dengan Chou; Chen menyambung dengan Si; Wu menyambung dengan Wei. Angin ke petir adalah satu perubahan; gunung ke danau adalah satu perubahan; air ke api adalah satu perubahan. Qian dan Kun saling mengaktifkan; Zhen dan Dui saling mengaktifkan; Li dan Si saling mengaktifkan. Tiga berkembang menjadi lima; lima berkembang menjadi sembilan….”

Semakin Feng Qingyang menghitung, wajahnya terlihat semakin tegang. Akhirnya sambil menghela napas ia pun berkata, “Chong’er, dulu aku membutuhkan waktu tiga bulan untuk berlatih jurus pertama ini. Memaksamu belajar jurus pertama dan jurus ketiga dalam waktu semalam rasanya seperti lelucon. Coba pikirkan ini, ‘Gumei menuju Wuwang.’” Sampai di sini ia kemudian terdiam karena larut dalam pikiran. Selang agak lama barulah ia berkata, “Sampai di mana tadi?”

Linghu Chong menjawab, “Kakek Guru tadi berkata Gumei menuju Wuwang, maka lanjutannya adalah Wuwang menuju Tongren; Tongren menuju Dayou.”

“Hei, ternyata kau punya ingatan yang tajam!” seru Feng Qingyang sambil mengernyitkan dahi. “Bagaimana selanjutnya?”

“Kakek Guru tadi berkata, ‘Jia berubah menjadi Bing; Bing berubah menjadi Geng; Geng berubah menjadi Kui.…” Linghu Chong mampu menyebutkan hampir semua yang disampaikan Feng Qingyang tadi, meskipun ada beberapa di bagian akhir yang luput dari ingatannya.

Feng Qingyang bertanya dengan nada heran, “Apakah sebelum ini kau pernah belajar rumus umum ilmu Sembilan Pedang Dugu?”

Linghu Chong menjawab, “Tidak pernah sama sekali. Bahkan baru kali ini saya mendengar ada ilmu Sembilan Pedang Dugu.”

“Jika tidak pernah mempelajari, bagaimana kau mampu menyebutkan teorinya?” desak Feng Qingyang.

Linghu Chong menjawab, “Saya hanya menirukan apa yang diucapkan Kakek Guru tadi.”

“Sepertinya ini akan berhasil!” seru Feng Qingyang dengan perasaan sangat gembira. “Meskipun kau tidak mungkin mampu mempelajari kedua jurus ini dalam waktu semalam, tapi setidaknya kau bisa memaksa diri untuk mengingatnya saja. Jurus pertama cukup diingat, sedangkan jurus ketiga cukup dipelajari setengahnya saja. Coba dengar baik-baik, Guimei menuju Wuwang; Wuwang menuju Tongren; Tongren menuju Dayou....”

Orang tua itu pun menguraikan satu per satu rumus ilmu yang diajarkannya, dan setelah melewati lebih dari tiga ratus kata barulah ia berhenti, lalu berkata, “Sekarang coba kau ulangi perkataanku.”

Linghu Chong sejak tadi memperhatikan uraian Feng Qingyang dengan seksama. Kini, begitu ia diminta mengulangi, maka ia pun menyampaikan dengan lancar awal sampai akhir, dan tercatat ada belasan kata yang salah. Setelah Feng Qingyang membetulkan, Linghu Chong pun mengulangi lagi dari awal sampai akhir, dan kini ada tujuh kata yang salah. Setelah mengulangi untuk yang ketiga kalinya, barulah Linghu Chong dapat menghafalkan rumus umum tersebut secara sempurna.

“Bagus sekali! Bagus sekali!” seru Feng Qingyang gembira. Ia lantas mengajarkan tiga ratus kata baru sebagai kelanjutan yang tadi dan Linghu Chong pun menghafalkannya. Setelah dinilai hafal dengan sempurna, Feng Qingyang pun mengajarkan tiga ratus kata lanjutan sesudah itu, dan Linghu Chong pun menghafalkannya dengan baik.

Rumus umum ilmu Sembilan Pedang Dugu memiliki lebih dari tiga ribu kata. Selain itu, isi dari rumusan tersebut tidak benar-benar saling terhubung secara nalar. Itu sebabnya, meskipun Linghu Chong memiliki daya ingat yang luar biasa, ia tetap hanya mampu mengingat satu bagian apabila lupa dengan bagian yang lainnya. Maka, setidaknya butuh waktu lebih dari dua jam serta Feng Qingyang juga sering kali mengingatkan, sehingga pada akhirnya pemuda itu mampu menghafal semuanya secara sempurna tanpa kesalahan. Setelah itu, Feng Qingyang menguji hafalan Linghu Chong dengan menyuruhnya membacakan semua isi rumusan tersebut mulai awal sampai akhir sebanyak tiga kali pengulangan.

Feng Qingyang kemudian berkata, “Rumus umum yang baru saja kau pelajari tadi adalah kunci dasar dari ilmu Sembilan Pedang Dugu. Meskipun sekarang kau sudah hafal, tapi karena tujuannya hanya sekadar asal ingat tanpa menyelami maksudnya, maka kelak pasti mudah terlupakan. Maka itu, untuk selanjutnya setiap pagi dan sore kau harus mengulangi hafalanmu sampai benar-benar ingat di luar kepala.”

“Baik!” jawab Linghu Chong mengiakan.

Feng Qingyang melanjutkan, “Rumus umum tersebut adalah jurus pertama dalam Sembilan Pedang Dugu yang memiliki banyak variasi dan perubahan dalam penerapannya. Kau sudah menghafalkannya dan untuk saat ini kau tidak perlu bersusah payah untuk mendalaminya. Jurus kedua adalah Cara Memecahkan Ilmu Pedang. Jurus kedua ini bisa kau gunakan untuk mematahkan segala jenis jurus pedang dari berbagai perguruan dan perkumpulan di dunia persilatan. Namun jurus kedua ini bisa kau tunda lain waktu untuk mempelajarinya. Nah, jurus ketiga yaitu Cara Memecahkan Ilmu Golok, digunakan untuk melumpuhkan segala jenis senjata golok, baik itu golok besar, golok tunggal, golok kembar, golok bertangkai, golok pemenggal kepala, golok pemotong kuda, dan sebagainya. Ilmu Golok Kilat yang digunakan Tian Boguang termasuk jenis golok tunggal. Maka itu, marilah kita pelajari jurus ketiga tersebut malam ini juga.”

Mendengar uraian Feng Qingyang bahwa jurus kedua bisa mematahkan segala jenis ilmu pedang dari berbagai perguruan dan perkumpulan, serta jurus ketiga yang mampu mematahkan segala jenis ilmu golok di dunia persilatan membuat perasaan Linghu Chong terkejut bercampur gembira. Ia pun berkata dengan penuh kekaguman, “Kesembilan jurus ciptaan Pendekar Dugu sedemikian hebatnya. Sungguh baru kali ini saya mendengarnya.”

Feng Qingyang menyahut, “Mungkin gurumu belum pernah melihat seperti apa Ilmu Sembilan Pedang Dugu, namun aku yakin dia pasti pernah mendengarnya. Hanya saja ia enggan menceritakan hal ini pada kalian.”

Linghu Chong heran dan bertanya, “Mengapa demikian?”

Feng Qingyang tidak menjawab, namun melanjutkan uraiannya, “Jurus ketiga yaitu Cara Memecahkan Ilmu Golok mengutamakan cepat untuk mengalahkan lambat, dan ringan untuk mengalahkan berat. Ilmu golok Tian Boguang itu memang sangat cepat dan gesit, maka kau harus lebih cepat darinya. Untuk bocah yang masih muda seperti dirimu tentu punya harapan untuk menghadapi kecepatannya. Aku bilang, kau punya harapan menang, tapi bukan berarti kau pasti menang. Sedangkan untuk tua bangka seperti diriku tentu sukar untuk bermain cepat melawannya. Satu-satunya jalan adalah mendahului serangan. Asalkan kau tahu dia hendak melancarkan jurus apa, maka bisa kau dahului secepatnya. Sebelum tangan musuh terangkat, maka ujung pedangmu harus sudah mengancamnya di titik yang berbahaya. Dengan demikian tidak peduli secepat apa serangan musuhmu, tetap saja kau lebih unggul darinya.”

Linghu Chong mengangguk-angguk sambil berkata, “Benar sekali. Rupanya Sembilan Pedang Dugu ini mengajarkan bagaimana cara menaksir dan mendahului serangan musuh.”

“Bagus! Bagus! Kau memang bocah yang cepat paham!” seru Feng Qingyang gembira, bahkan sampai bertepuk tangan. “Memang itulah intisari dan keistimewaan Ilmu Sembilan Pedang Dugu. Setiap orang sewaktu hendak menyerang tentu memperlihatkan tanda-tanda. Misalnya, jika dia hendak menebas bahu kirimu, maka dia akan melirik ke arah bahumu itu. Bila goloknya dipegang rendah di tangan kanan, tentu dia akan memutar setengah lingkaran ke atas untuk kemudian barulah mengayun miring ke sebelah kiri….”

Linghu Chong merasakan kegembiraan luar biasa.

(Bersambung)