Bagian 88 - Muncul di Babak Penentuan

Ren Woxing dan Fangzheng adu tenaga.
 
Sebelas pasang mata terpusat menyaksikan pertandingan kedua tokoh sakti itu. Dalam hati masing-masing mereka memuji kehebatan pukulan Ren Woxing dan Mahabiksu Fangzheng. Tampak Zuo Lengchan tersenyum sendiri dan diam-diam bersyukur, “Untung si tua Ren memilih Mahabiksu Fangzheng sebagai lawannya pada babak pertama ini. Jika ia memilih diriku tentu akan membuatku sulit. Dibandingkan dengan Jurus Tapak Songyang andalan perguruan kami, ilmu pukulannya lebih rumit den memiliki lebih banyak perubahan. Meskipun terlihat kaku, tapi ilmu pukulannya lebih bagus dariku. Ia hanya mengincar satu titik penting saja, tidak lebih dari itu.”

Di sisi lain, Xiang Wentian juga sedang berpikir, “Ilmu silat Perguruan Shaolin yang tersohor selama ratusan tahun ternyata memang bukan omong kosong belaka. Bila aku yang harus menghadapi Mahabiksu Fangzheng, terpaksa harus mengadu tenaga dalam. Untuk bertanding jurus pukulan jelas aku tidak akan bisa menang melawannya.”

Sementara itu Yue Buqun, Pendeta Tianmen, Yu Canghai, dan yang lain juga sedang membandingkan ilmu pukulan kedua jago itu dengan kepandaian mereka masing-masing.

Setelah sekian lama bertempur, lambat laun Ren Woxing merasa ilmu pukulan Mahabiksu Fangzheng mulai kendur. Dalam hati ia berpikir, “Hm, meskipun jurus pukulanmu sangat hebat, namun usiamu jelas sudah tua renta. Daya tahanmu tentu semakin berkurang.”

Segera ia mempercepat serangan. Setelah beberapa kali memukul, tiba-tiba sewaktu menarik tangan kanan terasa pergelangannya agak kaku dan kesemutan. Tenaga dalam juga terasa macet, sungguh membuatnya terkejut bukan main. Ia tahu hal itu disebabkan oleh pengaruh tenaga dalam lawan. Ia kembali berpikir, “Ilmu Mengubah Urat biksu tua ini sungguh sempurna. Aku tidak bisa mengerahkan pukulan karena ia mampu menahan dan mengendalikan tenaga dalamku tanpa harus bersentuhan.” Ia yakin jika pertarungan ini berlangsung lebih lama lagi, dan jika tenaga dalam lawan sudah dikerahkan besar-besaran, tentu ia berada dalam keadaan yang sangat tidak menguntungkan.

Saat itu Fangzheng menghantam dengan pukulan telapak kiri. Ren Woxing berseru sambil menyambut dengan telapak kiri pula. Kedua tangan pun beradu. Mereka kemudian sama-sama mundur selangkah. Terasa tenaga dalam biksu tua itu sangat lembut, tapi mengandung kekuatan yang sungguh luar biasa. Meski Ren Woxing sudah mengerahkan Jurus Penyedot Bintang, namun sedikit pun tidak bisa menghisap tenaga lawan. Dalam hati ia merasa sangat heran.

“Shanti, shanti!” ujar Fangzheng sambil kemudian tangan kanannya menghantam ke depan. Lagi-lagi Ren Woxing menyambut dengan tangan kanan pula. Kedua tangan kembali beradu, sampai tubuh masing-masing tergeliat bersamaan. Ren Woxing merasa darah di seluruh badan seakan-akan mendidih. Segera ia mundur dua langkah, dan tiba-tiba memutar tubuh. Tahu-tahu dada Yu Canghai sudah dicengkeramnya menggunakan tangan kanan, sementara tangan kiri mengayun siap menghantam batok kepala Ketua Perguruan Qingcheng tersebut.

Kejadian ini sungguh cepat bagaikan seekor kelinci yang tiba-tiba disambar elang. Semua mata sedang tertuju kepada Ren Woxing yang sedang kewalahan menghadapi pukulan-pukulan Mahabiksu Fangzheng tadi. Siapa sangka ia tidak menggunakan tenaganya untuk melindungi diri tetapi justru digunakan untuk menyerang orang lain. Yu Canghai sendiri seorang tokoh silat papan atas. Andai saja ia bertarung terang-terangan melawan Ren Woxing, sekalipun pada akhirnya kalah, namun tidak mungkin hanya dalam satu jurus langsung tertangkap seperti itu.

“Oh!” seru banyak orang yang sama-sama terkejut melihatnya.

Mahabiksu Fangzheng segera melompat bagaikan burung menyambar mangsa. Dengan dua telapak tangan berkecepatan tinggi ia memukul ke arah belakang kepala Ren Woxing. Dalam dunia persilatan ini disebut siasat “menyerang Wei, menolong Zhao”, yang memaksa lawan harus menyelamatkan diri lebih dulu dan melepaskan tawanannya. Dalam hal ini Ren Woxing harus membatalkan pukulannya terhadap Yu Canghai demi menangkis serangan Fangzheng.

Semua orang terkejut kagum melihat kecepatan gerakan Mahabiksu Fangzheng yang secepat kilat itu. Meskipun tidak sempat bersorak memuji, namun mereka tahu bahwa jiwa Yu Canghai dapat diselamatkan. Sesuai dugaan, Ren Woxing terpaksa menarik tangannya yang hendak menghantam kepala Yu Canghai tadi. Akan tetapi, tangan tersebut tidak digunakan untuk menangkis serangan Fangzheng, melainkan untuk mencengkeram titik Tanzhong di bagian dada Kepala Biara tersebut. Menyusul kemudian tangan kanannya ikut bekerja pula. Secepat kilat ulu hati Fangzheng ditotoknya dengan tepat. Tanpa ampun lagi, tubuh Kepala Biara Shaolin itu langsung lemas dan roboh terkulai di lantai.

Kontan semua orang terperanjat kaget. Beramai-ramai mereka bergerak maju mengerumuni sang biksu sepuh. Hanya Zuo Lengchan yang menerjang ke depan dan menghantam punggung Ren Woxing. Tapi Ren Woxing sempat menangkis pukulan itu sambil membentak, “Bagus! Anggap saja ini babak kedua!”

Zuo Lengchan melancarkan serangan kilat dengan gaya berubah-ubah. Kadang tangannya memukul, kadang menelapak, lalu berubah menotok, kemudian mencengkeram pula. Dalam sekejap saja ia sudah menggunakan belasan macam bentuk dan gaya serangan tangan.

Meskipun diserang berkali-kali, Ren Woxing masih mampu untuk bertahan dengan mengerahkan segenap tenaga dalam. Beberapa jurus serangannya yang terakhir untuk merobohkan Mahabiksu Fangzheng tadi jelas menggunakan segenap kemampuannya. Jika tidak, bagaimana mungkin seorang Ketua Perguruan Shaolin yang memiliki tenaga dalam setinggi itu bisa dicengkeram pada titik Tanzhong dengan sangat tepat? Bagaimana mungkin satu jari bisa dengan tepat melumpuhkan pula Kepala Biara tersebut? Dalam serangan-serangan tadi bisa dikatakan kalau Ren Woxing telah mempertaruhkan segalanya.

Kemenangan Ren Woxing atas Mahabiksu Fangzheng itu semata-mata juga karena siasat licik belaka. Ia memanfatkan sifat Fangzheng yang welas asih, dengan cara seolah hendak membinasakan Yu Canghai. Perhitungan Ren Woxing sungguh cermat. Pertama, para hadirin yang lain tidak mungkin sempat menolong karena jarak mereka agak jauh. Kedua, Yu Canghai sendiri juga kurang akrab dengan para hadirin itu, sehingga mereka tidak mungkin sudi mengambil risiko demi menolong pendeta pendek tersebut. Dalam keadaan demikian, Ren Woxing yakin hanya Mahabiksu Fangzheng seorang yang akan berusaha menolong Yu Canghai.

Ketika Kepala Biara menolong Yu Canghai dengan cara melancarkan serangan, ternyata Ren Woxing sama sekali tidak menangkis, tapi berbalik mencengkeram dan menotok titik penting di tubuh biksu tua itu. Cara yang dilakukan Ren Woxing ini sesungguhnya sangat berbahaya. Sebab, jangankan kedua tangan Fangzheng yang menghantam ke arah kepalanya, bahkan angin yang ditimbulkan saja sudah bisa membuat otaknya meledak.

Sewaktu menangkap Yu Canghai tadi, Ren Woxing memang sudah mempertaruhkan jiwanya pula. Ia berusaha memanfaatkan hati welas asih biksu agung berbudi luhur itu. Ketika Fangzheng melihat pihak lawan ternyata tidak menangkis pukulannya yang bisa menghancurkan kepala, maka ia pun buru-buru menarik kembali tangannya itu secara mendadak. Untuk hal ini, ia harus mengerahkan tenaga sangat besar sehingga daerah dada dan perut menjadi kosong dan terbuka.

Maka, begitu Ren Woxing mencengkeram dan menotok dadanya, Fangzheng sekuat tenaga mengumpulkan tenaga di tangannya untuk balas memukul kepala Ren Woxing. Namun keadaannya sudah sangat lemah. Tenaga dalam di titik Dantian pun sama sekali tidak bisa berkembang, sehingga tubuhnya terpaksa jatuh begitu saja ke lantai.

Pendeta Chongxu segera memapah Mahabiksu Fangzheng dan membuka totokan pada tubuhnya, sambil berkata, “Saudara Kepala Biara terlalu welas asih, sehingga bisa diperdaya oleh lawan secara licik.”

“Amitabha!” ujar Fangzheng. “Pikiran Tuan Ren memang cerdik. Tuan Ren bisa menang karena adu akal, bukan adu tenaga. Aku sungguh sangat kagum dan mengaku kalah.”

Terdengar Yue Buqun berseru, “Ketua Ren memakai akal licik, kemenangannya tidak gemilang. Cara yang ia gunakan sama sekali bukan perbuatan seorang laki-laki budiman.”

“Memangnya dalam Sekte Matahari dan Bulan kami ada laki-laki budiman?” sahut Xiang Wentian dengan tertawa. “Jika Ketua Ren seorang laki-laki budiman tentu sejak dahulu sudah berkubang lumpur dengan kalian. Jika demikian, pertandingan seperti sekarang ini tidak mungkin akan pernah ada.”

Yue Buqun langsung terdiam oleh perkataan Xiang Wentian itu.

Ren Woxing sendiri sedang bersandar pada sebatang tiang kayu sambil melancarkan pukulan untuk menangkis setiap serangan Zuo Lengchan. Sebagai Ketua Perguruan Songshan sekaligus Ketua Serikat Pedang Lima Gunung, sikap Zuo Lengchan biasanya sangat angkuh. Pada kesempatan lain tentu ia tidak sudi bertempur melawan Ren Woxing di saat lawannya itu baru saja bertanding melawan tokoh nomor satu Perguruan Shaolin. Ia paham bahwa cara demikian tentu akan membuatnya disebut sebagai pengecut yang mengambil keuntungan dari lawan. Namun, Ren Woxing baru saja merobohkan Mahabiksu Fangzheng dengan cara licik dan membuat gusar tokoh-tokoh aliran lurus yang menyaksikan. Sekarang Zuo Lengchan tiba-tiba maju melabrak Ren Woxing tanpa menghiraukan keselamatan sendiri, membuatnya justru mendapatkan pujian karena rasa setia kawan yang ia tunjukkan itu. Para hadirin mengira Zuo Lengchan maju karena didorong perasaan gusar melihat ketidakadilan, padahal ia telah memanfaatkan kesempatan emas untuk menyerang Ren Woxing yang sedang kelelahan.

Xiang Wentian melihat gerak-gerik Ren Woxing agak lamban dan sukar bernapas di bawah serangan gencar Zuo Lengchan. Ia pun mendekati tiang dan berseru, “Ketua Zuo, apa kau tidak tahu malu, melawan orang yang baru saja bertempur? Biarlah aku saja yang melayanimu!”

“Setelah kurobohkan orang bermarga Ren ini baru kuhadapi dirimu. Memangnya aku takut bertempur secara bergiliran melawan kalian?” sahut Zuo Lengchan sambil sebelah tangannya terus menghantam ke arah Ren Woxing.

Ren Woxing menanggapi dengan nada dingin, “Adik Xiang, kau minggir saja!”

Xiang Wentian kenal baik watak Sang Ketua yang tidak mau kalah itu. Ia pun tidak berani membantah, dan terpaksa berkata, “Baiklah, aku mundur dulu. Tapi orang bermarga Zuo ini terlalu pengecut dan tidak tahu malu. Akan kutendang pantatnya!” Bersama itu ia mengangkat sebelah kakinya, siap menendang pantat Zuo Lengchan.

“Apa kalian hendak main kerubut?” teriak Zuo Lengchan dengan gusar sambil mengelak ke samping.

Ternyata gerakan kaki Xiang Wentian itu hanyalah pura-pura saja. Melihat Zuo Lengchan tertipu, Xiang Wentian terbahak-bahak geli dan menjawab, “Hahaha, hanya anak haram yang suka main kerubut!” Ia lalu melompat mundur dan berdiri di samping Ren Yingying.

Karena ejekan Xiang Wentian itu, serangan Zuo Lengchan menjadi sempat tertunda. Kesempatan ini segera digunakan oleh Ren Woxing untuk menarik napas panjang-panjang. Seketika semangatnya pun bangkit kembali dan segera membalas serangan dengan menghantam tiga kali berturut-turut.

Sekuat tenaga Zuo Lengchan berusaha mematahkan serangan Ren Woxing itu. Diam-diam ia terkesiap menyadari sesuatu dan berpikir. “Sudah belasan tahun aku tidak bertarung melawan tua bangka ini. Ternyata ilmu silatnya meningkat dengan pesat. Hm, untuk bisa memenangkan babak ini, aku harus mengerahkan segenap kemampuanku.”

Pertarungan antara Zuo Lengchan melawan Ren Woxing kali ini adalah pertempuran mereka untuk yang kedua kalinya. Pertarungan di hadapan tokoh-tokoh tertinggi dunia persilatan sekarang ini benar-benar pertarungan yang menentukan. Karena itu mereka sangat mementingkan soal kemenangan, sama sekali berbeda dengan pertandingan babak pertama antara Ren Woxing melawan Mahabiksu Fangzheng tadi, yang dilangsungkan dalam suasana ramah tamah.

Begitu Ren Woxing mendapatkan napas baru, seketika semua gerakannya menjadi gerakan membunuh. Tangannya berganti gaya serangan dari memukul menjadi memotong. Tangan Zuo Lengchan pun berubah-ubah, dari memukul, menapak, sampai mencengkeram. Semakin lama semakin cepat pertarungan kedua orang itu. Linghu Chong sampai sulit membedakan siapa di antara mereka. Sewaktu melihat pertandingan babak pertama tadi ia tidak paham akan intisari gerakan Ren Woxing dan Fangzheng, dan kini ia sangat kesulitan mengikuti kecepatan gerak kedua tokoh sakti tersebut.

Ia lalu melirik ke arah Ren Yingying. Muka gadis itu tampak putih bersih bagaikan salju, sama sekali tidak menunjukkan suatu perasaan cemas ataupun khawatir. Seolah-olah ia sangat yakin bahwa ayahnya akan meraih kemenangan lagi di babak kedua ini. Sementara itu wajah Xiang Wentian kadang terlihat senang, kadang terlihat cemas. Kadang ia terlihat heran, kadang terlihat kecewa. Kadang matanya melotot, kadang menggertakkan gigi seolah ia sendiri yang sedang bertempur. Melihat itu Linghu Chong berpikir, “Pengalaman Kakak Xiang jauh lebih luas daripada Yingying. Melihat ketegangan di wajahnya, mungkin sekali dalam babak ini Tuan Ren sukar mendapat kemenangan.”

Perlahan-lahan pandangannya beralih ke arah lain. Tampak guru dan ibu-gurunya berdiri berjajar di samping Mahabiksu Fangzheng dan Pendeta Chongxu. Di belakang mereka berdiri Pendeta Tianmen, Ketua Perguruan Taishan. Di sampingnya lagi terdapat Tuan Besar Mo, Ketua Perguruan Hengshan. Sejak datang tadi Tuan Besar Mo sama sekali tidak membuka suara sehingga Linghu Chong tidak tahu bahwa ia juga datang ke Biara Shaolin. Melihat sosok kurus kering itu, Linghu Chong berpikir, “Adik Yilin dan yang lain sekarang sudah tidak mempunyai guru. Entah bagaimana keadaan mereka sekarang?”

Di sisi lain tampak Yu Canghai, Ketua Perguruan Qingcheng berdiri sendiri di sudut ruangan dengan menggenggam erat gagang pedangnya. Wajahnya terlihat sangat gusar. Di sisi barat tampak seorang laki-laki berambut putih dengan pakaian compang-camping. Ia tentu Ketua Partai Pengemis yang bernama Xie Feng. Di sebelahnya tampak seorang berperawakan gagah dengan pakaian serbahitam. Ia tentu Ketua Perguruan Kunlun yang bernama Zhenshan Zi, si Pedang Langit dan Bumi.

Kesembilan tokoh tersebut adalah orang-orang sakti di dunia persilatan saat ini. Masing-masing merupakan pemimpin aliran ternama. Andai saja mereka tidak memusatkan perhatian ke arah pertandingan, tentu sejak tadi keberadaan Linghu Chong sudah mereka ketahui melalui tarikan atau hembusan napasnya.

Dalam hati Linghu Chong merenung, “Para guru besar dunia persilatan berkumpul di sini. Guru dan Ibu-Guru juga hadir, serta Mahabiksu Fangzheng, Pendeta Chongxu, dan Paman Guru Mo, tiga orang sesepuh yang sangat kuhormati. Rasanya tidak sopan jika aku bersembunyi di sini mendengarkan pembicaraan mereka dari tadi. Meskipun aku tiba lebih awal dan mereka belakangan, tetap saja aku merasa tidak nyaman telah menguping pembicaraan mereka. Kalau sampai ketahuan sungguh diriku akan malu setengah mati.”

Maka ia pun berharap Ren Woxing bisa memenangkan babak ini, sehingga mereka bertiga dapat pergi dengan bebas. Dan kalau nanti Mahabiksu Fangzheng dan yang lain sudah pindah ke ruangan lain, ia berniat lekas-lekas menyusul dan menemui Ren Yingying. Terpikir akan berbicara dengan gadis itu, seketika dadanya terasa hangat. Ia merenung, “Apakah untuk seterusnya aku dan Yingying benar-benar akan menjadi suami-istri? Tidak perlu disangsikan lagi, ia memperlakukanku dengan penuh perhatian. Tapi aku … tapi aku ….”

Memang selama ini jika ia teringat kepada Ren Yingying, maka yang terpikir olehnya adalah perasaan ingin membalas budi. Ia bertekad membebaskan gadis itu lolos dari Biara Shaolin, adalah untuk menunjukkan kepada dunia persilatan bahwa dirinya yang telah jatuh hati kepada si nona dan bukan sebaliknya. Dengan demikian orang-orang persilatan tidak lagi mencemooh Ren Yingying bahwa cintanya bertepuk sebelah tangan. Anehnya, setiap bayangan Ren Yingying yang cantik itu timbul dalam benaknya, hatinya tidak merasakan kebahagiaan atau kemesraan. Hal ini sungguh berbeda dibanding jika ia terkenang kepada Yue Lingshan yang sangat dicintainya itu. Terhadap Ren Yingying yang ada adalah perasaan agak-agak takut di dalam hati.

Ketika pertama kali bertemu dengan Ren Yingying dulu, ia senantiasa menyangka gadis itu sebagai seorang nenek tua. Maka yang timbul dalam hatinya adalah tujuh puluh persen perasaan hormat dan tiga puluh persen perasaan terima kasih. Kemudian setelah mengetahui sifat si nona yang ringan tangan, membunuh orang dengan gampang, membuat rasa hormatnya itu telah bercampur pula dengan tiga bagian rasa muak dan tiga bagian rasa takut. Rasa muak itu perlahan-lahan menjadi tawar setelah mengetahui ternyata Ren Yingying telah jatuh hati kepadanya.

Mendengar si nona mengorbankan diri dan terkurung di Biara Shaolin, seketika timbul rasa terima kasih Linghu Chong yang tak terkira kepadanya. Namun rasa terima kasih yang dalam itu tidak menimbulkan pikiran ingin untuk berhubungan lebih akrab. Yang ia harapkan hanya bagaimana bisa membalas budi kebaikan si nona saja. Maka ketika mendengar Ren Woxing menyebut dirinya sebagai calon menantu, entah mengapa perasaannya menjadi serbasalah, sedikit pun tidak merasa senang. Padahal bicara soal kecantikan, Ren Yingying sangat jauh melebihi Yue Lingshan. Namun semakin melihat kecantikan gadis itu, semakin dirasa pula adanya jarak yang jauh di antara mereka.

Hanya beberapa kali saja Linghu Chong memandang Ren Yingying dan setelah itu tidak berani melihat lagi. Ia kemudian menyaksikan kedua tangan Xiang Wentian mengepal, dengan kedua mata melotot lebar ke arah pertandingan. Ternyata saat itu Zuo Lengchan sudah terdesak sampai ke sudut ruangan, sementara Ren Woxing masih terus menghujaninya dengan pukulan-pukulan dahsyat. Tampaknya Zuo Lengchan sudah kewalahan, tangkisannya lemah, dan serangannya selalu gagal. Ketua Perguruan Songshan itu lebih banyak bertahan daripada menyerang.

Tiba-tiba Ren Woxing membentak dan kedua tangannya mendorong ke arah dada lawan. Lekas-lekas Zuo Lengchan menyambut dengan kedua tangan pula. Maka, empat telapak tangan pun beradu. Zuo Lengchan terdesak mundur dengan punggung menumbuk tembok. Debu pasir pun jatuh bertebaran dari atap.

Linghu Chong merasa badannya ikut terguncang. Papan nama besar yang digunakannya bersembunyi itu seakan-akan ikut rontok ke bawah. Ia terkejut dan berpikir, “Paman Guru Zuo dalam masalah besar. Kalau mereka mengadu tenaga dalam, Tuan Ren tentu menggunakan Jurus Penyedot Bintang untuk menghisap tenaga Paman Guru Zuo. Dalam sekejap, tentu Paman Guru Zuo akan kalah telak.”

Tapi lantas dilihatnya Zuo Lengchan menarik tangan kanannya, sehingga tinggal tangan kiri saja yang menahan kekuatan musuh. Menyusul kemudian dengan dua jari tangan kanan ia menotok ke arah Ren Woxing. Mendadak Ren Woxing berseru kaget dan lekas-lekas melompat mundur untuk menghindar. Segera Zuo Lengchan menotok lagi dengan jari tangan kiri. Berturut-turut ia menotok tiga kali dan Ren Woxing pun terdesak mundur tiga langkah.

Mahabiksu Fangzheng, Pendeta Chongxu, dan yang lain merasa terkejut. Masing-masing berpikir, “Jurus Penyedot Bintang milik Ren Woxing dapat menghisap tenaga dalam lawan tanpa ampun. Tapi mengapa ketika keempat tangan itu beradu, Zuo Lengchan sama sekali tidak celaka? Apakah ilmu tenaga dalam Perguruan Songshan sedemikian kebal terhadap Jurus Penyedot Bintang?” Mereka merasa heran menyaksikan hal itu, sementara Ren Woxing tentu jauh lebih heran lagi.

Belasan tahun silam, Ren Woxing tidak perlu menggunakan Jurus Penyedot Bintang sudah mampu membuat Zuo Lengchan terdesak. Tapi ketika Zuo Lengchan sudah hampir bisa dirobohkan, tiba-tiba jantung Ren Woxing terasa sakit dan tenaga dalamnya sukar dikerahkan. Ia terkejut dan menyadari bahwa hal itu merupakan akibat sampingan dari Jurus Penyedot Bintang yang belum dikuasainya secara sempurna. Jika di waktu biasa tentu ia bisa segera duduk bersamadi untuk memusnahkan rasa sakit tersebut. Namun saat itu ia sedang menghadapi lawan tangguh, mana ada kesempatan untuk mengobati penyakit? Dalam keadaan yang genting itu tiba-tiba muncul dua orang adik seperguruan Zuo Lengchan, yaitu Ding Mian dan Fei Bin. Dengan cerdik Ren Woxing pun berseru, “Hahaha, kita sudah sepakat bertarung satu lawan satu, tapi secara licik kau menyembunyikan pembantu. Seorang laki-laki sejati tidak sudi dicurangi, biarlah kita bertemu lagi lain waktu. Sekarang tuan besarmu ini tidak sudi meladeni kalian. Selamat tinggal!”

Sebaliknya, Zuo Lengchan sendiri juga sadar dirinya pasti kalah. Melihat pihak lawan tiba-tiba hendak mengakhiri pertandingan, tentu hal ini sangat kebetulan baginya. Maka, ia tidak berani mengejek dengan kata-kata yang bisa memancing amarah lawan, namun dalam hati juga tidak mengizinkan Ding Mian dan Fei Bin ikut campur karena akan menghancurkan nama besarnya. Berpikir demikian, ia pun menjawab, “Salahmu sendiri, kenapa kau tidak membawa para begundalmu dari Sekte Iblis?”

Ren Woxing tertawa, lalu memutar tubuh dan melangkah pergi. Begitulah, pertarungan di masa lalu itu telah diakhiri tanpa kejelasan siapa yang kalah atau menang. Hanya saja, mereka saling menyadari kelemahan ilmu silat masing-masing. Sejak itulah keduanya sama-sama berlatih dengan lebih tekun supaya tidak mengalami kekalahan pada pertemuan selanjutnya.

Lebih-lebih Ren Woxing mengetahui akibat sampingan dari Jurus Penyedot Bintang yang dilatihnya itu. Ilmu tersebut memang membuatnya bisa menghisap tenaga lawan, tapi tenaga yang dihisap itu berbeda-beda asal-muasal golongannya, juga beraneka ragam tingkat kekuatannya. Campuran bermacam-macam tenaga tersebut kalau tidak segera diselaraskan tentu akan berakibat buruk. Rasa sakit bisa saja timbul pada saat-saat yang tidak terduga dan berbalik menyerang diri sendiri. Ren Woxing yang memiliki tenaga dalam tinggi tentu dengan mudah dapat mengatasi kekacauan yang ditimbulkan oleh tenaga dalam hasil menghisap orang lain. Tapi sungguh sangat berbahaya bila tenaga liar itu mendadak mengacau pada saat bertarung menghadapi lawan tangguh seperti Zuo Lengchan tersebut. Menghadapi lawan tangguh tentu membuat tenaga banyak terkuras sehingga sulit untuk menekan serangan tenaga liar yang tiba-tiba muncul di dalam tubuh.

Siang dan malam Ren Woxing sibuk mencari cara untuk mengatasi pengaruh buruk yang ditimbulkan Jurus Penyedot Bintang tersebut. Pada saat sibuk memusatkan pikiran demi mengatasi tenaga-tenaga liar yang bergolak di dalam tubuh itulah, seorang tokoh mahacerdik semacam dirinya sampai lengah terhadap perangkap yang diatur oleh Dongfang Bubai, orang kepercayaannya sendiri. Akibatnya, ia harus mendekam selama belasan tahun di dasar Danau Barat. Tapi justru di tempat itulah ia dapat memusatkan pikiran tanpa gangguan dari luar sehingga berhasil menemukan cara untuk mengatasi tenaga-tenaga liar yang bergolak di dalam tubuh tersebut. Kini, Jurus Penyedot Bintang tidak lagi menimbulkan penyakit “senjata makan tuan” bagi dirinya.

Dalam pertarungan kali ini Ren Woxing mengerahkan Jurus Penyedot Bintang ketika kedua telapak tangannya beradu dengan tangan Zuo Lengchan. Tapi anehnya, tenaga dalam Zuo Lengchan ternyata kosong melompong entah ke mana. Ren Woxing terkejut karena lawan menggunakan ilmu yang sangat aneh seperti itu. Ia sama sekali tidak bisa menghisap tenaga dalam Zuo Lengchan. Tadi ia juga tidak mampu menghisap tenaga Mahabiksu Fangzheng karena Kepala Biara Shaolin itu secara tiba-tiba mampu menyembunyikan tenaga yang ia miliki. Kejadian seperti itu ternyata terulang kembali di babak kedua dan sama sekali tidak pernah terlintas dalam pikiran Ren Woxing.

Setelah tiga kali menggunakan Jurus Penyedot Bintang dan tetap tak bisa menyedot tenaga lawan, tiba-tiba Ren Woxing melihat Zuo Lengchan menusuknya dengan dua buah jari tangan kanan. Melihat gerak tusukan lawan tersebut sangat ganas, Ren Woxing mundur tiga langkah lalu mengubah jurusnya dan memukul dengan sembarangan. Kedua orang itu kembali bertarung lebih dari tiga puluh jurus. Ketika tangan kiri Ren Woxing menebas, Zuo Lengchan menyentilnya dengan jari tengah, lalu jari telunjuknya bergerak menotok ke arah iga lawan.

Melihat itu Ren Woxing berpikir, “Coba lihat, totokan jarimu ini mengandung tenaga atau tidak?” Maka, ia hanya sedikit memiringkan tubuh, seolah menghindar, padahal sengaja memberi peluang agar totokan lawan itu mengenai sasaran. Tujuan Ren Woxing adalah memberi peluang agar kedua jari Zuo Lengchan itu menusuk dadanya, sehingga Jurus Penyedot Bintang yang sudah dipersiapkan bisa langsung bekerja.

“Bila totokan jarimu ini tidak bertenaga, paling-paling aku hanya merasa geli saja. Tapi sebaliknya, kalau jarimu ini bertenaga, tentu tenagamu akan langsung kusedot habis dalam sekaligus,” demikian Ren Woxing berpikir.

Pada saat itulah kedua jari tangan kanan Zuo Lengchan sudah mencapai sasaran, tepat menusuk titik Tianchi pada bagian dada Ren Woxing. Jurus Penyedot Bintang pun langsung bekerja pula. Benar juga, dalam waktu singkat tenaga dalam Zuo Lengchan langsung bocor dan membanjir keluar bagaikan tanggul yang bobol, tersedot oleh Ren Woxing melalui titik tersebut. Anehnya, Zuo Lengchan ternyata tidak khawatir, sebaliknya malah tersenyum gembira, bahkan semakin mengerahkan tenaganya supaya tersedot jurus lawan.

Sebaliknya, badan Ren Woxing tiba-tiba mengejang. Dari pusarnya muncul suatu arus hawa dingin yang menjalar ke atas. Seketika kaki dan tangannya tidak bisa berkutik, seluruh urat nadi terasa macet pula dan tidak dapat mengalirkan darah.

Perlahan-lahan Zuo Lengchan menarik kembali tangannya dan bergeser mundur ke pinggir selangkah demi selangkah sambil menatap Ren Woxing tanpa bicara sedikit pun. Ren Woxing sendiri terlihat gemetar. Tangan dan kakinya kaku tidak bergerak. Keadaannya mirip seperti orang yang sedang tertotok jalan darahnya.

“Ayah!” teriak Ren Yingying sambil menubruk maju dan memegang badan Ren Woxing. Terasa lengan ayahnya itu dingin luar biasa. Dengan cepat ia menoleh dan memanggil, “Paman Xiang!”

Xiang Wentian pun memburu maju dan segera mengurut-urut beberapa kali bagian dada Ren Woxing. Setelah itu barulah Ren Woxing bisa bersuara dan pernapasannya kembali lancar.

“Hm, bagus, bagus!” kata Ren Woxing dengan muka pucat pasi. “Langkahmu ini sama sekali tak terpikir olehku. Mari kita ulangi lagi!”

Zuo Lengchan tidak menjawab, hanya menggeleng perlahan saja.

Yue Buqun menyahut, “Kalah dan menang sudah jelas terlihat. Untuk apa harus diulangi lagi? Bukankah titik Tianchi Tuan Ren sudah tertotok oleh Ketua Zuo?”

Ren Woxing mendengus dengan gusar, “Huh, benar juga! Aku telah tertipu. Baiklah, babak ini anggap saja aku yang kalah.”

Siasat yang digunakan Zuo Lengchan tadi benar-benar sangat berbahaya, bahkan bagi dirinya sendiri. Ia baru saja mengerahkan Tenaga Dalam Mahadingin yang dilatihnya selama belasan tahun dan sengaja membiarkannya dihisap oleh Ren Woxing. Ilmu tenaga dalam yang dilatih Zuo Lengchan ini serupa dengan Jurus Jari Langit Hitam milik Heibaizi dari Wisma Meizhuang , namun jauh lebih kuat. Setelah hawa murni dingin sebanyak itu merasuk ke dalam tubuh Ren Woxing melalui tusukan kedua jarinya, dalam sekejap sekujur tubuh Ren Woxing pun kaku membeku. Pada detik selanjutnya Zuo Lengchan lantas mengerahkan tenaga dalamnya lagi untuk menutup titik nadi lawan. Pada umumnya pertarungan menggunakan totokan semacam ini hanya digunakan oleh para pesilat kelas dua atau tiga. Namun tak disangka-sangka cara ini justru digunakan Zuo Lengchan untuk meraih kemenangannya. Meskipun menggunakan cara yang tidak jujur, namun hanya orang yang memiliki tenaga dalam mahatinggi seperti dirinya yang mampu menyempurnakan siasat tersebut.

Xiang Wentian mengetahui kalau tenaga dalam Zuo Lengchan sudah terkuras habis dan untuk memulihkan diri paling tidak membutuhkan waktu sedikitnya dua sampai tiga bulan. Maka, ia pun berkata, “Tadi Ketua Zuo menyatakan hendak melayani aku bila sudah mengalahkan Ketua Ren. Sekarang mari kita mulai.”

Mahabiksu Fangzheng, Pendeta Chongxu, dan yang lain mengetahui maksud ucapan Xiang Wentian tersebut. Setelah membekukan aliran darah lawannya, Zuo Lengchan tampak begitu pucat, bahkan tidak mampu bersuara sepatah kata pun. Apabila kedua orang itu benar-benar bertarung, maka Zuo Lengchan tidak hanya akan mengalami kekalahan, namun bisa-bisa terbunuh di tangan Xiang Wentian. Akan tetapi, Zuo Lengchan sendiri tadi memang telah berkata demikian, sehingga ia bisa dikatakan pengecut bila tidak menerima tantangan Xiang Wentian.

Tiba-tiba Yue Buqun menyela, “Sejak awal kita sudah sepakat mengadakan pertandingan tiga babak. Siapa saja jago yang akan maju tergantung kepada pilihan pihak masing-masing dan tidak boleh pihak lawan ikut menentukan. Bukankah Ketua Ren sendiri sudah menyetujuinya? Ketua Ren seorang kesatria sejati, mana mungkin mengingkari persetujuan ini?”

“Tuan Yue memang pintar bicara, pandai bersilat lidah,” kata Xiang Wentian sambil tersenyum. “Tapi kau sendiri masih terlalu jauh untuk bisa disebut sebagai ‘kesatria sejati’. Caramu berdebat mirip seorang pengecut yang tidak memegang janji.”

“Kesatria sejati atau pengecut tergantung kepada orangnya,” sahut Yue Buqun. “Cara penilaian kaum kesatria tentunya berbeda dibanding pandangan kaum pengecut. Bagi kaum kesatria, semua orang di dunia adalah baik. Bagi kaum pengecut, semua orang di dunia adalah buruk.”

Zuo Lengchan terlihat sedang menyeret kakinya kemudian bersandar pada salah satu tiang kayu. Keadaannya begitu lemah. Untuk berdiri saja susah, apalagi harus bertempur kembali.

Pendeta Chongxu lantas maju dua langkah dan berkata, “Sudah lama kudengar Tuan Xiang dijuluki sebagai Datuk Maharaja Langit, yang kemahirannya telah mengguncangkan dunia persilatan. Aku, si pendeta tua selaku Ketua Perguruan Wudang merasa malu dalam pertemuan ini belum melakukan apa-apa. Rasanya sungguh beruntung jika sebelum mengasingkan diri pada waktu yang tidak lama lagi aku bisa meminta petunjuk kepada Datuk Maharaja Langit. Sungguh hal ini merupakan kehormatan terbesar bagiku.”

Sebagai seorang ketua perguruan termasyhur, ucapannya itu sangat menghargai lawan, sehingga membuat Xiang Wentian sukar untuk menolak tantangan halus tersebut. Maka, Xiang Wentian pun menjawab, “Aku sangat menghormati permintaanmu. Sudah lama aku mengagumi Jurus Pedang Taiji dari Perguruan Wudang. Aku terpaksa harus memperlihatkan kebodohan diri sendiri demi melayani Pendeta Chongxu beberapa jurus.”

Xiang Wentian memberi hormat kemudian mundur dua langkah. Pendeta Chongxu membalas penghormatan. Kedua orang itu berdiri berhadapan dengan mata saling menatap tajam. Meskipun demikian, keduanya tidak langsung melolos senjata.

Baik Xiang Wentian maupun Pendeta Chongxu sama-sama memiliki nama besar di dunia persilatan. Namun demikian, sulit sekali untuk menebak siapa di antara mereka yang lebih unggul. Babak ketiga ini benar-benar merupakan babak penentuan, apakah Ren Woxing bertiga akan dikurung di Biara Shaolin ataukah bisa turun gunung dengan leluasa. Membayangkan hasil akhir pertandingan ini, jantung para hadirin berdebar-debar, begitu pula mereka berdua yang sedang berhadapan.

Tiba-tiba Ren Woxing berseru, “Tunggu dulu! Tolong kau mundur, Adik Xiang!” Usai berkata demikian ia lantas mencabut pedangnya yang tergantung di pinggang.

Kontan semua orang terperanjat melihat Ren Woxing menghunus senjata. Mereka sangsi apakah benar Ren Woxing berani bertarung melawan Pendeta Chongxu, padahal ia baru saja bertanding dua babak berturut-turut melawan dua orang ahli silat papan atas.

Tentu saja Zuo Lengchan menjadi orang yang paling terkejut. Ia merenung, “Hasil latihanku selama belasan tahun telah berhasil membekukan titik Tianchi di dadanya. Seorang pesilat yang sepuluh kali lebih hebat darinya pun membutuhkan waktu enam sampai tujuh jam untuk bisa pulih kembali dari totokanku. Bagaimana ia bisa begitu yakin hendak bertarung lagi?”

Saat itu tak seorang pun yang tahu bahwa Ren Woxing merasa perutnya sakit luar biasa seperti ditusuk-tusuk puluhan pisau. Untuk bicara saja terlihat sangat dipaksakan, apalagi bertempur kembali.

Pendeta Chongxu tersenyum dan berkata, “Apakah Ketua Ren bermaksud memberi petunjuk kepadaku? Tapi kurasa ini tidak adil dan sangat menguntungkan diriku jika Ketua Ren lagi yang maju lagi pada babak ketiga ini.”

Ren Woxing menjawab, “Aku baru saja mempertaruhkan jiwa dengan bertempur melawan dua tokoh silat papan atas. Jika aku bertanding lagi melawan Pendeta Chongxu, itu artinya terlalu memandang rendah kepada ilmu pedang Perguruan Wudang yang termasyhur selama ratusan tahun. Meskipun aku menjadi orang gila juga takkan melakukan itu.”

Pendeta Chongxu mengangguk gembira, “Terima kasih banyak, Ketua Ren.” Ketika melihat Ren Woxing mencabut pedang tadi, ia merasa serbasalah. Ia mengira Ren Woxing akan menantangnya bertarung di babak ketiga. Jika ia melayani tantangan itu dan mendapat kemenangan, tentu kemenangannya sangat tidak terhormat. Namun jika ia sampai kalah, tentu Perguruan Wudang akan kehilangan muka di dunia persilatan.

Ren Woxing melanjutkan, “Pendeta Chongxu adalah tenaga baru di pihak kalian. Maka, di pihak kami juga harus tampil seorang tenaga baru. Nah, adik cilik Linghu Chong, silakan turun kemari!”

Kata-kata ini benar-benar membuat semua orang terkejut. Serentak mereka ikut memandang ke arah papan nama yang dituju tatapan mata Ren Woxing.

Linghu Chong terkejut dan untuk sesaat merasa serbasalah. Karena tidak ada gunanya lagi bersembunyi, terpaksa ia meloncat ke bawah dan langsung berlutut menyembah di hadapan Mahabiksu Fangzheng. “Secara lancang aku telah menyusup ke dalam biara agung ini. Mohon Kepala Biara sudi menjatuhkan hukuman,” demikian ia berkata.

“Hahahaha, ternyata Pendekar Muda Linghu yang datang,” kata Fangzheng sambil tertawa terkekeh-kekeh. “Sejak tadi aku mendengar pernapasan Pendekar Muda sangat halus dan teratur, pertanda tenaga dalammu benar-benar melimpah. Aku sempat heran tokoh sakti mana lagi yang sudi berkunjung ke sini. Silakan bangun, silakan bangun, aku tidak berani menerima penghormatan setinggi ini.” Sambil berkata demikian ia membalas hormat dengan merangkap kedua tangan.

Linghu Chong terdiam dan berpikir, “Ternyata Mahabiksu Fangzheng sudah mengetahui kalau aku bersembunyi di balik papan nama itu.”

Xie Feng, Ketua Partai Pengemis tiba-tiba berseru, “Linghu Chong, coba kau lihat tulisan ini!”

Linghu Chong bangkit dan memandang ke arah tiang yang ditunjuk olehnya. Ternyata pada tiang kayu tersebut telah terukir tiga baris kalimat. Kalimat pertama berbunyi: “Di balik papan nama ada orang”. Lalu kalimat kedua berbunyi: “Akan kuseret dia turun”. Dan kalimat ketiga berbunyi: “Nanti dulu, hawa murni orang ini seperti dari golongan lurus, juga seperti dari golongan sesat. Belum jelas dia kawan atau lawan”.

Setiap huruf yang menyusun tulisan-tulisan tersebut masih baru dan terukir dalam. Kalimat pertama dan ketiga sepertinya hasil ukiran jari tangan Mahabiksu Fangzheng, sedangkan kalimat kedua berasal dari jari tangan Xie Feng. Menyadari hal itu Linghu Chong merenung kagum, “Mahabiksu Fangzheng mengetahui keberadaanku dan bisa menebak asal-usul tenaga dalamku hanya dengan merasakan pernapasanku yang sangat halus. Benar-benar seorang tokoh persilatan papan atas.”

Segera ia kembali berkata, “Mohon para Sesepuh sekalian sudi memberi maaf. Karena kedatangan para Sesepuh sekalian, aku merasa sangat ketakutan dan terpaksa bersembunyi di atas sana. Maafkan aku yang tidak berani turun untuk memberi hormat.”

Xie Feng menanggapi dengan tertawa, kemudian berkata, “Kenapa kau ketakutan seperti seorang pencuri? Memangnya kau hendak mencuri apa di Biara Shaolin ini?”

“Aku mendengar Nona Ren ditahan di sini. Maksud kedatanganku adalah hendak menjemputnya pulang,” jawab Linghu Chong.

“Haha, ternyata kedatanganmu ini hendak mencuri istri?” kata Xie Feng dengan tertawa. “Ini sebenarnya bukan hal yang menakutkan, tapi sangat memalukan.”

Linghu Chong menjawab dengan nada sungguh-sungguh, “Aku berhutang budi kepada Nona Ren. Sekalipun badanku hancur lebur demi dia, aku rela.”

“Sungguh sayang, sungguh sayang,” ujar Xie Feng sambil menghela napas. “Seorang pemuda baik-baik dan punya masa depan gemilang ternyata menjadi korban seorang wanita. Andai saja kau tidak terjerumus, maka jabatan Ketua Perguruan Huashan tidak mungkin bisa lari dari tanganmu.”

Ren Woxing menyela, “Hanya jabatan Ketua Perguruan Huashan, apa yang harus dibanggakan? Kelak kalau aku yang tua ini sudah mati, jabatan Ketua Sekte Matahari dan Bulan juga akan jatuh ke tangan menantu kesayanganku ini.”

Linghu Chong terkejut dan berkata dengan suara gemetar, “Oh, tidak … tidak ….”

“Sudahlah, tidak perlu banyak bicara lagi,” kata Ren Woxing dengan tertawa. “Nah, Chong’er, kenapa kau tidak segera meminta petunjuk kepada Ketua Perguruan Wudang itu? Pendeta Chongxu memiliki jurus pedang berupa perpaduan tenaga lembut dan kasar. Permainan pedangnya adalah menciptakan lingkaran-lingkaran sinar pedang yang mematikan, sungguh jarang ada tandingannya di dunia persilatan. Hendaknya kau berhati-hati.”

Ia memanggil Linghu Chong dengan sebutan “Chong’er”, seolah sudah menganggap pemuda itu sebagai anggota keluarga sendiri. Tentu saja Linghu Chong semakin merasa serbasulit.

Saat itu masing-masing pihak sudah menang satu babak, sehingga babak ketiga adalah babak yang sangat menentukan. Dulu Linghu Chong pernah bertanding pedang melawan Pendeta Chongxu dan dapat mengalahkannya. Maka, demi untuk menolong Ren Yingying mau tidak mau ia harus bertarung lagi menghadapi pendeta itu.

Segera ia memutar tubuh ke arah Pendeta Chongxu dan bersujud beberapa kali kepadanya. Chongxu terkejut dan buru-buru membangunkannya, sambil berkata, “Kenapa Pendekar Muda memakai adat setinggi ini? Aku tidak berani menerima penghormatan darimu.”

Linghu Chong menjawab, “Pendeta adalah kesatria agung yang memiliki perhatian besar kepadaku. Aku sangat menghormati Pendeta dan sekarang terpaksa harus meminta pelajaran dari Pendeta. Sungguh hatiku merasa sangat tidak enak.”

“Ah, kau ini terlalu banyak adat,” ujar Chongxu sambil tertawa.

Begitu Linghu Chong bangkit, Ren Woxing langsung menyodorkan pedang kepadanya. Ia menerima pedang itu lantas berdiri di sudut kiri dengan ujung pedang mengarah ke bawah. Pendeta Chongxu memandangnya sekejap, lalu berpaling dan memandang jauh ke angkasa. Ia termenung-menung sambil memikirkan pertarungan tempo hari.

Para hadirin terheran-heran melihatnya terdiam tak bergerak sama sekali seperti sedang bersamadi. Agak lama kemudian, tiba-tiba pendeta itu menghela napas panjang dan berkata, “Kita tidak perlu bertanding lagi. Kalian berempat boleh pergi.”

Kontan semua orang terperanjat mendengar ucapannya itu. Linghu Chong merasa sangat senang dan segera berlutut hendak memberi hormat, namun Chongxu buru-buru menjulurkan tangan untuk mencegahnya.

Xie Feng bertanya, “Apa maksud ucapanmu ini, Pendeta?”

Chongxu menjawab, “Aku tidak bisa menemukan cara untuk mematahkan ilmu pedangnya. Maka dalam babak ini aku mengaku kalah saja.”

“Tapi kalian belum bertanding, bukan?” tanya Xie Feng terheran-heran.

“Beberapa hari yang lalu di kaki Gunung Wudang aku pernah bertarung melawannya sampai lebih dari tiga ratus jurus, dan saat itu aku kalah,” jawab Chongxu. “Jika kami bertanding lagi hari ini, rasanya tetap saja aku tidak bisa menang.”

Fangzheng dan yang lain menegas, “Benarkah demikian?”

“Adik Linghu ini pernah mendapat pendidikan ilmu pedang dari Tuan Feng Qingyang. Aku sama sekali bukan tandingannya,” sahut Chongxu sambil tersenyum dan melangkah mundur.

Ren Woxing tertawa dan berkata, “Jiwa kesatria Pendeta Chongxu sungguh membuatku sangat kagum. Tadinya aku hanya kagum setengah saja. Tapi sekarang, aku kagum tiga perempat kepadamu.” Ia kemudian memberi hormat kepada Mahabiksu Fangzheng dan menyambung, “Kepala Biara, sampai berjumpa di lain waktu.”

Ren Woxing pura-pura menyerang Yu Canghai.

Babak kedua, Zuo Lengchan melawan Ren Woxing.

Zuo Lengchan membekukan titik nadi Ren Woxing.

Pendeta Chongxu mengaku kalah kepada Linghu Chong.

(Bersambung)