Bagian 85 - Terkurung di Biara

Linghu Chong memimpin kawan-kawan menyerbu ke bawah.

Linghu Chong kemudian melihat beberapa ratus orang yang dikirim turun gunung bersama Huang Boliu tadi juga kembali dalam keadaan kocar-kacir. Tidak sedikit dari mereka yang terkena anak panah. Seketika keadaan di luar biara menjadi kacau balau. Para pendekar yang lain berteriak-teriak gusar dan ingin lekas-lekas menyerbu ke bawah untuk bertempur melawan pihak penyerang.

Linghu Chong bertanya, “Apakah Ketua Huang dapat membedakan dari golongan mana pihak musuh yang menyerang tadi?”

Huang Boliu menjawab, “Kami tidak sempat mendekati tempat mereka. Orang-orang itu langsung menghujani kami dengan anak panah terus-menerus. Sungguh, kami tidak bisa melihat dengan jelas siapa yang telah menyerang kami itu.”

Zu Qianqiu berkata, “Sepertinya Perguruan Shaolin sengaja meninggalkan biara ini dengan tujuan memasang perangkap untuk menjebak kita. Mereka menggunakan siasat ‘menangkap kura-kura di dalam guci’.”

“Menangkap kura-kura di dalam guci apanya? Kenapa kau bisa membesar-besarkan keuatan musuh dan menilai rendah kehebatan sendiri?” bantah Lao Touzi. “Menurutku, mereka paling-paling hanya menggunakan siasat ‘memancing harimau masuk ke sarang sendiri’.”

Zu Qianqiu berkata, “Baiklah, anggap saja benar itu siasat ‘memancing harimau masuk sarang’, dan sekarang harimau-harimau pun sudah masuk ke sarangnya. Lantas, mau bicara apa lagi? Barangkali kawanan kepala gundul itu hendak membuat kita mati kelaparan dan mengubur kita di atas Gunung Shaoshi sini.”

Si Beruang Putih menyahut, “Hayo, siapa yang berani ikut aku menerjang ke bawah, membantai bajingan-bajingan itu?”

Serentak terdengar suara ribuan orang bergemuruh mendukungnya.

“Nanti dulu!” sahut Linghu Chong mencegah. “Musuh sudah mempersiapkan hujan panah untuk kita. Kita harus mencari cara untuk mengatasi hal ini agar tidak jatuh korban sia-sia.”

Ji Wushi berkata, “Di dalam biara memang tidak ditemukan makanan, tapi ada banyak bantal alas samadi yang mereka tinggalkan. Jumlahnya mencapai ribuan.”

Kata-kata ini membuat orang-orang tersadar. Serentak mereka pun berseru, “Benar, kita dapat gunakan bantal-bantal itu sebagai perisai.”

Seketika beberapa ratus orang pun menerobos masuk ke dalam biara dan mengusung keluar bantal-bantal samadi tersebut.

Linghu Chong segera berseru, “Kita gunakan bantal ini sebagai perisai. Kawan-kawan semuanya, mari kita beramai-ramai menerjang ke bawah!”

Ji Wushi menukas, “Ketua Linghu, sesudah kita turun ke bawah, lalu bagaimana cara kita menolong Gadis Suci? Di mana nanti kita harus berkumpul dan bagaimana rencana kita selanjutnya? Sebaiknya ini semua diatur lebih dulu.”

Linghu Chong menjawab, “Benar. Aku memang bodoh, segala urusan tidak bisa mengatur. Mana pantas aku tetap menjadi ketua perserikatan? Aku rasa sesudah menerjang keluar dari kepungan musuh, untuk sementara kita berpencar saja dan kembali ke tempat masing-masing, kemudian berusaha mencari tahu di mana keberadan Gadis Suci dan saling memberi kabar. Setelah itu barulah kita dapat mengatur tindakan selanjutnya.”

“Begitu juga boleh,” kata Ji Wushi. Ia segera meneruskan rencana Linghu Chong itu kepada yang lain.

Si Beruang Hitam menggerutu, “Keledai-keledai gundul itu sangat menyebalkan. Kawan-kawan, mari kita bakar saja biara setan ini!” Padahal ia sendiri seorang biksu namun tidak merasa tabu berkata seperti itu.

Para pendekar lainnya bersorak mendukung Beruang Hitam. Namun Linghu Chong segera mencegah, “Gadis Suci masih ada di tangan mereka. Setiap orang tidak boleh melakukan sesuatu yang bisa merugikan keselamatan Gadis Suci!”

Orang-orang itu pun mengangguk-angguk dan berseru, “Benar juga! Benar juga!”

Linghu Chong kemudian berkata pada Ji Wushi, “Saudara Ji, bagaimana cara kita menyerbu ke bawah, tolong diatur sekalian.”

Ji Wushi melihat Linghu Chong benar-benar tidak mempunyai kemampuan pemimpin, terutama pada saat menghadapi keadaan gawat demikian. Maka ia pun tidak segan-segan lagi mengambil alih perintah dan segera berteriak kepada pasukan, “Kawan-kawan sekalian, Ketua Linghu memerintahkan agar kita membagi diri ke dalam delapan kelompok yang menyerbu turun secara serentak. Masing-masing kelompok menerjang turun gunung melalui jurusan utara, barat laut, barat, barat daya, selatan, tenggara, timur, dan timur laut. Yang kita harapkan hanya bisa menerjang keluar dari kepungan musuh tapi tidak perlu banyak membunuh atau melukai orang.”

Begitulah, ribuan pendekar itu pun dibagi ke dalam delapan kelompok berdasarkan asal-usul perguruan atau partai mereka. Masing-masing kelompok beranggotakan sekitar tujuh atau delapan ratus orang. Ji Wushi kembali berkata, “Jurusan selatan adalah jalan yang paling lebar, tentunya paling banyak pula dijaga musuh. Ketua Linghu, mari kita mendahului menerjang melewati jalan selatan ini untuk memancing perhatian musuh, sehingga kawan-kawan yang lain bisa menyerbu melalui jurusan sisanya dengan lebih leluasa.”

“Baik!” jawab Linghu Chong singkat. Ia lalu menghunus pedang dan berjalan dengan langkah lebar menuju jalur selatan tanpa membawa bantal samadi.

Melihat sang ketua telah bergerak, semua orang menjadi bersemangat. Mereka pun berteriak-teriak dan ramai-ramai menerjang ke bawah sesuai jurusan yang ditentukan. Tentu saja dalam pegunungan itu tidak terdapat delapan jalur jalan yang sesungguhnya. Mula-mula mereka memang bergerak dalam delapan barisan. Tapi setelah berlari turun, semuanya pun tersebar dan tidak teratur lagi.

Linghu Chong dan kelompoknya berlari beberapa kilo ke bawah dan segera disambut oleh serangan musuh. Mula-mula terdengar suara gong berbunyi, lalu dari hutan depan berhamburan anak panah bagaikan hujan. Namun ia sudah bersiap siaga dan segera memainkan Jurus Mematahkan Senjata Rahasia, bagian dari Ilmu Sembilan Pedang Dugu. Pedangnya berputar dengan cepat menangkis semua anak panah yang menyambar ke arahnya. Kakinya pun tidak pernah berhenti, terus melangkah ke depan.

Tiba-tiba terdengar suara jeritan wanita di belakangnya. Rupanya kaki kiri dan bahu kiri Lan Fenghuang terkena panah secara bersamaan. Linghu Chong cepat-cepat berbalik dan memapahnya, sambil berkata, “Kulindungi kau ke bawah.”

“Jangan khawatirkan aku. Kau sendiri … kau sendiri menerjanglah ke bawah, itu lebih … lebih penting!” jawab Lan Fenghuang terbata-bata. Sementara itu hujan panah masih terus berlangsung, tapi semuanya dapat ditangkis oleh pedang Linghu Chong. Sebaliknya, para pengikutnya satu per satu berjatuhan terkena senjata musuh tersebut.

Linghu Chong segera merangkul pinggang kiri Lan Fenghuang dan membawanya lari turun gunung. Dengan pedang di tangan kanan ia terus menangkis semua panah yang berhamburan ke arahnya. Lama-lama ia merasa ngeri juga melihat hujan panah memenuhi udara. Dari terjangan panah-panah tersebut, ia dapat merasakan kekuatan tenaga dalam pihak musuh yang melakukan penembakan. Selain dahsyat, serangan anak panah tersebut juga gencar dan rapat. Meskipun para pengikutnya membawa bantal samadi, namun itu tidak cukup kuat untuk menahan gempuran panah-panah tersebut. Linghu Chong semakin bingung menentukan tetap melanjutkan perjalanan turun gunung, ataukah kembali ke biara.

Terdengar Ji Wushi berteriak, “Ketua, panah musuh ada di mana-mana. Perjalanan ke bawah tidak mungkin kita lanjutkan. Saudara-saudara kita banyak yang terluka dan mati. Lebih baik kita kembali ke biara untuk menyusun rencana baru.”

Linghu Chong menyadari bahwa pihaknya saat ini telah mengalami kekalahan. Jika diteruskan tentu keadan semakin bertambah parah. Ia akhirnya berteriak keras, “Kawan-kawan semuanya, kita kembali ke biara Shaolin! Semuanya, kembalilah ke dalam biara!” Meskipun keadaan begitu ramai oleh jeritan dan teriakan, namun suara Linghu Chong tetap saja bisa terdengar karena disertai tenaga dalam yang luar biasa. Ditambah lagi Ji Wushi, Zu Qianqiu, dan puluhan lainnya ikut berteriak-teriak melanjutkan perintahnya, “Perintah dari Ketua! Perintah dari Ketua! Semuanya segeralah kembali ke Biara Shaolin! Segera kembali ke Biara Shaolin!”

Maka, orang-orang itu pun kembali berjalan naik menuju ke arah biara. Sesampainya di depan bangunan mereka pun mencaci maki, mengutuk, dan ada pula yang merintih dan berteriak-teriak. Jalanan gunung dari sisi barat sampai timur terlihat berwarna merah oleh ceceran darah. Ji Wushi memerintahkan delapan ratus orang yang tidak terluka supaya berpencar menjadi delapan kelompok untuk menjaga delapan jalur menuju biara.

Ribuan orang yang memenuhi Biara Shaolin itu terdiri dari berbagai macam golongan. Setengah di antaranya berasal dari partai dan perguruan yang taat kepada atasan masing-masing, sehingga cukup mudah untuk dikendalikan. Sementara sisanya berasal dari kaum liar, seperti para penjahat dan perampok, sehingga begitu menderita kekalahan mereka langsung kebingungan dan tidak tahu harus berbuat apa.

Linghu Chong berkata, “Kita harus segera mengobati kawan-kawan yang terluka! Beri mereka obat-obatan!” Ia terdiam sejenak kemudian bergumam sendiri, “Andai saja murid-murid Perguruan Henshan ada di sini, tentu obat mujarab milik mereka sangat bermanfaat. Tapi, apakah mereka akan menolong kami, ataukah berada di pihak musuh? Ah, kedua biksuni sepuh telah gugur, tentu murid-murid Perguruan Henshan memilih bergabung dengan kami.”

Menghadapi kegaduhan dan banyaknya orang yang terluka itu, mau tidak mau pikiran Linghu Chong ikut bingung. Kalau saja ia sendirian yang terkepung di puncak gunung tentu sejak tadi sudah menerjang ke bawah. Ia tidak peduli entah mati, entah hidup, bukan masalah lagi baginya. Namun sekarang ia telah diangkat menjadi ketua perserikatan orang-orang sebanyak itu. Jiwa ribuan orang ini sekarang bergantung kepada setiap keputusannya, tapi ia tidak tahu harus bagaimana, sungguh dalam hati merasa sangat malu.

Sementara itu matahari telah terbenam. Tiba-tiba dari arah bawah terdengar suara genderang bergemuruh disertai teriakan-teriakan gegap gempita. Linghu Chong segera melolos pedang dan berlari ke ujung jalan. Para pengikutnya juga bersiap dengan senjata masing-masing karena sama-sama menduga pihak musuh akan naik ke atas untuk menyerbu.

Suara genderang itu terdengar semakin lama semakin keras, tapi musuh tidak juga terlihat datang. Selang agak lama, tiba-tiba suara genderang itu berhenti serentak. Maka muncullah bermacam-macam pendapat. Ada yang mengatakan, “Suara genderang sudah berhenti, tentu mereka mulai menyerbu!” Yang lain menanggapi, “Kebetulan jika mereka berani menyerbu ke sini, kita akan bantai mereka hingga habis sama sekali.” Ada juga yang berkata, “Kurang ajar! Rupanya kawanan bajingan itu hendak membuat kita mati kehausan dan kelaparan di sini. Jika mereka tidak menyerbu kemari, sekarang juga kita yang akan menerjang ke bawah!” Yang lain berseru, “Kalau begitu, kenapa kau masih saja berdiri di sini?”

Ji Wushi berkata lirih kepada Linghu Chong, “Kalau kita tidak bisa lolos dan kelaparan sehari semalam lagi di sini, maka kita tidak punya tenaga untuk bertempur.”

“Benar,” sahut Linghu Chong. “Marilah kita pilih dua sampai tiga ratus teman yang berkepandaian tinggi sebagai pembuka jalan. Dalam kegelapan seperti ini serangan panah musuh tentu kurang jitu. Kita serbu saja ke bawah untuk mengacaukan penjagaan mereka, selanjutnya kawan-kawan yang lain ikut menerjang pula.”

“Ya, terpaksa harus demikian,” ujar Ji Wushi.

Pada saat itu juga suara genderang di bawah gunung kembali berbunyi. Menyusul kemudian sekitar seratus orang memakai ikat kepala putih menyerbu ke atas. Kawanan pendekar di biara menyambut serangan sambil membentak-bentak. Tapi pertempuran itu ternyata hanya berlangsung dalam beberapa kali gebrak saja kemudian mereka lantas saling memberi isyarat dan mengundurkan diri ke bawah.

Baru saja para pendekar menaruh senjata, belum ada lima menit beristirahat, tiba-tiba suara genderang kembali bergemuruh. Lagi-lagi satu kelompok musuh berikat kepala putih menyerbu ke atas. Setelah bertempur sebentar mereka pun mundur begitu saja. Namun kali ini suara genderang tetap dibiarkan berbunyi bertalu-talu.

Mengetahui hal ini Ji Wushi pun berkata, “Ketua, rupanya musuh menggunakan siasat untuk membuat kita lelah. Mereka akan terus-menerus mengganggu istirahat kita.”

“Benar,” sahut Linghu Chong. “Silakan Saudara Ji mengatur siasat perlawanan.”

Ji Wushi segera memberikan perintah, yaitu apabila musuh kembali menyerbu ke atas, cukup dilayani beberapa ratus pendekar yang bertugas jaga saja. Untuk ribuan yang lain boleh tetap beristirahat, tidak perlu menghiraukan pertempuran.

Zu Qianqiu kemudian mengajukan usul, “Ketua, apabila musuh datang lagi, maka kita ganti mengirim tiga ratus kawan yang memakai ikat kepala putih menerjang ke bawah. Di tengah gelapnya malam, pihak musuh tidak mungkin bisa membedakan dan tidak mungkin pula menghujani mereka dengan panah. Nah, kawan-kawan kita itulah nanti yang melakukan serangan balasan sehingga terjadi kekacauan, dan pada saat itulah kita menyerbu ke bawah untuk melakukan penggempuran.”

“Rencana bagus,” ujar Linghu Chong. “Mohon bantuan Saudara Zu memilih kawan-kawan yang dapat diandalkan. Sampaikan juga kepada yang lain, supaya menunggu pertahanan musuh kacau-balau barulah segera ikut menyerbu.”

Satu jam kemudian Zu Qianqiu menyampaikan laporan bahwa ia telah menyiapkan tiga ratus pendekar terbaik di antara rombongan yang tersisa. Mereka adalah para pendekar berilmu tinggi yang siap mati-matian menerobos ke bawah dan membuat kekacauan meskipun ribuan musuh berusaha menghadang. Mereka sungguh bagaikan tiga ratus harimau lapar yang tidak takut mati. Linghu Chong kemudian berjalan didampingi Zu Qianqiu untuk memeriksa kesiapan pasukan tersebut. Tiga ratus orang itu tampak berbaris rapi di tebing gunung sisi barat.

Linghu Chong berkata, “Kawan-kawan silakan beristirahat dulu. Tunggu sampai keadaan benar-benar gelap untuk menyerbu ke bawah. Kita akan mengadu nyawa!”

Ucapannya pun disambut oleh sorak-sorai ketiga ratus jago itu dengan penuh semangat.

Saat ini hujan salju telah turun dengan lebatnya. Bunga salju bertebaran laksana kapas, dan membentuk lapisan tipis menutupi tanah. Dalam sekejap kepala dan pakaian semua orang juga sudah tertutup lapisan salju. Di dalam biara tidak terdapat setetes air pun, sumur juga sudah ditimbun dengan tanah. Maka, ribuan orang itu pun ramai-ramai meraup bola salju untuk dimasukkan ke dalam mulut sebagai penawar dahaga.

Cuaca semakin bertambah gelap dan pekat. Sampai-sampai dua orang yang berhadapan saja tidak bisa saling melihat wajah. Di tengah kegelapan itu terdengar Zu Qianqiu berkata, “Untung saja malam ini hujan salju. Jika tidak, tentu suasana akan terang benderang oleh cahaya bulan purnama.”

Tiba-tiba keadaan menjadi sunyi senyap. Jumlah para pendekar yang berkumpul di dalam biara dan di sekitarnya ada ribuan orang, sedangkan pihak lawan di lereng gunung yang juga terdiri dari ribuan orang-orang aliran lurus paling tidak juga berjumlah tiga atau empat ribu orang. Namun mereka semua sama-sama diam tanpa bersuara. Jika ada yang hendak berbicara segera ditelan kembali karena ada perasaan ngeri menyaksikan suasana yang begitu hening. Yang kadang-kadang terdengar oleh mereka hanya suara-suara gemerisik aneh, mungkin itu suara daun atau semak rumput yang tertimpa bunga salju.

Dalam keheningan tiba-tiba Linghu Chong terkenang kepada Yue Lingshan, dan ia pun berpikir, “Saat ini entah apa yang sedang dilakukan Adik Kecil?”

Tiba-tiba dari arah lereng gunung terdengar suara tiupan terompet, menyusul kemudian dari segenap penjuru bergemuruh suara teriakan menyerbu. Kali ini pihak musuh rupanya bersungguh-sungguh hendak menyerbu dengan memanfaatkan keadaan gelap gulita.

Linghu Chong mengacungkan pedangnya sambil berteriak, “Kita hadapi mereka!” Segera ia mendahului berlari ke bawah melalui jalur barat laut, diikuti Ji Wushi, Zu Qianqiu, Tian Boguang, Sepasang Beruang Gurun Utara, serta tiga ratus jago pilihan yang telah disiapkan tadi.

Setelah melewati satu li, Zu Qianqiu menyulut kembang api yang kemudian melesat dan meletus di angkasa. Semburan cahaya kembang api itu merupakan isyarat kepada para pendekar yang masih menunggu di atas supaya segera ikut menerjang ke bawah.

Tiba-tiba Linghu Chong merasa telapak kakinya kesakitan, seperti menginjak benda tajam sebangsa paku. Dengan cepat ia pun meloncat ke atas dan hinggap di atas pohon. Pada saat yang sama terdengar Zu Qianqiu dan yang lain juga berteriak kesakitan. Agaknya mereka juga menginjak paku lancip, bahkan ada yang sampai menembus punggung kaki. Tentu sakitnya bukan kepalang. Sementara itu beberapa puluh di antara mereka tetap nekat menerjang ke bawah tanpa menghiraukan rasa sakit di kaki. Tapi mendadak mereka pun menjerit, karena terjerumus ke dalam liang jebakan. Sekejap kemudian dari semak-semak pohon menjulur keluar belasan tombak menusuk ke dalam lubang itu. Seketika terdengarlah suara jeritan ngeri memenuhi pegunungan tersebut.

Ji Wushi pun berseru, “Lekas Ketua memberi perintah agar semuanya mundur kembali ke atas!”

Linghu Chong menyadari betapa rapi jebakan yang dipersiapkan musuh. Jika ia nekat meneruskan rencana, tentu korban yang jatuh akan semakin bertambah banyak. Maka, ia pun berseru lantang, “Kawan-kawan semua, kita kembali ke Biara Shaolin! Mundur semua!”

Bersamaan itu ia lantas melompat dari satu pohon ke pohon yang lain untuk mendekati lubang perangkap musuh. Dari atas ia menerjang ke bawah sambil memutar pedang. Dalam sekejap tiga musuh bersenjata tombak pun dirobohkan. Kemudian ia menjejakkan kaki di tempat bekas berdiri lawan, karena yakin di situ pasti tidak terdapat paku-paku jebakan. Menyusul pedangnya berkelebat lagi, dan sekitar tujuh orang musuh kembali roboh. Kontan yang lainnya menjadi sangat ketakutan. Sambil berteriak-teriak mereka kabur melarikan diri.

Lebih dari empat puluh kawan yang terjerumus ke dalam lubang jebakan lantas melompat keluar satu per satu, namun belasan lainnya sudah terlanjur tewas. Keadaan masih gelap gulita dan kadang-kadang terlihat seberkas cahaya akibat pantulan bunga salju. Mereka khawatir jangan-jangan pihak musuh mempersiapkan lubang perangkap lain. Maka, dengan perasaan putus asa, para pendekar itu terpaksa kembali ke atas gunung dengan kaki terpincang-pincang. Untung saja tidak ada musuh yang ikut mengejar.

Sesampainya di Biara Shaolin, di bawah cahaya lentera mereka memeriksa luka masing-masing. Ternyata hampir sembilan puluh persen dari orang-orang itu berdarah pada kakinya, bahkan ada yang sampai tertembus paku. Banyak dari mereka yang marah-marah dan mencaci maki. Rupanya suara gemuruh genderang yang dibunyikan tadi hanya sebagai pengalih perhatian sewaktu pihak musuh menanam paku-paku dan menggali lubang jebakan. Paku-paku itu panjangnya belasan senti, dua pertiga bagian ditanam di tanah, dan sepertiga sisanya menonjol di permukaan. Tajamnya bukan main. Kalau seluruh permukaan gunung dipasangi paku demikian, tentu sukar mencari jalan untuk meloloskan diri. Sulit dibayangkan entah berapa banyak paku yang telah ditanam musuh. Linghu Chong sendiri tertegun menyadari pihak musuh ternyata sudah mempersiapkan diri dengan sangat matang demi menghadapi pihaknya yang menyerbu Biara Shaolin.

Ji Wushi menarik Linghu Chong ke samping dan berkata lirih, “Ketua, bagaimanapun juga kita sukar untuk menerjang keluar dari kepungan musuh. Cita-cita yang kita harapkan siang dan malam, yaitu membebaskan Gadis Suci, tugas yang mahabesar ini terpaksa harus Ketua sendiri yang memikulnya kelak.”

“Apa maksud … maksud Saudara Ji?” sahut Linghu Chong menegas.

“Kami tahu Ketua berbudi luhur dan memiliki jiwa setia kawan sejati. Bagaimanapun juga Ketua tidak sudi menyelamatkan diri sendiri dengan meninggalkan kawan-kawan di sini,” kata Ji Wushi. “Tapi kalau semuanya gugur, lantas siapa yang kelak akan menuntut balas bagi kami? Siapa pula yang akan menolong Gadis Suci dari kurungan musuh?”

“Hehe, ternyata Saudara Ji menyuruh aku melarikan diri sendiri,” kata Linghu Chong sambil tersenyum getir. “Sudahlah, masalah ini jangan kau sebut-sebut lagi. Kalau harus mati biarlah kita mati bersama. Manusia mana yang tidak akan mati? Sekarang kita mati semua, nanti Gadis Suci juga akan mati dalam kurungan musuh. Sekarang kaum aliran lurus boleh menang, tapi kelak, entah setahun entah sepuluh tahun lagi satu per satu dari mereka juga akan mati. Kalah atau menang hanyalah soal mati sekarang atau mati kelak, itu saja.”

Melihat Linghu Chong sukar dibujuk, Ji Wushi merasa tidak ada gunanya banyak bicara lagi. Baginya, malam yang gelap gulita ini harus dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk melarikan diri. Besok pagi apabila musuh menyerang secara besar-besaran tentu tidak ada kesempatan untuk lolos. Namun karena Linghu Chong menolak, membuat Ji Wushi hanya bisa menghela napas panjang.

Tiba-tiba terdengar suara gelak tawa beberapa orang, yang makin lama makin terbahak-bahak. Padahal setelah mengalami kekalahan telak dan terkurung di dalam Biara Shaolin, setiap orang boleh dikata sedang membayangkan bagaimana mereka akan segera bertemu ajal. Tapi ternyata ada juga dari mereka yang sempat tertawa sedemikian gembira. Begitu mendengarnya, Linghu Chong dan Ji Wushi langsung mengenali bahwa yang sedang bergembira tersebut tidak lain adalah Enam Dewa Lembah Persik. Keduanya pun berpikir, “Hanya manusia-manusia dungu semacam mereka inilah yang masih bisa tertawa meski kematian sudah di depan mata.”

Terdengar Dewa Ranting Persik berkata, “Hahaha, di dunia ini ternyata ada juga orang bodoh seperti kalian ini. Kaki sendiri diinjakkan pada paku. Hahahaha, sungguh menggelikan!”

“Huhuuh! Mungkin kalian kaum tolol sengaja ingin tahu telapak kaki kalian lebih keras daripada paku atau tidak. Hahaha! Enak ya, rasanya kaki ditembus paku?” ujar Dewa Daun Persik menambahkan.

“Kalau mau merasakan enaknya paku, bukankah lebih baik kalian memukul pakunya dengan palu dari atas tapak kaki saja? Hehehe, benar-benar lucu, hahahahaha!” Dewa Bunga Persik ikut mengejek.

Begitulah, keenam bersaudara itu terus tertawa geli dengan napas tersengal-sengal disertai bermacam-macam ocehan yang mencemooh, seakan-akan tidak ada sesuatu pun yang lebih menggelikan daripada apa yang mereka saksikan saat ini.

Padahal orang-orang yang terluka itu sedang merintih kesakitan, sebaliknya Enam Dewa Lembah Persik malah menertawakan mereka. Kontan saja mereka menjadi gusar dan sangat marah. Namun mereka juga bingung bagaimana harus memaki keenam bersaudara itu karena setiap makian yang dikeluarkan pasti akan diperdebatkan sehingga urusan menjadi semakin panjang. Maka yang terjadi kemudian adalah suara ribut-ribut karena ada beberapa orang yang lantas melolos senjata hendak melabrak mereka berenam.

Linghu Chong khawatir urusan menjadi runyam. Maka ia pun berteriak, “Hei, hei, apa itu? Hahaha, sungguh lucu! Sungguh aneh!”

Mendengar teriakan itu, Enam Dewa Lembah Persik penasaran. Beramai-ramai mereka lari mendekat dan bertanya, “Apa yang lucu? Apa yang aneh?”

“Itu dia! Aku melihat enam tikus menyeret seekor kucing dan lari ke sana!” sahut Linghu Chong.

Enam Dewa Lembah Persik terlihat senang. Mereka lantas berseru, “Aha, tikus makan kucing! Ini sungguh luar biasa! Ke mana larinya?”

“Ke sana!” kata Linghu Chong sambil menunjuk sembarangan.

“Ayo, kita harus melihatnya ke sana!” seru Dewa Akar Persik sambil menarik tangan Linghu Chong.

Semua orang tahu bahwa perkataan Linghu Chong adalah untuk menyindir Enam Dewa Lembah Persik. Tapi dasar orang dungu, sedikit pun mereka tidak sadar, bahkan percaya sepenuhnya. Kontan semua orang tertawa terbahak-bahak.

Sebaliknya Enam Dewa Lembah Persik tetap menarik Linghu Chong berlari ke arah yang ditunjuk tadi untuk melihat “enam tikus menyeret kucing”.

Setibanya di ruang belakang, Linghu Chong berseru lagi, “Nah, nah! Itu dia!”

“Di mana, di mana? Kenapa aku tidak melihatnya?” tanya Dewa Buah Persik penasaran.

Linghu Chong sengaja memancing Enam Dewa Lembah Persik supaya berpisah sejauh mungkin dari yang lain agar tidak menimbulkan keributan. Maka ia sengaja menunjuk ke sana-sini, sehingga mereka semakin jauh memasuki biara.

Dewa Dahan Persik kemudian mendorong sebuah pintu kamar samping. Di dalamnya ternyata gelap gulita. Segera Linghu Chong berseru tertawa, “Hahahaha. Itu dia! Kucing itu telah diseret enam tikus ke dalam liang.”

“Mana ada liang? Kau jangan berbohong!” seru Dewa Akar Persik. Ia lantas menyalakan pemantik api, ternyata kamar itu kosong melompong. Di dalam hanya terdapat sebuah patung Boddhisatwa duduk bersila menghadap dinding.

Dewa Akar Persik menyalakan pelita minyak yang tergantung di dinding, kemudian berkata, “Mana ada liang? Mari kita giring tikusnya biar keluar!” Dengan pelita itu ia memeriksa ke sekeliling kamar, tapi tidak ada satu pun liang yang ditemukan.

“Mungkin di belakang patung itu?” ujar Dewa Akar Persik.

“Di belakang patung ini ada kita bertujuh. Memangnya kita ini tikus?” kata Dewa Dahan Persik.

“Patung ini menghadap dinding. Berarti muka patung ini adalah belakangnya,” sahut Dewa Akar Persik tidak mau menyerah.

“Sudah salah omong masih saja ngotot! Memangnya belakang sama dengan muka?” bantah Dewa Dahan Persik.

“Peduli apa depan atau belakang, yang penting kita singkirkan saja patung ini dan memeriksa apa ada liang di baliknya,” kata Dewa Bunga Persik.

“Benar!” seru Dewa Daun Persik dan Dewa Buah Persik bersamaan. Mereka bertiga segera memegang patung itu lantas ditarik dan bergeser ke samping.

Menyadari bentuk patung tersebut, Linghu Chong segera berteriak, “Hei, jangan! Itu patung Leluhur Boddhidharma!”

Boddhidharma adalah cikal bakal pendiri Biara Shaolin, juga cikal bakal ilmu silat perguruan yang termasyhur itu. Ia dahulu pernah bersamadi menghadap dinding selama sembilan tahun dan mencapai kesempurnaan. Maka, patung yang dipuja di dalam biara agung itu pun menghadap dinding pula. Sebelum penyerbuan, Linghu Chong telah berpesan supaya benda-benda dalam biara jangan sampai dirusak atau dilecehkan. Itulah sebabnya para pendekar yang menggeledah biara tidak berani mengusik patung-patung tersebut, terutama patung Boddhidharma.

Namun hal ini tidak dihiraukan oleh Enam Dewa Lembah Persik. Sekali mereka berkata demikian sukar untuk dikendalikan lagi. Seruan Linghu Chong tidak mereka dengarkan, bahkan mereka masih terus menarik sekuat tenaga. Maka terdengarlah suara berderit yang mengilukan. Patung itu telah ditarik berputar. Tiba-tiba mereka berteriak kaget. Ternyata sepotong papan besi di depan mereka perlahan-lahan bergeser ke atas dan terdapat sebuah liang lebar di belakangnya.

“Haha, ternyata benar ada liang di sini!” seru Dewa Ranting Persik senang.

“Akan kutangkap tikus-tikus itu!” kata Dewa Akar Persik. Segera ia mendahului menerobos ke dalam liang itu. Tentu saja kelima adiknya juga tidak mau ketinggalan. Berturut-turut mereka pun ikut masuk ke dalam liang.

Ternyata liang tersebut sangat luas di bagian dalamnya. Begitu masuk keenam bersaudara itu tidak bisa melihat apa-apa, hanya mendengar suara langkah kaki mereka yang terus berjalan menuju ke depan. Tapi mendadak mereka berteriak-teriak dan berlari keluar lagi.

“Di dalam teramat gelap. Entah sampai di mana ujungnya?” kata Dewa Ranting Persik.

“Kalau kau bilang gelap, dari mana kau tahu ujungnya sukar dicapai?” bantah Dewa Daun Persik. “Bisa jadi beberapa langkah lagi kita akan mencapai ujungnya.”

“Jika kau tahu hampir mencapai ujungnya, kenapa kau masih di sini dan tidak terus melangkah?” sahut Dewa Ranting Persik.

“Aku hanya bilang ‘bisa jadi’ dan tidak mengatakan ‘pasti’. Bisa jadi dan pasti itu sangat berbeda,” jawab Dewa Daun Persik.

“Jika cuma main duga-dugaan, buat apa banyak bicara lagi?” gerutu Dewa Ranting Persik.

“Sudahlah, tak perlu ribut! Lekas nyalakan dua obor dan coba periksa lagi ke dalam!” kata Dewa Akar Persik.

“Kenapa hanya dua obor? Kenapa tidak tiga obor?” sahut Dewa Buah Persik.

“Kalau kita menyalakan tiga obor, mengapa tidak empat sekalian saja?” sambung Dewa Bunga Persik.

Meskipun terus-menerus mengoceh tidak jelas, tapi cara kerja mereka cepat juga. Beramai-ramai mereka mematahkan empat kaki meja dan menyalakannya sebagai obor. Seperti anak kecil mereka pun berebut obor yang cuma empat itu, lalu menyusup kembali ke dalam liang tadi.

Linghu Chong melihat semuanya dan berpikir, “Jangan-jangan ini adalah lorong rahasia bawah tanah Biara Shaolin seperti yang terdapat pada Wisma Meizhuang? Jangan-jangan Yingying dikurung di dalam lorong rahasia ini?” Membayangkan demikian membuat jantungnya lantas berdebar-debar dan ia pun segera ikut menyusup ke dalam.

Ternyata lorong tersebut sangat luas dan tidak lembap seperti di Wisma Meizhuang, tetapi berbau pengap, membuat napas terasa sesak. Dengan langkah lebar ia dapat menyusul Enam Dewa Lembah Persik. Terdengar Dewa Buah Persik sedang berkata, “Kenapa tikus-tikus itu tidak tampak? Mungkin tidak masuk ke lubang ini.”

“Jika begitu marilah kita keluar saja dan mencari ke lain tempat,” tukas Dewa Ranting Persik.

“Kita kembali nanti saja bila sudah mencapai ujung lorong ini,” ujar Dewa Dahan Persik.

Mereka melanjutkan penyusuran ke depan. Tiba-tiba sebuah tongkat samadi berayun keras dan menimpa mereka dari atas. Dewa Bunga Persik yang berjalan paling depan sempat melompat mundur sehingga pukulan tongkat itu meleset. Namun begitu, ia jatuh menumbuk Dewa Buah Persik yang berjalan di belakangnya. Mereka pun melihat seorang biksu memegang tongkat bergerak merapat ke dinding sebelah kanan.

Dengan gusar Dewa Bunga Persik memaki, “Keledai gundul, kau berani sembunyi di sini dan menyergap tuan besarmu, hah?” Bersamaan itu ia terus menubruk maju dan mencengkeram ke dinding.

Tapi mendadak dari dinding sebelah kiri kembali sebatang tongkat menyambar. Serangan ini telah menutup rapat jalan mundur Dewa Bunga Persik. Karena tidak bisa menghindar, terpaksa ia melompat maju. Tapi baru saja sebelah kakinya menginjak tanah, lagi-lagi sebatang tongkat menyambar dari sisi kanan.

Linghu Chong dapat melihat dengan jelas bahwa biksu yang memainkan tongkat tersebut bukanlah manusia, tapi sepasang patung besi yang bisa bergerak. Sungguh hebat kepandaian Perguruan Shaolin. Entah bagaimana cara memasangnya, asalkan ada yang menginjak suatu alat di lantai, segera saja patung itu bergerak seperti hidup dan memukulkan tongkatnya. Bahkan, kedua patung itu bisa bergiliran maju dan mundur secara rapi.

Dewa Bunga Persik segera mencabut pentungan besi di pinggangnya untuk menangkis. Tapi pentungan itu langsung terlepas dari tangan begitu berbenturan dengan tongkat si patung besi. Dewa Bunga Persik menjerit dan menjatuhkan diri ke lantai untuk kemudian menggelinding ke tepi. Namun sebatang tongkat lain kembali menghantam ke arah kepalanya pula.

Dewa Akar Persik dan Dewa Ranting Persik segera melolos pentungan masing-masing dan melompat maju untuk menolong adik mereka. Bersama-sama keduanya pun menangkis pukulan tongkat si patung besi sehingga Dewa Bunga Persik bisa menyelamatkan diri.

Begitu satu pukulan tertangkis, kembali patung besi yang lain menggerakkan tongkatnya. Dewa Dahan Persik, Dewa Daun Persik, dan Dewa Buah Persik maju bersama untuk membantu. Dengan lima pentungan mereka menandingi serangan-serangan tongkat tersebut dari dekat dinding.

Meskipun patung-patung biksu besi itu hanyalah benda mati, tapi penciptanya sungguh teramat pandai. Seandainya si pencipta bukan seorang ahli silat, namun bisa jadi ada jago pandai Biara Shaolin yang memberikan petunjuk-petunjuk sewaktu patung-patung itu dipasang. Itulah sebabnya, setiap gerakan tongkat yang terayun mencerminkan jurus-jurus yang sangat ampuh. Dan yang luar biasa lagi, lengan dan tongkat yang digunakan patung-patung itu semuanya terbuat dari baja murni. Benda seberat beberapa ratus kati tersebut digerakkan menggunakan peralatan yang rumit, sehingga daya pukulannya pun jauh lebih kuat daripada manusia biasa.

Walaupun ilmu silat Enam Dewa Lembah Persik cukup tinggi, tapi pentungan mereka terlalu pendek sehingga sama sekali tidak berdaya bila berbenturan dengan tongkat baja tersebut. Mereka berkali-kali mengeluh ingin mundur saja, namun di belakang ternyata sudah ada pukulan-pukulan tongkat yang terus menyambar silih berganti. Sebaliknya, jika melangkah maju justru membuat beberapa patung biksu besi yang tadinya diam ikut bergerak, sehingga jumlah sambaran tongkat menjadi semakin banyak.

Melihat keadaan yang gawat itu, Linghu Chong cepat bertindak. Meskipun serangan patung-patung besi itu sangat dahsyat, namun ia dapat melihat banyak terdapat celah kelemahan pada setiap jurus mereka. Segera ia pun menusukkan pedangnya ke arah pergelangan kedua patung besi itu. Terdengar kemudian suara nyaring dua kali yang disertai percikan bunga api, tapi pedangnya sendiri justru terpental balik.

Pada saat itulah tiba-tiba terdengar jeritan Dewa Akar Persik akibat terkena pukulan tongkat. Linghu Chong sendiri sudah cukup gelisah, kini bertambah cemas. Pedangnya bergerak lagi, kembali dua patung tertusuk, tapi tetap kokoh berdiri. Sebaliknya, sebuah tongkat tahu-tahu menyambar dari atas. Dengan perasaan cemas, Linghu Chong menghindar sambil melangkah maju. Namun, kembali sebuah tongkat memukul pula.

Linghu Chong kembali menusuk dua titik penting pada dada patung biksu besi itu. Namun, tusukan yang sangat kuat itu hanyalah menggores karat saja. Selanjutnya, ia merasakan angin menderu di atas kepalanya. Rupanya tongkat si patung besi menyambar ke arahnya. Ia pun menghindar namun sebatang tongkat besi yang lain kembali datang menyambar pula.

Tiba-tiba suasana menjadi gelap gulita. Ternyata keempat obor yang dibawa Enam Dewa Lembah Persik telah berjatuhan ke lantai akibat pertempuran sengit itu. Tadi sewaktu Linghu Chong maju menyerang, yang masih menyala hanya satu obor, namun kini semuanya telah padam. Padahal keistimewaan ilmu Sembilan Pedang Dugu adalah mematahkan setiap serangan lawan melalui titik kelemahan yang dilihatnya. Kini keadaan telah gelap gulita, tentu membuatnya menjadi kelabakan. Menyusul kemudian bahu kirinya terasa sakit dan tubuhnya pun jatuh tersungkur ke depan. Bersamaan itu terdengar pula suara jeritan berulang-ulang di sekitarnya. Sepertinya Enam Dewa Lembah Persik juga telah dihantam roboh satu per satu.

Sambil mendekam di lantai Linghu Chong mendengar suara angin menderu-deru menyambar lewat di atasnya. Saat itu ia merasa seperti sedang mimpi buruk. Tubuh tidak bisa berkutik, hatinya merasa ngeri, tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Lambat laun sambaran tongkat yang membawa deruan angin kencang itu mulai mereda, lalu terdengar suara berderit-derit mengilukan. Agaknya patung-patung biksu besi itu telah kembali ke tempat semula dan tidak bergerak lagi.

Tiba-tiba pandangannya menjadi terang, dan terdengar suara orang berteriak, “Tuan Muda Linghu, apakah kau di sini?”

Linghu Chong sangat gembira dan menyahut, “Aku … aku di sini ….” Ia merasa suaranya sangat lemah, hampir-hampir tidak percaya pada telinga sendiri. Kemudian terdengar suara langkah beberapa orang memasuki lorong itu.

“Aih!” seru Ji Wushi dan yang lain begitu menyaksikan apa yang terjadi.

“Jangan … jangan maju! Ada alat rahasia di … di lantai. Patung besi … patung besinya … sangat lihai!” seru Linghu Chong.

Rupanya Ji Wushi dan yang lain tidak sabar terlalu lama menunggu Linghu Chong yang ditarik Enam Dewa Lembah Persik tadi. Mereka kemudian menyusul dan ketika memasuki ruang patung Boddhidharma tampaklah sebuah lorong bawah tanah. Segera mereka menelusuri ke dalam dan sangat terkejut menemukan Linghu Chong serta Enam Dewa Lembah Persik menggeletak di lantai dengan berlumuran darah.

“Tuan Muda Linghu, apa sebenarnya yang terjadi?” tanya Zu Qianqiu.

“Tidak apa-apa. Diam saja di situ dan jangan maju. Nanti kalian bisa menginjak alat rahasia yang menggerakkan patung-patung besi ini lagi,” seru Linghu Chong.

“Baiklah,” sahut Zu Qianqiu. “Bagaimana kalau aku menarik tubuh kalian menggunakan cambuk panjang.”

“Ya, boleh,” jawab Linghu Chong.

Segera Zu Qianqiu melecutkan cambuk. Lebih dulu kaki kiri Dewa Bunga Persik yang berada paling luar dibelitnya dengan ujung cambuk, kemudian diseretnya perlahan. Sesudah itu barulah Zu Qianqiu menyeret keluar Linghu Chong dengan cara yang sama sambil berkata, “Mohon maaf!”

Berturut-turut kelima Dewa Lembah Persik yang lainnya dapat ditarik keluar pula.

Dengan cepat Linghu Chong bangkit dan memeriksa keadaan Enam Dewa Lembah Persik. Ternyata bahu, kepala, dan punggung keenam bersaudara itu sama-sama terluka oleh hantaman tongkat baja. Untung mereka memiliki kulit tebal dan tenaga dalam yang kuat pula, sehingga tidak sampai kehilangan nyawa meskipun lukanya tidak ringan. 

Dihujani anak panah oleh musuh.
Lorong rahasia di balik patung Boddhidharma.

(Bersambung)