Bagian 31 - Sembilan Pedang Dugu

Feng Qingyang memandu Linghu Chong berlatih.

Begitulah, Feng Qingyang pun mulai mengupas jurus ketiga dengan berbagai macam bentuk perubahannya yang dapat digunakan untuk mengalahkan ilmu golok Tian Boguang. Linghu Chong terkesima dan hatinya merasa gembira tak terkatakan saat mendengarnya. Ia tak ubahnya seperti seorang pemuda desa yang tiba-tiba berada di dalam sebuah istana mewah, dengan melihat dan mendengar segala jenis pemandangan dan pengalaman yang benar-benar baru dan menarik. Dengan waktu yang serbaterbatas, Linghu Chong hanya mampu menguasai seperlima bagian dari penjelasan Feng Qingyang. Selebihnya, ia hanya berusaha menghafal dan mengingat-ingat di dalam benaknya.

Feng Qingyang bagaikan seorang guru yang bersemangat karena menemukan murid cerdas. Sebaliknya, Linghu Chong pun menerima segala penjelasan dengan giat dan gembira. Tak terasa, waktu pun berlalu begitu cepat. Tiba-tiba saja terdengar suara Tian Boguang berteriak di luar gua, “Saudara Linghu, hari sudah terang. Kau sudah bangun atau belum?”

Linghu Chong tertegun dan berseru, “Apa? Hari sudah pagi lagi?”

“Benar, sayang sekali kita hanya punya waktu singkat,” jawab Feng Qingyang. “Tapi apa yang kau pelajari sudah melampaui perkiraanku. Sekarang kau boleh keluar untuk bertanding dengannya.”

“Baiklah,” jawab Linghu Chong. Ia lantas memejamkan mata untuk merenungkan kembali apa saja yang dipelajarinya semalam. Tiba-tiba ia membuka mata dan bertanya, “Kakek Guru, ada satu hal yang saya tidak mengerti. Mengapa semua gerak perubahan pada jurus ini bersifat menyerang tanpa ada satu pun gerakan bertahan?”

“Ilmu Sembilan Pedang Dugu memang hanya mengenal maju dan tidak tahu apa artinya mundur. Sekali kau melangkah maju, maka jangan pernah mundur kembali!” jawab Feng Qingyang. “Oleh karena itu, setiap gerakan adalah serangan belaka yang memaksa musuh tidak punya pilihan lain kecuali bertahan. Dengan sendirinya, kita hanya perlu menyerang tanpa perlu bertahan. Pencipta ilmu pedang ini adalah pendekar besar Dugu Qiubai. Namanya, yaitu ‘Qiubai’ bermakna ‘mencari kekalahan’, karena beliau memang selalu unggul dalam setiap pertarungan, sampai-sampai ingin sekali menemui kekalahan. Namun harapannya itu tidak pernah terwujud sampai akhir hayatnya. Karena ilmu pedang Beliau memang tidak ada tandingannya di dunia ini, jadi untuk apa memikirkan cara mempertahankan diri? Padahal, andai saja ada orang yang bisa memaksa Beliau mengeluarkan jurus bertahan, tentu Beliau akan merasa sangat gembira dan bahagia tak terkira.”

Linghu Chong bergumam, “Dugu Qiubai. Beliau bernama Dugu Qiubai.” Sambil berdecak kagum ia membayangkan tokoh mahasakti tersebut semasa hidupnya. Jangankan mengalahkan dia, mencari orang yang bisa membuatnya bertahan saja sulit. Kepandaiannya sungguh sukar untuk dibayangkan.

Sementara itu suara Tian Boguang kembali terdengar, “Saudara Linghu, keluar kau!”

“Aku datang!” jawab Linghu Chong sambil menghunus pedangnya.

“Chong’er, intisari jurus ketiga ini belum dibahas sampai mendalam. Aku khawatir dia melukaimu atau membuntungi tanganmu. Jika demikian yang terjadi, maka satu-satunya jalan adalah menyerah kalah dan menerima nasib. Ini adalah satu-satunya hal yang saat ini menjadi perhatianku,” kata Feng Qingyang

“Saya akan berusaha sekuat tenaga, Kakek Guru!” seru Linghu Chong dengan penuh semangat.

Segera ia berlari keluar gua. Begitu sampai di hadapan Tian Boguang, ia pura-pura menguap sambil mengusap matanya. “Saudara Tian, bagaimana tidurmu semalam? Apa cukup nyenyak?” Sambil berkata demikian, ia berpikir, “Yang harus kulakukan saat ini adalah mengulur waktu. Jika aku punya tambahan waktu beberapa jam lagi untuk belajar jurus ketiga lebih dalam, tantu aku tidak perlu takut lagi padanya.”

Tian Boguang menjawab sambil mengacungkan goloknya, “Saudara Linghu, sesungguhnya aku tidak ingin melukai dirimu. Tapi kau sendiri keras kepala tidak mau ikut denganku meninggalkan Gunung Huashan. Jika pertarungan ini dilangsungkan terus-menerus terpaksa aku harus mencincang tubuhmu sepuluh kali atau dua puluh kali, meskipun aku sendiri akan sangat menyesalinya. Bukankah itu tidak baik untukmu?”

“Untuk apa kau mengancam seperti itu?” balas Linghu Chong. “Cukup kau buntungi lengan kananku atau kau lukai pergelangan tanganku, maka aku tidak bisa lagi memegang senjata. Demikian rasanya sudah beres dan kau bisa berbuat sesukamu padaku. Untuk selanjutnya kau bisa membunuh atau menangkapku hidup-hidup.”

“Aku hanya ingin kau mengaku kalah, itu saja. Buat apa aku membuatmu cacad lengan atau tangan kananmu?” sahut Tian Boguang sambil menggeleng.

Linghu Chong gembira karena pancingannya berhasil. Namun ia pura-pura memasang wajah ragu, “Ah, jangan-jangan hanya mulutmu saja yang berkata demikian. Bila sudah kalah nanti kau menjadi kalap dan menggunakan cara keji dan mengerikan.”

“Kau tidak perlu memanas-manasi aku!” sahut Tian Boguang. “Pertama, kita berdua tidak ada permusuhan; kedua, aku menghormatimu sebagai seorang laki-laki sejati; ketiga, bila aku benar-benar melukaimu sampai parah, aku khawatir ada orang lain yang menghukumku. Nah, silakan kita mulai lagi!”

“Baik, silakan kau maju lebih dulu!” ujar Linghu Chong.

Tian Boguang pun melancarkan gerak tipuan, dan disusul dengan serangan menebas dari samping dengan sangat cepat. Di bawah sinar matahari pagi, golok Tian Boguang berkilat-kilat dan terlihat sangat tajam. Linghu Chong berusaha menandinginya dengan menggunakan salah satu gerak perubahan dari jurus ketiga Ilmu Sembilan Pedang Dugu. Namun, serangan golok Tian Boguang sangat cepat. Di saat ia mencoba melancarkan serangan, tahu-tahu serangan golok lawan sudah sudah berganti gaya. Dengan demikian, Linghu Chong dapat dikatakan ketinggalan satu langkah.

Setelah dua atau tiga kali saling serang, diam-diam Linghu Chong merasa gelisah, “Celaka, sungguh celaka! Ilmu pedang yang baru saja kupelajari tidak dapat kumainkan dengan baik. Tentu saat ini Kakek Guru sedang memaki kebodohanku.”

Setelah beberapa jurus terlewati, butir-butir keringat mulai bercucuran membasahi dahi Linghu Chong. Sebaliknya, Tian Boguang justru melihat ilmu pedang yang dimainkan pihak lawan kali ini sungguh dahsyat dan mengerikan. Bahkan, ia merasa setiap serangan goloknya mampu dipecahkan oleh pedang pemuda itu. Mau tidak mau dalam hati Tian Boguang merasa khawatir juga.

Dalam hati, penjahat itu bertanya-tanya, “Beberapa gerakan pedangnya jelas-jelas bisa membunuhku. Tapi, kenapa dia sengaja membuatnya agak lamban? Ah, rupanya dia sengaja bermurah hati agar aku menyadari keampuhannya dan mundur teratur. Ya, aku memang menyadari kehebatannya, tapi tetap pantang bagiku untuk mundur. Terpaksa aku harus bertahan sekuat tenaga.”

Karena berpikir demikian, Tian Boguang tidak berani mengerahkan segenap kekuatannya supaya ia tidak kehabisan tenaga jika kemudian keadaan menjadi genting. Begitulah, kedua orang itu sama-sama gentar, dan mereka pun saling menyerang dengan sangat hati-hati.

Tidak lama kemudian permainan golok Tian Boguang bertambah lebih cepat. Sebaliknya, jurus ketiga Pedang Dugu yang dimainkan Linghu Chong juga semakin lancar. Akibatnya, dari kilatan sinar pedang dan golok, tampak pertandingan antara mereka terlihat semakin cepat dan seru.

Tiba-tiba Tian Boguang memekik sambil melepaskan tendangan yang tepat bersarang di perut Linghu Chong. Seketika tubuh pemuda itu pun terlempar ke belakang. Dalam keadaan terkapar di tanah, terlintas sebuah pikiran di benak Linghu Chong, “Aku butuh sehari semalam lagi untuk mendalami jurus ketiga Ilmu Sembilan Pedang Dugu. Aku yakin esok pasti aku bisa mengalahkannya.” Usai berpikir demikian, ia pun melepaskan pedang dan pura-pura terguling-guling dengan mata terpejam.

Melihat itu Tian Boguang merasa khawatir jangan-jangan Linghu Chong terluka parah. Tapi ia sudah hafal watak pemuda itu yang licin dan banyak tipu muslihat. Jangan-jangan jika ia mendekat untuk memeriksa, pemuda itu bangkit kembali dan melayangkan pukulan tak terduga. Maka, Tian Boguang pun melangkah maju dengan golok terhunus di depan dada sambil bertanya, “Saudara Linghu, bagaimana keadaanmu? Kau baik-baik saja?”

Setelah berkali-kali mengulangi seruannya, barulah Tian Boguang melihat Linghu Chong bangun perlahan-lahan dengan napas terengah-engah.

“Mari… mari kita bertarung lagi!” ajak pemuda itu dengan suara gemetar. Perlahan ia mencoba berdiri, namun belum sampai tegak sudah jatuh kembali.

“Tampaknya kau sudah tidak kuat lagi,” kata Tian Boguang. “Baiklah, kau boleh beristirahat semalam saja. Besok pagi kau ikut denganku turun gunung!”

Dalam hati Linghu Chong merasa gembira namun masih tetap ditutupinya. Pura-pura ia bersusah payah untuk mencoba berdiri dengan napas terengah-engah. Rupanya Tian Boguang tidak lagi merasa curiga. Ia mencoba memapah Linghu Chong namun sambil menginjak pedang pemuda itu yang terjatuh di tanah. Selain itu ia juga meletakkan gagang goloknya di titik nadi pada lengan kanan Linghu Chong untuk berjaga-jaga apabila pemuda itu tiba-tiba menyerang dengan licik.

Di lain pihak, Linghu Chong pura-pura menggantungkan berat tubuhnya pada lengan kiri Tian Boguang sehingga dirinya terlihat benar-benar lemah tak berdaya. Akan tetapi, pemuda itu kemudian pura-pura meronta sambil membentak, “Keparat! Siapa yang minta bantuanmu?” Sambil menggerutu ia kemudian masuk kembali ke dalam gua.

Feng Qingyang manyambut dengan tersenyum. Orang tua itu berkata, “Tanpa susah payah, kau berhasil mengulur waktu sehingga memperoleh kesempatan semalam lagi. Hanya saja, apa kau tidak berpikir caramu tadi cukup hina dan tidak tahu malu?”

Linghu Chong tertawa dan menjawab, “Apa boleh buat? Menghadapi manusia hina dan kotor seperti dia terpaksa harus menggunakan cara yang hina pula.”

“Tapi, bagaimana jika kau menghadapi orang baik?” tanya Feng Qingyang dengan wajah serius.

“Menghadapi orang baik?” sahut Linghu Chong agak terkejut. Untuk sekian saat ia hanya terdiam.

“Bagaimana jika yang kau hadapi orang baik?” desak Feng Qingyang dengan nada dingin dan sorot mata tajam.

Linghu Chong akhirnya menjawab, “Meskipun yang saya hadapi orang baik, tapi kalau dia hendak membunuh saya, mana mungkin saya berpeluk tangan begitu saja? Jika saya terdesak maka menggunakan cara sedikit rendah dan kotor juga tidak menjadi masalah.”

“Bagus sekali! Bagus sekali!” puji Feng Qingyang dengan gembira. “Ucapanmu tadi telah membuktikan bahwa dirimu bukan seorang munafik, atau orang yang suka berlagak alim. Seorang laki-laki sejati harus berani bertindak bebas, seperti angin berhembus dan air mengalir. Datang dan pergi dengan merdeka. Peduli apa dengan peraturan dunia persilatan dan tata tertib perguruan segala? Persetan semuanya!”

Linghu Chong hanya tersenyum. Semua ucapan Feng Qingyang benar-benar mengena di lubuk hatinya yang paling dalam dan membuat perasaannya sangat gembira. Namun demikian, ia juga teringat pada nasihat gurunya untuk selalu menjunjung tinggi tata tertib Perguruan Huashan dan juga jangan sampai melanggar peraturan dunia persilatan. Apalagi ucapan Feng Qingyang tadi yang berbunyi “seorang munafik yang suka berlagak baik” seolah-olah menyindir julukan Yue Buqun sebagai Si Pedang Budiman. Mau tidak mau Linghu Chong hanya bisa tersenyum tanpa berani bersuara.

Dengan jari-jemarinya yang kurus kering, Feng Qingyang membelai kepala Linghu Chong sambil tersenyum, “Tak kusangka Yue Buqun memiliki murid yang berpandangan bebas seperti dirimu. Boleh kukatakan bocah itu tidak sepenuhnya gagal.” Jelas yang dimaksud dengan “bocah” di sini adalah Yue Buqun.

Feng Qingyang lantas menepuk-nepuk bahu Linghu Chong dan melanjutkan bicara, “Nak, kau benar-benar sesuai dengan seleraku. Mari kita berlatih lagi dengan lebih dalam jurus pertama dan jurus ketiga ciptaan Pendekar Besar Dugu.”

Maka, Feng Qingyang pun mulai menguraikan secara lebih mendalam beberapa kata kunci pada jurus pertama Ilmu Sembilan Pedang Dugu kepada Linghu Chong. Setelah Linghu Chong memahaminya, ia lantas menjelaskan dengan seksama bagian-bagian pada jurus pertama yang memiliki hubungan dengan jurus ketiga, baik itu secara lisan maupun gerakan tubuh. Karena di dalam gua belakang terdapat beberapa pedang berserakan, maka mereka pun bisa langsung memeragakan gerakan-gerakan pada jurus tersebut. Linghu Chong berusaha mengingat semua pelajaran dari Feng Qingyang sepenuh hati, dan apabila ada yang tidak dipahaminya, maka ia langsung bertanya secara rinci saat itu juga.

Karena kali ini waktunya lebih luang, maka cara belajar Linghu Chong pun tidak tergesa-gesa seperti tadi malam. Setiap gerakan perubahan dan variasi jurus ia pelajari dengan sebaik-baiknya dan selengkap-lengkapnya. Setelah makan malam, Linghu Chong juga menyempatkan diri untuk tidur, dan setelah bangun ia kembali berlatih dengan lebih giat dan pikiran segar.

Esok paginya Tian Boguang mengira luka Linghu Chong cukup parah akibat pertarungan kemarin sehingga ia tidak berteriak-teriak untuk menantang pemuda itu keluar. Kesempatan ini dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh Linghu Chong untuk memperdalam latihannya di gua belakang. Setelah lewat tengah hari Linghu Chong telah menguasai dengan baik semua gerak perubahan dan variasi jurus ketiga dari Ilmu Sembilan Pedang Dugu.

Feng Qingyang mengakhiri latihan dengan berkata, “Tidak masalah jika hari ini kau masih kalah darinya. Kau bisa berlatih lagi malam ini dan aku yakin besok kau pasti menang.”

Linghu Chong mengangguk dan kemudian melangkah keluar perlahan-lahan. Karena kemarin pedangnya tertinggal di luar, maka kali ini yang ia bawa adalah salah satu pedang milik sesepuh Huashan yang berserakan di dalam gua belakang.

Sesampainya di luar, ia melihat Tian Boguang sedang berdiri di pinggiran tebing. Dengan memasang wajah heran, ia pun menegur, “Hei, mengapa Saudara Tian belum juga pergi? Aku kira kau sudah turun gunung sejak kemarin.”

“Aku sedang menunggumu,” jawab Tian Boguang. “Aku minta maaf kemarin telah melukaimu. Apa hari ini sudah sembuh?”

Linghu Chong menjawab, “Aku belum merasa sembuh. Luka di bagian paha karena serangan golokmu masih terasa sakit.”

“Hahahaha. Dalam pertarungan di Kota Hengyang dulu luka Saudara Linghu sepertinya jauh lebih parah daripada sekarang. Tapi, waktu itu kau sama sekali tidak merintih kesakitan,” ujar Tian Boguang. “Aku sudah hafal kalau kau ini punya segudang tipu muslihat. Keluhanmu tadi pasti hanya pura-pura. Jika kau memperlihatkan kelemahan, pasti kau menyembunyikan serangan kejutan. Huh, aku tidak akan tertipu lagi!”

“Kau tidak mau tertipu?” sahut Linghu Chong. “Sekarang ini kau sudah tertipu. Meskipun kau menyadarinya juga sudah terlambat. Nah, Saudara Tian, terimalah seranganku!” bersamaan dengan itu Linghu Chong pun menusukkan pedangnya ke arah dada lawan.

Tian Boguang menangkis dengan cepat namun hanya mengenai tempat kosong, sementara serangan kedua Linghu Chong sudah menyusul.

“Cepat sekali!” seru Tian Boguang memuji sambil menyilangkan goloknya untuk menjaga diri.

“Aku punya beberapa yang lebih cepat,” jawab Linghu Chong sambil berturut-turut melancarkan serangan ketiga, keempat, kelima, dan keenam sambil berseru. Serangan selanjutnya selalu lebih dahsyat dari serangan sebelumnya. Yang ia gunakan adalah intisari Sembilan Pedang Dugu yang hanya mengenal maju terus pantang mundur. Setiap ayunan pedang adalah serangan, dan bukan pertahanan.

Linghu Chong membuat Tian Boguang terdesak.

Setelah belasan jurus berlalu, Tian Boguang merasa sangat terdesak. Ia bingung tidak tahu harus bagaimana menangkis serangan Linghu Chong yang mengalir deras bagaikan tanpa akhir. Setiap kali menerima serangan lawan, tanpa sadar ia bergerak mundur selangkah. Maka setelah belasan jurus, tanpa sadar posisi tubuhnya sudah berada di tepi jurang. Sebaliknya, serangan-serangan Linghu Chong tidak menjadi kendur. Kembali ia melancarkan empat kali tusukan yang semuanya mengarah ke titik mematikan di tubuh lawan.

Sekuat tenaga Tian Boguang berusaha menangkis serangan pertama dan kedua. Namun serangan ketiga dan keempat tidak bisa ditahannya lagi. Ia hanya melangkah mundur dan betapa terkejut hatinya karena menginjak tempat kosong. Jelas jika diteruskan maka tubuhnya akan jatuh ke dasar jurang dan hancur lumat di bawah sana. Maka, pada saat-saat genting tersebut Tian Boguang menusukkan goloknya sekuat tenaga ke dalam tanah untuk menyelamatkan diri. Bersamaan dengan itu, pedang Linghu Chong sudah mengancam di depan lehernya.

Wajah Tian Boguang pucat pasi seperti kertas. Linghu Chong hanya terdiam tanpa bersuara dengan ujung pedangnya masih menodong leher penjahat itu.

Selang agak lama barulah Tian Boguang berseru, “Aku sudah kalah. Kalau mau bunuh silakan bunuh! Apalagi yang kau tunggu?”

Namun Linghu Chong menarik mundur pedangnya dan melompat ke belakang. “Kekalahan Saudara Tian kali ini hanya karena lengah sesaat sehingga bisa didahului olehku. Sebaiknya jangan diperhitungkan. Mari kita ulangi lagi!”

Tian Boguang mendengus karena merasa terhina. Ia pun menerjang maju sambil mengayunkan goloknya secepat kilat. “Kali ini aku menyerang lebih dulu. Tak akan kubiarkan kau mengambil keuntungan lagi!” demikian ia membentak.

Dengan cepat Linghu Chong mengangkat pedang dan menusuk miring mengarah ke perut lawan sambil menghindari serangan golok tersebut. Menyadari itu, Tian Boguang segera memutar goloknya untuk menangkis pedang lawan. Ia menduga tenaganya jauh lebih kuat sehingga pedang Linghu Chong pasti terlempar ke bawah.

Akan tetapi, serangan Linghu Chong tersebut hanyalah permulaan. Serangan kedua dan ketiga sambung-menyambung tanpa jeda. Setiap serangan dilancarkan sangat tepat dan ganas. Yang dituju pun tempat-tempat berbahaya pada tubuh Tian Boguang.

Karena tidak bisa mengimbangi kecepatan pedang lawan, terpaksa Tian Boguang melangkah mundur lagi. Sungguh tak disangka setelah belasan jurus ia sudah kembali ke posisi semula, yaitu di tepi jurang.

Linghu Chong terus menusukkan pedang ke bagian bawah lawan membuat Tian Boguang terpaksa mengayunkan goloknya untuk menangkis. Pada saat yang bersamaan tangan kiri Linghu Chong sudah bergerak menembus pertahanan lawan dan siap menotok titik Tanzhong pada dada Tian Boguang.

Tian Boguang sadar apabila titik tersebut tertotok, maka tubuhnya akan lemah lunglai dan jatuh ke dasar jurang yang luar biasa dalam tersebut. Entah bagaimana keadaannya nanti. Namun demikian, Linghu Chong menghentikan serangan dan menahan totokannya hanya beberapa senti di depan dada Tian Boguang.

Kedua orang itu hanya terdiam tanpa suara. Beberapa saat kemudian Linghu Chong melompat mundur ke belakang.

Tian Boguang duduk di atas batu sambil memejamkan mata dan merenungi apa yang baru saja ia alami. Selang agak lama barulah ia berdiri dan kemudian menerjang dengan lebih ganas. Goloknya mengayun dari atas ke bawah sekuat tenaga. Kali ini ia memilih posisi membelakangi gunung sehingga jika sampai terdesak lagi tidak akan mundur ke arah jurang, paling-paling masuk ke dalam gua. Dengan posisi seperti ini ia tidak perlu takut lagi jatuh ke jurang sehingga bisa bertarung habis-habisan.

Namun Linghu Chong telah memahami dengan baik segala perubahan dan variasi ilmu golok Tian Boguang. Maka begitu Tian Boguang mengayunkan goloknya, dengan cepat ia mengelak ke kanan sambil pedangnya menyerang lengan kiri lawan. Tian Boguang terpaksa memutar goloknya untuk menangkis serangan tersebut, namun pedang Linghu Chong sudah berubah arah dan kini menusuk ke arah pinggang kiri.

Saat memutar golok, Tian Boguang berusaha bertahan dan menyerang secara sekaligus. Tentu saja untuk melancarkan jurus serangan ia harus menghimpun tenaga secukupnya. Dalam keadaan terdesak, Tian Boguang tidak cukup tenaga untuk menyilangkan golok di dekat pinggang, sehingga mau tidak mau ia harus bergeser ke kanan satu langkah. Tanpa memberi kesempatan, Linghu Chong pun melayangkan satu tusukan ke pipi kanan Tian Boguang. Tian Boguang berusaha menangkis, namun pedang Linghu Chong sudah menusuk ke paha kiri pria itu. Tak punya kesempatan untuk menangkis, Tian Boguang kembali bergeser ke kanan satu langkah.

Begitulah, serangan Linghu Chong susul-menyusul tanpa henti ke arah tubuh bagian kiri lawan sehingga mau tidak mau Tian Boguang terpaksa bergeser ke arah kanan. Belasan jurus kemudian Tian Boguang sudah terpojok ke dinding tebing di sebelah mulut gua. Ia pun mengayunkan goloknya dengan kalap ke segala arah tidak peduli lagi serangan Linghu Chong. Namun, pedang Linghu Chong tetap lebih menguasai keadaan. Tahu-tahu kain lengan baju dan celana Tian Boguang robek sebanyak enam tempat di bagian kiri, mulai lengan, pinggang, dan paha. Tian Boguang paham benar, jika Linghu Chong mau, pemuda itu bisa saja melukai kulitnya atau bahkan membuntungi lengan dan pahanya, atau menguraikan isi perutnya. Namun hal itu tidak dilakukannya.

Dalam sekejap, Tian Boguang menderita putus asa dan kehilangan semua harapan. Dalam keadaan tertekan penjahat itu muntah darah dan berdiri sempoyongan.

Linghu Chong merasa sangat heran dan kagum karena berhasil mendesak dan mengalahkan Tian Boguang sebanyak tiga kali dalam sehari, padahal selama beberapa hari sebelumnya ia selalu kalah. Meskipun pihak lawan memiliki tenaga lebih kuat, namun anehnya ia bisa mengalahkannya tanpa mengeluarkan banyak tenaga.

Namun melihat penjahat itu muntah darah mau tidak mau hatinya merasa prihatin juga. Ia pun berkata, “Saudara Tian mengapa harus seperti ini? Kalah menang dalam sebuah pertandingan itu kan suatu hal yang biasa? Bukankah berkali-kali aku tersungkur di tanganmu?”

Tian Boguang membuang golok di tanah dan menenangkan diri. Ia berkata, “Ilmu pedang Sesepuh Feng sungguh luar biasa. Benar-benar tiada bandingannya di zaman ini. Aku bukan lagi tandinganmu. Selamanya aku bukan lagi tandinganmu.”

Linghu Chong memungut golok Tian Boguang dan mengembalikannya dengan penuh hormat, yaitu dipegang dengan dua tangan dengan gagang mengarah ke Tian Boguang. “Ucapan Saudara Tian memang benar. Kemenanganku yang kebetulan ini hanya karena petunjuk Kakek Guru Feng belaka. Sekarang Beliau memintamu untuk berjanji sesuatu, entah Saudara Tian bersedia melakukan atau tidak?” ujar pemuda itu.

Tian Boguang menjawab dengan perasaan pedih, “Jiwa dan ragaku ada di tanganmu. Untuk apa bertanya seperti itu?”

Linghu Chong berkata, “Kakek Guru Feng sudah lama mengasingkan diri dari urusan dunia persilatan. Bahkan, banyak orang menganggap Beliau sudah meninggal. Maka, jika nanti Saudara Tian meninggalkan tempat ini, janganlah sekali-kali membicarakan keberadaan Beliau kepada orang lain. Untuk itu aku akan sangat berterima kasih.”

“Mengapa kau harus repot-repot menyuruhku berjanji?” tanya Tian Boguang dengan nada dingin. “Bukankah jauh lebih mudah jika kau tikam aku dengan pedangmu sehingga mulutku tertutup selamanya?”

Linghu Chong justru mundur dan menyarungkan pedangnya sambil menjawab, “Dulu ketika kepandaian Saudara Tian berada jauh di atasku, sekali kau ayunkan golok tentu aku sudah mati sejak dulu. Jika kau lakukan itu, mana mungkin masih ada hari ini untukku? Sekali lagi aku memohon kepadamu dengan sangat, jangan membicarakan keberadaan Kakek Guru Feng kepada orang lain meskipun kau diancam dan dipaksa.”

“Baiklah, aku berjanji,” jawab Tian Boguang.

“Terima kasih, Saudara Tian!” kata Linghu Chong sambil membungkuk dan memberi hormat.

Tian Boguang berkata, “Saudara Linghu, kedatanganku kemari untuk mengajakmu turun gunung adalah karena perintah seseorang. Meskipun hari ini aku gagal, namun urusan ini belum kuanggap selesai. Mungkin seumur hidup aku tidak bisa lagi memaksamu melalui pertarungan. Namun aku tidak akan menyerah begitu saja karena ini menyangkut hidup-matiku. Jika kelak aku menggunakan tipu muslihat, hendaknya Saudara Linghu bisa memakluminya. Baiklah, sampai jumpa lagi!”

Usai berkata demikian Tian Boguang memberi hormat dan melangkah pergi.

Begitu teringat di dalam tubuh penjahat itu terdapat racun, seketika Linghu Chong merasa prihatin. Ada perasaan kehilangan sewaktu membayangkan beberapa hari lagi Tian Boguang akan mati mengenaskan oleh racun ganas tersebut. Setelah mengalami sejumlah pertarungan di antara mereka, entah mengapa Linghu Chong merasa ada kedekatan dengan penjahat tersebut. Hampir saja ia ikut pergi karena kasihan, namun segera diurungkan begitu teringat bahwa dirinya sedang menjalani masa hukuman di Tebing Perenungan yang mana ia tidak boleh meninggalkan tempat itu tanpa seizin sang guru. Di samping itu, Tian Boguang adalah maling cabul yang gemar melakukan berbagai jenis kejahatan. Jika pergi bersama dengannya, bukankah itu sama artinya ikut berkubang dalam dosa? Bukankah itu akan mencemarkan nama baik diri sendiri dan mendatangkan banyak masalah besar di kemudian hari? Berpikir demikian membuat Linghu Chong menahan diri dan hanya memandang Tian Boguang melangkah pergi menuruni jalan setapak meninggalkan puncak Huashan tersebut.

Linghu Chong kemudian masuk ke dalam gua dan menyembah di hadapan Feng Qingyang sambil berkata, “Kakek Guru Feng bukan hanya menyelamatkan jiwa saya, tapi juga mengajarkan ilmu pedang mahatinggi kepada saya. Entah bagaimana saya bisa membalas budi baik sebesar ini?”

“Ilmu pedang mahatinggi? Ilmu pedang mahatinggi? Hm, masih terlalu jauh,” sahut Feng Qingyang sambil tersenyum. Sebuah senyuman hampa yang menampakkan perasaan pedih dan kesepian.

Linghu Chong berkata dengan hormat, “Apakah saya boleh belajar semua jurus dalam Ilmu Sembilan Pedang Dugu kepada Kakek Guru?”

“Kau ingin belajar? Apa kelak kau tidak akan menyesal?” tanya Feng Qingyang.

Linghu Chong agak bingung mendengar pertanyaan itu, namun sejenak kemudian ia paham dan menjawab, “Saya tahu, Sembilan Pedang Dugu memang bukan ilmu pedang perguruan kita. Saya tahu Kakek Guru khawatir kelak saya akan dimarahi Guru. Tapi biasanya Guru tidak melarang saya untuk mempelajari ilmu silat dari golongan lain sebagai perbandingan. Guru berkata bahwa batuan dari gunung lain dapat digunakan untuk mengasah permata menjadi lebih indah. Lagipula saya juga sudah mempelajari ilmu pedang Perguruan Songshan, Taishan, Hengshan, dan Henshan yang terukir di dinding gua ini. Bahkan, ilmu silat aliran sesat juga tak luput dari perhatian saya. Kini saya bertemu Ilmu Sembilan Pedang Dugu yang jauh lebih hebat. Sungguh, bagaikan mukjizat yang diimpi-impikan setiap orang di dunia persilatan. Saya sangat beruntung bisa bertemu dan mendapat petunjuk dari sesepuh dari perguruan sendiri. Kesempatan seperti ini mana mungkin saya sia-siakan? Ini adalah anugerah yang tidak ternilai harganya. Seumur hidup saya tidak akan pernah menyesal.” Usai berkata demikian, pemuda itu pun berlutut di atas tanah.

“Baik, akan kuajarkan kepadamu,” kata Feng Qingyang sambil tersenyum. “Jika tidak kuajarkan kepadamu, aku khawatir bisa-bisa Ilmu Sembilan Pedang Dugu ikut punah setelah aku mati nanti.”

Untuk sementara waktu raut muka Feng Qingyang tampak berseri-seri, namun kemudian kembali datar dan dingin.

“Tian Boguang tidak akan menyerah begitu saja. Jika dia datang lagi kemari, paling tidak sepuluh atau lima belas hari lagi dari sekarang. Di samping ilmu silatmu saat ini berada di atasnya, kau juga punya banyak akal untuk mengalahkannya. Aku yakin kau tidak perlu takut lagi kepadanya. Sekarang kau punya cukup banyak waktu untuk memperdalam Ilmu Sembilan Pedang Dugu. Kau bisa mengulanginya dari awal supaya lebih terpupuk dengan baik.”

Kali ini Feng Qingyang mengulangi kembali penjelasannya mengenai jurus pertama Ilmu Sembilan Pedang Dugu, yang berupa petunjuk umum. Setiap kalimat dijelaskan dengan sangat rinci beserta segala variasi dan perubahan yang terkandung di dalamnya. Sebelumnya Linghu Chong memaksakan diri untuk mengingat dan menghafal, tanpa disertai pemahaman yang baik mengenai maksud dan tujuan di balik jurus tersebut. Sekarang dengan penjelasan yang tenang tanpa tergesa-gesa dari Feng Qingyang membuat Linghu Chong dapat mempelajari banyak prinsip dasar kemajuan dan tingkatan ilmu silat, serta beberapa variasi dan yang luar biasa. Pemuda itu merasa sangat kagum dan bahagia mendengarkan uraian sang kakek dengan seksama.

Selama beberapa hari di atas Tebing Perenungan itu Feng Qingyang mengajarkan semua jurus dalam Ilmu Sembilan Pedang Dugu kepada Linghu Chong. Mereka mulai dari jurus pertama yaitu Petunjuk Umum; jurus kedua yaitu Cara Mengalahkan Pedang; jurus ketiga Cara Mengalahkan Golok; jurus keempat Cara Mengalahkan Tombak; jurus kelima Cara Mengalahkan Gada; jurus keenam Cara Mengalahkan Cambuk; jurus ketujuh Cara Mengalahkan Tapak; jurus kedelapan Cara Mengalahkan Senjata Rahasia; dan jurus kesembilan Cara Mengalahkan Tenaga Dalam.

Mengenai jurus keempat yaitu Cara Mengalahkan Tombak juga termasuk bagaimana cara mengalahkan toya, trisula, tongkat, sekop, tongkat berkepala ular, dan sejenisnya.

Feng Qingyang memeragakan jurus keempat.

Jurus kelima berupa Cara Mengalahkan Gada juga termasuk cara mengalahkan senjata berukuran pendek dan pentungan, termasuk gada besar, ruyung, pena penotok, tongkat pendek, belati, kampak, cakram besi, perisai, palu godam, dan sejenisnya.

Jurus keenam berupa Cara Mengalahkan Cambuk juga termasuk tali panjang, toya berlekuk tiga, toya berlekuk sembilan, tombak berantai, jaring, bandul bertali, dan sejenisnya.

Meskipun hanya terdiri atas sembilan jurus, namun Ilmu Sembilan Pedang Dugu memiliki variasi dan jumlah gerak perubahan yang tidak terhingga banyaknya. Semakin dipelajari, semakin membuat Linghu Chong terkesan. Linghu Chong juga menemukan betapa hebat daya serang jurus itu juga keterkaitannya yang luar biasa antara satu jurus dengan jurus lainnya. Tiga jurus terakhir dirasa Linghu Chong sebagai bagian yang peling sulit.

Jurus ketujuh berupa Cara Mengalahkan Tapak juga termasuk bagaimana mengalahkan tinju, tendangan, totokan jari, dan pukulan telapak tangan. Apabila bertemu musuh yang bertarung dengan mengandalkan tangan kosong tentu bisa dipastikan ia seorang yang sangat sakti dan kepandaiannya sudah mencapai tingkat tinggi. Lawan seperti itu tidak ada bedanya baik menggunakan senjata ataupun tanpa senjata. Di dunia persilatan pun terdapat berbagai macam jenis dan gaya pukulan, tendangan, tinju, tapak, ataupun totokan, dan kesemuanya sangat rumit untuk dihadapi. Tidak hanya menghadapi pukulan, jurus ketujuh ini juga bisa digunakan untuk menghadapi serangan gulat, totokan urat nadi, serangan cakar, dan sebagainya.

Jurus kedelapan adalah Cara Mengalahkan Senjata Rahasia, termasuk di sini adalah berbagai jenis senjata rahasia dan anak panah. Jurus ini juga sangat sulit dipelajari karena harus benar-benar menguasai ilmu pendengaran yang baik dan teknik membedakan senjata. Dalam menggunakan jurus kedelapan ini tidak hanya menggunakan pedang untuk menangkis senjata rahasia lawan, tapi juga bagaimana mengembalikan senjata rahasia tersebut menggunakan kekuatan pedang untuk berbalik melukai si penyerang.

Jurus kesembilan adalah Cara Mengalahkan Tenaga Dalam, di mana Feng Qingyang hanya mengajarkan teknik berlatih dan rumusnya saja kepada Linghu Chong. Orang tua itu berkata, “Jurus ini hanya digunakan untuk menghadapi musuh yang memiliki tenaga dalam tinggi. Intisari jurus ini tergantung pada penafsiranmu pribadi.”

Feng Qingyang diam sejenak kemudian melanjutkan, “Bertahun-tahun yang lalu, dengan menggunakan sembilan jurus tersebut, Pendekar Dugu Qiubai malang melintang di dunia persilatan tanpa ada yang mampu menandingi. Ini semua karena Beliau telah menguasai puncak kesempurnaan dari segala teknik ilmu pedang. Nah, meskipun sama-sama mempelajari ilmu pedang Perguruan Huashan, namun kau dan adik-adikmu memiliki tingkat kepandaian yang berbeda. Begitu pula dengan Ilmu Sembilan Pedang Dugu. Meskipun kau sudah mengetahui segala teknik dan jurus di dalamnya, namun apabila kau tidak giat berlatih, tetap saja kau bukan tandingan ahli silat papan atas di masa kini. Kau telah berkecimpung di dunia persilatan. Menang atau kalah adalah pilihan. Maka itu, berlatihlah dengan giat dan rajin. Paling tidak dua puluh tahun lagi kau bisa merajai dunia persilatan.”

Linghu Chong memahami bahwa Ilmu Sembilan Pedang Dugu sesungguhnya memiliki variasi dan gerak perubahan yang tidak terbatas, tergantung keadaan. Tentu saja waktu yang diperlukan untuk benar-benar menguasainya tidak dapat diketahui dengan pasti. Maka itu, ketika Feng Qingyang mengatakan bahwa untuk benar-benar bisa menguasainya dibutuhkan waktu dua puluh tahun, sama sekali tidak membuat pemuda itu terkejut.

Linghu Chong pun berkata, “Jika saya bisa memahami dan menguasai Ilmu Sembilan Pedang Dugu dan melestarikan ilmu ciptaan Pendekar Dugu Qiubai ini, tentu saya akan sangat bersyukur.”

Feng Qingyang menyahut, “Kau tidak perlu terlalu merendahkan diri. Memang Pendekar Dugu seorang yang luar biasa cerdas, sehingga ilmu ciptaannya pun sangat istimewa. Hendaknya kau ingat bahwa Ilmu Sembilan Pedang Dugu tidak cukup hanya dihafalkan saja, tetapi yang terpenting adalah bagaimana memahami kegunaannya. Kalau kau sudah mengetahui intisari dan hakikat penggunaannya, maka di kala bertemu musuh, semakin tidak terikat oleh susunan jurus yang kau hafalkan justru semakin baik. Walaupun kau sama sekali tidak ingat variasi dan perubahan, itu tidak menjadi soal. Pikiranmu cerdas dan bakatmu cemerlang, sungguh tepat bagimu untuk bisa mempelajari ilmu pedang ini. Aku sudah mengajarkan semuanya kepadamu. Di zaman sekarang ini, entah apakah masih ada pendekar yang benar-benar hebat di luar sana? Untuk selanjutnya kau harus bisa berlatih sendiri dengan sebaik-baiknya. Selamat tinggal.”

Linghu Chong terkejut mendengarnya, “Kakek Guru hendak… hendak ke mana?”

“Aku tinggal di balik puncak Huashan ini selama puluhan tahun,” jawab Feng Qingyang. “Aku sengaja keluar untuk mengajarimu dengan harapan supaya ilmu hebat ciptaan Pendekar Dugu tidak punah begitu saja bersama kematianku kelak. Sekarang semuanya sudah kuwariskan kepadamu. Sudah waktunya aku kembali ke tempat tinggalku.”

“Jadi, Kakek Guru tinggal di balik puncak Huashan ini? Bagus sekali!” sahut Linghu Chong. “Kalau begitu mulai saat ini, siang dan malam saya bisa melayani dan menemani Kakek Guru.”

“Tidak bisa. Mulai saat ini aku tidak ingin bertemu orang-orang Huashan lagi, termasuk dirimu tanpa kecuali,” sahut Feng Qingyang dengan wajah galak.

Melihat Linghu Chong ketakutan dan bingung, Feng Qingyang pun merendahkan nada bicaranya, “Chong’er, takdir telah mempertemukan kita. Aku juga sangat menyukai sifatmu. Kau seorang anak yang penuh kebebasan, yang bisa mewarisi ilmu pedang dariku. Jika kau masih menganggapku sebagai kakek gurumu, maka jangan sekali-kali kau datang mencariku sehingga menimbulkan masalah besar di kemudian hari.”

“Mengapa demikian, Kakek Guru?” tanya Linghu Chong dengan hati berduka.

“Sudahlah. Tolong jangan sekali-kali kau bercerita kepada gurumu tentang pertemuan kita ini,” ujar Feng Qingyang.

“Saya… saya akan mematuhi perintah Kakek Guru Feng,” jawab Linghu Chong lirih. Air matanya mulai berlinang membasahi pipi.

“Anak pintar, anak pintar!” kata Feng Qingyang sambil membelai kepala pemuda itu. Ia kemudian melesat pergi dan menghilang begitu saja di balik tebing Puncak Gadis Kumala tersebut. Linghu Chong tidak bisa berkata apa-apa lagi. Ia hanya memandang tebing tersebut dengan perasaan haru dan sedih yang mendalam.

Telah belasan hari Linghu Chong melewati waktu bersama Feng Qingyang. Meskipun selama ini yang mereka bicarakan cuma seputar ilmu silat, namun Linghu Chong benar-benar kagum terhadap jiwa dan tindakan kakek-gurunya tersebut. Di atas itu semua, ia merasa saling cocok dengan Feng Qingyang, dan akrab lahir batin. Meskipun Feng Qingyang adalah paman dari gurunya, namun jauh di lubuk hati Linghu Chong terasa bahwa hubungan mereka bagaikan sahabat karib yang sebaya, yang sudah lama tidak bertemu. Perbedaan usia di antara mereka tidak lagi terasa. Bahkan, Linghu Chong merasa lebih akrab dengan Feng Qingyang daripada dengan Yue Buqun, gurunya sendiri.

Dalam hati Linghu Chong berpikir, “Saat masih muda, mungkin sifat Kakek Guru Feng sama persis denganku; tidak kenal takut, riang gembira, tanpa beban, dan melakukan apa saja dengan perasaan merdeka. Saat Beliau mengajarkan ilmu pedang kepadaku, Beliau selalu menegaskan bahwa ‘bukan pedang yang mengendalikan orang, tetapi orang yang mengendalikan pedang.’ Beliau juga berkata, ‘jurus pedang adalah mati, sedangkan orang yang memainkan adalah hidup.’ Kalimat ini sangat benar, tapi mengapa Guru tidak pernah menyampaikan soal itu?”

Setelah merenung sejenak, Linghu Chong pun menemukan jawaban, “Ah, aku tahu sekarang! Guru pasti paham soal ini. Namun Beliau juga sadar kalau sifatku bebas merdeka sehingga Beliau enggan menyampaikan hal ini kepadaku. Agaknya Beliau khawatir aku terjebak dalam pikiran liar dan tidak mau lagi mengikuti aturan baku dalam berlatih ilmu pedang. Mungkin Guru akan menyampaikan rumusan tersebut apabila ilmu silatku sudah dirasa cukup tinggi. Hm, sedangkan adik-adik seperguruan memiliki ilmu silat yang lebih rendah dariku. Aku yakin mereka tidak akan paham jika kalimat rumus dasar tersebut aku sampaikan. Rasanya hanya buang-buang waktu saja.”

Sekejap kemudian pikiran pemuda itu beralih ke hal lain, “Kakek Guru Feng telah mencapai puncak kesempurnaan dalam ilmu pedang. Sayang sekali, aku belum sempat melihat Beliau bertarung dan memperlihatkan kepandaian sehingga aku bisa bertambah pengalaman. Jika dibandingkan dengan Guru, aku yakin ilmu pedang Kakek Guru Feng lebih tinggi.”

Teringat pula olehnya betapa raut muka Feng Qingyang selalu diliputi ketegangan dan pucat pasi. Ia pun berpikir, “Selama belasan hari ini Kakek Guru Feng seringkali menghirup napas panjang. Sepertinya Beliau teringat peristiwa menakutkan atau sejenisnya yang pernah Beliau alami.”

Perpisahan Feng Qingyang dan Linghu Chong.
(Bersambung)