Bagian 16 - Mencuri Semangka


Lu Dayou si Monyet Keenam mencari Linghu Chong.
Yue Lingshan kembali berkata, “Ayah, Kakak Pertama bersembunyi di sini untuk menyembuhkan lukanya. Tadi dia terkena pukulan Pendeta Yu satu kali. Keadaannya tentu bertambah parah. Mari kita lekas menjenguknya.”
Yue Buqun menggelengkan kepala dan berkata, “Sebaiknya Genming dan Daizi saja yang masuk.”
Gao Genming dan Shi Daizi mengiakan dan segera melompat ke dalam kamar melalui jendela. Namun tidak lama kemudian terdengar mereka berseru, “Guru, Kakak Pertama tidak ada di sini. Di kamar itu tidak ada siapa-siapa.” Cahaya api terlihat memancar keluar melalui jendela, pertanda kedua murid Huashan itu telah menyalakan lilin.
Yue Buqun mengerutkan dahinya. Sebagai seorang yang selalu menjaga kehormatan, pantang baginya masuk ke dalam rumah pelacuran yang kotor dan hina tersebut. Ia pun memerintahkan Lao Denuo untuk membantu mencari.
Setelah Lao Denuo masuk ke dalam kamar melalui jendela, Yue Lingshan berkata, “Ayah, aku juga ingin masuk untuk mencari.”
Namun Yue Buqun segera memegangi lengan putrinya itu dan berkata, “Hus! Kau tidak boleh sembarangan masuk ke tempat seperti ini!”
Yue Lingshan yang pernah menyaksikan kehebatan pukulan Yu Canghai merasa sangat cemas. Ia pun menukas dengan suara serak hampir menangis, “Tapi... tapi Kakak Pertama terluka parah. Aku takut... aku takut dia mati karena lukanya itu.”
“Jangan khawatir,” bisik Yue Buqun. “Dia telah diobati dengan Salep Penyambung Langit milik Perguruan Henshan. Jiwanya masih bisa diselamatkan.”
Yue Lingshan terlihat lega. Ia pun bertanya, “Dari mana... dari mana Ayah tahu?”
“Diam, jangan cerewet!” sahut Yue Buqun.
Linghu Chong yang belum pulih memang kembali terluka oleh sambaran angin pukulan Yu Canghai tadi. Lukanya kembali terbuka dan mengeluarkan banyak darah. Meskipun demikian, telinganya masih bisa mendengar dengan jelas suasana di luar kamar saat Yu Canghai dan Mu Gaofeng memperebutkan Lin Pingzhi. Namun begitu mendengar kedatangan Yue Buqun, seketika pemuda itu sangat ketakutan. Ia memang tidak takut kepada siapapun, kecuali kepada gurunya itu. Khawatir sang guru akan menghukumnya karena berada di dalam rumah pelacuran, ia pun berkata kepada Yilin dan Qu Feiyan, “Celaka, guruku ada di sini. Kita harus segera pergi.”
Sambil berjalan sempoyongan dan memegangi dinding, Linghu Chong menyusuri lorong Wisma Kumala. Qu Feiyan segera menarik lengan Yilin untuk berjalan di belakang pemuda itu. Khawatir Linghu Chong terjatuh dan kehilangan kesadaran, mereka berdua serentak memegangi lengan kanan dan kirinya untuk membantu ia berjalan.
Linghu Chong menyusuri sebuah serambi panjang sambil menggertakkan gigi menahan sakit. Ia sadar pendengaran dan penglihatan gurunya sangat tajam. Jika ia meninggalkan Wisma Kumala saat ini, tentu akan segera ketahuan. Maka, begitu melihat sebuah kamar besar di sisi kanan, buru-buru ia memasuki ruangan tersebut.
“Lekas tutup pintu dan jendela,” ujarnya dengan suara lirih. Qu Feiyan segera melaksanakan permintaan itu. Dalam keadaannya yang lemah lunglai, Linghu Chong segera merebahkan diri di atas ranjang. Napasnya pun terdengar sangat payah dan tersengal-sengal.
Ketiganya bersembunyi di dalam kamar besar itu tanpa bersuara sedikit pun. Selang beberapa lama akhirnya terdengar suara Yue Buqun berkata, “Sepertinya dia sudah pergi dari sini. Sudahlah, mari kita juga pergi.”
Linghu Chong merasa lega dan menghembuskan napas panjang. Namun beberapa lama kemudian kembali terdengar suara memanggil-manggil, “Kakak Pertama! Kakak Pertama!” Suara tersebut tidak lain adalah suara Lu Dayou si Monyet Keenam. Ternyata ia diam-diam berputar balik sementara guru dan saudara-saudaranya yang lain berangkat pergi.
Dalam hati Linghu Chong mengakui kalau Lu Dayou adalah saudara seperguruannya yang paling akrab dan setiakawan. Baru saja ia hendak menjawab tiba-tiba dilihatnya kain kelambu tampak bergetar. Rupanya Yilin yang duduk di tepi ranjang sedang gemetar ketakutan.
Menyadari hal itu Linghu Chong berpikir, “Jika aku menjawab panggilan Monyet Keenam, nama baik biksuni cilik ini bisa tercemar. Lebih baik aku diam saja.”
Lu Dayou memanggil berkali-kali namun Linghu Chong berusaha menahan diri untuk tidak menjawab. Akhirnya suara itu semakin menjauh dan tidak terdengar lagi, pertanda Si Monyet Keenam sudah pergi menyusul yang lainnya.
Setelah keadaan aman, Qu Feiyan berkata, “Linghu Chong, kau masih hidup atau sudah mati?”
“Mana mungkin aku mati? Kalau aku mati tentu akan merusak nama baik Perguruan Henshan,” jawab Linghu Chong.
“Apa maksudmu?” tanya Qu Feiyan.
Linghu Chong menjawab, “Aku telah diobati menggunakan salep dan pil buatan Perguruan Henshan. Kalau sampai tidak sembuh tentu aku akan merasa sangat bersalah kepada... kepada biksuni cilik ini.”
“Benar sekali,” ujar Qu Feiyan. “Kalau kau mati, tentu Kakak Yilin akan sangat menyesal.”
Mendengar Linghu Chong terluka parah tapi masih bisa bercanda, perasaan Yilin menjadi sedikit lega. Ia lantas berkata, “Kakak Linghu, kau telah mendapat pukulan Pendeta Yu. Biarkan aku memeriksa lukamu lagi.”
Linghu Chong mencoba bangun namun Qu Feiyan berkata, “Jangan memaksakan diri. Kau berbaring saja.”
Karena merasa tenaganya memang sangat lemah, Linghu Chong pun menurut untuk tetap berbaring di atas ranjang.
Setelah Qu Feiyan menyalakan lilin, Yilin dapat melihat betapa darah telah membasahi baju Linghu Chong. Tanpa memedulikan pantangan lagi, Yilin pun membuka baju pemuda itu dan membersihkan luka di dadanya menggunakan handuk yang tersedia di lemari kamar. Setelah itu, ia kembali mengoleskan Salep Penyambung Langit pada luka Linghu Chong.
“Wah, obat bagus seperti ini sayang sekali kalau dibuang-buang hanya untuk mengobatiku,” ujar Linghu Chong sambil tertawa.
“Kakak Linghu jangan bicara seperti itu,” sahut Yilin malu-malu. “Kau terluka parah demi untuk menolong diriku. Hanya obat ini yang bisa kuberikan kepadamu. Aku tidak tahu bagaimana lagi harus membalas kebaikanmu. Bahkan... bahkan....” Yilin merasa tidak tahu harus berkata apa lagi. Ia akhirnya menyambung, “Bahkan guruku memuji perbuatanmu yang berani menantang penjahat berilmu tinggi demi menegakkan kebenaran. Karena hal itu, sampai-sampai Guru bertengkar dengan Pendeta Yu.”
“Jangan terlalu memuji,” jawab Linghu Chong. “Asalkan Bibi Dingyi yang terhormat tidak mendampratku, bagiku itu sudah cukup.”
“Mana mungkin Beliau mendampratmu?” sahut Yilin cepat. “Kakak Linghu harus beristirahat sehari semalam, supaya lukamu tidak pecah dan berdarah lagi.” Usai berkata demikian ia lantas memasukkan tiga butir Pil Empedu Beruang Putih ke dalam mulut pemuda itu.
Qu Feiyan berkata, “Kakak Yilin, kau di sini saja untuk menjaganya. Aku harus lekas-lekas pulang, karena Kakek mungkin sudah menungguku.”
“Tidak, jangan pergi! Mana boleh aku ditinggal sendirian di sini?” sahut Yilin mencegah.
“Sendirian bagaimana?” balas Qu Feiyan sambil tertawa cekikikan. “Bukankah di sini ada Linghu Chong?” Gadis kecil itu lantas berpaling menuju pintu keluar.
“Pokoknya jangan pergi!” seru Yilin sambil melompat dan mencengkeram lengan Qu Feiyan.
“Hei, apa kau hendak bertarung denganku?” sahut Qu Feiyan sambil tersenyum menyeringai.
Wajah Yilin bersemu merah dan ia pun melepaskan cengkeramannya. “Adikku yang manis, tolong jangan pergi. Temani aku untuk menjaganya,” ujarnya memohon.
Qu Feiyan menjawab, “Baiklah, baiklah! Aku akan tetap di sini. Linghu Chong bukan orang jahat; kenapa kau takut kepadanya?”
“Apakah lenganmu terluka olehku?” sahut Yilin mengalihkan pembicaraan.
“Aku tidak apa-apa. Hanya keadaan Linghu Chong yang terlihat parah,” jawab Qu Feiyan.
Yilin terkesiap dan buru-buru mendekati ranjang. Begitu membuka kelambu, ia melihat Linghu Chong kehilangan kesadaran dengan mata tertutup rapat. Ia lantas meletakkan tangan di depan hidung pemuda itu untuk merasakan pernapasannya. Seketika hatinya lega karena napas Linghu Chong sudah mulai teratur.
Tiba-tiba terdengar jendela dibuka dan Qu Feiyan tertawa kecil. Serentak Yilin menoleh dan melihat gadis kecil itu sudah pergi melompati jendela.
Yilin merasa kebingungan namun juga tidak mampu mengejar gadis kecil yang lincah itu. Dengan perasaan cemas ia berkata kepada Linghu Chong, “Dia... dia sudah pergi.”
Namun waktu itu efek samping Pil Empedu Beruang Putih sedang bekerja, membuat Linghu Chong kehilangan kesadaran. Tentu saja semua perkataan Yilin tidak terdengar olehnya. Dalam kesendirian Yilin gemetar karena bingung. Agak lama kemudian barulah ia berani melangkah untuk menutup jendela.
Diam-diam biksuni muda itu lantas berpikir, “Aku harus segera pergi dari sini. Bagaimana kalau sampai ada orang yang melihat kami di sini? Bisa-bisa nama baik Perguruan Huashan dan Henshan akan tercemar.” Melihat Linghu Chong terbaring lemah ia kembali berpikir, “Kakak Linghu masih sangat lemah. Seorang anak kecil sudah cukup untuk membunuhnya. Bagaimana mungkin aku tega meninggalkan dia seorang diri di sini?”
Dalam kegelapan malam hanya terdengar suara kawanan anjing menggonggong di jalanan. Selain itu tidak terdengar suara apa-apa lagi. Wisma Kumala yang tadinya ramai kini berubah sunyi senyap. Di dalam rumah besar itu hanya ada Yilin dan Linghu Chong berdua. Meskipun sangat ketakutan, namun sedikit pun Yilin tidak berani bergerak sembarangan. Ia hanya duduk diam di atas kursi menunggu Linghu Chong yang masih tertidur akibat pengaruh obat.
Beberapa lama kemudian terdengar suara ayam jantan berkokok, pertanda fajar mulai menyingsing. Yilin terkesiap dan berpikir, “Hari sudah mulai terang. Kalau ada orang lain yang datang bisa berbahaya. Bagaimana ini? Bagaimana ini?”
Usia Yilin masih sangat muda dan ia juga seorang biksuni yang setiap hari tinggal di Biara Awan Putih, di bawah bimbingan Biksuni Dingyi. Dengan demikian, pengalaman hidupnya sangat terbatas. Dalam keadaan serbasulit seperti saat ini ia merasa sangat cemas dan gelisah, tidak tahu harus berbuat apa.

Yilin menunggui Linghu Chong yang terlelap karena pengaruh obat.
Tiba-tiba terdengar suara beberapa orang berjalan mendekati Wisma Kumala. Sesampainya di depan rumah mereka berhenti dan berbicara dengan suara perlahan, “Kalian berdua periksalah ke sebelah barat. Jika bertemu Linghu Chong, kalian harus menangkap dia hidup-hidup. Dia sedang terluka parah, maka tidak mungkin bisa melawan kita.”
Yilin terkejut mendengar suara-suara dari luar itu. Ia pun berpikir, “Bagaimanapun juga, aku harus melindungi Kakak Linghu, jangan sampai ia jatuh ke tangan orang jahat.”
Perlahan-lahan Yilin membungkus tubuh Linghu Chong menggunakan selimut lalu menggendongnya dengan kedua tangan. Setelah memadamkan lilin, ia membuka pintu perlahan-lahan dan menyelinap keluar. Ia tidak tahu harus pergi ke mana, kecuali menjauhi arah suara orang-orang tadi. Begitu membuka pintu belakang gedung ia menyusup ke dalam kebun sayur. Setelah melewati kebun tersebut ia menemukan pintu pekarangan belakang dalam keadaan terbuka karena para penghuni wisma tadi malam berlarian keluar tanpa sempat menutupnya kembali. Merasa beruntung, Yilin pun membawa tubuh Linghu Chong melewati pintu tersebut dan berlari sekencang-kencangnya melalui jalanan kota.
“Aku harus membawa Kakak Linghu meninggalkan Kota Hengshan,” demikian pikirnya sambil terus berlari. Sesampainya di gerbang kota, ia melihat serombongan tukang sayur dari desa masuk ke dalam kota. Yilin pun menunduk saat berpapasan dengan rombongan tersebut sehingga berhasil mengelabui para petugas penjaga gerbang.
Biksuni muda itu terus berlari tanpa henti membawa tubuh Linghu Chong sampai beberapa kilo jauhnya. Di luar Kota Hengshan ia mengambil jalanan kecil yang menuju arah pegunungan. Ketika perasaannya sudah mulai tenang, Yilin melihat ke bawah dan menyaksikan bibir Linghu Chong tampak tersenyum. Melihat pemuda itu sudah sadar, ia menjadi gugup dan tanpa sadar tangannya melepaskan tubuh Linghu Chong.
“Amitabha,” seru Yilin sambil menangkap kembali tubuh pemuda itu yang hampir saja jatuh ke tanah.
“Maaf,” katanya. “Apakah lukamu kambuh lagi?”
“Aku baik-baik saja,” jawab Linghu Chong. “Kau sudah letih. Lembah ini sangat sepi. Sebaiknya kita beristirahat di dalam sana.”
Rupanya yang datang untuk menggeledah rumah pelacuran tadi adalah murid-murid Perguruan Qingcheng. Yilin tidak peduli lagi dengan keadaannya dan ia pun berlari sekuat tenaga membawa pergi tubuh Linghu Chong. Yang ada dalam pikirannya hanyalah bagaimana ia harus menjauhkan pahlawan penolongnya itu dari ancaman bahaya. Kini keduanya telah selamat. Yilin baru merasakan betapa tubuhnya sangat letih setelah berlari sekian lama. Perlahan-lahan ia menurunkan Linghu Chong ke tanah, kemudian duduk lemas dengan napas tersengal-sengal.
Linghu Chong tersenyum dan berkata, “Kau lupa mengatur napasmu saat berlari tadi. Ini seharusnya tidak dilakukan oleh... oleh seorang murid persilatan. Lain kali kau harus tetap... tetap tenang agar tidak mudah terluka dalam.”
Yilin terlihat malu dan menjawab, “Terima kasih atas nasihatmu, Kakak Linghu. Guruku juga pernah mengajarkan demikian. Hanya saja, aku sendiri yang terlalu bodoh sehingga melupakan pelajaran tersebut.” Setelah berhenti sejenak, ia kembali bertanya dengan napas masih terengah-engah, “Bagaimana dengan lukamu?”
“Sekarang sudah tidak terasa sakit lagi,” jawab Linghu Chong. “Hanya saja, kali ini terasa gatal dan mati rasa.”
“Bagus sekali,” jawab Yilin. “Itu pertanda Salep Penyambung Langit sudah bekerja dengan baik. Kau akan segera sembuh.”
“Ini semua berkat obat mujarab milik perguruanmu,” ujar Linghu Chong sambil menghela napas. “Sayang sekali aku dalam keadaan terluka, sehingga harus melarikan diri menghindari bangsat rendah Perguruan Qingcheng tadi. Tapi, kalau kita sampai tertangkap oleh mereka, tentu rasanya jauh lebih mengerikan daripada mati. Nama baik perguruan kita bisa tercemar.”
“Jadi, kau mengikuti semua kejadian tadi?” sahut Yilin tak percaya. Begitu teringat dirinya telah menggendong tubuh Linghu Chong dalam waktu yang cukup lama dan ternyata pemuda itu mengetahui semuanya, seketika wajahnya pun bersemu merah; apalagi sewaktu pemuda itu kini sedang menatapnya.
Linghu Chong tidak menyadari perasaan Yilin. Ia hanya mengira kalau biksuni muda itu terlalu letih. Maka, ia pun berkata, “Adik, sebaiknya kau duduk tenang dan menjalankan pernapasan secara teratur sesuai pelajaran yang pernah kau peroleh. Dengan mengendalikan tenagamu, maka kau tidak akan jatuh sakit.”
“Baiklah,” jawab Yilin mengiakan. Ia kemudian duduk bersila dan mengatur pernapasan sambil memejamkan mata. Akan tetapi perasaannya sangat gelisah dan sukar mencapai keheningan. Sebentar-sebentar ia membuka mata untuk melihat luka Linghu Chong atau memandang pemuda itu apakah sedang melihat ke arahnya. Sewaktu membuka mata untuk yang keempat kalinya, ternyata Linghu Chong juga sedang memandang dirinya. Seketika ia pun tersipu malu dan memejamkan mata rapat-rapat.
Melihat tingkah laku Yilin tersebut, Linghu Chong tertawa terbahak-bahak.
“Kenapa tertawa?” tanya Yilin dengan nada canggung. Wajahnya terlihat semakin merah.
Linghu Chong menjawab, “Kau masih terlalu muda. Latihan meditasimu belum sempurna sehingga masih belum bisa mengheningkan cipta dengan baik. Jika kau tidak bisa mencapai keheningan, tidak ada gunanya kau memaksakan diri seperti itu. Biksuni Dingyi pasti pernah mengajarimu cara meditasi yang baik, yaitu bagaimana mencapai keheningan tanpa harus memaksakan diri. Terutama dalam ilmu pernapasan, kau harus melakukannya dengan tenang dan teratur,” jawab Linghu Chong sambil terus tertawa. “Sudahlah, tidak perlu khawatir. Tenagaku sudah berangsur pulih. Andaikata orang-orang Qingcheng itu bisa menemukan tempat ini, tentu aku akan menyuruh mereka memperagakan jurus... jurus Belibis Mendarat Tampak Pantat.”
Yilin menukas, “Belibis Mendarat di Pasir.”
“Benar sekali,” sahut Linghu Chong. “Rasanya nama Belibis Mendarat di Pasir memang jauh lebih bagus.” Usai berkata demikian napasnya kembali tersengal-sengal.
“Jangan banyak bicara dulu!” seru Yilin. “Istirahat saja lagi.”
Linghu Chong berkata, “Guruku ternyata datang juga ke Kota Hengshan ini. Tadinya kukira cukup diwakili para murid seperti kami. Aku ingin segera pulih dan kembali ke sana untuk menyaksikan upacara Paman Liu, pasti akan sangat meriah.”
Melihat bibir Linghu Chong yang kering dan wajahnya yang pucat, Yilin pun sadar kalau pemuda itu sudah kehilangan banyak darah sehingga perlu diberi minum sebanyak-banyaknya. “Aku harus mencari air. Tentu kau sangat haus, bukan?” katanya sambil bangkit perlahan-lahan.
Linghu Chong menjawab, “Sewaktu menuju kemari tadi aku sempat melihat ada banyak semangka tumbuh di ladang sebelah timur sana. Coba kau petik beberapa buah yang sudah masak.”
“Baiklah,” sahut Yilin sambil merogoh kantongnya yang ternyata kosong melompong. “Kakak Linghu, apakah kau punya uang?” tanyanya kemudian.
“Untuk apa?” tanya Linghu Chong heran.
“Untuk membeli semangka,” jawab Yilin.
“Kenapa harus beli? Petik saja beberapa buah, kemudian bawa kemari,” ujar Linghu Chong. “Di sekitar ladang tidak terdapat rumah penduduk. Petani pemilik semangka itu tentu berada jauh dari sini. Kepada siapa pula kau akan membayarnya?”
“Tapi, mengambil tanpa permisi sama saja... sama saja dengan mencuri, bukan?” sahut Yilin. “Guru bilang, kita tidak boleh mencuri meskipun hanya sekali. Kalau tidak punya uang lebih baik meminta sedekah. Hanya minta sebuah saja kemungkinan besar pasti diberi.”
“Ah, dasar kau biksuni...” tukas Linghu Chong hendak menyebut “biksuni bodoh”. Namun begitu teringat perjuangan Yilin yang mati-matian menolong dirinya, ia pun menelan kata-kata makian tersebut.
Sebaliknya, melihat Linghu Chong tampak kurang senang, Yilin terdiam tidak berani membantah lagi. Ia kemudian bergegas menuju ke jalan pedesaan tadi.
Setelah berjalan lebih dari satu kilometer, Yilin akhirnya menemukan sebidang tanah ladang yang dimaksudkan Linghu Chong tadi. Ladang itu terlihat penuh dengan semangka yang berukuran besar. Suasana sunyi senyap, dan hanya terdengar suara jengkerik bersahut-sahutan. Yilin tidak melihat seorang pun berada di sana kecuali dirinya sendiri.
“Kakak Linghu sangat haus dan menginginkan buah semangka ini. Tapi, aku tidak mungkin mengambil tanpa minta izin terlebih dulu,” ujarnya kepada diri sendiri.
Yilin lantas berjalan beberapa ratus meter namun tidak menemukan seseorang, ataupun gubuk, rumah, dan semacamnya. Akhirnya, ia pun kembali ke ladang tadi dan mendekati salah satu semangka yang sudah masak. Hatinya bimbang dan ragu-ragu. Tangannya menjulur mencoba untuk memetik buah itu namun segera ditariknya kembali begitu terbayang wajah gurunya sedang memberi nasihat. Dengan langkah berat, ia pun berniat pergi meninggalkan ladang tersebut.
Akan tetapi, begitu terbayang wajah Linghu Chong yang pucat pasi dan bibirnya kering ia menjadi gelisah. Dengan menggigit bibir biksuni muda itu merangkap kedua tangan lalu berdoa, “Wahai, Sang Buddha... saya tidak ingin mencuri. Ini semua demi Kakak Linghu. Kakak Linghu ingin... ingin memakan semangka ini.” Namun begitu menyimpulkan kalau “Kakak Linghu ingin memakan semangka” bukan alasan yang bagus untuk mencuri, seketika mata Yilin pun berkaca-kaca.
Dengan memejamkan mata dan menggertakkan gigi, Yilin lantas menarik buah semangka itu hingga putus dari akarnya. Dalam hati ia berpikir, “Kakak Linghu telah menyelamatkan jiwaku. Asalkan bisa membalas kebaikannya, aku rela masuk neraka yang paling dasar dan tidak terlahir kembali. Yang mencuri semangka ini adalah aku; tidak ada sangkut pautnya dengan Kakak Linghu.”

Yilin mengalami perang batin saat mencuri semangka.
Dengan menggunakan kedua tangannya, Yilin menggendong semangka tersebut dan berjalan kembali ke tempat Linghu Chong berada.
Linghu Chong seorang pemuda yang berjiwa bebas. Ia tidak terlalu peduli dengan peraturan atau tata krama bermasyarakat. Ketika Yilin mengaku lebih baik mengemis daripada mencuri, ia hanya menilai biksuni muda itu sebagai seorang gadis kecil yang belum berpengalaman. Sama sekali ia tidak menyadari bahwa di dalam hati si biksuni muda telah terjadi perang batin karena memetik satu buah semangka tanpa izin tersebut. Maka, begitu melihat Yilin datang membawa sebuah semangka untuknya, ia terlihat sangat senang.
“Adik pintar, adik manis!” ujarnya memuji
Seketika perasaan Yilin tergetar begitu mendengar pujian tersebut. Hampir saja semangka itu terlepas dan jatuh ke tanah. Untungnya, ia sempat menangkap semangka itu kembali.
“Hei, kenapa kau jadi gugup?” tanya Linghu Chong sambil tertawa. “Apa kau baru saja dikejar orang dan dituduh mencuri?”
“Tidak. Aku tidak dikejar siapa-siapa,” jawab Yilin. “Tidak seorang pun yang melihatku.” Usai berkata demikian, biksuni muda itu duduk dengan wajah bersemu merah.
Saat itu matahari sudah mulai naik di ufuk timur. Sinarnya yang cemerlang membuat pagi itu terasa hangat dan nyaman. Linghu Chong dan Yilin kini berada di suatu tempat teduh di lembah Pegunungan Hengshan. Cuaca tampak begitu cerah setelah beberapa hari sebelumnya sering turun hujan. Daun-daun pepohonan berwarna hijau bersih seolah baru saja dicuci oleh air hujan tersebut.
Perlahan-lahan Yilin mencabut pedangnya untuk membelah semangka. Begitu memandangi ujung pedangnya yang sudah patah, ia pun berpikir, “Ilmu silat Tian Boguang sangat hebat. Andai saja Kakak Linghu tidak menolongku, mungkin aku tidak akan bisa merasakan pagi yang seindah ini lagi.”
Sekilas ia melirik ke arah Linghu Chong yang masih pucat pasi. “Demi bisa menolong Kakak Linghu, aku rela bergelimang dosa. Meskipun harus melanggar peraturan lebih banyak lagi aku tidak menyesal,” demikian pikirnya.
Yilin lantas mengayunkan pedangnya untuk membelah semangka. Ternyata semangka tersebut berasal dari jenis yang bagus sehingga bau harumnya langsung tercium begitu dibuka.
“Semangka bagus!” puji Linghu Chong. “Adik Yilin, aku jadi teringat perayaan tahun baru yang telah lalu. Saat itu, aku dan murid-murid Huashan lainnya sedang minum arak bersama. Tiba-tiba saja Adik Kecil berkata, ‘Anjing kecil di sebelah kiri, semangka bodoh di sebelah kanan; menurut kalian apa, coba?’ Waktu itu Lu Dayou – yaitu adik keenamku yang tadi malam mencari-cari diriku – sedang duduk di sebelah kiri Adik Kecil, sedangkan aku duduk di sebelah kanannya.”
Yilin tersenyum menanggapi, “Adik kecilmu sedang mengolok-olok dirimu dan Kakak Lu.”
“Tepat sekali! Tapi aku tidak tersinggung. Aku disebutnya semangka, sedangkan Adik Lu disebut anjing kecil,” jawab Linghu Chong. “Nah, saat ini pun kejadiannya mirip dengan waktu itu. Di sebelah kananku ada semangka, dan di sebelah kiriku ada anjing kecil.” Sambil berkata demikian ia menunjuk semangka, kemudian menunjuk wajah Yilin.
“Ah, kau mengolok-olok aku sebagai anjing kecil,” ujar Yilin.
Biksuni muda itu kemudian mengiris salah satu belahan dan memberikannya kepada Linghu Chong setelah membersihkan bijinya. Linghu Chong segera memakan irisan itu dengan lahap.
Yilin merasa sangat senang melihat Linghu Chong menikmati semangka irisannya. Dilihatnya air buah tersebut menetes membasahi dagu pemuda itu yang makan sambil berbaring. Maka, Yilin pun mengiris lebih kecil lagi dan memberikannya ke tangan Linghu Chong satu demi satu.
Setiap kali Linghu Chong mengulurkan tangan untuk menerima irisan baru, ia tampak meringis menahan sakit. Tanpa banyak pikir, Yilin pun menyuapkan irisan di tangannya ke dalam mulut pemuda itu.
Setelah menghabiskan hampir dari setengah buah tersebut, Linghu Chong baru sadar kalau Yilin belum makan sama sekali. Ia pun berkata, “Kau juga silakan makan.”
“Nanti saja,” jawab Yilin. “Kau makan saja dulu sampai puas.”
“Sudah, aku sudah cukup,” kata Linghu Chong. “Sekarang giliranmu yang makan.”
Yilin sendiri juga merasa sangat haus. Ia lantas mengambil sepotong dan segera memakannya. Melihat Linghu Chong memandanginya tanpa berkedip, biksuni itu merasa malu dan berputar membelakangi.
“Wah, betapa cantiknya!” puji Linghu Chong tiba-tiba. Ucapannya itu terdengar penuh dengan perasaan.
Yilin terperanjat. Wajahnya semakin merah bertambah malu. Diam-diam ia berpikir, “Mengapa tiba-tiba dia menyebutku cantik? Apa maksudnya?”
Mendengar pujian itu, perasaan Yilin bagaikan melayang-layang di angkasa. Dadanya terasa hangat dan lehernya sampai berwarna merah. Sedikit pun ia tidak berani menoleh ke arah Linghu Chong.
“Coba kau lihat itu, alangkah cantiknya!” seru Linghu Chong kembali terdengar.
Perlahan-lahan Yilin memberanikan diri untuk menoleh. Ternyata jari Linghu Chong menunjuk ke arah langit sebelah barat, tepatnya ke sebuah pelangi yang tampak melengkung di sana.
Baru sekarang Yilin sadar kalau yang dipuji ‘cantik’ oleh Linghu Chong bukanlah dirinya, melainkan pelangi tersebut. Dalam hati ia merasa sangat malu menghadapi pemuda itu. Namun rasa malu yang sekarang ini bercampur kekecewaan; benar-benar berbeda dengan yang sebelumnya.
“Hei, coba kau dengar baik-baik,” kembali Linghu Chong berkata.
Yilin pun menajamkan pendengarannya. Sayup-sayup terdengar suara gemercik air dari arah munculnya pelangi. “Seperti suara air terjun,” katanya.
“Benar. Setelah hujan beberapa hari biasanya di daerah pegunungan banyak tercipta air terjun,” ujar Linghu Chong. “Mari kita ke sana untuk melihatnya.”
“Kau... kau sebaiknya beristirahat dulu,” ujar Yilin memberi saran.
“Ah, di sini hanya ada batu-batuan, apa bagusnya?” jawab Linghu Chong. “Lebih baik kita pergi melihat air terjun.”
Yilin tidak membantah lagi. Ia pun membantu pemuda itu bangkit berdiri. Tiba-tiba wajahnya kembali merah saat berpikir, “Sudah dua kali aku menggendong Kakak Linghu. Yang pertama sewaktu meninggalkan Rumah Minum Dewa Mabuk; dan yang kedua sewaktu kabur dari Wisma Kumala tadi pagi. Meskipun belum pulih benar, namun saat ini dia sedang terjaga, tidak pingsan lagi. Tidak mungkin aku menggendong tubuhnya. Aih, dia ingin mengajakku ke dekat air terjun; mungkinkah itu hanya alasan supaya aku... supaya aku memapah dirinya?”
Saat perasaan Yilin diliputi tanda tanya, Linghu Chong sudah memungut sebatang ranting pohon untuk digunakannya sebagai tongkat. Lagi-lagi Yilin salah menduga. Segera ia berjalan mendahului pemuda itu sambil memaki diri sendiri di dalam hati, “Huh, bodohnya aku! Kenapa aku masih suka berpikiran yang tidak-tidak? Kakak Linghu seorang kesatria sejati. Kenapa aku berpikir bahwa dia akan berbuat macam-macam? Mungkin semua ini karena aku sedang sendiri bersama seorang laki-laki. Aih, Kakak Linghu dan Tian Boguang memang sama-sama laki-laki. Tapi sifat mereka sangat berbeda. Kenapa aku menganggapnya sama dengan Tian Boguang yang cabul itu?”
Linghu Chong berjalan sempoyongan namun masih dapat menguasai diri. Dengan langkah perlahan-lahan ia menyusuri jalan setapak menuju ke arah suara air terjun tersebut. Sampai akhirnya, perjalanannya terhenti karena berjumpa sebongkah batu besar. Yilin buru-buru membantunya duduk di atas batu tersebut.
“Dari sini sudah bisa melihat air terjun itu. Apakah kau harus melihatnya dari tempat yang lebih dekat?” ujar biksuni itu bertanya.
“Kalau kau berkata demikian, maka aku akan berhenti di sini,” sahut Linghu Chong tersenyum.
“Baiklah, baiklah,” jawab Yilin mengalah. “Mungkin pemandangan di sana bisa membantu mempercepat penyembuhanmu.”
Linghu Chong tertawa dan bangkit perlahan-lahan. Keduanya pun melanjutkan perjalanan. Suara gemuruh air terdengar semakin deras. Setelah melewati tanjakan dan sekelompok pepohonan, akhirnya mereka melihat sebuah air terjun yang airnya jernih laksana dituang dari langit.
Linghu Chong berkata, “Di Puncak Gadis Kumala, di atas Gunung Huashan, juga terdapat air terjun seindah ini, bahkan lebih besar lagi. Di waktu senggang, Adik Kecil suka mengajakku berlatih pedang di depan air terjun tersebut.”
Yilin terkesiap mendengar itu. Dadanya terasa sakit seperti dicubit karena terlintas dalam benaknya, bahwa tujuan Linghu Chong mengajaknya ke air terjun tersebut hanya karena terkenang kepada si adik kecil.
Terdengar Linghu Chong melanjutkan, “Beberapa kali ia mengajakku berlatih di bawah guyuran air terjun. Katanya, tenaga air yang jatuh akan memperkuat daya permainan pedang kami. Kami sering basah kuyup tersiram air. Bahkan, ia pernah nyaris terperosok ke dalam kolam di bawah air terjun tersebut. Untungnya, aku sempat menangkap tubuhnya. Wah, kejadian itu hampir saja membuatnya celaka.”
Yilin terdiam sejenak, lalu bertanya dengan suara datar, “Berapa jumlah adik seperguruanmu yang perempuan?”
“Di Huashan, aku memiliki tujuh orang adik seperguruan perempuan,” jawab Linghu Chong. “Enam di antaranya adalah murid-murid ibu guru kami, sedangkan Adik Kecil yang aku maksud adalah putri guruku. Ia bernama Yue Lingshan. Kami biasa memanggilnya dengan sebutan ‘adik kecil’.”
“Oh, jadi dia adalah putri Paman Yue,” sahut Yilin. “Tentu dia... dia sangat baik kepadamu, bukan?”
“Linghu Chong duduk perlahan-lahan sambil menjawab, “Aku ini seorang yatim piatu. Lima belas tahun yang lalu, Guru dan Ibu Guru memungut diriku dan menerimaku sebagai murid. Waktu itu Adik Kecil masih berusia tiga tahun. Usia kami berbeda cukup jauh, dan aku sering menggendongnya untuk bersama-sama mencari buah atau menangkap kelinci. Boleh dikata, kami berdua dibesarkan bersama-sama. Guru tidak memiliki anak laki-laki, sehingga diriku diperlakukan seperti anak kandung. Adik Kecil sendiri sudah seperti adik kandungku.”
“Oh, rupanya begitu,” sahut Yilin. Ia diam sejenak kemudian kembali berkata, “Aku juga seorang yatim piatu. Orang tuaku entah ada di mana. Sejak kecil aku sudah menjadi biksuni di bawah asuhan Guru.”
“Sayang sekali, sayang sekali!” gumam Linghu Chong. Yilin langsung menoleh dan memandanginya dengan penuh tanda tanya.
“Kalau saja kau tidak menjadi murid Bibi Dingyi, tentu aku bisa memohon kepada Ibu Guru supaya menerimamu sebagai murid,” lanjut Linghu Chong. “Perguruan kami memiliki lebih dari dua puluh orang murid. Setelah berlatih, kami biasa bermain sama-sama. Guru dan Ibu Guru tidak terlalu membatasi kami dengan peraturan ketat. Jika kau bertemu Adik Kecil, tentu kalian akan cocok dan bisa menjadi teman akrab.”
“Sayang sekali aku tidak seberuntung itu,” jawab Yilin. “Namun di Biara Awan Putih, Guru dan para kakak juga sangat baik kepadaku. Di sana... aku sangat bahagia.”
“Ya, aku yang salah bicara,” ujar Linghu Chong. “Ilmu pedang Bibi Dingyi sangat hebat. Jika Guru dan Ibu Guru sedang membicarakan ilmu pedang, Beliau berdua selalu memuji Bibi Dingyi. Perguruan Henshan sama bagusnya dengan Perguruan Huashan kami.”
Mendengar pujian itu Yilin menjadi bersemangat. Ia pun berkata, “Kakak Linghu, dulu kau pernah berkata bahwa Tian Boguang dalam pertarungan sambil berdiri ada di urutan keempat belas, sedangkan Paman Yue urutan kedelapan. Lalu, guruku masuk urutan ke berapa?”
“Ah, aku hanya menipu Tian Boguang saja,” jawab Linghu Chong. “Tinggi atau rendahnya ilmu silat seseorang selalu mengalami perubahan; tidak bisa ditentukan begitu saja melalui penilaian sepihak. Ada yang mengalami kemajuan pesat, ada pula yang mengalami kemunduran, misalnya akibat bertambahnya usia. Ilmu silat Tian Boguang memang tinggi, tapi belum tentu ia adalah pendekar terhebat nomor empat belas di dunia persilatan. Aku hanya menyanjungnya supaya dia senang dan menjadi lengah.”
“Oh, jadi kau hanya membohonginya saja,” ujar Yilin. Biksuni cantik itu lalu terdiam memandangi derasnya air terjun. Pikirannya melayang-layang memikirkan sesuatu. Tiba-tiba ia bertanya, “Kakak Linghu, apakah kau selalu membohongi orang?”
“Tergantung keadaan,” jawab Linghu Chong sambil tertawa. “Yang perlu dibohongi harus dibohongi; yang tidak perlu dibohongi, maka tidak perlu dibohongi. Misalnya, kepada Guru dan Ibu Guru tidak mungkin aku berani membohongi mereka.”
“Lalu, bagaimana dengan adik-adik seperguruanmu?” Yilin kembali bertanya. Sebenarnya ia ingin bertanya, “Apakah kau juga sering membohongi adik kecilmu?” Namun entah mengapa ia mengalihkan pertanyaan tersebut.
“Tergantung keadaan juga,” jawab Linghu Chong. “Dengan sesama saudara kami sering bercanda dan bergurau. Kalau bergurau tanpa tipu-menipu dan saling bohong rasanya kurang menarik.”
“Kepada adik kecilmu juga?” sahut Yilin yang akhirnya bertanya demikian.
Linghu Chong mengerutkan dahi lalu menjawab, “Untuk urusan penting aku tidak pernah berbohong kepadanya. Tapi kalau untuk bercanda dan bermain-main, dia juga sering kubohongi.”
Diam-diam Yilin merasa iri pada kehidupan di Huashan yang riang gembira. Selama ini ia hidup di dalam Biara Awan Putih yang sederhana dan kaku. Biksuni Dingyi juga tidak pernah terlihat tertawa atau bercanda. Meskipun akrab dengan saudara-saudara seperguruan, namun pada dasarnya mereka tidak pernah bergurau satu sama lain. Biksuni Dingjing dan Biksuni Dingxian memang memiliki beberapa murid dari kalangan bukan biksuni. Murid-murid Henshan golongan ini memang periang, namun mereka agak segan jika bercanda dengan murid-murid golongan biksuni. Dengan kata lain, Yilin hidup di Gunung Henshan dalam suasana kesunyian. Setiap hari yang ia lakukan hanya membaca kitab suci, berlatih silat, atau memasak sayuran.
Begitu mendengar penuturan Linghu Chong, seketika angan-angan Yilin melayang-layang. Ia pun berpikir, “Alangkah bahagia andaikan aku bisa berkunjung ke Gunung Huashan dan bermain dengan Kakak Linghu dan saudara-saudaranya. Tapi... setelah semua kejadian yang kualami, tentu Guru akan semakin membatasi diriku. Keinginan untuk berkunjung ke Huashan pasti hanya impian belaka. Sekalipun aku bisa datang ke sana, pasti Kakak Linghu hanya sibuk menemani adik kecilnya; sedikit pun tidak peduli kepadaku. Entah siapa yang sudi menemani diriku ini?” Berpikir demikian membuat mata Yilin berkaca-kaca.
Linghu Chong yang tidak mengetahui isi hati Yilin tetap saja bercerita sambil memandangi air terjun. “Adik Kecil dan aku sedang menyempurnakan sebuah ilmu pedang yang kami ciptakan dengan bantuan derasnya air terjun. Adik Yilin, apakah kau mengetahui maksudnya?”
“Aku tidak tahu,” jawab Yilin sambil menggelengkan kepala. Suaranya agak parau namun tidak terdengar jelas oleh Linghu Chong.
“Saat bertemu musuh berkepandaian tinggi, tentu tusukan atau sabetan pedangnya disertai tenaga dalam yang mematikan. Nah, kami menganggap air terjun itu bagaikan tenaga yang menyertai serangan musuh. Dengan berlatih di bawah air terjun, kami membayangkan sedang menangkis serangan lawan sekaligus berusaha mengembalikan tenaga dalamnya supaya menghantam musuh itu sendiri.”
Melihat Linghu Chong bercerita dengan penuh semangat, Yilin berusaha tersenyum untuk tidak membuatnya kecewa. Ia pun bertanya, “Apakah kalian sudah berhasil menguasai ilmu pedang tersebut?”
“Belum, belum!” jawab Linghu Chong. “Menciptakan sebuah ilmu silat baru adalah pekerjaan yang sangat sulit. Lagipula, kami tidak menciptakan jurus-jurus baru, hanya mengubah dan merangkai beberapa jurus pedang Huashan yang sudah ada. Meskipun berlatih di air terjun adalah sesuatu yang baru dan sangat bermanfaat, namun kami melakukannya hanya untuk bersenang-senang. Kau dapat melihat sendiri, ilmu pedang tersebut tidak berguna untuk menghadapi Tian Boguang.”
“Apa nama ilmu pedang yang kalian ciptakan itu?” tanya Yilin dengan suara lirih.
“Ah, sebenarnya aku tidak bermaksud memberinya nama,” jawab Linghu Chong. “Tapi Adik Kecil bersikeras memberinya nama jurus Pedang Chongling, gabungan dari nama kami berdua, Linghu Chong dan Yue Lingshan.”

Linghu Chong memuji indahnya pelangi.
(Bersambung)

bagian 15 ; halaman muka ; bagian 17