Bagian 80 - Biksuni Sepuh Berwawasan Luas

Biksuni Dingxian keluar dari dalam gua.

Musuh yang tersisa masih sekitar empat puluh atau lima puluh orang. Mereka ngeri menyaksikan kehebatan Linghu Chong yang bertarung seperti hantu, sukar dilawan dan ditangkis serangannya. Salah satu dari mereka kemudian berseru keras dan seketika setengah dari orang-orang itu berlarian ke dalam hutan.

Linghu Chong kembali membinasakan belasan orang, membuat sisanya semakin putus asa. Mereka pun buru-buru melarikan diri sekencang-kencangnya. Kini yang tersisa hanya tinggal ketiga laki-laki tadi yang masih terus mengejar di belakang, tapi jaraknya semakin renggang, jelas mereka pun mulai gentar.

Tiba-tiba Linghu Chong berputar balik, kemudian bertanya, “Kalian dari Perguruan Songshan, bukan?”

Ketiga orang itu langsung melompat mundur. Seorang di antaranya yang bertubuh tinggi besar balas membentak, “Siapa kau?”

Linghu Chong tidak menjawab. Ia berseru kepada Yu Sao dan yang lain, “Lekas kalian membuka jalan untuk menolong teman-teman yang terkurung api.”

Murid-murid Henshan pun berusaha memadamkan api yang sudah menjilat tumpukan rumput. Yihe dan beberapa kawannya sudah melompat masuk ke tengah lingkaran api. Rumput dan kayu kering yang sudah berkobar itu sulit dipadamkan lagi. Untung di bawah kerja sama belasan orang itu, lingkaran api dapat dibobol menjadi suatu lorong jalan. Yihe dan yang lain segera memapah keluar beberapa biksuni dari dalam gua pembakaran yang sudah lemas karena terlalu banyak menghirup asap.

“Bagaimana dengan Biksuni Dingxian?” tanya Linghu Chong.

“Terima kasih banyak atas perhatianmu,” tiba-tiba terdengar suara wanita tua menanggapi. Menyusul kemudian muncul seorang biksuni berbadan sedang melangkah keluar dengan tenang dari lingkaran api. Jubahnya yang berwarna biru muda tampak bersih, tangannya juga tidak memegang senjata, hanya tangan kiri membawa seuntai tasbih. Wajahnya memancarkan rasa welas asih, sikapnya tenang dan kalem.

Diam-diam Linghu Chong berpikir, “Biksuni Dingxian memiliki pembawaan yang tenang. Meskipun nyawanya terancam, tetapi masih bisa menguasai diri. Nama besarnya benar-benar sesuai dengan kenyataan.” Segera ia memberi hormat dan berkata, “Saya Linghu Chong menyampaikan salam hormat kepada Biksuni.”

Biksuni Dingxian merangkap tangan membalas hormat, tapi kemudian berkata, “Awas, ada orang menyerangmu!”

“Ya,” sahut Linghu Chong sambil mengelak dan sedikit melirik. Pedangnya lantas diayun ke belakang. Terdengar suara benturan satu kali dan tusukan pedang laki-laki gemuk telah ditangkisnya. Lalu ia berkata, “Saya datang terlambat, mohon Bibi Biksuni sudi memaafkan.” Bersamaan itu terdengar suara nyaring dua kali. Kembali serangan kedua orang yang lain dari samping dapat ditangkisnya pula.

Saat itu belasan biksuni telah terbebas dari lingkaran api, bahkan ada pula yang sudah menjadi mayat dan digotong keluar. Biksuni Dingyi memaki dengan geram, “Kawanan bangsat tidak tahu malu, kejam melebihi binatang ….” saat itu ujung jubahnya tampak terjilat api, tapi ia seperti tak peduli. Yu Sao segera mendekat untuk memadamkannya.

Linghu Chong berkata, “Kedua Biksuni tidak mengalami cedera, sungguh menggembirakan.”

Pada saat itu tiga pedang lawan kembali menusuk bersamaan dari belakang. Namun Linghu Chong kini memiliki tenaga dalam luar biasa tinggi sehingga kemampuannya merasakan sambaran angin meningkat pesat, juga dalam sekejap dapat mengetahui dari mana asal serangan musuh itu. Segera pedangnya kembali berputar. Di tengah kobaran api dalam sekaligus ia balas menusuk pergelangan tangan lawan dengan cara terbalik.

Ilmu silat ketiga orang itu memang tinggi, dan gerak perubahannya juga amat cepat. Lekas-lekas mereka menghindari tusukan Linghu Chong. Namun, punggung tangan si laki-laki tinggi besar sempat tergores dan mengucurkan darah.

Linghu Chong kembali berkata, “Biksuni berdua, Perguruan Songshan adalah pemimpin Serikat Pedang Lima Gunung. Bersama Perguruan Henshan pun sama-sama senapas seirama. Tapi mengapa kini tiba-tiba mereka melakukan serangan licik? Sungguh sukar dimengerti.”

Mendadak Biksuni Dingyi bertanya kepada Yihe, “Di mana Kakak Dingjing? Kenapa tidak ikut datang?”

Qin Juan langsung menangis saat menjawab, “Guru telah … Guru telah dicelakai kaum jahat. Beliau melawan sekuat tenaga dan akhirnya … akhirnya gugur dalam pertempuran ….”

“Keparat!” seru Biksuni Dingyi penuh kemarahan sekaligus sedih. Ia buru-buru berjalan ke depan dengan langkah lebar, namun baru beberapa langkah tubuhnya lantas terhuyung-huyung dan jatuh terduduk. Darah segar pun menyembur dari mulutnya.

Ketiga jago Songshan kembali menyerang dengan berganti jurus susul-menyusul, namun tetap tidak bisa mengenai Linghu Chong yang terlihat bercakap-cakap dengan kedua biksuni sepuh. Linghu Chong sendiri melayani mereka dengan membelakangi, sambil sesekali melirik ketiga orang itu. Ilmu pedangnya sedemikian hebat, susah diukur. Kalau ia bertarung dengan berhadap-hadapan, mana mungkin mereka bertiga mampu melawannya? Ketiga musuh itu hanya bisa mengeluh dan gelisah. Mereka menyesal mengapa tidak sejak tadi melarikan diri.

Linghu Chong berbalik dan melakukan serangan menarik. Jika musuh menyerang dari sebelah kiri, maka ia membalas dengan menyerang sisi kirinya. Sementara bila musuh menyerang dari sebelah kanan, maka ia pun menyerang sisi kanannya pula. Dengan demikian ketiga orang itu makin lama makin rapat dan berdesakan sendiri. Berturut-turut Linghu Chong menyerang lima belas kali melingkari mereka dan ketiga orang itu hanya bisa menangkis tanpa mampu balas menyerang. Ilmu pedang yang dimainkan ketiga orang itu adalah jurus andalan Perguruan Songshan yang paling lihai, tapi masih tidak mampu menghadapi Ilmu Sembilan Pedang Dugu yang ajaib.

Linghu Chong memang sengaja memaksa lawan-lawannya mengeluarkan ilmu pedang Perguruan Songshan supaya mereka tidak dapat menyangkal lagi. Begitulah, makin lama wajah ketiga orang itu terlihat semakin basah oleh keringat yang bercucuran, juga sikap mereka makin buas dan beringas. Namun demikian, ilmu pedang mereka masih teratur dan tidak kacau, jelas mereka memang jago kawakan yang sudah berlatih puluhan tahun.

Melihat asal-usul ketiga orang itu telah terbongkar, Biksuni Dingxian pun berkata, “Amitabha, shanti, shanti, shanti! Saudara Zhao, Saudara Zhang, dan Saudara Sima, selama ini Perguruan Henshan kami bersaudara dengan Perguruan Songshan kalian yang mulia. Namun, mengapa kalian bertiga terus memaksa kami sedemikian rupa, sampai-sampai hendak membakar kami menjadi arang? Sungguh biksuni tua ini tidak paham apa sebabnya, mohon kalian sudi memberi penjelasan.”

Jago-jago Perguruan Songshan itu memang bermarga Zhao, Zhang, dan Sima. Ketiganya sangat jarang muncul di dunia persilatan dan mengira keberadaan mereka tidak diketahui orang. Saat menghadapi serangan Linghu Chong, mereka sudah kelabakan, kini bertambah kaget oleh ucapan Biksuni Dingxian yang dengan tepat menyebut marga mereka. Tanpa terasa pergelangan tangan kedua orang di antaranya tertusuk pedang Linghu Chong, sehingga pedang mereka jatuh ke tanah.

Menyusul ujung pedang Linghu Chong lantas mengancam di depan leher orang ketiga yang bertubuh kurus kering sambil membentak, “Lemparkan pedangmu!”

Orang kurus itu menghela napas panjang, lalu berkata, “Di dunia ini ternyata ada ilmu pedang sehebat ini. Aku si marga Zhao hari ini terjungkal di bawah pedangmu memang sudah sepantasnya.” Tangannya kemudian mengerahkan tenaga dalam, membuat pedangnya tergetar dan patah menjadi tujuh atau delapan potong yang kemudian jatuh berserakan di tanah.

Linghu Chong lantas melangkah mundur, sedangkan Yihe dan enam kawannya mengacungkan pedang masing-masing untuk mengepung ketiga orang itu di tengah.

Perlahan Biksuni Dingxian berkata, “Perguruan Songshan kalian bermaksud melebur Serikat Pedang Lima Gunung menjadi satu yang diberi nama Perguruan Lima Gunung. Perguruan Henshan sendiri sudah memiliki riwayat ratusan tahun turun-temurun, mana mungkin aku membiarkannya tamat di bawah kepemimpinanku? Maka itu, aku pun menolak ajakan kalian. Sebenarnya urusan ini dapat dirundingkan lebih jauh, tapi mengapa kalian lantas menyamar sebagai kaum Sekte Iblis dan berusaha membunuh orang-orang kami dengan cara keji seperti ini? Perbuatan kalian ini bukankah terlalu berlebihan?”

“Kakak, untuk apa banyak bicara dengan mereka?” sela Biksuni Dingyi. “Mereka semua segera dibunuh saja agar tidak mendatangkan bencana di kemudian hari. Uhuk, uhuk, ….” tiba-tiba ia terbatuk-batuk dan kembali memuntahkan darah.

Laki-laki tinggi besar bermarga Sima menjawab, “Kami hanya sekadar menjalankan tugas. Mengenai seluk-beluk urusan ini juga sama sekali kami tidak tahu ….”

“Kalau mau bunuh, bunuh saja! Kalau mau potong, potong saja! Untuk apa banyak bicara?” tukas si orang tua bermarga Zhao membentak keras.

Mendengar itu si marga Sima tidak berani bicara lagi. Wajahnya terlihat sangat malu.

Biksuni Dingxian berkata, “Tiga puluh tahun yang lalu kalian bertiga pernah malang melintang di daerah Hebei, kemudian mendadak menghilang begitu saja. Tadinya kukira kalian sudah bertobat dan kembali ke jalan yang benar. Siapa sangka kalian ternyata masuk Perguruan Songshan dan mempunyai maksud tertentu. Aih, Ketua Zuo seorang tokoh terkemuka di dunia persilatan, tapi Beliau telah menerima sekian banyak kaum … kaum persilatan yang berkelakuan aneh untuk mempersulit sesama anggota Serikat Pedang Lima Gunung. Sungguh sukar dipahami.”

Sebagai seorang biarawati sepuh yang welas asih, meskipun menghadapi kejadian luar biasa ia tetap tidak mau menggunakan kata-kata kasar terhadap lawan. Bahkan ia langsung terdiam ketika merasa dirinya sudah terlalu banyak bicara. Setelah menghela napas panjang, Dingxian melanjutkan bertanya, “Kakak kami, Biksuni Dingjing, apakah juga tewas di tangan perguruan kalian yang mulia?”

Orang bermarga Sima yang tadi merasa malu, sekarang ingin memperbaiki wibawanya. Maka dengan suara lantang ia pun menjawab, “Benar, itu semua perbuatan Adik Zhong ….”

“Hei!” seru si orang tua bermarga Zhao kepadanya dengan mata melotot.

Si marga Sima sadar kalau dirinya lagi-lagi salah bicara. Maka, ia pun meanjutkan, “Urusan sudah begini, apa gunanya disembunyikan lagi? Ketua Zuo memerintahkan kami untuk membagi diri dalam dua kelompok, yang masing-masing melaksanakan tugas di Fujian dan Zhejiang sini.”

“Amitabha!” ujar Biksuni Dingxian. “Ketua Zuo sudah menjadi pemimpin Serikat Pedang Lima Gunung, kedudukannya sudah tinggi dan terhormat. Sekarang untuk apa Beliau ingin melebur kelima perguruan menjadi satu dan diketuai satu orang? Beliau sengaja menggunakan kekerasan dan bertindak begitu kejam terhadap sesama kaum sealiran, apakah tidak takut ditertawai oleh para kesatria di seluruh jagat?”

Biksuni Dingyi kembali menyela dengan suara keras, “Kakak, penjahat berhati binatang yang serakah seperti itu, buat apa ….” sampai di sini kembali darah menyembur keluar dari mulutnya.

Biksuni Dingxian mengibaskan tangannya dan berkata kepada ketiga orang itu, “Jaring langit teramat luas, tiada yang lolos dari pengadilan-Nya. Siapa berbuat jahat pada akhirnya pasti akan menerima balasan setimpal. Sekarang pergilah kalian semua. Tolong sampaikan kepada Ketua Zuo bahwa mulai hari ini Perguruan Henshan tidak lagi berada di bawah perintah Ketua Zuo. Meskipun perguruan kami terdiri atas kaum wanita seluruhnya, tapi kami tidak akan tunduk di bawah ancaman kekerasan. Tentang keinginan Ketua Zuo melebur Serikat Pedang Lima Gunung menjadi satu, sama sekali kami tidak bisa menuruti. Mohon maaf.”

“Bibi Ketua, mereka … mereka sangat kejam ….” tukas Yihe.

Tapi Biksuni Dingxian telah memberi perintah, “Bubarkan formasi pedang!”

“Baik!” jawab Yihe terpaksa mengiakan. Pedangnya pun ditarik dan diikuti kawan-kawannya yang lain.

Ketiga jago Perguruan Songshan itu sama sekali tidak menduga bahwa mereka akan dibebaskan dengan cara seperti itu. Mau tidak mau timbul rasa terima kasih mereka kepada Dingxian. Mereka pun memberi hormat, kemudian memutar tubuh dan berlari pergi dengan cepat. Setelah beberapa langkah, si tua bermarga Zhao berpaling dan bertanya dengan suara lantang, “Mohon bertanya siapakah nama dan marga pendekar muda yang memiliki ilmu pedang teramat hebat ini? Hari ini kami bertiga telah tumbang di tanganmu, tapi sama sekali kami tidak bermaksud membalas dendam. Kami hanya ingin tahu telah dikalahkan oleh orang gagah dari mana.”

Linghu Chong hanya tersenyum tidak bersuara. Namun Yihe tiba-tiba menyahut dengan suara lantang, “Ini adalah Pendekar Muda Linghu Chong. Dulu dia adalah anggota Perguruan Huashan, tetapi sekarang tidak menjadi anggota aliran mana pun. Dia adalah pengelana yang membela kebenaran dan menegakkan keadilan di dunia persilatan, sahabat Perguruan Henshan kami.”

Orang tua bermarga Zhao itu berkata, “Ilmu pedang Pendekar Muda Linghu sungguh hebat luar biasa. Kami bertiga sangat kagum.” Usai berbicara ia lantas melanjutkan perjalanan bersama kedua rekannya.

Sementara itu api berkobar semakin hebat. Di tempat itu masih banyak orang Perguruan Songshan yang bergelimpangan, baik yang sudah mati maupun terluka parah. Belasan di antara mereka yang lukanya agak ringan berusaha merangkak bangun untuk menghindari api, sementara yang terluka parah hanya bisa berkubang di genangan darah dan tidak mampu bergerak, sehingga terpaksa berteriak-teriak minta tolong ketika tubuh mereka mulai terbakar.

Biksuni Dingxian berkata, “Semua kejadian ini adalah tanggung jawab Ketua Zuo. Mereka hanya sekadar menjalankan perintah. Yu Sao, Yiqing, kalian pergilah menolong mereka.”

Para murid mengenal baik watak Sang Ketua yang welas asih, sehingga tidak berani membantah. Mereka pun bergegas memeriksa orang-orang Songshan itu. Apabila masih bernapas, segera mereka pindahkan ke tempat yang aman untuk kemudian diberi obat.

Biksuni Dingxian menengadah ke selatan, kedua matanya tampak berkaca-kaca. Ia kemudian berseru mengharukan, “Kakak!” mendadak tubuhnya terhuyung-huyung dan jatuh ke tanah.

Semua orang terkejut. Serentak mereka mendukungnya untuk bangun. Tampak darah merembes keluar dari mulut biksuni tua itu. Rupanya Dingxian bersama rombongannya telah dikepung musuh dan terpaksa masuk ke dalam gua pembakaran gamping tersebut. Di dalamnya mereka telah bertahan selama beberapa hari, tanpa makan atau minum serta tidak beristirahat pula. Keadaan mereka sudah payah lahir batin seperti pelita yang kehabisan minyak. Kini setelah musuh berhasil dihalau, hati Dingxian tak kuasa menahan kesedihan, ditambah dengan berita kematian Biksuni Dingjing.

Seketika murid-murid Henshan menjadi ribut. Mereka memanggil-manggil Sang Ketua dengan perasaan cemas. Di sisi lain, luka Biksuni Dingyi juga sangat berat sehingga mereka semakin kebingungan. Karena tidak tahu harus bagaimana, serentak mereka pun memandang ke arah Linghu Chong untuk menunggu perintahnya.

Linghu Chong lantas berkata, “Lekas kita berikan obat kepada kedua biksuni sepuh. Balutlah luka untuk menghentikan darah yang mengalir. Hawa di tempat ini masih sangat panas, marilah kita menyingkir ke tempat yang lebih aman. Mohon bantuan kalian untuk pergi mencari buah-buahan atau apa saja yang bisa dimakan.”

Semua orang pun mematuhi perintahnya dan segera sibuk bekerja. Zheng E dan Qin Juan mengisi teko dengan air sungai lalu membantu meminumkan obat ke mulut Biksuni Dingxian, Biksuni Dingyi, serta kawan-kawan lain yang terluka.

Pertempuran dahsyat di Longquan ini ternyata memakan korban 37 orang Perguruan Henshan. Terkenang pada kematian Biksuni Dingjing dan para saudari yang telah gugur, membuat murid-murid Henshan itu semakin berduka. Begitu ada satu orang yang menangis keras-keras, serentak yang lainnya pun ikut menangis pula. Maka dalam sekejap bergemalah suara isak tangis di lembah pegunungan tersebut.

Biksuni Dingyi kemudian membentak keras, “Yang mati sudah mati. Kenapa kalian tak bisa menguasai perasaan? Kalian sudah banyak membaca kitab-kitab Buddha, mengapa masih tidak memahami makna ‘hidup’ dan ‘mati’? Mengapa harus segan meninggalkan kantong kulit bau ini?”

Murid-murid Henshan hafal dengan wataknya yang keras itu, sehingga tiada seorang pun yang berani membantah. Seketika suara tangis pun berhenti, hanya tinggal beberapa orang saja yang masih tersedu-sedu.

Dingyi kembali berkata, “Bagaimana Kakak Dingjing bisa mengalami celaka? Zheng E, bicaramu lebih lancar. Coba kau ceritakan kepada Kakak Ketua dengan sejelas-jelasnya.”

“Baik!” jawab Zheng E mengiakan. Ia kemudian bangkit dan mulai menguraikan apa yang terjadi di Pegunungan Xianxia, di mana mereka masuk perangkap musuh, namun mendapat bantuan Linghu Chong sehingga bisa selamat. Kemudian mereka terkena bius dan tertawan musuh di Nianbapu, di mana Biksuni Dingjing didesak dan dipaksa oleh Zhong Zhen dari Perguruan Songshan, kemudian dikerubut pula oleh orang-orang berkedok. Untungnya Linghu Chong lagi-lagi datang membantu. Namun sayang, luka Biksuni Dingjing sangat parah, sehingga akhirnya meninggal dunia. Semua ia ceritakan dengan rinci satu per satu.

Biksuni Dingyi menanggapi, “Ternyata begitu. Jelas sudah bahwa kawanan bangsat dari Perguruan Songshan itu telah menyamar sebagai kaum Sekte Iblis untuk memaksa Kakak Dingjing menyetujui peleburan Serikat Pedang Lima Gunung. Huh, sungguh keji siasat mereka. Kalian ditawan oleh mereka, kemudian mereka berlagak membebaskan kalian dari cengkeraman musuh, sehingga akan sulit bagi Kakak untuk menolak ancaman mereka.” Sampai di sini suaranya menjadi lemah. Ia terengah-engah sejenak, lalu melanjutkan, “Kakak Dingjing dikepung musuh di Pegunungan Xianxia dan merasa pihak lawan bukan orang-orang yang mudah dihadapi. Maka, Kakak pun mengirim merpati pos untuk minta bantuan kepada Kakak Ketua dan aku. Tak disangka … tak disangka hal ini pun sudah masuk dalam perhitungan musuh sehingga kami dapat mereka hadang di sini.”

Melihat keadaan Dingyi yang sudah lemah itu, seorang murid Dingxian yang bernama Yiwen membujuknya, “Bibi Guru harap beristirahat saja. Biar saya yang menceritakan bagaimana pengalaman kita bertemu musuh.”

“Pengalaman apa? Sudah jelas sejak musuh menyerbu kita di Biara Shuiye pada malam buta itu, pertempuran terus saja berlangsung sampai hari ini,” kata Dingyi.

“Benar,” jawab Yiwen mengiakan. Namun ia tetap menguraikan secara singkat apa yang telah mereka alami selama beberapa hari terakhir ini.

Rupanya malam itu orang-orang Perguruan Songshan yang menyerbu Biara Shuiye juga memakai kedok dan menyamar sebagai anggota Sekte Iblis. Karena diserang secara mendadak dan besar-besaran, membuat rombongan Perguruan Henshan hampir saja mengalami kehancuran. Untungnya, Biara Shuiye juga memiliki hubungan dengan dunia persilatan. Di dalam biara itu masih tersimpan lima bilah pedang pusaka hasil tempaan Kota Longquan. Ketua Biara Shuiye yang bernama Biksuni Qingxiao, dalam keadaan bahaya telah membagi-bagikan pedang pusakanya kepada Biksuni Dingxian, Biksuni Dingyi, dan beberapa lainnya. Pedang pusaka tersebut sangat tajam dan mampu memotong besi seperti sayur. Banyak sekali senjata pihak musuh telah terpotong oleh pedang-pedang pusaka itu, dan tidak sedikit juga anggota lawan yang terluka. Dengan demikian rombongan tersebut dapat bertempur melawan musuh yang berjumlah jauh lebih banyak, sambil mereka mengundurkan diri ke lembah pegunungan ini. Sayangnya, Biksuni Qingxiao gugur dalam pertempuran.

Lembah pegunungan ini dahulunya banyak menghasilkan bijih besi bermutu tinggi. Selama beberapa tahun daerah ini pun terkenal sebagai “Lembah Tempa Pedang”. Kemudian setelah simpanan bijih besi habis digali, tempat penempaan pedang selanjutnya berpindah ke tempat lain. Sekarang yang tersisa di sini hanya tinggal tungku dan gua pembakaran yang pernah dihuni para pandai besi itu. Berkat gua-gua pembakaran tersebut, orang-orang Perguruan Henshan dapat bertahan selama beberapa hari. Sampai akhirnya, orang-orang Songshan memutuskan untuk mengumpulkan kayu dan rumput kering guna membakar mereka hidup-hidup. Andai saja Linghu Chong datang terlambat sedikit saja, tentu keadaan menjadi sangat runyam.

Biksuni Dingyi tidak sabar menunggu Yiwen selesai bercerita. Sepasang matanya tampak melotot ke arah Linghu Chong, lalu tiba-tiba ia berkata, “Kau sangat … sangat baik. Tapi mengapa gurumu mengeluarkanmu dari perguruan? Katanya kau berkomplot dengan Sekte Iblis, benar tidak?”

Linghu Chong menjawab, “Saya kurang hati-hati dalam berteman, sehingga sempat mengenal beberapa tokoh Sekte Iblis.”

Dingyi mendengus, “Huh, binatang-binatang dari Perguruan Songshan banyak yang berhati serigala dan lebih jahat daripada orang-orang Sekte Iblis. Memangnya orang-orang yang menamakan dirinya aliran lurus selalu lebih baik daripada yang dicap aliran sesat?”

Tiba-tiba Yihe menyela, “Kakak Linghu, aku tidak tahu dengan pasti apakah gurumu bersalah atau tidak. Beliau mengetahui bahwa perguruan kami sedang mengalami kesulitan, tapi sengaja berpangku tangan tidak mau membantu. Jangan-jangan … mungkin … Beliau sudah menyetujui peleburan kelima perguruan menjadi satu seperti yang disarankan Perguruan Songshan.”

Hati Linghu Chong tergerak mendengar ucapan Yihe yang masuk akal itu. Tapi sejak kecil ia selalu memuja Sang Guru, dan dalam hati sedikit pun tidak pernah menaruh prasangka kepada Yue Buqun. Maka ia menjawab, “Aku rasa Guru tidak sengaja berpangku tangan. Kemungkinan besar Beliau ada urusan penting lainnya, sehingga … sehingga ….”

Sejak tadi Dingxian memejamkan mata untuk menghimpun tenaga. Kini perlahan-lahan ia membuka mata dan berkata, “Perguruan Henshan mengalami bencana. Berkat bantuan Pendekar Muda Linghu, kita semua bisa terbebas dari bencana. Budi baik ini ….”

“Ah, saya hanya melakukan kewajiban sekadarnya. Ucapan Bibi Ketua tidak berani kuterima,” jawab Linghu Chong menukas.

Dingxian menggeleng dan berkata, “Pendekar Muda Linghu tidak perlu merendahkan diri. Saudara Yue tidak punya waktu untuk turun tangan sendiri, sehingga mengutus murid pertamanya datang ke sini membantu kami, ini juga sama saja. Yihe, kau jangan sembarangan bicara dan kurang hormat kepada orang tua.”

“Saya tidak berani,” sahut Yihe sambil membungkukkan tubuh. “Tapi … tapi Kakak Linghu sudah dikeluarkan dari Perguruan Huashan. Paman Yue juga tidak mengakuinya sebagai murid lagi. Kedatangannya ke sini juga bukan atas perintah Paman Yue.”

“Kau memang selalu tidak mau kalah dan suka berdebat,” ujar Dingxian dengan tersenyum.

Mendadak Yihe menghela napas dan berkata, “Aih, kalau saja Kakak Linghu seorang perempuan, tentu segalanya menjadi baik.”

“Kenapa?” tanya Biksuni Dingxian.

“Dia sudah dikeluarkan dari Perguruan Huashan dan tidak dapat kembali lagi. Jika dia perempuan tentu bisa bergabung dengan Perguruan Henshan kita,” jawab Yihe. “Dia telah bahu-membahu dengan kita menghadapi segala kesulitan, sudah seperti orang sendiri ….”

“Omong kosong! Umurmu semakin tua, tapi bicaramu masih seperti anak kecil,” bentak Biksuni Dingyi.

Biksuni Dingxian hanya tersenyum, kemudian berkata, “Saudara Yue hanya salah paham. Kelak bila sudah jelas duduk perkaranya tentu Pendekar Linghu akan diterima kembali. Rencana jahat Perguruan Songshan tidak mungkin berhenti sampai di sini. Bukankah Perguruan Huashan akan sangat mengandalkan tenaga dan ilmu pedang Pendekar Linghu? Seandainya ia tidak kembali ke Huashan juga, dengan ilmu silatnya yang tinggi dan keluhuran budinya, kalau ia mau mendirikan perguruan tersendiri juga bukan masalah sulit.”

“Tepat sekali ucapan Bibi Ketua,” sahut Zheng E. “Kakak Linghu, orang-orang Perguruan Huashan bersikap jahat kepadamu. Mengapa kau tidak mendirikan … Perguruan Linghu saja? Hm, kenapa kau harus kembali lagi ke Huashan? Memangnya kau ingin kembali ke sana?”

Linghu Chong tersenyum getir dan menjawab, “Pujian Bibi Ketua benar-benar tidak berani saya terima. Saya hanya berharap kelak di kemudian hari Guru sudi memaafkan kesalahan saya dan berkenan menerima saya kembali. Selain itu saya tidak mempunyai keinginan apa-apa.”

Qin Juan yang polos menyahut, “Kau tidak punya keinginan selain itu? Bagaimana dengan adik kecilmu?”

Linghu Chong menggeleng dan mengalihkan pembicaraan, “Marilah kita urus jasad para kakak dan adik yang gugur. Akan kita makamkan atau diperabukan lalu dibawa pulang ke Henshan?”

“Kita perabukan saja,” ujar Biksuni Dingxian dengan suara agak parau. Meskipun ilmu agamanya sudah sangat mendalam, namun melihat sekian banyak murid-murid yang tergeletak menjadi korban keganasan musuh, mau tidak mau perasaannya menjadi terguncang. Mendengar itu beberapa murid kembali menangis tersedu-sedu.

Di antara mereka yang gugur, ada beberapa murid sudah tewas beberapa hari lalu, ada pula yang menggeletak jauh di sana. Beramai-ramai Yihe dan yang lain mengumpulkan jenazah saudara-saudara seperguruan tersebut. Mereka tak kuasa menahan diri sehingga mencaci-maki kekejaman orang-orang Songshan, terutama Zuo Lengchan sang ketua.

Hari sudah gelap ketika semuanya selesai. Malam itu mereka meninggalkan lembah pegunungan sunyi tersebut. Esok paginya para murid mengusung Biksuni Dingxian, Biksuni Dingyi, serta saudara-saudara seperguruan yang terluka. Setelah sampai di Kota Longquan, mereka menyewa tujuh buah perahu berkabin, untuk melanjutkan perjalanan menuju ke utara melalui jalur air.

Khawatir pihak Perguruan Songshan kembali menyerang di tengah jalan, Linghu Chong memutuskan tetap menyertai rombongan tersebut. Karena sekarang di dalam rombongan terdapat dua biksuni sepuh, Linghu Chong tidak berani lagi sembarangan bicara dengan para murid. Sementara itu keadaan Dingxian, Dingyi, dan yang lain sudah berangsur baik. Luka mereka sebenarnya tidak ringan, tetapi berkat obat Perguruan Henshan yang mujarab, mereka boleh dikata sudah lolos dari maut begitu perjalanan melewati Sungai Qiantang.

Sesampainya di muara Sungai Yangtze, mereka lantas menukar perahu sewaan dan berlayar melawan arus ke hulu sungai di wilayah Jiangxi. Perjalanan yang agak lambat itu diharapkan nanti setelah tiba di Hankou, semua orang yang terluka sudah sembuh sehingga mereka dapat melanjutkan perjalanan pulang melalui jalur darat dan berputar menuju utara.

Beberapa hari kemudian rombongan tersebut sampai di dekat Danau Poyang dan berlabuh di muara Sungai Jiu. Perahu yang mereka sewa kali ini berukuran sangat besar, sehingga untuk mengangkut puluhan orang tersebut cukup hanya dengan dua perahu saja. Ketika malam tiba, Linghu Chong tidur bersama juru mudi dan para kelasi di buritan.

Tepat tengah malam, Linghu Chong terbangun karena tiba-tiba mendengar di tepi sungai ada suara tepukan perlahan. Terdengar olehnya suara tepukan tiga kali, berhenti sejenak, lalu bertepuk lagi tiga kali. Tepukan tersebut sebenarnya tidak keras, tapi karena tenaga dalam Linghu Chong saat ini sangat tinggi, sehingga pendengarannya pun meningkat tajam. Begitu mendengar suara yang aneh itu ia segera bangkit dari tidur. Ia paham tepukan tangan semacam ini adalah isyarat yang biasa digunakan dalam dunia persilatan.

Selama beberapa hari ini Linghu Chong selalu bersikap waspada mengawasi gerak-gerik sepanjang sungai kalau-kalau ada musuh yang menyerang secara mendadak. Ia pun berpikir, “Sebaiknya aku periksa dulu siapa yang datang itu. Bagus kalau mereka tidak ada hubungannya dengan rombongan Perguruan Henshan. Tapi kalau mereka bermaksud jahat, maka akan kubereskan secara diam-diam supaya tidak mengganggu Biksuni Dingxian dan yang lain.”

Ia lalu menajamkan penglihatannya untuk mengamati perahu di sebelah barat sana. Terlihat sesosok bayangan melompat ke daratan. Sepertinya ilmu ringan tubuh orang itu biasa-biasa saja. Linghu Chong pun melompat ke tepi sungai dengan enteng, lalu mendarat tanpa bersuara. Ia mengambil jalan memutar sampai akhirnya berada di belakang sederetan keranjang yang berisi gentong minyak di sebelah timur tepian sungai.

Tiba-tiba terdengar suara seseorang berkata, “Biksuni-biksuni di atas kapal itu memang benar dari Perguruan Henshan.”

Seorang lagi menjawab, “Lalu bagaimana baiknya?”

Linghu Chong berjongkok tanpa suara, kemudian perlahan-lahan mendekati mereka. Di bawah sinar rembulan yang remang-remang dilihatnya dua orang sedang berbicara. Yang satu berperawakan tegap dengan muka penuh cambang kasar. Yang satu lagi hanya tampak dari samping, raut mukanya berbentuk panjang lancip seperti kuaci.

Terdengar si muka lancip kembali berkata, “Kalau hanya mengandalkan kekuatan Partai Naga Putih kita, jelas tidak akan mampu melawan mereka. Meskipun jumlah orang kita lebih banyak, tapi ilmu silat mereka lebih bagus. Kalau bertarung kita tidak akan menang.”

“Siapa bilang kita akan bertarung melawan mereka?” sahut si cambang. “Walaupun ilmu silat kawanan biksuni itu sangat tinggi, tapi belum tentu mereka pandai berenang? Besok kita tunggu saja sampai kapal mereka kembali berlayar ke tengah sungai. Kita lantas menyelam ke dalam air untuk melubangi kapal mereka. Bukankah dengan cara demikian kita bisa menangkap mereka satu per satu?”

“Akalmu ini sangat bagus,” seru si muka lancip. “Jika cara ini berhasil tentu kita akan berjasa besar dan nama Partai Naga Putih dari Sungai Jiu akan berkumandang di dunia persilatan. Hanya saja, aku masih mengkhawatirkan sesuatu.”

“Mengkhawatirkan apa?” tanya si cambang.

Si muka lancip menjawab, “Serikat Pedang Lima Gunung senapas seirama. Aku khawatir Tuan Besar Mo Ketua Perguruan Hengshan mengetahui perbuatan kita. Bisa-bisa dia marah besar dan melabrak partai kita.”

Si cambang berkata, “Hm, selama ini kita sudah kenyang menjadi bulan-bulanan Perguruan Hengshan. Maka kali ini kita berdua harus berusaha sekuat tenaga, supaya kelak kalau ada masalah maka kawan-kawan yang lain akan membantu kita. Padahal kalau usaha kita ini berhasil, boleh jadi Perguruan Hengshan akan ikut hancur. Untuk apa kita harus takut kepada si tua bermarga Mo segala?”

“Baik, kuterima rencanamu,” sahut si muka lancip akhirnya. “Sekarang mari kita kumpulkan kawan-kawan yang pandai menyelam.”

Pada saat itulah Linghu Chong melompat keluar. Dengan menggunakan gagang pedang ia memukul kepala belakang si muka lancip. Seketika orang itu pun jatuh pingsan. Si cambang lantas menghantam, tapi tahu-tahu dahinya sudah terkena pukulan gagang pedang Linghu Chong. Tubuh orang itu langsung berputar-putar seperti gasing dan akhirnya jatuh terduduk.

Pedang Linghu Chong lantas memotong dua buah tutup keranjang gentong minyak. Kedua orang itu lalu diangkatnya untuk dijebloskan ke dalam keranjang yang penuh berisi minyak sayur tersebut. Setiap keranjang berisi minyak tiga ratus kati. Rupanya gentong-gentong minyak tersebut disiapkan di tepi sungai untuk esok harinya dimuat ke dalam perahu menuju muara.

Begitu kedua orang itu masuk ke dalam gentong minyak dengan kepala ditekan oleh tangan Linghu Chong, seketika mulut dan hidung mereka terendam. Karena berada di dalam minyak dingin mereka lantas siuman dan seketika gelagapan karena meneguk minyak beberapa kali.

Tiba-tiba terdengar seseorang berkata di belakang, “Pendekar Muda Linghu, jangan bunuh mereka!” Ternyata yang datang adalah Biksuni Dingxian.

Linghu Chong terperanjat karena kedatangan Dingxian begitu tiba-tiba dan sama sekali tidak terdengar olehnya. Segera ia menjawab, “Baik!” kemudian mengurangi tekanan tangannya yang menahan di atas kepala kedua orang itu.

Begitu merasa tekanan di atas kepala sudah berkurang, kedua orang itu bermaksud meloncat ke luar. Tapi Linghu Chong segera berkata dengan tertawa, “Hei, jangan bergerak!” Bersamaan bilah pedangnya kembali mengetuk dahi kedua orang itu sehingga kepala mereka masuk lagi ke dalam minyak.

Kedua orang itu meringkuk di dalam gentong dan terendam minyak sampai sebatas leher. Mata mereka terbelalak bingung karena tidak mengetahui bagaimana tiba-tiba bisa mengalami nasib konyol seperti ini.

Sementara itu sesosok bayangan tampak melompat dari atas perahu. Ia tidak lain adalah Biksuni Dingyi, yang kemudian bertanya, “Kakak, apakah ada yang tertangkap?”

Dingxian menjawab, “Ternyata dua tetua dari Partai Naga Putih. Pendekar Muda Linghu hanya bercanda dengan mereka.” Ia kemudian berpaling kepada si cambang dan bertanya, “Saudara ini bermarga Yi ataukah Qi? Bagaimana kabar Ketua Shi?”

Si cambang terheran-heran dan menjawab, “Aku bermarga Yi. Dari mana … dari mana kau tahu margaku? Ketua Shi kami baik-baik saja.”

Dingxian tersenyum dan berkata, “Tetua Yi dan Tetua Qi dari Partai Naga Putih memiliki julukan di dunia persilatan sebagai ‘Sepasang Ikan Terbang Sungai Yangtze’. Nama besar kalian sudah lama menggelegar seperti guntur di telinga biksuni tua ini.”

Rupanya Biksuni Dingxian seorang yang sangat cermat dan teliti. Meskipun jarang meninggalkan Gunung Henshan, tapi ia memiliki wawasan luas mengenai bermacam-macam tokoh dari berbagai aliran dan perguruan di dunia persilatan. Si cambang bermarga Yi dan si muka lancip bermarga Qi ini hanyalah jago kelas tiga atau empat di dunia persilatan. Namun begitu melihat raut muka mereka, ia langsung dapat menebak asal-usulnya.

Si muka lancip bermarga Qi tampak sangat senang dan menjawab. “Ah, mana berani kami menerima istilah ‘menggelegar seperti guntur di telinga’ segala?”

Linghu Chong mengerahkan tenaga pada bilah pedangnya untuk menekan kepala orang itu sehingga masuk kembali ke dalam minyak, lalu mengendurkannya lagi. Dengan tertawa ia berkata, “Aku pun sudah lama mendengar nama besar kalian seperti minyak menyusup ke dalam telinga.”

Kontan si marga Qi menjadi gusar. “Kau … kau ….” ia bermaksud memaki dengan kasar, tapi tidak berani.

Linghu Chong berkata, “Setiap pertanyaanku harus kau jawab dengan jujur. Jika berdusta sedikit saja maka julukan kalian ‘Ikan Terbang Sungai Yangtze’ akan berubah menjadi ‘Belut Mampus Terendam Minyak’.” Habis berkata demikian ia lantas menekan pula kepala si cambang ke dalam minyak. Orang bermarga Yi ini sudah bersiap-siap dengan menutup mulutnya rapat-rapat. Namun tetap saja minyak masuk ke dalam hidungnya dan jelas terasa sangat tidak enak.

Dingxian dan Dingyi tersenyum geli. Mereka sama-sama berpikir, “Anak muda ini menang nakal dan suka iseng. Tapi caranya ini memang bagus untuk menanyai tawanan.”

Linghu Chong mulai bertanya, “Mulai kapan Partai Naga Putih kalian bersekongkol dengan Perguruan Songshan? Siapa yang menyuruh kalian membuat susah Perguruan Henshan?”

“Bersekongkol dengan Perguruan Songshan?” sahut si marga Yi. “Aneh sekali! Kami sama sekali tidak mengenal seorang pun anggota Perguruan Songshan.”

“Haha, pertanyaan pertama saja tidak kau jawab dengan jujur. Sekarang silakan minum minyak lagi biar lebih kenyang,” seru Linghu Chong. Habis berkata, kembali ia menekan kepala orang itu sehingga terendam minyak. Meskipun laki-laki bercambang itu bukan pendekar papan atas, tetapi ilmu silatnya tidak tergolong lemah. Namun Linghu Chong telah mengerahkan tenaga dalam pada bilah pedangnya sehingga orang itu merasa kepalanya seperti ditindih batu seberat seribu kati. Sama sekali ia tidak bisa berkutik dibuatnya.

Linghu Chong lalu berkata pada si muka lancip, “Lekas kau jawab dengan jujur! Apa kau juga ingin menjadi belut direndam minyak?”

Orang bermarga Qi itu menjawab, “Bertemu kesatria seperti dirimu, jelas aku tidak ingin menjadi belut rendaman. Tapi apa yang dikatakan Kakak Yi sama sekali bukan kebohongan. Kami benar-benar tidak kenal orang-orang Perguruan Songshan. Lagipula Perguruan Songshan dan Perguruan Henshan berasal dari perserikatan yang sama, setiap orang persilatan juga tahu. Mana mungkin Perguruan Songshan menyuruh kami membuat susah Perguruan Henshan kalian?”

Linghu Chong mengangkat gagang pedangnya untuk mengurangi tekanan pada kepala orang bermarga Yi itu, lalu bertanya, “Tadi kau bilang besok pagi akan melubangi kapal yang ditumpangi para biksuni Henshan di tengah sungai supaya tenggelam. Reencana kalian benar-benar keji. Sebenarnya apa salah Perguruan Henshan terhadap partai kalian?”

Biksuni Dingyi yang datang belakangan belum mengetahui mengapa Linghu Chong memperlakukan mereka berdua seperti itu. Sekarang begitu mendengar perkataan tersebut, seketika ia menjadi gusar dan membentak, “Bangsat, kurang ajar! Jadi kalian bermaksud menenggelamkan kami.”

Murid-murid Perguruan Henshan adalah kaum wanita dari utara yang tidak dapat berenang. Jika benar kapal akan ditenggelamkan di tengah sungai, tentu sukar bagi mereka untuk menghindarkan diri sehingga bisa mati tenggelam dan menjadi santapan ikan. Membayangkan hal itu membuat Dingyi bergidik ngeri.

Si cambang bermarga Yi takut kalau kepalanya kembali dibenamkan ke dalam minyak. Lekas-lekas ia pun menjawab, “Perguruan Henshan sama sekali tidak memiliki permusuhan dengan Partai Naga Putih kami. Kami hanyalah para penyelundup yang mencari sesuap nasi di tepian Sungai Jiu sini. Mana berani berani mencari perkara dengan Perguruan Henshan segala? Hanya saja … hanya saja kami berpikir kalian adalah sesama pemeluk agama Buddha. Perjalanan kalian menuju ke arah barat besar kemungkinan untuk memberikan bantuan. Maka itu … maka itu kami tidak sadar pada kelemahan diri sendiri sehingga secara gegabah membuat rencana busuk seperti tadi. Lain kali kami tidak akan berani lagi.”

Linghu Chong semakin bingung mendengar keterangan orang itu. Ia pun bertanya, “Apa maksudmu dengan sesama pemeluk agama Buddha? Apa maksudmu dengan memberi bantuan segala? Bicaralah yang jelas! Jangan membingungkan seperti itu!”

“Baik, baik!” sahut orang bermarga Yi. “Meski Perguruan Shaolin bukan anggota Serikat Pedang Lima Gunung, tapi kami kira biksu dan biksuni adalah satu keluarga ….”

“Kurang ajar!” bentak Dingyi menyela.

Orang bermarga Yi itu kaget dan tanpa sadar tubuhnya lantas meringkuk sehingga mulutnya kembali menelan minyak. Karena lidahnya semakin licin membuat mulutnya sulit bicara lagi.

Dengan menahan tawa Dingyi menunjuk si muka lancip, “Lekas kau saja yang bicara!”

“Baik, baik!” sahut orang bermarga Qi itu. “Ada seorang bernama Tian Boguang yang dijuluki Si Pengelana Tunggal Selaksa Li. Apakah Biksuni kenal baik dengannya?”

Dingyi sangat gusar mendengarnya. Ia pun berpikir, “Tian Boguang itu seorang maling cabul yang terkenal kebusukannya di dunia persilatan, mana mungkin aku kenal baik dengannya? Berani-beraninya orang ini bertanya seperti itu kepadaku. Benar-benar suatu penghinaan besar.” Segera tangan kanannya terangkat, hendak memukul kepala orang bermarga Qi itu.

Linghu Chong mengepung ketiga lawannya.

Biksuni Dingxian menanyai ketiga oarang Songshan itu.

Rombongan Henshan meninggalkan Longquan.

Dermaga tepian Sungai Jiu.

(Bersambung)