Bagian 49 - Sekte Lima Dewi

Yue Buqun menyambut kedatangan orang-orang Sekte Lima Dewi.
 
Yue Buqun berdehem untuk menghilangkan rasa gugup kemudian melompat turun melewati belasan meter dan mendarat tepat di bawah atap teras. Lao Touzi selaku tuan rumah buru-buru keluar untuk menyambut. Sambil memberi hormat ia berkata, “Silakan masuk, Tuan Yue!”

“Mohon maaf kalau aku bertindak kurang sopan,” kata Yue Buqun. “Aku datang kemari karena mengkhawatirkan keadaan muridku.”

“Ah, semua ini salahku,” ujar Lao Touzi. “Jika saja … jika saja ….”

“Kau tidak perlu khawatir,” sahut Dewa Ranting Persik menukas, “Linghu Chong tidak akan mati!”

Lao Touzi menjadi gembira. Ia bertanya, “Dari mana kau bisa mengetahui kalau dia tidak akan mati?”

“Dia jauh lebih muda daripada kau dan juga lebih muda daripadaku, bukan?” kata Dewa Ranting Persik.

“Benar. Lantas kenapa?” Lao Touzi menegas.

“Umumnya orang tua mati lebih dulu, atau orang muda mati lebih dulu?” balas Dewa Ranting Persik. “Sudah tentu tua yang lebih dulu mati. Jika demikian, sebelum kau mati dan aku mati, mana mungkin Linghu Chong bisa mati?”

Lao Touzi hanya tersenyum hambar mendengar pernyataan bodoh itu. Tadinya ia berharap Dewa Ranting Persik menyampaikan suatu gagasan yang mungkin bisa menyelamatkan nyawa Linghu Chong.

Dewa Buah Persik menanggapi, “Ah, aku ada usul. Mari kita bersama-sama sepakat mengganti nama Linghu Chong menjadi Linghu Busi.”

Yue Buqun mengikuti Lao Touzi masuk ke dalam kamar. Tampak Linghu Chong tergeletak pingsan di atas ranjang. Yue Buqun pun berpikir, “Jika aku tidak mengerahkan ilmu Awan Lembayung, tentu Perguruan Huashan akan dipandang rendah oleh orang-orang ini.”

Maka, Yue Buqun segera mengerahkan tenaga dalam sambil menghadap ke arah ranjang supaya warna lembayung yang terpancar di wajahnya tidak terlihat oleh orang-orang yang ada di situ. Begitu dirasa cukup, ia kemudian menjulurkan telapak tangannya ke titik Dazhui di punggung Linghu Chong. Mengingat di dalam tubuh sang murid terdapat hawa murni yang bergejolak dan mendesak penyaluran tenaga yang datang, ia pun menyalurkan tenaga secara sedikit demi sedikit. Begitu terasa adanya perlawanan dari dalam tubuh Linghu Chong, segera ia menarik tangannya sekitar satu senti, kemudian menempelkannya lagi.

Tidak lama kemudian Linghu Chong mulai siuman. Segera ia menyapa, “Guru juga … juga datang kemari.”

Melihat bagaimana Yue Buqun membangunkan Linghu Chong dari pingsan tanpa mengeluarkan banyak tenaga membuat kagum Lao Touzi dan kedua temannya. Yue Buqun sendiri merasa tempat tersebut sangat misterius sehingga memutuskan untuk segera pergi. Lagipula keadaan sang istri dan para murid di kapal juga bisa jadi terancam bahaya. Maka, ia pun berkata sambil memberi hormat, “Terima kasih banyak atas kebaikan Tuan-Tuan kepada kami, guru dan murid. Sekarang izinkan kami berdua mohon pamit.”

“Baiklah, baiklah!” jawab Lao Touzi. “Kesehatan Tuan Muda Linghu terganggu dan kami tidak dapat memberi perawatan yang baik. Mungkin keadaan Tuan Muda Linghu akan lebih baik jika bersama Tuan Yue. Sungguh kami sudah berbuat sangat tidak sopan. Harap kalian sudi memberi maaf.”

“Tuan sungguh merendahkan diri,” kata Yue Buqun. Mendadak ia tertegun melihat sepasang mata yang berkilat-kilat milik lelaki berkopiah lancip di dalam kamar yang remang-remang. Ia pun bertanya sambil memberi hormat, “Kalau boleh tahu, siapakah nama sobat yang terhormat ini?”

“Kiranya Tuan Yue tidak kenal kawan kita ini, Ji Wushi, Si Burung Hantu Malam,” sela Zu Qianqiu sambil tertawa.

Yue Buqun terperanjat dan agak berdebar. Dalam hati ia berkata, “Kiranya orang ini yang bernama Ji Wushi alias Si Burung Hantu Malam. Konon dia mempunyai keajaiban pembawaan sejak lahir, yaitu matanya bisa memandang jelas di malam hari bagaikan siang. Tindak tanduknya tidak menentu, kadang-kadang baik, kadang-kadang jahat. Meskipun namanya Ji Wushi yang berarti ‘kehabisan akal’ tetapi sebenarnya ia sangat cerdik dan lihai. Siapa disangka ia bisa bersama dengan Lao Touzi dan Zu Qianqiu ini?”

Segera Yue Buqun memberi hormat dan menyapa, “Sudah lama aku mendengar nama besar Tuan Ji. Sungguh beruntung hari ini mendapat kesempatan bisa berjumpa di sini.”

Ji Wushi tersenyum dan menjawab, “Tidak hanya hari ini. Bukankah esok kita bertemu lagi di Lembah Lima Raja Kejam?”

Kembali jantung Yue Buqun berdebar. Meskipun ia merasa kurang pantas jika menanyakan keadaan Yue Lingshan kepada orang-orang yang baru ia kenal tersebut, namun karena sangat mengkawatirkan nasib putrinya terpaksa ia bertanya, “Aku tidak tahu kapan pernah berbuat salah terhadap kawan-kawan persilatan di daerah sini. Mungkin karena aku kurang sopan karena tidak berkunjung kepada para tokoh perilatan di wilayah ini, sehingga putriku dan seorang muridku yang bermarga Lin telah dibawa oleh salah seorang sobat. Untuk ini apakah Tuan Ji dapat memberi petunjuk?”

“Oh, mengenai hal itu aku juga tidak banyak tahu,” jawab Ji Wushi dengan tersenyum.

Dengan bertanya seperti tadi membuat Yue Buqun telah merendahkan kedudukannya sebagai Ketua Perguruan Huashan yang ternama. Kini saat Ji Wushi menjawab dengan acuh tak acuh jelas membuatnya merasa gusar dan tersinggung. Namun demikian, ia berusaha menahan diri dan berkata dengan tersenyum hambar, “Maaf kami sudah terlalu lama mengganggu sampai larut malam. Sekarang kami mohon pamit.”

Ketika Yue Buqun hendak mengangkat tubuh Linghu Chong, tiba-tiba Lao Touzi menyusup di antara kepala mereka dan mendahului mengangkat tubuh si pemuda. Orang bertubuh cebol bulat itu berkata, “Akulah yang mengundang Tuan Muda Linghu ke sini. Sudah seharusnya aku pula yang mengantarnya pulang.” Dengan cekatan ia mengambil selimut tipis dan membungkus badan Linghu Chong. Setelah itu, ia memanggul tubuh pemuda tersebut di atas bahunya dan bergegas meninggalkan rumah dengan langkah lebar.

“Hei, tunggu dulu! Bagaimana dengan kami, kedua ikan besar ini? Apakah ditinggalkan begitu saja?” teriak Dewa Ranting Persik.

Lao Touzi menjawab gugup, “Mengenai kalian … kukira ….” Rupanya ia bimbang jika kedua bersaudara itu dibebaskan, bisa jadi suatu saat Enam Dewa Lembah Persik akan menuntut balas ke tempatnya ini. Namun jika keduanya ditawan, tentu bisa digunakan sebagai sandera.

Linghu Chong paham isi pikiran Lao Touzi. Ia pun berkata, “Tuan Lao, tolong kau bebaskan saja mereka berdua. Kalian berdua Dewa Lembah Persik, untuk selanjutnya kalian dan yang lain jangan mencari masalah lagi dengan kedua Tuan Lao dan Tuan Zu atau membalas dendam. Bagaimana kalau dari lawan berubah menjadi kawan?”

“Mengenai kami bedua, entah apa kami bisa untuk tidak mencari masalah lagi dengan mereka di kemudian hari?” ujar Dewa Ranting Persik.

“Tentu saja yang aku maksud adalah kalian semua Enam Dewa Lembah Persik,” tegas Linghu Chong.

“Tidak membalas dendam atau mencari masalah dengan mereka bisa saja,” kata Dewa Buah Persik, “Tapi dari lawan berubah menjadi kawan, inilah yang tidak mungkin. Sekalipun kepalaku dipenggal tetap tidak mungkin!”

Lao Touzi dan Zu Qianqiu sama-sama mendengus. Mereka berpikir, “Hm, kalau saja tidak memandang Tuan Muda Linghu, mana kami sudi mengurusi kalian? Memangnya kalian pikir kami, Leluhur Tua Sungai Kuning, takut kepada Enam Dewa Lembah Persik?”

Linghu Chong bertanya kepada Dewa Buah Persik, “Apa sebabnya?”

“Enam Dewa Lembah Persik memang tidak punya dendam atau permusuhan dengan Leluhur Tua Sungai Kuning. Mereka berdua bukan musuh kami. Maka, kalau dikatakan mengubah dari lawan menjadi kawan jelas tidak tepat, bukan?”

Mendengar jawaban seenaknya tetapi masuk akal itu membuat semua orang bergelak tawa. Zu Qianqiu membungkuk untuk kemudian membuka ikatan jala dan melepaskan kedua orang tua aneh itu. Jala tersebut terbuat dari campuran rambut manusia, benang sutra yang berasal dari ulat sutra liar, serta benang emas murni yang dianyam sedemikian rupa. Sungguh memiliki tingkat keuletan yang luar biasa. Golok pusaka atau pedang setajam apa pun juga sulit untuk merusaknya. Jika orang terjaring, semakin meronta justru semakin teringkus kencang. Untuk membebaskannya harus ada orang yang mengurai ikatan jala tersebut dari luar.

Sesudah bebas, tanpa banyak bicara Dewa Ranting Persik segera membuka celana dan mengencingi jala ikan tersebut.

“Hei, apa yang kau lakukan?” tanya Zu Qianqiu terkejut.

“Kalau tidak mengencingi jala busuk ini, maka aku tidak bisa melampiaskan rasa kesalku,” jawab Dewa Ranting Persik.

Begitulah, beramai-ramai ketujuh orang itu lantas berjalan menuju ke tepi sungai. Dari jauh Yue Buqun melihat Lao Denuo dan Gao Genming menghunus senjata, berjaga di haluan kapal. Hatinya pun lega karena ternyata tidak terjadi apa-apa di atas kapal tersebut selama ia pergi.

Setelah meletakkan tubuh Linghu Chong di dalam kabin kapal, Lao Touzi membungkuk dan berkata dengan penuh hormat, “Atas budi baik Tuan Muda Linghu, aku merasa sangat berterima kasih yang tak terhingga. Sementara ini aku mohon diri. Tidak lama lagi tentu kita dapat berjumpa kembali.”

Linghu Chong yang masih lemah akibat kehilangan banyak darah dan terguncang-guncang dalam perjalanan kembali ke kapal membuatnya tidak dapat mendengar dengan jelas segala perkataan Lao Touzi. Ia hanya sekadar mengiakan dengan suara lirih.

Sementara itu Ning Zhongze dan para murid terheran-heran melihat si cebol bulat yang tadinya begitu garang kini telah berubah menjadi lembut dan penuh tata krama terhadap Linghu Chong. Sementara itu, Lao Touzi dan Zu Qianqiu segera berpamitan kepada Yue Buqun sebelum empat Dewa Lembah Persik yang lainnya datang.

“Tunggu dulu, Saudara Zu!” seru Dewa Ranting Persik tiba-tiba.

“Mau apa?” tanya Zu Qianqiu.

“Mau ini!” jawab Dewa Ranting Persik. Secepat kilat ia menekuk lutut kemudian menyeruduk maju dengan kecepatan tinggi.

Zu Qianqiu yang tidak sempat menghindar segera mengerahkan tenaga dalam untuk menerima serudukan yang sangat mendadak itu. Dalam sekejap saja hawa murni sudah memenuhi titik Dantian di bawah pusarnya, sehingga perutnya kini menjadi keras seperti baja. Kemudian terdengar suara seperti hancurnya benda-benda pecah belah, disusul dengan Dewa Ranting Persik yang melompat mundur beberapa meter ke belakang sambil bergelak tawa.

“Aduh, celaka!” teriak Zu Qianqiu begitu memasukkan tangan ke balik bajunya. Ketika tangannya dikeluarkan tampak menggenggam kepingan porselen, batu kumala, kayu, bambu, yang tak terhitung jumlahnya. Rupanya bunyi barang pecah tadi adalah hancurnya cawan-cawan arak yang terdiri dari bermacam-macam jenis itu. Sementara, cawan yang terbuat dari perak, emas, dan perunggu tampak tergencet pipih. Kontan saja rasa sedih tak terlukiskan ditambah rasa murka yang tidak kepalang terpancar di wajah Zu Qianqiu. Ia pun menghamburkan pecahan-pecahan beling itu ke arah Dewa Ranting Persik.

Akan tetapi, Dewa Ranting Persik sudah siap sedia dan dapat mengelak dari serangan tersebut, sambil kemudian berteriak, “Linghu Chong menyuruh kita berubah dari musuh menjadi kawan. Apa yang dia katakan harus kita turuti. Maka, kita harus menjadi musuh lebih dulu, baru kemudian bisa berubah menjadi kawan.”

Selama puluhan tahun Zu Qianqiu dengan susah payah mengumpulkan berbagai jenis cawan arak yang kini telah dihancurkan oleh Dewa Ranting Persik secara sekaligus. Sebenarnya ia hendak melakukan pembalasan, tapi begitu mendengar ucapan Dewa Ranting Persik itu segera ia menghentikan niatnya. Terpaksa sastrawan dekil itu menjawab dengan senyuman hambar, “Ya, benar! Dari lawan berubah menjadi kawan! Dari lawan menjadi kawan!” Usai berkata demikian ia pun melangkah pergi bersama Lao Touzi dan Ji Wushi.

Dalam keadaan setengah sadar Linghu Chong masih mengkhawatirkan keselamatannya Yue Lingshan. Ia berkata, “Dewa Ranting Persik, tolong kau minta mereka jangan … jangan mengganggu adik seperguruanku, Yue ….”

“Baik,” jawab Dewa Ranting Persik. Ia kemudian berseru lantang, “Hai, hai! Sobat-sobat Lao Touzi, Burung Hantu Malam, dan Zu Qianqiu, dengarkanlah! Linghu Chong berpesan supaya kalian jangan sampai mengganggu adiknya yang tercinta.”

Saat itu JiWushi dan kedua rekannya sudah berjalan lumayan jauh. Mereka langsung berhenti begitu mendengar teriakan Dewa Ranting Persik. Lao Touzi berpaling dan menjawab dengan suara keras, “Tentu saja! Kalau Tuan Muda Linghu berpesan demikian, pasti kami patuhi!”

Usai menjawab demikian, ia dan kedua temannya tampak berbisik-bisik membicarakan sesuatu, kemudian melanjutkan perjalanan.

Yue Buqun kemudian menceritakan apa yang telah ia saksikan di rumah Lao Touzi kepada sang istri. Namun baru menyampaikan beberapa kalimat, tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut di daratan sana. Ternyata Dewa Akar Persik dan ketiga adiknya sudah kembali. Keempat orang tua aneh itu langsung saja membual. Mereka berkata telah menangkap pria berkopiah lancip yang membawa panji-panji putih tadi dan merobek tubuh orang itu menjadi empat potong.

Mendengar itu Dewa Buah Persik tertawa terbahak-bahak dan berkata, “Lihai! Sungguh kalian keempat kakakku sangat lihai!”

Dewa Ranting Persik juga ikut berkata, “Kalian telah merobek orang itu menjadi empat potong? Apakah kalian tahu dia bernama siapa?”

“Dia sudah mati. Peduli apa dengan namanya? Memangnya kau sendiri tahu?” sahut Dewa Dahan Persik.

“Tentu saja aku tahu,” jawab Dewa Ranting Persik. “Dia bernama Ji Wushi, alias Si Burung Hantu Malam.”

Dewa Daun Persik bersorak memuji, “Wah, nama yang bagus! Orang itu pasti pandai meramal. Dia pasti tahu kalau suatu saat akan bertemu Enam Dewa Lembah Persik dan kehabisan akal untuk meloloskan diri, sehingga akhirnya tubuhnya terpotong menjadi empat. Itulah sebabnya, jauh-jauh hari ia sudah memakai nama Ji Wushi, yang artinya ‘kehabisan akal’.”

“Ilmu kesaktian Si Burung Hantu Malam Ji Wushi itu benar-benar lain daripada yang lain. Jarang ada bandingannya di dunia ini,” kata Dewa Buah Persik.

“Memang benar. Ilmu kesaktiannya memang luar biasa. Sayang sekali ia bernasib sial, bertemu dengan Enam Dewa Lembah Persik. Jika tidak, tentu ilmu ringan tubuhnya bisa disebut nomor satu di dunia persilatan,” sahut Dewa Akar Persik.

“Ilmu ringan tubuhnya memang hebat. Yang lebih hebat lagi adalah ia bisa hidup kembali setelah tubuhnya kalian robek menjadi empat potong,” ujar Dewa Buah Persik sambil tersenyum mengejek. “Dia bisa menggabungkan kembali potongan-potongan tubuhnya dan berjalan seperti biasa. Bahkan, ia baru saja datang kemari untuk mengobrol denganku.”

Dewa Akar Persik, Dewa Dahan Persik, Dewa Daun Persik, dan Dewa Bunga Persik sadar kalau kebohongan mereka telah terbongkar. Namun mereka serentak berpura-pura memperlihatkan wajah terkejut mendengar perkataan Dewa Buah Persik tersebut.

Dewa Bunga Persik pun berkata, “Aku baru tahu kalau Ji Wushi ternyata memiliki ilmu selihai itu. Ini benar-benar luar biasa. Pepatah mengatakan, jangan menilai orang dari tampangnya saja. Dalamnya laut tidak dapat diukur. Sungguh mengagumkan! Sungguh mengagumkan!”

Dewa Dahan Persik menanggapi, “Aku pernah dengar ada ilmu yang bisa menggabungkan tubuh yang telah terpotong seperti sediakala dan kembali bisa berjalan dengan wajar. Itu namanya ‘Ilmu Sakti Menggabungkan Potongan Menjadi Utuh’. Konon kabarnya, ilmu sakti ini sudah punah sejak lama. Siapa sangka Ji Wushi ternyata mewarisi ilmu ini? Hm, ini sungguh ilmu langka di dunia persilatan. Menurutku jika kelak kita berjumpa lagi dengannya, sebaiknya kita menjalin pertemanan saja.”

Di sudut lain, Yue Buqun dan Ning Zhongze sedang mengkhawatirkan nasib putri mereka yang hilang diculik orang. Bahkan, siapa pihak yang telah menculik juga tidak diketahui dengan pasti. Nama besar Perguruan Huashan yang termashur di dunia persilatan kali ini terpuruk habis-habisan di lembah Sungai Kuning. Namun demikian, pasangan suami istri itu tidak memperlihatkan rasa sedih di wajah masing-masing karena takut para murid akan ikut bersedih dan panik. Mereka juga tidak membicarakan hal-hal yang membingungkan dan hanya memperkeruh suasana, melainkan hanya memendam kegelisahan dalam hati saja. Saat itu di atas kapal yang terdengar hanyalah omong kosong Enam Dewa Lembah Persik saling adu pendapat.

Dua jam kemudian, ketika fajar hampir menyingsing, tiba-tiba terdengar suara ramai orang berjalan di daratan. Sejenak kemudian tampak dua buah joli diusung empat orang menuju ke tepi sungai. Salah seorang pengusung berseru, “Tuan Muda Linghu memberi pesan supaya kami jangan mengganggu Nona Yue, tapi majikan kami sudah telanjur berbuat. Mohon Tuan Muda Linghu sudi memberi maaf.”

Setelah joli diletakkan di tanah, keempat pengusung itu memberi hormat ke arah kapal, kemudian bergegas pergi dengan langkah cepat.

“Ayah, ibu!” terdengar suara Yue Lingshan dari salah satu joli.

Yue Buqun dan Ning Zhongze terkejut bercampur senang. Segera mereka melompat ke daratan dan membuka tirai joli. Pasangan suami istri itu sangat lega karena melihat putri mereka tampak duduk di dalam bilik usungan tersebut dalam keadaan tidak kurang suatu apa, kecuali tertotok sehingga tidak bisa berdiri. Orang yang duduk di dalam joli satu lagi sudah pasti Lin Pingzhi.

Yue Buqun segera menepuk titik Huantiao, Jizhong, dan Weizhong di kaki putrinya itu, kemudian bertanya, “Siapa orang bertubuh tinggi besar yang menculik kalian tadi malam?”

“Raksasa itu, dia … dia … dia ….” Jawab Yue Lingshan dengan bibir berkerut seperti hendak menangis.

Dengan lembut, Ning Zhongze segera menggendong tubuh putrinya itu dan membawanya masuk ke dalam kabin kapal. Ia kemudian bertanya, “Apakah kau baik-baik saja?”

Mendengar suara sang ibu yang penuh kasih sayang justru membuat Yue Lingshan benar-benar menangis.

Dalam hati Ning Zhongze merasa khawatir. Ia berpikir, “Orang-orang itu bertingkah laku aneh dan mencurigakan. Shan’er berada di tangan mereka selama beberapa jam. Mungkinkah ia mengalami pelecehan?” Maka, Nyonya Yue pun kembali bertanya, “Sebenarnya apa yang telah terjadi? Tidak apa-apa, katakanlah kepada Ibu.”

Namun tangis Yue Lingshan justru semakin meledak. Tentu saja hal ini membuat Ning Zhongze bertambah cemas. Karena di situ banyak orang, Nyonya Yue tidak berani bertanya lebih lanjut. Segera ia merebahkan putrinya itu di atas dipan dan menutupinya dengan selimut.

Mendadak Yue Lingshan berkata sambil menangis, “Ibu, raksasa itu telah mencaci maki aku.”

Ucapan putrinya itu membuat perasaan Ning Zhongze sangat lega. Ia pun menanggapi dengan tersenyum, “Hanya dimaki orang saja apa harus begini sedih?”

“Tapi … tapi dia juga mengangkat tangannya seperti hendak memukul aku,” gerutu Yue Lingshan.

“Baiklah, baiklah! Lain kali jika bertemu orang itu biar kita balas memaki dan menggertaknya,” ujar Nyonya Yue sambil tertawa.

“Padahal aku tidak menjelek-jelekan Kakak Pertama, Lin Kecil juga tidak. Tapi raksasa itu tetap saja mencak-mencak dan mengancamku. Katanya selama hidup ia paling tidak senang bila mendengar ada orang menjelek-jelekkan Linghu Chong. Aku menjawab tidak. Ia berkata, bila ia marah bisa jadi orang yang tidak disukainya akan disembelih dan dimakan olehnya. Sambil berkata demikian ia menunjukkan giginya yang menyeramkan kepadaku,” jawab Yue Lingshan sambil tersedu-sedu.

“Benar-benar kejam,” ujar Ning Zhongze. “Chong’er, orang tinggi besar itu siapa?”

Linghu Chong menjawab dengan suara lirih, “Yang tinggi besar itu? Aku … aku ….”

Saat itu Lin Pingzhi yang sudah dibebaskan dari totokan oleh Yue Buqun, tampak melangkah masuk ke dalam kabin. “Ibu Guru, raksasa dan biksu itu benar-benar makan daging manusia. Ini bukan omong kosong atau gertakan belaka,” katanya menukas.

Ning Zhongze tercengang, “Mereka berdua benar-benar makan daging manusia? Dari … darimana kau tahu?”

“Biksu itu menanyai aku tentang kitab Pedang Penakluk Iblis. Sambil bertanya demikian, ia mengeluarkan sepotong makanan yang lantas digerogotinya dengan lahap,” tutur Lin Pingzhi. “Ia juga meletakkan potongan makanan itu di dekat hidung saya dan bertanya apakah saya ingin mencicipinya. Ternyata … ternyata yang ia makan adalah potongan tangan manusia.”

“Hah, mengapa kau … kau tidak cerita padaku dari tadi?” teriak Yue Lingshan.

“Aku khawatir kau terkejut dan ketakutan sehingga tidak berani menceritakannya kepadamu,” sahut Lin Pingzhi.

“Ah, aku ingat sekarang,” tiba-tiba Yue Buqun menyela. “Mereka adalah Sepasang Beruang Gurun Utara. Apakah si raksasa berkulit putih bersih, sedangkan si biksu berkulit hitam legam?”

“Benar sekali,” jawab Yue Lingshan. “Ayah kenal mereka?”

Yue Buqun menggeleng, “Tidak, Ayah tidak kenal mereka. Ayah hanya pernah mendengar cerita orang bahwa di padang pasir sebelah utara Tembok Besar ada dua perampok terkenal. Yang satu bernama Beruang Putih dan yang lain bernama Beruang Hitam. Seringkali mereka menghadang orang yang lewat dan merampok harta bendanya. Namun bila barang yang mereka hadang dikawal oleh perusahaan ekspedisi, maka keduanya pun menangkap para pengawal dan memakan daging mereka. Katanya, orang yang bisa ilmu silat memiliki daging yang jauh lebih keras dan lebih gurih kalau dimakan.”

“Aih!” jerit Yue Lingshan dengan perasaan ngeri.

“Kakak, mengapa kau bercerita hal-hal yang memuakkan seperti itu? Sungguh membuat orang ingin muntah,” ujar Ning Zhongze tidak setuju.

Yue Buqun tersenyum. Sejenak kemudian barulah ia menyambung, “Selama ini aku belum pernah mendengar Sepasang Beruang Gurun Utara melintasi Tembok Besar. Mengapa sekarang mereka telah berada di lembah Sungai Kuning? Chong’er, bagaimana kau bisa kenal Sepasang Beruang Gurun Utara itu?”

“Sepasang Orang Gurun Utara?” tanya Linghu Chong setengah menggumam. Rupanya ia tidak mendengar dengan jelas apa yang diucapkan sang guru. Setelah termenung sejenak, akhirnya ia menjawab, “Entah, aku tidak kenal mereka.”

Tiba-tiba Yue Lingshan menyela, “Lin Kecil, saat biksu itu menyuruhmu mencicipi daging manusia, apakah kau mau?”

“Tentu saja tidak,” jawab Lin Pingzhi.

“Syukurlah jika tidak. Kalau saja kau ikut makan, hm, untuk selanjutnya aku tidak akan menggubrismu lagi,” gerutu Yue Lingshan.

Mendadak terdengar Dewa Dahan Persik menyahut dari luar kabin, “Makanan yang paling lezat di dunia ini adalah daging manusia. Lin Kecil diam-diam tentu sudah mencicipinya. Hanya saja ia tidak mau mengaku.”

“Benar, kalau dia tidak mencicipi mengapa tidak bilang dari tadi? Kenapa baru sekarang menyangkal mati-matian,” sahut Dewa Daun Persik menambahkan.

Sejak keluarganya tertimpa bencana habis-habisan, sikap Lin Pingzhi banyak berubah. Kini ia selalu berhati-hati dalam berbicara dengan siapa saja. Apa yang dikatakan kedua Dewa Lembah Persik tadi membuatnya tercengang dan tidak bisa menjawab.

“Nah, betul tidak?” sahut Dewa Bunga Persik ikut menimpali. “Dia tidak menjawab. Kalau diam berarti mengaku. Nona Yue, dia sudah memakan daging manusia tapi tidak mau mengakui. Laki-laki yang tidak jujur seperti dia mana bisa diajak menikah dan hidup bersama?”

“Benar, bila kau menikah dengannya, kelak dia tentu main gila dengan perempuan lain. Dan bila kau bertanya, pasti dia akan menyangkal,” sahut Dewa Akar Persik.

“Ada yang lebih celaka lagi,” tambah Dewa Daun Persik. “Bila kau tidur bersamanya, bagaimana kalau mendadak ia ketagihan makan daging manusia? Di tengah malam kau akan bangun karena kesakitan dan mendengar suara ‘kriuk-kriuk’. Ternyata dia sedang memakan jari-jari tanganmu.”

Dewa Buah Persik menyahut, “Nona Yue, meskipun jari tangan dan kakimu berjumlah dua puluh, tetapi setiap malam dia memakan sedikit demi sedikit, lama-lama pasti habis juga. Kau tidak akan mempunyai jari lagi.”

Sejak bertemu di puncak Gunung Huashan, Enam Dewa Lembah Persik sudah menganggap Linghu Chong sebagai teman baik. Meskipun sering berdebat hal-hal yang tidak penting, namun mereka bukanlah orang-orang dungu sama sekali. Diam-diam mereka memerhatikan perasaan Linghu Chong yang tak terbalas oleh Yue Lingshan, bagaikan pohon yang menggugurkan bunganya ke arah sungai kecil, namun si sungai tetap mengalir tak peduli. Kini begitu menemukan celah kelemahan pada ucapan Lin Pingzhi, mereka langsung memanfaatkannya untuk merusak hubungan pemuda itu dengan Yue Lingshan.

“Omong kosong semuanya! Aku tidak mau dengar! Aku tidak mau dengar!” teriak Yue Lingshan sambil menutupi telinganya.

Dewa Akar Persik berkata, “Nona Yue, tidak ada salahnya kalau kau ingin menikah dengan Lin Kecil. Tetapi, ada suatu ilmu sakti yang harus kau pelajari. Ilmu sakti ini sangatlah penting. Kalau kau sampai lalai untuk mempelajarinya, maka aku yakin kau akan menyesal seumur hidup.”

“Ilmu sakti macam apa itu? Menagapa begitu penting untukku?” tanya Yue Lingshan yang penasaran karena melihat Dewa Akar Persik berbicara dengan wajah bersungguh-sungguh.

“Ilmu tersebut adalah milik Ji Wushi, Si Burung Hantu Malam, yang disebut ‘Ilmu Sakti Menggabungkan Potongan Menjadi Utuh’. Jika kelak di kemudian hari telingamu, hidungmu, jari-jari tangan dan kakimu sudah habis dimakan Lin Kecil, kau tidak perlu khawatir. Cukup gunakan ilmu sakti ini maka semuanya akan beres. Kau tinggal membedah perutnya, ambil bagian-bagian tubuhmu itu dan tempelkan ke tempatnya semula. Tentu tubuhmu menjadi utuh kembali.”

Di tengah suara riuh omong kosong Enam Dewa Lembah Persik, kapal rombongan Huashan itu telah mengangkat sauh dan melanjutkan perjalanan menuju ke arah hilir Sungai Kuning. Saat itu fajar mulai menyingsing, kabut pagi masih menyelimuti ombak di permukaan sungai. Pikiran pun terasa segar dan bebas lepas saat memandangnya.

Satu jam kemudian, matahari perlahan-lahan terbit di ufuk timur. Sinarnya yang cerah dan terpantul di permukaan sungai bagaikan ribuan ular emas yang berjalan meliuk-liuk. Tiba-tiba dari jauh terlihat sebuah perahu kecil yang berlayar menuju ke arah hulu. Saat itu angin timur bertiup kencang menerpa layar hijau kebiruan pada perahu tersebut yang meluncur melawan arus sungai. Pada layar terpampang gambar kaki manusia berukuran besar dan berwarna putih. Setelah perahu semakin mendekat, ternyata gambar kaki tersebut terlihat langsing dan cantik. Orang-orang Huashan dapat menyimpulkan kalau gambar itu adalah gambar kaki seorang wanita.

“Mengapa layar perahu itu bergambar kaki wanita? Aneh sekali?” kata para murid Huashan saling bertanya-tanya.

Dewa Ranting Persik berkata, “Sepertinya itu kapal milik Sepasang Beruang Gurun Utara. Aih, Nyonya Yue dan Nona Yue, kalian ibu dan anak harus berhati-hati. Sepertinya orang di dalam perahu itu gemar makan kaki perempuan.”

Yue Lingshan hanya mencibir kepadanya, namun dalam hati merasa ngeri dan gentar juga.

Beberapa menit kemudian, perahu kecil itu sudah berhadap-hadapan dengan kapal rombongan Huashan. Sayup-sayup terdengar suara nyanyian penumpang perahu dari dalam kabin. Suara nyanyian tersbut terdengar lembut, namun liriknya aneh dan sukar dimengerti. Irama lagu pun terkesan intim dan mesra, sama sekali tidak mirip nyanyian, melainkan lebih mirip suara desahan dan rintihan. Untuk selanjutnya, suara nyanyian berubah dan kini terdengar seperti suara laki-laki dan perempuan sedang asyik masyuk dengan sangat riang dan penuh nafsu birahi. Mendengar itu, mau tidak mau wajah para murid Huashan bersemu merah.

“Siluman macam apa mereka itu!” gerutu Ning Zhongze agak memaki.

Tiba-tiba terdengar suara centil seorang perempuan dari dalam kabin perahu tersebut, “Apakah Tuan Muda Linghu dari Perguruan Huashan ada di atas kapal?”

Nyonya Yue berkata kepada Linghu Chong yang masih terbaring di dalam kabin, “Chong’er, jangan kau pedulikan perempuan itu!”

“Kami hanya ingin melihat wajah Tuan Muda Linghu,” kata perempuan itu. Suaranya merdu dan menawan, seperti memiliki kekuatan gaib yang membuat hati tergetar bagi siapa saja yang mendengarnya.

Saat suaranya masih menggema, terlihat seorang gadis melompat keluar dari dalam kabin dan kemudian berdiri di tepi perahu. Ia memakai baju dan rok berwarna biru dengan sulaman bunga-bunga warna putih. Di luar bajunya tampak selembar celemek berhiaskan sulaman warna-warni dan berkilauan hijau keemasan yang tergantung menutupi dada sampai lutut. Sepasang telinganya pun berhiaskan anting-anting sebesar mulut cawan arak. Gadis itu berusia sekitar dua puluh tiga atau empat, dengan kulit agak kekuningan. Sepasang matanya besar, dan manik matanya berwarna hitam legam. Ikat pinggangnya pun berwarna-warni dengan kedua ujung dibiarkan melambai-lambai tertiup angin. Anehnya, kedua kaki gadis itu telanjang tanpa sepatu atau sandal. Meskipun penampilan gadis itu sangat menawan, namun karena suaranya lebih dulu terdengar membuat orang-orang Huashan menganggap bahwa suaranya lebih menawan daripada orangnya. Melihat semua pasang mata di atas kapal tertuju kepadanya, si gadis hanya tersenyum manis. Semua dapat menebak kalau gadis itu bukan berasal dari suku Han.

Saat itu kapal yang ditumpangi rombongan Huashan hampir bertabrakan dengan perahu kecil yang ditumpangi gadis tadi. Namun perahu kecil tersebut segera memutar haluan dan menurunkan layar, sehingga sekarang berjajar di samping kapal Huashan dan sama-sama menuju ke arah hilir.

Tiba-tiba Yue Buqun teringat sesuatu. Ia pun menyapa, “Nona, apakah kau ini bawahan Ketua Lan dari Sekte Lima Dewi di Yunnan?”

Gadis berbaju biru itu tertawa cekikikan, kemudian menjawab dengan suara lembut, “Pandangan matamu boleh juga. Tapi sayang, tebakanmu hanya benar setengah. Aku memang berasal dari Sekte Lima Dewi di Yunnan, tapi aku bukan bawahan Ketua Lan.”

Yue Buqun maju beberapa langkah, kemudian merangkap tangan memberi hormat dan berkata dengan santun, “Nona, namaku Yue Buqun. Mohon beri tahukan marga Nona yang mulia, serta petunjuk apa yang akan Nona sampaikan kepadaku dengan berkunjung ke sungai ini?”

Gadis itu menjawab, “Aku dari suku Miao. Aku tidak paham bahasamu yang muluk-muluk. Apa katamu tadi?”

“Nona, mohon supaya memberitahukan margamu?” ulang Yue Buqun.

Si gadis membalas, “Kau sudah tahu aku ini bermarga apa, mengapa masih bertanya?”

Yue Buqun berkata, “Aku bertanya karena aku benar-benar tidak mengetahui margamu.”

Gadis itu menjawab, “Kau ini sudah tua. Lihat saja, janggut kambingmu sudah sepanjang ini. Jelas-jelas kau sudah tahu margaku, tapi mengapa masih pura-pura tidak tahu?” Ucapan ini terdengar tidak sopan tetapi disampaikannya dengan tersenyum manis. Raut mukanya yang ramah dan suaranya yang lembut sama sekali tidak menunjukkan rasa permusuhan.

“Nona, kau jangan bercanda,” kata Yue Buqun.

“Nah, Ketua Yue, sebutkan apa margamu?” tanya si gadis baju biru.

“Nona, kau sudah tahu aku bermarga Yue, mengapa masih bertanya padahal sudah tahu jawabannya?” balas Yue Buqun.

Ning Zhongze kesal melihat ucapan perempuan yang dinilainya main-main itu. Ia pun berbisik kepada sang suami, “Jangan pedulikan dia.”

Yue Buqun meletakkan tangan di balik punggung dan menggoyang-goyangkannya beberapa kali sebagai isyarat kepada istrinya supaya tidak ikut bicara.

Melihat itu Dewa Akar Persik menanggapi, “Mengapa Tuan Yue menggoyang-goyangkan tangannya di balik punggung? Ah, aku tahu! Nyonya Yue menyuruhnya supaya tidak memedulikan perempuan itu. Tapi setelah Tuan Yue melihat perempuan itu ternyata cantik dan genit, maka ia sengaja tidak menuruti perkataan istrinya, dan memilih tetap memerhatikan perempuan itu.”

Gadis baju biru itu tersenyum dan berkata, “Terima kasih banyak. Kau bilang aku cantik dan … genit? Kami perempuan suku Miao, mana bisa lebih cantik dan genit daripada perempuan suku Han kalian?” Ternyata ia tidak mengetahui kalau kata “genit” mengandung makna yang kurang baik sehingga apa yang dikatakan Dewa Akar Persik dianggapnya sebagai pujian. Dengan wajah berseri-seri, ia kemudian bertanya kepada Yue Buqun, “Kau sudah tahu apa margaku. Kenapa kau masih bertanya padahal sudah tahu jawabannya?”

Dewa Ranting Persik menyahut, “Hei, apa yang akan terjadi pada Tuan Yue? Dia tidak menuruti perkataan istrinya.”

“Akibatnya pasti tidak baik,” kata Dewa Bunga Persik.

Dewa Dahan Persik ikut menanggapi, “Bukankah Tuan Yue dijuluki ‘Si Pedang Budiman’? Sepertinya dia sama sekali tidak budiman. Dia sudah tahu perempuan ini bermarga apa, tetapi masih saja bertanya. Dia terus bertanya padahal sudah tahu jawabannya. Aku rasa dia hanya mengada-ada supaya tetap bisa berbicara dengan perempuan itu.”

Yue Buqun sangat kesal bercampur malu mendengar pembicaraan Enam Dewa Lembah Persik. Ia pun berpikir, “Enam bersaudara ini suka bicara seenaknya. Kalau mulut mereka tidak disumpal, entah omong kosong apa lagi yang akan mereka katakan? Bagaimana pula perasaan para murid mendengar ucapan mereka?”

Namun, begitu mengingat sifat dan kebiasaan keenam orang aneh itu, Yue Buqun memilih tidak memedulikan mereka. Ia pun berkata kepada si gadis, “Nona, mohon sampaikan hormat kami kepada Ketua Lan. Yue Buqun dari Perguruan Huashan berharap semoga Beliau selalu dalam keadaan baik.”

Gadis berbaju biru itu terbelalak. Matanya melotot lebar dan berputar-putar seakan tidak percaya mendengar ucapan Yue Buqun. “Hei, kenapa kau menyebutku sebagai ‘Beliau’? Memangnya aku ini sudah tua?”

Kini giliran Yue Buqun yang terkejut setengah mati. Ia pun berkata dengan gugup, “Nona … jadi kau … kau adalah Ketua Lan dari Sekte Lima Dewi ….”

Sepak terjang Sekte Lima Dewi sebagai kelompok yang ganas dan kejam sudah lama diketahui Yue Buqun. Sebenarnya, kaum persilatan diam-diam lebih suka menyindir kelompok ini sebagai Sekte Lima Racun. Pada awalnya ketika didirikan sekitar seratus tahun yang lalu, kelompok ini memang bernama Sekte Lima Racun. Para pendiri dan pemuka sekte ini adalah orang-orang suku Miao dari daerah Yunnan, Guizhou, Sichuan, dan Hunan. Kemudian setelah beberapa orang suku Han bergabung dengan sekte ini, mereka mengusulkan supaya nama “Lima Racun” diubah saja karena terkesan kurang anggun. Mereka pun mengubah nama perkumpulan menjadi “Lima Dewi”.

Sekte Lima Dewi pandai menggunakan hawa beracun yang keluar dari tanah rawa, bisa serangga, dan parasit tak kasat mata. Nama besar mereka di wilayah selatan dapat disejajarkan dengan Partai Seratus Racun yang berjaya di wilayah utara. Anggota Sekte Lima Dewi kebanyakan berasal dari suku Miao, sehingga tipu muslihat mereka dalam menggunakan racun tidak sehebat dan serapi Partai Seratus Racun. Namun racun yang mereka gunakan seringkali sangat aneh dan sukar dibayangkan. Konon kabarnya, apabila Partai Seratus Racun berniat meracuni orang, meskipun sulit dihindari, tetapi masih bisa diselidiki cara bekerjanya sehingga dapat pula diketahu penyebabnya. Lain halnya dengan Sekte Lima Dewi. Meskipun orang yang menaruh racun menjelaskan dengan terus terang dan terperinci, namun tetap saja susah dibayangkan dan susah dipercaya. Keanehan dan kengerian yang terjadi akibat racun tersebut sulit dijelaskan dengan akal sehat.

“Aku memang bernama Lan Fenghuang, apa kau belum tahu?” kata gadis berbaju biru itu dengan tersenyum. “Kuberi tahu kau, aku memang berasal dari Sekte Lima Dewi, tetapi bukan bawahan Ketua Lan. Di dalam Sekte Lima Dewi, selain Lan Fenghuang, mana ada yang bukan bawahan Ketua Lan?” Sampai di sini ia pun tertawa cekikikan.

Enam Dewa Lembah Persik ikut tertawa sambil bertepuk tangan. Mereka serentak berkata, “Tuan Yue benar-benar bodoh. Perempuan ini sudah memberi tahu tapi tetap saja dia tidak mengerti.”

Yue Buqun sudah lama mengetahui kalau Sekte Lima Dewi dipimpin seorang ketua bermarga Lan. Kini setelah mendengar gadis itu berkata demikian, ia pun mengetahui kalau nama lengkapnya Lan Fenghuang, yang artinya “Burung Feng Biru”. Dilihat dari penampilannya yang berwarna-warni, gadis itu memang mirip burung feng berwarna biru.

Pada umumnya, gadis suku Han dari keluarga baik-baik selalu menyembunyikan nama lengkapnya sampai ia bertunangan dengan seseorang. Apabila keluarga calon suami melamar dan menjalankan tradisi “bertanya nama”, barulah si gadis memberitahukan nama lengkapnya. Meskipun kaum persilatan tidak terlalu mematuhi adat istiadat, namun mereka juga tidak sembarangan menyebut nama lengkap seorang nona. Tak disangka, gadis dari suku Miao ini tanpa malu-malu menyebutkan nama lengkapnya di hadapan banyak orang di atas aliran sungai. Ketika menyebutkan nama lengkap, wajahnya terlihat santai dan tindak-tanduknya alami, sedangkan suaranya terdengar semakin lembut dan memesona.

Lan Fenghuang berusia masih muda, namun dapat mengetuai sebuah sekte terkenal. Hal ini membuat Yue Buqun dan yang lain sangat tercengang.

Dua joli berisi Yue Lingshan dan Lin Pingzhi.
Sepasang Beruang Gurun Utara.
Lan Fenghuang, Ketua Sekte Lima Dewi.

(Bersambung)