Bagian 110 - Istri yang Diabaikan

Lin Pingzhi tidak mau menolong Yue Lingshan.

Tak disangka Lin Pingzhi tetap tenang-tenang saja. Dengan kecepatan luar biasa mendadak kedua tangannya menjulur ke depan, kemudian mengibas ke samping sehingga tangan kedua lawan yang menusuk dadanya itu pun terdorong pula. Sekejap kemudian terdengarlah suara jeritan ngeri empat orang. Dua di antara mereka seketika roboh terkulai, sedangkan dua lainnya yang bermaksud menusuk dada Lin Pingzhi tedi berputar balik karena tangan mereka terkena kibasan lengan pemuda itu. Akibatnya, mereka pun saling menusuk perut teman sendiri.

“Itu tadi adalah jurus kedua dan ketiga ilmu Pedang Penakluk Iblis. Apa kau sudah melihatnya dengan jelas?” seru Lin Pingzhi. Usai berkata ia lantas memutar tubuh dan hinggap di atas kudanya, kemudian melaju pergi.

Orang-orang Qingcheng sampai terkesima sehingga tiada seorang pun yang berangkat mengejar. Ketika mereka memperhatikan kedua kawan yang masih berdiri, ternyata keduanya dalam posisi saling tusuk perut sampai ke dada kawan dari bawah. Kedua kaki masing-masing masih berdiri tegak, padahal sebenarnya mereka sudah kehilangan nyawa.

Cara Lin Pingzhi menjulurkan tangan dan mengibas sambil mendorong tadi telah dilihat dengan jelas oleh Linghu Chong. Hal itu membuatnya terkejut sekaligus kagum pula. “Sungguh bagus, sungguh bagus. Yang ia lakukan tadi bukan ilmu silat tangan kosong, tetapi sebuah ilmu pedang meski tanpa pedang di tangannya,” demikian ia berpikir.

Di bawah sinar bulan tampak bayangan Yu Canghai yang pendek itu berdiri terkesima di samping keempat mayat muridnya. Murid-murid Qingcheng berkeliling di sekitar Sang Guru, tapi dari jarak yang agak jauh. Tiada seorang pun yang berani membuka suara.

Selang agak lama, Linghu Chong kembali memandang ke luar kereta. Dilihatnya Yu Canghai masih tetap berdiri tegak di tempat semula tanpa bergerak sedikit pun, sementara bayangannya sudah bertambah panjang, pertanda sudah sekian lama ia termangu-mangu di situ. Sebagian murid-murid Qingcheng juga terpaku di tempatnya, sebagian sudah menyingkir pergi, sebagian lagi sudah mengambil duduk. Namun Yu Canghai sendiri masih juga berdiri kaku di situ.

Dalam hati Linghu Chong merasa kasihan juga kepada Yu Canghai, ketua Perguruan Qingcheng yang terkenal itu ternyata kehabisan akal dan sama sekali tak berdaya menghadapi ajal di tangan seorang lawan yang jauh lebih muda.

Karena sudah mengantuk, Linghu Chong lantas memejamkan mata untuk tidur. Dalam lelapnya itu tiba-tiba terasa keretanya seperti berguncang, menyusul terdengar suara bentakan sang kusir. Ternyata hari sudah terang, sementara rombongan telah berangkat kembali.

Ia kemudian melongok keluar. Dilihatnya pada jalan raya banyak orang berlalu lalang. Rombongan Perguruan Qingcheng berjalan di depan. Ada yang menunggang kuda, ada yang berjalan kaki. Memandangi bayangan mereka mau tidak mau ada perasaan haru yang sukar untuk dikatakan, seolah-olah menyaksikan serombongan domba sedang digiring menuju tempat pejagalan.

Kembali Linghu Chong berpikir, “Mereka cukup sadar bahwa Lin Pingzhi pasti akan datang lagi. Mereka pun tahu bahwa mereka sama sekali tidak sanggup untuk menghadapinya. Kalau mereka melarikan diri dengan cara berpencar, maka itu berarti tamat sudah nama besar Perguruan Qingcheng. Tapi kalau Lin Pingzhi sampai datang ke Gunung Qingcheng, apakah di Kuil Angin Cemara tiada tokoh lagi yang sanggup melawannya?”

Menjelang tengah hari sampailah rombongan dua perguruan itu di suatu kota agak besar. Rombongan Qingcheng lantas memasuki sebuah rumah makan besar untuk makan minum sepuasnya di dalam. Sementara itu, orang-orang Henshan hanya beristirahat di kedai sederhana di depan rumah makan besar tersebut. Menyaksikan orang-orang Qingcheng menikmati makan dan minum, para biksuni Henshan hanya terdiam. Mereka sadar orang-orang Qingcheng sedang menghadapi maut. Maka, selagi masih hidup, sedapat mungkin mereka ingin menikmati segala kesenangan sepuas-puasnya.

Sore harinya sampailah mereka di tepi sebuah sungai. Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda. Kembali Lin Pingzhi dan Yue Lingshan memburu tiba.

Yihe bersuit menghentikan rombongannya. Saat itu sinar matahari masih memancar terang. Tampak dua penunggang kuda datang menyusur di tepi sungai. Sesudah dekat, Yue Lingshan menahan kudanya, sedangkan Lin Pingzhi terus saja maju ke depan. Mendadak Yu Canghai memberi tanda. Bersama murid-muridnya mereka lantas memutar tubuh dan lari menyusur di tepi sungai.

“Yu Pendek, hendak lari ke mana kau?” seru Lin Pingzhi sambil bergelak tawa. Segera ia pun memacu kudanya mengejar.

Tiba-tiba Yu Canghai berbalik. Secepat kilat pedangnya lantas menusuk muka Lin Pingzhi. Sama sekali Lin Pingzhi tidak menduga akan serangan lawan yang mendadak itu, namun dengan cepat ia melolos pedangnya untuk menangkis. Susul-menyusul Yu Canghai melancarkan serangan kilat. Mendadak ia melompat ke atas, dan di lain saat ia merendah ke bawah. Tak disangka, seorang tua berusia enam puluhan masih juga lincah seperti anak muda. Gerak pedangnya selalu mengambil posisi menyerang secara cepat. Murid-murid Qingcheng segera mengelilingi kuda Lin Pingzhi dan ikut mengerubut pula. Namun demikian, yang mereka serang adalah orangnya, dan jangan sampai melukai kudanya.

Hanya mengikuti beberapa saat saja Linghu Chong sudah tahu maksud dan tujuan Yu Canghai. Kehebatan Lin Pingzhi terletak pada ilmu pedangnya yang bergerak dan berubah dengan cepat dan sukar diduga. Sekarang pemuda itu berada di atas punggung kuda, dengan sendirinya keunggulannya pun menjadi berkurang. Sebab, kalau mau menyerang ia terpaksa harus mendoyongkan tubuhnya ke depan. Sambil menunggangi kuda tentu tidak selincah kalau ia berdiri di atas kaki sendiri. Maka, murid-murid Qingcheng pun sengaja mengepungnya di tengah agar ia tidak sempat turun dari kudanya itu. Asalkan Lin Pingzhi tetap berada di atas kuda belum tentu ia mampu melawan Yu Canghai.

Diam-diam Linghu Chong mengakui kecerdikan ketua Perguruan Qingcheng itu. Cara yang ia gunakan benar-benar cerdik. Kemudian ia memperhatikan pula ilmu pedang yang dimainkan Lin Pingzhi. Gerak perubahannya memang aneh dan bagus, namun Yu Canghai masih dapat menandinginya. Setelah mengikuti beberapa jurus lagi, tanpa terasa pandangannya beralih ke arah Yue Lingshan yang berada di tempat agak jauh. Seketika Linghu Chong tergetar kaget sebab dilihatnya ada beberapa murid Qingcheng lainnya telah mengepung adik kecilnya itu dan sedang mendesaknya ke tepi sungai.

Pada saat itu pula mendadak terdengar kuda tunggangan Yue Lingshan meringkik dan berjingkrak sehingga nyonya muda itu terbanting ke bawah. Rupanya perut kuda itu telah terkena tusukan pedang. Dengan cepat Yue Lingshan melompat bangun sambil mengelak untuk menghindari serangan seorang lawan. Namun, murid-murid Qingcheng itu terus menyerangnya sekuat tenaga.

Enam murid Qingcheng ini terhitung jago-jago pilihan. Linghu Chong dapat melihat Hou Renying dan Hong Renxiong ada di antara mereka. Meskipun Yue Lingshan telah berhasil mempelajari ilmu pedang yang terukir pada gua rahasia di Puncak Huashan dan telah mengalahkan para ketua dari Perguruan Taishan dan Hengshan, namun ilmu pedang lihai itu tidak ada gunanya jika menghadapi ilmu pedang Perguruan Qingcheng. Lagipula, pada dasarnya Yue Lingshan hanya mempelajari gerakan-gerakan ilmu pedang rahasia tersebut, dan belum benar-benar memahami intisarinya.

Linghu Chong dapat melihat sang adik kecil tidak mampu melawan serangan murid-murid Qingcheng yang nekat itu. Sementara ia khawatir dan cemas, tiba-tiba terdengar jeritan seorang murid Qingcheng yang sebelah lengannya tertebas buntung oleh Yue Lingshan yang menggunakan jurus pedang Hengshan.

Linghu Chong merasa gembira dan berharap orang-orang Qingcheng yang lain tentu akan ngeri dan mundur teratur. Tak disangka, kelima orang yang lain tidak mundur selangkah pun, bahkan menyerang lebih kalap termasuk orang yang sudah buntung sebelah lengannya tadi. Melihat lawan yang bermandi darah dengan serangan kalap laksana kerbau gila itu, justru Yue Lingshan sendiri yang merasa ngeri. Ia pun terdesak mundur. Tiba-tiba sebelah kakinya terpeleset karena menginjak batu kali berlumut, dan seketika ia pun jatuh ke dalam air.

“Celaka!” Linghu Chong berseru khawatir.

“Beginilah cara kita menghadapi Dongfang Bubai tempo hari,” tiba-tiba terdengar suara Ren Yingying menyahut.

Linghu Chong tidak sadar sejak kapan gadis itu berada di sampingnya. Ucapan Ren Yingying memang tidak salah. Pada pertempuran di Tebing Kayu Hitam tempo hari jelas-jelas ia dan ketiga lainnya tidak sanggup melawan Dongfang Bubai. Untung saja waktu itu Ren Yingying mengganti haluan dan menyerang Yang Lianting sehingga perhatian Dongfang Bubai pun terbagi. Akhirnya, pendekar mahasakti itu menjadi lengah dan binasa pula. Sekarang ini cara yang dipakai Yu Canghai memang mirip dengan siasat Ren Yingying waktu itu. Tentu saja Yu Canghai tidak menyaksikan bagaimana Linghu Chong dan Ren Woxing membunuh Dongfang Bubai, namun pikirannya yang cerdik membuatnya melakukan hal yang sama pada saat sedang terdesak oleh lawan tangguh.

Linghu Chong menduga Lin Pingzhi tentu akan meninggalkan lawan-lawannya untuk menolong sang istri. Tak disangka, pemuda itu masih terus bertempur melawan Yu Canghai, sama sekali ia tidak ambil pusing terhadap keadaan istrinya yang terancam bahaya itu.

Yue Lingshan sendiri segera melompat bangun setelah tercebur ke dalam air dangkal tadi. Di lain pihak, murid-murid Qingcheng juga menyadari bahwa hidup-mati perguruan mereka dan keselamatan diri sendiri hanya tergantung pada pertempuran yang menentukan sekarang ini. Maka, mereka pun bertempur dengan nekat dan mengerahkan segenap kemampuan. Tiba-tiba murid yang buntung lengannya tadi telah membuang pedangnya dan kemudian menjatuhkan diri untuk menggelinding ke arah Yue Lingshan. Segera ia memeluk kaki nyonya muda itu dengan menariknya kencang-kencang.

“Adik Ping, lekas bantu aku, lekas bantu aku!” seru Yue Lingshan khawatir.

“Yu Pendek ingin melihat kehebatan Jurus Pedang Penakluk Iblis, maka biar dia melihat secara jelas agar mati pun tidak penasaran,” kata Lin Pingzhi sambil menyerang lebih cepat sehingga Yu Canghai hampir-hampir tidak sempat bernapas. Sungguh hebat Jurus Pedang Penakluk Iblis yang dimainkan Lin Pingzhi itu. Meski sambil duduk di atas kuda, namun pedangnya yang menari-nari sudah cukup untuk membuat Yu Canghai terdesak kelabakan.

Yu Canghai pernah mempelajari Ilmu Pedang Penakluk Iblis dari gurunya dan tidak melihat ada yang istimewa pada jurus-jurus tersebut. Akan tetapi, jurus-jurus yang sederhana itu saat berada di tangan Lin Pingzhi ternyata mengandung banyak gerak perubahan di sana-sini yang membuatnya terdesak kewalahan dan hanya bisa berteriak-teriak gusar. Harapan satu-satunya adalah menggetar jatuh pedang pemuda itu menggunakan tenaga dalamnya yang jauh lebih tinggi. Akan tetapi, sejak jurus pertama tadi Yu Canghai sama sekali tidak pernah adu senjata dengan Lin Pingzhi. Sungguh cepat gerak pedang pemuda itu yang menerjang ke arahnya tanpa bisa ditangkis sedikit pun.

“Hei, kau … kau ….” bentak Linghu Chong gusar. Tadinya ia mengira Lin Pingzhi tidak mampu melepaskan diri dari kepungan Yu Canghai dan murid-muridnya untuk menolong sang istri. Namun, dari ucapannya itu terdengar jelas bahwa Lin Pingzhi sama sekali tidak menghiraukan keadaan Yue Lingshan. Yang dianggapnya penting hanyalah bagaimana mempermainkan Yu Canghai yang sudah tak berdaya sampai putus asa.

Sementara itu matahari sudah mulai terbit. Linghu Chong dapat melihat bibir Lin Pingzhi menyeringai penuh rasa gembira. Ia bagaikan seekor kucing yang berhasil menangkap tikus dan mempermainkan mangsanya itu sebelum dibunuh. Padahal, seekor kucing saja tidak mempermainkan mangsanya dengan penuh perasaan dendam dan kebencian sebagaimana yang dilakukan Lin Pingzhi terhadap Yu Canghai itu.

“Adik Ping, Adik Ping, lekas kemari tolong aku!” seru Yue Lingshan kembali memanggil suaminya. Suaranya terdengar serak pertanda rasa takut dan ngeri di hatinya telah memuncak.

“Sebentar lagi aku datang! Kau bertahanlah dulu! Aku harus menuntaskan semua Jurus Pedang Penakluk Iblis. Sebenarnya antara keluargaku dengan Yu Pendek tidak ada permusuhan apa-apa. Dia membantai keluargaku hanya karena ingin menguasai ilmu pedang leluhur kami. Sekarang akan kuperagakan semua jurus keluargaku agar dia tidak mati penasaran. Bagaimana menurutmu?” Ucapannya ini terdengar santai pertanda ia memang sama sekali tidak peduli pada keselamatan sang istri. Pertanyaannya yang terakhir pun bukan ditujukan kepada Yue Lingshan, tetapi kepada Yu Canghai. Karena Yu Canghai tidak memahami maksud perkataannya itu, Lin Pingzhi pun menegas, “Bagaimana menurutmu, Yu Pendek?”

Gerak serangan Lin Pingzhi ini sungguh anggun dan gemulai, mirip dengan Jurus Pedang Gadis Kumala andalan Ning Zhongze, istri Yue Buqun. Yang menjadi perbedaan ialah, gerak serangan Lin Pingzhi ini memancarkan hawa jahat luar biasa.

Sebenarnya Linghu Chong ingin sekali menyaksikan seluruh Jurus Pedang Penakluk Iblis dimainkan oleh Lin Pingzhi sampai tuntas. Namun, di sisi lain ia mengkhawatirkan keadaan Yue Lingshan yang sedang dalam bahaya itu. Maka, begitu mendengar Yue Lingshan kembali berteriak-teriak minta tolong, ia pun tidak tahan lagi dan segera berkata, “Kakak Yihe, Kakak Yiqing, tolong kalian membantu Nona Yue. Dia … dia dalam bahaya!”

Yiqing menjawab, “Kita sudah menyatakan tidak akan membantu pihak mana pun juga. Rasanya tidak enak bila kita ikut turun tangan.”

Kaum persilatan memang sangat mengutamakan “pegang janji”. Seorang maling cabul seperti Tian Boguang saja memegang perkataannya, apalagi para anggota perguruan lurus bersih ternama.

Mendengar jawaban Yiqing itu, Linghu Chong merasa apa yang dikatakannya memang benar. Malam sebelumnya Yihe sudah menyatakan dengan tegas kepada Yu Canghai bahwa Perguruan Henshan sama sekali tidak akan membantu pihak mana pun juga. Kalau sekarang mereka membantu Yue Lingshan, itu berarti merusak nama baik Perguruan Henshan. Menyadari hal ini, Linghu Chong merasa sangat gelisah dan tak berdaya.

“Ini … ini .…” ujarnya semakin cemas. Tiba-tiba ia berteriak, “Mana Biksu Bujie, Tian Boguang, dan Enam Dewa Lembah Persik? Di mana mereka?”

Qin Juan menjawab, “Mereka semua sudah pergi karena bosan melihat wajah Yu Canghai yang bermuram durja. Konon Biksu Bujie mengajak mereka pergi mencari arak. Lagipula … mereka berdelapan juga orang-orang Perguruan Henshan.”

Tiba-tiba Ren Yingying melompat dengan kedua tangannya melolos sepasang pedang pendek dari balik pinggang. “Hei, lihatlah dengan jelas! Aku adalah Ren Yingying, putri kesayangan Ketua Ren dari Sekte Matahari dan Bulan. Aku bukan anggota Perguruan Henshan. Kalian enam lelaki tak tahu malu mengeroyok seorang perempuan, bagaimanapun juga membuatku sangat muak. Karena melihat ketidakadilan ini, terpaksa Nona Ren harus ikut campur.”

Sungguh senang rasa hati Linghu Chong melihat Ren Yingying telah maju ke sana. Karena menghela napas lega, tiba-tiba lukanya kembali terasa sakit, dan ia pun jatuh terduduk di dalam kereta.

Meskipun keenam murid Qingcheng itu melihat kedatangan Ren Yingying, namun mereka seolah tidak peduli dan terus saja menyerang Yue Lingshan secara kalap. Sebelumnya Yue Lingshan telah terdesak mundur beberapa langkah. Tiba-tiba kakinya menginjak air sungai sebatas paha dalamnya. Karena tidak bisa berenang, nyonya muda itu menjadi gugup, permainan pedangnya pun ikut kacau. Pada saat itulah pundak kirinya terasa sakit, rupanya sebilah pedang musuh berhasil menusuknya. Kesempatan itu segera digunakan oleh si tangan buntung untuk menubruk maju untuk memeluk kakinya seperti diceritakan tadi. Segera Yue Lingshan mengayun pedangnya untuk membabat tepat mengenai punggung si buntung. Namun orang itu sudah nekat dan terus saja merangkul dengan kencang. Sedikit pun ia tidak mau melepas pelukannya.

Yue Lingshan yang sangat cemas membuat pandangannya menjadi gelap. “Apa aku akan mati di sini? Apa aku akan mati seperti ini?” keluhnya gugup. Samar-samar dilihatnya Lin Pingzhi sedang memainkan ilmu pedangnya yang hebat melawan Yu Canghai. Gerakannya sangat teratur dan perlahan-lahan sejurus demi sejurus seakan-akan ingin memamerkan ilmu pedang belaka. Terdesak oleh rasa kesal, hampir-hampir Yue Lingshan jatuh lunglai. Untung saja tiba-tiba serangan musuh menjadi kendur, dua pedang mereka pun terlempar ke atas, menyusul kemudian terdengar suara air mendebur. Rupanya dua orang murid Qingcheng itu telah terjungkal ke dalam sungai.

Karena pikirannya sudah kacau, Yue Lingshan juga ikut terbanting jatuh. Untungnya, Ren Yingying telah memutar sepasang pedang pendeknya pula. Dalam beberapa jurus saja sisa tiga murid Qingcheng juga telah berhasil dilukainya. Senjata mereka terlepas dari pegangan, sehingga terpaksa para pengeroyok itu melarikan diri. Kemudian dengan sekali tendang Ren Yingying membuat si lengan buntung terpental sehingga rangkulannya pada kaki Yue Lingshan terlepas pula. Segera ia menarik bangun Yue Lingshan yang sudah basah kuyup itu. Pakaian nyonya muda itu tampak berlumuran darah, dan perlahan-lahan Ren Yingying memapahnya naik ke tepi sungai.

Sementara itu terdengar Lin Pingzhi berseru, “Nah, Jurus Pedang Penakluk Iblis milik Keluarga Lin kami sudah kau lihat dengan jelas, bukan?” Menyusul sinar pedangnya lantas berkelebat. Seketika seorang murid Qingcheng yang ikut mengerubut di samping kudanya pun jatuh terguling. Kepalanya terbelah di antara kedua mata.

Yang baru saja roboh itu tidak lain adalah Fang Renzhi, yang dulu berhasil menangkap Lin Zhennan suami-istri dan menyerahkan mereka kepada Yu Canghai di Kota Hengshan. Terdengar Lin Pingzhi berseru, “Fang Renzhi, kau manusia licik dan hina! Kematian seperti ini terlalu enak bagimu.” Sekali menarik tali kendali, dengan cekatan kudanya pun melompat melintasi mayat Fang Renzhi itu. Keadaan Yu Canghai sendiri sudah sangat payah, tentu saja ia tidak berani mengejar.

Lin Pingzhi memacu kudanya dan ia melihat seorang murid Qingcheng yang dulu menyaksikan dirinya membunuh anak Yu Canghai. “Kau pasti Jia Renda!” teriaknya kepada orang itu. Sejak tadi Jia Renda yang terkenal berjiwa pengecut memilih untuk berada jauh dari amukan Lin Pingzhi. Kini begitu melihat pemuda itu tiba-tiba memburunya, ia menjadi kalap dan berniat melarikan diri. Namun, pedang Lin Pingzhi lebih dulu menusuk kaki kanannya. Jia Renda pun terbanting jatuh di tanah. Lin Pingzhi bergelak tawa seperti orang sinting. Ia lantas mengarahkan kudanya untuk menginjak-injak tubuh pria itu. Seketika terdengar jeritan ngeri dan memilukan. Lin Pingzhi terlihat semakin kesetanan. Ia membalikkan kudanya dan kembali menginjak-injak tubuh Jia Renda. Suara jeritan pria itu semakin lama semakin pelan, dan akhirnya tidak terdengar lagi untuk selamanya.

Lin Pingzhi lantas memacu kudanya ke arah Yue Lingshan dan Ren Yingying. “Naik kemari!” serunya kepada sang istri.

Namun, Yue Lingshan memandangnya dengan penuh rasa benci. Ia kemudian berkata dengan gigi gemertak, “Kau pergi sendiri saja.”

“Dan kau?” tanya Lin Pingzhi.

“Untuk apa kau mengurusi aku?” jawab Yue Lingshan ketus.

Lin Pingzhi memandang sekejap ke arah murid-murid Henshan, lalu tertawa sinis. Ia kemudian memacu kudanya dan melarikan hewan tunggangannya itu secepat terbang.

Ren Yingying sama sekali tidak menduga bahwa Lin Pingzhi akan bersikap sedingin itu terhadap istrinya. Padahal mereka masih terhitung pengantin baru. “Nyonya Lin, silakan kau beristirahat ke dalam keretaku saja,” katanya kemudian.

Kelopak mata Yue Lingshan sudah penuh dengan air mata. Sedapat mungkin ia menahan agar air matanya tidak sampai menetes keluar. Maka, dengan terbata-bata ia menjawab, “Aku … aku tidak mau. Kenapa … kenapa kau menolong aku?”

“Bukan aku yang menolongmu, tapi kakak pertamamu yang ingin menolong,” jawab Ren Yingying jujur.

Yue Lingshan merasa hatinya sangat pilu. Tak tertahankan lagi air matanya pun menetes bercucuran. “Dapatkah kau … me… meminjamkan seekor kuda padaku?” ujarnya kemudian.

“Baik,” jawab Ren Yingying lalu pergi mengambil seekor kuda.

“Terima kasih banyak. Kau … kau ….” kata Yue Lingshan lirih. Segera ia melompat dan hinggap di atas punggung kuda itu kemudian memacunya kencang-kencang. Arah yang ditempuh ternyata berlawanan dengan Lin Pingzhi. Sepertinya ia memutuskan untuk kembali ke Gunung Songshan.

Yu Canghai juga heran melihat kepergian Yue Lingshan itu, tapi sama sekali tidak mau menghalanginya. Dalam hati ia berpikir, “Malam nanti atau esok tentu binatang bermarga Lin itu akan datang lagi membunuh kami. Aku yakin dia hendak membunuh habis muridku satu per satu agar tertinggal diriku sebatang kara. Habis itu barulah giliranku dikerjai olehnya.”

Linghu Chong tidak tega menyaksikan keadaan Yu Canghai yang mengenaskan itu. Kepada Yihe dan yang lain ia pun berkata, “Marilah kita berangkat!”

Begitu kusir-kusir kereta membentak dan melecutkan cambuknya, segera keledai-keledai pun menarik kereta maju ke depan.

Linghu Chong terperanjat heran ketika melihat Yue Lingshan ternyata menuju ke arah yang berlainan dengan rombongannya. Sebenarnya ia ingin mengikuti arah yang ditempuh sang adik kecil, namun keretanya ternyata berjalan menuju ke arah lain. Bimbang juga rasa hatinya. Rasanya tidak enak untuk memerintahkan kereta berputar haluan, hanya tirai bagian belakang saja yang disingkapnya untuk memandang ke luar. Namun, bayangan Yue Lingshan sudah tidak tampak lagi. Seketika perasaannya sangat tertekan. “Adik Kecil sudah terluka. Sendirian dia menuju ke sana. Apakah dia akan baik-baik saja?”

Tiba-tiba terdengar Qin Juan berkata di sampingnya, “Dia kembali ke Gunung Songshan. Dia tentu aman berada di samping ayah-ibunya. Kakak Ketua tidak perlu khawatir.”

Agak lega hati Linghu Chong mendengarnya. Ia pun mengiakan, kemudian berpikir, “Adik Qin sungguh cermat. Dia selalu dapat menerka apa yang ada di pikiranku.”

Hari berikutnya ketika matahari sudah berada di atas kepala, rombongan Perguruan Henshan itu berhenti di sebuah kedai makan kecil. Sebenarnya tidak bisa dikatakan kedai makan, sebab hanya terdiri dari beberapa gubuk yang dibangun di tepi jalan. Gubuk-gubuk itu tanpa dinding, terdiri dari beberapa buah meja kasar dan bangku-bangku panjang sekadar tempat makan-minum orang yang berlalu-lalang. Maka, begitu dibanjiri oleh rombongan Perguruan Henshan, seketika rumah makan itu kewalahan, kurang beras dan kurang lauk. Untungnya rombongan ini membawa perbekalan yang cukup, sampai alat-alat masak pun dibawa pula. Segera mereka menanak nasi dan memasak sayur di samping gubuk-gubuk tersebut.

Terlalu lama duduk di dalam kereta membuat Linghu Chong merasa jemu. Untung lukanya sudah lumayan pulih setelah berkali-kali dibubuhi obat-obatan Perguruan Henshan yang mujarab. Zheng E dan Qin Juan lantas memapahnya turun untuk kemudian duduk bersantai di dalam gubuk. Matanya memandang ke timur dan hatinya berpikir, “Entah Adik Kecil akan datang kemari atau tidak?”

Ia lantas melihat debu mengepul tinggi dari jauh. Satu rombongan lagi sedang menuju ke tempat mereka. Ternyata rombongan Perguruan Qingcheng yang tiba. Sesampainya di gubuk itu, mereka juga berhenti untuk menanak nasi. Yu Canghai tampak duduk sendiri menyanding meja, termangu-mangu tanpa bersuara.

Sepertinya Yu Canghai menyadari ajalnya sudah dekat, sehingga ia merasa tidak perlu sirik dan menghindari rombongan Perguruan Henshan lagi. “Hari ini aku paling-paling hanya mati saja. Persetan apakah orang-orang Henshan menyaksikan bagaimana aku mati atau tidak,” pikirnya dalam hati.

Benar juga, tak lama kemudian dari arah barat terdengar suara derap kaki kuda. Tampak seorang pria muda memacu kudanya makin mendekat dengan perlahan. Penunggang kuda itu memakai baju sulam bunga-bunga, siapa lagi kalau bukan Lin Pingzhi?

Sesampainya di depan gubuk, Lin Pingzhi lantas menghentikan kudanya. Orang-orang Qingcheng ternyata tidak ambil pusing kepadanya, bahkan melirik saja tidak. Semuanya sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Yang menanak nasi tetap menanak nasi, yang minum tetap enak-enak minum.

Hal ini benar-benar di luar dugaan Lin Pingzhi. Segera ia bergelak tawa dan berkata, “Tidak peduli kalian menyerang lebih dulu atau tidak, tapi aku akan tetap membunuh kalian semua.” Usai berkata ia lantas melompat turun. Sekali menepuk pantat kuda, hewan itu pun menyingkir mencari rumput. Dilihatnya di samping meja sana masih terdapat bangku yang kosong. Segera ia pun melangkah dan duduk di situ.

Begitu Lin Pingzhi memasuki gubuk, Linghu Chong langsung mencium bau harum yang sangat menusuk hidung. Ternyata bau harum tersebut berasal dari pakaian yang dikenakan pemuda itu. Penampilannya sangat rapih dan rajin. Kopiah yang ia pakai juga dihiasi sebutir batu zamrud, sementara jarinya memakai cincin bermata mirah delima, serta sepatunya juga berhiaskan mutiara. Penampilan seperti ini jelas bukan lagi dandanan kaum persilatan, tapi lebih mirip seorang majikan muda dari keluarga hartawan kaya raya.

Menyaksikan itu Linghu Chong termenung, “Keluarganya adalah pemilik Biro Ekspedisi Fuwei, sudah tentu sejak kecil ia dibesarkan dalam lingkungan kaya raya. Sekian lamanya ia hidup menderita di dunia persilatan, dan kini setelah mendapatkan kepandaian tinggi, sungguh pantas kalau ia kembali menikmati kekayaan seperti dulu lagi.”

Kemudian tampak Lin Pingzhi mengeluarkan selembar saputangan dari kain sutra berwarna putih bersih. Dengan gaya anggun dan lembut ia mengusap wajahnya pelan-pelan, serta mengibaskan lengan bajunya. Tingkah lakunya bagaikan seorang pemain sandiwara yang lemah gemulai.

Setelah mengambil tempat duduk, dengan acuh tak acuh Lin Pingzhi menyapa, “Saudara Linghu, bagaimana keadaanmu?”

“Baik-baik saja,” sahut Linghu Chong sambil mengangguk.

Lin Pingzhi lantas berpaling ke arah musuh-musuhnya. Dilihatnya seorang murid Perguruan Qingcheng sedang menuangkan teh hangat ke dalam cawan Yu Canghai. Tiba-tiba ia menegur dengan suara keras, “Hei, kau ini bernama Yu Renhao, bukan? Dulu sewaktu terjadi pembantaian di rumahku, kau ikut terlibat di sana. Huh, meskipun tubuhmu hancur menjadi abu juga aku tetap mengenalmu.”

Yu Renhao memang terlibat pembantaian para pegawai Biro Ekspedisi Fuwei di kantor pusat Kota Fuzhou. Ia juga ikut menangkap ayah-ibu Lin Pingzhi bersama Fang Renzhi dan Jia Renda. Kedua rekannya itu telah tewas tadi malam. Begitu mendengar teguran Lin Pingzhi, ia langsung meletakkan poci teh di atas meja dengan keras, kemudian berbalik dan mundur dua langkah sambil memegangi gagang pedang yang tergantung di pinggangnya. “Aku memang Yu Renhao, kau mau apa?” Walaupun jawabannya kasar, namun suaranya terdengar agak gemetar dan mukanya berubah pucat pula.

Lin Pingzhi tersenyum dan berkata, “Ying Xiong Hao Jie, empat kesatria muda Perguruan Qingcheng. Kau ini yang nomor tiga, tapi sama sekali tidak memancarkan wibawa kesatria. Hehe, sungguh menggelikan.”

Ying Xiong Hao Jie adalah singkatan dari nama keempat murid terhebat Perguruan Qingcheng. Mereka adalah Hou Renying, Hong Renxiong, Yu Renhao, dan Luo Renjie. Di antara mereka, satu orang telah tewas dibunuh Linghu Chong saat di Kota Hengshan dahulu, yaitu Luo Renjie, sementara tiga yang lainnya saat ini berada di samping Yu Canghai.

Kembali Lin Pingzhi mengejek, “Saudara Linghu itu pernah menyebut kalian sebagai empat binatang bodoh dari Qingcheng. Huh, sebutan itu masih terlalu bagus untuk kalian. Padahal, kalau menurut penilaianku, hehe, kalian bahkan lebih rendah daripada binatang.”

Yu Renhao bertambah gusar. Wajahnya merah membara sementara tangannya semakin erat memegang gagang pedang, namun tidak juga melolos keluar senjatanya itu.

Tiba-tiba dari arah timur terdengar suara derap kaki kuda berlari. Tampak dua ekor kuda datang dengan sangat cepat. Sesampainya di depan gubuk, penunggang yang berada di depan lantas menghentikan kudanya. Begitu semua orang berpaling, segera terdengar sebagian berseru kaget. Ternyata penunggang kuda yang berada di depan itu seorang bungkuk bertubuh gemuk pendek. Ia tidak lain adalah Mu Gaofeng, Si Bungkuk dari Utara. Sungguh tidak disangka-sangka, penunggang kuda yang di belakang ternyata Yue Lingshan.

Melihat Yue Lingshan datang, seketika dada Linghu Chong terasa hangat dan hatinya senang. Namun, dilihatnya kedua tangan adik kecilnya itu tampak ditelikung ke belakang, dan tali kendali kudanya juga dipegang oleh Mu Gaofeng. Jelas ia telah tertangkap dan ditawan oleh pendekar bungkuk itu. Segera Linghu Chong bermaksud turun tangan, namun lantas terpikir olehnya, “Suaminya berada di sini, untuk apa orang luar sepertiku harus bertindak? Jika suaminya sudah tidak peduli barulah nanti aku mencari akal untuk bisa menolongnya.”

Di lain pihak, Lin Pingzhi ternyata senang bukan kepalang melihat kedatangan Mu Gaofeng. Ia berkata dalam hati, “Orang bungkuk ini ikut menyiksa ayah-ibuku sampai meninggal. Sungguh tak kusangka, hari ini dia datang sendiri mengantar nyawa kemari. Langit memang mahaadil.”

Sementara itu, Mu Gaofeng ternyata tidak mengenali Lin Pingzhi. Dahulu mereka memang pernah bertemu di Kota Hengshan, tapi waktu itu Lin Pingzhi menyamar sebagai seorang bungkuk dengan wajah ditutup koyo. Memang selanjutnya Mu Gaofeng dapat membongkar kalau bungkuk tersebut adalah palsu, namun tetap saja ia tidak mengetahui bagaimana wajah Lin Pingzhi yang sebenarnya.

Mu Gaofeng lantas berpaling kepada Yue Lingshan dan berkata, “Karena ada teman sebanyak ini berkumpul di sini, seharusnya kita juga berhenti untuk minum teh. Tapi kakekmu ini sedang ada urusan penting. Untuk itu, marilah kita berangkat saja.” Diam-diam ia merasa gentar melihat orang-orang Perguruan Henshan dan Qingcheng. Daripada mereka turun tangan menolong Yue Lingshan, tentu lebih baik ia segera menyingkir pergi. Maka ia pun membentak hendak melarikan kudanya kembali.

Rupanya kemarin sewaktu Yue Lingshan terluka dan ingin kembali ke Gunung Songshan untuk bergabung dengan ayah-ibunya, di tengah jalan ia disergap Mu Gaofeng. Si bungkuk ini menyimpan dendam kepada Yue Buqun yang telah mengalahkannya saat adu tenaga dalam di Kota Hengshan dulu. Kemudian didengarnya pula bahwa putra Lin Zhennan telah bergabung dengan Perguruan Huashan, serta menjadi menantu Yue Buqun. Oleh karena itu, ia pun menyimpulkan bahwa Kitab Pedang Penakluk Iblis pasti juga jatuh ke tangan Yue Buqun.

Kebanyakan kaum Serikat Pedang Lima Gunung tidak menyukai sifat buruk Mu Gaofeng, sehingga Zuo Lengchan pun tidak mengundangnya dalam acara pendirian Perguruan Lima Gunung. Hal ini membuat Mu Gaofeng sangat gusar dan merasa direndahkan. Diam-diam ia datang dan bersembunyi di sekitar Gunung Songshan untuk mengganggu orang-orang kelima perguruan yang turun gunung. Apabila yang lewat seorang guru atau murid angkatan tua, ia memilih bersembunyi. Sebaliknya, jika yang melintas adalah murid-murid muda, ia bermaksud menghajar mereka sebagai pelampiasan kebencian. Akan tetapi, setelah acara berakhir, orang-orang kelima perguruan itu turun gunung dalam kelompok-kelompok berjumlah belasan atau puluhan, sehingga si bungkuk merasa tidak bisa berbuat apa-apa.

Maka, ketika melihat Yue Lingshan berkuda sendirian menuju ke atas Gunung Songshan, Mu Gaofeng merasa sangat kebetulan. Meskipun ilmu silat nyonya muda ini maju pesat, namun ia tetap bukan tandingan Si Bungkuk dari Utara. Apalagi ia sendiri baru saja terluka dan langsung disergap secara tiba-tiba oleh Mu Gaofeng, sehingga dapat dengan mudah tertangkap oleh manusia bungkuk itu.

Yue Lingshan pun menggertaknya dengan mengatakan bahwa dirinya adalah putri Yue Buqun. Di luar dugaan, Mu Gaofeng justru bertambah senang. Otaknya langsung menyusun rencana hendak menjadikan Yue Lingshan sebagai sandera untuk ditukar dengan Kitab Pedang Penakluk Iblis. Tak disangka, dalam perjalanan menyembunyikan nyonya muda itu, ia justru bertemu rombongan Perguruan Qingcheng dan Henshan.

Yue Lingshan sendiri berpikir kalau dirinya sampai dibawa lari, maka tipis sudah harapannya untuk selamat. Maka tanpa menghiraukan luka di bahunya, ia pun sengaja menjatuhkan diri ke bawah kuda.

“Ada apa?” teriak Mu Gaofeng sambil melompat turun dari kudanya dan mencengkeram punggung nyonya muda itu.

Linghu Chong mengira Lin Pingzhi tentu takkan tinggal diam menyaksikan istrinya diganggu orang. Namun di luar dugaan ternyata Lin Pingzhi tampak tenang-tenang saja, bahkan ia mengeluarkan kipas kertas dengan gagang berwarna keemasan dari balik bajunya. Dengan gaya anggun ia mengipasi diri sendiri perlahan-lahan. Padahal saat itu baru masuk musim semi, bahkan salju di daerah utara belum mencair, jelas udara masih terasa dingin. Sikapnya yang dibuat-buat itu menunjukkan bahwa Lin Pingzhi sengaja ingin menunjukkan ketidakpeduliannya terhadap apa yang sedang terjadi.

Sementara itu, Yue Lingshan sudah dicengkeram bangun oleh Mu Gaofeng dan dinaikkan kembali ke atas kuda. “Hati-hati jangan sampai jatuh lagi!” ujarnya. Rupanya ia tidak tahu kalau tawanannya itu sengaja menjatuhkan diri. Ia sendiri lantas melompat ke atas punggung kuda dan hinggap tepat di atas pelana, siap untuk melaju kembali.

“Orang bermarga Mu,” tiba-tiba Lin Pingzhi menyapa, “di sini ada yang mengatakan bahwa ilmu silatmu sangat rendah tak berharga. Apakah memang demikian adanya?”

Mu Gaofeng tercengang. Ia melihat Lin Pingzhi duduk sendiri, tampaknya bukan orang Perguruan Qingcheng, juga bukan orang Perguruan Henshan. Seketika ia menjadi ragu-ragu dan bertanya, “Kau ini siapa?”

Lin Pingzhi tersenyum menjawab, “Untuk apa kau tanya siapa diriku? Yang mengtatakan ilmu silatmu rendah jelas-jelas bukan aku.”

“Siapa yang bilang?” tanya Mu Gaofeng.

Lin Pingzhi melipat kipasnya dan menunjuk ke arah Yu Canghai. “Yang bilang adalah Pendeta Yu dari Perguruan Qingcheng ini. Baru-baru ini dia telah menyaksikan suatu jurus ilmu pedang yang mahahebat di dunia. Kalau tidak salah namanya Jurus Pedang Penakluk Iblis.”

Begitu mendengar nama “Jurus Pedang Penakluk Iblis”, seketika semangat Mu Gaofeng langsung menyala. Diliriknya Yu Canghai, tampak ketua Perguruan Qingcheng itu sedang termenung-menung sambil memegangi sebuah cawan teh. Terhadap apa yang diucapkan Lin Pingzhi tadi ia seperti tidak mendengar.

Seketika Mu Gaofeng menjadi ragu-ragu dan bertanya, “Hai, Yu Pendek, selamat untukmu yang beruntung dapat menyaksikan permainan Jurus Pedang Penakluk Iblis. Apa yang kau lihat bukan jurus palsu?”

“Sama sekali bukan palsu,” jawab Yu Canghai. “Aku memang telah menyaksikannya sejurus demi sejurus dari awal sampai akhir.”

Mu Gaofeng terkejut bercampur senang. Dengan cepat ia melompat turun dari kudanya dan duduk di samping meja Yu Canghai lalu bertanya, “Kabarnya kitab pedang itu telah jatuh ke tangan Yue Buqun dari Perguruan Huashan. Lantas bagaimana kau bisa melihat ilmu pedang itu?”

“Yang kulihat bukan kitab pedang, tapi orang yang benar-benar mahir memainkan jurus tersebut,” sahut Yu Canghai.

“Oh, ternyata demikian,” ujar Mu Gaofeng. “Tapi Jurus Pedang Penakluk Iblis ada yang asli dan ada yang palsu. Misalnya, Keluarga Lin dari Biro Ekspedisi Fuwei di Fuzhou juga pernah mempelajari Jurus Pedang Penakluk Iblis, tapi siapa yang melihatnya pasti akan rontok gigi karena terlalu banyak tertawa. Ilmu pedang yang mereka mainkan ternyata sangat menggelikan. Sekarang ilmu pedang yang kau lihat itu tentu yang asli, bukan?”

“Aku sendiri juga tidak tahu apakah asli atau palsu. Yang jelas orang yang mahir ilmu pedang ini adalah keturunan Biro Ekspedisi Fuwei dari Kota Fuzhou juga,” jawab Yu Canghai.

Mu Gaofeng bergelak tawa menjawab, “Hahaha. Percuma kau menjadi guru besar suatu aliran persilatan, sampai-sampai suatu ilmu pedang asli atau palsu pun kau tidak bisa membedakan. Bukankah Lin Zhennan dari Biro Ekspedisi Fuwei itu sudah tewas di tanganmu?”

“Jurus Pedang Penakluk Iblis yang dimainkannya itu asli atau palsu memang aku tidak bisa membedakannya,” jawab Yu Canghai. “Pendekar Mu lebih pandai dan berpengalaman, tentu dapat membedakannya.”

Mu Gaofeng sadar pendeta pendek di depannya ini terhitung tokoh papan atas di dunia persilatan, baik itu soal kepandaian ataupun wawasannya. Kini ia berkata demikian jelas mengandung maksud yang dalam. Maka, Mu Gaofeng hanya menyeringai sambil memandang ke sekeliling. Dilihatnya semua orang sedang memandang ke arahnya dengan sikap yang aneh seakan-akan dirinya telah salah bicara. Dengan perasaan ragu terpaksa ia berkata, “Kalau aku melihatnya sendiri, tentu dapat kubedakan mana yang asli dan yang palsu.”

“Kalau Pendekar Mu ingin melihat, aku rasa tidak susah. Orang yang mahir memainkan Jurus Pedang Penakluk Iblis itu justru berada di sini,” kata Yu Canghai.

Seketika Mu Gaofeng terkesiap. Sorot matanya kembali menatap orang-orang di sekelilingnya. Dilihatnya Lin Pingzhi bersikap paling tak acuh. Segera ia pun bertanya, “Apakah pemuda ini yang kau maksud?”

“Hebat, sungguh hebat! Aku sangat kagum dengan pandangan Pendekar Mu yang tajam. Sekali pandang langsung tahu,” kata Yu Canghai.

Baru sekarang Mu Gaofeng mengamat-amati Lin Pingzhi dari ujung kaki sampai kepala. Dilihatnya penampilan Lin Pingzhi sangat mewah, seperti dandanan seorang putra keluarga hartawan. Ia berpikir, “Ucapan Yu Pendek itu tentu mengandung suatu tipu muslihat. Untuk apa aku terlibat dalam perselisihan mereka? Paling baik aku lekas-lekas berangkat saja. Asalkan Nona Yue ini tetap berada di bawah cengkeramanku, mustahil Yue Buqun takkan menebusnya dengan kitab pedang yang kuinginkan itu.”

Maka, dengan tertawa ia pun berkata, “Hahaha, Yu Pendek, rupanya kau memang suka bercanda denganku. Tapi hari ini Si Bungkuk sedang sibuk, terpaksa aku harus mohon diri lebih dulu. Tentang Jurus Pedang Penakluk Iblis itu apakah benar asli atau palsu tidak penting bagi Si Bungkuk. Nah, sampai berjumpa lagi.” Usai berkata, sekali loncat tahu-tahu ia sudah hinggap kembali di atas punggung kudanya. Meski bungkuk dan gemuk pula, tapi gerakannya itu sangat gesit dan lincah.

Ren Yingying membantu Yue Lingshan.

Mu Gaofeng menyergap Yue Lingshan.

(Bersambung)