Bagian 38 - Sahabat Sejati Telah Tiada


Pemakaman sederhana Lu Dayou.

Setelah Tian Boguang pergi jauh, barulah Yue Buqun membuka suara, “Chong’er, kau sungguh baik pada jahanam itu. Kau lebih suka melukai diri sendiri daripada membunuhnya.”

Linghu Chong tersipu malu. Pandangan gurunya yang jeli tidak bisa dikelabui begitu saja dengan tindakan sandiwara tadi. Maka, ia pun menjawab, “Guru, meskipun perbuatan orang bermarga Tian itu tidak baik, tapi ia sudah berjanji untuk berubah. Dan lagi, sudah beberapa kali saya dikalahkan olehnya, namun dia selalu memberi ampun tanpa mengambil nyawa saya.”

“Hm, terhadap bangsat berhati binatang itu kau masih juga bicara tentang budi baik segala. Cepat atau lambat, kelak kau sendiri yang akan menyesal,” ujar Yue Buqun. Melihat muridnya yang terluka parah namun masih bisa bertahan hidup sampai saat ini membuat hatinya merasa gembira. Namun saat melihat Linghu Chong pura-pura menusuk betis sendiri jelas terlihat baginya kalau itu semua hanya sandiwara. Karena sejak kecil Yue Buqun sudah hafal sifat Linghu Chong yang suka berbohong membuatnya enggan bertanya ini itu lebih jauh. Apalagi yang telah diucapkan Linghu Chong kepada Biksu Bujie tadi sungguh tepat sesuai dengan harapannya, membuat ketua Perguruan Huashan itu memilih untuk menunda urusan Tian Boguang lain waktu.

Setelah diam sejenak, Yue Buqun lantas bertanya sambil mengulurkan tangan, “Lalu, di mana kitab itu?”

Linghu Chong langsung tanggap kalau kedatangan gurunya bersama si adik kecil tidak lain adalah untuk urusan kitab rahasia ilmu Kabut Lembayung Senja. Sepertinya perbuatan Yue Lingshan sudah diketahui sang ayah, dan ini sesuai dengan harapan Linghu Chong.

Maka pemuda itu pun menjawab, “Kitab itu ada pada Adik Keenam. Demi untuk menyelamatkan nyawa saya, Adik Kecil telah mengambil kitab pusaka tersebut. Mohon Guru jangan menyalahkan Adik Kecil. Saya sendiri tanpa seizin Guru tidak berani menyentuh kitab tersebut, apalagi membaca dan mempelajarinya.”

Wajah Yue Buqun berubah menjadi ramah. Ia pun berkata dengan tersenyum, “Begitulah seharusnya. Bukannya aku tidak mau mengajarimu, tapi perguruan kita sedang menghadapi masalah gawat. Aku tidak punya cukup waktu untuk memberimu petunjuk. Bila membiarkanmu berlatih sendiri tentu akan sangat berbahaya.” Setelah diam sejenak, ia melanjutkan, “Biksu bernama Bujie tadi bersifat polos tapi tenaga dalamnya sangat bagus. Apakah dia telah memusnahkan enam arus hawa murni aneh dalam tubuhmu? Bagaimana keadaanmu sekarang?”

Linghu Chong menjawab, “Rasa mual dan sesak di dada sudah lenyap. Berbagai macam rasa sakit yang biasanya panas seperti dibakar juga sudah lenyap. Hanya saja, sekujur badan saya terasa lemas, sedikit pun tidak bertenaga.”

“Itu sudah wajar. Orang yang baru sembuh dari luka parah sudah pasti masih lemas,” ujar Yue Buqun. “Budi baik Biksu Bujie kelak harus kita balas.”

“Baik, Guru!” jawab Linghu Chong.

Yue Buqun sendiri sebenarnya khwatir Enam Dewa Lembah Persik kembali datang menyerang. Namun menyadari tidak ada tanda-tanda kehadiran enam orang aneh itu membuat perasaannya sedikit lega. Meskipun demikian, ia tidak berani mengambil risiko untuk tetap tinggal di Gunung Huashan. Setelah berpikir demikian ia lantas berkata, “Mari kita jemput Dayou untuk bersama-sama menuju ke Gunung Songshan. Apakah kau sanggup menempuh perjalanan jauh, Chong’er?”

“Sanggup, Guru!” jawab Linghu Chong gembira.

Maka berangkatlah Yue Buqun, Linghu Chong, dan Yue Lingshan kembali ke pondok tempat Lu Dayou berada. Yue Lingshan berjalan paling depan dan begitu sampai di depan pondok, tangannya langsung mendorong pintu. Tiba-tiba gadis itu menjerit ngeri. Yue Buqun dan Linghu Chong bergegas memeriksa ke dalam. Mereka melihat Lu Dayou tergeletak di lantai tak bergerak sedikit pun.

“Jangan takut, Adik Kecil,” kata Linghu Chong sambil terenyum. “Aku yang telah menotoknya.”

“Kau membuatku takut,” sahut Yue Lingshan. “Mengapa kau totok Monyet Keenam?”

Linghu Chong menjawab, “Karena aku tidak mau membaca kitab pusaka, ia pun bermaksud baik, yaitu membacakan kitab itu kepadaku. Namun aku tidak mau mendengarkan dan terpaksa menotoknya sehingga ia jatuh lemas. Tapi mengapa dia....”

“Hei!” tiba-tiba terdengar suara Yue Buqun berseru. Diperiksanya nafas dan urat nadi Lu Dayou kemudian berkata dengan perasaan heran bercampur terkejut, “Kenapa dia sudah... dia sudah mati? Chong’er, urat nadi mana yang kau totok?”

Jantung Linghu Chong berdebar kencang begitu mendengar Lu Dayou telah meninggal. Ia pun menghampiri dengan badan gemetar dan langkah terhuyung-huyung.

“Saya... saya....” katanya dengan suara gemetar. Dirabanya tubuh Lu Dayou ternyata sudah dingin dan kaku. Jelas kalau sudah cukup lama ia mati. Tak kuasa menahan perasaan, Linghu Chong pun menjerit dan menangis, “Adik... Adik Keenam, apa kau benar-benar meninggal?”

“Lalu, di mana kitabnya?” tanya Yue Buqun.

Linghu Chong memandang sedih dengan air mata berlinang-linang. Kitab Kabut Lembayung Senja ternyata sudah tidak ada lagi di dalam kamar itu. “Benar juga. Di mana kitab itu?” Demikian ia bertanya kepada diri sendiri. Diperiksanya baju Lu Dayou namun tidak juga ia temukan. “Tadi... tadi sewaktu saya menotok Adik Keenam, kitab pusaka itu jelas masih terdapat di atas meja. Mengapa... mengapa sekarang bisa hilang?”

Yue Lingshan ikut mencari ke segenap penjuru pondok, baik itu di ranjang, di dekat meja dan bangku, di balik pintu, namun kitab Kabut Lembayung Senja benar-benar lenyap.

Dengan hilangnya kitab Kabut Lembayung Senja yang merupakan kitab pusaka tertinggi dalam Perguruan Huashan tentu saja membuat Yue Buqun gelisah. Ia memeriksa jasad Lu Dayou ternyata sama sekali tidak ditemukan tanda-tanda luka. Selain itu ia juga memeriksa sekitar pondok termasuk di atap juga tidak terdapat tanda-tanda kedatangan orang lain.

“Tidak ada tanda-tanda orang lain datang. Sepertinya juga bukan Enam Dewa Lembah Persik ataupun Biksu Bujie yang mengambilnya.” Demikian pikiran yang terlintas dalam benak Yue Buqun. Ia kemudian bertanya dengan nada bengis, “Chong’er, sebenarnya titik nadi mana yang telah kau totok?”

Linghu Chong pun berlutut di hadapan sang guru, kemudian menjawab, “Dalam keadaan terluka tadi, saya khawatir kurang kuat menotoknya. Maka, yang saya totok adalah titik Tan-Zhong... tak tahunya malah membuat... membuat Adik Keenam celaka.”

Usai berkata demikian Linghu Chong langsung mencabut pedang yang masih tergantung di pinggang Lu Dayou untuk mencoba bunuh diri. Namun belum sampai mengenai leher, Yue Buqun langsung menyentil sehingga pedang itu terlempar keluar menembus jendela.

“Boleh saja kalau kau ingin bunuh diri,” kata Yue Buqun. “Tapi kau harus lebih dulu menemukan kitab rahasia Kabut Lembayung Senja. Di mana kau sembunyikan kitab itu?”

Linghu Chong semakin sedih karena dirinya dicurigai. Setelah diam sejenak ia lalu berkata, “Guru, kitab pusaka itu pasti telah dicuri orang. Bagaimanapun juga saya berjanji akan mencari dan menemukannya kembali tak kurang satu halaman pun.”

Yue Buqun yang sedang kalut menjawab, “Jika isi kitab itu sampai dihafal atau disalin orang lain tentu tidak ada nilainya lagi sebagai kitab pusaka perguruan kita, meskipun kau berhasil menemukannya.” Setelah diam sejenak ia kembali bicara dengan nada lebih ramah, “Chong’er, jika kau mengambil kitab itu lebih baik kembalikan saja. Aku berjanji tidak akan memarahimu.”

Linghu Chong terperanjat mendengar tuduhan gurunya. Ia memandangi mayat Lu Dayou dengan tatapan kosong, kemudian berkata dengan suara lantang, “Guru, bila ada sepuluh orang yang membacanya biar sepuluh orang itu kubunuh. Bila ada seratus orang juga keseratusnya akan kubunuh. Dan bila Guru masih juga sangsi, silakan bunuh saja saya dengan sekali hantam. Saya tidak akan melawan.”

Yue Buqun menggeleng dan berkata, “Berdirilah. Bila kau sudah mengaku tidak, tentu bukan kau pelakunya. Aku percaya kepadamu. Apalagi selama ini kau sangat akrab dengan Dayou, tentu kau tidak sengaja membunuhnya pula. Tapi... tapi di mana kitab itu berada? Siapa pencuri sebenarnya?” Usai berkata demikian Yue Buqun termangu-mangu memandang keluar jendela.

“Ayah, ini semua salahku,” kata Yue Lingshan. “Aku yang berbuat lancang mengambil kitab pusaka Ayah. Ternyata Kakak Pertama tidak mau membacanya dan sekarang nyawa Kakak Keenam melayang gara-gara masalah ini. Biarlah... biarlah aku yang pergi mencari kitab itu!”

Yue Buqun berkata, “Coba kita cari sekali lagi di sekitar sini.”

Bersama-sama mereka bertiga mencari di sekitar pondok namun hasilnya tetap saja nihil. Bukan hanya kitab yang tidak ditemukan, mereka juga tidak menemukan jejak musuh ataupun petunjuk lainnya sama sekali. Akhirnya Yue Buqun berkata, “Kejadian ini jangan sampai tersiar keluar, kecuali aku saja yang memberi tahu ibumu. Mari kita kubur jasad Lu Dayou dan lekas tinggalkan tempat ini!”

Linghu Chong kembali memandangi wajah jenazah Lu Dayou yang pucat dengan perasaan semakin pedih. Dalam hati ia berpikir, “Adik Keenam adalah sahabatku yang paling baik. Siapa sangka aku salah totok sehingga menewaskan dia? Aku sama sekali tidak habis pikir mengapa aku tega melakukannya? Andaikan aku dalam keadaan sehat juga tidak mungkin tega membunuhnya dengan pukulan. Apa karena di dalam tubuhku terdapat hawa murni sesat milik Enam Dewa Lembah Persik sehingga aku tidak bisa menguasai tenagaku sendiri? Jika benar Adik Keenam meninggal karena aku, lalu mengapa kitab rahasia Kabut Lembayung Senja ikut menghilang tanpa bekas? Ini benar-benar aneh dan sulit dimengerti. Sekarang Guru mencurigai aku. Tidak ada gunanya memberi penjelasan untuk memohon belas kasihan. Yang penting aku harus mengusut masalah ini sampai tuntas, baru kemudian bunuh diri menemani Adik Keenam.”

Sambil mengusap air mata, Linghu Chong mengambil cangkul dan mulai menggali liang kubur untuk memakamkan Lu Dayou. Dalam keadaan seperti ini ia tidak bisa menggali dengan baik. Tangannya gemetar, nafasnya pun tersengal-sengal. Baru setelah Yue Lingshan turun tangan membantu, jenazah Lu Dayou dapat dimakamkan secara sederhana.

Ketiganya kemudian menuju kuil Kuda Putih untuk bergabung dengan rombongan Huashan lainnya. Sesampainya di sana Ning Zhongze menyambut gembira melihat Linghu Chong sudah pulih dari sakit. Namun begitu mendengar berita buruk yang dibawa sang suami, hatinya langsung sedih dan air mata pun berlinangan. Meskipun kitab rahasia Kabut Lembayung Senja adalah benda pusaka, namun semua isinya sudah dihafal luar kepala oleh sang suami. Ning Zhongze tidak terlalu mementingkan apakah suaminya tetap memiliki kitab tersebut atau tidak. Yang ia tangisi adalah perihal Lu Dayou yang jenaka, periang, dan disukai murid-murid lainnya namun mengapa harus meninggal secara mengenaskan seperti itu.

Para murid lainnya tidak tahu menahu atas apa yang telah terjadi. Mereka hanya bisa menyaksikian wajah sang guru, ibu guru, kakak pertama, dan si adik kecil yang semua murung sehingga membuat mereka tidak berani bertanya ini itu dan berbuat ribut.

Yue Buqun kemudian menyuruh Lao Denuo menyewa dua kereta, satu untuk Ning Zhongze dan Yue Lingshan, sedangkan satu lagi untuk Linghu Chong yang tenaganya masih lemah. Rombongan dari Perguruan Huashan tersebut lalu melanjutkan perjalanan ke arah timur menuju Gunung Songshan.

Beberapa jam kemudian mereka pun tiba di Kota Weilin. Saat itu hari sudah mulai gelap. Mereka berusaha mencari tempat bermalam, namun di kota kecil itu hanya ada satu penginapan saja dan itu pun sudah penuh dengan tamu. Karena dalam rombongan terdapat beberapa murid perempuan sehingga tidak pantas untuk bermalam di sembarang tempat. Terpaksa Yue Buqun memerintahkan untuk melanjutkan perjalanan ke kota selanjutnya.

Baru saja berjalan satu Li, kereta yang ditumpangi Ning Zhongze dan Yue Lingshan rusak karena poros rodanya patah. Linghu Chong pun menawarkan keretanya sedangkan dirinya memilih berjalan kaki bersama yang lain. Baru saja pemuda itu mencoba turun, tiba-tiba Shi Daizi menunjuk ke arah timur laut dan berkata, “Guru, di tepi hutan sana ada kuil. Bagaimana kalau kita bermalam di sana?”

Ning Zhongze menyela, “Dalam rombongan kita ada beberapa murid perempuan, dan mungkin mereka merasa rikuh.”

Yue Buqun berkata, “Daizi, sebaiknya kau pergi dulu ke sana. Jika biksu yang menghuni kuil itu menolak, maka kau jangan memaksanya.”

Shi Daizi mengangguk kemudian berlari melaksanakan perintah sang guru. Tak lama kemudian ia sudah kembali lagi sambil berseru lantang, “Guru, kuil itu ternyata sudah tua dan rusak. Tidak ada penghuninya.”

Mendengar laporan itu, tanpa diperintah Tao Jun, Ying Luobai, Shu Qi, dan beberapa murid termuda segera berlari mendahului ke sana untuk membersihkan kuil tersebut.

Beberapa saat kemudian Yue Buqun, Ning Zhongze, dan yang lain tiba di halaman kuil. Saat itu langit sedang mendung sehingga keadaan terlihat begitu gelap.

“Untung ada kuil rusak ini. Jika tidak, kita bisa terjebak di tengah jalan karena hujan deras mungkin akan segera turun,” ujar Ning Zhongze.

Begitu memasuki ruangan kuil, tampak sebuah patung Buddha berwajah biru ada di sana. Patung tersebut menggambarkan seorang laki-laki dengan mantel tersampir di bahu sedang memegang rumput obat. Tidak salah lagi, itu adalah arca Buddha Jamu yang bernama Shennong. Konon semasa hidupnya, Shennong pernah mencicipi ratusan tumbuhan herbal untuk menguji kandungan obat di dalamnya. Beramai-ramai Yue Buqun dan rombongannya memberi hormat kepada arca tersebut.

Tidak lama kemudian hujan deras pun turun dari langit disertai kilat yang menyambar-nyambar dan juga suara guntur menggelegar. Kuil tua itu sudah sangat rusak. Hampir di mana-mana air bocoran menetes dan menggenangi lantai. Gao Genming, Liang Fa, dan tiga orang murid perempuan bergegas menyiapkan makan malam, sementara murid-murid yang lain bingung mencari tempat kering untuk menghindari kebocoran.

“Hujan musim ini cepat sekali datangnya. Bisa-bisa panen kali ini mengalami kegagalan,” ujar Ning Zhongze.

Sementara itu Linghu Chong duduk di sudut ruangan dengan bersandar pada tiang penyangga lonceng besar. Sepasang matanya memandangi air hujan yang mengucur deras dari atas talang yang rusak, sambil berpikir, “Andai saja Adik Keenam ada di sini, tentu suasana akan terasa gembira. Hanya Adik Keenam yang bisa menceritakan lelucon segar.”

Sejak Lu Dayou meninggal, Linghu Chong lebih suka menyendiri. Jarang sekali ia mengajak bicara Yue Lingshan. Apalagi jika melihat Yue Lingshan bersama Lin Pingzhi, ia lebih suka menghindar sejauh mungkin. Dalam hati ia berkata, “Adik Kecil sengaja mencuri kitab rahasia Kabut Lembayung Senja meskipun ia tahu akan dimarahi Guru. Semua itu dilakukannya demi untuk menolongku. Pengorbanannya begitu besar. Aku hanya ingin melihatnya hidup bahagia. Karena aku sudah bertekad bunuh diri setelah kitab pusaka itu ditemukan, maka aku tidak boleh mendekati Adik Kecil lagi. Dia dan Adik Lin begitu serasi. Semoga Adik Kecil bisa melupakan semua kenangan bersamaku, sehingga bila aku mati nanti, jangan sampai ia meneteskan air mata sedikit pun untukku.”

Meskipun berpikir demikian, namun setiap kali melihat Yue Lingshan dan Lin Pingzhi berjalan bersama dan mengobrol dengan gembira tetap saja membuat hati Linghu Chong terasa pedih. Juga ketika kedua muda-mudi itu sibuk mengerjakan urusan masing-masing, pada saat mereka bertemu dan saling beradu pandang, masing-masing menampilkan senyuman penuh makna.

Baik Yue Lingshan ataupun Lin Pingzhi mengira sikap mereka tidak ada yang memerhatikan. Siapa sangka semua gerak-gerik tersebut tidak lepas dari pandangan Linghu Chong? Dengan hati semakin pedih ia bermaksud memalingkan muka ke arah lain namun tetap saja tak kuasa dan kembali melirik setiap kali Yue Lingshan lewat di depannya.

Setelah makan malam, setiap orang dalam rombongan tersebut berangkat tidur. Hujan di luar belum juga reda. Kadang gerimis, kadang kembali deras, tanpa berhenti sekejap pun. Linghu Chong sendiri tidak bisa tidur. Pikirannya yang kalut membuat matanya tetap terjaga. Suasana terasa hening, hanya terdengar suara nafas dan dengkuran saudara-saudaranya yang sahut-menyahut di malam itu.

Tiba-tiba terdengar suara ramai derap kaki kuda dari arah tenggara. Paling tidak ada belasan kuda sedang berpacu menyusuri jalanan dan terdengar semakin dekat.

Jantung Linghu Chong berdebar kencang. “Mengapa malam-malam hujan begini ada rombongan berkuda melaju begitu cepat? Apakah mereka sedang menuju ke sini?” Demikian pikirnya sambil kemudian bangkit perlahan untuk duduk.

Pada saat itu terdengar Yue Buqun membentak perlahan, “Semua jangan bersuara!”

Tak lama kemudian rombongan berkuda itu lewat di jalanan depan kuil. Murid-murid Huashan yang terbangun segera mempersiapkan senjata masing-masing. Namun mereka kemudian bernafas lega setelah suara rombongan tersebut terdengar pergi menjauh. Baru saja mereka hendak melanjutkan tidur, tiba-tiba suara derap kaki kuda kembali terdengar. Sepertinya rombongan tersebut telah berputar balik dan kini mereka telah berhenti tepat di depan kuil.

Salah seorang penunggang kuda berteriak lantang dan nyaring, “Apakah Tuan Yue dari Perguruan Huashan berada di dalam kuil? Kami ingin menanyakan suatu urusan kepada Beliau.”

Linghu Chong selaku murid pertama sudah biasa maju untuk menangani persoalan ataupun mewakili gurunya menyambut tamu. Maka tanpa diperintah, ia pun membuka pintu kuil dan berjalan keluar sambil menjawab, “Tengah malam begini ada keperluan apa Saudara-saudara datang kemari?”

Di luar tampak lima belas orang penunggang kuda berjajar membentuk busur yang mengepung halaman kuil. Sekitar enam orang dari mereka terlihat membawa lampu ting dan serentak menyorotkannya ke arah wajah Linghu Chong. Sudah tentu Linghu Chong merasa silau dibuatnya. Perbuatan ini tergolong kasar dan tidak sopan. Sudah dapat ditebak kalau kelima belas orang itu datang dengan maksud tidak baik. Apalagi, Linghu Chong dapat melihat mereka semua memakai cadar berwarna hitam yang menutupi mulut dan hidung masing-masing. Melihat itu Linghu Chong pun berpikir, “Orang-orang ini kalau bukan wajahnya yang sudah dikenal, bisa juga supaya tidak diingat-ingat oleh kami.”

Sementara itu, salah seorang penunggang kuda dari sebelah kiri berteriak, “Kami harap Tuan Yue sudi keluar menemui kami!”

“Tuan-tuan ini siapa?” sahut Linghu Chong. “Tolong beri tahukan marga dan nama Tuan yang mulia agar bisa kulaporkan kepada Guru.”

“Kau tidak perlu bertanya siapa kami,” jawab orang itu. “Katakan saja kepada gurumu bahwa kami mendengar Perguruan Huashan telah mendapatkan kitab Pedang Penakluk Iblis milik Biro Ekspedisi Fuwei. Oleh karena itu, kami ingin meminjam dan melihatnya sebentar.”

Linghu Chong menjawab dengan gusar, “Perguruan kami memiliki ilmu kebanggaan sendiri, untuk apa kami menginginkan ilmu silat pihak lain? Namun apabila kami benar-benar memilikinya, tentu kami tidak akan memberikannya kepada Tuan apabila Tuan memintanya dengan cara seperti ini. Berani sekali kalian memandang rendah terhadap Perguruan Huashan kami!”

Orang itu tertawa terbahak-bahak diikuti keempat belas kawannya. Suara mereka begitu keras berkumandang seperti halilintar, pertanda masing-masing memiliki tenaga dalam yang sangat bagus. Dalam hati Linghu Chong berpikir, “Lagi-lagi kami harus berhadapan dengan musuh yang berilmu tinggi. Hanya saja, tidak jelas dari mana asal-usul mereka?”

Di tengah suara gelak tawa itu terdengar salah seorang penunggang kuda berteriak lantang, “Kami mendengar bocah bermarga Lin dari Biro Ekspedisi Fuwei telah bergabung dengan Perguruan Huashan. Tuan Yue sendiri bergelar Si Pedang Budiman sudah pasti memiliki ilmu pedang sakti yang jarang ada tandingannya. Tentu saja ia tidak tertarik mengincar kitab Pedang Penakluk Iblis. Sementara kami hanyalah kaum keroco di dunia persilatan yang tidak punya nama besar. Sudah tentu kami sangat menginginkan untuk melihat kitab tersebut. Jadi, kami minta Tuan Yue supaya sudi untuk memperlihatkannya.”

Suara orang itu dapat terdengar jelas di tengah gelak tawa teman-temannya, pertanda ia memiliki tenaga dalam yang sangat tinggi, dan mungkin lebih tinggi daripada kawan-kawannya.

“Sebenarnya siapakah Tuan ini? Mengapa....” demikian Linghu Chong bertanya namun langsung terhenti karena menyadari suaranya telah tenggelam di tengah gelak tawa orang-orang bercadar itu. Dalam hati ia berpikir, “Apakah aku sudah kehilangan semua tenaga dalamku yang kulatih selama bertahun-tahun? Mengapa aku tidak bisa mengerahkan tenaga dalam sama sekali?”

Sebenarnya sejak meninggalkan Gunung Huashan di sepanjang jalan ia pernah beberapa kali melatih inti tenaga dalam perguruannya. Namun tiap kali mengerahkan tenaga selalu saja nafasnya mendadak terputus-putus dan hawa murni dalam tubuhnya bergolak tanpa bisa dikuasai. Begitu mencoba mengendalikan hawa murni tersebut, segera ia merasa muak dan pusing kepala. Kalau tidak berhenti berlatih bisa-bisa ia jatuh pingsan. Setiap kali berlatih tenaga dalam selalu saja berakhir seperti ini.

Karena itu ia mencoba untuk meminta petunjuk kepada sang guru, namun Yue Buqun hanya memandangnya dengan sorot mata dingin tanpa menjawab. Menyadari hal itu ia hanya bisa berpikir, “Mungkin Guru masih curiga kepadaku dan menuduhku menyembunyikan kitab rahasia Kabut Lembayung Senja. Tidak ada gunanya bagiku untuk mencari-cari alasan. Lagipula hidupku akan segera berakhir, apa gunanya aku menyusahkan diri sendiri?”

Sejak kejadian itu Linghu Chong tidak pernah lagi berlatih tenaga dalam. Siapa sangka kini saat ia mencoba menghimpun tenaga untuk berteriak, ternyata suaranya tenggelam di balik suara gelak tawa kelima belas orang bercadar tersebut.

Sejenak kemudian terdengar suara Yue Buqun dari dalam kuil, “Kalian adalah tokoh-tokoh persilatan ternama, mengapa begitu rendah hati mengaku sebagai kaum keroco? Selama ini Yue Buqun tidak pernah berkata bohong. Kitab Pedang Penakluk Iblis milik Keluarga Lin benar-benar tidak ada padaku.”

Ucapan Yue Buqun tersebut disertai ilmu Kabut Lembayung Senja sehingga bisa berkumandang di tengah gelak tawa para penunggang kuda. Baik di dalam maupun di luar kuil, setiap orang dapat mendengar suaranya dengan jelas dan keras. Apalagi gaya bicara Yue Buqun begitu santai dan tenang, seperti bercakap-cakap dengan orang di sampingnya. Jelas gaya bicara ini sangat berbeda dengan si penunggang kuda yang tadi berteriak dengan suara lantang.

Terdengar penunggang kuda lain yang bertanya dengan suara serak, “Kalau kau tidak memegang kitab tersebut, lalu ke mana perginya?”

“Atas dasar apa kau mengajukan pertanyaan demikian? Apa kau merasa pantas mendapat jawaban atas pertanyaanmu itu?” balas Yue Buqun.

“Apapun yang menjadi masalah di dunia persilatan, setiap orang berhak mengetahuinya,” jawab orang itu. Tapi Yue Buqun hanya mendengus tidak menjawab.

“Hai, orang bermarga Yue, apa kau mau menyerahkan kitab itu atau tidak?” teriak orang itu dengan suara keras. “Jika kau tidak mau menyerahkannya maka kami yang akan main kasar dan merebutnya dengan paksa.”

Melihat gelagat yang kurang baik, Ning Zhongze segera membisiki murid-muridnya, “Para murid perempuan segera berkumpul menjadi satu! Masing-masing punggung bertemu punggung. Murid laki-laki siapkan pedang!”

Sekejap kemudian terdengar suara logam berdering dari dalam kuil pertanda para murid telah mencabut pedang masing-masing. Linghu Chong yang masih berdiri di ambang pintu pun mencoba mencabut pedang. Namun belum sampai pedangnya keluar dari sarung, dua orang bercadar sudah turun dari kuda untuk menerjang ke arahnya. Linghu Chong pun berkelit ke samping menghindari serangan. Tapi seorang bercadar membentak, “Minggir!” Bersamaan dengan itu sebelah kakinya menendang tubuh pemuda itu sampai jatuh berguling-guling sejauh beberapa meter.

Kali ini perasaan Linghu Chong semakin cemas dan kebingungan. Ia berpikir, “Tendangan orang itu tidak begitu keras, tapi mengapa aku tidak mampu menahannya? Kenapa kakiku tidak punya kekuatan sama sekali?”

Ia berusaha bangkit untuk duduk, namun tiba-tiba terasa darah di antara rongga dada dan perut kembali bergolak hebat. Sekitar delapan arus hawa murni berputar-putar dalam tubuhnya, saling tumbuk, saling terjang kian kemari. Akibatnya, ia merasa tubuhnya begitu lemah dan terasa sangat tersiksa. Menggerakkan satu jari saja rasanya sudah tidak mampu lagi.

Linghu Chong tercengang. Mulutnya terbuka namun sedikit pun tidak mampu bersuara. Ia merasa lumpuh bagaikan diserang mantra sihir. Otaknya terus menerus bekerja, namun ototnya sama sekali tidak mampu digerakkan sedikit pun.

Pada saat itu terdengar suara senjata beradu di berbagai penjuru. Rupanya Yue Buqun, Ning Zhongze, dan Lao Denuo menerjang keluar dari kuil menghadapi delapan orang bercadar. Sementara itu, tujuh orang bercadar lainnya menyerbu masuk ke dalam kuil untuk menyerang para murid Huashan. Maka kemudian terdengarlah suara bentakan orang-orang itu disertai teriakan para murid perempuan berkali-kali. Sejumlah lampu ting berserakan di atas tanah, membiaskan bayangan dan kilatan senjata berkelebat ke sana-sini.

Beberapa detik kemudian terdengar suara jeritan perempuan dari dalam kuil. Linghu Chong bertambah gelisah mendengarnya. Orang-orang bercadar itu jelas laki-laki semua, berarti suara jeritan itu berasal dari salah seorang adik seperguruannya yang terluka. Dilihatnya pula pertarungan yang terjadi di luar kuil. Tampak Yue Buqun sibuk bertarung melawan empat orang musuh, sementara Ning Zhongze menghadapi dua orang sekaligus. Linghu Chong paham betapa guru dan ibu-gurunya memiliki ilmu pedang sangat tinggi sehingga menghadapi musuh lebih dari satu bukan merupakan hal yang sulit bagi mereka. Meskipun dikeroyok, mereka masih bisa menguasai diri.

Di sisi lain terlihat Lao Denuo menghadapi dua orang musuh bercadar yang masing-masing menggunakan senjata golok besar. Dari suara benturan senjata, Linghu Chong dapat merasakan bahwa kedua orang itu memiliki tenaga yang sangat kuat. Apabila pertarungan itu memakan waktu lama, tentu Lao Denuo akan terdesak dan kehabisan tenaga. Meskipun tidak bisa melihat secara langsung, namun Linghu Chong dapat membayangkan betapa dahsyat pertarungan antara tiga orang dari Huashan melawan delapan musuh tersebut.

Sementara itu para murid Huashan yang berada di dalam kuil menghadapi tujuh orang bercadar. Meskipun jumlah para murid lebih banyak, namun tidak seorang pun dari mereka yang memiliki ilmu silat lumayan. Maka suara jeritan pun terdengar semakin banyak, sahut menyahut membuat Linghu Chong semakin ngeri mendengarnya. Mungkin saja beberapa adik seperguruannya telah terbunuh.

Dalam keadaan gelisah itu Linghu Chong berdoa, “Semoga Langit memberiku kekuatan. Aku berharap bisa mengerahkan tenaga sebanyak-banyaknya dalam waktu singkat agar bisa masuk ke dalam kuil dan melindungi Adik Kecil. Aku rela meskipun tubuhku akan dicincang musuh dan hancur seperti debu.”

Sekuat tenaga ia meronta dan berusaha mengerahkan tenaga dalam lagi. Tiba-tiba enam hawa murni menerjang naik ke dada, disusul kemudian dua arus hawa murni lainnya berusaha menekan keenam hawa tersebut ke bawah. Linghu Chong merasa sekujur tubuhnya ringan dan hampa, seolah-olah isi perutnya sudah hilang entah ke mana, begitu pula kulit dan dagingnya seolah lenyap tanpa bekas.

“Celaka, ternyata seperti ini!” seru Linghu Chong dalam hati.

Pemuda itu akhirnya menyadari apa yang sebenarnya terjadi. Pada mulanya Enam Dewa Lembah Persik menyalurkan tenaga dalam masing-masing untuk mengobati luka Linghu Chong akibat pukulan Cheng Buyou. Akan tetapi luka tersebut tidak sembuh, justru keenam arus hawa murni mereka bersarang di tubuh Linghu Chong dan menimbulkan banyak masalah. Kemudian muncul Biksu Bujie mencoba menyalurkan dua arus tenaga dalam untuk mengusir enam hawa murni liar tersebut. Linghu Chong merasa kedua arus hawa murni yang disalurkan Biksu Bujie berhasil memusnahkan enam arus hawa murni milik Enam Dewa Lembah Persik. Akan tetapi ternyata tidak demikian. Ketika Linghu Chong mengerahkan tenaga dalam, langsung saja enam hawa murni liar bergolak, disusul kemudian dua arus hawa lainnya muncul untuk menghadapi. Hal ini mengakibatkan tenaga dalam Perguruan Huashan yang dilatih olehnya sejak kecil menjadi lenyap entah ke mana. Ia benar-benar merasa bagaikan orang yang lumpuh atau orang awam yang tidak pernah belajar ilmu silat sama sekali.

Begitu memahami apa yang sebenarnya terjadi, Linghu Chong menjadi sedih. Air matanya pun berlinang di pipi. Dalam hati ia berpikir, “Kenapa nasibku begini malang? Sedikit pun aku tidak bisa mengerahkan tenaga dalam, seperti lenyap tak bersisa. Malam ini perguruanku diserang musuh, tapi sebagai murid pertama aku tidak bisa berbuat banyak. Aku hanya bisa berbaring di tanah seperti orang tak berguna, menyaksikan guru dan ibu-guru dipermalukan musuh, serta adik-adikku dibantai satu per satu. Sungguh sia-sia rasanya lahir sebagai manusia. Lebih baik aku masuk ke sana dan mati bersama Adik Kecil.”

Linghu Chong sadar, sedikit saja ia mengerahkan tenaga tentu kedelapan arus hawa murni di dalam tubuhnya akan kembali bergolak dan membuatnya tidak bisa bergerak bagaikan seonggok daging beku. Maka, ia pun mencoba menahan napas, membiarkan arus hawa murni itu kembali ke bawah lambung. Tanpa berani mengerahkan tenaga dalam sedikit pun, pemuda itu mencoba menggerakkan tangan dan kakinya. Dengan cara demikian ia bisa bangkit perlahan-lahan dan masuk ke dalam kuil selangkah demi selangkah sambil mencabut pedangnya dengan gerakan perlahan pula.

Begitu masuk ke dalam kuil, Linghu Chong langsung mencium bau anyir darah. Dua buah lampu ting diletakkan di atas altar arca oleh para penyerang itu untuk menerangi seisi ruangan. Musuh yang berjumlah tujuh orang tersebut mampu mengalahkan murid-murid Huashan yang jumlahnya puluhan. Liang Fa, Shi Daizi, dan Gao Genming masih bertahan menghadapi mereka walau tubuh sendiri berlumuran darah. Beberapa orang murid tampak tergeletak, entah masih hidup atau sudah mati.

Sementara itu Yue Lingshan dan Lin Pingzhi bersama-sama menghadapi satu orang bercadar. Rambut Yue Lingshan begitu kusut, sementara Lin Pingzhi memegang pedang dengan tangan kiri karena lengan kanannya telah terluka. Musuh yang mereka hadapi bersenjata tombak pendek dan terlihat sangat lihai memainkannya. Sebanyak tiga kali Lin Pingzhi menyerang dengan jurus Cemara Tua Menyambut Tamu tapi hanya mengenai tempat kosong. Sebaliknya, tombak pendek musuh justru membuatnya kewalahan. Rumbai-rumbai warna merah pada tombak pendek sempat mengejutkan penglihatan pemuda itu, sehingga bahu kanannya pun terkena tusukan lawan.

“Lin Kecil, lekas kau balut lukamu dahulu!” seru Yue Lingshan sambil menyerang dua kali kemudian melangkah mundur.

“Tidak apa-apa,” jawab Lin Pingzhi sambil tetap menusuk, namun langkahnya sudah terlihat sempoyongan

Orang bercadar itu tertawa panjang. Batang tombaknya tiba-tiba menyabet dari samping dan tepat memukul pinggang Yue Lingshan. Kontan saja gadis itu jatuh tersungkur dan pedangnya terlepas dari genggaman.

Linghu Chong sangat terkejut. Ia pun menerjang maju tanpa peduli lagi keselamatan diri sendiri. Sekuat tenaga pedangnya menusuk ke depan namun baru di tengah jalan hawa murni dalam tubuhnya kembali bergolak. Seketika tangannya terasa lemas dan pedang pun terjatuh ke lantai.

Musuh bercadar sudah bersiap-siap untuk menghindari serangan Linghu Chong sambil kemudian membalas dengan tusukan tombak pendeknya. Namun begitu melihat serangan Linghu Chong tiba-tiba terhenti di tengah jalan membuat orang itu sempat merasa bingung. Tanpa pikir panjang, ia pun menendang tubuh Linghu Chong hingga terpental keluar kuil dan jatuh tepat di atas genangan air becek. Di bawah siraman air hujan yang masih lebat, seluruh muka dan mulut Linghu Chong penuh dengan lumpur. Ia merasa sulit untuk bangkit kembali.

Di sisi lain Lao Denuo sudah roboh pula terkena totokan musuh. Dua lawannya tadi kemudian ikut mengeroyok Yue Buqun dan Ning Zhongze. Tak lama kemudian dua orang bercadar keluar pula dari dalam kuil untuk ikut bergabung. Kini, Yue Buqun menghadapi tujuh musuh, sedangkan Ning Zhongze menghadapi tiga orang bercadar.

Tak lama kemudian terdengar suara jeritan Ning Zhongze dan salah seorang musuhnya. Rupanya mereka berdua sama-sama terluka di bagian kaki. Si pria bercadar yang terluka itu mundur ke belakang sehingga lawan yang dihadapi Nyonya Yue berkurang satu. Namun demikian luka di kaki wanita itu membuat kekuatannya banyak menurun. Beberapa jurus kemudian, musuh yang lain berhasil memukulkan senjatanya pada bahu Ning Zhongze sampai jatuh terkapar. Segera dua orang bergelak tawa sambil menotok beberapa titik nadi penting di punggung Nyonya Yue agar tidak bisa bangun lagi untuk melawan.

Selanjutnya dari dalam kuil murid-murid Huashan dikeluarkan dalam keadaan terluka. Satu per satu dari mereka dirobohkan ke tanah oleh orang-orang bercadar itu. Rupanya kawanan penyerang hanya melukai dan menotok para murid saja. Tidak satu pun dari mereka yang kehilangan nyawa di malam itu.

Kelima belas orang bercadar kemudian mengepung di sekeliling Yue Buqun. Delapan di antaranya bertarung menghadapi sang ketua Huashan dari segala penjuru, sementara tujuh sisanya memegang lampu ting untuk memberi penerangan.

Meskipun Yue Buqun memiliki ilmu silat tingkat tinggi, namun kedelapan orang yang mengepungnya juga bukan orang sembarangan. Ditambah lagi, tujuh buah lampu ting disorotkan kepadanya sehingga matanya menjadi silau dan susah melihat dengan jelas. Yue Buqun sadar bahwa malam itu Perguruan Huashan sedang di ambang kehancuran, namun sedikit pun ia pantang menyerah begitu saja. Dengan perasaan tetap tenang ia memutar pedang dan bertahan rapat. Bila lampu menyorot mukanya, dengan cekatan ia memandang ke bawah sehingga matanya tidak silau lagi.

“Yue Buqun, kau menyerah atau tidak?” teriak salah seorang penyerang.

“Biarpun mati si marga Yue pantang menyerah,” jawab Yue Buqun. “Kalau mau bunuh silakan bunuh saja.”

“Kau tidak mau menyerah? Baik, akan kutebas saja sebelah lengan istrimu,” kata orang itu sambil mengangkat goloknya tingg-tinggi. Di bawah sorot cahaya lampu, golok orang itu terlihat mengkilap berkilauan dan siap mengayun ke bawah memotong lengan Ning Zhongze.

Melihat itu Yue Buqun berkata dalam hati, “Adik, tak akan kubiarkan mereka memotong lenganmu. Tapi jika aku menyerah dan membuang senjata, aku pasti akan dipermalukan pula. Mana mungkin kubiarkan nama besar Perguruan Huashan yang sudah bertahan ratusan tahun akan hancur begitu saja di tanganku?”

Yue Buqun kemudian menarik napas panjang. Warna ungu pada mukanya semakin menebal. Serentak pedangnya menebas ke arah pria yang mengancam istrinya. Pria bercadar itu mencoba menangkis dengan goloknya. Namun serangan Yue Buqun sudah disertai tenaga dalam Kabut Lembayung Senja sehingga golok dan pedang yang berbenturan itu berbalik mengenai lengan si pria bercadar sendiri. Akibatnya, lengan kanan pria itu pun putus terpotong pada dua tempat.

Di tengah jeritan pria yang kehilangan sebelah lengannya itu, pedang Yue Buqun masih terus berkelebat dan menusuk kaki salah seorang musuh lainnya. Kontan saja pria yang tertusuk itu mencaci maki sambil mundur beberapa langkah.

Kini musuh yang mengepung tinggal enam orang namun keadaan Yue Buqun belum dikatakan unggul. Mereka bergerak maju serentak, dan salah seorang berhasil memukulkan senjatanya berupa bandul besi pada punggung Yue Buqun. Seketika Yue Buqun membalas dengan mengerahkan tiga kali tusukan. Musuh-musuhnya pun melompat mundur. Sekejap kemudian, darah segar terlihat menyembur keluar dari mulut sang ketua Huashan.

Melihat itu para penyerang bersorak sambil tertawa, “Lihat, si tua Yue Buqun sudah terluka. Ia terlalu letih sehingga mampus dengan sendirinya.”

Karena yakin sudah pasti menang, keenam orang bercadar memperlebar kepungan mereka sehingga Yue Buqun kesulitan untuk melakukan serangan mendadak. Dari kelima belas orang bercadar itu ada tiga orang yang terluka. Yang satu terluka cukup parah karena kehilangan sebelah lengan, sedangkan yang dua hanya terkena tusukan ringan. Mereka berdua masih bisa membantu menyorotkan lampu ting secara liar ke arah wajah Yue Buqun.

Dari logat bicara para pengepung itu, Yue Buqun dapat menebak bahwa mereka berasal dari berbagai daerah yang berbeda. Selain itu ilmu silat mereka juga berbeda-beda dan sepertinya bukan berasal dari satu perguruan yang sama. Hanya saja, mereka sangat kompak bahu-membahu dalam membangun serangan pertanda kelompok ini sudah lama terbentuk.

“Dari mana orang-orang ini berasal?” tanya Yue Buqun dalam hati. Yang lebih mengherankan lagi baginya adalah kelima belas orang bercadar itu rata-rata berilmu silat tinggi. Yue Buqun benar-benar heran mengapa ia sama sekali tidak mengenali salah satu dari mereka. Ia yakin tidak pernah bertarung dengan seorang pun dari mereka sebelum malam ini ataupun memiliki dendam pribadi dengannya. Hanya satu hal yang sudah pasti, kawanan penyerang itu mencari masalah dengan Perguruan Huashan hanya untuk mengincar kitab Pedang Penakluk Iblis.
Reaksi Yue Buqun atas kematian Lu Dayou dan hilangnya kitab pusaka.
Linghu Chong merasa sedih melihat keakraban Yue Lingshan dan Lin Pingzhi.
Lima belas orang bercadar mengepung kuil tua.
Yue Lingshan dan Lin Pingzhi terluka.
Yue Buqun dikeroyok orang-orang bercadar.

(Bersambung)