Bagian 4 - Jatuh ke Tangan Musuh


Lin Zhennan sekeluarga bersiap mengungsi.
Setelah membungkus mayat tersebut dan meletakkannya di sudut ruangan, Lin Zhennan mengajak istri dan anaknya kembali ke kamar tidur. Di sana ia melanjutkan pembicaraannya, “Kali ini aku sudah tidak ragu lagi. Pelaku pembunuhan terhadap para pegawai kita adalah tokoh terkemuka dari Perguruan Qingcheng. Istriku, menurutmu apa yang harus kita perbuat?”
Tiba-tiba Lin Pingzhi menyela, “Sekarang kita sudah tahu siapa musuh kita. Semua ini terjadi akibat ulahku. Besok aku akan datang untuk menantangnya. Jika aku kalah biarlah aku mati di tangan mereka.”
Lin Zhennan menggeleng dan berkata, “Orang ini menguasai Tapak Penghancur Jantung. Dengan jurus ini dia bisa menghancurkan jantung seseorang tanpa harus melukai kulitnya. Tentu dia seorang tokoh terkemuka dalam Perguruan Qingcheng. Jika dia mau, tentu sejak kemarin-kemarin kau sudah mati di tangannya. Aku rasa Perguruan Qingcheng ingin mempermainkan kita secara keji terlebih dulu.”
“Kalau begitu apa tujuannya mempermainkan kita?” sahut Lin Pingzhi bertanya.
“Keparat dari Qingcheng ini memperlakukan kita seperti kucing sedang mempermainkan tikus. Kita dibuat mati pelan-pelan karena takut, dengan demikian barulah dia merasa puas.” jawab Lin Zhennan.
“Berani-beraninya dia memandang rendah terhadap Biro Ekspedisi Fuwei,” sahut Lin Pingzhi kesal. “Mungkin dia takut kepada Ilmu Pedang Penakluk Iblis sehingga tidak berani menghadapi Ayah secara terang-terangan. Jika tidak, kenapa dia hanya berani membunuh dengan sembunyi-sembunyi?”
“Ping’er, Ilmu Pedang Penakluk Iblis milik Ayah memang cukup ampuh untuk menghadapi para penjahat dan perampok jalanan. Namun jika dibandingkan dengan Tapak Penghancur Jantung sudah pasti Ayah kalah jauh,” jawab Lin Zhennan. “Selama ini Ayah tidak pernah takut kepada siapa pun. Tapi setelah melihat jantung Pengawal Huo yang hancur itu, Ayah... Ayah sungguh merasa ngeri.”
Melihat ayahnya sudah menyerah, Lin Pingzhi pun terdiam tidak berani lagi berpendapat. Ibunya ganti berbicara, “Meskipun musuh sangat kuat, kita tidak boleh menyerah begitu saja. Untuk saat ini lebih baik kita menghindar dulu.”
“Aku juga berpikir demikian,” sahut Lin Zhennan.
“Suamiku, sebaiknya malam ini kita berangkat ke Luoyang meminta bantuan Ayah. Yang penting kita sudah tahu siapa musuh kita sebenarnya. Balas dendam lain kali juga belum terlambat,” lanjut Nyonya Wang.
Lin Zhennan menjawab, “Benar! Ayah Mertua sangat luas pergaulannya. Tentu Beliau bisa memberi saran dan pertimbangan kepada kita. Mari kita berbenah dan berangkat malam ini juga!”
Mendengar ajakan sang ayah, Lin Pingzhi menyahut, “Kalau begitu kita akan meninggalkan para pegawai begitu saja, tanpa pemimpin?”
“Musuh tidak ada urusan dengan mereka. Jika kita sudah pergi, tentu orang dari Qingcheng itu tidak mau buang-buang tenaga hanya untuk membunuh para pegawai yang tidak bersalah,” jawab Lin Zhennan.
Lin Pingzhi terdiam mendengar jawaban ayahnya yang cukup beralasan itu. Ia sadar kalau kematian para pegawai merupakan akibat dari perbuatannya, yaitu membunuh orang Szechwan bermarga Yu. Jika dirinya sudah pergi tentu si pelaku tidak mau repot-repot lagi membunuh yang masih tersisa.
Berpikir demikian, Lin Pingzhi kemudian bergegas menuju kamarnya untuk berbenah. Selama ini ia belum pernah melakukan perjalanan jauh. Perjalanan ke Luoyang membuatnya khawatir pihak musuh akan datang dan membakar habis rumah yang ditinggalkan. Maka, ia pun membungkus semua benda kesayangannya termasuk patung kuda dari batu kumala dan lembaran kulit macan tutul hasil perburuannya dahulu. Benda-benda tersebut dijadikan satu dengan pakaian-pakaiannya, sehingga tercipta dua bungkusan yang cukup besar.
Dengan memanggul perbekalan tersebut, Lin Pingzhi kembali ke kamar orang tuanya. Melihat itu Nyonya Wang tertawa geli dan berkata, “Kita ini hendak mengungsi, bukannya pindah rumah. Mengapa kau membawa barang begitu banyak?”
Lin Zhennan hanya menggeleng dan menghela napas panjang. Ia merasa maklum karena sejak kecil Lin Pingzhi hidup mewah dan berkecukupan. Wajar saja jika kali ini putranya itu merasa bingung hendak berbuat apa ketika tiba-tiba harus pergi meninggalkan rumah. Dengan perasaan haru ia pun berkata, “Di rumah Kakek nanti kau tidak akan menderita kekurangan. Yang perlu kita bawa hanya uang dan perhiasan secukupnya. Lagipula kita nanti akan melewati kantor-kantor cabang di Jiangxi, Hunan, dan Hubei. Semakin sedikit barang yang kita bawa akan semakin baik. Dengan demikian kita bisa berjalan lebih cepat.”
Dengan berat hati Lin Pingzhi terpaksa meninggalkan sebagian besar isi bungkusannya itu.
Nyonya Wang ganti mengajukan pertanyaan kepada sang suami, “Kita nanti menunggang kuda secara terang-terangan melewati pintu depan, ataukah sembunyi-sembunyi lewat pintu belakang?”
Lin Zhennan tidak menjawab. Ia hanya merebahkan diri di atas kursi malas sambil menghisap pipa cangklongnya dan memejamkan mata. Selang agak lama, barulah ia membuka mata dan berbicara, “Ping’er, beri tahu semua pegawai supaya ikut berbenah dan mengungsi besok pagi. Sampaikan pula kepada kasir untuk membagi-bagikan uang perusahaan kepada mereka. Bilang saja, kita mengungsi untuk menghindari wabah penyakit menular, dan setelah keadaan aman barulah kita kembali lagi ke sini.”
“Baik, Ayah!” jawab Lin Pingzhi. Ia pun melangkah pergi dengan perasaan bercampur aduk.
Nyonya Wang bingung mendengar ucapan suaminya itu. Ia pun bertanya, “Jadi, kita semua akan meninggalkan perusahaan? Lalu, siapa nanti yang akan bertugas menjaga gedung ini?”
“Tidak ada,” jawab Lin Zhennan. “Rumah ini sudah terkenal sebagai tempat angker, yang dihuni setan jahat pencabut nyawa. Meskipun kita biarkan tanpa penjaga, tidak mungkin ada orang lain yang berani masuk kemari. Lagipula kalau kita pergi, tentu tidak ada pegawai yang sudi berjaga di sini.”
Lin Pingzhi telah mengumumkan perintah ayahnya di hadapan para pegawai. Seketika suasana gedung menjadi ribut dan bergemuruh. Perasaan gembira dan takut bercampur aduk menjadi satu di dalam hati mereka.
Sementara itu Lin Zhennan berkata, “Istriku, besok aku dan Ping’er akan menyamar sebagai pengawal, sedangkan kau sebaiknya menyamar sebagai pelayan. Pagi-pagi sekali kita pergi dari sini. Dalam waktu serentak puluhan orang melaju bersama-sama. Tidak peduli bagaimanapun hebatnya musuh, tentu hanya mampu menyergap satu-dua orang saja dan kesulitan mengejar lebih lanjut.”
“Rencana bagus!” seru Nyonya Wang. Ia lantas keluar kamar dan sejenak kemudian sudah kembali dengan membawa sepasang pakaian pelayan dan dua pasang pakaian pengiring kereta.
Ketika Lin Pingzhi kembali ke kamar, ia segera mengambil pakaian itu dan bersama ayahnya lantas berdandan sebagai dua orang pegawai rendahan. Sementara itu Nyonya Wang juga telah berdandan sebagai kaum pelayan. Selembar saputangan digunakannya sebagai kerudung untuk menutup rambut pula. Lin Pingzhi sebenarnya sangat mual karena baju yang ia pakai menebarkan bau kurang sedap, bekas keringat pegawainya. Namun, pemuda itu merasa tidak mempunyai pilihan lain.
Pagi-pagi sekali Lin Zhennan membuka pintu utama gedungnya dan berkata di hadapan para pegawai, “Saudara-saudaraku, tahun ini kita kurang beruntung. Wabah penyakit menyerang perusahaan kita dan menjatuhkan banyak korban. Kita terpaksa harus menghindar untuk sementara. Jika kalian masih ingin bekerja di Biro Ekspedisi Fuwei, maka pergilah ke cabang Hangzhou atau Jiangxi. Di sana kalian akan diterima dengan baik oleh Pengawal Liu dan Pengawal Yi. Nah, sekarang marilah kita berangkat bersama-sama!”

Berbondong-bondong meninggalkan kantor pusat.
Usai berkata demikian, sejumlah hampir seratus orang pegawainya serentak memacu kuda masing-masing, meninggalkan gedung kantor pusat Biro Ekspedisi Fuwei bersama-sama. Lin Zhennan menutup dan mengunci pintu, lalu memacu kuda pula bersama anak dan istrinya. Para pegawai tidak lagi takut melewati garis darah. Justru sebaliknya, mereka berpikir akan semakin aman jika secepat-cepatnya pergi menjauhi gedung maut tersebut. Rombongan itu bergerak menuju gerbang kota sebelah utara untuk keluar dari Fuzhou. Rupanya mereka tidak memiliki tujuan yang pasti. Masing-masing hanya mengikuti ke arah mana kuda yang paling depan berlari.
Lin Zhennan sendiri tiba-tiba memberi isyarat kepada istri dan anaknya supaya memperlambat kuda masing-masing, sehingga ketiganya kini berada di urutan paling belakang dalam rombongan. Ketika sampai di sebuah persimpangan, Lin Zhennan mengajak berhenti dan berkata, “Biarlah mereka menuju ke utara, sementara kita berputar kembali ke selatan.”
Bukankah kita hendak ke Luoyang? Mengapa sekarang harus kembali ke selatan?” tanya Nyonya Wang.
“Musuh tentu sudah mengira kalau kita akan pergi ke Luoyang, sehingga mereka pun bersiap-siap menghadang di utara. Untuk itu, sebaiknya kita mengambil jalan memutar lewat selatan. Dengan demikian keparat itu tidak akan memperoleh apa-apa,” jawab Lin Zhennan.
Lin Pingzhi tiba-tiba membuka suara, “Ayah!”
“Ada apa?” tanya Lin Zhennan.
Lin Pingzhi terdiam tidak menjawab, dan sejenak kemudian kembali berkata, “Ayah!”
Nyonya Wang menyahut, “Kau ingin bicara apa, lekas katakan!”
“Lebih baik kita tetap bersama mereka menuju ke utara,” jawab Lin Pingzhi. “Jika kita dihadang musuh, maka aku yang akan menghadapinya. Kematian sekian banyak pegawai kita adalah karena kesalahanku. Jika kita menghindar bagaimana bisa membalas dendam mereka?”
“Tentu saja kita harus membalas sakit hati ini,” sahut Nyonya Wang. “Tapi ilmu silatmu masih kalah jauh dibandingkan mereka; terutama untuk menghadapi Tapak Penghancur Jantung yang mengerikan itu.”
“Memangnya kenapa?” balas Lin Pingzhi. “Lebih baik aku mati seperti Pengawal Huo daripada menghindari tanggung jawab. Paling-paling hanya jantungku ini yang hancur.”
Raut muka Lin Zhennan berubah merah mendengar ucapan putranya itu. Ia pun membentak dengan suara keras, “Jika Keluarga Lin dalam tiga atau empat generasi berikutnya suka bersifat gegabah seperti dirimu, maka Biro Ekspedisi Fuwei akan bangkrut dengan sendirinya tanpa harus menunggu gangguan dari luar.”
Melihat ayahnya marah Lin Pingzhi langsung terdiam. Tanpa banyak bicara ia pun mengikuti kedua orang tuanya bergerak menuju selatan. Begitu meninggalkan Kota Fuzhou, mereka lalu berbelok ke arah barat daya. Setelah menyeberangi Sungai Min, mereka sampai di sebuah kota kecil bernama Nanyu. Ketiganya terus saja berjalan tanpa beristirahat, sampai akhirnya merasa letih juga.
Saat itu matahari telah berada di atas kepala. Di tepi jalan yang sepi, mereka melihat sebuah kedai kecil dan memutuskan untuk makan di situ. Kepada pemilik kedai Lin Zhennan memesan makanan apapun yang tersedia, serta meminta untuk disiapkan secepat mungkin. Si pemilik kedai pun masuk ke dapur namun sampai lama tidak juga muncul kembali.
“Pelayan! Pelayan!” seru Lin Zhennan memanggil-manggil. Akan tetapi, tidak seorang pun yang muncul atau menjawab panggilan tersebut. Nyonya Wang ikut memanggil namun tetap saja tidak terdengar suara jawaban.
Menyadari gelagat yang tidak baik, Nyonya Wang segera menghunus goloknya dan berlari ke dalam. Dilihatnya si pemilik kedai sudah tergeletak tanpa nyawa. Di dekat pintu juga tergeletak mayat seorang wanita, yang tidak lain adalah istri si pemilik kedai. Perlahan Nyonya Wang menyentuh bibir kedua mayat tersebut dan ternyata masih hangat, jelas kematian mereka baru saja terjadi.
Lin Zhennan dan Lin Pingzhi segera melolos pedang masing-masing dan bergerak mengitari kedai kecil itu untuk memeriksa. Kedai ini berdiri di tengah perbukitan dan dekat dengan hutan sehingga keadaannya begitu sunyi. Nyonya Wang kembali bergabung dengan suami dan putranya. Bertiga mereka melihat ke sekeliling namun tidak menemukan tanda-tanda kehadiran seseorang.
Dengan tetap menghunus pedangnya, Lin Zhennan berteriak menantang, “Saudara dari Perguruan Qingcheng, Lin Zhennan berdiri di sini siap menyambut takdir. Silakan keluar untuk bertemu muka!”
Beberapa kali Lin Zhennan mengulangi teriakannya, namun yang terdengar hanyalah gema suaranya sendiri yang terpantul di lembah bukit tersebut. Ketiganya menyadari kalau musuh sedang mengintai di balik persembunyiannya. Dengan perasaan gelisah mereka menanti si pembunuh itu keluar untuk melancarkan serangan.
Sejenak kemudian ganti Lin Pingzhi yang berteriak menantang, “Lin Pingzhi ada di sini! Keluarlah dan bertarung denganku! Aku tahu kalian terlalu pengecut untuk menampakkan diri. Kalian hanya berani main sembunyi-sembunyi seperti maling rendahan.”
Tiba-tiba dari dalam hutan di sebelah kedai terdengar suara gelak tawa seseorang. Sekilas Lin Pingzhi melihat sesosok bayangan berkelebat ke arahnya. Sekejap kemudian di hadapannya sudah berdiri seorang laki-laki bertubuh gagah. Tanpa pikir lagi ia pun menyerang menggunakan pedang di tangannya. Laki-laki itu bergerak ke samping untuk menghindar. Lin Pingzhi segera mengganti serangan dengan menebaskan pedangnya ke samping. Si laki-laki menyeringai sambil melangkah ke sebelah kiri. Dengan cepat Lin Pingzhi memukul menggunakan tangan kiri, lalu menusukkan pedangnya kembali.
Lin Zhennan dan Nyonya Wang berniat maju untuk membantu putra mereka. Namun, melihat Lin Pingzhi memainkan Ilmu Pedang Penakluk Iblis dengan tenang dan teratur, keduanya pun menahan diri. Lin Zhennan melihat laki-laki yang bertarung melawan putranya itu tampak memakai baju berwarna ungu dengan pedang tergantung di pinggangnya. Usianya diperkirakan sekitar dua puluh empat tahun, dan wajahnya berulangkali tersenyum menyeringai.
Kesabaran Lin Pingzhi akhirnya goyah juga. Jurus-jurus pedangnya menjadi tidak terarah lagi karena tak kuasa menahan amarah menyaksikan wajah musuhnya yang terus-menerus menghina. Padahal, laki-laki itu masih menghadapinya dengan tangan kosong saja. Tanpa menyerang, ia hanya menghindar ke sana dan kemari.
Setelah melewati dua puluh jurus, orang itu tertawa dingin sambil berkata, “Ternyata Ilmu Pedang Penakluk Iblis hanya begini saja! Sungguh menyedihkan!” Tiba-tiba tangannya menyentil senjata Lin Pingzhi dengan keras.
Seketika Lin Pingzhi merasa tangannya kesemutan dan pedangnya pun terpental jatuh. Menyusul kemudian kaki pria itu menyepak tubuhnya sampai jatuh dan terguling-guling di tanah.
Lin Zhennan dan Nyonya Wang segera melompat maju untuk melindungi putra mereka. Keduanya pun berdiri berdampingan dengan membelakangi tubuh Lin Pingzhi.
Lin Zhennan bertanya, “Siapakah nama Saudara ini? Apakah Saudara berasal dari Perguruan Qingcheng?”
Laki-laki itu menjawab dengan angkuh, “Melihat permainan pedang anakmu yang payah, rasanya kalian tidak pantas mengetahui siapa namaku. Hanya saja, memang benar kalau aku berasal dari Perguruan Qingcheng.”
Lin Zhennan menancapkan pedangnya di atas tanah, kemudian berkata sambil kedua tangan memberi hormat, “Selama ini kami selalu menghormati Pendeta Yu dari Kuil Cemara Angin. Setiap tahun kami selalu mengirimkan bingkisan hadiah kepada Beliau. Untuk tahun ini, Beliau juga membalas kunjungan dengan mengirimkan empat orang murid Qingcheng ke Fuzhou. Namun, entah apa sebabnya Saudara berusaha mempersulit kami?”
Pemuda dari Qingcheng itu tertawa dingin, kemudian menjawab, “Kau benar. Guruku memang telah mengirimkan empat orang muridnya menuju Fuzhou, dan salah satunya adalah aku.”
“Bagus sekali kalau begitu!” seru Lin Zhennan. “Kalau boleh saya tahu, siapakah marga yang mulia dan nama yang harum dari Saudara ini?”
Pemuda itu menunjukkan sikap enggan. Setelah terdiam beberapa saat, ia pun mendengus dan berkata, “Namaku Yu Renhao!”
“Oh!” sahut Lin Zhennan sambil menganggukkan kepala. “Ternyata Saudara adalah salah satu dari Ying Xiong Hao Jie, yaitu Empat Jagoan Qingcheng. Aku benar-benar kagum menyaksikan kehebatan Tapak Penghancur Jantung yang Saudara miliki. Luar biasa! Bisa membunuh tanpa mengeluarkan darah korban.” Setelah terdiam sejenak, Lin Zhennan melanjutkan, “Pendekar Yu sudah jauh-jauh datang kemari, seharusnya mendapatkan sambutan yang pantas dari kami. Dalam hal ini Lin Zhennan merasa bersalah dan pantas mendapatkan hukuman.”
Diam-diam Yu Renhao kagum dan bangga karena Lin Zhennan ternyata mengenal dirinya. Namun ia kemudian menjawab dengan sinis, “Mengenai Tapak Penghancur Jantung... eh, putramu yang tampan dan berkepandaian tinggi itulah yang sudah mengadakan penyambutan. Sampai-sampai putra kesayangan guru kami tewas di tangannya.”
Lin Zhennan langsung gemetar mendengar pernyataan Yu Renhao. Keringat dingin pun mengalir di punggungnya. Sejak awal ia sudah menduga kalau si marga Yu yang dibunuh Lin Pingzhi adalah murid Perguruan Qingcheng. Ia berniat meminta bantuan ayah mertuanya yang sangat dihormati di dunia persilatan untuk memintakan maaf secara sopan ke Kuil Cemara Angin. Akan tetapi, ternyata kejadiannya lebih rumit lagi. Pemuda Szechwan yang mati di tangan putranya itu ternyata putra kesayangan Pendeta Yu Canghai, ketua Perguruan Qingcheng.
Karena masalah sudah seperti ini, maka tiada lagi pilihan untuknya selain bertarung habis-habisan. Dengan tetap berusaha tenang, Lin Zhennan menjawab sambil tertawa, “Ah, lucu sekali! Pendekar Yu benar-benar pandai bercanda!”
“Bercanda bagaimana?” sahut Yu Renhao dengan mata melotot.
“Siapa orangnya di dunia persilatan ini yang belum pernah mendengar kehebatan Pendeta Yu dan betapa ketat peraturan di Perguruan Qingcheng?” sahut Lin Zhennan. “Padahal, yang dibunuh anakku hanya seorang berandal muda yang telah menggoda anak gadis orang di sebuah kedai arak. Putraku yang berilmu rendah bisa membunuhnya, sehingga dapat dibayangkan betapa rendah ilmu silat bajingan itu. Nah, dengan demikian bagaimana mungkin kalau dia adalah putra kesayangan Pendeta Yu? Pendekar Yu memang pandai bercanda.”
Kata-kata Lin Zhennan sungguh beralasan sehingga Yu Renhao tidak bisa menjawab sama sekali. Pemuda bertubuh gagah itu hanya terdiam tanpa bicara sedikit pun.
Tiba-tiba dari balik hutan kembali terdengar suara seseorang berseru lantang, “Pepatah mengatakan: ‘Dua tangan tentu sulit melawan delapan tangan’. Kejadian di kedai arak yang sebenarnya adalah Tuan Muda Lin telah mengeroyok Adik Yu kami secara licik.”
Sesaat kemudian muncul seorang bertubuh kurus dengan membawa kipas di tangannya. Orang itu melanjutkan, “Andai saja pertarungan tersebut berlangsung secara adil, tentu Adik Yu kami tidak akan tewas. Tuan Muda Lin telah meracuni arak yang diminum Adik Yu. Tidak hanya itu, ia juga menyerang Adik Yu dengan tujuh belas buah senjata rahasia beracun. Anak bulus ini sungguh kejam! Kunjungan persahabatan kami telah disambut dengan cara yang kurang ramah.”
Lin Zhennan bertanya dengan suara datar, “Siapakah nama Saudara yang mulia?”
“Namaku adalah Fang Renzhi,” jawab si orang kurus.
Sementara itu, Lin Pingzhi yang tadi terguling akibat tendangan Yu Renhao telah bangkit kembali dan berdiri di samping ayahnya. Ia menghunus pedangnya dan bersiap melanjutkan pertarungan. Akan tetapi, ucapan Fang Renzhi benar-benar di luar dugaan. Dengan perasaan sangat gusar ia pun berteriak, “Omong kosong! Dasar kau manusia rendah tak berbudi! Aku sama sekali tidak mengenal Adik Yu-mu itu. Aku juga tidak tahu apakah dia berasal dari Perguruan Qingcheng atau bukan. Apa untungnya aku meracuni bajingan itu?”
“Oh, benar-benar kebohongan busuk!” ujar Fang Renzhi sambil menggelengkan kepala. “Kalau kau mengaku tidak mengenal Adik Yu, lalu untuk apa kau menyiapkan anak buahmu yang berjumlah tiga puluh orang di luar kedai? Adik Yu kami melihatmu menggoda gadis penjual arak tersebut, dan ia memukulmu satu kali sekadar untuk memberimu pelajaran. Sebenarnya Adik Yu bermaksud mengampuni jiwamu. Akan tetapi, kau justru memerintahkan para pengawalmu untuk mengeroyoknya seperti anjing!”
Lin Pingzhi merasa dadanya panas, seolah hendak meledak mendengar ocehan Fang Renzhi. Ia pun membentak, “Bedebah kalian orang-orang Qingcheng! Apakah semua orang Qingcheng adalah penjahat tengik yang suka berkata bohong?”
“Anak bulus, kau berani memaki kami, hah?” sahut Fang Renzhi sambil menyeringai.
“Ya, kau mau apa?” teriak Lin Pingzhi gusar.
“Silakan saja kau lanjutkan makianmu itu. Tidak masalah bagiku,” ujar Fang Renzhi sambil mengangguk.
Lin Pingzhi memalingkan muka dengan perasaan heran. Tiba-tiba ia merasakan hembusan angin datang menyambar dan tahu-tahu Fang Renzhi sudah berkelebat ke arahnya. Tanpa pikir lagi, Lin Pingzhi pun menghantam orang kurus itu namun pihak lawan bekerja lebih cepat. Telapak tangan Fang Renzhi lebih dulu menampar pipi pemuda itu satu kali. Lin Pingzhi merasa kesakitan luar biasa. Matanya berkunang-kunang dan hampir saja ia jatuh pingsan.
Dalam waktu singkat Fang Renzhi sudah kembali ke tempat semula sambil meraba-raba pipinya dan berkata, “Anak bulus, kenapa kau memukul wajahku? Sakit sekali ini! Hahaha...”
Melihat putranya dihina, Nyonya Wang segera mengayunkan goloknya disertai jurus Api Liar Membakar Langit ke arah Fang Renzhi. Serangan ini sungguh dahsyat dan tidak terduga sebelumnya. Namun Fang Renzhi sempat berkelit ke samping. Apabila ia terlambat sedetik saja, tentu lengan kanannya sudah buntung tertebas golok Nyonya Wang.
“Perempuan sial!” bentak Fang Renzhi. Menyadari ilmu silat Nyonya Wang ternyata tidak bisa dianggap remeh, ia pun melolos pedang yang tergantung di pinggangnya. Dalam sekejap saja keduanya sudah terlibat pertarungan seru.

Fang Renzhi dan Yu Renhao.
Sementara itu Lin Zhennan masih berhadapan dengan Yu Renhao. Ia mengangkat pedangnya dan berkata, “Perguruan Qingcheng boleh saja menghancurkan Biro Ekspedisi Fuwei. Salah atau benar biarlah dunia persilatan yang menentukan. Nah, Pendekar Yu, silakan maju!”
Yu Renhao pun mencabut pedangnya dan berkata, “Silakan menyerang lebih dulu, Ketua Lin!”
Diam-diam Lin Zhennan berpikir, “Konon Jurus Pedang Cemara Angin dari Perguruan Qingcheng merupakan gabungan dari ulet dan ringan; ulet seperti pohon cemara, dan ringan seperti angin. Harapanku untuk menang hanyalah dengan cara mendahului serangan.” Tanpa segan lagi, pedang Lin Zhennan pun bergerak menebas dari samping memainkan jurus Menghalau Kawanan Iblis.
Melihat serangan lawan cukup dahsyat, Yu Renhao mengambil langkah menghindar. Lin Zhennan langsung mengubah serangannya dengan memainkan jurus Zhong Kui Menyolok Mata. Ujung pedangnya bergerak mengincar mata lawan. Ketika Yu Renhao kembali menghindar dengan melompat mundur, serangan ketiga Lin Zhennan sudah memburu pula. Terpaksa Yu Renhao pun menangkisnya dengan keras. Tangan kedua orang itu sama-sama bergetar menahan pedang masing-masing.
Dalam hati Lin Zhennan kembali merenung, “Ternyata ilmu silat Perguruan Qingcheng tidak sehebat dugaanku. Dengan kemampuannya yang seperti ini, mana mungkin ia menguasai Tapak Penghancur Jantung? Aku yakin ada tokoh hebat lainnya yang telah membantai para pegawaiku.”
Yu Renhao membalas serangan dengan menusuk ke arah tujuh titik berbeda di tubuh lawan. Serangan ini begitu cepat bagaikan hujan meteor menghiasi angkasa. Lin Zhennan mundur untuk kemudian melancarkan jurus baru yang tidak kalah cepatnya. Pertarungan antara keduanya berlangsung semakin seru. Setelah dua puluh jurus berlalu belum terlihat pihak mana yang lebih unggul.
Di sisi lain, pertarungan antara Nyonya Wang melawan Fang Renzhi berlangsung tidak seimbang. Golok emas Nyonya Wang tampaknya bukan tandingan pedang laki-laki bertubuh kurus itu. Meskipun demikian, beberapa kali Nyonya Wang berhasil lolos dari ujung senjata lawan. Melihat sang ibu terdesak, Lin Pingzhi segera menerjang ke depan sambil mengayunkan pedangnya. Fang Renzhi berhasil menghindari pedang pemuda itu yang hampir saja mengenai kepalanya.
Dengan penuh kemarahan Lin Pingzhi menyerang Fang Renzhi seperti orang gila. Tiba-tiba ia merasa kakinya tersandung sesuatu. Tanpa ampun, tubuh pemuda itu pun terhuyung-huyung dan akhirnya jatuh tersungkur dengan muka mencium tanah.
Sesaat kemudian, terdengar suara seorang laki-laki berseru mengancam, “Jangan bergerak!”
Lin Pingzhi tidak dapat melihat ke belakang. Ia hanya merasakan punggungnya telah diinjak seseorang dan suatu benda lancip menempel pula di kulitnya. Sekali benda lancip itu ditekan, tentu akan langsung menembus jantung pemuda itu. Sesaat kemudian Lin Pingzhi juga mendengar ibunya berteriak, “Jangan bunuh anakku! Jangan bunuh anakku!”
Rupanya sewaktu Lin Pingzhi memburu Fang Renzhi tadi, muncul seseorang lainnya yang lantas menjegal kaki pemuda itu dari belakang. Begitu Lin Pingzhi roboh, orang itu langsung menginjak punggungnya dan mengancam dengan sebilah pedang. Nyonya Wang sendiri bingung harus berbuat apa. Dalam keadaan panik, tahu-tahu Fang Renzhi telah menyerang tulang rusuknya dengan keras menggunakan siku tangan. Disusul kemudian, kaki Fang Renzhi bekerja pula menendang lutut Nyonya Wang sehingga wanita itu jatuh ke tanah.
Orang yang telah menjegal Lin Pingzhi tidak lain adalah si marga Jia yang tempo hari menjadi saksi kematian putra Pendeta Yu Canghai. Nama lengkapnya adalah Jia Renda. Setelah peristiwa di kedai arak itu ia melarikan diri dan bergabung dengan Fang Renzhi dan Yu Renhao.
Tangan Fang Renzhi telah bekerja cepat menotok titik nadi Nyonya Wang dan Lin Pingzhi sehingga ibu dan anak itu tidak mampu bergerak lagi. Dengan tetap menghunus pedang ia pun bergerak mendekati pertarungan Lin Zhennan dan Yu Renhao.
Melihat anak dan istrinya tertangkap, perhatian Lin Zhennan menjadi agak terganggu. Serangannya tidak lagi gencar dan lebih mudah dipatahkan. Yu Renhao merasa senang dan bergelak tawa. Seketika pedangnya pun bergerak melancarkan serangan yang ternyata sangat mengejutkan Lin Zhennan.
“Bagaimana… bagaimana kau bisa memainkan Ilmu Pendang Penakluk Iblis?” seru Lin Zhennan tak percaya.
“Bagaimana menurutmu permainanku ini?” jawab Yu Renhao dengan terus menyerang.
“Dari mana kau... kau mempelajarinya?” sahut Lin Zhennan dengan tergagap-gagap.
“Apa hebatnya jurus pedang seperti ini?” seru Fang Renzhi yang ikut menyerang. “Aku juga bisa memainkannya.” Laki-laki bertubuh kurus itu melancarkan jurus Menghalau Kawanan Iblis, Zhong Kui Menyolok Mata, dan Burung Walet Hinggap di Cabang; yang kesemuanya adalah bagian dari Ilmu Pedang Penakluk Iblis kebanggan Keluarga Lin.
Lin Zhennan sama sekali tidak menyangka ilmu pedang leluhurnya yang diwariskan turun-temurun ternyata dapat dimainkan orang lain. Pikirannya yang dilanda kebingungan membuat permainan pedangnya semakin lemah dan kacau.
“Kena kau!” bentak Yu Renhao tiba-tiba, sambil pedangnya bergerak menusuk lutut lawan. Lin Zhennan kehilangan keseimbangan dan langsung jatuh dalam keadaan berlutut di tanah. Walaupun ia dapat bangkit kembali, namun ujung pedang Yu Renhao telah mengancam di depan dadanya.
“Adik Yu, jurus Bintang Jatuh Menghantam Bulan yang kau mainkan benar-benar hebat,” seru Jia Renda memuji. Serangan tersebut juga bagian dari Ilmu Pedang Penakluk Iblis.
“Kalian... kalian ternyata menguasai Ilmu Pedang Penakluk Iblis,” sahut Lin Zhennan sambil menghela napas. “Bailkah, lekas bunuh kami bertiga secepatnya!” Sambil berkata demikian pedangnya pun jatuh ke tanah. Tiba-tiba ia merasa punggungnya kesemutan dan tubuhnya tak dapat digerakkan lagi. Rupanya Fang Renzhi telah menotoknya dari belakang.
“Tidak semudah itu,” jawab Fang Renzhi. “Kalian bertiga anak-anak bulus, mendapat kehormatan untuk menemui guru kami di Kuil Cemara Angin!”
Jia Renda tidak membuang kesempatan untuk membalas sakit hatinya. Ia mencengkeram bahu Lin Pingzhi dan mengangkatnya ke atas. Tangannya lalu bergerak menampar pipi pemuda itu dengan sangat keras. “Bajingan cilik! Mulai hari ini sampai nanti di Gunung Qingcheng kau akan kusiksa delapan belas kali sehari. Wajahmu yang cantik ini akan kubuat belang-belang!” bentaknya memaki-maki.
Dengan penuh kebencian, Lin Pingzhi meludahi wajah Jia Renda. Karena jarak mereka sangat dekat, tanpa ampun hidung Jia Renda langsung basah dibuatnya. Dengan sangat gusar, Jia Renda pun membanting tubuh Lin Pingzhi di tanah. Merasa belum puas, kakinya pun mendendang iga pemuda itu sekeras-kerasnya.
“Cukup, cukup!” sahut Fang Renzhi melerai sambil tersenyum lebar. “Kalau kau hajar dia sampai mati, bagaimana kau akan bertanggung jawab di hadapan Guru? Bocah ini cantik seperti perempuan, sudah pasti ia tidak tahan menerima tendanganmu.”
Dibandingkan dengan yang lain, sebenarnya ilmu silat Jia Renda tergolong biasa saja. Ditambah lagi dengan kelakuannya yang buruk membuat ia tidak disukai murid-murid Qingcheng yang lain, kecuali putra bungsu gurunya yang telah meninggal tempo hari. Itulah sebabnya mengapa ia sangat membenci Lin Pingzhi setengah mati. Namun demikian, karena takut terhadap Fang Renzhi dan Yu Renhao, ia hanya balas meludahi wajah Lin Pingzhi beberapa kali.
Mereka bertiga lalu membawa masuk tubuh Lin Zhennan, Nyonya Wang, dan Lin Pingzhi ke dalam kedai kecil tadi. Setelah itu Fang Renzhi berkata, “Sebelum perjalanan pulang sebaiknya kita makan dulu. Adik Jia, coba kau memasak sesuatu untuk kita.”
“Baik!” jawab Jia Renda tanpa membantah dan langsung masuk ke dapur.
Yu Renhao termenung sejenak kemudian berkata, “Kakak Fang, kita harus berhati-hati. Tiga orang ini jangan sampai mendapat kesempatan untuk kabur. Apalagi si tua ini, ilmu silatnya lumayan hebat.”
“Apa susahnya?” jawab Fang Renzhi. “Setelah makan nanti kita putuskan saja urat syaraf tangan dan kaki mereka. Setelah itu, kita tembus tulang pundak mereka menggunakan tali, dan kita ikat mereka menjadi satu seperti kepiting. Dengan demikian, tidak mungkin mereka bisa kabur.”
Kepala Lin Zhennan langsung pening mendengar rencana keji Fang Renzhi. Lin Pingzhi yang tidak sabar segera memaki dengan kasar, “Tidak tahu malu! Bunuh saja kami bertiga daripada kau perlakukan kami dengan cara hina seperti itu! Perbuatan kalian sama seperti bajingan rendah yang kotor dan tercela!”
Fang Renzhi tersenyum menyeringai dan berkata, “Sekali lagi kau bicara tidak sopan, aku segera mencari tahi kerbau atau anjing untuk kujejalkan ke dalam mulutmu itu.”
Ancaman ini ternyata sangat manjur. Lin Pingzhi langsung terdiam menutup mulutnya rapat-rapat. Namun demikian dalam hati ia tetap saja mengutuk laki-laki bertubuh kurus itu.
“Adik Yu,” kata Fang Renzhi selanjutnya, “Guru telah mengajarkan Ilmu Pedang Penakluk Iblis dan kita berhasil memainkannya dengan baik. Kau buat Ketua Lin tidak berdaya menghadapi jurus kebanggaan keluarganya sendiri.” Kemudian ia berpaling kepada Lin Zhennan dan melanjutkan, “Ketua Lin, aku yakin saat ini kau pasti sedang berpikir: dari mana Perguruan Qingcheng memperoleh Ilmu Pedang Penakluk Iblis, bukan begitu?”
Ucapan Fang Renzhi benar-benar sesuai dengan pikiran Lin Zhennan. Majikan Biro Fuwei itu memang sedang merenung, “Dari mana orang-orang Qingcheng busuk ini mempelajari Ilmu Pedang Penakluk Iblis keluarga kami?”
Sementara itu Lin Pingzhi dalam hati berharap memperoleh kekuatan untuk bangkit dan menyerang kedua orang itu sampai tewas. Akan tetapi, karena tubuhnya sedang tertotok, ia sama sekali tidak mampu bergerak apalagi bangkit dan bertarung. Lebih-lebih ketika merenungkan ancaman Fang Renzhi yang mengerikan tadi –yang akan memutus urat syarafnya dan mengikat tubuhnya seperti kepiting– tentu baginya lebih baik mati daripada menderita begitu.
Sungguh tak disangka tiba-tiba terdengar suara Jia Renda menjerit, “Aaaah...! Aaaah...!”
Fang Renzhi dan Yu Renhao segera melompat dan berlari ke dapur sambil menghunus pedang masing-masing. Begitu keduanya pergi, dari pintu depan muncul sesosok bayangan berkelebat memasuki kedai dan langsung mendekati Lin Pingzhi. Orang itu menarik kerah baju Lin Pingzhi dan mengangkat tubuh pemuda itu dengan kedua tangan. Lin Pingzhi sendiri menjerit kaget karena orang yang baru datang ini tidak lain adalah si gadis burik penjual arak di luar Kota Fuzhou tempo hari.
Gadis burik itu membawa tubuh Lin Pingzhi keluar melalui pintu depan menuju pepohonan di mana kuda-kuda ditambatkan. Tubuh pemuda itu segera dinaikkannya ke punggung salah satu kuda. Ketika Lin Pingzhi masih dilanda kebingungan, tahu-tahu si gadis burik sudah memotong tali kendali yang tertambat di pohon, kemudian memukul paha belakang kuda dengan keras. Merasa kesakitan, kuda itu pun berlari kencang membawa tubuh Lin Pingzhi yang terangkut di punggungnya.
“Ayah! Ibu!” teriak Lin Pingzhi dengan perasaan kacau. Karena mengkhawatirkan keadaan kedua orang tuanya serta tidak ingin kabur seorang diri, ia pun menghentak keras sehingga tubuhnya jatuh ke tanah. Setelah terguling-guling beberapa kali, ia akhirnya masuk ke dalam semak belukar yang cukup lebat. Sementara itu kuda yang telah membawanya terus saja berlari dan masuk ke dalam hutan.
Perlahan-lahan Lin Pingzhi mencoba bangkit, namun totokan pada tubuhnya belum terbuka sehingga kakinya terasa kaku untuk bergerak. Akibatnya, ia pun kembali terjatuh dan masuk ke dalam semak yang lebih lebat. Sekujur tubuhnya terasa nyeri dan sakit akibat jatuh dari punggung kuda tadi serta terbentur bebatuan hutan.
Samar-samar terdengar suara langkah kaki beberapa orang mendekati tempatnya. Lin Pingzhi pun mendekam di dalam semak tanpa bergerak sedikit pun. Ternyata orang-orang itu sedang terlibat pertempuran. Perlahan-lahan ia mengangkat kepala dan melihat dua pihak sedang bertarung seru. Tampak Fang Renzhi dan Yu Renhao di satu pihak melawan si gadis burik dan seorang pria di pihak lain. Pria itu memakai cadar berwarna hitam sehingga wajahnya sulit untuk dikenali. Hanya saja, orang itu terlihat memiliki rambut putih sehingga tanpa ragu lagi Lin Pingzhi langsung yakin kalau dia adalah Kakek Sa, si pemilik kedai arak di luar Kota Fuzhou.
Diam-diam Lin Pingzhi merenung, “Tadinya aku mengira Kakek Sa dan cucu perempuannya adalah anggota Perguruan Qingcheng yang telah membantai para pegawai Biro Fuwei. Tak disangka, mereka justru berusaha menolongku. Oh! Kalau saja aku tahu mereka mahir ilmu silat, tentu tempo hari aku tidak perlu repot-repot berlagak sebagai pahlawan. Huh, kini semuanya sudah terlambat dan malapetaka sudah terjadi.” Sesaat kemudian ia kembali berpikir, “Sebenarnya ini adalah kesempatanku untuk menolong Ayah dan Ibu. Tapi sayang, tubuhku tertotok sehingga tidak bisa bergerak sama sekali.”
Di tengah pertarungan itu terdengar Fang Renzhi berteriak, “Siapa kau sebenarnya? Kenapa kau bisa memainkan ilmu pedang Qingcheng milik kami?”
Kakek Sa tidak menjawab. Ia hanya mengayunkan pedangnya terus menerus. Serangan yang ia lancarkan memang menggunakan ilmu pedang Perguruan Qingcheng. Fang Renzhi melompat mundur setelah pedang di tangannya terlempar ke udara. Melihat kakak seperguruannya terdesak, Yu Renhao meninggalkan si gadis burik dan bergerak melindungi Fang Renzhi. Namun, Kakek Sa dengan cepat dapat menangkis semua serangan pemuda bertubuh gagah itu.
“Kau! Kau!” seru Yu Renhao tertahan. Suaranya terdengar penuh dengan perasaan kejut bercampur ngeri. Sesaat kemudian pedangnya pun terlempar pula ke udara.
Si gadis burik menerjang ke depan hendak menusukkan pedangnya, namun Kakek Sa sempat mencegah, “Jangan bunuh mereka!”
“Tapi mereka sangat kejam dan banyak membantai orang,” jawab si gadis burik.
“Mari kita pergi!” sahut Kakek Sa. Melihat si gadis burik masih penasaran, ia kembali berkata,”Jangan lupakan perintah Guru!”
“Baiklah, kali ini kuampuni nyawa mereka,” jawab si gadis burik sambil mengangguk. Usai berkata, ia langsung melesat masuk ke dalam hutan, sementara Kakek Sa mengikuti di belakangnya. Sekejap kemudian kedua bayangan mereka sudah lenyap ditelan lebatnya pepohonan.
Fang Renzhi dan Yu Renhao terdiam sambil berusaha menenangkan diri. Mereka lantas memungut pedang masing-masing yang berserakan di tanah.
“Sungguh tidak masuk akal! Dari mana orang itu bisa memainkan jurus pedang perguruan kita?” tanya Yu Renhao tak percaya.
“Sebenarnya dia hanya mengetahui beberapa jurus saja,” sahut Fang Renzhi. “Namun, ketika memainkan jurus Angsa Terbang ke Angkasa, oh... dia benar-benar sempurna!”
“Mereka berhasil menyelamatkan si bocah Lin,” seru Yu Renhao.
Fang Renzhi tersentak dan berkata, “Jangan-jangan ini semua hanya siasat mereka untuk menjauhkan kita dari suami-istri Lin”
“Sialan!” sahut Yu Renhao geram. Keduanya pun bergegas kembali menuju kedai kecil tadi.

Kakek Sa datang menolong Lin Pingzhi.
(Bersambung)

bagian 3 ; halaman muka ; bagian 5