Bagian 61 - Empat Sekawan dari Jiangnan

Wisma Mei Zhuang di Kota Hangzhou.

Hari itu mereka hampir tiba di Kota Hangzhou. Di atas kapal, Xiang Wentian memperbaiki penyamarannya, dan juga penyamaran Linghu Chong. Ia menggunting sedikit rambut Linghu Chong dan membentuknya menjadi semacam kumis tipis, untuk kemudian ditempelkan di atas bibir pemuda itu menggunakan bahan perekat. Setelah semuanya siap, mereka pun turun ke darat dan membeli dua ekor kuda untuk memasuki kota.

Dahulu Hangzhou bernama Lin’an saat menjadi ibukota Dinasti Song Selatan. Sejak lama kota ini memang menjadi tempat wisata yang indah dan menarik untuk dikunjungi. Orang-orang ramai berlalu-lalang melewati jalanan di dalam kota. Di mana-mana terdengar suara musik dan nyanyian yang mengalun merdu.

Xiang Wentian dan Linghu Chong berkuda sampai di tepi Danau Xihu yang terkenal sangat indah pemandangannya. Air danau itu tampak bergelombang biru dan jernih laksana cermin. Pohon liu tumbuh lebat melambai hampir menyentuh permukaan danau. Panorama yang sungguh indah seakan-akan berada di surgaloka kediaman para dewa.

Linghu Chong berkata dengan nada masygul, “Orang sering mengatakan bahwa di langit ada surga, di bumi ada Suzhou dan Hangzhou. Aku belum pernah pergi ke Suzhou dan tidak tahu seperti apa keadaannya. Namun hari ini aku telah melihat sendiri betapa indah Danau Xihu. Ternyata pujian yang menyamakan tempat ini dengan surga memang bukan omong kosong belaka.”

Xiang Wentian hanya tertawa, kemudian mempercepat langkah kudanya menuju ke suatu tempat. Tempat itu terbendung oleh suatu tanggul yang panjang di sebelah danau, dan di sisi lain menghadap ke sebuah bukit kecil. Suasananya sungguh sunyi dan terpencil. Mereka berdua turun dari kuda dan menambatkan binatang tunggangan masing-masing pada batang pohon liu di tepi danau. Keduanya lalu berjalan mengikuti undak-undakan batu menuju ke atas bukit.

Xiang Wentian seperti sudah kenal baik dengan tempat itu dan juga hafal harus berjalan ke mana. Sesudah melewati beberapa tikungan, terlihat begitu banyak pohon plum yang tumbuh subur. Batang-batang pohon di situ sudah tua, ranting yang melintang pun tampak rimbun. Dapat dibayangkan pemandangan tempat ini tentu sangat bagus tatkala bunga plum bermekaran di musim semi bagaikan salju.

Setelah menembus hutan plum lebat itu, sampailah mereka pada suatu jalan besar yang terbuat dari balok-balok batu hijau, yang akhirnya mengantar mereka sampai di suatu kompleks perumahan berpagar tembok putih dan berpintu gerbang warna merah. Begitu dekat, dapat dilihat di atas pintu gerbang itu tertulis dua huruf besar berbunyi “Mei Zhuang”. Kemudian di sisinya tertulis kata “Ditandatangani oleh Yu Yunwen”.

Linghu Chong tidak gemar membaca sehingga tidak tahu bahwa Yu Yunwen merupakan seorang perwira zaman Kerajaan Song Selatan yang berjasa dalam perjuangan melawan Kerajaan Jin. Namun demikian, ia dapat merasakan pada tulisan yang terlihat indah dan kuat itu terdapat semangat kepahlawanan.

Xiang Wentian mendekati pintu gerbang berhiaskan dua buah gelang tembaga yang tampak mengkilap. Dipegangnya gelang tembaga itu dan baru saja hendak menggedor, tiba-tiba teringat sesuatu. Ia kemudian menoleh dan berbisik kepada Linghu Chong, “Adik, kau menurut saja segalanya padaku. Dalam hal ini kita harus mempertaruhkan nyawa. Jika rencana ini berhasil, kau masih harus mengalami kesulitan selama beberapa hari.”

Linghu Chong mengangguk setuju. Dalam hati ia berkata, “Wisma Mei Zhuang ini sepertinya kediaman saudagar besar di Kota Hangzhou. Apa mungkin penghuninya seorang tabib sakti? Kenapa Kakak Xiang berkata kita harus mempertaruhkan nyawa? Apakah pengobatannya menyakitkan?”

Terdengar Xiang Wentian mengetuk pintu dengan menggunakan gelang tembaga tadi. Pertama ia mengetuk empat kali kemudian berhenti sejenak, lalu mengetuk dua kali, berhenti lagi, lalu mengetuk lima kali, berhenti lagi, lalu mengetuk tiga kali, setelah itu baru melangkah mundur.

Selang agak lama, pintu perlahan terbuka dan muncul dari dalamnya dua orang tua berdiri berdampingan, dengan mengenakan pakaian pelayan.

Linghu Chong terperanjat melihat kedua orang itu. Sorot mata mereka sangat tajam, langkahnya pun kuat, jelas mereka menguasai ilmu silat dengan tenaga dalam tinggi. Entah apa sebabnya mereka mau menjadi pelayan di tempat ini?

Seorang di antaranya yang berdiri di sebelah kiri membungkukkan badan dan menyapa. “Ada keperluan apakah Tuan-tuan berkunjung ke tempat kami yang sederhana ini?”

Segera Xiang Wentian menjawab, “Murid Perguruan Songshan dan murid Perguruan Huashan mohon diizinkan bertemu dengan keempat sesepuh, Empat Sekawan dari Jiangnan.”

“Majikan kami selamanya tidak menerima tamu,” sahut orang tua tadi. Usai berkata ia bermaksud menutup pintu.

Dengan cepat Xiang Wentian mengeluarkan sesuatu dan dibentangnya. Linghu Chong kembali terkejut karena benda yang dibentang itu adalah bendera kecil bersulamkan mutiara dan batu permata. Benda itu tidak lain adalah Panji Pancawarna, pusaka kebesaran Serikat Pedang Lima Gunung. Para anggota perserikatan sangat segan dan menghormati benda tersebut. Melihat Panji Pancawarna sama artinya dengan melihat Ketua Zuo yang datang memberi perintah.

Dalam hati Linghu Chong merasa urusan ini agak ganjil. Ia menduga Xiang Wentian memperoleh panji tersebut secara tidak beres, yaitu bukan mustahil dirampasnya dari tokoh penting Perguruan Songshan yang mungkin dibunuhnya. Bisa jadi orang-orang aliran lurus mengejarnya juga karena masalah ini. Lalu sekarang ia mengaku sebagai murid Perguruan Songshan, entah apa maksud tujuannya? Namun Linghu Chong sudah berjanji akan menurut segala rencana Xiang Wentian sehingga mau tidak mau ia memilih untuk diam menantikan perkembangan selanjutnya.

Melihat Panji Pancawarna dibentangkan, wajah kedua orang tua itu tampak terkejut. Mereka berkata serentak, “Hah, panji pusaka kebesaran Ketua Zuo dari Perguruan Songshan?”

“Benar sekali,” jawab Xiang Wentian.

Orang tua yang berdiri di sebelah kanan berkata, “Empat Sekawan dari Jiangnan tidak ada hubungan dengan Serikat Pedang Lima Gunung. Meskipun Ketua Zuo sendiri yang datang bertamu, majikan kami juga belum tentu mau … belum tentu mau, hehe ….”

Orang itu tidak meneruskan perkataan, tapi maksudnya sudah jelas terbaca. Zuo Lengchan memang memiliki kedudukan terhormat di dunia persilatan, juga memiliki ilmu silat yang sangat hebat. Namun dari nada ucapannya tadi, orang tua itu menganggap kedudukan Empat Sekawan dari Jiangnan masih jauh lebih tinggi daripada Zuo Lengchan. Hanya saja, ia tidak berani sembarangan bicara.

Diam-diam Linghu Chong berpikir, “Seperti apa Empat Sekawan dari Jiangnan itu? Jika begitu hebat pengaruhnya di dunia persilatan mengapa selama ini Guru dan Ibu Guru tidak pernah bercerita tentang mereka? Selama aku berkelana juga belum pernah mendengar adanya orang sakti angkatan tua yang berjuluk Empat Sekawan dari Jiangnan segala.”

Sementara itu Xiang Wentian hanya tersenyum kecil menanggapi kedua pelayan tersebut. Digulungnya kembali Panji Pancawarna dan disimpannya ke balik baju. Lalu ia berkata, “Panji milik Keponakan Zuo ini hanya pantas digunakan untuk menakuti orang lain. Padahal tokoh seperti apa Empat Sekawan dari Jiangnan, rasanya panji ini pun tak akan dipandang sebelah mata ….”

Linghu Chong semakin heran dan berpikir, “Aneh, mengapa kau sebut ‘Keponakan Zuo’ segala? Jadi kau sengaja memalsukan dirimu sebagai paman guru Ketua Zuo. Wah, semakin tidak beres ini.”

Terdengar Xiang Wentian melanjutkan, “Aku sendiri selama ini belum beruntung bisa berjumpa dengan keempat sesepuh dari Jiangnan. Panji yang kubawa ini hanya sekadar sebagai tanda pengenal saja, tidak ada maksud yang lain.”

“Oh,” ujar kedua pelayan tua itu bersama-sama. Nada ucapan Xiang Wentian yang terdengar menjunjung tinggi kedudukan Empat Sekawan dari Jiangnan membuat wajah mereka seketika berubah ramah.

“Jadi Tuan ini adalah paman guru dari Ketua Zuo?” sahut seorang di antaranya menegas.

Kembali Xiang Wentian tersenyum dan menjawab, “Benar sekali. Tapi aku hanyalah orang biasa yang tidak punya nama di dunia persilatan, sudah tentu kalian berdua tidak mengenaliku. Tapi aku mendengar kejadian di mana Saudara Ding sekali pukul merobohkan Empat Gembong Pegunungan Qilian, serta Saudara Shi menolong anak yatim piatu di Sungai Heng daerah Hubei dengan sebilah Golok Ungu Emas berhasil menumpas tiga belas anggota Gerombolan Naga Hijau. Perbuatan-perbuatan yang mengagumkan itu sampai sekarang masih aku ingat semua”

Kedua pelayan tua itu masing-masing bernama Ding Jian dan Shi Lingwei. Sebelum mengasingkan diri di Wisma Mei Zhuang, mereka adalah tokoh dunia persilatan yang terhitung setengah baik dan setengah jahat. Mereka sering bertindak kejam dan beringas. Keduanya mempunyai kesamaan, yaitu sehabis berbuat sesuatu jarang sekali meninggalkan nama. Sebab itulah meskipun ilmu silat mereka tinggi tapi nama mereka jarang dikenal. Kedua peristiwa yang disebut Xiang Wentian tadi justru merupakan perbuatan yang paling mereka banggakan. Pertama, karena musuh yang mereka kalahkan masing-masing berjumlah banyak dan sangat kuat; kedua, karena dalam peristiwa-peristiwa itu mereka bertindak sebagai pembela kebenaran. Walaupun mereka tidak ingin membesar-besarkan kejadian itu, namun kalau ada orang lain yang mendengarnya dan menceritakannya, diam-diam mereka merasa senang. Maka, begitu mendengar pujian dari Xiang Wentian tersebut, wajah kedua pelayan tersebut terlihat sangat gembira.

Ding Jian tersenyum dan berkata, “Ah, hanya urusan kecil saja untuk apa harus diungkit-ungkit lagi? Wawasan Tuan ternyata sangat luas.”

Xiang Wentian berkata, “Di dunia persilatan banyak orang mencari nama dan gila hormat. Sebaliknya, jarang sekali pendekar yang memiliki kepandaian sejati dan berwatak budiman, tidak suka namanya tersiar meski telah berbuat sesuatu yang mulia. Aku sudah lama mengagumi nama besar Kakak Ding, Si Pedang Kilat Satu Kata, dan juga Kakak Shi, Si Dewa Lima Jalan. Keponakan Zuo berkata bahwa ada urusan penting yang harus meminta pendapat Empat Sekawan dari Jiangnan, dan aku yang diminta untuk datang kemari. Tanpa pikir panjang, aku pun bersedia untuk memenuhi permintaan ini, meskipun diriku sudah lama mengundurkan diri dari dunia persilatan. Walaupun seandainya aku gagal bertemu dengan Empat Sekawan dari Jiangnan, paling tidak aku sudah merasa puas bisa bertemu dan berkenalan dengan Kakak Ding dan Kakak Shi berdua. Jika Keponakan Zuo berkunjung secara pribadi, dikhawatirkan keempat sesepuh tidak sudi menerimanya. Akhir-akhir ini reputasi Keponakan Zuo tersiar ramai di dunia persilatan, sehingga ia khawatir jangan-jangan keempat sesepuh akan memandang rendah kepadanya. Sebaliknya, aku sudah mengundurkan diri sehingga kemungkinan tidak akan membuat keempat sesepuh jemu melihatku. Hahahaha!”

Mendengar kepandaian bicara Xiang Wentian itu, tentu saja Ding Jian dan Shi Lingwei merasa sangat senang dan ikut tertawa beberapa kali. Melihat penampilan Xiang Wentian yang botak dan gendut serta berpakaian serbamewah, meskipun wajahnya tidak sedap dipandang, namun tutur katanya sangat sopan dan anggun, jelas menunjukkan kalau ia bukan orang sembarangan. Apalagi ditambah kedudukannya sebagai paman guru dari Zuo Lengchan, tentu memiliki ilmu silat tinggi, membuat rasa hormat pun tumbuh dengan sendirinya di hati kedua pelayan itu.

Diam-diam dalam hati Shi Lingwei ada niat untuk melaporkan kedatangan kedua tamu kepada keempat majikannya. Ia kemudian berpaling kepada Linghu Chong dan bertanya, “Kalau Tuan ini apakah murid dari Perguruan Huashan?”

Xiang Wentian buru-buru menukas, “Benar. Adik Feng ini adalah paman guru dari Yue Buqun, Ketua Perguruan Huashan yang sekarang.”

Linghu Chong semakin terkejut. Ia sudah menduga kalau Xiang Wentian akan mengarang nama palsu untuknya, tetapi ia sama sekali tidak menyangka kalau dirinya akan diperkenalkan sebagai paman perguruan dari sang guru sendiri. Meskipun ia berwatak angin-anginan, namun dengan menyamar sebagai paman dari guru yang sangat ia hormati, mau tidak mau hal ini membuatnya gemetar. Untung saja saat itu ia memakai bedak tebal sehingga wajahnya yang berubah pucat tidak nampak terlihat.

Sementara itu Ding Jian dan Shi Lingwei saling pandang dengan rasa curiga. Melihat wajah Linghu Chong yang seperti pria berusia empat puluhan, mana mungkin menjadi paman guru Yue Buqun?

Xiang Wentian memang mendandani Linghu Chong sehingga kelihatan lebih tua. Namun demikian tetap sulit untuk mengubahnya menjadi seorang tua. Riasan yang terlalu tebal justru akan membongkar segala rahasia. Maka dengan cepat ia pun menambahkan, “Umur Adik Feng ini memang lebih muda daripada Yue Buqun, tapi dia adalah saudara seperguruan dari Feng Qingyang, dan merupakan ahli waris satu-satunya dari ilmu pedang Saudara Feng yang mahasakti.”

Linghu Chong kembali terperanjat. Dalam hati ia bertanya, “Hah? Dari mana Kakak Xiang tahu kalau aku adalah satu-satunya ahli waris ilmu pedang Kakek Guru Feng?” Sejenak kemudian ia menemukan jawaban, “Ah, ilmu pedang Kakek Guru Feng sangat hebat, tentu dahulu pernah menggetarkan dunia persilatan. Kakak Xiang sendiri berwawasan luas. Sekali pandang ia langsung tahu kalau aku menggunakan ilmu Sembilan Pedang Dugu. Kalau Biksu Fangsheng bisa tahu, tidak heran Kakak Xiang juga bisa tahu.”

“Ah!” Ding Jian berseru kaget. Sebagai seorang ahli pedang ia sangat tertarik mendengar Linghu Chong ternyata juga mahir ilmu pedang. Seketika timbul rasa penasaran dalam hatinya ingin mencoba. Hanya saja, ia masih ragu-ragu apakah orang yang berwajah kuning sembap seperti kurang sehat ini benar-benar mahir ilmu pedang? Maka, ia pun bertanya, “Kalau boleh tahu, siapakah nama Tuan berdua yang mulia?”

“Aku bermarga Tong, namaku Huajin,” jawab Xiang Wentian. “Adapun Adik Feng ini bernama Erzhong.”

“Oh, kami sudah lama kagum, sudah lama kagum!” kata Ding Jian dan Shi Lingwei sambil memberi hormat.

Diam-diam Xiang Wentian merasa geli. Tong Huajin dan Feng Erzhong jelas-jelas nama palsu hasil karangannya. Tong Huajin bermakna “tembaga berubah menjadi emas”, yang merupakan sindiran untuk sesuatu yang palsu. Sementara Er dan zhong adalah dua huruf yang diperoleh dengan cara membelah huruf Chong. Namun, kedua pelayan tua itu justru menyatakan “sudah lama kagum”. Tentunya hal ini sungguh menggelikan.

Ding Jian lantas berkata, “Silakan Tuan-Tuan masuk untuk minum teh. Saya akan melaporkan ini kepada majikan. Namun apakah Beliau bersedia menemui Tuan berdua, hal ini sulit untuk dipastikan.”

Xiang Wentian mengumbar senyum sambil menjawab, “Kalian berdua mengaku sebagai pelayan, padahal sebenarnya sudah seperti saudara dengan Empat Sekawan dari Jiangnan. Rasanya keempat sesepuh itu tidak mungkin untuk tidak memberi muka kepada Kakak Ding dan Kakak Shi.”

Ding Jian tersenyum senang dan bergeser ke samping untuk memberi jalan. Xiang Wentian segera melangkah masuk ke dalam diikuti Linghu Chong.

Sesudah menyusuri sebuah pekarangan dalam yang pada kedua sisinya terdapat dua pohon plum tua dengan dahan-dahannya yang kokoh dan kuat, mereka sampai di ruang tamu. Shi Lingwei mempersilakan kedua tamunya duduk, kemudian ia sendiri berdiri menemani; sementara Ding Jian masuk ke dalam untuk melapor.

Melihat Shi Lingwei berdiri, Xiang Wentian merasa kurang pantas. Namun karena kedudukan Shi Lingwei sebagai pelayan, Xiang Wentian juga merasa rikuh untuk mengajaknya duduk bersama. Maka, ia pun bangkit pura-pura mengamati keadaan sekeliling, kemudian berkata kepada Linghu Chong, “Adik Feng, coba lihat lukisan ini. Walaupun cuma beberapa goresan saja, tapi tampak kekuatannya sungguh luar biasa.” Sambil berkata demikian ia melangkah mendekati sebuah lukisan yang tergantung pada dinding ruangan tersebut.

Setelah bepergian bersama selama beberapa hari, Linghu Chong dapat mengenali sifat Xiang Wentian yang cerdik dan banyak akal. Namun dalam hal seni sastra dan seni lukis, kakak angkatnya itu sama sekali bukan ahlinya. Kalau sekarang tiba-tiba ia memuji lukisan itu tentu ada maksud tertentu. Maka, Linghu Chong lantas mengiakan serta ikut mendekati lukisan itu.

Lukisan tersebut menggambarkan punggung seorang dewa dengan warna yang serasi. Tintanya seperti masih basah, dengan goresan yang sangat kuat. Meskipun Linghu Chong tidak paham seni lukis, namun ia tetap dapat menikmati keindahan lukisan itu. Terlihat lukisan tersebut ditandai pelukisnya dengan kata-kata: “Danqingsheng, dilukis sesudah mabuk dengan cipratan tinta”. Goresan pena pada huruf-huruf itu juga sangat kuat dan tajam, seperti digores menggunakan pedang.

“Kakak Tong, begitu melihat kata ‘mabuk’ pada lukisan ini, aku langsung merasa senang,” kata Linghu Chong. “Pada huruf dan goresan lukisan ini sepertinya mengandung ilmu pedang yang luar biasa tingginya.” Rupanya goresan pada huruf-huruf tersebut dan juga gambar punggung dewa telah mengingatkannya kepada suatu jurus ilmu pedang yang terukir di dinding gua rahasia di puncak Gunung Huashan dulu.

Belum sempat Xiang Wentian menanggapi, Shi Lingwei sudah berkata di belakang mereka, “Tuan Feng ini ternyata seorang ahli pedang sejati. Menurut keterangan majikan keempatku, Tuan Danqingsheng, hari itu saat Beliau mabuk berat dan menghasilkan karya lukisan ini, tanpa sengaja Beliau melukiskan ilmu pedangnya di dalam goresan-goresan kuas. Karya ini merupakan karya yang paling dibanggakan selama hidupnya. Setelah Beliau sadar dari mabuk ternyata sukar untuk melukis lagi yang seperti ini. Sekarang Tuan Feng ternyata dapat melihat gaya pedang dalam lukisan ini, tentu Tuan Danqingsheng akan sangat senang, dan menganggap Tuan Feng sebagai sahabat. Aku akan melapor kepada Beliau.” Usai berkata demikian ia pun melangkah ke ruang dalam dengan wajah berseri-seri.

Xiang Wentian berdehem, dan berkata, “Adik Feng, sepertinya kau paham seni lukis dan kaligrafi, hah?”

“Paham apanya? Aku hanya sembarangan mengoceh dan secara kebetulan kena sasaran. Padahal kalau nanti yang bernama Danqingsheng itu bicara tentang seni lukis dan kaligrafi kepadaku tentu aku bisa runyam,” sahut Linghu Chong.

Tiba-tiba dari ruangan dalam terdengar suara seseorang berseru lantang, “Apa? Dia bisa melihat ilmu pedang di dalam lukisanku? Di mana orangnya? Pandangannya sungguh tajam.”

Di tengah suara ribut itu muncul seorang pria berjanggut panjang sampai sebatas perut, dengan tangan kiri memegang sebuah cawan arak. Wajahnya tampak kemerah-merahan agak mabuk.

Shi Lingwei yang berjalan di belakang orang itu segera berkata, “Kedua tuan ini adalah Tuan Tong dari Perguruan Songshan dan Tuan Feng dari Perguruan Huashan. Tuan Majikan Keempat, Tuan Feng inilah yang mengatakan bahwa di dalam lukisan Tuan mengandung suatu ilmu pedang yang tinggi.”

Sambil mengedipkan sepasang matanya yang merah karena mabuk, Danqingsheng si majikan keempat mengamat-amati Linghu Chong dari ujung kepala sampai kaki, kemudian bertanya, “Kau paham seni lukis? Bisa memainkan pedang?”

Pertanyaan ini dilontarkan secara kasar, namun Linghu Chong tidak ambil peduli. Ia hanya mengamati tangan Danqingsheng yang memegang sebuah cawan indah berwarna hijau zamrud. Dari baunya pun dapat dikenali kalau arak pada cawan tersebut merupakan jenis arak bunga pir. Hal ini langsung membuatnya teringat pada ucapan Zu Qianqiu si sastrawan miskin di atas kapal tempo hari. Segera ia pun menjawab, “Konon menurut puisi Bai Juyi yang berjudul Pemandangan Musim Semi di Hangzhou disebutkan, ‘Kain lengan baju warna merah yang dipakai gadis penenun sutra mencerminkan daun pohon kesemak, dan bendera hijau zamrud pada kedai arak mengimbangi Arak Bunga Pir.’ Minum arak bunga pir memang harus menggunakan wadah cawan zamrud. Ternyata Majikan Keempat benar-benar seorang ahli arak sejati.”

Linghu Chong sebenarnya jarang membaca buku, dan ia juga tidak tahu menahu soal puisi atau syair. Namun akalnya sangat cerdas, daya ingatnya juga bagus, sehingga perkataan Zu Qianqiu dapat ia tirukan dengan baik.

Danqingsheng terlihat sangat senang. Ia langsung merangkul Linghu Chong sambil berseru, “Aha, seorang sobat datang berkunjung! Mari, mari kita minum tiga ratus cawan arak! Saudara Feng, aku si tua ini gila arak enak, gila lukisan indah, dan gila ilmu pedang. Orang-orang menyebutku ahli dalam tiga keistimewaan tadi. Arak adalah yang nomor satu, lukisan nomor kedua, dan ilmu pedang nomor tiga.”

Linghu Chong gembira dan berpikir, “Kalau melukis aku tidak becus sama sekali. Kedatanganku ke sini hanya untuk mencari pengobatan dan tidak ada maksud hendak bertanding pedang segala. Tapi kalau soal minum arak, inilah yang sangat kuharapkan.”

Maka tanpa banyak bicara ia segera ikut Danqingsheng masuk ke ruang dalam. Xiang Wentian dan Shi Lingwei berjalan di belakang mereka. Setelah melewati sebuah serambi yang berkelok-kelok, sampailah mereka pada sebuah kamar di sisi barat. Begitu tirai disingkap, seketika tercium bau wangi arak yang menyengat hidung.

Sejak kecil Linghu Chong sudah gemar minum arak, namun tidak pernah mendapat banyak uang saku dari guru dan ibu-gurunya sehingga ia hanya sembarangan minum. Setelah bertemu dengan Luzhuweng barulah ia bisa mengenali bermacam-macam jenis arak bagus dan menghafalnya. Pertama, karena ini sesuai dengan kegemarannya; kedua, karena ada seorang ahli yang mengajarinya. Maka begitu mencium bau arak di ruangan tersebut, ia langsung berseru, “Bagus, di sini ada Arak Fen kelas satu! Hah, ada Arak Seratus Rumput juga! Hm, dari baunya sepertinya sudah tersimpan selama tujuh puluh lima tahun. Wah, Arak Monyet ini sangat sukar diperoleh.” Begitu menyebut Arak Monyet, ia langsung terkenang kepada Lu Dayou, adik keenamnya, sehingga membuat hatinya menjadi pilu.

Danqingsheng bertepuk tangan sambil berkata senang, “Hebat, sungguh hebat! Begitu masuk ke ruang arakku ini, Saudara Feng langsung dapat mengenali tiga jenis arak simpananku yang paling bagus. Kau sungguh seorang ahli arak. Sungguh hebat, sungguh lihai!”

Linghu Chong mengamat-amati sekeliling ruangan, ternyata penuh dengan guci arak, botol, dan sebagainya. Maka, ia pun berkata, “Mana mungkin Tuan Danqingsheng hanya menyimpan tiga jenis arak bagus saja? Sepertinya Arak Gadis Merah Shaoxing ini juga berkualitas tinggi. Arak Anggur dari Turfan itu juga telah mengalami empat kali penyulingan dan empat kali peragian. Tak ada tandingannya di dunia ini.”

Danqingsheng terkejut bercampur gembira mendengarnya. Ia bertanya, “Arak Anggur dari Turfan memang mengalami empat kali penyulingan dan peragian, tapi kusimpan dalam gentong kayu yang tertutup rapat itu. Bagaimana kau bisa mengetahuinya?”

“Arak bagus seperti ini, walaupun disimpan di gua bawah tanah juga tetap tercium baunya yang harum,” ujar Linghu Chong tertawa.

“Mari, mari! Kita bisa mencicipi arak anggur enak ini!” seru Danqingsheng. Segera ia mengangkat keluar sebuah gentong kayu yang tertaruh di pojok ruangan. Gentong itu berwarna kehitam-hitaman karena sudah tua, dengan tutup yang disegel lilin. Pada bagian atas tertulis huruf-huruf Daerah Barat yang bengkok-bengkok. Perlahan-lahan Danqingsheng membuka tutup gentong itu, seketika bau harum pun memenuhi seluruh ruangan.

Shi Lingwei tidak suka dan tidak pernah minum arak. Begitu mencium bau alkohol yang keras, tanpa terasa mukanya menjadi merah karena mabuk.

“Kau keluar saja!” kata Danqingsheng sambil mengibaskan tangan. “Jangan sampai kau mabuk di sini.” Lalu ia mengambil tiga buah cawan dan ditaruhnya berdampingan. Gentong anggur itu segera diangkat dan dituang isinya ke dalam cawan-cawan tersebut.

Arak Anggur dari Turfan itu berwarna merah seperti darah. Ketika arak itu sudah penuh sebatas bibir cawan, dengan cepat Danqingsheng lantas berhenti menuang dan berpindah ke cawan selanjutnya. Setetes pun tidak tumpah dari setiap cawan. Diam-diam Linghu Chong memuji di dalam hati, “Ilmu silat orang ini hebat sekali. Ia dapat menuang arak dari dalam gentong kayu yang seberat itu ke dalam cawan-cawan mungil tanpa tercecer setetes pun.”

Sambil tetap menghimpit gentong anggur itu dengan tangan kanan, Danqingsheng mengangkat cawan di tangan kiri sambil berkata, “Mari silakan minum, silakan minum!” Matanya menatap tanpa berkedip ke arah Linghu Chong, ingin tahu bagaimana reaksi pemuda itu setelah minum arak anggurnya.

Linghu Chong lantas mengangkat cawan dan meminum setengah isinya, lalu bibirnya berkecap-kecap untuk membedakan rasa. Tapi karena wajahnya memakai polesan yang agak tebal sehingga reaksinya sedikit pun tidak tampak, bahkan seperti terlihat acuh tak acuh dan kurang menyukai arak yang diminumnya itu.

Tentu saja Danqingsheng menjadi ragu-ragu. Ia berpikir, “Jangan-jangan ahli besar ini menganggap segentong arak anggurku hanya minuman biasa saja.”

Linghu Chong tampak memejamkan mata sejenak, kemudian membuka matanya kembali, dan tiba-tiba berseru, “Aneh sekali, sungguh aneh!”

“Apanya yang aneh?” tanya Danqingsheng menegas.

“Sangat sulit dijelaskan. Sungguh aku tidak paham,” kata Linghu Chong.

Sorot mata Danqingsheng bersinar-sinar penuh kegembiraan. Ia bertanya, “Yang kau maksud apakah ….”

“Seumur hidup aku pernah sekali minum arak anggur seperti ini di Kota Luoyang. Meski rasanya sangat enak, tapi terselip sedikit rasa masam. Menurut temanku yang juga ahli arak, rasa masam itu timbul akibat guncangan-guncangan selama perjalanan. Arak anggur ini disuling sebanyak empat kali. Semakin sering arak ini dipindah dari tempat yang satu ke tempat lain, semakin berkurang pula mutunya. Entah betapa jauhnya daerah Turfan ke Kota Hangzhou ini? Tapi benar-benar aneh, anggur Tuan ternyata tidak sedikit pun terasa masam ….”

Danqingsheng bergelak tawa sangat senang, kemudian berkata, “Ini berkat resep rahasiaku. Resep ini kuperoleh dengan menukar tiga jurus pedangku kepada jago pedang Benua Barat bernama Moore Watson. Apakah kau tidak ingin tahu resep rahasia ini?”

Linghu Chong menggeleng dan menjawab, “Dapat merasakan arak anggur sebagus ini aku sudah merasa puas. Tentang resep rahasia Tuan sama sekali aku tidak berani bertanya.”

“Mari minum, mari minum!” seru Danqingsheng sambil kembali menuang tiga cawan arak. Karena Linghu Chong tidak juga bertanya resep rahasianya, ia menjadi kesal sendiri. Akhirnya ia berkata, “Tentang resep rahasia itu kalau dibicarakan sesungguhnya tidak berharga sama sekali. Boleh dikata bukanlah sesuatu yang istimewa.”

Linghu Chong paham, semakin dirinya tidak mau bertanya apa yang disebut resep rahasia itu, justru membuat Danqingsheng semakin ingin bercerita kepadanya. Maka dengan cepat ia sengaja menggoyang tangan dan berkata, “Tidak, tidak. Jangan sampai Tuan ceritakan kepadaku. Ketiga jurus pedangmu itu pasti lain daripada yang lain. Rahasia yang diperoleh dengan nilai setinggi itu mana boleh sembarangan diberitahukan kepada orang lain? Aku akan merasa tak enak hati jika diberi tahu rahasia ini. Kata peribahasa, tanpa jasa tidak menerima upah ….”

Danqingsheng menukas, “Kau menemani aku minum dan dapat menebak asal usul arak anggur ini, jasamu sungguh sangat besar. Maka resep rahasia ini mau tidak mau harus kau dengarkan.”

Linghu Chong berkata, “Tuan Keempat sudi menemui diriku dan menyuguhkan minuman sebagus ini kepadaku, sungguh aku merasa sangat berterima kasih. Aku mana boleh ….”

“Aku sendiri yang rela memberitahukan padamu, kau cukup mendengarkan saja,” Danqingsheng kembali menukas.

“Adik Feng, jangan kau tolak lagi maksud baik Tuan Keempat,” sahut Xiang Wentian.

“Betul, betul,” seru Danqingsheng tertawa. “Nah, aku akan mengujimu lagi. Apakah kau tahu usia arak anggur ini?”

Linghu Chong meneguk habis isi cawannya, lalu berkecap-kecap lagi. Beberapa saat kemudian barulah ia berkata, “Arak anggur ini masih menyimpan sesuatu keanehan lain. Rasanya seperti sudah berusia seratus dua puluh tahun, tapi terasa pula seperti baru dua belas tahun. Di dalam rasanya yang tua seperti ada rasa yang baru, dan di dalam rasa yang baru seperti ada rasa yang tua. Dibandingkan dengan arak berumur seratus tahun yang lain, jelas anggur ini memiliki keunikan.”

Diam-diam Xiang Wentian mengerutkan kening dan berpikir, “Aduh, sekarang kau unjuk kebodohan. Antara seratus dua puluh tahun dan dua belas tahun jelas berbeda jauh. Mana bisa disejajarkan?” Ia khawatir ucapan Linghu Chong tadi jangan-jangan menyinggung perasaan Danqingsheng.

Di luar dugaan, orang tua itu justru tertawa terbahak-bahak sampai janggutnya yang panjang melambai-lambai. Ia berkata, “Saudaraku, kau memang benar-benar lihai. Memang di situlah letak rahasia resepku ini. Jago pedang Benua Barat yang bernama Moore Watson telah menghadiahkan sepuluh gentong Arak Anggur Turfan berumur seratus dua puluh tahun kepadaku. Untuk mengangkut kesepuluh gentong besar itu membutuhkan sepuluh kereta. Sampai di sini aku mengolahnya lagi, melakukan penyulingan dan peragian lagi. Arak anggur dari sepuluh gentong itu kucampur menjadi satu dalam gentong besar. Kalau dihitung memang kejadiannya sudah dua belas tahun yang lalu. Oleh karena itu, anggur ini mempunyai rasa yang aneh. Ada rasa baru dan ada rasa lama. Waktu diangkut kemari, gentong telah diisi penuh tanpa ruang kosong sedikit pun sehingga isinya tidak sampai kocak. Dengan demikian tidak menimbulkan rasa masam pula.”

“Hah, ternyata begitu!” seru Xiang Wentian dan Linghu Chong bersamaan.

Linghu Chong menambahkan, “Arak sebagus ini biarpun ditukar dengan sepuluh jurus pedang juga pantas. Apalagi Tuan Keempat cuma menukarnya dengan tiga jurus saja, berarti Tuan sudah untung besar. Tapi aku yakin, ketiga jurus pedang Tuan pasti luar biasa dan lebih hebat dari sepuluh jurus pedang biasa.”

Xiang Wentian kembali berpikir, “Adikku ini ternyata tidak hanya pandai bermain pedang, tapi juga pandai bicara.” Rupanya ia tidak tahu kalau Linghu Chong memang pandai bersilat lidah, bahkan karena itu sering mendapat marah dari Yue Buqun, gurunya.

Danqingsheng terlihat bertambah senang. Ia berkata, “Saudara muda, kau ini benar-benar temanku yang mengerti isi hatiku. Dulu Kakak Pertama dan Kakak Ketiga menyalahkan perbuatanku yang telah menukar tiga jurus pedang dengan arak anggur, sehingga ilmu pedang Daratan Tengah kita yang hebat menjadi bocor dan tersiar ke Benua Barat. Kakak Kedua hanya tersenyum tanpa memberi komentar, tapi aku yakin dalam hati dia juga tidak setuju kepadaku. Sekarang aku bertemu denganmu yang ternyata mengerti betapa beruntungnya diriku dalam peristiwa itu. Bagus sekali! Sekarang mari kita minum lagi!” Ia hanya bersulang dengan Linghu Chong, dan tidak lagi memperhatikan Xiang Wentian karena dianggapnya kurang mengerti tentang seni minum arak.

Setelah minum satu cawan, Linghu Chong berkata, “Tuan Keempat, masih ada satu cara minum arak anggur, namun sayang saat ini sukar dilakukan.”

“Bagaimana caranya? Mengapa tidak bisa dilakukan?” tanya Danqingsheng cepat.

“Turfan adalah daerah yang sangat panas. Konon, pada zaman dahulu sewaktu Biksu Xuanzhang pergi ke India mencari kitab suci, ia melintasi Gunung Huoyan yang katanya terletak di daerah Turfan.”

“Benar sekali,” sahut Danqingsheng. “Tempat itu memang panasnya bukan main. Pada musim panas meskipun kau berendam dalam air dingin sepanjang hari tetap saja tidak dapat menahan hawanya yang panas. Sebaliknya, pada musim dingin hawa di sana justru menusuk tulang, dingin sekali. Tapi karena itulah arak anggur keluaran sana sangat istimewa.”

Linghu Chong berkata, “Waktu aku minum arak anggur di Kota Luoyang, kebetulan saat itu sedang musim dingin. Ahli arak temanku mengambil sepotong es dan menaruh cawan di atas potongan es itu. Setelah didinginkan dengan es, ternyata arak anggur mempunyai suatu rasa yang lain lagi. Sayang sekali saat ini adalah permulaan musim panas, sehingga tidak mungkin kita mendapatkan es untuk memperoleh rasa yang istimewa itu.”

“Waktu aku berada di Benua Barat juga sedang musim panas sehingga di sana sulit mendapatkan es. Namun Moore Watson juga bercerita kepadaku tentang kenikmatan arak anggur yang sudah didinginkan seperti kau katakan tadi,” kata Danqingsheng. “Ah, ini bukan perkara sulit. Adik, kau boleh tinggal di sini sampai setengah tahun lagi. Kalau musim dingin tiba, kita dapat menikmatinya bersama-sama.” Ia berhenti sejenak, lalu menyambung sambil mengerutkan dahi, “Tapi kalau harus menunggu selama itu, benar-benar membuat tidak sabar.”

Xiang Wentian ikut bicara, “Sayang sekali di daerah Jiangnan sini tidak ada pendekar yang memelajari ilmu semacam Tapak Es, Cakar Dingin, atau sebagainya. Kalau ada tentunya ….”

Belum habis ucapannya tiba-tiba Danqingsheng berteriak senang, “Aha! Ada, ada!” Ia kemudian menaruh gentong araknya dan melangkah keluar dengan penuh semangat.

Linghu Chong terheran-heran dan menoleh ke arah Xiang Wentian dengan penuh tanda tanya. Tapi Xiang Wentian hanya tersenyum saja tanpa bicara.

Tidak lama kemudian Danqingsheng telah masuk kembali dengan menyeret seorang tua berpakaian hitam, bertubuh kurus tinggi sambil berkata, “Kakak Kedua, bagaimanapun kali ini kau harus membantu.”

Linghu Chong melihat orang tua tinggi kurus ini bermuka pucat seperti kertas, agak kehijau-hijauan sehingga mirip mayat hidup. Siapa saja yang melihatnya pasti merasa ngeri.

Danqingsheng memperkenalkan orang tua jangkung itu yang ternyata adalah majikan kedua Wisma Mei Zhuang, bernama Heibaizi. Namanya itu jelas bukan nama asli, tetapi semacam julukan yang bermakna “hitam putih”. Itu karena rambutnya yang hitam legam, sedangkan kulit badannya putih bersih.

Dengan sikap acuh tak acuh Heibaizi bertanya, “Membantu apa?”

“Tolong kau keluarkan kepandaianmu mengubah air menjadi es agar dilihat oleh kedua sobat kita ini,” kata Danqingsheng.

“Ah, kepandaian yang tiada artinya seperti itu mana boleh dipamerkan kepada para jago. Bisa-bisa menjadi bahan tertawaan saja,” jawab Heibaizi.

“Kakak Kedua, aku tidak akan menutup-nutupi lagi,” kata Danqingsheng. “Saudara Feng ini mengatakan kalau arak anggur dari Turfan jika direndam dengan es akan menghasilkan rasa yang istimewa. Tapi di musim panas begini ke mana lagi harus mencari es?”

“Arak ini sudah wangi dan enak. Untuk apa harus didinginkan segala?” tanya Heibaizi.

Linghu Chong menyahut, “Turfan adalah tempat yang sangat panas ….”

Danqingsheng menukas, “Benar! Panas sekali!”

Linghu Chong melanjutkan, “Meskipun daerah itu menghasilkan arak anggur yang bagus, namun anggur dari sana juga mengandung hawa panas.”

Danqingsheng menambahkan, “Benar sekali. Itu memang wajar.”

Linghu Chong menyambung, “Hawa panas itu ikut meresap ke dalam arak anggur sehingga setelah seratus tahun sekalipun tetap meninggalkan rasa pedas. Hal ini sukar dihindari.”

Danqingsheng menanggapi, “Benar sekali, benar sekali! Kalau saja Adik Feng tidak bicara, mana aku tahu soal ini? Tadinya aku mengira hal ini disebabkan oleh api yang terlalu besar saat menyuling arak. Sampai-sampai aku terlanjur menyalahkan si tukang masak istana itu.”

Linghu Chong bertanya, “Tukang masak istana apa?”

Danqingsheng menjawab sambil tersenyum, “Aku khawatir ada kesalahan dalam penyulingan sehingga bisa merusak mutu arak anggur bagus ini. Maka, aku pun pergi ke istana Beijing dan menangkap tukang masak kaisar. Kemudian dia kusuruh membuat api untuk menyuling arak.”

Xiang Wentian dan Linghu Chong menyamar.

Danqingsheng si majikan keempat.

(Bersambung)