Bagian 64 - Pedang Tujuh Senar Tanpa Wujud

Jurus Dewa Pembelah Gunung.

Tubiweng semakin penasaran dengan tulisan kaligrafi “Kitab Sesuka Hati” tadi. Ia pun berkata, “Saudara Tong, sudikah kau perlihatkan lagi kitab itu kepadaku?”

“Sabar dulu,” jawab Xiang Wentian dengan tersenyum. “Sebentar lagi kalau Tuan Pertama sudah mengalahkan Adik Feng, maka kaligrafi ini akan menjadi milik Tuan Ketiga. Biarpun dilihat tiga-hari tiga-malam juga terserah.”

“Aku akan memandanginya selama tujuh-hari tujuh-malam,” kata Tubiweng.

“Baik, tujuh-hari tujuh-malam juga boleh,” ujar Xiang Wentian.

Perasaan Tubiweng seperti diiming-iming. Segera ia berkata, “Kakak Kedua, biar aku pergi memberi tahu Kakak Pertama.”

“Kalian berdua tetap di sini menemani kedua tamu kehormatan kita. Biar aku saja yang bicara dengan Kakak Pertama,” sahut Heibaizi. Ia kemudian berbalik dan melangkah pergi.

“Benar,” seru Danqingsheng. “Adik Feng, mari kita minum lagi. Aih, Kakak Ketiga sudah banyak membuang-buang anggur sebagus ini dengan percuma.” Sambil berbicara ia menuang sisa arak anggur pada gentong ke dalam cawan.

Tubiweng menyahut kesal, “Kau bilang aku membuang-buang arakmu dengan percuma? Huh, arakmu itu kalau sudah masuk perut paling-paling segera keluar menjadi kencing. Mana bisa dibandingkan dengan kaligrafiku di atas dinding yang tetap abadi itu? Arakmu dijadikan kaligrafi, beribu-ribu tahun lagi orang akan tetap melihat tulisan indahku itu, baru kemudian mereka tahu kalau di dunia ada arak anggur Turfan yang kau banggakan itu.”

Danqingsheng tetap tidak mau kalah. Ia mengangkat cawan anggurnya dan berkata menghadap dinding, “Dinding, oh, dinding, kau sungguh beruntung bisa menikmati arak anggur lezat buatan tuan keempatmu ini. Meskipun Kakak Ketiga tidak mencorat-coret di atas wajahmu … kau juga, kau juga akan tetap abadi.”

“Haha, dibandingkan dinding yang tidak tahu apa-apa, boleh dikata aku jauh lebih beruntung. Karena, aku bisa mencicipi arak bagus yang langka ini!” seru Linghu Chong tertawa sambil menenggak isi cawannya.

Xiang Wentian juga mengiringi minum sebanyak dua cawan, kemudian berhenti. Sementara itu, Danqingsheng dan Linghu Chong terus-menerus menuang dan minum tanpa henti. Semakin minum, mereka semakin bersemangat.

Setelah kedua orang itu meneguk tujuh atau delapan belas cawan, Heibaizi muncul dan berkata, “Saudara Feng, kakak pertama kami mengundangmu masuk ke dalam. Untuk Saudara Tong kami persilakan minum-minum dulu di sini.”

Xiang Wentian tertegun dan berkata, “Ini … ini ….” Ia melihat Heibaizi ternyata hanya mengundang Linghu Chong seorang. Ia khawatir jangan-jangan urusan bisa menjadi runyam, namun ia tidak tahu bagaimana caranya untuk bisa ikut serta? Sambil menghela napas ia pun berkata “Aih, aku tidak punya jodoh untuk bertemu Majikan Pertama. Ini akan menjadi penyesalan seumur hidupku.”

“Harap Saudara Tong jangan tersinggung,” kata Heibaizi. “Kakak Pertama sudah lama mengasingkan diri, biasanya juga tidak pernah menerima tamu. Hanya saja, ia merasa kagum mendengar kehebatan ilmu pedang Saudara Feng, sehingga berkenan mengundangnya masuk ke dalam. Sama sekali kami tidak ada maksud untuk bersikap kurang hormat kepada Saudara Tong.”

“Mana berani aku berpikir demikian?” ujar Xiang Wentian.

Linghu Chong meletakkan cawan araknya. Ia merasa tidak pantas menemui majikan utama dengan membawa senjata. Maka, pedangnya pun ditaruh pula di atas meja batu dan ia kemudian berjalan mengikuti Heibaizi meninggalkan ruang catur tersebut. Sesudah menyusuri sebuah serambi panjang, sampailah mereka di depan sebuah pintu bulat.

Di atas pintu bulat itu terdapat sebuah papan bertuliskan kata “inti kecapi”. Kedua huruf itu dibuat dari kaca berwarna biru, gaya tulisannya berani dan kuat, jelas tulisan tangan Tubiweng sendiri. Di balik pintu bulat terdapat sebuah jalan setapak yang sunyi. Pada kedua tepi jalan tumbuh pepohonan bambu. Batu-batu di tengah jalan itu tampak berlumut, jelas jalanan ini jarang dilalui manusia.

Sesudah melalui jalanan tersebut, sampailah mereka di depan tiga buah rumah batu yang dikelilingi oleh tujuh atau delapan pohon cemara yang rimbun dan tua. Suasana menjadi agak redup dan bertambah sunyi.

Perlahan Heibaizi mendorong pintu dan berbisik kepada Linghu Chong, “Silakan masuk!”

Sewaktu melangkah masuk ke dalam rumah batu itu, hidung Linghu Chong segera mencium bau harum kayu cendana.

“Kakak Pertama, Saudara Feng dari Perguruan Huashan sudah berada di sini,” kata Heibaizi.

Maka muncullah seorang tua dari dalam kamar sambil menyapa dengan penuh hormat, “Pendekar Muda Feng berkunjung ke tempat kami yang sederhana ini, tapi kami tidak bisa memberikan penyambutan yang pantas. Mohon maaf, mohon maaf!”

Usia orang tua ini lebih dari enam puluh tahun. Tubuhnya kurus kering, kulit mukanya kisut dan peyot, sehingga mirip tengkorak hidup, namun kedua matanya tampak bersinar tajam dan cemerlang. Lekas-lekas Linghu Chong membalas hormat dan menjawab, “Kedatangan saya ini terlalu lancang, mohon Sesepuh sudi memaafkan!”

Orang tua kurus itu berkata, “Tidak apa, tidak apa!”

Heibaizi menukas, “Kakak Pertama memiliki gelar Huang Zhonggong, mungkin Saudara Feng pernah mendengar namanya.”

“Sudah lama saya mengagumi nama besar keempat majikan dan baru hari ini dapat berjumpa secara langsung. Sungguh beruntung, sungguh beruntung!” jawab Linghu Chong. Dalam hati ia berpikir, “Kakak Xiang benar-benar suka bercanda. Dia tidak menerangkan apa pun kepadaku, hanya menyuruhku menuruti segala rencananya. Sekarang Kakak Xiang tidak mendampingi aku. Jika Majikan Pertama menanyakan sesuatu yang sulit, entah bagaimana caraku harus melayaninya?”

Huang Zhonggong berkata, “Kabarnya Pendekar Muda Feng adalah ahli waris Sesepuh Feng Qingyang dari Perguruan Huashan. Ilmu pedangmu sangat hebat. Selama ini aku si tua juga sangat mengagumi ilmu silat dan kepribadian Sesepuh Feng, namun sayang belum pernah bertemu muka dengan Beliau. Beberapa waktu yang lalu sempat tersiar kabar bahwa Sesepuh Feng sudah meninggal. Hal ini membuat diriku sangat menyesal. Namun, hari ini aku dapat bertemu dengan ahli waris Beliau, boleh dikata angan-anganku selama ini bisa terpenuhi. Menurut keterangan dari Adik Kedua, Pendekar Muda Feng ini adalah sepupu dari Sesepuh Feng, benar demikian?”

Linghu Chong menjadi serbasalah. Ia berpikir, “Aku sudah berjanji kepada Kakek Guru Feng untuk tidak memberitahukan keadaan Beliau kepada siapa pun juga. Kakak Xiang bisa mengetahui kalau aku adalah ahli waris Beliau juga dari hasil menebak berdasarkan pengalamannya yang luas. Tapi kemudian Kakak Xiang menyiarkan kepada orang-orang di sini kalau aku juga bermarga Feng, ini sungguh keterlaluan dan mengada-ada. Namun kalau aku mengatakan jati diriku yang sebenarnya juga tidak pantas.”

Merasa tidak punya pilihan lain, ia pun berkata dengan kalimat samar-samar, “Saya pernah menerima pelajaran dari Beliau. Namun sayang, saya kurang berbakat sehingga hanya bisa mempelajari sepuluh atau dua puluh persen saja dari kepandaian Beliau.”

Huang Zhonggong menghela napas dan berkata, “Jika kau hanya mempelajari sepuluh atau dua puluh persen dari kepandaian Beliau namun sudah bisa mengalahkan ketiga saudaraku, maka dapat dibayangkan betapa sukar diukur kepandaian Sesepuh Feng.”

Linghu Chong menjawab, “Ketiga majikan hanya bertukar beberapa jurus dengan saya. Belum jelas pihak mana yang menang atau kalah, kami sudah berhenti.”

Wajah Huang Zhonggong yang cekung itu sekilas menampilkan senyuman. Sambil manggut-manggut ia berkata, “Anak muda tidak sombong, tidak berangasan, sungguh patut dipuji.” Melihat Linghu Chong bicara sambil tetap berdiri, segera ia berkata, “Silakan duduk, silakan mencicipi teh!”

Linghu Chong dan Heibaizi segera masuk dan mengambil duduk. Sejenak kemudian seorang bocah pelayan muncul menghidangkan tiga cangkir teh hijau.

Huang Zhonggong berkata, “Kabarnya Pendekar Muda Feng memiliki sebuah kitab kuno ‘Guangling San’, apa benar demikian? Aku si tua lumayan senang bermain musik. Setiap kali aku membayangkan Ji Kang sebelum dihukum mati sempat memainkan kecapi sambil berkata, ‘Sejak saat ini lagu Guangling San akan musnah dari dunia’, membuatku selalu menghela napas. Andai saja lagu kuno itu berhasil ditemukan dan aku si tua berkesempatan untuk memainkannya, maka tak akan ada lagi penyesalan di hatiku.” Sampai di sini wajah laki-laki tua itu tampak bersemu merah, pertanda semangatnya sedang tergugah.

Linghu Chong merenung sejenak. Dalam hati ia berkata, “Kakak Xiang sudah membohongi mereka habis-habisan. Tampaknya keempat majikan di Wisma Mei Zhuang ini adalah tokoh-tokoh luar biasa, apalagi kedatangan kami adalah untuk memohon pengobatan kepada mereka. Hm, rasanya tidaklah pantas kalau kami membuat mereka penasaran lagi. Kalau kitab kecapi ini benar-benar naskah Guangling San, maka biarlah aku memperlihatkannya kepada Tuan Pertama.” Ia kemudian mengeluarkan kitab pemberian Xiang Wentian dari balik baju. Perlahan-lahan ia bangkit dan menyerahkan kitab itu menggunakan kedua tangan kepada Huang Zhonggong, sambil berkata, “Tuan Pertama, silakan membacanya.”

Dengan sedikit bangkit dari duduknya, Huang Zhonggong menyambut kitab itu dan menjawab, “Lagu Guangling San sudah lama menghilang. Hari ini aku sangat gembira bisa melihat kitab ternama peninggalan orang hebat di masa lalu. Hanya saja … hanya saja … entah ….” Ia berbicara seperti kurang yakin mengenai bagaimana caranya untuk membedakan apakah kitab di tangannya tersebut asli ataukah hanya buatan orang iseng. Secara acak ia membolak-balik beberapa halaman sambil berkata, “Lagu ini sangat panjang.” Sekali lagi ia membaca halaman pertama. Hanya dalam waktu singkat raut mukanya langsung berubah.

Sambil tangan kanan memegang kitab tersebut, jari tangan kiri orang tua itu tampak bergerak-gerak seperti sedang memetik kecapi di atas meja. Untuk beberapa saat, ia menggumam sendiri, “Bagus sekali! Lembut dan tulus, tapi sangat jernih dan mendalam.”

Huang Zhonggong kemudian membaca halaman kedua. Sejenak kemudian lagi-lagi ia memuji, “Sungguh anggun dan berselera tinggi. Di dalamnya tersembunyi kebenaran-kebenaran yang mendalam. Hanya dengan membayangkan iramanya saja aku sudah merasa penuh semangat.”

Heibaizi melihat kakak pertamanya baru membaca dua halaman saja sudah begitu tergila-gila. Ia khawatir jika dibiarkan maka hal ini akan berlarut-larut sampai beberapa jam. Berpikir demikian, lekas-lekas ia menyela, “Saudara Feng dari Perguruan Huashan ini datang bersama Saudara Tong dari Perguruan Songshan. Mereka menyatakan bila di dalam Wisma Mei Zhuang ini ada seorang saja yang mampu mengalahkan ilmu pedangnya ….”

“Oh, jadi harus ada orang yang bisa mengalahkan ilmu pedangnya baru dia mau meminjamkan naskah Guangling San ini kepadaku, benar begitu?” tanya Huang Zhonggong.

“Betul, dan kami bertiga sudah kalah semua,” jawab Heibaizi. “Kini tinggal Kakak Pertama saja. Jika Kakak Pertama tidak turun tangan tentu Wisma Mei Zhuang kita ini, hehe ….”

“Jika kalian gagal, aku turun tangan juga tidak ada manfaatnya,” ujar Huang Zhonggong sambil tersenyum hambar.

“Kami bertiga mana bisa dibandingkan dengan Kakak Pertama?” desak Heibaizi.

“Ah, aku ini sudah tua, sudah tidak berguna lagi,” kata Huang Zhonggong.

Linghu Chong lantas bangkit dan berkata, “Tuan Pertama memiliki nama gelar Huang Zhonggong, sudah pasti ahli dalam bermain kecapi. Naskah ini memang sulit didapatkan, tetapi bukan berarti tidak boleh ditunjukkan kepada siapa pun. Silakan Tuan Pertama membaca atau menyalinnya. Setelah tiga atau lima hari saya akan datang kemari untuk mengambilnya.” Rupanya ia teringat pelajaran seni musik yang pernah diajarkan Luzhuweng bahwa irama paling rendah disebut “Huang Zhong” yang merupakan sumber dari irama-irama yang lain.

Huang Zhonggong dan Heibaizi terpana melihatnya. Lebih-lebih Heibaizi yang saat di ruang catur tadi melihat Xiang Wentian sangat jual mahal dan terus menerus mempersulit keadaan, sehingga membuat hati merasa gatal dan penasaran. Tak disangka, pemuda yang bernama “Feng Erzhong” ini ternyata begitu murah hati. Sebagai ahli catur, ia sudah terbiasa berpikir jangka panjang. Jangan-jangan sikap Linghu Chong itu hanyalah jebakan untuk sang kakak pertama. Namun demikian, Heibaizi tidak bisa melihat di mana letak perangkap tersebut berada.

Huang Zhonggong berkata, “Tanpa jasa mana boleh menerima imbalan? Kau dan aku juga tidak memiliki hubungan apa pun, bagaimana aku bisa menerima hadiahmu yang istimewa ini? Kalian berdua sudi berkunjung ke wisma kami yang sederhana, tentu menyimpan maksud dan tujuan tertentu. Untuk itu, mohon sudilah berterus terang.”

Linghu Chong berpikir sejenak, “Sebenarnya apa tujuan Kakak Xiang mengajakku datang kemari? Apakah untuk meminta keempat majikan mengobati penyakitku? Namun mengapa Kakak Xiang menjalankan rencananya dengan penuh rahasia? Apakah ada tujuan yang lain? Keempat majikan ini tokoh luar biasa semua. Kalau aku berterus terang tentu ini merupakan hal yang kurang pantas. Aku memang tidak mengetahui isi hati Kakak Xiang. Baiklah, aku akan berbicara seperlunya saja. Semoga mereka tidak tersinggung.”

Maka, Linghu Chong pun menjawab, “Saya datang ke wisma yang mulia ini hanya mengikuti Kakak Tong. Terus terang, sebelum datang kemari, saya sama sekali belum pernah mendengar nama keempat majikan, juga tidak tahu kalau di daerah sini terdapat Wisma Mei Zhuang.” Sejenak ia berhenti, kemudian melanjutkan, “Hal ini mungkin disebabkan pengalaman saya yang dangkal sehingga tidak mengenal Tuan berdua yang terkemuka. Untuk itu mohon kedua majikan sudi memaafkan.”

Huang Zhonggong memandang sejenak kepada Heibaizi, kemudian berkata dengan tersenyum tipis, “Pendekar Muda Feng bersikap jujur dan terus terang, aku si tua sangat berterima kasih. Tadinya aku memang agak heran. Kami berempat sudah mengundurkan diri dan hidup menyepi dari keramaian. Kaum persilatan juga sedikit yang mengenal kami, lebih-lebih Serikat Pedang Lima Gunung sama sekali tidak pernah berhubungan dengan kami, tapi mengapa kalian bisa datang ke sini? Jadi, Pendekar Muda Feng memang tidak mengetahui asal usul kami, begitu?”

“Sungguh saya merasa malu. Harap kedua majikan banyak-banyak memberi petunjuk,” sahut Linghu Chong. “Tadi saya mengatakan ‘sudah lama mengagumi nama besar keempat majikan’, namun sesungguhnya … sesungguhnya … aih.”

“Baiklah, baiklah. Huang Zhonggong, Heibaizi, dan yang lain hanyalah nama julukan yang kami pilih sendiri. Kami sudah lama tidak memakai nama asli sehingga pantas kalau Pendekar Muda tidak pernah mendengar sepak terjang kami,” kata Huang Zhonggong manggut-manggut. Tangannya kembali membolak-balik naskah Guangling San sambil berkata, “Jadi, kitab not kecapi ini dengan setulus hati hendak kau pinjamkan kepadaku untuk disalin?”

“Benar,” jawab Linghu Chong. “Naskah Guangling San ini milik Kakak Tong, sehingga saya hanya bisa meminjamkannya. Andai saja naskah ini milik saya, pasti saya akan memberikannya kepada Tuan Pertama tanpa perlu dikembalikan. Pepatah mengatakan, ‘Pedang pusaka hendaknya diberikan kepada pahlawan.’”

“Oh!” seru Huang Zhonggong. Dari raut wajahnya yang cekung samar-samar terlihat perasaan gembira.

Heibaizi menukas, “Saudara Feng, kau hendak meminjamkan naskah kecapi ini kepada Kakak Pertama, apakah Saudara Tong sudah mengizinkannya?”

Linghu Chong menjawab, “Kakak Tong dan aku adalah sahabat seumur hidup. Sifatnya pemurah dan gagah berani. Kalau aku sudah berjanji untuk melakukan sesuatu sebesar apa pun, ia tidak pernah melarangnya.”

Mendengar itu Heibaizi hanya mengangguk-angguk tanpa menjawab.

Huang Zhonggong berkata, “Aku si tua sangat berterima kasih kepada Pendekar Muda Feng. Namun karena belum mendengar dari mulut Saudara Tong sendiri, membuat hatiku tidak tenang. Kabarnya Saudara Tong tadi berkata, jika ada satu orang saja di Wisma Mei Zhuang ini bisa mengalahkan ilmu pedang Pendekar Muda Feng, maka naskah kecapi ini bisa menjadi milik kami. Aku tidak boleh mengambil keuntungan semudah ini dari kemurahan hatimu. Untuk itu, marilah kita coba-coba beberapa jurus.”

Linghu Chong kembali berpikir, “Tadi Tuan Kedua berkata, ‘Kami bertiga mana bisa dibandingkan dengan Kakak Pertama?’ Dengan demikian, ilmu silat Tuan Pertama sudah tentu lebih hebat dari mereka. Ilmu silat ketiga majikan sangat tinggi. Aku bisa mengalahkan mereka hanya karena mengandalkan ilmu pedang yang diajarkan Kakek Guru Feng. Kalau aku bertanding dengan Tuan Pertama, aku belum tentu bisa menang? Tanpa alasan yang jelas, untuk apa aku harus mempermalukan diri sendiri. Kalau pun aku bisa menang, manfaat apa yang kudapatkan?”

Berpikir demikian, ia pun berkata, “Secara iseng Kakak Tong telah mengemukakan kata-kata seperti itu, sungguh membuat malu saja. Keempat majikan tidak marah saja saya sudah merasa bersyukur. Sekarang mana berani saya bertanding dengan Tuan Pertama?”

“Kau memang baik hati,” puji Huang Zhonggong. “Tapi tiada salahnya kita coba-coba beberapa jurus, bagaimana?”

Orang tua itu berdiri dan mengambil sebatang seruling kumala yang tergantung di dinding, kemudian menyerahkannya kepada Linghu Chong. Ia sendiri lantas mengangkat sebuah kecapi yang tertaruh di atas meja sambil berkata, “Kau bisa gunakan seruling itu sebagai pedang dan aku akan menggunakan kecapi ini sebagai senjata. Kedua alat musik ini tidak berani kusebut sebagai harta karun, tapi juga terhitung barang langka. Tentunya aku merasa sayang kalau keduanya sampai rusak begitu saja. Untuk itu, kita cukup berlagak dan bergaya sekadarnya saja.”

Linghu Chong melihat seruling di tangannya berwarna hijau tua, ternyata terbuat dari zamrud bermutu tinggi. Di dekat bagian mulut terdapat beberapa titik sinabar, warnanya merah tua bagaikan darah, sehingga nampak berlawanan dengan badan seruling. Sebaliknya, kecapi yang dipegang Huang Zhonggong warnanya sudah gelap kusam karena tua, jelas merupakan barang kuno yang berusia ratusan tahun, atau mungkin seribu tahun lebih. Jika kedua alat musik itu sampai terbentur perlahan saja sudah pasti akan hancur berkeping-keping, sehingga memang tak dapat digunakan untuk bertarung yang sesungguhnya.

Linghu Chong merasa tidak memiliki pilihan lain. Ia pun memegang seruling kumala itu dengan kedua tangannya, lalu berkata, “Mohon Tuan Pertama memberi petunjuk.”

Huang Zhonggong menjawab, “Sesepuh Feng adalah ahli pedang paling hebat pada zamannya. Dari dulu aku sangat mengaguminya. Ilmu pedang yang ia ajarkan sudah pasti lain daripada yang lain. Pendekar Muda Feng, silakan mulai!”

Linghu Chong segera mengangkat seruling dan mengayunkannya perlahan ke samping. Angin pun meniup masuk melalui lubang seruling itu dan menimbulkan beberapa nada lembut. Huang Zhonggong juga memetik kecapinya beberapa kali. Begitu bunyi kecapi mengalun, ia segera menyodokkan bagian ekor kecapi ke arah bahu kanan Linghu Chong.

Ketika mendengar suara kecapi, pikiran Linghu Chong sedikit terguncang. Namun perlahan-lahan serulingnya lantas ditotokkan ke depan, mengarah ke siku Huang Zhonggong. Dalam keadaan demikian jika kecapi itu tetap ditumbukkan ke bahu lawan, maka titik nadi pada siku sendiri tentu akan tertotok lebih dulu. Berpikir demikian, Huang Zhonggong segera memutar balik kecapinya dan menghantamkannya ke pinggang Linghu Chong. Ketika kecapi itu diputar, kembali ia memetik senar sehingga mengeluarkan suara berdenting.

Diam-diam Linghu Chong berpikir, “Bila aku menangkis kecapi dengan seruling ini tentu keduanya akan hancur bersama. Aku yakin dia tidak akan membiarkan kedua alat musiknya yang langka ini rusak sehingga pasti akan menggeser kecapinya. Tapi cara demikian itu hanyalah akal bulus yang tidak boleh kulakukan.”

Maka dengan cepat ia pun memutar serulingnya setengah lingkaran untuk menotok ketiak lawan. Sewaktu Huang Zhonggong mengangkat kecapinya untuk menangkis, Linghu Chong segera menarik kembali serulingnya. Lagi-lagi Huang Zhonggong memetik senar beberapa kali. Nadanya pun berubah menjadi tinggi dan mendesak.

Mendengar itu wajah Heibaizi tampak tegang. Lekas-lekas ia mundur keluar kamar sekaligus menutup rapat pintunya.

Ternyata petikan kecapi Huang Zhonggong itu bukan sekadar iseng, melainkan untuk mencurahkan tenaga dalam tingkat tingginya melalui suara kecapi guna mengacaukan pikiran lawan. Mendengar suara denting kecapi itu, pikiran dan tenaga lawan akan bereaksi terhadap kecapi. Tanpa disadari, pihak lawan akan dikuasai oleh irama kecapi. Jika suara kecapi perlahan, maka gerakan lawan juga ikut perlahan, dan jika suara kecapi menjadi cepat, maka gerakan musuh juga ikut cepat.

Namun demikian, gerak serangan Huang Zhonggong ternyata berkebalikan dengan suara denting kecapinya. Pada waktu kecapi mengeluarkan suara halus dan lembut, ia justru menyerang dengan cepat sehingga pihak lawan tentu akan sukar menangkisnya. Kepandaian membaurkan suara kecapi ke dalam ilmu silat demikian adalah tingkatan tertinggi yang dicapainya.

Heibaizi mengetahui dengan baik betapa tinggi ilmu silat Huang Zhonggong tersebut. Ia menjadi khawatir terhadap keselamatan diri sendiri. Maka, ia pun lekas-lekas mengundurkan diri keluar kamar dan menutup pintu rapat-rapat. Tapi dari balik pintu sayup-sayup masih terdengar suara kecapi yang berubah-ubah, kadang cepat dan meninggi, kadang lambat dan rendah nadanya; tiba-tiba sunyi tiada berbunyi, tapi kemudian mendadak berdenting dengan keras. Mendengar itu perasaan Heibaizi menjadi gelisah dan napas pun tersengal-sengal. Lagi-lagi ia mundur sampai ke luar gerbang. Di balik pintu ini suara kecapi tidak lagi terdengar, hanya kadang-kadang masih terdengar suara dentingan nyaring. Beberapa nada yang menembus keluar membuat jantungnya semakin berdebar-debar. Setelah termangu-mangu agak lama, ia pun berpikir, “Ilmu pedang orang bermarga Feng itu teramat tinggi, tak disangka tenaga dalamnya juga hebat. Bagaimana ia bisa bertahan terhadap serangan ‘Ilmu Pedang Tujuh Senar Tanpa Wujud’ milik Kakak Pertama?”

Pada saat itulah Tubiweng dan Danqingsheng datang menyusul. “Bagaimana?” tanya Danqingsheng dengan suara lirih.

“Mereka sudah bertarung sangat lama tapi pemuda itu masih terus bertahan. Aku takut dia akan terluka parah oleh kehebatan Kakak,” jawab Heibaizi.

“Biar aku memohon belas kasihan, supaya Kakak Pertama tidak sampai melukai sahabat yang baik itu,” ujar Danqingsheng.

Heibaizi menggeleng dan berkata, “Kau jangan masuk!”

Pada saat itulah mendadak suara kecapi berdenting sangat nyaring. Serentak mereka bertiga mundur satu langkah. Secara beruntun kecapi itu berbunyi lagi lima kali dan mereka pun tanpa sadar juga mundur lima langkah.

Raut muka Tubiweng tampak pucat pasi. Setelah menenangkan diri baru ia bisa berkata, “Itu adalah jurus ‘Dewa Pembelah Gunung’ dari ‘Ilmu Pedang Tujuh Senar Tanpa Wujud’. Bagaimana orang bermarga Feng mampu menahan serangan berantai Kakak Pertama yang sangat ganas itu?”

Belum selesai ia bicara, tiba-tiba terdengar lagi suara nyaring kecapi yang lebih keras dari sebelumnya. Disusul kemudian terdengar suara seperti putusnya beberapa senar.

Kontan saja Heibaizi bertiga sangat terkejut. Lekas-lekas mereka mendorong pintu besar dan selanjutnya membuka pintu kamar dan berlari masuk ke dalam. Terlihat Huang Zhonggong sedang berdiri terkesima sambil memegangi kecapinya. Tujuh utas senar sudah putus dan terkulai di sisi kecapi. Sebaliknya, Linghu Chong tampak berdiri tenang dengan tetap memegang serulingnya.

“Mohon maaf!” kata pemuda itu sambil membungkuk.

Dari pemandangan itu sudah dapat disimpulkan kalau Huang Zhonggong kalah dalam pertandingan ini. Heibaizi, Tubiweng, dan Danqingsheng terperanjat tak percaya. Mereka bertiga tahu benar bagaimana kehebatan tenaga dalam sang kakak pertama. Huang Zhonggong sebelum mengasingkan diri sudah jarang ada tandingannya di dunia persilatan. Apalagi selama belasan tahun terakhir ia giat berlatih dalam kesendirian, tentu ilmu andalannya itu sudah jauh lebih maju dan lihai. Siapa sangka kali ini ia kalah telak di tangan seorang pemuda dari Perguruan Huashan? Kejadian ini kalau tidak disaksikan dengan mata kepala sendiri tentu sulit untuk dipercaya.

Dengan tersenyum getir Huang Zhonggong membuka suara, “Ilmu pedang Pendekar Muda Feng sangat hebat, sungguh belum pernah kulihat sebelumnya. Bahkan, pencapaian tenaga dalam juga sedemikian tinggi, sungguh patut dipuji dengan penuh kekaguman. Tadinya aku mengira ‘Ilmu Pedang Tujuh Senar Tanpa Wujud’ terhitung ilmu yang hebat di dunia persilatan. Siapa sangka di hadapan Pendekar Muda Feng hanya seperti mainan saja. Kami berempat kakak beradik sudah belasan tahun mengundurkan diri dari dunia persilatan den menyepi di Wisma Mei Zhuang ini. Hm, ternyata kami seperti katak dalam tempurung.” Nada bicaranya itu terdengar murung dan lesu.

Linghu Chong berkata dengan rendah hati, “Saya hanya mencoba bertahan sekuat tenaga saja. Semua ini berkat kemurahan hati Tuan Pertama kepada saya.”

Huang Zhonggong menghela napas panjang dan menggelengkan kepala. Ia kemudian duduk dengan kecewa. Sungguh, perasaan masygulnya tergambar jelas di wajahnya yang muram.

Linghu Chong merasa tidak enak hati melihatnya. Diam-diam ia berpikir, “Kakak Xiang jelas tidak ingin mereka mengetahui kalau tenaga dalamku sudah musnah, supaya mereka tidak tahu kalau aku datang kemari untuk memohon pengobatan kepada mereka. Kakak Xiang mungkin khawatir jika aku berterus terang justru akan menimbulkan banyak rintangan. Tapi seorang laki-laki sejati harus mengutamakan kejujuran dan sikap berterus terang. Aku tidak boleh menarik keuntungan dari mereka dengan cara seperti ini.”

Maka, ia lantas berkata, “Tuan Pertama, ada satu hal harus kukatakan terus terang. Sesungguhnya, saya tidak gentar menghadapi hawa pedang tak berwujud yang keluar dari kecapi tadi bukan karena tenaga dalam saya yang hebat, melainkan karena saya sudah tidak mempunyai tenaga dalam lagi.”

Huang Zhonggong tercengang dan bangkit kembali. “Apa katamu?” demikian ia menegas.

Linghu Chong menjawab, “Saya pernah terluka beberapa kali. Tenaga dalam sudah punah semua, makanya tidak merasakan apa-apa dan tidak pula bereaksi apa-apa terhadap serangan suara kecapi Tuan Pertama tadi.”

“Apa benar begitu?” tukas Huang Zhonggong. Suaranya terdengar senang bercampur kaget.

“Jika Tuan Pertama tidak percaya, silakan periksa nadi saya, tentu akan mengetahui yang sebenarnya,” ujar Linghu Chong sambil mengulurkan tangan kanannya.

Huang Zhonggong beserta ketiga adiknya terheran-heran. Mereka berpikir meskipun Linghu Chong bersama Xiang Wentian berkunjung ke Wisma Mei Zhuang secara baik-baik, namun mereka jelas memiliki maksud untuk menantang. Namun sekarang Linghu Chong justru dengan tenang menjulurkan tangan kanannya begitu saja, seolah menyerahkan hidup dan mati kepada pihak yang ditantangnya.

Huang Zhonggong berpikir pemuda itu hendak menantang adu tenaga dalam sekali lagi. Jika itu benar terjadi, entah bagaimana caranya mengerahkan tenaga dalam sambil memeriksa denyut nadi Linghu Chong. Seorang pendekar yang berkepandaian setinggi langit pun tetap sulit untuk mengerahkannya, sehingga  satu-ssatunya jalan hanya menyerah pada kehebatan musuh. Apalagi barusan ia telah mengerahkan jurus “Enam Dewa Pembelah Gunung” yang ternyata sama sekali tidak berpengaruh terhadap Linghu Chong. Ketika orang tua itu mengerahkan segenap kekuatannya, ketujuh senar kecapinya justru putus sekaligus. Kekalahan telak seperti itu jelas meninggalkan kekecewaan mendalam dan membuat hati penasaran. Diam-diam ia pun berpikir, “Kalau kau menarik tanganku dan menotok titik nadiku, maka aku akan mengadu tenaga dalam denganmu.”

Perlahan-lahan Huang Zhonggong lantas mengulurkan tangannya untuk meraba pergelangan Linghu Chong. Diam-diam ia juga mempersiapkan jurus “Cakar Macan”, “Cakar Naga”, dan “Delapan Belas Tapak Kecil”. Ketiganya adalah ilmu silat tangan kosong kelas satu. Jurus apa pun yang akan dipakai lawan, tetap tidak akan mampu menangkap tangannya. Tak disangka, begitu jarinya sudah mencengkeram nadi pergelangan Linghu Chong, ternyata pemuda itu tampak diam saja, sedikit pun tidak memberikan perlawanan.

Huang Zhonggong terlihat tegang, namun begitu merasakan denyut nadi Linghu Chong yang sangat lemah, ia menjadi lega. Ternyata pemuda itu benar-benar sudah tidak memiliki tenaga dalam lagi. Sejenak Huang Zhonggong termangu-mangu, kemudian tertawa terbahak-bahak dan berseru, “Ternyata demikian, ternyata demikian! Anak muda, kau telah menipuku, kau telah menipuku!”

Meskipun ia menyatakan telah tertipu, namun raut mukanya terlihat gembira luar biasa. Ilmu “Pedang Tujuh Senar Tanpa Wujud” hanyalah musik kecapi belaka. Suara musik yang ia mainkan pada hakikatnya tidak dapat melukai, tetapi mampu merangsang tenaga dalam lawan dan mengacaukan gerakannya. Semakin tinggi tenaga dalam lawan, semakin kuat pula reaksinya terhadap suara kecapi itu. Namun tak disangka, ilmu tersebut harus berhadapan dengan Linghu Chong yang tidak memiliki tenaga dalam sama sekali, sehingga tidak menghasilkan reaksi apa-apa pula.

Setelah kalah telak, Huang Zhonggong merasa sangat kecewa dan berkecil hati. Namun saat mengetahui bahwa penyebab kekalahannya bukan karena ilmu kecapinya yang tidak ampuh, melainkan karena pihak lawan tidak memiliki tenaga dalam, membuat orang tua itu gembira luar biasa seperti orang gila. Tangan Linghu Chong dipegangnya erat-erat dan digoyang-goyangkannya beberapa kali. Sambil tersenyum ia pun bertanya, “Sobat baik, sobat baik! Mengapa kau memberitahukan rahasiamu kepadaku si tua?”

Linghu Chong menjawab dengan tersenyum pula, “Tenaga dalam saya memang sudah lenyap. Tadi ketika bertanding dengan Tuan Pertama, saya merasa tidak enak hati. Bagaimana saya bisa terus-menerus berbohong? Tuan Pertama bagaikan memetik kecapi untuk seekor sapi, dan sayalah sapi itu yang tidak mengerti keindahan permainan kecapi Tuan?”

Huang Zhonggong bergelak tertawa sambil mengelus-elus janggutnya, kemudian berkata, “Jika demikian, jurus ‘Pedang Tujuh Senar Tanpa Berwujud’ milik si tua ini bukanlah sesuatu yang jelek. Aku hanya khawatir ilmuku itu berganti menjadi ‘Pedang Tujuh Senar Putus Tanpa Guna’. Hahahaha!”

Heibaizi menyela, “Saudara Feng, kau telah memberitahukan rahasiamu dengan jujur, sungguh kami empat bersaudara merasa sangat berterima kasih. Akan tetapi, apakah kau tidak takut dengan terbongkarnya rahasiamu ini, kami bersaudara bisa mencabut nyawamu dengan sangat mudah?”

“Ucapan Tuan Kedua memang tidak salah,” jawab Linghu Chong. “Tapi saya percaya keempat majikan adalah kaum gagah sejati yang berjiwa kesatria. Itu sebabnya, saya tidak takut bicara terus terang.”

“Benar, memang benar,” ucap Huang Zhonggong. “Saudara Feng, lebih baik kau katakan saja apa maksud dan tujuan kedatanganmu yang sebenarnya ke tempat kami ini. Meskipun baru kenal, tapi kami sudah menganggapmu seperti kawan lama. Asalkan kami mampu pasti akan kami laksanakan apa pun yang kau inginkan.”

Tubiweng menyambung, “Tenaga dalam Saudara Feng sudah lenyap, mungkin disebabkan luka dalam yang sangat parah. Aku mempunyai seorang sahabat baik, ilmu pengobatannya mahasakti. Hanya sayang, wataknya terlalu aneh dan tidak sembarangan menerima orang sakit. Namun mengingat hubungannya denganku mungkin dia mau mengobatimu. Ping Yizhi si Tabib Pembunuh itu memang ….”

“Oh, Tabib Ping Yizhi?” tukas Linghu Chong.

“Benar. Rupanya Saudara Feng pernah mendengar namanya?” tanya Tubiweng.

Linghu Chong menjawab dengan nada murung, “Tabib Ping sudah meninggal di Lembah Lima Tiran beberapa bulan lalu.”

“Hah! Dia … dia sudah meninggal dunia?” seru Tubiweng terkejut.

“Dia sanggup menyembuhkan penyakit apa saja, mengapa tidak mampu mengobati penyakit sendiri?” sahut Danqingsheng. “Ah, apakah dia terbunuh oleh musuhnya?”

Linghu Chong menggeleng. Mengingat kematian Ping Yizhi membuatnya menyesal dan merasa bersalah. Ia kemudian berkata, “Sebelum meninggal dunia, Tabib Ping masih sempat memeriksa denyut nadiku dan mengatakan bahwa penyakitku ini sangat aneh. Ia mengaku tidak sanggup mengobati.”

Mendengar berita kematian Ping Yizhi itu, Tubiweng tampak sangat berduka. Ia duduk termangu-mangu dan air matanya pun meleleh.

Setelah berpikir sejenak, Huang Zhonggong berkata, “Saudara Feng, aku memberimu suatu jalan keluar yang agak sukar dipastikan. Akan kutulis sepucuk surat yang bisa kau bawa menghadap Mahabiksu Fangzheng, Kepala Biara Shaolin yang sekarang. Jika Beliau sudi mengajarkan Ilmu Pengubah Urat yang tiada bandingannya itu, tentu tenaga dalammu ada harapan bisa pulih kembali. Sebenarnya Ilmu Pengubah Urat adalah ilmu rahasia Perguruan Shaolin yang tidak diajarkan kepada orang luar. Namun Mahabiksu Fangzheng dulu pernah berhutang budi padaku. Mungkin dia akan memandang muka kepadaku dan bersedia melakukannya.”

Apa yang dikatakan kedua majikan itu sangat tepat, yaitu menyarankan Linghu Chong berobat kepada Ping Yizhi atau Mahabiksu Fangzheng. Dalam hati Linghu Chong merasa sangat berterima kasih atas ketulusan para majikan Wisma Mei Zhuang yang sungguh-sungguh hendak menolongnya. Ia kemudian menjawab, “Ilmu Pengubah Urat hanya diajarkan kepada murid Biara Shaolin saja. Diriku ini tidak pantas menjadi murid Perguruan Shaolin.” Ia kemudian bangkit dan membungkuk dalam-dalam sambil melanjutkan perkataan, “Maksud baik para majikan akan selalu kuingat seumur hidup. Tentang hidup dan mati sudah suratan Langit. Lukaku tidak parah, tapi telah membuat para majikan ikut khawatir. Biar aku mohon diri saja.”

“Tunggu dulu!” tiba-tiba Huang Zhonggong mencegah. Orang tua itu masuk ke ruang dalam, kemudian ia keluar kembali dengan membawa sebuah botol porselen kecil. “Botol ini berisi dua butir pil pemberian mendiang guruku. Sangat bagus khasiatnya untuk memperkuat tenaga dan menyembuhkan penyakit. Sekarang kuberikan kepada Saudara Feng sekadar kenang-kenangan perkenalan kita.”

Linghu Chong dapat melihat tutup botol itu sudah tua dan usang, jelas pil tersebut adalah benda pusaka yang tidak ternilai harganya dan selalu disimpan Huang Zhonggong sekian lamanya. Maka dengan cepat ia pun menjawab, “Obat ajaib ini tentu pemberian guru Tuan Pertama yang istimewa. Lebih baik Tuan Pertama menyimpannya saja untuk digunakan di kemudian hari.”

Huang Zhonggong berkata sambil menggelengkan kepala, “Kami berempat sudah mengundurkan diri dari dunia persilatan, dan tidak pernah bertempur lagi dengan orang luar. Maka itu, obat ini pun tiada gunanya bagi kami. Kami berempat tidak punya murid juga keluarga. Jika kau menolaknya, maka biarlah obat ini kubawa masuk ke liang kubur saja.”

Mendengar ucapan yang mengharukan itu, terpaksa Linghu Chong menerima kedua pil tersebut dengan ucapan terima kasih. Ia kemudian berpamitan mohon diri meninggalkan ruangan tersebut. Heibaizi, Tubiweng, dan Danqingsheng segera mengantarkannya kembali ke ruang catur.

Huang Zhonggong si majikan pertama.

Pertandingan melawan Huang Zhonggong.

(Bersambung)