Bagian 17 - Cuci Tangan Baskom Emas


Linghu Chong dan Yue Lingshan saat berlatih di air terjun.
“Jurus Pedang Chongling, jurus Pedang Chongling,” demikian Yilin bergumam. “Nama ini mengandung unsur namamu dan namanya. Kelak di kemudian hari orang akan mengetahui kalau ilmu tersebut adalah hasil... hasil ciptaan kalian berdua.”
“Ah, itu hanya usulan Adik Kecil saja. Dia masih sangat kekanak-kanakan,” ujar Linghu Chong sambil tertawa. “Kepandaian kami berdua masih terlalu rendah, mana mungkin kami dapat menciptakan ilmu pedang yang hebat? Jangan... jangan kau katakan kepada orang lain. Aku takut jadi bahan tertawaan di dunia persilatan.”
“Baiklah, aku tidak akan mengatakannya kepada siapa pun juga,” sahut Yilin. Sejenak ia terdiam kemudian berkata lagi sambil tersenyum, “Tapi, ilmu pedang ciptaanmu yang lain sudah terlanjur diketahui banyak orang.”
“Apa benar?” sahut Linghu Chong terperanjat. “Apa Adik Lingshan yang telah menyebarluaskannya?”
Yilin tertawa dan menjawab, “Bukan, tapi kau sendiri yang mengatakannya kepada Tian Boguang. Bukankah kau telah menciptakan Jurus Pedang Kakus untuk menusuk lalat?”
Linghu Chong tertawa terbahak-bahak. Ia lantas menanggapi, “Aku sengaja membual kepadanya, tapi kau malah terus-menerus mengingatnya. Aduh....”
“Aih, semua ini salahku!” seru Yilin gugup melihat Linghu Chong meringis kesakitan. “Lukamu sakit lagi gara-gara aku. Sudahlah, jangan bicara lagi. Kau istirahat saja dulu.”
Linghu Chong lantas memejamkan mata. Namun, sejenak kemudian matanya kembali terbuka dan ia pun berkata, “Aku bersikeras datang kemari untuk melihat pemandangan indah. Namun, gara-gara ingin mendekati air terjun membuat kita tidak bisa lagi melihat pelangi.”
Yilin berkata, “Pelangi memiliki keindahan sebagai pelangi; air terjun memiliki keindahan sebagai air terjun.”
“Benar sekali!” ujar Linghu Chong. “Di dunia ini mana ada yang sempurna? Sesuatu yang dicari dengan susah payah ternyata setelah didapatkan rasanya hanya begitu saja. Sebaliknya, barang yang sudah dimiliki malah dibuang dengan cuma-cuma.”
“Ucapan Kakak Linghu sepertinya mengandung pelajaran filsafat yang mendalam,” kata Yilin. “Sayang sekali, pemahamanku masih sangat dangkal sehingga tidak mengetahui apa makna yang terkandung di dalamnya. Andai saja Guru mendengar ucapanmu tadi, pasti Beliau bisa memberikan penjelasan.”
“Filsafat apanya? Mana aku tahu tentang filsafat?” ujar Linghu Chong. “Uh, aku lelah sekali.”
Perlahan-lahan pemuda itu merebahkan tubuhnya dan memejamkan mata. Sejenak kemudian ia sudah tertidur pulas.
Yilin yang duduk di sampingnya berusaha menghalau lalat atau nyamuk yang datang mengganggu. Lama-lama ia juga merasa letih dan mengantuk. Namun belum sampai tertidur, biksuni muda itu berkata dalam hati, “Kalau Kakak Linghu terbangun nanti, pasti dia merasa lapar. Di sini tidak ada makanan. Aku terpaksa harus memetik dua semangka lagi.”
Maka Yilin pun berangkat ke ladang tadi dan memetik dua buah semangka. Khawatir Linghu Chong diganggu binataang buas, ia pun bergegas kembali ke dalam lembah. Sesampainya di sana, ternyata Linghu Chong masih terbaring di atas batu. Ia pun duduk perlahan di samping pemuda itu.
Tiba-tiba Linghu Chong membuka mata dan bertanya, “Aku kira kau sudah pulang,”
“Kenapa kau berpikir demikian?” sahut Yilin heran.
“Bukankah tadi malam guru dan kakak-kakakmu mencarimu ke mana-mana?” jawab si pemuda. “Mereka tentu sangat khawatir atas keselamatanmu.”
Sebenarnya Yilin sudah melupakan hal itu. Gara-gara pertanyaan Linghu Chong tersebut, ia jadi teringat kembali dan berpikir, “Bila bertemu Guru nanti, entah Beliau akan memarahi aku atau tidak?”
Linghu Chong kembali berkata, “Adik Biksuni, aku benar-benar berterima kasih kau telah menemani diriku begitu lama. Kau juga telah menyelamatkan jiwaku dari kematian. Sekarang aku sudah cukup kuat. Lebih baik kau lekas pulang saja.”
“Tidak bisa! Mana mungkin aku meninggalkanmu dalam keadaan seperti ini?” sahut Yilin terkejut.
“Bukan begitu,” Linghu Chong menukas. “Nanti kalau sudah sampai di rumah Paman Liu, kau bisa memberitahukan keberadaanku ini kepada adik-adikku. Tentu mereka akan segera kemari untuk menjaga diriku.”
Yilin terkesiap mendengarnya. Ia pun berpikir, “Rupanya Kakak Linghu ingin aku lekas-lekas pergi dari sini supaya bisa segera bertemu adik kecilnya. Makin cepat adik kecilnya datang, dia merasa makin baik,” Karena berpikir demikian, hati biksuni muda ini terasa pedih dan tanpa terasa ia pun meneteskan air mata.
Linghu Chong menjadi heran dan bertanya, “Hei, kenapa... kenapa kau menangis? Apa kau takut dimarahi gurumu?”
Yilin menggelengkan kepala.
“Atau kau takut bertemu Tian Boguang?” tanya Linghu Chong kemudian. “Tenang saja, dia tidak akan berani mengganggumu lagi. Justru bila melihatmu maka dia sendiri yang akan lari terbirit-birit.”
Tapi Yilin kembali menggeleng-gelengkan kepalanya.
Linghu Chong bertambah bingung. Ia menoleh ke arah semangka dan berkata lagi, “Aku tahu sekarang. Kau pasti merasa bersalah karena kembali melanggar pantangan agama, bukan? Sudahlah, jangan dipikirkan. Aku yang akan menanggung semua dosa-dosamu.”
Namun Yilin tetap saja menggelengkan kepala. Bahkan, air matanya mengalir semakin deras.
Linghu Chong benar-benar bingung. Ia pun berkata, “Baiklah, mungkin ada kata-kataku yang menyinggung perasaanmu. Adik Biksuni, kau jangan menangis lagi. Aku minta maaf.”
Perasaan Yilin sedikit lega mendengarnya. Namun ia kembali sedih karena membayangkan Linghu Chong suka merendahkan diri di hadapan Yue Lingshan, adik kecilnya. Mungkin mereka sering bertengkar, dan kemudian Linghu Chong selalu yang pertama kali meminta maaf. Maka, sekarang pemuda itu menerapkan cara tersebut kepada dirinya.
Menyadari itu semua Yilin kembali menangis, kali ini bahkan sambil membanting-banting kakinya di atas batu. “Aku bukan... aku bukan adikmu....” katanya kepada si pemuda. Namun begitu teringat bahwa dirinya seorang biksuni yang tidak sepantasnya bersikap seperti itu, dengan cepat ia pun berpaling ke arah lain.
Sekilas Linghu Chong memandang wajah Yilin yang bersemu merah itu, dengan air mata membasahi pipi. Dalam hati ia memuji kecantikan biksuni tersebut yang ternyata tidak kalah jika dibandingkan dengan Yue Lingshan. Ia kemudian berkata, “Adik Biksuni, kita ini sama-sama anggota Serikat Pedang Lima Gunung. Usiaku lebih tua, sehingga kau terhitung sebagai adikku. Tolong katakan, apa kesalahanku? Apa yang membuat kau begitu marah kepadaku?”
“Kau tidak salah apa-apa,” sahut Yilin. “Aku tahu kau ingin agar aku cepat-cepat pergi dari sini supaya tidak membuatmu sial seperti yang kau katakan kepada Tian Boguang dulu. Bertemu satu biksuni, sama dengan bertemu satu... kesi... kesial....” Sampai di sini ia tidak sanggup melanjutkan perkataan.
Linghu Chong menjadi geli mendengarnya. Ternyata Yilin masih ingat kalau dirinya pernah berkata bahwa biksuni adalah pembawa sial yang sangat mematikan. Maka, ia pun berkata, “Ya, mulutku ini memang kotor dan suka bicara yang aneh-aneh. Aku telah merendahkan kehormatan Perguruan Henshan yang mulia. Aku pantas dihajar, pantas dihukum!”
Selesai berkata demikian, Linghu Chong pun mengangkat tangan dan segera menampar pipinya sendiri beberapa kali. Melihat itu Yilin buru-buru mencegah, “Jangan, jangan kau teruskan! Aku... aku tidak marah kepadamu. Aku hanya... aku hanya tidak ingin menjadi... pembawa sial untukmu.”
“Aku pantas dihukum!” sahut Linghu Chong sambil menampar pipinya satu kali.
“Aku tidak marah kepadamu,” sahut Yilin sambil menggeleng. “Kakak Linghu, kau jangan... jangan memukul dirimu sendiri.”
“Kau tidak marah kepadaku?” tanya Linghu Chong .
Yilin hanya menganggukkan kepalanya.
“Tapi kau belum tertawa,” ujar si pemuda, “itu pertanda kalau kau sebenarnya masih marah kepadaku.”
Terpaksa Yilin pun tertawa. Tapi begitu teringat nasib buruk yang menimpa dirinya, ia pun menangis kembali dan berpaling ke arah lain. Melihat itu Linghu Chong menghela napas panjang.
Perlahan-lahan Yilin berhenti menangis dan bertanya, “Mengapa... mengapa kau menghela napas?”
Dalam hati Linghu Chong tertawa geli. Diam-diam ia berpikir, “Bagaimanapun juga biksuni ini hanya seorang gadis kecil yang masih polos.”
Linghu Chong sudah berpengalaman menghadapi Yue Lingshan. Jika sedang bertengkar dengannya, Yue Lingshan biasanya diam tidak mau bicara. Bagaimanapun caranya Linghu Chong membujuk tetap saja gadis itu tidak peduli kepadanya. Namun Linghu Chong memiliki siasat istimewa, yaitu dengan cara membangkitkan rasa ingin tahu adik kecilnya itu. Dengan demikian, Yue Lingshan pun berbalik mendesaknya.
Menghadapi Yilin yang polos dan lugu, Linghu Chong merasa lebih mudah untuk membangkitkan rasa ingin tahunya. Maka, ia pun menghela napas sambil memandang ke arah lain, membuat Yilin merasa penasaran dan gugup.
“Kakak Linghu, apakah kau marah kepadaku?” tanya biksuni muda itu.
“Ah, tidak,” jawab Linghu Chong. “Tidak apa-apa.”
Melihat sikap pemuda itu, Yilin semakin gugup. Ia tidak tahu kalau Linghu Chong hanya berpura-pura untuk menghentikan tangisnya. Meskipun wajahnya terlihat kebingungan, namun dalam hati pemuda itu sedang tertawa terpingkal-pingkal.
Yilin berkata, “Aku yang salah. Aku telah membiarkanmu menampar wajah sendiri. Sebagai gantinya... sebagai gantinya biar kutampar wajahku ini.”
Dengan cepat Yilin menampar wajahnya sendiri. Ketika melayangkan tamparan kedua, Linghu Chong segera memegang tangannya. Namun akibatnya, pemuda itu pun merintih kesakitan.
“Aih, hati-hati! Jangan sampai lukamu pecah lagi,” seru Yilin sambil membantu Linghu Chong merebahkan diri. “Aku ini benar-benar bodoh. Apapun yang kulakukan selalu saja salah. Apa kau masih sakit, Kakak Linghu?”
Linghu Chong bukan seorang yang mudah merintih kesakitan. Namun dalam kesempatan itu ia sengaja merintih beberapa kali untuk memancing Yilin supaya berhenti menangis.
Tentu saja Yilin menjadi khawatir. “Apakah sangat sakit?” tanya biksuni itu sambil meraba dahi Linghu Chong.
“Ya, sakit sekali!” jawab Linghu Chong sambil pura-pura meringis. “Tapi sayang, Adik Keenam tidak ada... tidak ada di sini.”
“Kenapa? Apakah dia memiliki obat mujarab?” Yilin bertanya dengan heran.
“Benar, tapi obatnya terletak dimulut, “Jawab Linghu Chong. “Dulu bila aku terluka dan kesakitan, dia selalu menghiburku dengan berbagai macam lelucon yang menggelikan. Dengan demikian rasa sakitku jadi berkurang. Tapi sayang, dia tidak berada di sini. Aduh... sakit sekali!”
Yilin menjadi serbasalah. Selama hidup di dalam bimbingan Biksuni Dingyi, setiap hari kegiatannya hanyalah berdoa, membaca kitab, atau berlatih pedang. Sama sekali ia jarang bergurau apalagi bercerita lucu. Tentu saja menggantikan peran Lu Dayou akan menjadi masalah yang mahasulit baginya.
“Kakak Lu tidak ada di sini, sedangkan Kakak Linghu ingin mendengar lelucon. Entah bagaimana aku harus... aku harus menceritakan sebuah cerita lucu kepadanya?” demikian pikirnya.
Tiba-tiba Yilin teringat sesuatu. Ia pun berkata, “Kakak Linghu, aku tidak bisa melucu. Hanya saja, aku pernah membaca sebuah kitab yang isinya sangat menarik. Namanya ‘Kitab Seratus Dongeng’. Apakah kau pernah mendengarnya?”
Linghu Chong menggeleng dan menjawab, “Tidak pernah. Aku tidak pernah membaca kitab agama Buddha.”
Yilin terlihat malu dan berkata, “Aku yang bodoh. Sudah jelas kau ini bukan penganut agama Buddha, kenapa aku mengajukan pertanyaan bodoh demikian?” Ia diam sejenak lalu melanjutkan, “Kitab Seratus Dongeng ditulis oleh biksu agung dari India bernama Gazena. Di dalamnya banyak terdapat cerita menarik.”
“Baiklah,” sahut Linghu Chong. “Maukah kau menceritakan beberapa bagian yang lucu kepadaku?” pinta pemuda itu supaya Yilin melupakan kesedihannya.
Yilin pun mengingat-ingat sejenak, kemudian bercerita, “Baiklah, aku akan bercerita. Pada zaman dahulu tersebutlah seorang gundul dan seorang petani yang hidup di sebuah desa. Si gundul itu bukan seorang pendeta Buddha seperti kami, melainkan sudah bawaan sejak lahir. Kepalanya memang tidak bisa ditumbuhi rambut. Entah karena kesalahan apa, pada suatu hari si gundul dan si petani bertengkar. Si petani yang sangat marah memukul kepala si gundul sampai berdarah. Anehnya, si gundul sama sekali tidak melawan atau menghindar. Ia justru tertawa terbahak-bahak. Ketika ada orang bertanya, si gundul pun menjawab, ‘Petani itu sangat bodoh. Kepalaku ini disangkanya sebongkah batu sehingga dia pun memukulku menggunakan cangkul. Jika tadi aku menghindar, tentu akan membuat dia berubah menjadi pintar.’”
Linghu Chong tertawa mendengarnya. Ia berkata, “Cerita bagus! Si gundul benar-benar sangat pintar. Meskipun dipukul sampai mati juga dia tidak akan menghindar. Hahaha, lucu sekali!”
Melihat Linghu Chong tertawa, Yilin merasa senang. Ia pun melanjutkan dengan cerita lain, “Kali ini aku akan bercerita tentang seorang raja dan tabib. Sang raja memiliki watak yang tidak sabaran. Ia mempunyai seorang putri yang masih kecil, tapi ingin menjadikannya besar dalam waktu singkat. Sang tabib pun dipanggil menghadap untuk melaksanakan keinginannya itu. Tabib itu mengaku memiliki resepnya, namun untuk mengumpulkan bahan obatnya dibutuhkan waktu yang tidak sebentar. Untuk itu, tabib pun meminta kepada raja supaya mengizinkan sang putri agar tinggal bersamanya. Sang raja juga dilarang mendesak supaya obat ajaib tersebut bisa cepat selesai. Raja setuju. Tabib pun membawa sang putri tinggal di rumahnya. Setiap beberapa hari sekali ia melapor kepada raja tentang perkembangannya mengumpulkan bahan-bahan resep obat ajaib untuk membesarkan sang putri. Kejadian tersebut berlangsung sampai dua belas tahun lamanya. Akhirnya, tabib pun melapor kepada raja bahwa resepnya telah sempurna dan sang putri telah berubah menjadi gadis remaja. Raja sangat senang melihat perubahan putrinya. Ia pun memuji kepandaian sang tabib dan memberikan hadiah besar kepadanya.”
Linghu Chong kembali tertawa. Ia berkata, “Kau bilang raja itu sifatnya tidak sabaran? Padahal, dia sudah bersabar menunggu resep si tabib selama dua belas tahun. Hahaha, kalau aku yang menjadi tabib itu, cukup hanya satu hari saja aku bisa menjadikan bayi putri tersebut menjadi gadis remaja yang cantik jelita.”
“Bagaimana caranya?” tanya Yilin keheranan. “Apakah kau bisa bermain sulap?”
“Mudah sekali, asalkan kau mau membantuku,” jawab Linghu Chong.
“Membantu bagaimana?” sahut Yilin.
“Ya, aku akan segera membawa pulang bayi putri tersebut dan kemudian memanggil empat orang tukang jahit.”
Yilin menukas, “Tukang jahit? Untuk apa?”
“Untuk menjahit pakaian secara kilat. Akan kusuruh mereka membuatkan pakaian bagus untukmu,” jawab Linghu Chong. “Esok harinya, aku akan membawamu lengkap dengan pakaian bagus dan perhiasan indah menghadap raja. Tentu sang raja akan terkesima dan gembira melihat putrinya telah berubah dewasa dalam waktu semalam saja, berkat obat ajaib ciptaan tabib sakti Linghu Chong. Karena gembiranya, sang raja pasti tidak sempat memeriksa apakah dirimu putrinya yang asli atau bukan. Dan yang pasti, Tabib Linghu Chong akan memperoleh hadiah yang sangat besar.”
Yilin ikut tertawa mendengar akal Linghu Chong. Bahkan, biksuni muda itu sampai terpingkal-pingkal dan memegangi perutnya menahan geli. “Kakak Linghu memang cerdik. Bahkan, kau lebih pintar daripada tabib istana itu,” katanya. “Hanya sayang, wajahku jelek. Sama sekali tidak mirip seorang putri raja.”
Linghu Chong menyahut, “Kalau wajahmu disebut jelek, maka di dunia ini tidak ada lagi yang bisa disebut cantik. Pada zaman ini paling tidak ada sepuluh ribu orang putri kerajaan, namun tidak seorang pun yang bisa menandingi kecantikanmu.”
Yilin terkesiap mendengar pujian itu. Ia pun menegas, “Memangnya kau pernah bertemu sepuluh ribu orang putri-putri itu? Jika tidak, bagaimana kau bisa membandingkannya denganku?”
Linghu Chong menjawab, “Tentu saja! Aku pernah mengamati mereka satu per satu di dalam mimpiku.”
“Hei, berarti kau selalu mimpi bertemu putri raja?” sahut Yilin tersenyum.
Linghu Chong tertawa dan menjawab, “Begitulah, aku....” Tiba-tiba ia merasa tidak pantas membual seperti itu kepada seorang biksuni muda yang polos dan lugu. Mengajaknya bercanda saja sudah merupakan pelanggaran bagi mereka. Maka, ia pun berpura-pura menguap untuk mengalihkan pembicaraan.
“Ah, Kakak Linghu sudah mulai mengantuk,” kata Yilin. “Silakan Kakak beristirahat saja.”
“Baiklah,” ujar Linghu Chong. “Ceritamu tadi sangat manjur. Sekarang lukaku tidak terasa sakit lagi.”
Linghu Chong pun memejamkan mata. Dalam hati ia tertawa karena berhasil membuat Yilin melupakan kesedihannya, bahkan kini tersenyum gembira.
Setelah Linghu Chong tertidur, Yilin mengibas-ngibaskan sebatang ranting untuk mengusir nyamuk dan lalat. Suara katak dan jengkerik bersahut-sahutan terdengar begitu merdu. Yilin yang sebenarnya sangat letih merasa mengantuk pula. Pelupuk matanya terasa semakin berat dan berat. Akhirnya, ia pun terkulai dan sekejap kemudian sudah melayang di alam mimpi.
Dalam mimpinya itu, Yilin merasa dirinya sedang memakai pakaian seorang putri raja yang indah dan gemerlapan. Seorang pemuda tampan yang tidak lain adalah Linghu Chong tampak menggandeng tangannya. Mereka pun berjalan bersama memasuki sebuah istana yang besar dan megah. Dari dalam istana itu mereka lantas melayang terbang ke angkasa dan mennyusup di balik awan dengan tetap bergandeng tangan. Tiba-tiba muncul seorang biksuni tua dengan pedang terhunus dan mata melotot berwarna merah. Biksuni tersebut tidak lain adalah Dingyi, sang guru sendiri. Yilin sangat terkejut. Terdengar Dingyi berkata, “Kau babi hina! Kau tidak hanya melanggar peraturan biara, tapi juga berhenti menjadi biksuni dan memilih sebagai putri raja, serta bergaul dengan bajingan rendah ini. Dosamu besar tidak terampuni.” Karena takut, Yilin pun cepat-cepat menarik lengan Linghu Chong untuk mengajaknya melarikan diri. Tapi pegangan tangannya hanya meraih tempat kosong. Suasana seketika berubah gelap. Tidak terlihat apa-apa lagi. Linghu Chong menghilang, Biksuni Dingyi juga menghilang. Karena terkejut, Yilin pun berteriak, “Kakak Linghu, Kakak Linghu!”
Seketika biksuni muda itu terbangun dari tidurnya. Ia baru sadar kalau semua hanyalah impian belaka. Dilihatnya ke samping ternyata Linghu Chong sudah bangun dan memandanginya dengan mata terbuka lebar.
“Aku... aku....” ujarnya dengan penuh rasa malu.
“Kau baru saja bermimpi?” tanya Linghu Chong.
Yilin merasa serbasalah untuk menjawab. Sekilas ia melihat wajah Linghu Chong terkesan aneh, seperti sedang menahan rasa sakit. Dengan cepat ia pun bertanya, “Apakah lukamu sakit lagi?”
“Tidak masalah!” jawab Linghu Chong dengan suara gemetar. Keringat pun membasahi dahi pemuda itu, pertanda ia sedang menahan rasa sakit yang luar biasa.
“Apa yang harus aku lakukan? Apa yang harus aku lakukan?” ujar Yilin agak bergumam dengan perasaan sangat khawatir. Ia pun mengeluarkan sapu tangan untuk mengusap keringat Linghu Chong. Dahi pemuda itu terasa panas seperti terbakar.
Yilin pernah mendengar dari gurunya, bahwa jika seseorang menderita demam akibat luka senjata tajam, maka keadaannya sungguh berbahaya. Karena didorong rasa cemas dan khawatir, seketika ia pun duduk dan berdoa. Mula-mula suaranya terdengar gugup dan gemetar. Namun lama-kelamaan setelah perasaannya agak tenang, ia pun berdoa dengan suara yang lantang dan penuh keyakinan.
“Bagi semua makhluk hidup, barangsiapa bertemu suatu masalah; seberat apapun masalah itu, jika ia berdoa kepada Dewi Guanyin dengan penuh penyerahan diri, maka Dewi Guanyin akan mendengar permohonannya dan memberikan pertolongan. Barangsiapa terjebak dalam kobaran api, maka api tidak akan membakarnya. Itu semua berkat keagungan Dewi Guanyin yang welas asih. Barangsiapa yang diterjang ombak dan badai, sedangkan dia berdoa kepada Dewi Guanyin, maka dia akan mengapung dan tidak akan tenggelam....” demikian doa biksuni muda tersebut. Doa tersebut diambilnya dari Kitab Kekuatan Suci Dewi Guanyin. Dari suaranya yang sungguh-sungguh, tampak jelas betapa Yilin merupakan seorang penganut ajaran Buddha yang sangat taat.
Terdengar Yilin melanjutkan, “Barangsiapa yang hendak dibunuh orang dan dia berdoa kepada Dewi Guanyin, maka senjata si pembunuh akan hancur berkeping-keping. Jika setan dan iblis datang mengganggu, namun dia berdoa kepada Dewi Guanyin, maka setan dan iblis terebut tidak dapat melihat dirinya. Barangsiapa sedang terbelenggu, apabila dia berdoa kepada Dewi Guanyin, maka belenggu itu akan terbuka dan pecah. Dengan demikian ia bisa lolos dan menyelamatkan diri....”
Linghu Chong merasa geli melihat perbuatan Yilin yang polos itu. Tanpa sadar ia pun tertawa cekikikan.
“Apanya yang lucu?” sahut Yilin terkejut.
“Jika doamu itu benar, maka aku tidak perlu susah payah berlatih silat. Jika ada musuh hendak menyerangku maka aku cukup berdoa saja kepada Dewi Guanyin dan mereka akan pergi sendiri,” jawab Linghu Chong.
“Kakak Linghu, kau jangan bersikap kurang hormat kepada Dewi Guanyin,” sahut Yilin tidak terima. “Jika aku tidak bersungguh-sungguh, maka doa ini tidak akan dapat menyembuhkanmu.”
Usai berkata demikian ia lantas melanjutkan, “Barangsiapa dikepung kawanan binatang buas, dan dia berdoa kepada Dewi Guanyin, maka binatang-binatang itu akan pergi meninggalkannya. Barangsiapa bertemu ular dan kalajengking beracun, dan dia berdoa kepada Dewi Guanyin, maka binatang-binatang itu akan kembali masuk ke dalam liang. Barangsiapa bertemu hujan lebat disertai halilintar menyambar-nyambar, dan dia berdoa kepada Dewi Guanyin, maka segala cuaca buruk akan menyingkir. Bagi semua makhluk hidup terdapat berbagai macam kesulitan dan marabahaya, namun kekuatan suci Dewi Guanyin akan menolong kita semua....”

Linghu Chong merasa nyaman mendengar doa Yilin kepada Guanyin.
Linghu Chong dapat mendengar dengan jelas betapa tulus doa yang disampaikan Yilin terhadap Dewi Guanyin. Meskipun suaranya sangat lirih, namun biksuni muda itu berdoa dengan kesungguhan hati dan penuh perasaan kepada Sang Boddhisattva. Terlihat betapa dia membuka segenap perasaannya dan berdoa dari lubuk hati yang paling dalam untuk mendapatkan berkah kekuatan dari Dewi Guanyin. Sampai akhirnya, ia berdoa, “Dewi Guanyin, aku mohon kepadamu untuk melenyapkan semua penderitaan Kakak Linghu, dan memindahkannya kepada diriku. Aku rela diubah menjadi babi, atau masuk ke dalam neraka, asalkan Dewi Guanyin menyembuhkan luka Kakak Linghu....”
Linghu Chong tidak bisa berkata-kata lagi. Hatinya merasa sangat terharu dan matanya berkaca-kaca. Sejak kecil ia hidup sebatang kara sampai akhirnya diambil sebagai murid Yue Buqun dan istrinya. Namun karena terlalu nakal, maka yang lebih sering ia dapatkan bukan belaian kasih sayang, melainkan hukuman dan pukulan dari sang guru. Murid-murid Huashan memang mematuhinya, namun itu hanya sekadar suatu kewajaran saja dalam tata krama perguruan. Sementara itu, Yue Lingshan memang sangat dekat dengannya, namun tetap saja tidak sebaik Yilin yang rela berkorban apa saja asalkan bisa melihat dirinya selamat. Linghu Chong merasa tidak tahu bagaimana harus berterima kasih kepada biksuni cantik itu.
Doa Yilin semakin lama semakin terdengar lembut. Dalam penglihatannya ia merasa benar-benar bertemu bayangan Dewi Guanyin di hadapannya. Daun pohon willow yang melambai-lambai ditiup angin membuat Linghu Chong merasa sangat nyaman. Ia juga merasa demamnya sudah banyak berkurang. Pemuda itu pun terbuai dan akhirnya jatuh tertidur pulas.
Keadaan di lembah pegunungan yang sunyi senyap tempat Linghu Chong memulihkan diri sungguh berbeda jauh dengan kediaman Liu Zhengfeng yang semakin ramai didatangi tamu. Kali ini Liu Zhengfeng menerima laporan dari para muridnya bahwa Yue Buqun ketua Perguruan Huashan telah datang pula. Buru-buru ia keluar ke halaman untuk menyambut kedatangan Si Pedang Budiman yang sangat terkenal itu. Sama sekali Liu Zhengfeng tidak menyangka kalau Yue Buqun akan datang secara langsung menyaksikan upacara pengunduran dirinya.
Yue Buqun sendiri menerima sambutan sang tuan rumah dengan tutur kata sopan santun dan penuh penghormatan. Berdampingan dengan Liu Zhengfeng, ia pun berjalan menuju pintu utama, di mana Pendeta Tianmen, Biksuni Dingyi, Yu Canghai, Tuan Wen, dan He Sanqi sudah menunggu di sana. Satu per satu mereka menyambut Yue Buqun dengan ramah tamah; dan sebaliknya, Yue Buqun pun membalas sambutan mereka dengan penuh tata krama.
Di antara para tokoh persilatan papan atas itu, hanya Yu Canghai seorang yang menyembunyikan kecurigaan. Diam-diam ia berpikir, “Liu Zhengfeng hanya seorang tokoh nomor dua di Perguruan Hengshan. Sudah pasti Yue Buqun datang kemari bukan untuk memberikan penghormatan kepadanya, melainkan untuk membuat perhitungan denganku. Huh, Serikat Pedang Lima Gunung bersatu padu melawan diriku. Tapi, Perguruan Qingcheng pantang untuk direndahkan. Jika dia mulai mendesakku, maka aku akan lebih dulu mengungkit perihal Linghu Chong yang telah tidur dengan pelacur. Dengan demikian, si tua Yue akan kehilangan muka di depan umum. Tapi, kalau dia nekad menyerangku, mau tidak mau aku harus menghadapinya dengan sekuat tenaga.”
Akan tetapi, begitu tiba giliran Yue Buqun menyapa Yu Canghai, ketua Huashan itu tetap menampilkan wajah ramah dengan sedikit membungkukkan badan. Ia berkata, “Pendeta Yu, sudah lama kita tidak bertemu. Kau terlihat jauh lebih hebat.”
Yu Canghai segera balas membungkuk dan menjawab, “Sepertinya kau juga semakin matang, Tuan Yue.”
Liu Zhengfeng lalu mendampingi tamu kehormatannya itu beserta para tokoh papan atas lainnya masuk ke dalam ruangan utama. Terlihat para tamu bercakap-cakap satu sama lain, dan sebagian dari mereka berbondong-bondong menyambut kedatangan Yue Buqun. Hari itu adalah hari pelaksanaan upacara Cuci Tangan Baskom Emas. Dengan menjalani upacara tersebut, Liu Zhengfeng resmi mengundurkan diri dari dunia persilatan. Sekitar satu jam menjelang tengah hari, Liu Zhengfeng masuk ke dalam untuk mempersiapkan diri, sementara urusan melayani tamu diserahkan kepada murid-muridnya yang dipimpin Xiang Danian dan Mi Weiyi.
Siang itu para tamu yang hadir bertambah lima ratus orang lagi. Di antara mereka terlihat Zhang Jin’ao, wakil ketua Partai Pengemis; Pendeta Xia dari Sanggar Zhengzhou, beserta ketiga menantunya; Nenek Tie dari Puncak Perawan Suci di daerah Szechwan; Pang Gong, pemimpin Partai Pasir Laut dari lautan timur; serta Bai Ke si Golok Sakti dan Lu Xisi si Pena Sakti, dua sekawan dari Sungai Qu. Para tamu yang memenuhi rumah Liu Zhengfeng itu ternyata hanya sedikit yang saling mengenal dan kebanyakan dari mereka hanya pernah mendengar nama saja. Maka itu, suasana pun semakin ramai karena orang-orang itu saling bercakap-cakap sambil bergelak tawa.
Pendeta Tianmen dan Biksuni Dingyi merasa risih melihat kedatangan para pendekar yang tidak jelas tersebut. Keduanya memilih berdiam diri di kursi masing-masing. Dalam hati mereka berpikir, “Tamu yang hadir di sini memang sangat banyak. Akan tetapi, tidak semuanya di antara mereka yang memiliki nama baik di dunia persilatan. Sebagian lagi adalah orang-orang yang tidak jelas. Liu Zhengfeng seorang tokoh terkemuka di Perguruan Hengshan, tapi mengapa dia suka bergaul melebihi batas? Bukankah ini bisa merendahkan Serikat Pedang Lima Gunung?”
Di lain pihak, Yue Buqun terlihat sangat ramah kepada para tamu tersebut. Tanpa pandang bulu, ketua Perguruan Huashan tersebut bercakap-cakap dengan siapa saja yang datang untuk menyapanya. Sama sekali ia tidak menunjukkan sikap angkuh sebagai seorang pemimpin perguruan ternama.

Yue Buqun dan rombongan memasuki aula Kediaman Liu.
Sementara itu, murid-murid Liu Zhengfeng sudah mempersiapkan lebih dari dua ratus meja perjamuan, baik di dalam maupun di luar ruangan utama. Mereka terlihat sibuk mempersilakan para tamu untuk duduk di tempat yang sudah disediakan.
Dalam ruangan tersebut terdapat sebuah kursi kehormatan. Menurut peraturan, yang seharusnya duduk di situ adalah Pendeta Tianmen yang merupakan ketua sebuah perguruan ternama dan berusia paling tua. Namun, ia merasa segan kepada Yue Buqun dan Biksuni Dingyi yang juga memiliki kedudukan penting dalam Serikat Pedang Lima Gunung. Akibatnya, ketiga tokoh tersebut saling mengalah dan saling mempersilakan untuk menduduki kursi kehormatan tersebut.
Tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut di luar. Selain terdengar suara genderang dan simbal ditabuh, juga terdengar suara teriakan-teriakan meminta para hadirin agar memberi jalan. Jelas ini merupakan pertanda bahwa ada seorang pembesar kerajaan yang datang.
Liu Zhengfeng buru-buru keluar dari ruangan dalam dengan mengenakan jubah barunya. Para hadirin serentak berdiri untuk mengucapkan selamat, namun Liu Zhengfeng hanya tersenyum dan merangkap tangan sambil terus melangkah keluar. Sejenak kemudian ia masuk kembali dengan berjalan berdampingan bersama seorang pria yang berdandan seperti seorang pejabat pemerintahan. Melihat wajahnya yang pucat dan cara berjalannya yang lemah, jelas pembesar tersebut tidak menguasai ilmu silat.
Diam-diam para hadirin berpikir, “Liu Zhengfeng seorang kaya raya dan sangat terpandang di Kota Hengshan. Sudah tentu ia banyak mengenal para pejabat pemerintahan. Maka itu, tidak mengherankan kalau dalam upacaranya kali ini ada seorang pejabat yang hadir untuk memberikan selamat kepadanya.”
Pembesar kerajaan itu berjalan dengan angkuh dan kemudian berhenti tepat di tengah-tengah ruangan. Seorang pengawal lantas berlutut di hadapannya menyerahkan sebuah nampan berlapiskan sutra kuning. Segulung kertas tampak tertaruh di atas nampan tersebut. Sang pembesar segera meraih gulungan kertas itu dan berteriak dengan suara keras, “Titah Yang Mulia Kaisar, hendaklah Liu Zhengfeng menyambut dengan segera!”
Para hadirin terperanjat mendengarnya. Menurut mereka, upacara Cuci Tangan Baskom Emas hanya berkaitan dengan pengunduran diri Liu Zhengfeng dari dunia persilatan. Lantas, kenapa kini pihak pemerintah datang untuk menyampaikan titah kaisar? Mungkinkah niat Liu Zhengfeng mengundurkan diri adalah untuk mempersiapkan pemberontakan? Mungkinkah rencana itu telah terbongkar sehingga pihak pemerintah pun mengirim utusan untuk menumpas Liu Zhengfeng?
Para hadirin yang rata-rata berpikiran sama segera meraba senjata masing-masing. Mereka yakin begitu surat kaisar dibacakan, serentak para prajurit kerajaan akan mengepung kediaman Keluarga Liu. Oleh sebab itu, mereka pun bersiap-siap menghadapi pihak tersebut daripada harus mati konyol. Asalkan Liu Zhengfeng memberi aba-aba, tentu mereka segera bergerak menghabisi nyawa sang pembesar beserta para prajurit pengawalnya.
Ternyata Liu Zhengfeng terlihat tenang-tenang saja menghadapi utusan kaisar tersebut. Bahkan, ia kemudian berlutut di hadapan sang pejabat sambil berseru, “Hamba, Liu Zhengfeng, siap menerima titah Yang Mulia Kaisar!”
Para hadirin terperanjat melihat pemandangan ini.
Sang pejabat pun membuka gulungan surat di tangannya kemudian membaca dengan suara lantang, “Titah Kaisar: Berdasarkan laporan gubernur Hunan, bahwa penduduk Kota Hengshan bernama Liu Zhengfeng banyak berjasa bagi kesejahteraan rakyat, serta mahir dalam ilmu silat. Maka dengan ini, ia dianugerahi pangkat sebagai sersan. Mulai sekarang, Liu Zhengfeng dapat bertugas membaktikan diri kepada pemerintahan untuk membalas budi baik Yang Mulia Kaisar.”
Segera Liu Zhengfeng bersujud beberapa kali sambil berkata, “Terima kasih atas kemurahan hati Yang Mulia!” Ia kemudian bangun kembali dan tidak lupa memberi hormat kepada pejabat tersebut. “Terima kasih banyak atas kebaikan Pembesar Zhang,” lanjutnya.
“Selamat! Selamat!” sahut sang pembesar yang bermarga Zhang itu sambil tertawa. “Mulai sekarang Sersan Liu dan aku sama-sama pejabat pemerintahan. Kita sama-sama mengabdi kepada Yang Mulia Kaisar. Untuk itu, kau tidak perlu segan-segan lagi.”
“Hamba hanya seorang bodoh yang tidak berpengalaman. Untuk selanjutnya, hamba memohon bimbingan dan arahan dari Pembesar Zhang,” ujar Liu Zhengfeng. “Hari ini hamba menerima jabatan dari Yang Mulia Kaisar. Tentu saja ini tidak lepas dari kebaikan hati Tuan Gubernur dan Pembesar Zhang.”
“Ah, tidak juga, tidak juga,” sahut Pembesar Zhang sambil tersenyum.
Liu Zhengfeng membalas senyum, kemudian berkata kepada adik iparnya, “Adik Fang, tolong ambilkan sedikit hadiah untuk Pembesar Zhang.”
Fang Qianju menjawab, “Semua hadiah telah siap, Kakak Ipar.” Usai berkata demikian ia pun masuk ke dalam dan sejenak kemudian muncul kembali dengan membawa sebuah nampan bundar yang di atasnya terdapat bungkusan kain beludru.
Liu Zhengfeng mengambil alih nampan tersebut dan menyodorkannya kepada Pembesar Zhang sambil berkata, “Ini ada sedikit oleh-oleh, tentu tidak sebanding dengan kebaikan Pembesar Zhang kepada hamba. Mohon Pembesar Zhang sudi menerimanya.”
“Ah, kita ini sudah seperti saudara. Tidak perlu seperti ini,” jawab Pembesar Zhang sambil tertawa. Ia lantas berkedip ke arah pengawalnya. Si pengawal tanggap dan segera mengambil alih nampan tersebut dari tangan Liu Zhengfeng.
Dengan wajah berseri-seri, Pembesar Zhang berkata, “Untuk urusan dinas saya tidak boleh terlalu lama di sini. Marilah kita minum barang tiga cawan, dengan harapan semoga Sersan Liu lekas-lekas naik pangkat ke tingkatan selanjutnya.”
Para pelayan rupanya sudah mempersiapkan diri sedemikian rupa. Mereka pun menyodorkan nampan berisi sepoci arak dengan dua cawan untuk sang pembesar dan tuan rumah. Setelah masing-masing minum tiga cawan, Pembesar Zhang pun mohon diri dengan diantarkan Liu Zhengfeng sampai ke depan pintu utama rumahnya. Suara genderang dan simbal kembali berbunyi mengiringi kepergian mereka.
Peristiwa ini benar-benar di luar dugaan para hadirin yang hampir semuanya berasal dari kalangan persilatan. Tampak wajah mereka menampilkan perasaan kaget bercampur malu. Meskipun bukan pemberontak, rata-rata mereka hidup bebas dan tidak sudi mematuhi aturan kerajaan. Oleh karena itu, ketika menyaksikan Liu Zhengfeng bersujud dan merendahkan diri di hadapan seorang pejabat istana untuk menerima sebuah pangkat, mereka merasa sayang dan sangat kecewa. Sebagian dari mereka tampak memandang Liu Zhengfeng dengan penuh penghinaan. Diam-diam mereka berpikir, “Entah berapa jumlah uang yang dikeluarkan Liu Zhengfeng untuk membeli pangkat sersan tersebut? Dilihat dari bobot bungkusan di atas nampan tadi, sepertinya berisi emas murni, bukan perak. Huh, padahal dia seorang tokoh nomor dua di Perguruan Hengshan yang terkenal jujur dan murah hati. Tak disangka, ketika memasuki hari tua justru terpikat pada kedudukan sebagai pejabat kerajaan.”
Liu Zhengfeng sendiri telah kembali ke dalam ruangan utama dan mempersilakan para hadirin duduk di kursi masing-masing. Meja dan kursi di dalam ruangan tersebut tampak tersusun ke dalam tiga deretan. Deretan tengah merupakan tempat duduk golongan Serikat Pedang Lima Gunung dan beberapa perguruan ternama lainnya. Kursi utama di deretan tengah ini tetap kosong karena Pendeta Tianmen yang seharusnya duduk di sana merasa segan. Kursi utama di deretan kiri diduduki oleh Pendeta Xia dari Sanggar Zhengzhou, sementara kursi utama di deretan kanan diduduki oleh Zhang Jin’ao dari Partai Pengemis. Meskipun Zhang Jin’ao bukan seorang tokoh ternama, namun Partai Pengemis sendiri memiliki jumlah anggota yang begitu besar dan tersebar di mana-mana. Selain itu, sang ketua partai yang bernama Xie Feng juga seorang tokoh terkemuka di dunia persilatan dan memiliki kepandaian sangat tinggi. Berdasarkan itu, para hadirin merasa maklum jika Liu Zhengfeng menaruh penghormatan besar kepada partai tersebut yang kini diwakili Zhang Jin’ao.
Setelah semua hadirin duduk kembali, para pelayan muncul dengan membawa berbagai macam hidangan. Mi Weiyi tampak mengusung sebuah meja kecil dan meletakkannya di tengah ruangan, disusul kemudian Xiang Danian muncul dengan membawa sebuah baskom terbuat dari emas gemerlapan. Baskom tersebut sudah berisi air dan segera diletakkan di atas meja tersebut. Di luar rumah terdengar tiga kali bunyi petasan turut meramaikan suasana.
Liu Zhengfeng maju ke tengah ruangan sambil merangkap tangan memberi hormat kepada semua tamunya. Para hadirin segera bangkit untuk membalas hormat. Sejenak kemudian, Liu Zhengfeng pun menyampaikan pidato sambutannya. “Para hadirin sekalian, saudara-saudaraku dari berbagai perguruan. Sungguh aku merasa sangat berterima kasih atas kesediaan kalian mengunjungi kediamanku ini. Hari ini aku mengadakan upacara Cuci Tangan Baskom Emas dan untuk selanjutnya tidak lagi berurusan dengan dunia persilatan. Dalam hal ini Saudara-Saudara tentu sudah tahu apa alasanku. Aku baru saja diangkat sebagai pejabat kerajaan sebagaimana yang kalian saksikan tadi. Sebagai seorang pejabat, aku wajib taat dan patuh terhadap peraturan pemerintah. Sebaliknya, orang-orang dunia persilatan pada umumnya lebih mementingkan persaudaraan dan setiakawan. Apabila terjadi suatu perselisihan tentu aku akan sulit untuk menegakkan keadilan. Maka dari itu, aku memutuskan untuk mengundurkan diri dari dunia persilatan mulai saat ini. Apabila murid-muridku ingin masuk ke perguruan lain, aku persilakan dengan tulus. Kelak jika Saudara-Saudara berkunjung ke kota Hengshan ini, akan tetap kusambut sebagai seorang sahabat. Tapi mengenai urusan dunia persilatan, sama sekali aku tidak mau ikut campur lagi.” Usai berkata demikian, ia kembali memberi hormat kepada tamu-tamunya.

Liu Zhengfeng mempersiapkan upacara.
(Bersambung)

bagian 16 ; halaman muka ; bagian 18