Bagian 116 - Pesan Terakhir Sang Ibu

Yue Buqun membokong Linghu Chong.

Tanpa pikir panjang Linghu Chong lantas membuang pedangnya dan bergegas menghampiri Ren Yingying. Di luar dugaan, tiba-tiba Yue Buqun berseru sekali, kemudian pedangnya menyambar secepat kilat mengarah ke pinggang kiri pemuda itu.

Tempat yang diincar ini sungguh berbahaya. Dalam keadaan terkejut Linghu Chong bermaksud segera memungut kembali pedangnya namun sudah terlambat. Pedang Yue Buqun lebih dulu menancap di belakang pinggangnya. Untungnya tenaga dalam Linghu Chong sangat bagus. Seketika otot pinggangnya mengkerut untuk melawan sehingga serangan tersebut tidak sampai menusuk terlalu dalam.

Yue Buqun tampak gembira. Dicabutnya pedang itu dan kembali ia menebas ke bawah. Lekas-lekas Linghu Chong menjatuhkan diri dan menggelindingkan tubuhnya. Namun, Yue Buqun terus saja mengejar dan kembali mengayunkan pedangnya dari atas ke bawah. Untung Linghu Chong sempat mengelak lagi, sehingga serangan Yue Buqun itu hanya mengenai tanah, namun selisih beberapa senti saja dari kepalanya.

Sambil menyeringai bengis, Yue Buqun kembali mengangkat pedangnya. Kali ini ia melangkah maju dan dengan sekali tebas kepala Linghu Chong pasti akan terpenggal. Dalam keadaan genting itu, tiba-tiba sebelah kakinya menginjak tempat lunak. Tubuhnya langsung terjerumus jatuh ke bawah. Ia bermaksud melompat ke atas dengan ilmu meringankan tubuhnya yang tinggi, namun saat itu langit dan bumi terasa seperti berputar-putar. Selanjutnya ia pun jatuh tak sadarkan diri. Rupanya Yue Buqun telah jatuh terjerumus ke dalam lubang perangkap yang digali para anggota Sekte Iblis tadi.

Linghu Chong benar-benar lolos dari lubang jarum. Hampir saja ia mati konyol oleh serangan di luar dugaan tadi. Perlahan-lahan ia merangkak bangun sambil mendekap luka di pinggang belakangnya. Pada saat itulah terdengar seruan beberapa orang dari semak-semak, “Nona Besar! Gadis Suci!” Kemudian beberapa orang tampak berlari-lari keluar. Mereka tidak lain adalah Bao Dachu, Tetua Mo, dan empat orang lainnya.

Bao Dachu tiba di tepi lubang perangkap. Sambil menahan napas ia mengetuk kepala Yue Buqun berkali-kali menggunakan gagang goloknya sekuat tenaga. Ia sadar tenaga dalam orang ini sangat tinggi. Obat bius dalam lubang jebakan itu mungkin hanya mebuatnya pingsan sebentar. Maka, ketukan keras tadi pasti akan membuatnya pingsan lebih lama lagi.

Sementara itu, Linghu Chong dengan susah payah mendekati tempat Ren Yingying menggeletak dan bertanya, “Bagian mana yang ditotok olehnya?”

“Apakah kau tidak … tidak apa-apa?” Ren Yingying balik bertanya. Suaranya terdengar gemetar karena rasa khawatir yang begitu besar.

“Jangan khawatir, aku takkan ... takkan mati,” sahut Linghu Chong.

“Bunuh bangsat keparat itu!” teriak Ren Yingying tiba-tiba.

“Baik!” jawab Bao Dachu paham.

Namun Linghu Chong lebih dulu mencegah, “Jang… jangan!”

Ren Yingying mengerti perasaannya dan segera mengganti perintah, “Tangkap saja dia!” Rupanya ia tidak tahu kalau lubang perangkap itu mengandung obat bius.

Terdengar Bao Dachu menjawab, “Baik!” Namun, ia tidak berani berterus terang bahwa lubang perangkap itu adalah hasil karyanya, karena ketika tadi Sang Gadis Suci dikejar-kejar dan diringkus oleh Yue Buqun, sama sekali ia dan rekan-rekannya tidak berani keluar untuk menolong karena takut mati. Peristiwa ini kalau sampai diketahui oleh Tebing Kayu Hitam tentu bisa menjadi musibah besar bagi mereka dan berakhir dengan hukuman mati.

Maka, Bao Dachu pun menahan napas dan terjun ke dalam lubang, kemudian dengan kecepatan tinggi ia mencengkeram tengkuk Yue Buqun dan menyeret tubuh orang itu ke atas. Dengan cekatan ia menotok pula beberapa titik nadi penting pada tubuh ketua Perguruan Lima Gunung tersebut. Selanjutnya, kaki dan tangan Yue Buqun pun diikat pula menggunakan tambang. Sudah terkena bius, diketok kepalanya, lalu titik nadinya ditotok, dan diikat menggunakan tambang, sekalipun kepandaian Yue Buqun setinggi langit juga tidak mungkin bisa lolos.

Linghu Chong saling pandang dengan Ren Yingying. Kedua muda-mudi ini merasa seperti baru saja terbangun dari sebuah mimpi buruk. Selang agak lama barulah Ren Yingying menangis. Linghu Chong mendekati dan memeluknya. Setelah pengalaman pahit tersebut, mereka merasa hidup belum pernah seindah saat ini. Perlahan-lahan Linghu Chong membuka semua totokan pada tubuh Ren Yingying tersebut.

Ketika tiba-tiba melihat sang ibu-guru masih tergeletak di tanah, barulah Linghu Chong ingat dan berteriak, “Celaka!”

Segera ia pun mendekati Ning Zhongze dan membuka totokan pada tubuh Nyonya Yue tersebut sambil berkata, “Maafkan aku, Ibu Guru.”

Ning Zhongze telah menyaksikan semuanya dengan jelas. Ia sangat mengetahui bagaimana kepribadian Linghu Chong, juga bagaimana perasaan pemuda itu kepada putrinya. Linghu Chong selalu memperlakukan Yue Lingshan bagaikan seorang dewi kahyangan, sehingga ia yakin semua tuduhan Yue Buqun adalah palsu belaka. Tuduhan sang suami bahwa Linghu Chong telah memerkosa dan membunuh Yue Lingshan sungguh tidak masuk akal sama sekali. Apalagi setelah menyaksikan secara langsung betapa besar rasa cinta dan kesetiaan Linghu Chong terhadap Ren Yingying, keyakinan Ning Zhongze bahwa suaminya telah melancarkan fitnah semakin bertambah kuat.

Ning Zhongze juga menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana suaminya telah dikalahkan oleh Linghu Chong, namun pemuda itu tidak tega menyerang lebih lanjut. Sebaliknya, Yue Buqun malah balas menyerang dari belakang secara keji dan tiba-tiba. Padahal, golongan hitam sekalipun tidak sudi melakukan perbuatan serendah ini, namun seorang ketua Perguruan Lima Gunung yang terhormat ternyata tega berbuat demikian. Sungguh memalukan, sungguh memuakkan.

Dalam keadaan putus asa Ning Zhongze bertanya lirih, “Chong’er, apakah benar Shan’er telah dibunuh oleh Lin Pingzhi?”

Linghu Chong menjadi pilu, air matanya pun jatuh bercucuran. “Murid … aku … aku .…” sahutnya tersedu-sedu.

“Dia tidak sudi menganggapmu sebagai murid, tapi aku masih tetap mengakuimu sebagai murid,” ujar Ning Zhongze. “Jika kau tidak keberatan, maka aku dapat tetap menjadi ibu-gurumu.”

Linghu Chong sangat terharu. Ia pun menyembah sambil berseru, “Ibu Guru! Ibu Guru!”

Perlahan-lahan Ning Zhongze membelai rambut Linghu Chong sambil mengalirkan air mata. Dengan lirih ia berkata, “Apakah yang dikatakan Nona Ren benar? Apakah Lin Pingzhi telah berhasil menguasai Jurus Pedang Penakluk Iblis dan bergabung dengan Zuo Lengchan pula? Dan ... dan apakah benar dia juga membunuh Shan’er?”

“Benar,” sahut Linghu Chong.

“Coba kau putar tubuhmu ke sana,” kata Ning Zhongze, “Akan kuperiksa lukamu.”

“Baik,” jawab Linghu Chong sambil memutar tubuhnya. Ning Zhongze lantas menyobek baju bagian punggung pemuda itu, kemudian menotok urat nadinya untuk menghentikan pendarahan. “Apa kau membawa obat luka Perguruan Henshan?” ujarnya kemudian.

“Ya, ada,” jawab Linghu Chong. Segera Ren Yingying mengambil obat tersebut dari balik baju Linghu Chong dan menyerahkannya kepada Ning Zhongze.

Ning Zhongze perlahan membersihkan bercak-bercak darah pada luka Linghu Chong, baru kemudian menaburkan obat Perguruan Henshan yang mujarab itu kepadanya. Ia lantas mengeluarkan sehelai saputangan berwarna putih bersih untuk menutup luka itu, lalu merobek gaunnya sebagai pembalut.

Linghu Chong selalu menganggap Ning Zhongze seperti ibu kandung sendiri, sehingga perlakuan tersebut membuat hatinya merasa sangat nyaman dan terharu. Rasa sakit pada lukanya sampai-sampai terlupakan.

“Kelak tugas membunuh Lin Pingzhi untuk membalaskan sakit hati Shan’er menjadi tanggung jawabmu,” kata Ning Zhongze kemudian.

“Tapi Adik … Adik Kecil telah meninggalkan wasiat sebelum meninggal. Ia berpesan agar aku melindungi Lin Pingzhi. Permintaan terakhirnya itu terpaksa kusanggupi, maka urusan ini … sungguh membuatku sulit,” jawab Linghu Chong.

“Karma buruk, ini karma buruk,” ujar Ning Zhongze sambil menghela napas panjang. “Chong’er, untuk selanjutnya terhadap siapa pun juga janganlah kau terlalu berbaik hati,” lanjutnya.

Ucapan Ning Zhongze itu diakhiri dengan penegasan. Linghu Chong pun menjawab, “Baik.”

Tiba-tiba tengkuknya terasa hangat-hangat basah, seperti terkena tetesan benda cair. Begitu menoleh, dilihatnya muka Ning Zhongze telah memutih, pucat pasi. Ia pun terkejut dan menjerit, “Ibu Guru!”

Segera Linghu Chong bangkit dan memegangi tubuh Ning Zhongze. Ternyata sebilah pisau belati telah menancap di dada istri Yue Buqun tersebut, tepat pada bagian jantung. Seketika wanita itu pun meninggal dunia.

Linghu Chong terkejut bukan kepalang hingga mulutnya ternganga tak bisa bersuara. Ren Yingying juga sangat terperanjat, namun karena tidak memiliki hubungan keluarga atau pertemanan dengan Ning Zhongze, maka rasa sedihnya tidak terlalu mendalam. Segera ia memapah Linghu Chong yang tampak lemas itu. Selang sejenak, barulah Linghu Chong dapat menangis.

Melihat kejadian sedih tersebut, Bao Dachu berpikir tentu akan banyak kata-kata mesra diucapkan oleh mereka berdua. Maka, ia pun tidak berani mengganggu sedikit pun. Selain itu, ia juga takut lubang jebakan tersebut akan diusut oleh Ren Yingying, sehingga ia pun buru-buru mengangkat tubuh Yue Buqun dan membawanya ke tempat Tetua Mo berdiri.

“Untuk apa mereka me… menangkap guruku?” tanya Linghu Chong.

“Kau masih memanggil ‘guru’ padanya?” sahut Ren Yingying.

“Sudah terbiasa,” jawab Linghu Chong. “Mengapa Ibu Guru bunuh diri? Mengapa … mengapa Ibu Guru bunuh diri?”

“Sudah tentu disebabkan si penjahat Yue Buqun itu,” kata Ren Yingying dengan gemas. “Apa gunanya mempunyai suami pengecut dan tidak tahu malu seperti dia? Karena tidak bisa membunuh suami sendiri, terpaksa ia memilih bunuh diri. Kita harus lekas membunuh Yue Buqun untuk membalaskan sakit hati ibu-gurumu.”

Namun, Linghu Chong menjadi ragu-ragu. “Kau berkata dia harus dibunuh? Bagaimanapun juga dia pernah menjadi guruku dan juga membesarkan diriku.”

“Meski dia pernah menjadi gurumu, pernah membesarkan dirimu pula, tapi sudah berapa kali dia bermaksud mencelakaimu? Antara budi dan dendam sudah seimbang dan saling menghapuskan. Sebaliknya, budi baik ibu-gurumu belum sempat kau balas. Coba pikir, apakah kematian ibu-gurumu ini bukan disebabkan karena perbuatannya?”

Linghu Chong menghela napas dan menjawab dengan pilu, “Budi baik Ibu Guru rasanya sukar untuk kubalas seumur hidup. Meskipun aku dan Yue Buqun tidak memiliki hubungan lagi, tapi bagaimanapun juga aku tetap tidak dapat membunuhnya.”

“Kau tidak perlu turun tangan sendiri,” ujar Ren Yingying. Mendadak ia berseru, “Bao Dachu!”

“Ya, Nona Besar!” sahut Bao Dachu. Segera ia melangkah maju bersama Tetua Mo dan yang lain.

“Apakah Ayah yang telah menugasi kalian kemari untuk menyelesaikan masalah ini?” tanya Ren Yingying.

“Benar,” sahut Bao Dachu penuh hormat. “Atas titah Ketua Ren, hamba bersama Tetua Ge, Tetua Du, dan Tetua Mo, serta sepuluh murid telah ditugasi untuk menangkap Yue Buqun dengan segala cara.”

“Di mana Tetua Ge dan Tetua Du?” tanya Ren Yingying.

“Tadi mereka pergi memancing kedatangan Yue Buqun dan sampai sekarang belum kembali. Jangan-jangan … jangan-jangan ….”

“Coba kau geledah badan Yue Buqun,” sahut Ren Yingying.

“Baik,” jawab Bao Dachu. Segera ia mulai menggeledah tubuh Yue Buqun. Hasilnya, dari balik baju orang itu ditemukan sehelai panji sutra kecil, yaitu panji kebesaran Serikat Pedang Lima Gunung. Selain itu, terdapat belasan tahil emas perak, dan dua potong medali tembaga.

Dengan suara gemas Bao Dachu lantas berkata, “Lapor kepada Nona Besar, Tetua Ge dan Tetua Du ternyata benar-benar dicelakai oleh keparat ini. Dalam bajunya hamba temukan dua medali milik kedua tetua kita itu.” Usai berkata ia lantas mengayunkan kakinya menendang pinggang Yue Buqun keras-keras.

“Jangan sakiti dia!” seru Linghu Chong.

“Baik,” jawab Bao Dachu penuh hormat.

“Ambil air dingin, siram dia agar siuman!” perintah Ren Yingying kemudian.

Tetua Mo lantas membuka kantong air yang tergantung di pinggangnya dan menyiramkan isinya ke muka Yue Buqun. Sejenak kemudian, Yue Buqun membuka matanya sambil bersuara kesakitan di bagian pinggang dan kepala.

Ren Yingying berkata, “Orang bermarga Yue, apakah kau telah membunuh kedua tetua kami?”

Bao Dachu tampak meembentur-benturkan kedua medali tembaga yang dipegangnya itu hingga mengeluarkan suara nyaring.

Menyadari dirinya berada di bawah cengkeraman musuh dan tidak bisa lolos dari kematian, Yue Buqun pun memaki dengan lantang, “Memang aku yang telah membunuh mereka. Semua anggota Sekte Iblis adalah penjahat. Setiap orang berhak membunuhnya.”

Bao Dachu merasa gusar dan bermaksud menendang lagi. Namun, begitu teringat larangan Linghu Chong tadi ia pun mengurungkan niatnya. Ia sadar hubungan Linghu Chong dengan Ketua Ren sangat baik, serta merupakan calon suami sang nona besar pula. Maka itu, ia tidak berani menentang kata-kata Linghu Chong sama sekali.

Ren Yingying tertawa dingin dan menjawab, “Kau anggap dirimu sebagai ketua golongan lurus bersih, akan tetapi perbuatanmu seratus kali lebih kotor dan lebih rendah daripada orang-orang Sekte Matahari dan Bulan. Secara tidak tahu malu kau berani memaki kami sebagai orang jahat. Istrimu sendiri merasa malu atas perbuatanmu, sehingga ia lebih suka bunuh diri daripada menjadi pasanganmu. Apakah kau masih punya muka untuk hidup terus di dunia ini, hah?”

“Siluman betina, berani kau sembarangan bicara. Jelas-jelas istriku dibunuh olehmu, tapi kau mengatakan ia bunuh diri,” damprat Yue Buqun.

“Coba dengarkan itu, Kakak Chong. Ucapannya sungguh tidak tahu malu,” kata Ren Yingying.

“Yingying, aku ingin memohon sesuatu padamu,” kata Linghu Chong.

“Aku tahu kau hendak memintaku agar melepaskan dia. Pepatah mengatakan, meringkus harimau lebih mudah daripada melepas harimau,” sahut Ren Yingying. “Orang ini berhati culas dan berjiwa keji, ilmu silatnya tinggi pula. Kelak kalau kau bertemu dia lagi, mungkin akan susah untuk membekuknya kembali.”

Linghu Chong menjawab, “Mulai hari ini hubunganku dengannya sebagai murid dan guru sudah putus. Semua ilmu pedangnya juga telah kupahami. Jika dia berani mencari perkara denganku, maka aku pun tidak akan segan-segan lagi kepadanya.”

Ren Yingying paham Linghu Chong pasti tidak mengizinkannya untuk membunuh Yue Buqun. Asalkan sekarang Linghu Chong benar-benar memutuskan segala hubungan dengan Yue Buqun, maka bila bertemu lagi juga tidak perlu gentar. Segera ia pun menjawab, “Baiklah, hari ini kita bisa mengampuni jiwanya. Nah, Tetua Bao dan Tetua Mo, selanjutnya kalian bisa sebarkan berita ini di kalangan persilatan bahwa Yue Buqun telah berhasil kita bekuk, lalu kita ampuni jiwanya. Sampaikan pula bahwa Yue Buqun telah rela membuat cacat dirinya sendiri demi untuk mempelajari Jurus Pedang Penakluk Iblis. Sekarang dia bukan seorang laki-laki, juga bukan seorang perempuan. Sebarkan berita ini supaya diketahui oleh para kesatria di seluruh jagat.”

Serentak Bao Dachu dan Tetua Mo mengiakan dan menyanggupi perintah tersebut. Raut muka Yue Buqun tampak pucat pasi, kedua matanya berkedip-kedip memancarkan sinar kemarahan penuh dengan rasa benci dan dendam. Namun demikian, ada pula sedikit rasa gembira di hatinya karena yakin nyawanya telah lolos dari maut.

Ren Yingying berkata, “Hm, kau benci padaku, memangnya aku takut padamu?” Sambil berkata demikian ia mengayunkan pedangnya untuk memotong tambang pengikat tubuh Yue Buqun. Didekatinya tawanan itu dan dibukanya sebuah totokan di bagian punggung. Lalu tangan kanannya menahan mulut ketua Perguruan Lima Gunung tersebut, sementara tangan kiri menepuk perlahan di belakang kepalanya. Tanpa kuasa Yue Buqun membuka mulut dan tahu-tahu Ren Yingying telah memasukkan semacam pil ke dalam mulutnya.

Selama melakukan perbuatan tersebut, Ren Yingying selalu membelakangi Linghu Chong sehingga Linghu Chong tidak bisa melihat dengan jelas bahwa gadis itu telah memasukkan pil ke dalam mulut gurunya. Yang dilihatnya hanyalah tambang pengikat tubuh sang guru telah dibuka dan itu membuat hatinya senang.

Ren Yingying lantas memencet hidung Yue Buqun hingga sulit bernapas. Terpaksa Yue Buqun harus membuka mulut untuk menghirup udara. Tanpa ampun Ren Yingying lantas mengerahkan tenaga dalam untuk mendorong pil di dalam mulut Yue Buqun itu sehingga masuk ke dalam perut bersama aliran napas.

Yue Buqun gemetar membayangkan pil yang telah masuk ke dalam perutnya itu adalah Pil Pembusuk Otak, obat ajaib yang sangat keji milik Sekte Iblis. Ia pernah mendengar barangsiapa menelan pil tersebut maka setiap tahun pada perayaan hari raya perahu naga ia harus memakan obat penawarnya yang terdapat di Tebing Kayu Hitam. Karena jika tidak, maka kuman dalam pil tersebut akan bekerja dan menggerogoti otak orang itu. Tentu akibatnya sungguh mengerikan. Orang itu akan menjadi gila dan menyiksa diri sendiri. Meski orang itu sangat cerdas dan sabar dalam menghadapi setiap masalah, namun tidak mungkin ia sanggup bertahan menghapi serangan kuman Pil Pembusuk Otak. Jika otaknya sudah mulai digerogoti oleh kuman-kuman itu, maka hal pertama yang ia lakukan pasti mencakari wajah sendiri. Membayangkan itu semua membuat Yue Buqun yang biasanya licin dan tenang, tiba-tiba berubah gemetar dan tubuhnya basah kuyup oleh keringat dingin.

Ren Yingying lantas berpaling kepada Linghu Chong dan berkata, “Kakak Chong, totokan Tetua Bao tadi agak berat, tapi kini sudah kubuka semuanya. Hanya saja, ada dua titik yang butuh beberapa saat lagi baru benar-benar bisa terbuka. Setelah itu baru dia dapat berjalan kembali.”

“Terima kasih banyak padamu,” sahut Linghu Chong.

Dalam hati Ren Yingying merasa geli karena pemuda itu tidak tahu apa yang telah diperbuatnya terhadap Yue Buqun tadi. Namun bagaimanapun juga itu semua adalah demi kebaikan dan keselamatan sang kekasih hati. Selang sejenak, Ren Yingying yakin pil tadi telah dicerna dalam perut Yue Buqun dan tidak mungkin dimuntahkan keluar. Saat itu barulah ia melancarkan kembali dua titik nadi Yue Buqun yang tertotok sambil berbisik, “Setiap tahun pada Hari Raya Perahu Naga kau bisa datang ke Tebing Kayu Hitam. Di sana aku akan memberikan obat penawarnya padamu.”

Bisikan itu membuat Yue Buqun semakin yakin bahwa obat yang ditelannya tadi memang benar-benar Pil Pembusuk Otak. Tanpa kuasa badannya menjadi gemetar. “Jadi pil tadi adalah … adalah ….” ujarnya gugup.

“Benar, dan kau harus diberi selamat,” kata Ren Yingying. “Obat mujarab kami itu tidak mudah dibuat. Dalam agama kami hanya tokoh-tokoh utama yang berkedudukan tinggi dan berkepandaian tinggi saja yang memenuhi syarat untuk menelan obat dewa itu. Betul tidak, Tetua Bao?”

“Betul sekali,” sahut Bao Dachu. “Atas kemurahan hati Ketua Ren, maka hamba berkesempatan menelan obat dewa tersebut. Oleh sebab itu, selamanya hamba sangat setia dan tunduk kepada Ketua Ren. Bahkan sejak itu, Ketua Ren juga semakin menaruh kepercayaan penuh kepada hamba. Sungguh tiada terkatakan manfaat obat dewa tersebut.”

Linghu Chong terkejut dan berkata, “Hei, kau memberikan pil ….”

“Ah, mungkin karena dia terlalu lapar sehingga memakan barang apa pun yang dilihatnya,” kata Ren Yingying dengan tersenyum. “Nah, Yue Buqun, selanjutnya kau harus berusaha membela dan mendukung kepentingan Kakak Chong dan aku. Hal ini tentu akan bermanfaat untukmu.”

Sungguh tak terlukiskan bagaimana rasa benci Yue Buqun. Ia berpikir, “Jika siluman betina ini kebetulan mengalami celaka atau dibunuh orang, maka yang akan ikut mati konyol tentulah diriku sendiri. Bahkan, kalau dia hanya terluka parah sehingga tidak dapat pulang ke Tebing Kayu Hitam pada Hari Raya Perahu Naga juga sudah cukup menyusahkan diriku. Kalau sudah demikian, ke mana lagi aku harus mencarinya?” Membayangkan hal ini membuat hatinya khawatir dan badan kembali gemetar.

Sementara itu, Linghu Chong menghela napas dan merenung, “Pada dasarnya Yingying berasal dari golongan hitam sehingga tingkah lakunya pun agak-agak aneh pula. Tapi apa yang diperbuatnya itu sesungguhnya demi kebaikanku juga. Aku tidak mungkin menyalahkan dia.”

“Tetua Bao,” ujar Ren Yingying kemudian. “Kau pulanglah lebih dulu ke Tebing Kayu Hitam dan melapor kepada Ketua. Katakan bahwa ketua Perguruan Lima Gunung yang terhormat, Yue Buqun alias Tuan Yue si Pedang Budiman, kini telah masuk agama kita dengan sukarela dan setulus hati. Obat dewa milik Ketua juga sudah ditelannya, sehingga dia tidak mungkin berkhianat lagi.”

Sebenarnya Bao Dachu sedang bingung karena ia ditugasi Sang Ketua untuk menangkap Yue Buqun entah bagaimana caranya. Sementara itu, di lain pihak ia juga takut kepada Linghu Chong yang meminta agar Yue Buqun dibebaskan. Kini begitu mengetahui Yue Buqun telah menelan Pil Pembusuk Otak, tentu saja hatinya sangat senang dan menganggap Ren Yingying telah memberikan jalan keluar terbaik. Maka, mulutnya langsung mengeluarkan sanjung puji kepada sang tuan putri, “Nona Besar telah memenangkan pertempuran dengan bijaksana. Segala urusan menjadi lancar. Ketua Ren pasti sangat bahagia mendengarnya. Hidup Ketua! Hidup Nona Besar! Semoga Ketua panjang umur, merajai dunia persilatan, melindungi rakyat jelata!”

Ren Yingying berkata, “Karena Tuan Yue sudah masuk menjadi anggota agama kita, maka mengenai hal-hal yang merugikan nama baiknya tidak perlu lagi kalian siarkan di dunia persilatan. Mengenai pil dewa yang sudah ditelannya juga jangan sampai kalian bocorkan. Orang ini mempunyai kedudukan sangat tinggi di dunia persilatan, cerdas dan tangkas pula dalam segala hal. Kelak Ketua tentu akan sangat memerlukan tenaganya.”

“Kami siap melaksanakan perintah Nona Besar,” jawab Bao Dachu dan yang lain serentak.

Melihat keadaan Yue Buqun yang runyam itu, Linghu Chong ikut merasa sedih. Meskipun Yue Buqun hendak membunuhnya serta sering bersikap keji pula kepadanya, namun ia selalu terkenang kepada budi baik pasangan suami-istri Yue yang telah membesarkan dirinya lebih dari dua puluh tahun lamanya. Bagaimanapun juga Linghu Chong selalu menghormati Yue Buqun sebagai seorang ayah. Sebenarnya ia bermaksud mengutarakan kata-kata yang dapat menghibur Yue Buqun, tapi tenggorokan serasa terkunci dan sukar berbicara pula.

“Tetua Bao,” kata Ren Yingying, “bila kalian pulang ke Tebing Kayu Hitam, sampaikanlah hormat baktiku kepada Ayah dan juga kepada Paman Xiang. Tolong sampaikan kepada Beliau berdua, bahwa aku sedang menunggu dia … menunggu … menunggu luka Tuan Muda Linghu sembuh dahulu, barulah aku pulang ke sana.”

Terhadap gadis lain, tentu Bao Dachu akan menjawab dengan kata-kata sanjung puji, “Hamba berharap Tuan Muda Linghu bisa lekas sembuh dan berkunjung ke Tebing Kayu Hitam bersama Nona Besar. Kami juga berharap bisa secepatnya mengangkat secawan arak untuk bersulang memberi selamat kepada Tuan Muda dan Nona Besar dalam hari yang bahagia.” Namun, terhadap Ren Yingying sama sekali ia tidak berani berkata muluk-muluk seperti itu. Bahkan, memandang wajah sang nona besar saja Bao Dachu tidak berani. Ia hanya menjawab, “Baik,” sambil membungkuk memberi hormat dengan sikap sungguh-sungguh.

Bao Dachu paham benar bahwa tuan putrinya itu sangat pemalu. Ren Yingying memang khawatir orang-orang menertawai dirinya telah jatuh cinta kepada Linghu Chong, bahkan banyak di antara mereka yang menjadi korban perasaannya. Ada yang membutakan mata sendiri, ada pula yang dibuang ke pulau terpencil hanya karena memergoki dirinya berjalan bersama Linghu Chong beberapa waktu yang lalu. Membayangkan peristiwa itu Bao Dachu tidak berani menunda lebih lama lagi. Segera ia mohon diri dan berangkat meninggalkan lembah itu bersama kawan-kawannya. Sikap hormatnya terhadap Linghu Chong bahkan melebihi hormatnya kepada Ren Yingying. Ia sadar jika dirinya semakin hormat kepada Linghu Chong tentu akan semakin menyenangkan hati Ren Yingying. Sebagai tokoh berpengalaman di dunia persilatan, sudah tentu Bao Dachu dapat menyelami perasaan anak gadis pada umumnya.

Sepeninggal mereka, Ren Yingying lantas berkata kepada Yue Buqun, “Tuan Yue, kau juga boleh pergi. Mengenai jenazah istrimu apakah akan kau bawa pulang ke Gunung Huashan untuk dimakamkan di sana?”

Yue Buqun menggeleng dan berkata, “Aku pasrah kepada kalian berdua. Istriku silakan dikubur di sini saja.” Usai berkata demikian, tanpa memandang sedikit pun kepada Linghu Chong maupun Ren Yingying, segera ia melangkah pergi dengan cepat. Dalam sekejap saja tubuhnya sudah menghilang di balik semak-semak pepohonan.

Menjelang senja, Linghu Chong dan Ren Yingying telah selesai memakamkan jenazah Ning Zhongze di samping kuburan Yue Lingshan. Karena hatinya merasa berduka, kembali Linghu Chong menangis sedih.

Esok paginya Ren Yingying bertanya kepada Linghu Chong, “Kakak Chong, bagaimana keadaaan lukamu yang baru?”

“Kali ini tidak terlalu parah, kau tidak perlu khawatir,” jawab pemuda itu.

“Bagus kalau begitu. Tempat kita ini sudah diketahui orang, kurasa dua-tiga hari lagi kita harus pindah ke tempat lain,” ujar Ren Yingying.

“Benar juga,” kata Linghu Chong. “Adik Kecil sudah ditemani ibunya, tentu dia tidak akan kesepian lagi.” Berkata demikian membuat hatinya kembali pilu. Ia lantas mengalihkan pembicaraaan, “Guru selalu mengutamakan kebajikan dan kejujuran sepanjang hidupnya. Namun, kini sifatnya telah banyak berubah gara-gara mempelajari jurus pedang iblis itu.”

Ren Yingying mengangguk dan menjawab, “Kurasa ucapanmu itu tidak sepenuhnya benar. Sebelum mempelajari jurus pedang itu sifat gurumu juga sudah berubah. Dia mengirim Lao Denuo dan adik kecilmu ke Fuzhou dengan menyamar sebagai penjual arak untuk mengintai Keluarga Lin. Apakah menurutmu itu bukan tindakan licik? Sebenarnya waktu itu gurumu sudah merencanakan tipu muslihat untuk merebut Kitab Pedang Penakluk Iblis.”

Linghu Chong terdiam. Ia memang pernah berpikir tentang ini namun tidak berani menyelaminya lebih dalam.

Terdengar Ren Yingying melanjutkan, “Sebenarnya ilmu pedang Keluarga Lin itu tidak pantas disebut Jurus Pedang Penakluk Iblis. Menurutku sebaiknya diberi nama Jurus Pedang Iblis saja. Kalau kitab pedang ini tetap beredar di dunia persilatan, sudah pasti akan selalu timbul malapetaka yang tiada habis-habisnya. Yue Buqun masih hidup, Lin Pingzhi sudah menghafal seluruh isinya pula. Hanya saja, aku yakin dia takkan membacakan semuanya kepada Zuo Lengchan dan Lao Denuo. Bocah bermarga Lin itu tidak bodoh, mana mungkin dia mau memberikan kitab berharga itu kepada orang lain?”

Linghu Chong menjawab, “Zuo Lengchan dan Lin Pingzhi memang sama-sama buta, tapi Lao Denuo tidak. Dalam hal ini tentu dia yang akan mendapat keuntungan. Ketiganya adalah manusia-manusia licik dan keji. Kini mereka berkumpul menjadi satu, tentu akan terjadi saling jegal dan tipu-menipu di antara mereka. Entah bagaimana jadinya, dua lawan satu mungkin Lin Pingzhi yang akan tersisihkan.”

“Apakah kau benar-benar hendak melindungi Lin Pingzhi?” tanya Ren Yingying.

Linghu Chong menjawab sambil memandang makam Yue Lingshan, “Aku tidak seharusnya menyanggupi permintaan Adik Kecil untuk melindungi Lin Pingzhi. Orang ini lebih keji daripada binatang. Sudah sepantasnya ia kucabik-cabik hingga hancur luluh. Huh, mana mungkin aku akan membantu dia? Hanya saja, aku sudah terlanjur berjanji kepada Adik Kecil. Bila aku sampai mengingkarinya, tentu ia tidak akan tenteram di alam sana.”

“Ketika masih hidup ia tidak tahu siapa yang benar-benar baik kepadanya. Kini di alam sana seharusnya ia tahu,” kata Ren Yingying. “Oleh karena itu, ia pasti tidak menginginkan kau melindungi Lin Pingzhi lagi.”

“Sukar dipastikan,” ujar Linghu Chong. “Cinta Adik Kecil terhadap Lin Pingzhi sudah terlalu mendalam. Sekalipun ia sendiri sadar dibunuh oleh suaminya itu, namun tetap saja ia tidak tega membiarkan Lin Pingzhi hidup merana dalam keadaan buta.”

Diam-diam Ren Yingying merenung, “Ucapanmu tidak salah. Seandainya hal ini terjadi padaku, aku juga tidak peduli bagaimana sikapmu terhadap diriku. Aku akan tetap mencintaimu dengan segenap jiwa dan ragaku.”

Begitulah, keduanya lantas kembali tinggal di lembah sunyi tersebut. Sepuluh hari kemudian luka baru di pinggang Linghu Chong sudah jauh lebih baik. Ia memutuskan kembali ke Perguruan Henshan untuk menyerahkan jabatan ketua kepada murid yang dianggapnya paling layak. Setelah itu, ia ingin mengajak Ren Yingying berkelana mencari tempat yang sunyi, bebas dari dunia persilatan.

Ren Yingying menanggapi, “Bagaimana dengan tanggung jawabmu terhadap wasiat Nona Yue? Bukankah kau harus melindungi Lin Pingzhi?”

Linghu Chong menggaruk-garuk kepala dan menjawab, “Sebaiknya jangan kau bicarakan lagi. Masalah ini benar-benar membuatku pusing. Aku akan melaksanakan wasiat ini sesuai keadaaan saja.”

Ren Yingying tersenyum dan tidak berkata lagi. Keduanya lantas memberi hormat di depan makam Ning Zhongze dan Yue Lingshan, lalu berangkat meninggalkan lembah sunyi permai yang penuh kenangan tersebut.

Setelah berjalan selama setengah hari barulah mereka memasuki sebuah kota kecil. Di sana mereka beristirahat di dalam sebuah kedai makan dan memesan dua mangkuk bakmi. Sambil menyumpit makanannya Linghu Chong berkata, “Sampai sekarang kita belum menyembah Langit dan Bumi menjadi pengantin ....”

Muka Ren Yingying bersemu merah dan lekas-lekas memotong, “Huh, siapa pula yang akan menikah denganmu?”

“Kita berdua yang akan menikah kelak,” sahut Linghu Chong tersenyum. “Jika kau menolak maka aku akan memaksamu menikah denganku.”

Ren Yingying tampak ingin tersenyum tapi berusaha keras menahan bibirnya lalu berkata, “Selama di dalam lembah kau selalu bersikap alim. Begitu keluar, kau kembali liar dan suka sembarangan bicara lagi.”

Linghu Chong masih saja tersenyum dan berkata, “Kita harus memikirkan masak-masak rencana masa depan yang mahapenting ini. Pada saat di dalam lembah kemarin, aku tiba-tiba berpikir, kelak setelah menikah kita akan memiliki banyak anak.”

Ren Yingying langsung berdiri dengan wajah cemberut. “Jika kau masih saja bicara yang tidak perlu, aku tidak mau ikut ke Henshan lagi.”

“Baiklah, baiklah,” sahut Linghu Chong sambil tertawa. Namun tetap saja ia melanjutkan, “Lembah tempat kita tinggal kemarin banyak ditumbuhi pohon persik. Jika kita tetap berada di sana dan memiliki enam orang anak, maka mereka akan disebut sebagai Enam Dewa Lembah Persik Cilik.”

“Apa maksudmu?” sahut Ren Yingying sambil kembali duduk. Meskipun mulutnya berkata pedas, namun dalam hati merasa begitu bahagia. Matanya tampak berbinar-binar. Begitu ia beradu pandang dengan Linghu Chong, seketika hatinya merasa malu dan lekas-lekas wajahnya menunduk sambil menelan bakmi di dalam mulutnya.

Linghu Chong berkata, “Dalam perjalanan menuju ke Gunung Henshan nanti bisa jadi kita akan berjumpa kawan atau kenalan. Mungkin mereka mengira kita sudah menikah dan aku takut kau tidak senang atas kesalahpahaman ini.”

Ren Yingying segera menjawab, “Kau benar. Sebaiknya kita kembali menyamar sebagai dua petani, tentu tidak akan ada yang mengenali.”

“Tapi wajahmu terlalu cantik. Meski menyamar sebagai apa saja juga tetap menarik perhatian orang membuat bumi berguncang,” ujar Linghu Chong. “Jika kita berjalan bersama tentu orang-orang berkata, ‘Lihat, ada seorang gadis yang sangat cantik berjalan bersama pemuda tolol. Benar-benar seperti bunga mawar tumbuh di atas kotoran kerbau.’ Namun setelah diperhatikan dengan seksama, ternyata si bunga mawar adalah Gadis Suci Sekte Matahari dan Bulan, sementara si pemuda tolol yang seperti kotoran kerbau ini adalah Linghu Chong, pangeran gagah pujaan hatinya.”

“Kau ini memang suka asal bicara, “sahut Ren Yingying sambil menahan senyum.

Linghu Chong kembali berkata, “Aku akan menyamar sebagai orang biasa yang tidak menarik perhatian murid-murid Henshan. Aku harus bisa melihat keadaan perguruan dari dekat secara langsung. Apabila keadaan aman dan tenteram, aku akan menyerahkan jabatan ketua kepada salah seorang murid. Setelah itu kita bisa bertemu di suatu tempat rahasia dan  pergi bersama. Urusan ini hanya kita yang tahu. Boleh dikata, dewa tidak melihat, hantu tidak mendengar.”

Ren Yingying paham Linghu Chong berusaha mencari cara demi menyesuaikan keadaan dengan sifatnya yang pemalu itu. Sungguh ia merasa sangat senang dan segera menjawab, “Baiklah. Karena yang akan kita datangi adalah Perguruan Henshan, maka sebaiknya kau mencukur botak kepalamu dan menyamar sebagai biksuni. Dengan cara ini dijamin tidak seorang pun yang akan curiga. Sini, biar kudandani kau menjadi seorang biksuni yang cantik.”

Linghu Chong tertawa dan menggoyang-goyangkan tangannya. Ia berkata, “Jangan, jangan! Setiap kali melihat biksuni, aku akan selalu kalah berjudi. Bila aku menyamar sebagai biksuni tentu akan sial selamanya, aku tidak mau.”

Ren Yingying tertawa pula dan menjawab, “Seorang laki-laki sejati tidak kaku dan pandai menyesuaikan diri. Kenapa kau terlalu banyak percaya takhayul? Sini, biar aku yang mencukur botak kepalamu.”

Linghu Chong berkata, “Kalau hanya untuk menghindari perhatian orang rasanya tidak perlu menyamar biksuni. Tentu saja aku akan ke Gunung Henshan dalam pakaian wanita. Wajahku bisa disamarkan, tapi bagaimana dengan suaraku? Sekali saja aku membuka suara pasti akan ketahuan. Maka itu, yang paling baik aku harus menyamar sebagai seorang bisu tuli. Apakah kau masih ingat kepada wanita tua yang tinggal di Kuil Gantung, di Gunung Cui Ping, belakang puncak utama Henshan itu?”

Ren Yingying bertepuk tangan dan menjawab, “Bagus sekali, bagus sekali. Memang di Kuil Gantung itu ada seorang babu tua yang bisu juga tuli. Kita dulu pernah bertempur sengit di sana melawan Jia Bu dan pasukannya, tapi perempuan tua itu sedikit pun tidak mendengar. Ketika kita bertanya padanya, dia hanya ternganga saja tak bisa menjawab. Apakah kau ingin menyamar sebagai dia?”

“Benar,” sahut Linghu Chong.

“Baiklah, mari kita pergi membeli pakaian dan setelah itu kau akan segera kudandani,” kata Ren Yingying.

Dengan membayar dua tahil perak Ren Yingying berhasil mendapatkan seikat rambut panjang milik seorang penduduk di situ. Ditatanya dengan baik rambut itu kemudian dipasangnya di atas kepala Linghu Chong sebagai sanggul. Ia kemudian membantu pemuda itu memakai pakaian petani perempuan. Kini Linghu Chong sudah berubah seperti seorang wanita. Kemudian Ren Yingying menambahkan bedak kekuning-kuningan pada wajahnya, di sana-sini ditambah pula dengan tujuh titik tahi lalat palsu. Kemudian pada kulit muka sebelah kanan ditarik ke bawah dan ditempeli sepotong koyo sehingga alis kanan Linghu Chong ikut tertarik menyerong ke bawah, mulutnya juga menjadi agak peot. Sewaktu bercermin, Linghu Chong sampai-sampai tidak mengenal dirinya sendiri.

“Nah, sekarang kau sudah benar-benar mirip dengan dia. Hanya tingkah lakumu yang masih perlu dilatih,” ujar Ren Yingying. “Kau harus berlagak bodoh, berlagak tolol, seperti orang linglung. Yang paling penting, apabila ada orang tiba-tiba menggertak di belakangmu, jangan sekali-kali kau melonjak terkejut supaya rahasia penyamaranmu tidak terbongkar.”

“Berlagak tolol adalah hal yang paling mudah, pura-pura bodoh adalah keahlianku,” ujar Linghu Chong dengan tertawa.

Di sepanjang jalan Linghu Chong tetap menyamar menjadi babu tua yang bisu dan tuli sekaligus sebagai latihan agar nanti di Gunung Henshan penyamarannya tidak mudah terbongkar. Ia dan Ren Yingying tidak bermalam di penginapan, tapi mencari kuil rusak untuk beristirahat. Terkadang Ren Yingying sengaja menggertak di belakang Linghu Chong, namun pemuda itu ternyata tidak terkejut dan pura-pura tidak mendengar.

Ning Zhongze memeriksa luka Linghu Chong.

Ning Zhongze bunuh diri.

Ren Yingying mengerjai Yue Buqun.

Dua makam berdampingan.

(Bersambung)