Bagian 25 - Gambar Rahasia dalam Gua

Linghu Chong diserang laki-laki kurus bercadar.

Laki-laki bercadar itu tidak menjawab, melainkan mengayunkan tangan kanannya ke depan untuk menyerang Linghu Chong. Sungguh terkejut perasaan Linghu Chong begitu menyadari gerakan tangan pria bercadar itu merupakan gerakan jurus Pedang Gadis Kumala. Pemuda itu pun bertanya, “Apakah Anda sesepuh perguruan kami?”

Belum selesai bicara, tahu-tahu Linghu Chong merasakan adanya angin berhembus ke arahnya disertai rasa sakit di bagian pundak. Rupanya tangan si pria bercadar telah mengenai bahunya. Pemuda itu merasakan serangan tangan si pria bercadar sungguh dahsyat padahal sepertinya tidak disertai tenaga dalam sama sekali.
Dengan menahan rasa nyeri sekaligus takut, Linghu Chong melompat ke kiri untuk menghindari serangan si pria bercadar. Namun pria itu ternyata tidak mengejarnya. Di bawah sinar rembulan Linghu Chong dapat melihat pria itu memperagakan belasan jurus Pedang Gadis Kumala. Gerakannya cepat sekali. Jurus demi jurus ia peragakan tanpa jeda tanpa henti menjadi satu gerakan berkesinambungan.

Linghu Chong terperanjat dengan mulut menganga karena kagum. Semua gerakan yang dimainkan pria bercadar itu jelas-jelas adalah jurus Pedang Gadis Kumala yang tadi siang dimainkan Yue Lingshan. Namun yang mengherankan adalah pria itu mampu memainkannya dengan sangat cepat menjadi satu rangkaian utuh yang indah tapi mematikan.

Usai memainkan jurus-jurus tersebut, si pria bercadar lantas melangkah pergi sambil mengibaskan lengan bajunya dan kemudian menghilang di balik bukit.

Linghu Chong baru sadar dari keterkejutannya dan buru-buru ia berteriak, “Tuan Sesepuh! Tuan Sesepuh!” Didorong rasa penasaran ia pun mengejar pria bercadar itu. Namun di balik bukit ia tidak menemukan siapa-siapa, hanya cahaya rembulan menyinari bebatuan.

“Siapa dia sebenarnya?” tanya Linghu Chong dalam hati. “Dia begitu mahir memainkan Sembilan Belas Jurus Pedang Gadis Kumala. Aku sama sekali tidak punya kesempatan untuk menghadapi serangannya. Andai saja ia menggunakan pedang asli, mungkin lenganku sudah putus dibuntungi olehnya. Tidak, rasanya tidak hanya lenganku saja. Kalau ia mau, ia bisa memotong-motong tubuhku dari berbagai arah hanya dengan enam jurus saja.” Merenung sejenak, Linghu Chong kemudian berpikir kembali, “Namun anehnya, gerakan pedangnya sungguh kuat meskipun tidak disertai tenaga dalam. Dengan cara seperti itu justru membuatku tidak bisa melindungi diri dari setiap serangannya. Oh, siapa sebenarnya orang itu? Mengapa ia berada di puncak Gunung Huashan ini?”

Berbagai macam pertanyaan muncul di benak Linghu Chong, namun tidak satu pun yang bisa ia temukan jawabannya. Akhirnya ia pun memutuskan, “Ah, nanti saja aku tanyakan kalau bertemu Guru atau Ibu Guru. Pasti Beliau berdua mengenal orang itu. Kalau saja besok Adik Kecil datang kemari untuk mengantar makanan, aku akan menitipkan pertanyaan ini kepada Beliau Berdua.”

Hari berikutnya, Linghu Chong tidak melihat Yue Lingshan datang. Seperti hari-hari sebelumnya, yang datang mengantar makanan adalah Lu Dayou. Hari-hari selanjutnya pun demikian. Pikiran Linghu Chong kusut membayangkan betapa sedih dan marah perasaan Yue Lingshan karena kehilangan pedang kesayangannya. Ia sudah menyusun berbagai macam kalimat untuk meminta maaf namun sang adik kecil tidak juga kunjung datang menemuinya.

Lebih dari delapan belas hari sejak terakhir bertemu barulah Yue Lingshan datang ke Puncak Gadis Kumala mengantarkan makanan untuk Linghu Chong. Akan tetapi, ia tidak berangkat sendiri, melainkan ditemani Lu Dayou. Tentu saja kalimat-kalimat yang dipersiapkan Linghu Chong musnah begitu saja karena tidak dapat ia sampaikan di depan orang ketiga.

Lu Dayou menyadari perasaan kakak pertamanya. Maka, sesudah Linghu Chong menghabiskan makanannya, ia pun berkata, “Kakak Pertama, Adik Kecil, sudah lama kalian tidak bertemu. Biarlah kalian mengobrol berdua, aku akan pulang lebih dulu.”

“Tidak bisa,” sahut Yue Lingshan sambil bangkit dari duduknya. “Monyet Keenam, kita datang bersama, pulang juga harus bersama.”

“Adik Kecil,” sapa Linghu Chong. “Aku memang ingin bicara denganmu.”

“Boleh saja,” jawab Yue Lingshan. “Monyet Keenam biar berdiri di sana dan ikut mendengar nasihatmu.”

Linghu Chong berkata, “Tidak, ini bukan nasihat, hanya soal... soal Pedang Kolam Hijau milikmu itu....”

Yue Lingshan menukas, “Masalah itu sudah kubicarakan dengan Ibu. Kukatakan kalau pedang itu tidak sengaja jatuh ke dalam jurang sewaktu aku berlatih ilmu Pedang Gadis Kumala. Ibu tidak marah, malah berjanji akan memberikan pedang baru yang lebih bagus untukku. Sudahlah, Kakak Pertama, kejadian yang sudah berlalu tidak perlu dibicarakan lagi.” Sambil berkata demikian, gadis itu pun tersenyum simpul.

Yue Lingshan dan Lu Dayou mengantarkan makanan untuk Linghu Chong.

Melihat betapa ringan jawaban si adik kecil, Linghu Chong semakin merasa tidak enak. Ia pun menyahut, “Kelak jika aku sudah bebas dari hukuman, akan kucarikan sebilah pedang bagus untukmu.”

“Kita ini sesama saudara seperguruan, kenapa harus begitu segan?” sahut Yue Lingshan sambil tersenyum. “Pedang itu jatuh karena aku kurang berhati-hati. Salahku sendiri yang tidak bisa memegangnya dengan baik, sehingga bisa terlepas dari genggaman. Tidak perlu aku menyalahkan orang lain. Biarlah kita menerima nasib kita masing-masing, seperti yang sering dikatakan Lin Kecil padaku.”

Linghu Chong tersenyum getir begitu mendengar nama Lin Kecil disebut lagi. Namun segera terpikir dalam benaknya, “Oh, aku ini sungguh picik! Hari itu aku mencoba kepandaian Adik Kecil memainkan beberapa jurus Pedang Gadis Kumala. Aku menggunakan ilmu pedang Perguruan Qingcheng untuk menghadapinya. Mengapa aku harus memilih ilmu pedang perguruan ini? Jangan-jangan semua itu timbul karena keinginanku merendahkan ilmu Pedang Penakluk Iblis karena keluarga Adik Lin binasa di tangan Perguruan Qingcheng.”

Linghu Chong masih termenung. Ia kembali berpikir, “Saat kejadian di rumah pelacuran, hampir saja aku mati terkena tapak maut Yu Canghai. Gara-gara Adik Lin berteriak mengejek, Yu Canghai pun membatalkan serangannya sehingga nyawaku tertolong. Bisa dikatakan, sebenarnya aku ini berhutang budi kepada Adik Lin. Tapi, mengapa sekarang justru aku ingin merendahkan dia di hadapan Adik Kecil?”

Linghu Chong menghela napas panjang kemudian berkata, “Adik Lin sangat cerdas, juga giat berlatih. Berkat petunjuk dari Adik Kecil ia memperoleh kemajuan pesat hanya dalam beberapa bulan. Sayang sekali aku harus berada di sini selama setahun. Kelak jika aku sudah bebas dari hukuman, tentu aku akan mendampingi Adik Lin berlatih demi membalas pertolongannya malam itu.”

Yue Lingshan terkejut mendengarnya. Gadis itu bertanya, “Apa? Kau pernah berhutang budi kepada Adik Lin? Kapan? Di mana kejadiannya? Mengapa aku tidak pernah mendengar hal ini?”

Linghu Chong menjawab, “Sudah tentu ia tidak mungkin mau menceritakan kehebatan sendiri di depan orang lain.”

Yue Lingshan menyahut, “Pantas saja Ayah suka memuji Lin Kecil memiliki jiwa kesatria dan gagah berani. Dia nekad mengambil risiko untuk menyelamatkan kedua orang tuanya dari tangan Si Bungkuk dari Utara. Ternyata dia pernah menyelamatkan nyawamu tanpa mau mengumbar suara.” Gadis itu diam sejenak kemudian tertawa dan berkata, “Andai saja berita ini tersiar sungguh sangat lucu. Seorang pendekar muda telah menyelamatkan kehormatan putri ketua Perguruan Huashan dari gangguan putra ketua Perguruan Qingcheng, serta menolong nyawa murid nomor satu Huashan. Sudah pasti berita ini akan membuatnya menjadi sangat terkenal di dunia persilatan. Hahaha, tapi siapa sangka, Pendekar Besar Lin Pingzhi ternyata memiliki ilmu silat yang sangat buruk.”

“Soal kepandaian bisa dilatih. Tapi jiwa kesatria adalah sifat bawaan. Di sinilah letak perbedaan antara orang baik dan orang jahat,” ujar Linghu Chong.

“Ayah dan Ibu juga berpendapat demikian,” kata Yue Lingshan, “Kakak Pertama, sepertinya antara dirimu dan Lin Kecil ada persamaan sifat.”

“Sifat yang mana?” Linghu Chong bertanya.

“Sifat angkuh. Kalian berdua sama-sama angkuh dan mementingkan harga diri,” kata gadis itu sambil tertawa.

Lu Dayou yang dari tadi diam mendadak ikut bicara, “Kakak Pertama adalah pemimpin murid-murid Huashan. Sudah sepantasnya kalau dia bersikap angkuh. Tapi, si bocah bermarga Lin itu siapa? Berdasarkan apa ia boleh main angkuh-angkuhan segala?”

Mendengar nada bicara Lu Dayou yang sepertinya kurang suka itu, Linghu Chong bertanya, “Hei, Monyet Keenam… Apa Adik Lin pernah berbuat salah kepadamu?”

“Dia tidak pernah bersalah apa-apa kepadaku. Hanya saja, kami tidak suka melihat kelakuan bocah itu,” jawab Lu Dayou dengan nada marah.

Yue Lingshan terkejut dan berseru, “Hei, kenapa kau ini? Kenapa kau selalu memusuhi Lin Kecil? Dia itu adik seperguruanmu. Sebagai kakak seharusnya kau mengajari, bukan memusuhi.”

“Asalkan dia berkelakuan baik, tidak menjadi soal. Tapi kalau tidak, maka orang bermarga Lu inilah yang pertama-tama membuat perhitungan dengannya,” ujar Lu Dayou dengan nada mengejek.

“Memangnya dia melakukan apa?” tanja Yue Lingshan.

“Dia... dia....” sahut Lu Dayou namun tidak dilanjutkannya.

“Sebenarnya ada masalah apa? Mengapa kau enggan menjelaskannya?” desak Yue Lingshan.

“Sudahlah, mudah-mudahan aku hanya salah paham,” jawab Lu Dayou.

Tiba-tiba wajah Yue Lingshan bersemu merah dan berhenti bertanya. Lu Dayou sendiri berkata ingin pulang, dan gadis itu pun segera ikut bersama.

Linghu Chong berdiri di atas tebing sambil termangu-mangu menyaksikan kepergian dua adik seperguruannya itu sampai bayangan mereka menghilang di balik bebatuan bukit. Kemudian dari kejauhan sayup-sayup terdengar suara merdu Yue Lingshan menyanyikan sebuah lagu yang terdengar asing baginya.

Sejak kecil, Linghu Chong sudah sering mendengar Yue Lingshan menyanyi. Namun kali ini lagu yang dinyanyikan gadis itu terdengar begitu aneh. Biasanya Yue Lingshan sangat gemar menyanyikan lagu daerah Shanxi yang bernada panjang. Namun lagu yang terdengar sekarang bernada pendek dan sangat jelas pelafalannya seperti suara air terjun. Linghu Chong berusaha mempertajam pendengarannya. Sayup-sayup ia dapat menangkap lirik lagu tersebut yang antara lain berbunyi, “Adik, mari pergi ke puncak bukit memetik teh.” Uniknya, logat bahasa yang digunakan pada lagu ini sangat aneh dan sulit diterjemahkan. Linghu Chong pun bertanya dalam hati, “Dari mana Adik Kecil memelajari lagu baru ini? Lagu ini sungguh menyenangkan hati. Ah, kelak saja kalau dia datang kemari akan kutanyakan lagu ini.”

Tiba-tiba Linghu Chong merasa dadanya bagai dihantam palu godam begitu terlintas dalam pikirannya, “Ini lagu daerah Fujian. Pasti... pasti Adik Lin yang telah mengajarinya.”

Malam itu Linghu Chong tidak bisa tidur. Perasaannya bergejolak luar biasa. Di telinganya seolah masih terngiang-ngiang suara nyanyian Yue Lingshan yang lembut dan merdu, tapi menyakitkan hati.

“Linghu Chong, dulu kau seorang laki-laki yang berjiwa merdeka. Tapi sekarang kau tidak berdaya hanya karena sebuah lagu. Sungguh menyedihkan! Apakah masih pantas kau menyebut dirimu seorang laki-laki sejati?” demikian ia bertanya pada diri sendiri.

Meskipun demikian, suara lagu Fujian yang dinyanyikan Yue Lingshan tetap saja terngiang-ngiang di telinganya. Linghu Chong merasa hatinya bagai disayat-sayat. Didorong sakit hati yang sudah memuncak ia pun mencabut pedang dan mengayun-ayunkan ke segala arah seperti orang gila. Tanpa sadar Linghu Chong mengerahkan tenaga dalam menyertai ayunan pedangnya. Akhirnya pada puncak kemarahannya ia pun menusukkan pedang sekuat tenaga ke depan persis seperti gerakan Jurus Tunggal Pedang Ning Tanpa Tanding yang diciptakan ibu-gurunya beberapa bulan lalu. Pedang tersebut bergerak dengan sangat cepat dan kuat, tahu-tahu sudah menancap dalam di dinding gua.

Linghu Chong sendiri terkejut bukan main. Ia merasa heran mengapa tenaga dalamnya meningkat sedemikian pesat sehingga bisa menusuk dinding gua sampai menancap sedalam itu – yaitu menancap sampai ke gagang. Ia berpikir bahkan guru dan ibu-gurunya belum tentu bisa melakukan hal ini.

Perlahan-lahan Linghu Chong menarik keluar pedangnya itu. Baru sekarang ia sadar kalau dinding gua tersebut ternyata sangat tipis. Hanya sekitar tujuh senti saja tebalnya. Pemuda itu bisa merasakan kalau di balik dinding tersebut terdapat sebuah ruangan. Ruangan yang selama ini tidak pernah ia sadari.

Linghu Chong sangat heran dibuatnya. Ia kembali menusukkan pedang ke dinding tersebut. Namun kali ini pedangnya patah menjadi dua karena tenaga dalam yang ia kerahkan tidak terlalu mencukupi.

Pemuda itu kemudian keluar gua dan memungut sebongkah batu untuk dibawanya ke dalam. Dihantamkannya batu itu sekuat tenaga, namun hanya menimbulkan suara gema saja. Setelah beberapa kali menghantam, barulah Linghu Chong berhasil menciptakan lubang pada dinding tersebut. Ketika ia menghantam lagi, batu tersebut ikut terlempar masuk ke dalam dan meninggalkan suara menggelinding ke bawah.

Penemuan ruangan lain di balik ruangan gua yang selama ini ia tempati membuat rasa penasaran Linghu Chong menjadi-jadi dan melupakan sakit hati yang sebelumnya ia rasakan. Pemuda itu lantas keluar lagi dan memungut sebongkah batu yang lebih besar. Setelah menghantam beberapa kali akhirnya ia bisa menciptakan lubang sebesar kepala. Melalui lubang itu ia melongok ke dalam ruangan rahasia tersebut. Ternyata benar, di dalam memang terdapat sebuah lorong lagi. Sebuah lorong yang sangat sempit namun memanjang ke arah sana.

Linghu Chong kemudian menyalakan obor dan memasuki lorong rahasia tersebut melalui lubang yang ia ciptakan di dinding tadi. Sewaktu melihat ke bawah, tiba-tiba ia merasa ngeri, karena kakinya menginjak seonggok kerangka manusia. Dalam hati ia bertanya, “Apakah ini kuburan? Tapi mengapa kerangka ini menghadap ke bawah? Lagipula ruangan sempit ini lebih mirip lorong rahasia daripada sebuah kuburan.”

Linghu Chong memeriksa kerangka itu dengan teliti. Kerangka tersebut memang terbaring dalam keadaan tengkurap dengan pakaian sudah lebur menjadi debu. Di samping kerangka itu terdapat dua buah kapak besar yang cukup berat. Kapak tersebut jelas terbuat dari logam pilihan, karena wujudnya masih mengkilat terkena cahaya obor. Bahkan, ketika Linghu Chong mencoba mengayunkannya, sepotong batuan gua langsung jatuh terpenggal.

“Luar biasa tajamnya kapak ini,” ujar Linghu Chong dalam hati. “Sepasang kapak ini jelas pusaka ampuh. Kerangka ini pasti seorang jago dunia persilatan. Senjata yang ia gunakan sungguh tajam, sanggup memotong batu bagaikan pisau memotong tahu.”

Linghu Chong kemudian memeriksa dinding lorong sempit itu yang ternyata mengandung bekas tebasan-tebasan kapak. Barulah ia menyadari apa yang sebenarnya terjadi. “Entah bagaimana ceritanya, kerangka ini pastilah kerangka seorang pendekar bersenjata sepasang kapak yang terkurung di dalam gua ini. Ia terpaksa menciptakan jalan keluar dengan mengayun-ayunkan kapaknya. Dengan kekuatannya yang luar biasa, ia berhasil menciptakan sebuah lorong sempit. Namun sayang, ia akhirnya harus mati kehabisan tenaga pada saat perjuangannya hanya tinggal beberapa senti saja. Sungguh malang nasibnya,” demikian pikir pemuda itu.

Linghu Chong berjalan menyusuri lorong sempit tersebut yang ternyata puluhan meter panjangnya. Dalam hati ia memuji, “Luar biasa kehebatan pendekar yang menggali lorong sepanjang ini. Ia juga sangat sabar dan gigih demi bisa keluar dari sini.”

Setelah berjalan cukup jauh, akhirnya ia menemukan lagi dua sosok kerangka. Yang satu bersandar di dinding, yang satunya lagi meringkuk di tanah. Dalam hati Linghu Chong merasa heran mengapa ada lebih dari satu orang terkurung di tempat itu. Padahal, gua ini adalah tempat rahasia bagi Perguruan Huashan dan tidak setiap orang boleh datang. Jangan-jangan mereka adalah tokoh angkatan tua Perguruan Huashan yang dihukum kurung karena melanggar peraturan. Demikian pikir Linghu Chong.

Pemuda itu terus melangkah menyusuri lorong sempit itu sampai akhirnya ia menemukan ujung lorong tersebut melebar menjadi sebuah gua yang teramat luas. Bahkan, andaikan gua itu diisi manusia bisa mencapai ribuan orang.

Di dalam gua luas tersebut kembali Linghu Chong menemukan tujuh kerangka manusia yang tersebar di beberapa titik. Ada yang bersandar di dinding, ada pula yang duduk atau berbaring. Di dekat kerangka-kerangka itu juga ditemukan senjata-senjata berbentuk aneh. Ada sepasang piringan logam, ada sepasang pena besi, ada sebatang tongkat baja, ada sebuah gada tembaga, ada pula palu godam berukuran besar, serta gada segitiga bergerigi tajam.

Linghu Chong berkata dalam hati, “Orang-orang yang bersenjata aneh ini tidak mungkin berasal dari Perguruan Huashan kami.”

Tidak jauh dari tempat itu ditemukan belasan pedang yang berserakan. Linghu Chong melangkah maju untuk mengamati pedang-pedang tersebut. Beberapa pedang yang pertama ia lihat berukuran lebih pendek dari biasanya, namun juga lebih lebar dan lebih berat. “Ini adalah pedang Perguruan Taishan,” ujarnya dalam hati.

Kelompok pedang yang kedua berukuran sangat ringan dan lentur. “Kalau yang ini adalah pedang milik Perguruan Henshan,” ujar Linghu Chong. “Nah, kalau yang ini pedang milik Perguruan Hengshan. Bentuknya berkelok-kelok tidak lurus.” Selain itu, ia juga menemukan beberapa pedang milik Perguruan Songshan yang ujungnya tebal tetapi tajam. Terakhir adalah kelompok pedang yang sangat dihafalnya, baik itu ukuran maupun bentuknya. “Kalau yang ini jelas pedang milik Perguruan Huashan.”

“Kenapa di sini berserakan senjata milik Serikat Pedang Lima Gunung?” demikian ia bertanya dalam hati dengan sangat penasaran.

Linghu Chong kemudian mengarahkan obornya untuk menerangi dinding gua. Ia manemukan sebongkah batu raksasa mengganjal mulut gua yang berukuran lebar. Batu itu seolah sudah menyatu dengan dinding gua. Kemudian ia juga menemukan tulisan besar yang terukir di dinding gua, berbunyi, “Serikat Pedang Lima Gunung rendah dan tak tahu malu. Setelah kalah bertanding, kalian mencelakai lawan secara pengecut.” Huruf-huruf tersebut diukir pada dinding batu dengan kedalaman sekitar dua atau tiga senti. Jelas dibuat dengan menggunakan senjata yang sangat tajam. Selain itu masih terdapat huruf-huruf kecil yang lebih banyak, yang isinya berupa ejekan, antara lain “Bangsat pengecut!”, “Keparat kalian!”, “Bajingan!” dan lain sebagainya.

Tentu saja Linghu Chong merasa kesal membaca tulisan-tulisan tersebut. Ia berkata, “Ternyata orang-orang bersenjata aneh itu dikurung di sini oleh Serikat Pedang Lima Gunung. Karena tidak bisa berbuat apa-apa, mereka pun mengukir dinding gua ini sebagai kenang-kenangan. Huh, justru tulisan-tulisan ini yang membuat mereka terlihat rendah dan pengecut. Mereka adalah musuh Serikat Pedang Lima Gunung. Sudah pasti mereka bukan manusia baik-baik.”

Tiba-tiba Linghu Chong menemukan tulisan di dinding yang berbunyi, “Fan Song dan Zhao He mengalahkan ilmu pedang Perguruan Henshan di sini.” Di sebelah kanan tulisan tersebut terdapat ukiran gambar dua orang sedang bertarung; satu memegang pedang, satunya memegang kapak. Setelah diperhatikan dengan seksama ternyata di dinding gua tersebut banyak sekali ukiran gambar orang-orang sedang bertarung seperti itu.

Kemudian Linghu Chong menemukan sebuah kalimat lagi di dinding gua yang berbunyi: “Zhang Chengyun dan Zhang Chengfeng mengalahkan semua jurus pedang Perguruan Huashan di sini.”

Betapa gusar perasaan Linghu Chong membaca tulisan tersebut. Ia memaki di dalam hati, “Kalian bajingan tak tahu malu! Ilmu Pedang Huashan sangat rumit dan hebat. Tidak banyak di dunia ini yang mampu menandinginya. Sungguh berani kalian tidak hanya mengatakan ‘dapat mengalahkan’ tapi bahkan ‘dapat mengalahkan semua’ ilmu Pedang Huashan!”

Pemuda itu lantas memungut pedang milik Perguruan Taishan dan digunakannya untuk merusak tulisan “semua” pada dinding gua tersebut. Keras sekali ia mengayunkan pedang berat itu sampai-sampai memercikkan kembang api ketika berbenturan dengan batuan dinding.

“Oh, dinding gua ini sangat keras. Akan tetapi, orang-orang itu bisa membuat ukiran sedalam ini. Sungguh hebat tenaga dalam mereka,” puji Linghu Chong dalam hati.

Dilihatnya pula dengan lebih jelas di dekat tulisan-tulisan tersebut tampak beberapa gambar manusia sedang bertanding. Meskipun diukir dengan sangat sederhana, Linghu Chong dapat mengenali kalau gambar orang yang membawa pedang itu sedang memainkan jurus dasar perguruannya yang bernama Burung Feng Datang Menyembah. Sementara itu gambar orang yang menghadapinya tampak mengacungkan toya dan bersiaga menangkis serangan pedang tersebut. Meskipun gayanya terlihat bodoh dan lucu, namun gambar si pembawa toya itu terlihat siap dengan berbagai macam gerak dan perubahan.

Linghu Chong menyeringai sambil bergumam, “Jurus Burung Feng Datang Menyembah memiliki lima serangan rahasia, bagaimana mungkin bisa dikalahkan oleh jurus toya yang kaku dan lucu ini?”

Namun begitu melihat kelanjutan gambar pertandingan itu, tampak jurus toya memiliki lebih dari enam jenis serangan yang jelas-jelas mampu mengalahkan berbagai variasi gerakan Jurus Burung Feng Datang Menyembah.

“Jurus Burung Feng Datang Menyembah milik perguruan kami kelihatannya seperti jurus sederhana, namun sesungguhnya memiliki kekuatan serangan yang luar biasa. Lawan yang merasa pintar tentu akan merasa mudah untuk menangkisnya. Meskipun demikian, jurus pedang ini semakin ditangkis justru semakin mematikan. Akan tetapi, jurus-jurus toya yang sederhana ini sepertinya benar-benar mampu mengalahkan Jurus Burung Feng Datang Menyembah. Ini sungguh… ini sungguh….” demikian ujar Linghu Chong di dalam hati dengan perasaan penuh kekaguman sekaligus takut luar biasa.

Linghu Chong termenung di depan gambar tersebut. Pikirannya kosong dilanda kegelisahan. Tiba-tiba ia tersadar dari lamunan karena rasa sakit di tangan kanannya. Rupanya obor yang ia pegang telah habis dan bara api menyengat telapak tangannya.

“Tanpa obor suasana di dalam gua ini akan berubah menjadi gelap gulita. Aku harus segera mengambil obor baru.” Usai berpikir demikian Linghu Chong bergegas ke luar sampai mulut gua tempat ia tinggal. Di halaman ia mengumpulkan puluhan ranting pohon dan setelah itu kembali ia masuk ke dalam gua rahasia untuk melanjutkan pengamatan.

Di sebelah gambar tersebut terdapat lagi gambar dua orang sedang bertarung. Linghu Chong langsung bersemangat menyadari jurus yang digunakan gambar si pembawa pedang adalah jurus Cemara Tua Menyambut Tamu. Jurus tersebut sangat sulit. Dulu ia harus mengulanginya berkali-kali sambai sebulan lamanya untuk bisa menguasainya. Konon, jurus tersebut pernah tiga kali digunakannya untuk menghajar tiga orang musuh yang berbeda.

Sesampainya di dalam gua belakang, Linghu Chong menyalakan ranting sebagai obor dan kembali memeriksa gambar. Ia berpikir, “Apabila si pemegang toya memiliki ilmu silat sebanding dengan si pemegang pedang dari perguruan kami, tentu si pemegang pedang akan terluka serius. Akan tetapi jika si pemegang toya memiliki ilmu silat lebih tinggi, tentu si pemegang pedang akan kehilangan nyawa dalam waktu singkat. Aih, Jurus Burung Feng Datang Menyembah milik perguruan kami benar-benar… benar-benar dapat dikalahkan oleh jurus toya sederhana ini. Sungguh menyedihkan.”

Linghu Chong melanjutkan pengamatan dan kini ia menemukan gambar pertandingan lagi. Kali ini gambar si pemegang pedang memainkan Jurus Cemara Tua Menyambut Tamu. Semangatnya langsung bangkit mengingat jurus ini sangat rumit dan sulit dipelajari. Ia dulu memerlukan waktu sebulan penuh untuk dapat memainkan jurus tersebut. Jurus ini menjadi jurus kebanggaan bagi pemuda itu dalam menghadapi lawan.

Perasaan gugup bercampur takut membayangkan bahwa jurus hebat ini akan dikalahkan oleh si pemegang toya merasuki benak Linghu Chong. Akhirnya, rasa heran pun memenuhi hatinya begitu melihat jurus tersebut dihadapi oleh lawan dengan mengacungkan lima batang toya. Kelima-limanya mengarah ke bagian berbahaya di tubuh si pemegang pedang.

“Hah? Bagaimana mungkin menggunakan lima toya sekaligus?” demikian ia bertanya dalam hati. Setelah memperhatikan dengan seksama barulah Linghu Chong memahaminya. “Hm, ini bukan lima toya, tetapi satu toya yang digerakkan dengan sangat cepat sampai membentuk empat bayangan. Dengan kecepatan seperti itu maka Jurus Cemara Tua Menyambut Tamu milik perguruan kami bisa dikalahkan.”

Setelah dicermati ternyata toya tersebut sebenarnya hanya satu namun membentuk empat bayangan yang kesemuanya mengarah ke lima titik yang berbahaya di tubuh si pemegang pedang. Tentu saja jurus toya tersebut bisa menghancurkan jurus Cemara Tua Menyambut Tamu yang sangat mengutamakan kecepatan.

“Toya ini siap bergerak cepat ke lima arah tergantung arah serangan pedang. Ah, jika aku yang menjadi si pemegang pedang bagaimana mungkin aku bisa menghindarinya?” ujar Linghu Chong yang semakin paham.

Pemuda itu lantas memeragakan salah satu jurus pedang Perguruan Huashan yaitu Jurus Cemara Tua Menyambut Tamu. Dengan seksama ia membayangkan si pemegang toya berada di hadapannya. Apabila tusukannya diarahkan ke atas tubuh lawan, tentu lawan dengan lima jurus aneh itu tetap bisa menghadapi dengan melancarkan serangan ke bawah. Meskipun tusukan pedang mampu menewaskan lawan, tetap saja bagian bawah tubuh Linghu Chong yang terluka oleh tusukan toya. Apalagi lawan yang menemukan cara mengalahkan ilmu Pedang Huashan itu jelas bukan orang sembarangan sehingga tidak mungkin bisa dibunuh hanya dalam sekali tusuk. Begitu juga dengan kuda-kuda rendah yang dipasang si pemegang toya memungkinkan ia mampu menangkis tusukan pedang dari atas. Apabila musuh menangkis dan balik menyerang sekaligus, tentu Jurus Cemara Tua Menyambut Tamu tidak dapat digunakan untuk menangkis, dan kekalahan pun sudah dapat dipastikan.

Linghu Chong ingat pernah tiga kali menang dalam pertarungan berkat jurus tersebut. Andai saja lawan-lawan yang pernah mengalahkannya melihat gambar-gambar di dinding gua ini tentu dirinya kini sudah tidak ada lagi di dunia.

Semakin membayangkan hal itu, semakin ngeri perasaan dalam hati Linghu Chong. Dengan keringat dingin bercucuran ia bergumam sendiri, “Tidak mungkin! Tidak mungkin! Jika Jurus Cemara Tua Menyambut Tamu bisa dikalahkan dengan jurus aneh ini, mengapa Guru tidak menyadarinya? Mengapa pula Beliau tidak memperingatkan aku?” Karena ia menguasai setiap gerakan jurus pedang tersebut, maka ia pun menyadari bagaimana jurus toya mempu mengalahkannya dengan telak. Meskipun hanya ada lima gerakan di dinding gua, namun ia yakin setiap gerakan mampu membuatnya roboh.

Linghu Chong melanjutkan untuk memeriksa gambar-gambar yang lainnya. Setiap kelompok gambar memuat jurus-jurus unik dan istimewa dari ilmu Pedang Huashan. Akan tetapi, pihak lawan tetap saja dengan cerdas mampu mematahkan setiap jurus pedang tersebut. Setiap melihat gambar jurus perguruannya dikalahkan, ia hanya bisa menghela napas panjang. Sampai akhirnya ia menemukan Jurus Daun Jatuh Berguguran yang dihadapi gambar lawan dengan lemah tanpa tenaga. Sepertinya gambar si pemegang toya hanya menunjukkan gerakan bertahan. “Ah, kali ini kau tidak mampu mengalahkan ilmu pedang kami,” demikian pikirnya.

Linghu Chong mengamati gambar-gambar di dinding gua.

“Aku ingat pada bulan pertama di tahun lalu, saat turun hujan salju memenuhi udara. Saat itu Guru mengajak kami –para murid– untuk berlatih bersama. Menjelang berakhirnya latihan, Guru memeragakan jurus Daun Jatuh Berguguran ini. Setiap tusukan pedang Beliau kala itu semakin cepat dan cepat sehingga sanggup menciptakan pusaran angin salju di udara. Bahkan saat itu Ibu Guru sampai memuji, ‘Kakak, aku yakin kau bisa menjadi ketua Perguruan Huashan adalah karena kemampuanmu menguasai jurus ini.’

Guru menjawab, ‘Menjadi ketua Perguruan Huashan tidak cukup hanya mampu bermain pedang dengan baik, tapi juga dituntut harus memiliki budi pekerti yang baik. Murid Huashan yang ahli memainkan pedang tidak serta merta dapat menjadi ketua.’

Ibu Guru menjawab sambil tertawa, ‘Hei, apa kau tidak tahu malu bicara demikian? Apa kau merasa lebih berbudi daripada aku?’

Guru hanya menanggapi dengan tersenyum. Memang Ibu Guru suka sekali bersaing dengan Guru. Meskipun Ibu Guru tidak mengungkapkannya, sudah jelas dari nada Beliau menunjukkan bahwa jurus Daun Jatuh Bergururan adalah yang paling hebat di antara semua ilmu pedang Perguruan Huashan. Nama jurus ini diambil dari sepenggal kalimat dalam sebuah puisi yang mengisahkan adanya ribuan daun berguguran tertiup angin. Guru pernah bercerita padaku bahwa intisari jurus ini adalah melakukan serangan dan pertahanan dari segala penjuru seperti dedaunan yang terbang ditiup angin ke segala arah.”

Linghu Chong melihat gambar-gambar orang memegang toya terlihat lucu dan unik. Posisi gambar orang itu sedang membungkuk dengan kaku. Hampir saja Linghu Chong tertawa terbahak-bahak namun kemudian terdiam seketika setelah menyadari penglihatannya. Keringat dingin membasahi punggungnya, dan bulu tengkuknya terasa merinding. Tanpa berkedip ia mengamati gambar si pemegang toya itu. Meskipun kaku dan menggelikan, namun Linghu Chong dapat membayangkan gambar tersebut menyimpan serangan rahasia yang mengerikan. Si pemegang toya jelas memiliki kecerdasan luar biasa. Linghu Chong dapat memperkirakan jumlah tusukan yang bisa dilakukan si pemegang toiya ada delapan, sembilan, sepuluh, atau bahkan lebih. Jurus Daun Jatuh Berguguran dapat dipatahkan oleh gerakan toya ini. Sungguh di luar dugaan, toya yang terlihat tumpul namun sesungguhnya sangat berbahaya, atau sepertinya lemah namun sebenarnya sangat kuat. Serangan toya ini dapat dikatakan sebagai pencapaian tertinggi dalam ilmu silat, yaitu “mengalahkan ketajaman dengan ketumpulan.”

Seketika rasa percaya diri Linghu Chong terhadap ilmu pedang perguruannya langsung musnah. Ia merasa meskipun kelak berhasil menguasai segala ilmu dan kepandaian seperti gurunya, tetap saja tidak berguna apabila bertemu musuh yang bisa memainkan toya seperti gambar-gambar di dinding gua itu. Mungkin ia hanya bisa berdiri memegang pedang tanpa tahu harus berbuat apa. Jika seperti itu jadinya, untuk apa belajar ilmu pedang lagi? Demikian pikir Linghu Chong.

“Apakah Ilmu Pedang Huashan sedemikian rapuhnya sehingga tidak mampu menahan satu serangan? Kerangka-kerangka ini pasti sudah membusuk di sini selama tidak kurang dari tiga puluh atau empat puluh tahun. Jika tidak demikian, mana mungkin Serikat Pedang Lima Gunung dapat berjaya di dunia persilatan hingga sekarang? Bahkan, tidak seorang pendekar pun yang berani mengatakan bahwa ilmu pedang kelima perguruan dapat dikalahkan. Apakah gambar-gambar di dinding gua ini hanya kebohongan belaka? Ah, aku rasa tidak demikian,” ujar Linghu Chong kepada diri sendiri.

Meskipun ia tidak mengatakan bahwa Ilmu Pedang Songshan dan yang lain juga benar-benar dipatahkan, namun ia memahami berbagai jurus dalam Ilmu Pedang Huashan luar dalam dan ia yakin apabila bertemu orang yang mampu memainkan jurus-jurus penangkal seperti di dinding gua tersebut, tentu ia akan terperangkap dalam kekalahan yang fatal.

Linghu Chong berdiri termangu-mangu cukup lama, seolah-olah ada orang lain yang telah menotok titik geraknya. Berbagai kilatan dan bayangan melintas di benaknya, membuat pemuda itu lupa waktu dan lupa diri. Sampai akhirnya terdengar suara orang memanggil-manggil di luar sana dan membuyarkan lamunannya.

“Kakak Pertama! Kakak Pertama! Di mana kau?”

Linghu Chong terkejut dan segera berlari kembali ke gua depan. Ternyata yang memanggil adalah Lu Dayou. Ia pun berlari memutar bukit dan duduk di atas sebongkah batu sambil berteriak, “Adik Keenam, aku ada di sini sedang bermeditasi. Ada urusan apa?”

Lu Dayou bergegas menuju arah suara dan membalas dengan gembira, “Kakak Pertama, ternyata kau ada di sana! Kakak, aku membawakan makanan untukmu.”

Linghu Chong baru sadar kalau hari ternyata sudah sore. Padahal, ia menemukan gua rahasia tersebut menjelang fajar dan kini matahari sudah mulai condong ke ufuk barat. Itu berarti seharian penuh dirinya terpesona melihat gambar-gambar pertarungan antara jurus-jurus Serikat Pedang Lima Gunung melawan jurus-jurus aneh yang terukir pada dinding gua belakang. Sementara itu, Lu Dayou sendiri tidak berani masuk ke dalam gua depan tempat kakaknya dikurung tanpa permisi, sehingga ia pun tidak sempat mengetahui kalau ada gua lain di dalam puncak tebing tersebut. Hanya saja, begitu melihat sang kakak tidak berada di dalam gua, Lu Dayou pun mencari di sekitar tebing sambil berteriak-teriak.

Linghu Chong pun menjawab, “Tentu saja aku berada di sekitar tebing ini selama masa hukumanku belum berakhir.” Sejenak ia terdiam mengamati wajah Si Monyet Keenam, kemudian bertanya, “Hei, ada apa dengan dahimu?”

Ternyata dahi sebelah kanan adik seperguruannya itu sedang ditempeli koyo. Meskipun begitu, darah masih terlihat meresap keluar. “Aku tidak apa-apa. Aku hanya kurang berhati-hati sewaktu latihan sehingga tergores pedang,” jawab Lu Dayou.

Namun demikian, gaya bicara pemuda itu sewaktu menjawab seperti menyembunyikan sesuatu. Linghu Chong pun mendesak, “Adik Keenam, kau jangan berbohong padaku. Sebenarnya apa yang membuatmu terluka?”

Lu Dayou menjawab, “Kakak Pertama, sebenarnya aku tidak ingin berbohong kepadamu. Aku hanya khawatir kau akan marah jika kuceritakan yang sebenarnya.”

Linghu Chong semakin penasaran. Ia bertanya lagi, “Siapa yang melukaimu? Katakan padaku!” Ia tidak yakin Lu Dayou berlatih dengan sesama saudara sampai terluka seperti itu. Hatinya khawatir jangan-jangan ada pihak luar yang datang menyerang.

“Tadi pagi aku berlatih dengan Adik Lin,” jawab Lu Dayou, “ia baru saja mempelajari jurus Burung Feng Datang Menyembah. Aku sedikit lengah sehingga terluka olehnya.”

“Ah, itu hanya soal biasa. Luka sewaktu berlatih itu sering terjadi di antara sesama kita,” ujar Linghu Chong tenang. “Lalu mengapa kau harus kesal? Bukankah kau tahu kalau jurus tersebut sangat ampuh? Harusnya kau lebih berhati-hati menghadapinya. Lagipula Adik Lin baru saja mempelajarinya, tentu ia kurang bisa mengendalikan pedangnya dengan baik.”

Lu Dayou menjawab, ”Kalau hal itu bisa kumaklumi. Hanya saja ... hanya saja aku tidak menduga bocah bermarga Lin itu baru beberapa bulan masuk perguruan tapi sudah bisa memainkan jurus Burung Feng Datang Menyembah. Padahal, aku dulu harus melewati lima tahun baru Guru mengizinkan diriku belajar jurus itu kepadamu.”

Linghu Chong terperanjat karena baru menyadarinya. Ia menjadi heran mengapa Lin Pingzhi sudah diperbolehkan mempelajari jurus tersebut? Padahal, jurus ini harus dilatih dengan dasar-dasar yang kuat, karena jika tidak akan membahayakan diri sendiri. Apakah mungkin Lin Pingzhi memiliki otak sangat cerdas sehingga Guru mengizinkannya berlatih jurus ini? Demikian berbagai pikiran terlintas di benaknya.

Lu Dayou melanjutkan ceritanya, “Waktu itu aku tidak menduga sama sekali bahwa dahiku akan terluka oleh pedangnya. Adik Kecil malah bersorak-sorak gembira sambil mengejek, ‘Monyet Keenam, melawan muridku saja kau tidak becus! Sekarang apa kau masih berani berlagak jagoan di depanku?’

Sementara itu si bocah bermarga Lin merasa bersalah telah melukai aku. Ia pun mendekat hendak membalut lukaku. Namun perutnya kutendang sampai dia jatuh terjungkal. Melihat itu Adik Kecil marah-marah dan memaki diriku, ‘Monyet Keenam, dia bermaksud baik hendak mengobati lukamu, tapi kau malah menendangnya. Apa kau malu sudah dikalahkan olehnya? Huh, kalau kalah ya harus tahu diri!’

Coba Kakak Pertama pikirkan, ternyata Adik Kecil diam-diam telah mengajarkan jurus ampuh itu kepadanya.”

Seketika Linghu Chong tertegun dengan perasaan pilu mendengar cerita ini. Ia pun berpikir, “Jurus Burung Feng Datang Menyembah sangat sulit dipelajari. Jurus ini memiliki lima teknik tambahan serta berbagai perubahan yang rumit. Lebih dari itu, pihak yang belajar harus memiliki ingatan yang kuat untuk merangkai setiap gerakan menjadi jurus yang utuh. Demi membantu Adik Lin berlatih dan memahami jurus ini, rupanya Adik Kecil telah berusaha penuh untuk memeras pikiran dan tenaga. Jadi ini alasan mengapa Adik Kecil sudah jarang datang ke puncak tebing untuk mengantar makanan karena harus mendampingi Adik Lin berlatih. Biasanya Adik Kecil suka bersikap tidak sabaran dan ingin menang sendiri. Ia tidak suka mengerjakan sesuatu yang membutuhkan ketelitian dan kecermatan. Tapi entah mengapa ia justru berhasil mengajarkan ilmu yang sangat sulit ini kepada Adik Lin? Ternyata perhatian Adik Kecil kepada Adik Lin sungguh besar. Ia bisa bersikap sedemikian sabar dan telaten mengajarkan jurus Burung Feng Datang Menyembah yang rumit dan sulit ini kepada Adik Lin. Sungguh hal ini sulit dibayangkan.”
Perasaan Linghu Chong galau setelah menemukan gambar-gambar rahasia.

(Bersambung)