Bagian 28 - Tantangan Tiga Puluh Jurus

Yue Buqun bercerita dengan penuh semangat.
Ning Zhongze tiba-tiba bertanya, “Chong’er, jurus yang tadi kau gunakan untuk merebut pedangku kau peroleh dari mana?”

Linghu Chong menjawab dengan wajah bersemu merah menahan malu, “Saya tadi hanya berusaha menangkis serangan Ibu Guru yang sangat dahsyat itu. Saya sama sekali tidak mengira kalau... kalau....”

“Ya, sudahlah,” ujar Nyonya Yue. “Sekarang kau sudah tahu mana yang lebih unggul di antara Kelompok Tenaga Dalam ataukah Kelompok Pedang. Sebenarnya jurusmu tadi sangat bagus. Namun begitu terbentur oleh tenaga dalam gurumu yang luar biasa, betapapun bagusnya jurusmu tadi menjadi tidak berguna lagi. Dahulu sewaktu pertandingan di puncak sini entah berapa banyak sesepuh kita yang membanggakan jurus pedangnya. Namun berkat ilmu tenaga dalam Kabut Lembayung Senja yang dikuasai kakek gurumu, jurus-jurus mereka berhasil dipatahkan. Lebih dari sepuluh orang jagoan Kelompok Pedang yang mengalami kekalahan di tangan kakek-gurumu. Oleh karena itu, mulai sekarang kalian harus ingat baik-baik apa yang telah disampaikan guru kalian, bahwa inti dari ilmu silat perguruan kita terletak pada tenaga dalam. Tenaga dalam mengendalikan jurus pedang. Jurus pedang hanya sebagai pelengkap saja. Jika latihan tenaga dalam gagal, maka betapa pun bagus jurus pedang yang dikuasai tetap saja tidak ada gunanya.”

Linghu Chong, Shi Daizi, Lu Dayou, dan Yue Lingshan membungkukkan badan menerima nasihat tersebut.

Yue Buqun kembali berbicara, “Chong’er, sebenarnya hari ini aku berniat mengajarkan dasar-dasar ilmu tenaga dalam Kabut Lembayung Senja kepadamu. Setelah itu aku ingin membawamu turun gunung untuk membunuh si keparat Tian Boguang. Tapi sepertinya urusan ini terpaksa harus ditunda lebih dulu. Selama dua bulan ke depan hendaknya kau ulangi lagi pelajaran tenaga dalam yang pernah kuajarkan semuanya. Buanglah ilmu pedang aneh-aneh yang menyesatkan itu. Kelak aku akan datang kembali untuk mengujimu. Aku ingin melihat, apakah kau ada kemajuan atau tidak.” Sampai di sini wajah Yue Buqun berubah galak, “Tapi jika kau tetap tidak mau sadar dan masih terus mengarah ke jalan salah yang pernah ditempuh Kelompok Pedang, maka jangan menyesal jika kau harus menerima akibatnya. Hukuman yang berat adalah hukuman mati, dan hukuman yang ringan adalah aku akan memusnahkan semua ilmu silatmu dan mengusirmu dari perguruan. Jangan salahkan aku karena aku sudah mengingatkanmu tentang ini.”

“Baik, Guru!” sahut Linghu Chong dengan keringat dingin membasahi dahinya. “Murid tidak akan berani mengulanginya lagi.”

Yue Buqun lantas berkata kepada Yue Lingshan dan Lu Dayou, “Juga kepada kalian berdua, Shan’er dan Dayou. Watak kalian juga kurang sabar. Apa yang kukatakan kepada Kakak Pertama tadi juga berlaku untuk kalian.”

Lu Dayou mengiakan dengan penuh hormat. Sementara Yue Lingshan menjawab, “Watak kami berdua memang tidak sabaran. Tapi kami berdua tidak secerdas Kakak Pertama. Jadi, mana mungkin kami bisa menciptakan jurus pedang segala? Ayah tidak perlu khawatir.”

“Hm, apa benar tidak mampu?” tanya Yue Buqun. “Bukankah kau dan Chong’er telah menciptakan jurus Pedang Chong-Ling?”

Wajah Linghu Chong dan Yue Lingshan sama-sama bersemu merah. Dengan cepat Linghu Chong memohon ampun, “Guru, maafkan kelancangan kami!”

Sementara itu Yue Lingshan masih saja menjawab, “Kejadian itu sudah lama berlalu. Waktu itu kami hanya main-main saja. Dari mana Ayah tahu?”

Yue Buqun menjawab, “Sebagai ketua perguruan, kalau gerak-gerik muridnya saja tidak tahu, akan jadi apa Perguruan Huashan ini?”

“Ayah… kau jangan mengolok-olok aku,” jawab Yue Lingshan manja sambil menarik-narik lengan baju ayahnya.

Di lain pihak, Linghu Chong sama sekali tidak melihat kesan bercanda di wajah ataupun suara Yue Buqun. Ia sangat yakin kalau sang guru sama sekali tidak mengolok-olok.

Yue Buqun kemudian berdiri dan melanjutkan, “Apabila tenaga dalam kita sudah mencapai tingkat sempurna, setiap gerakan yang paling ringan sekalipun sudah cukup mematikan. Boleh dikatakan, rumput dan bunga bisa jadi senjata. Orang luar menganggap Huashan hanya sekadar perguruan pedang. Pendapat seperti itu sungguh sangat merendahkan kita.”

Usai berkata demikian Yue Buqun mengibaskan lengan baju kirinya dan tahu-tahu pedang yang tergantung di pinggang Lu Dayou sudah melayang keluar. Kemudian lengan baju yang kanan dikibaskan pula dan menyapu pedang tersebut. Secara ajaib, pedang murid nomor enam tersebut langsung patah menjadi beberapa bagian dan berjatuhan di tanah.

Tentu saja pemandangan ini membuat para murid terkejut bukan main. Bahkan, Ning Zhongze yang siang malam tinggal bersama Yue Buqun tidak menyangka tenaga dalam sang suami sudah mencapai tingkatan setinggi itu.

“Mari kita pulang!” kata Yue Buqun sambil kemudian melangkah pergi meninggalkan puncak tebing bersama istrinya. Yue Lingshan, Shi Daizi, dan Lu Dayou segera mengikuti dari belakang.

Linghu Chong yang tinggal seorang diri termenung memandangi pedang Lu Dayou yang patah dan berserakan di tanah. Perasaan terkejut dan gembira bercampur menjadi satu. “Ternyata ilmu silat Huashan sedemikian hebatnya. Setiap jurus yang dilancarkan Guru rasanya tidak akan mampu ditahan oleh siapa pun juga. Sebenarnya inti ilmu silat kami terletak pada tenaga dalam. Sementara gambar-gambar di dinding gua hanyalah cara untuk mematahkan jurusnya saja. Memang harus diakui, gambar-gambar itu menunjukkan kalau ilmu pedang Serikat Pedang Lima Gunung bisa dipatahkan. Namun mereka tidak sadar kalau setiap ilmu pedang dari kelima perguruan pasti disertai aliran tenaga dalam. Tentu saja yang demikian ini tidak bisa dipatahkan dengan mudah. Sebenarnya masalah ini sangat sederhana, namun tidak terbayangkan olehku sehingga pikiranku hanya menemui jalan buntu. Sama-sama jurus Burung Feng Datang Menyembah apabila dimainkan Adik Lin dengan dimainkan oleh Guru tentu akan berbeda hasilnya. Aku yakin jurus toya yang terukir di gua sudah pasti bisa mematahkan serangan Adik Lin, tetapi tidak mungkin berhasil jika digunakan untuk menangkis serangan Guru.”

Menyadari segala teka-teki akhirnya bisa terpecahkan membuat Linghu Chong merasa sangat bergembira. Meskipun sang guru tidak jadi mengajarkan ilmu Kabut Lembayung Senja ataupun menjodohkan Yue Lingshan dengannya, namun semangatnya telah bangkit kembali karena kepercayaannya terhadap ilmu silat Perguruan Huashan kembali pulih. Saat teringat bahwa dirinya pernah berpikir tentang perjodohan dengan Yue Lingshan, tanpa sadar pipinya pun bersemu merah menahan malu.

Sore hari berikutnya Lu Dayou kembali datang mengantarkan makanan.

“Kakak Pertama, pagi tadi Guru dan Ibu Guru berangkat menuju Shanxi Utara,” demikian ia berkata.

“Shanxi Utara? Mengapa bukan ke Chang’an?” sahut Linghu Chong menegas.

“Si bajingan Tian Boguang melakukan beberapa kejahatan di Kota Yan’an. Ini membuktikan kalau dia sudah meninggalkan Chang’an,” jawab Lu Dayou.

Mendengar itu diam-diam Linghu Chong berpikir, “Kali ini Guru dan Ibu Guru turun gunung untuk membinasakan Tian Boguang. Tentu penjahat cabul itu tidak bisa lolos dari maut. Mengingat kejahatan yang ia lakukan sudah sedemikian banyak, maka hukuman mati mungkin terlalu ringan untuknya. Sayang sekali, padahal ilmu silatnya sangat tinggi. Kami sudah bertanding sebanyak dua kali, dan aku merasa bahwa dia sebenarnya berjiwa kesatria dan sangat terbuka. Sayang sekali ia menempuh jalan hitam sehingga menjadi musuh bersama kaum persilatan.”

Selama dua hari berikutnya Linghu Chong semakin giat belajar tenaga dalam. Sekarang ia merasa takut pergi melihat gambar-gambar di gua belakang. Jangankan pergi ke sana, bahkan memikirkan saja ia tidak punya keberanian.

“Aku bersyukur karena Guru dan Ibu Guru telah menyadarkan aku dan menyelamatkan aku dari jalan salah. Hampir saja aku menjadi pengkhianat di Perguruan Huashan,” demikian pikirnya.

Sore hari berikutnya, sesudah makan ia kembali duduk bermeditasi. Beberapa jam kemudian tiba-tiba terdengar suara langkah kaki seseorang menaiki jalan setapak menuju puncak tebing tersebut. Dari suara langkah kakinya yang cepat dan ringan dapat diketahui kalau orang yang datang kali ini tentu berilmu tinggi. Seketika Linghu Chong merasa jantungnya berdebar kencang.

“Ia bukan berasal dari Perguruan Huashan. Mungkinkah dia pria bercadar tempo hari? Kenapa ia datang lagi ke sini?” Usai berpikir demikian, Linghu Chong pun mengambil pedang dan bersiap melangkah keluar dari gua.

Pada saat itu orang yang mendaki tebing telah muncul dan berdiri di hadapan Linghu Chong. Orang itu berteriak, “Saudara Linghu, sahabat lama, aku yang datang mengunjungimu!”

Linghu Chong terperanjat karena suara tersebut ia kenal dengan baik, yaitu suara Tian Boguang si Pengelana Tunggal Selaksa Li. Padahal Yue Buqun dan Ning Zhongze sedang turun gunung mencarinya, tapi sekarang ia malah datang sendirian ke puncak Huashan. Sungguh berani.

Segera Linghu Chong keluar gua sambil berkata ramah, “Sungguh tidak kusangka Saudara Tian berkunjung kemari.”

Penjahat cabul itu tampak membawa pikulan yang berisi dua buah keranjang bambu. Dari dalam keranjang tersebut ia mengeluarkan dua buah guci berisi arak sambil tersenyum lebar. “Kabarnya Saudara Linghu sedang meringkuk di dalam gua hukuman di puncak Huashan sini. Aku yakin mulutmu sudah ketagihan merindukan arak enak. Maka itu, waktu di Chang’an aku sengaja mengambilkan untukmu arak berusia seratus tiga puluh tahun simpanan Rumah Minum Peri Terbuang. Mari kita nikmati bersama-sama, Saudara Linghu!”

Tian Boguang membawa dua guci arak untuk Linghu Chong.

Linghu Chong berjalan maju beberapa langkah. Di bawah sinar rembulan ia dapat membaca guci arak tersebut ditempeli label usang bertuliskan “Rumah Minum Peri Terbuang”, sebuah rumah arak terbesar di Kota Chang’an. Melihat itu ia tertawa senang, “Kau sengaja memikul arak seberat ini ke puncak Huashan? Wah, kebaikan hatimu patut untuk dipuji. Mari, mari kita nikmati bersama-sama, Saudara Tian!”

Segera ia berlari masuk ke dalam gua dan kembali dengan membawa dua buah mangkuk besar. Sementara itu Tian Boguang sudah membuka penutup guci sehingga bau harum arak yang semerbak itu tercium sampai jauh.

“Baunya saja sudah cukup memabukkan,” ujar Linghu Chong tidak sabar.

Tian Boguang pun menuang semangkuk penuh dan menyerahkannya kepada Linghu Chong sambil berkata, “Sungguh arak yang lezat! Coba kau cicipi dulu, bagaimana rasanya.”

Tanpa menolak Linghu Chong langsung menghabiskan isi mangkuk itu dalam sekali teguk. “Hm, benar-benar arak yang nikmat! Jarang ada bandingannya di dunia ini,” serunya memuji sambil mengacungkan ibu jari.

Tian Boguang tertawa dan berkata, “Menurut pendapat kaum ahli, arak yang paling bagus adalah arak Fen dari Utara, dan arak Shao dari Selatan. Arak Fen sendiri yang paling enak bukan dari Shanxi, tetapi dari Kota Chang’an, dan yang paling terkenal dibuat oleh Rumah Minum Peri Terbuang, di mana Li Taiba si penyair terkenal dari zaman Dinasti Tang pernah mabuk di sana. Apa kau tahu, pada saat ini arak bagus di Rumah Minum Peri Terbuang hanya tinggal dua guci ini saja?”

Linghu Chong menjadi heran, “Mana mungkin di dalam gudang Rumah Minum Peri Terbuang hanya tersisa dua guci ini saja?”

Tian Boguang tertawa dan menjawab, “Setelah aku mengambil dua guci, sebenarnya masih tersisa sekitar dua ratus guci lainnya. Tapi kupikir-pikir semua pejabat dan orang kaya di Kota Chang’an bisa datang ke Rumah Minum Peri Terbuang dan mencicipi arak-arak bagus itu. Kalau seperti itu tentu arak yang dinikmati Pendekar Linghu sebagai pecinta arak menjadi tidak istimewa lagi. Maka, aku pun menghancurkan semua guci di dalam gudang itu sehingga terjadi banjir arak hampir sepinggang tingginya.”

Linghu Chong tertawa geli dan bertanya menegas, “Jadi, kau telah menghancurkan semua guci arak di gudang Rumah Minum Peri Terbuang?”

“Ya, begitulah. Saat ini di dunia hanya tersisa dua guci ini saja arak Rumah Minum Peri Terbuang. Dengan demikian oleh-olehku ini menjadi lebih berharga, bukan? Hahahaha!” seru Tian Boguang sambil tertawa tgerbahak-bahak.

“Terima kasih, terima kasih!” kata Linghu Chong sambil meneguk isi mangkuk kedua sampai habis. “Saudara Tian sudah bersusah payah menjengukku sambil memikul dua guci arak ini saja aku sudah memberikan penghargaan setinggi-tingginya. Jangankan membawa oleh-oleh arak nomor satu di dunia, bahkan membawa air tawar saja aku sudah sangat berterima kasih.”

Tian Boguang memandangi Linghu Chong dengan seksama, kemudian berseru sambil mengacungkan jempol, “Bagus sekali! Kau memang laki-laki sejati!”

“Mengapa Saudara Tian memuji seperti itu?” tanya Linghu Chong.

“Kau tahu kalau orang bermarga Tian ini seorang penjahat cabul yang suka berbuat kejahatan. Aku juga pernah membuatmu terluka parah, serta melakukan banyak perbuatan buruk di dekat Gunung Huashan ini. Setiap orang Huashan ingin membunuhku,” jawab Tian Boguang. “Tapi sekarang aku datang membawa dua guci arak dan Saudara Linghu berani minum bersamaku tanpa khawatir jangan-jangan arak ini sudah kucampur dengan racun. Maka itu, aku menyebutmu sebagai laki-laki sejati karena hanya yang berjiwa besar saja yang berhak meneguk arak istimewa ini.”

“Ah, Saudara Tian terlalu memuji,” sahut Linghu Chong. “Kita sudah bertarung dua kali. Pertama di gua, kedua di rumah makan. Meskipun Saudara Tian suka berbuat cabul dan tidak senonoh, namun aku yakin segala perbuatan licik dan pengecut tentu kau tak sudi melakukannya. Lagipula ilmu silat Saudara Tian lebih tinggi dariku. Kalau kau ingin aku mati, tinggal ayunkan golok saja – mengapa harus repot-repot menaruh racun segala?”

“Benar juga ucapanmu, Saudara Linghu,” seru Tian Boguang sambil tertawa. “Tapi apa kau tahu kalau kedua guci ini tidak langsung kubawa dari Chang’an menuju Gunung Huashan? Kedua guci ini sempat kubawa mampir ke Shanxi Utara untuk melakukan dua perampokan, kemudian kubawa ke Shanxi Selatan untuk menemaniku melakukan dua pencurian pula. Baru setelah itu aku bawa naik ke Huashan sini.”

Linghu Chong terperanjat. Setelah termenung sejenak ia lantas berkata, “Aku tahu sekarang. Saudara Tian sengaja mampir ke Shanxi untuk membuat onar dengan tujuan memancing Guru dan Ibu Guru supaya turun gunung mengejarmu. Padahal tujuanmu yang sebenarnya adalah mengunjungi aku di sini. Ini namanya siasat ‘memancing harimau turun gunung’. Sebenarnya, apa yang kau inginkan dariku, Saudara Tian?”

“Boleh juga tebakan Saudara Linghu ini,” ujar Tian Boguang sambil tersenyum.

“Baiklah kalau begitu,” kata Linghu Chong sambil menuang arak ke dalam mangkuk. “Saudara Tian adalah tamu kehormatanku. Di puncak sunyi ini aku tidak bisa menyuguhkan apa-apa. Biarlah kupinjam arakmu untuk menjamu kedatanganmu ini. Silakan menikmati kelezatan arak nomor satu di dunia.”

“Terima kasih,” jawabTian Boguang sambil menerima mangkuk tersebut dan kemudian meneguk isinya.

Linghu Chong lantas meneguk pula semangkuk arak. Sambil bergelak tawa mereka saling memperlihatkan mangkuk masing-masing yang telah kosong.

Setelah menaruh mangkuknya di atas batu, tiba-tiba Linghu Chong menendang kedua guci arak di depannya sehingga jatuh ke dalam jurang dekat tebing. Selang agak lama barulah terdengar suara guci-guci itu pecah berantakan karena terbanting di dasar jurang yang sangat dalam.

Tian Boguang terkejut dan bertanya, “Hei, kenapa Saudara Linghu membuang kedua guci arak itu?”

Linghu Chong menjawab, “Tian Boguang, jalan hidup kita berbeda. Kejahatanmu sudah melampaui batas. Setiap orang di dunia persilatan ingin mencabut nyawamu. Linghu Chong menghormatimu karena kau punya sifat yang kesatria dan tidak pengecut. Maka itu, aku bersedia minum tiga mangkuk arak bersama dirimu. Tapi, persahabatan kita terpaksa berakhir sampai di sini. Jangankan cuma dua guci arak, sedangkan segala benda perhiasan dan permata di dunia ini andai kau suguhkan kepadaku juga tidak akan aku sentuh.” Usai berkata demikian ia pun bangkit dan mencabut pedangnya sambil berseru, “Tian Boguang, biarlah malam ini aku berkenalan lebih lanjut dengan jurus golokmu yang hebat itu.”

Namun Tian Boguang hanya tersenyum sambil menggeleng. “Saudara Linghu, ilmu pedang Perguruan Huashan memang hebat, tapi penguasaanmu belum sempurna. Kau masih bukan tandinganku.”

Teringat pada pertandingan sebelumnya, Linghu Chong mengangguk setuju. Ia kemudian menyarungkan pedangnya kembali sambil berkata, “Ucapan Saudara Tian memang benar. Meskipun sepuluh tahun lagi aku masih belum yakin bisa membunuhmu.”

Tian Boguang tertawa lebar lalu berkata, “Orang yang bisa membaca gelagat adalah laki-laki sejati.”

Linghu Chong menjawab, “Aku, Linghu Chong, hanya seorang keroco di dunia persilatan. Saudara Tian yang berilmu tinggi bersusah payah naik kemari tentu bukan untuk mengambil nyawaku. Tapi harap dimaklumi, kita ini bukan lawan juga bukan kawan. Kehendak Saudara Tian sama sekali tidak bisa kupenuhi.”

“Kehandak apa?” tanya Tian Boguang. “Aku belum mengutarakan maksudku tapi kau sudah menolaknya.”

“Benar,” sahut Linghu Chong. “Tidak peduli apa pun kehendakmu, aku tetap tidak sudi menurutinya. Ilmu silatku jauh lebih rendah, maka lebih baik aku menyingkir saja. Selamat tinggal!”

Belum sampai selesai berbicara, Linghu Chong sudah memutar badan untuk melesat pergi ke balik tebing. Ia sadar betapa tinggi ilmu meringankan tubuh Tian Boguang. Penjahat tersebut memiliki ilmu golok yang sangat hebat dan suka berbuat kejahatan, baik itu perampokan ataupun pemerkosaan. Namun karena ilmu meringankan tubuhnya yang teramat tinggi, sehingga membuatnya selalu lolos dari kejaran pihak lain yang ingin menangkapnya. Itulah sebabnya mengapa Linghu Chong ingin lekas-lekas pergi dan berusaha sekuat tenaga menghindari penjahat cabul tersebut.

Namun demikian, meskipun ia merasa sudah berlari secepat-cepatnya, namun Tian Boguang ternyata masih lebih cepat. Hanya dalam jarak sepuluh meter tahu-tahu penjahat itu sudah menghadang di hadapannya. Meskipun Linghu Chong memutar badan untuk melompat ke lembah yang lebih rendah, namun tetap saja Tian Boguang berhasil menghadangnya lagi dalam jarak sepuluh langkah.

“Tidak dapat lari, terpaksa berkelahi,” seru Linghu Chong sambil mencabut pedang. “Mari kita coba lagi, Saudara Tian! Tapi mohon maaf kalau aku terpaksa berteriak meminta bantuan.”

Tian Boguang menjawab, “Kalau gurumu yang terhormat datang kemari, tentu aku yang memilih kabur sejauh-jauhnya. Tapi sayang, Tuan dan Nyonya Yue sedang berada di Shanxi yang jaraknya sekitar seratus lima puluh Li dari sini. Tentu saja kau tidak bisa mengharapkan mereka kembali kemari dalam waktu singkat untuk membantumu. Sementara adik-adikmu meskipun berjumlah banyak juga tidak ada gunanya. Kalau mereka datang ke sini, maka yang laki-laki akan mati sia-sia, sementara yang perempuan, hehe... malah kebetulan...”

Linghu Chong menendang jatuh guci arak.

Linghu Chong tertegun menyadari kebenaran ucapan penjahat itu. Dalam hati ia berpikir, “Tebing Perenungan ini letaknya sangat jauh dari gedung utama Perguruan Huashan. Meskipun aku berteriak sekuat tenaga, belum tentu adik-adikku bisa mendengar suaraku. Penjahat cabul ini sungguh keji. Apabila dia melihat Adik Kecil, bisa-bisa… aih! Untungnya, aku tidak berhasil kabur atau melarikan diri. Andai saja aku tadi berhasil lolos, tentu dia akan mengobrak-abrik gedung perguruan untuk mencariku. Apabila dia sampai menemukan dan menangkap Adik Kecil, maka… maka aku tidak akan pernah memaafkan diriku sendiri. Mati ribuan kali juga tidak bisa menebus kesalahanku.” Setelah berkedip beberapa kali, pemuda itu seolah menemukan jalan keluar. “Sepertinya cara terbaik untuk menghadapi penjahat ini adalah mengulur waktu selama-lamanya. Asalkan aku bisa menahan dia di sini sampai Guru dan Ibu Guru kembali ke Huashan, tentu ini menjadi jalan yang terbaik.”

Usai berpikir demikian, Linghu Chong pun berkata sambil mengangkat bahu, “Baiklah, aku memang tidak bisa menghindar darimu, juga tidak bisa mencari bantuan. Apa hendak dikata?”

“Aduh, Saudara Linghu,” sahut Tian Boguang dengan tertawa, “kedatanganku kemari bukan untuk menyusahkanmu. Malah sebaliknya, aku ingin membuatmu senang. Aku yakin, kelak kau akan berterima kasih kepadaku.”

Linghu Chong menjawab, “Saudara Tian adalah maling cabul yang suka berbuat macam-macam kejahatan. Tidak peduli kehendakmu bermanfaat atau tidak, aku tetap tidak sudi menjadi begundalmu.”

Tian Boguang berkata, “Memang benar aku ini maling cabul yang mahatega. Sebaliknya, Saudara Linghu adalah murid utama pendekar paling budiman di dunia persilatan – Tuan Yue. Tapi baru sekarang kau berkata demikian dan bukan sejak dulu saja?”

“Sejak dulu bagaimana?” sahut Linghu Chong.

“Bukankah di Rumah Minum Huiyan antara kau dan aku pernah minum bersama dalam satu meja?” jawab Tian Boguang balik bertanya.

“Hanya minum bersama apalah artinya?” ujar Linghu Chong. “Dalam sejarah juga tidak sedikit kaum pahlawan yang minum bersama musuh. Misalnya, Liu Bei dan Cao Cao pada zaman Tiga Negara.”

“Benar juga,” sahut Tian Boguang. “Waktu di Wisma Kumala kita juga pernah main perempuan bersama.”

“Hus!” bentak Linghu Chong. “Waktu itu aku sedang terluka parah dan kehilangan kesadaran. Mana bisa dikatakan main perempuan segala?”

“Akan tetapi, bukankah waktu itu kau tidur satu ranjang dengan kedua nona yang cantik jelita itu?” desak Tian Boguang sambil tertawa.

Hati Linghu Chong tergetar. Segera ia membentak, “Tian Boguang, hendaknya mulutmu itu dijaga supaya sedikit lebih bersih. Linghu Chong selamanya selalu menjaga kehormatan, dan kedua gadis itu juga masih suci bersih. Jika kau masih sembarangan bicara, terpaksa aku tak perlu segan-segan lagi.”

“Apa gunanya kau bicara seperti itu?” sahut Tian Boguang sambil tertawa. “Jika kau memang menjaga kehormatan dan kesucian mereka, mengapa waktu itu kau terang-terangan main gila dengan kedua nona itu di hadapan orang-orang Perguruan Qingcheng, Hengshan, dan Henshan, hah?”

Linghu Chong semakin gusar. Segera ia menghantam ke depan namun tidak mengenai sasaran karena Tian Boguang lebih dulu mengelak. Penjahat itu kembali mengejek, “Apa yang terjadi malam itu tidak bisa kau pungkiri. Kalau kau memang tidak pernah main gila dengan kedua gadis itu, mengapa sekarang mereka sangat merindukanmu?”

Diam-diam Linghu Chong berpikir, “Bajingan ini sungguh tidak tahu malu. Segala macam fitnah bisa saja keluar dari mulut kotornya. Sepertinya dia mencoba memancing amarahku dengan segala ucapan yang tidak benar. Hm, aku harus membalas dengan mengungkit pertandingan di Rumah Minum Huiyan tempo hari, di mana ia jatuh ke dalam siasatku. Aku yakin itu merupakan peristiwa memalukan seumur hidup baginya.”

Menyadari hal itu, Linghu Chong pun berkata, “Aha, aku tahu sekarang! Kedatangan Saudara Tian kemari karena disuruh gurumu, bukan? Sepertinya Adik Yilin mengirimkan dua guci arak sebagai ucapan terima kasih karena aku telah membantunya mencarikan seorang murid yang baik, hahahaha!”

Seketika wajah Tian Boguang bersemu merah dan mulutnya berhenti tertawa. Ia lantas berkata, “Kedua guci arak itu adalah oleh-olehku sendiri. Hanya saja, kedatanganku kemari memang ada hubungannya dengan Biksuni Kecil Yilin.”

Linghu Chong menukas, “Guru ya guru! Kenapa masih kau panggil dia biksuni kecil segala? Laki-laki sejati harus memegang janji. Adik Yilin itu murid Perguruan Henshan yang ternama di dunia persilatan. Sungguh beruntung kau bisa berguru kepadanya. Hahahaha!”

Kini Tian Boguang benar-benar marah. Hampir saja ia mencabut golok yang tergantung di pinggang, namun untungnya masih bisa menahan diri. Ia lantas berkata dengan nada dingin, “Saudara Linghu, kepandaianmu biasa-biasa saja, tapi mulutmu sungguh lihai.”

Linghu Chong menjawab, “Karena ilmu silatku kalah darimu, maka aku gunakan mulut ini untuk melawanmu, Saudara Tian.”

“Soal adu mulut jelas aku mengaku kalah. Sekarang, mau tidak mau kau harus ikut denganku,” ajak Tian Boguang.

“Tidak mau,” jawab Linghu Chong. “Meskipun dibunuh aku tetap tidak mau.”

“Apa kau tahu hendak kuajak ke mana?” sahut Tian Boguang bertanya.

“Tidak tahu dan tidak perlu tahu,” jawab Linghu Chong. “Pendek kata, meskipun kau bawa aku naik ke langit atau masuk ke dalam bumi, aku tetap tidak sudi ikut denganmu.”

“Sebenarnya aku hendak mengajakmu menemui Biksuni Yilin,” lanjut Tian Boguang sambil mengangguk perlahan.

Linghu Chong terkejut, “Hei, apakah Adik Yilin kembali jatuh ke dalam cengkeramanmu? Sungguh kurang ajar kau berani berbuat tidak senonoh kepada gurumu sendiri.”

Tian Boguang semakin gusar. Ia pun berkata lantang, “Guruku yang asli sudah lama meninggal. Jangan lagi kau campur adukkan antara guruku dengan Biksuni Yilin!” Setelah agak tenang, ia melanjutkan, “Saudara Linghu, siang dan malam Biksuni Yilin selalu terkenang kepadamu. Karena dirimu sudah kuanggap sebagai sahabat, maka sejak itu aku pun tidak berani kurang ajar kepadanya. Ya, untuk masalah ini kau boleh percaya padaku. Apakah kita bisa berangkat sekarang?”

“Tidak mau, aku tidak mau!” sahut Linghu Chong. “Sekali tidak mau selamanya tetap tidak mau.”

Tian Boguang hanya tersenyum. Melihat itu Linghu Chong bertanya dengan heran, “Apanya yang lucu? Ilmu silatmu lebih unggul. Apa kau hendak memaksaku menggunakan kekerasan?”

Tian Boguang menjawab, “Aku sama sekali tidak ingin bersikap kasar padamu, juga tidak akan memaksamu dengan kekerasan. Tapi jauh-jauh aku kemari, tentu tidak boleh pulang dengan tangan hampa.”

“Tian Boguang,” sahut Linghu Chong, “ilmu golokmu sangat hebat. Tentu tidak sulit bagimu membunuh orang sepertiku. Tapi Linghu Chong lebih suka mati daripada dihina. Jika kau ingin menawanku hidup-hidup, huh, jangan harap!”

Tian Boguang memandang tajam ke arah Linghu Chong. Ia kenal sifat pemuda itu memang suka nekad dan tidak takut mati. Maka, ia pun berkata, “Saudara Linghu, sebenarnya ada orang yang menyuruhku untuk membawamu menemui Biksuni Yilin. Itulah yang sebenarnya terjadi. Kenapa pula kau harus mengadu nyawa denganku?”

“Kalau aku sudah bilang tidak mau, maka tidak seorang pun bisa memaksaku,” kata Linghu Chong. “Meskipun Guru, Ibu Guru, Ketua Serikat, atau Kaisar sekalipun yang menyuruh tetap aku akan menolaknya. Meskipun berkali-kali kau meminta, jawabanku tetap saja sama. Pendek kata, aku tidak mau pergi denganmu!”

Tian Boguang bertambah gusar. Ia pun mencabut goloknya dan berkata, “Baik, kalau begitu! Jangan salahkan aku jika berbuat kasar kepadamu!”

Linghu Chong pun menghunus pedangnya dan menjawab, “Kau bermaksud memaksaku ikut denganmu, itu sudah termasuk perbuatan kasar. Biarlah hari ini Puncak Gadis Kumala menjadi tempat persemayaman abadiku.”

Tian Boguang mundur selangkah sambil mengernyitkan dahi. Ia kemudian berkata, “Saudara Linghu, kita tidak punya permusuhan juga tidak ada dendam. Untuk apa bertarung mengadu nyawa? Bagaimana kalau sebaiknya kita bertaruh saja?”

Diam-diam Linghu Chong merasa gembira. Dengan cara demikian ia berharap paling tidak bisa mengulur waktu menunggu kehadiran sang guru. Maka, ia lantas berkata dengan lagak jual mahal, “Taruhan apa? Menang atau kalah aku tetap tidak mau pergi.”

Tian Boguang menjawab, “Memangnya murid pertama Perguruan Huashan sedemikian takutnya menghadapi ilmu golok kilat Tian Boguang? Tiga puluh jurus saja, bagaimana?”

“Apa yang aku takuti?” sahut Linghu Chong. “Paling-paling aku hanya mati saja. Kenapa harus takut?”

Tian Boguang berkata, “Saudara Linghu, bukannya aku meremehkan dirimu atau bagaimana, tapi tiga puluh jurus golokku ini sukar bagimu untuk menghadapinya. Jika kau bisa menangkis ketiga puluh jurusku ini maka aku akan mohon diri dari sini. Tapi kalau aku yang menang, maka kau harus berjanji ikut pergi denganku menemui Biksuni Yilin. Tidak ada lagi tawar-menawar.”

Linghu Chong merenung sejenak. Dengan berbekal pengalaman dua kali bertarung yang pernah didapatkan sebelumnya, ditambah lagi dengan petunjuk yang pernah ia peroleh dari guru dan ibu-guru, maka ia pun menjawab, “Baik, akan aku layani tiga puluh jurus seranganmu.”

Bersamaan dengan itu ia pun menusukkan pedangnya terlebih dahulu. Jurus yang ia gunakan adalah Burung Feng Datang Menyembah. Dalam waktu singkat tubuh Tian Boguang terbungkus sinar pedang pemuda itu.

“Ilmu pedang yang bagus!” seru Tian Boguang memuji sambil menangkis dengan goloknya dan melangkah mundur.

“Itu jurus pertama!” seru Linghu Chong sambil menyerang menggunakan gerakan Cemara Tua Menyambut Tamu.

Tian Boguang kembali memuji. Menyadari kehebatan jurus tersebut, ia pun bergeser ke samping untuk menghindar. Meskipun gerakan menghindar tidak boleh dihitung sebagai jurus, namun Linghu Chong tidak peduli. Ia tetap saja berseru, “Itu jurus kedua!” sambil melancarkan serangan lain.

Begitulah, berturut-turut Linghu Chong menyerang lima kali sementara Tian Boguang hanya menghindar atau menangkis saja. Meskipun demikian, Linghu Chong tetap menghitungnya sebagai jurus dan jumlah yang dikerahkan sudah jatuh pada hitungan kelima.

Maka ketika Linghu Chong melancarkan serangan keenam dari bawah menusuk ke atas, mendadak Tian Boguang menggertak dengan keras dan mengayunkan goloknya sampai beradu dengan pedang lawannya itu, “Keenam! Ketujuh! Kedelapan! Kesembilan! Kesepuluh!”

Setiap kali berseru menghitung, setiap kali pula golok Tian Boguang mengayun ke bawah. Satu kali hitungan, satu kali serangan. Jadi, berturut-turut ia menyerang dengan jurus yang sama sebanyak lima kali. Semakin lama serangannya semakin dahsyat. Akibatnya, Linghu Chong pun merasa kewalahan menangkisnya. Setiap kali senjata mereka beradu, Linghu Chong merasa sesak napas dan tangannya tergetar kesakitan. Sampai akhirnya, pada serangan keenam ia tidak tahan lagi dan pedangnya pun jatuh ke tanah. Dan pada serangan ketujuh ia hanya menutup mata menanti ajal.

“Hahahaha!” Tian Boguang tertawa menghentikan serangannya. “Jurus keberapa ini?”

Linghu Chong menjawab, “Tidak hanya ilmu golokmu yang sangat hebat, bahkan tenagamu juga lebih kuat dariku. Linghu Chong mengaku kalah.”

“Bagus kalau demikian. Mari kita berangkat!” ajak Tian Boguang.

“Tidak mau! Aku tidak mau!” jawab Linghu Chong sambil menggeleng.

Melihat itu Tian Boguang berkata, “Saudara Linghu, aku menghormatimu sebagai seorang kesatria sejati yang bisa memegang janji. Dalam perjanjian tadi kau sudah kalah, mengapa sekarang mencoba ingkar?”

Linghu Chong menjawab, “Aku memang melayani tantanganmu. Tapi, apa aku tadi berjanji jika aku kalah akan menuruti permintaanmu?”

Tian Boguang terdiam seketika. Ia baru sadar kalau Linghu Chong tidak pernah berjanji jika kalah akan menuruti kemauannya. Ia kemudian berkata, “Hm, kau punya marga mengandung kata ‘Hu’ yang membuatmu licik seperti seekor rubah. Baiklah, bagaimana selanjutnya?”

Linghu Chong menjawab, “Aku kalah karena tenagamu lebih kuat dariku. Untuk ini aku masih penasaran. Biarkan aku istirahat sebentar, nanti kita lanjutkan lagi.”

“Baik, aku turuti permintaanmu,” ujar Tian Boguang. “Akan kubuat kau nanti menyerah lahir batin.” Usai berkata demikian, Tian Boguang pun duduk di atas batu sambil tersenyum lebar memandangi Linghu Chong.

Diam-diam Linghu Chong berpikir, “Keparat ini memaksaku untuk mengikutinya pergi meninggalkan Gunung Huashan. Entah apa tujuan dia sebenarnya? Jika hanya untuk menemui Adik Yilin saja, rasanya sulit dipercaya. Dia tidak mau mengakui Adik Yilin sebagai gurunya, juga Adik Yilin tidak mungkin berani menemuinya. Jadi, mana mungkin Adik Yilin memintanya datang kemari? Tapi di atas itu semua, aku harus menemukan cara untuk melarikan diri.”

Linghu Chong kemudian merenungi keenam serangan Tian Boguang tadi. “Hm, sebenarnya jurusnya tadi tidak ada yang istimewa. Hanya saja, tenaganya sangat kuat membuat tanganku kesakitan menangkisnya.” Setelah terdiam sejenak, ia kemudian teringat peristiwa beberapa bulan yang lalu, “Waktu itu Paman Mo membinasakan Fei Bin dengan jurus yang sangat cepat dan tak terduga. Mungkin aku bisa menggunakannya untuk menghadapi penjahat ini. Selain itu di gua belakang juga banyak terdapat gambar-gambar jurus pedang Perguruan Hengshan yang hebat dan mematikan. Aku bisa mempelajarinya untuk mengalahkan penjahat itu. Tapi... tunggu dulu, bagaimanapun hebatnya ilmu pedang Perguruan Hengshan, mana bisa aku mempelajarinya dalam waktu singkat? Aih, sungguh tidak masuk akal.”

Melihat raut muka Linghu Chong yang sebantar gembira sebentar kemudian murung, Tian Boguang tertawa dan berkata, “Saudara Linghu, apa kau sudah mendapat akal bulus lagi untuk mengalahkan aku?”

Ucapan Tian Boguang yang mengejeknya sebagai “bulus” membuat Linghu Chong marah dan berteriak, “Untuk mematahkan ilmu golokmu buat apa menggunakan akal bulus segala? Aku tahu kau sengaja banyak bicara untuk memecah konsentrasiku. Sudahlah... biar aku pikirkan di dalam gua saja! Aku butuh ketenangan. Kau jangan ikut masuk dan mengganggu aku!”

“Baiklah, kau boleh pergi ke sana memeras otak. Aku tak akan mengganggu” ujar Tian Boguang sambil tertawa.

Ucapan “memeras otak” yang diteriakkan Tian Boguang semakin membuat Linghu Chong kesal. Ia pun masuk ke dalam gua dan langsung menyalakan obor untuk kemudian dibawanya menelusuri lorong rahasia hingga sampai ke dalam gua belakang. Di antara gambar-gambar jurus Serikat Pedang Lima Gunung yang terukir di dinding gua, ia segera mengamati beberapa jurus ilmu pedang Perguruan Hengshan dengan seksama. Melihat betapa indah namun juga dahsyat jurus-jurus tersebut membuat Linghu Chong berdecak kagum. Seolah tidak ada hentinya dan memiliki variasi tak terbatas jumlahnya. Seandainya tidak melihat langsung, mungkin ia tak akan percaya di dunia terdapat ilmu pedang seaneh itu.

“Dalam waktu singkat jelas tidak mungkin bagiku untuk mempelajari ilmu pedang ini dengan baik. Sebaiknya aku ambil saja beberapa jurus yang paling aneh dan memiliki serangan tak terduga. Aku harus menghafalkannya dengan cepat dan setelah keluar nanti, akan kugunakan untuk menyerang penjahat itu. Siapa tahu dengan jurus aneh dari Hengshan ini aku bisa mengalahkannya,” demikian pikirnya.

Begitu menentukan pilihan, Linghu Chong langsung membaca dan berusaha menghafalkannya. Meskipun jurus pada gambar tersebut dapat dipatahkan pihak lawan, namun ia berpikir Tian Boguang tentu belum mengenalnya, sehingga ada peluang untuk menang.

Satu jam telah berlalu. Linghu Chong berusaha keras menghafalkan beberapa jurus Perguruan Hengshan yang telah dipilih dan memperagakannnya beberapa kali. Tak lama kemudian terdengar suara Tian Boguang berteriak dari luar gua.

“Saudara Linghu, kalau kau tidak segera keluar, maka aku yang akan melabrakmu ke dalam.”

Buru-buru Linghu Chong berlari keluar dengan menghunus pedang sambil berteriak, “Baiklah, akan kucoba ketiga puluh jurus seranganmu.”

Tian Boguang menyambutnya dengan pertanyaan, “Sekali ini kalau Saudara Linghu yang kalah bagaimana?”

“Bukan kali yang pertama aku kalah darimu. Jadi, mengapa masih bertanya harus bagaimana?” sahut Linghu Chong sambil melompat menerjang. Belum selesai bicara ia sudah melancarkan tujuh serangan tanpa henti. Semuanya adalah jurus yang baru ia pelajari di gua belakang.

Tian Boguang terkejut bukan main. Ia tidak menduga dalam ilmu pedang Perguruan Hengshan terdapat jurus pedang seperti itu. Sejenak ia merasa kewalahan sampai pada jurus kesepuluh. “Celaka, kalau aku hanya bertahan, bisa-bisa tiga puluh jurus terlewatkan begitu saja.”

Maka, penjahat itu pun ganti menyerang dengan sangat keras. Karena jurus pedang Hengshan mengandalkan kecepatan, maka Linghu Chong tidak kuasa untuk menangkis serangan golok yang dahsyat tersebut. Akibatnya, pada jurus kesembilan belas pedangnya pun kembali terlempar ke udara.

Linghu Chong menghadapi tantangan tiga puluh jurus dari Tian Boguang.

(Bersambung)