Bagian 60 - Mengangkat Saudara

Xiang Wentian tersinggung dan menantang Linghu Chong.

Karena tidak khawatir lagi terhadap serangan senjata rahasia musuh, Xiang Wentian terus berlari dengan cepat. Setelah melewati dua lembah, ia berkata, “Kita sudah sampai!”

Usai berseru demikian, orang tua itu menghela napas lega, lalu bergelak tawa, sangat gembira. Maklum, jarak yang ditempuh hanya belasan kilo untuk mencapai tempat aman tersebut, namun harus menghadapi berbagai macam marabahaya. Tadinya ia tidak dapat memastikan apakah dapat meloloskan diri dari para pengeroyok yang mengejar tanpa henti itu atau tidak.

Sewaktu memandang ke sekeliling, mau tidak mau Linghu Chong merasa khawatir. Ternyata di depan terbentang balok batu sempit yang di bawahnya terdapat jurang tak terhitung dalamnya. Balok batu itu membentang ke depan dan hanya beberapa meter saja yang dapat terlihat, karena sebagian tertutup kabut tebal. Entah sampai di mana ujung balok yang satu lagi berada?

“Adik cilik,” kata Xiang Wentian dengan suara lirih, “di tengah kabut putih itu terdapat rantai besi. Kau jangan sembarangan melangkah.”

“Baik!” jawab Linghu Chong. Dalam hati ia bertambah khawatir, dan berpikir, “Balok batu ini lebarnya hanya beberapa puluh senti, sedangkan jurang yang ada di bawahnya begitu dalam. Benar-benar sangat berbahaya. Apalagi di depan sana balok batu diganti rantai besi. Dengan kemampuanku saat ini rasanya sulit bagiku untuk melewatinya.”

Xiang Wentian kemudian membuka ikatan rantai pada tangan mayat yang disebutnya “si tameng mati” tadi. Dari pinggang mayat itu dilolosnya sebilah pedang dan diberikannya kepada Linghu Chong. Lalu “si tameng mati” itu ditegakkan di depan sebagai penghalang. Hanya sebentar saja menunggu, rombongan pengejar pertama sudah tiba. Dalam rombongan ini terdapat tokoh-tokoh aliran lurus maupun sesat. Melihat tempat tersebut sangat berbahaya, serta Xiang Wentian juga dalam posisi siap mengadu nyawa, membuat mereka tidak ada yang berani maju.

Tidak lama kemudian, musuh yang datang semakin banyak. Mereka berkerumun di tempat yang berjarak beberapa meter sambil mencaci maki. Menyusul kemudian segala macam senjata rahasia pun dihamburkan ke udara. Xiang Wentian dan Linghu Chong segera bersembunyi di balik mayat “si tameng mati” dengan aman. Tiada satu pun senjata rahasia yang mengenai mereka.

Tiba-tiba terdengar suara teriakan seseorang dengan suara menggelegar menggetarkan lembah. Rupanya seorang biksu berambut memutar sebatang tongkat besar kemudian menerjang ke arah balok batu. Tongkatnya yang besar begitu mendekat lantas menebas ke arah pinggang Xiang Wentian.

Dengan merendahkan tubuhnya, Xiang Wentian berhasil menghindari ayunan tongkat itu, sehingga serangan lawan hanya lewat di atas kepalanya. Xiang Wentian kemudian balas mengayunkan rantainya untuk membelit kaki lawan. Si biksu berambut yang terlanjur mengerahkan tenaga untuk mengayunkan tongkatnya terpaksa meloncat ke atas untuk menghindar, karena tidak mampu menarik kembali tongkatnya untuk menangkis lecutan rantai. Tak disangka rantai Xiang Wentian berputar dengan cepat bagaikan ular yang kemudian membelit pergelangan kaki kanan lawan, lalu mengayunkannya ke atas dengan memanfaatkan tenaga si biksu berambut itu sendiri. Si biksu berambut kehilangan keseimbangan dan tubuhnya pun jatuh ke arah jurang. Tanpa ampun, Xiang Wentian menarik rantainya sehingga terlepas dari kaki lawan. Tubuh biksu berambut itu pun jatuh meluncur ke dalam jurang dengan disertai suara raungannya yang mengerikan.

Peristiwa itu membuat merinding bulu kuduk para pengejar. Tanpa sadar mereka pun mundur beberapa langkah karena takut menjadi sasaran rantai Xiang Wentian. Untuk beberapa lama, kedua pihak sama-sama menahan diri. Kemudian dua orang pengejar keluar dari kerumunan. Yang satu bersenjata sepasang gada, sedangkan yang satu lagi seorang biksu bersenjata tongkat sekop bulan sabit. Kedua orang itu menerjang maju bersama-sama. Sepasang gada masing-masing menghantam ke arah muka dan perut Xiang Wentian, sementara tongkat sekop bulan sabit menusuk ke arah iga kirinya.

Ketiga senjata yang menyerang Xiang Wentian semuanya berat dan disertai tenaga dalam tingkat tinggi. Rupanya kedua penyerang itu sudah memperhitungkan segala kemungkinan. Xiang Wentian sendiri merasa terkepung dan tidak dapat menghindar, sehingga mau tidak mau ia pun menggunakan rantai borgol untuk menangkis serangan. Sebanyak tiga kali terjadi benturan senjata hingga memercikkan kembang api. Pertarungan kali ini benar-benar keras lawan keras, hanya mengandalkan adu tenaga, dan sama sekali tanpa tipuan. Terdengar sorak-sorai orang-orang menyaksikan pertarungan itu.

Setelah senjata mereka terbentur ke samping, kedua penyerang itu kembali menerjang maju. Lagi-lagi empat buah senjata saling beradu dengan sangat keras. Kedua orang itu tampak menggeliat dan bergoyang-goyang, sementara Xiang Wentian masih tegak berdiri dengan kokoh. Tanpa memberi kesempatan musuh untuk bernapas, Xiang Wentian membentak sambil menyabetkan rantai pula. Ketika kedua lawan menangkis dengan senjata masing-masing, terdengar suara mendering nyaring sebanyak tiga kali. Si biksu berambut tidak tahan lagi dan melepaskan tongkatnya dari pegangan. Darah segar pun menyembur keluar dari mulutnya.

Laki-laki yang satu lagi masih mampu menguasai diri. Ia mengangkat sepasang gada dan memukulkannya ke arah dada Xiang Wentian. Kali ini Xiang Wentian tidak berkelit juga tidak menghindar. Ia hanya berdiri tegak menyambut pukulan itu dengan tertawa terbahak-bahak. Senjata musuh tiba-tiba jatuh ke tanah ketika hanya berjarak beberapa senti saja di depan dadanya. Menyusul kemudian laki-laki itu roboh dan terkapar untuk selamanya. Ternyata ia mati tergetar akibat tenaga Xiang Wentian yang luar biasa tadi.

Melihat itu, para pengejar yang berkerumun hanya bisa saling pandang dengan wajah pucat pasi. Tiada seorang pun yang berani maju.

Xiang Wentian pun berkata kepada Linghu Chong, “Adik cilik, aku hendak main tarik ulur dengan mereka. Kau duduk saja dengan tenang dan beristirahatlah.” Usai berkata demikian, ia lantas duduk bersila di tanah dengan wajah acuh tak acuh.

Sejenak kemudian tiba-tiba seseorang berseru lantang, “Iblis takabur, kau berani memandang enteng para kesatria di muka bumi, hah?”

Menyusul empat orang pendeta Tao melangkah maju sambil menghunus pedang. Serentak mereka mengacungkan pedang ke arah Xiang Wentian kemudian membentak, “Berdirilah untuk bertempur dengan kami!”

“Hehe, memangnya si marga Xiang ada salah apa terhadap Perguruan Emei kalian?” ejek Xiang Wentian.

Rupanya pendeta-pendeta itu berasal dari Gunung Emei. Seorang di antara mereka menjawab, “Iblis jahat agama sesat membahayakan dunia. Kami yang berada di jalan benar berkewajiban untuk menumpas.”

“Indah sekali kata-kata iblis jahat agama sesat membahayakan dunia dan harus dibasmi. Di belakang kalian ada banyak anggota aliran sesat. Kenapa tidak kalian tumpas sekarang saja?” balas Xiang Wentian sambil tertawa terkekeh-kekeh.

“Gembongnya harus ditumpas lebih dulu!” sahut pendeta itu.

Xiang Wentian masih tetap duduk bersila sambil menengadah ke langit. Ia menjawab dengan nada sinis, “Oh, ternyata begitu. Benar juga, benar juga!” Tiba-tiba saja ia meloncat bangun dan membentak keras. Rantainya bagaikan ular hidup yang berusaha membelit kaki keempat pendeta itu.

Serangan mendadak tersebut sangat cepat dan ganas. Namun keempat pendeta itu adalah jago pilihan Perguruan Emei. Mereka tahu bagaimana harus menahan sambaran rantai musuh. Ketiga pendeta menempatkan pedang tegak lurus di depan pinggang untuk menangkis rantai tersebut, sedangkan pendeta yang berdiri paling kanan segera balas menusuk ke arah leher Xiang Wentian.

Xiang Wentian segera memalingkan kepala untuk menghindari tusukan itu. Permainan pedang pendeta itu gencar bagaikan angin. Secara berturut-turut ia menikam sebanyak tiga kali yang membuat Xiang Wentian agak kerepotan. Ketiga pendeta yang lain melangkah mundur karena pedang mereka melengkung akibat menangkis sambaran rantai tadi. Setelah menukar dengan pedang yang baru, mereka pun maju serentak untuk terjun kembali ke dalam pertempuran. Gerakan pedang keempat pendeta itu sungguh serasi dalam perpaduan. Kerja sama mereka seperti suatu formasi kecil yang rapat. Keempat pedang itu terlihat menari-nari di udara, kadang berpisah, kadang bersatu.

Linghu Chong yang mengamati pertempuran itu dapat melihat Xiang Wentian bergerak kurang leluasa karena harus menggerakkan kedua tangannya setiap kali mengayunkan rantai borgol. Apabila keadaan terus seperti ini, maka kekalahan akan sulit untuk dihindarkan. Maka, pemuda itu lantas maju ke arah sisi kanan Xiang Wentian, kemudian menusukkan pedangnya ke salah satu pendeta yang menyerang.

Serangan tersebut dilakukan dengan gerakan yang aneh sehingga si pendeta tidak mampu untuk menghindar. Namun pada saat pedangnya mengenai iga si pendeta, segera terlintas suatu pikiran di benak Linghu Chong, “Perguruan Emei memiliki nama baik yang banyak dihormati, dan tidak suka ikut campur urusan dunia persilatan. Aku harus membantu Tuan Xiang keluar dari kepungan, tapi aku juga tidak boleh mencelakai jiwa pendeta ini.” Maka ketika ujung pedangnya baru saja masuk ke dalam kulit lawan, dengan cepat ia berusaha menarik pedang itu kembali.

Akan tetapi, si pendeta lebih dulu menghimpit pedang itu menggunakan lengannya meskipun harus menahan rasa sakit. Maka sewaktu Linghu Chong menarik kembali pedangnya, iga dan lengan pendeta itu pun tergores cukup panjang.

Pada saat itulah pedang pendeta lainnya yang lebih tua segera menyambar dan tepat membentur pedang Linghu Chong. Tangan Linghu Chong terasa kesemutan. Ia bermaksud melepaskan pedangnya, namun segera teringat jika dirinya kehilangan senjata tentu keadaan lebih tidak menguntungkan. Maka sekuat tenaga ia pun menggenggam pedang itu. Terasa beberapa kali arus tenaga mengalir melalui pedang dan menyerang jantungnya dengan keras.

Pendeta pertama yang iganya tertusuk tadi mengalami luka gores yang cukup dalam sampai ke tulang. Darah segar pun mengucur deras, membuatnya terpaksa mundur karena tidak mampu bertarung lagi. Sementara itu, dua pendeta lainnya berada di balik punggung Linghu Chong, sedang mengeroyok Xiang Wentian dengan sengit. Ilmu pedang kedua pendeta itu sangat bagus dan mereka bekerja sama dengan baik. Setiap beberapa gebrakan selalu saja Xiang Wentian terdesak mundur selangkah. Sampai akhirnya tanpa terasa ia terus melangkah mundur ke belakang dan menghilang di tengah kabut tebal. Kedua pendeta penyerangnya terus saja memburu maju, hingga ujung pedang mereka tidak terlihat lagi.

Tiba-tiba salah seorang pengepung berteriak, “Awas, ada jembatan rantai besi!”

Akan tetapi terlambat sudah. Bersamaan dengan teriakan itu terdengar jeritan ngeri kedua pendeta tadi. Tubuh mereka terseret ke depan oleh kekuatan Xiang Wentian dan dalam sekejap sudah menghilang di dalam kabut. Kemudian terdengar suara jeritan mereka yang mengerikan, menurun ke bawah dengan cepat dan sekejap saja sudah tidak terdengar lagi. Rupanya kedua pendeta itu telah jatuh ke dalam jurang gelap.

Xiang Wentian terbahak-bahak dan muncul kembali dari balik kabut tebal. Namun tawanya langsung berhenti ketika melihat Linghu Chong berdiri terhuyung-huyung hampir roboh menghadapi serangan bertubi-tubi lawannya.

Ternyata pendeta dari Perguruan Emei itu sempat melihat bagaimana kehebatan ilmu pedang Linghu Chong saat bertempur di halaman gardu tadi. Memang dalam ilmu pedang, ia merasa tidak mampu menandingi Linghu Chong, tetapi dalam hal tenaga dalam ternyata pemuda itu biasa-biasa saja. Maka, dalam pertarungan kali ini si pendeta segera mengerahkan tenaga dalam melalui pedangnya untuk memukul jatuh Linghu Chong. Jangankan dalam keadaan sekarang, sekalipun Linghu Chong belum kehilangan tenaga dalam, tetap saja ia bukan tandingan jago Emei tersebut yang sudah berlatih selama lebih dari tiga puluh tahun.

Untung saja hawa murni dalam tubuh Linghu Chong berlimpah ruah, dan dapat digunakan untuk menahan serangan tenaga dalam dari lawan. Hanya saja hawa murni tersebut tidak dapat dikendalikan, membuat darah bergolak hebat sehingga mata pun berkunang-kunang dan pikiran menjadi kacau.

Pada saat itulah tiba-tiba ia merasa titik Dazhui di bagian punggung seperti dialiri suatu arus hawa panas yang membuatnya mampu menahan serangan musuh. Ternyata Xiang Wentian telah datang dan membantunya menyalurkan tenaga dalam tingkat tinggi menghadapi si pendeta.

Anehnya, Linghu Chong merasakan tenaga dalam Xiang Wentian ternyata tidak digunakan untuk membalas serangan musuh. Sebaliknya, tenaga musuh terasa mengalir menuju ke bawah, dari lengan ke pinggang, lalu menelusur ke bagian kaki dan akhirnya lenyap ke dalam tanah.

Si pendeta merasa terdesak. Ia pun menarik pedangnya sambil melompat mundur sambil berteriak, “Jurus Penyedot Bintang! Jurus Penyedot Bintang!”

Mendengar jurus tersebut, seketika muka para pengejar pun berubah pucat pasi. Hanya jago-jago berusia muda saja yang tidak begitu peduli terhadap jurus tersebut. Bukan karena mereka pemberani melainkan karena tidak kenal apa itu Jurus Penyedot Bintang.

Xiang Wentian tertawa dan berkata, “Ya, memang benar ini adalah Jurus Penyedot Bintang. Siapa yang ingin mencoba, boleh maju ke sini!”

Tetua Sekte Iblis yang bertubuh kurus dan berikat pinggang kuning berkata dengan suara serak, “Sepertinya kau telah bersekongkol dengan … dengan Ren … Ren …. Sebaiknya kita pulang saja, melapor kepada Ketua. Biarlah Beliau saja yang mengambil keputusan.”

Para anggota Sekte Iblis serentak mengiakan, lalu memutar tubuh dan melangkah pergi. Jumlah para penyerang yang ratusan orang itu seketika berkurang separuh lebih.

Sementara itu orang-orang dari aliran lurus tampak berbisik-bisik. Sejenak mereka saling berunding, kemudian membubarkan diri. Sampai akhirnya yang tertinggal di situ hanya belasan orang saja. Terdengar seorang di antaranya berseru lantang, “Xiang Wentian, Linghu Chong, ternyata kalian telah berkomplot dengan Iblis Tua Penyedot Bintang. Kalian sudah terjerumus semakin dalam, tak bisa diselamatkan lagi. Untuk selanjutnya, kawan persilatan tidak perlu banyak pikir tentang cara yang layak untuk menghadapi kalian. Jika kami terpaksa menggunakan cara-cara tidak jujur, ini juga akibat perbuatan kalian sendiri. Bila terjadi suatu hal nanti, semoga kalian tidak menyesal.”

“Apakah si marga Xiang pernah menyesal?” sahut Xiang Wentian sambil tertawa. “Kalian lebih dari seratus orang mengeroyok kami berdua, apakah itu terhitung cara yang jujur? Hehe, sungguh menggelikan, sungguh lucu!”

Belasan orang dari aliran lurus itu kemudian membubarkan diri. Xiang Wentian mendengarkan dengan seksama, sampai akhirnya ia yakin kalau semua musuh benar-benar sudah pergi jauh. Dengan suara perlahan orang tua itu berkata kepada Linghu Chong, “Kawanan anjing itu pasti akan kembali lagi. Xiang Wentian sudah lari satu kali, lari lagi juga tidak masalah. Adik cilik, naiklah ke punggungku!”

Melihat Xiang Wentian berkata dengan sungguh-sungguh, Linghu Chong tidak banyak bertanya lagi. Segera ia menurut dan memeluk punggung orang tua itu. Namun kali ini Xiang Wentian bukan membawanya lari, melainkan berjongkok, dengan sebelah kaki perlahan menjulur ke bawah jurang.

Linghu Chong terperanjat dengan perasaan cemas, saat melihat Xiang Wentian telah mengayunkan rantai dan melilit suatu batang pohon yang tumbuh menonjol pada dinding tebing. Setelah menarik-narik rantai untuk menguji kekuatan pohon tersebut, maka perlahan-lahan Xiang Wentian pun turun ke bawah sehingga tubuh mereka berdua tergantung-gantung di udara.

Setelah berayun beberapa kali dan menemukan tempat berpijak, Xiang Wentian pun menyendal rantainya untuk melepaskan belitan. Ketika rantai itu meluncur ke bawah, pada saat itu pula kedua tangan Xiang Wentian sedikit menahan dinding batu sekadar memperlambat daya turun tubuhnya. Kemudian rantai pun diayunkan ke samping untuk membelit pada sepotong batu karang yang mencuat keluar. Dengan demikian tubuh mereka berdua lantas turun lagi belasan meter ke bawah.

Dengan cara begitu mereka turun ke bawah jurang. Terkadang dinding karang itu tiada pepohonan, juga tiada batu karang yang mencuat. Maka Xiang Wentian lantas menggunakan cara paling berbahaya, yaitu menempel di dinding karang dan membiarkan tubuhnya meluncur ke bawah sampai belasan meter jauhnya. Tapi bila menemukan sedikit tempat yang bisa dipakai untuk bertahan, segera ia kerahkan ilmu saktinya, entah dengan pukulan atau dengan tendangan, untuk memperlambat daya turunnya itu.

Perbuatan seperti ini jelas membuat Linghu Chong khawatir dan was-was. Ia merasa cara turun yang demikian itu tidak kalah berbahaya dibanding dengan pertempuran sengit yang barusan terjadi. Tapi karena pada dasarnya ia memiliki sifat pemberani, kapan lagi pengalaman yang aneh dan luar biasa tersebut akan dialaminya? Kalau saja ia tidak bertemu dengan orang aneh semacam Xiang Wentian, mungkin dalam seratus kali kehidupan juga tidak akan pernah mengalaminya. Sebab itulah, ketika kedua kaki Xiang Wentian sudah menginjak dasar jurang, diam-diam ia merasa kecewa mengapa kedalaman jurang itu tidak bertambah beberapa ratus meter lagi.

Waktu ia menengadah, yang terlihat di mulut jurang hanyalah awan putih belaka. Jembatan balok batu sekarang terlihat sangat kecil, bagaikan satu garis hitam yang sangat halus.

“Tuan Xiang ….” baru saja Linghu Chong hendak bicara mendadak Xiang Wentian sudah mendekap mulutnya sambil menunjuk ke atas.

Segera Linghu Chong paham bahwa kawanan musuh yang pergi tadi telah datang kembali. Namun waktu ia memandang ke atas ternyata tidak satu pun bayangan musuh yang terlihat.

Xiang Wentian menarik tangannya dari mulut Linghu Chong, kemudian memasang telinga di dinding karang. Selang sejenak baru ia berkata dengan tersenyum, “Keparat, ada yang berjaga di atas sana, juga ada yang mencari ke segala penjuru.” Sejenak ia memandangi Linghu Chong, lalu melanjutkan, “Kau adalah murid perguruan lurus terkemuka, sedangkan si marga Xiang adalah iblis aliran sesat. Kita dari golongan yang berbeda yang saling bermusuhan. Tapi mengapa kau nekat menyelamatkan nyawaku dan harus berhadapan dengan kawan-kawan dari golonganmu sendiri?”

Linghu Chong menjawab, “Secara kebetulan saya bertemu dengan Tuan Xiang dan bersama-sama menghadapi para kesatria dari aliran lurus dan sesat itu. Saya tidak mati saja sudah beruntung, kenapa Tuan Xiang berkata bahwa saya telah menolong jiwa Tuan segala? Hal ini benar-benar … benar-benar ….”

“Benar-benar omong kosong, begitu?” sambung Xiang Wentian.

“Saya tidak berani mengatakan ‘omong kosong’. Tetapi dengan mengatakan kalau saya telah menolong jiwa Tuan, itu sama sekali tidak benar,” jawab Linghu Chong.

“Apa yang pernah dikatakan si marga Xiang tidak pernah dijilat kembali. Sekali aku mengatakan kau telah menolong jiwaku maka selamanya aku merasa berhutang budi padamu,” kata Xiang Wentian tegas.

Linghu Chong mulai hafal sifat Xiang Wentian yang keras kepala itu. Maka ia hanya tersenyum tanpa membantah lagi.

“Tadi kawanan anjing itu berteriak-teriak tentang Jurus Penyedot Bintang yang membuat mereka ketakutan dan bubar begitu saja. Apa kau tahu ilmu macam apa Jurus Penyedot Bintang itu?” tanya Xiang Wentian.

“Saya justru ingin meminta keterangan pada Tuan Xiang,” sahut Linghu Chong.

“Ah, kau selalu sebut ‘saya’, ‘tuan’ segala! Terlalu banyak peradatan hanya membuatku kesal mendengarnya,” ujar Xiang Wentian sambil mengerutkan dahi. “Begini saja, kau panggil aku ‘kakak’ saja, dan aku panggil ‘adik’ kepadamu.”

“Saya tidak berani,” sahut Linghu Chong.

“Baiklah, aku memang anggota Sekte Iblis sehingga kau memandang rendah kepadaku,” ujar Xiang Wentian. “Kau memang telah menyelamatkan nyawaku, sedangkan nyawaku ini tidak kuanggap penting. Sekarang, kau justru menghina diriku. Kalau begitu marilah kita berkelahi saja.” Walaupun suaranya lirih namun terdengar jelas kalau orang tua itu benar-benar marah.

Linghu Chong segera menjawab dengan senyum malu, “Berkelahi tidak perlu. Aku jelas bukan tandinganmu. Jika Kakak Xiang sudah memutuskan begitu, Adik akan menurut kepadamu.” Diam-diam ia teringat pernah menjalin persahabatan dengan Tian Boguang yang merupakan pemerkosa dan penjahat besar, apa artinya jika ditambah dengan seorang Xiang Wentian? Lagipula orang tua ini sangat gagah berani dan berjiwa kesatria, boleh dikata seorang laki-laki sejati. Justru sifat seperti ini yang paling ia sukai. Setelah bulat tekadnya, ia pun merangkap tangan dan berkata, “Kakak Xiang, terimalah hormat adikmu ini.”

Xiang Wentian terlihat sangat senang. Ia pun tertawa dan berkata, “Di dunia ini hanya kau seorang yang mengikat saudara denganku. Ingatlah ini baik-baik, adikku!”

“Aku merasa sangat terhormat,” jawab Linghu Chong.

Menurut kebiasaan dunia persilatan, kalau dua orang mengangkat saudara, maka sedikitnya harus bersumpah saling membantu dalam suka maupun duka dan mengadakan upacara. Kalau tidak ada dupa bisa diganti dengan sejumput tanah. Tapi pada dasarnya mereka berdua sama-sama berwatak merdeka dan tidak suka aturan. Setelah bertempur bersama, keduanya merasa cocok satu sama lain setulus hati sehingga upacara mengangkat saudara yang rumit itu dirasa tak perlu. Yang penting sekali bilang saudara, maka jadilah saudara.

Xiang Wentian adalah pemuka Sekte Iblis. Namun di dalam kelompoknya hanya sedikit orang-orang yang ia hormati. Sekarang ia mengangkat seorang adik yang berjiwa kesatria, sudah tentu hatinya sangat gembira. Katanya kemudian, “Sayang di sini tidak ada arak, kalau ada entah betapa senangnya bila kita minum sepuluh atau seratus cawan.”

“Benar,” sahut Linghu Chong. “Sejak tadi kerongkongan Adik sudah terasa gatal. Sekali Kakak menyebut arak, rasanya bertambah gatal.”

“Kawanan anjing itu belum pergi. Rasanya kita terpaksa harus berdiam di sini untuk dua atau tiga hari lagi,” kata Xiang Wentian sambil menunjuk ke atas. “Adik, ketika si hidung kerbau dari Emei itu menyerangmu dengan tenaga dalam, aku pun membantumu dengan tenaga dalam pula. Apa yang kau rasakan saat itu?”

“Rasanya Kakak seperti menarik tenaga pendeta itu ke bawah,” jawab Linghu Chong.

“Tepat sekali,” seru Xiang Wentian dengan senang sambil menepuk paha. “Agaknya kau memang sangat cerdas. Kepandaianku tadi adalah hasil ciptaanku sendiri secara tidak sengaja dan tiada seorang pun yang mengetahuinya. Aku memberi nama ilmuku itu sebagai Jurus Kecil Menyedot Tenaga ke Tanah.”

“Aneh sekali nama jurusnya?” ujar Linghu Chong menanggapi.

Xiang Wentian berkata, “Jurus tadi kalau dibandingkan dengan Jurus Penyedot Bintang yang asli sungguh bagaikan cebol melawan raksasa. Mendengar nama Jurus Penyedot Bintang disebut, setiap orang persilatan akan menggigil ketakutan, sedangkan jurusku tadi apalah artinya? Maka itu, aku pun memberinya nama jurus kecil saja. Kepandaianku tadi sebenarnya hanya akal-akalan saja. Ibarat mencangkok tanaman, aku meminjam tenaga lawan dan menyalurkannya ke dalam tanah supaya tidak mampu mencelakai kita. Namun, aku sendiri tidak mendapatkan manfaat apa-apa. Lagipula, jurus tadi hanya bisa digunakan jika musuh yang menyerang kita, dan tidak dapat digunakan untuk menghisap dan menguasai tenaga lawan. Nah, begitu musuh merasakan tenaga dalam yang ia kerahkan merembes keluar dan lenyap, tentu saja ia kaget dan ketakutan. Tapi selang tidak lama tenaganya akan pulih kembali. Aku yakin, sesudah hidung kerbau Emei itu pulih tenaganya, tentu kawanan anjing itu akan kembali mengejar kita, karena mereka mengetahui bahwa kepandaianku menyedot tenaga hanyalah permainan belaka sehingga tidak perlu ditakuti lagi. Biasanya kakakmu ini tidak suka menipu orang, sebab itulah aku tidak pernah menggunakan ilmu ini sebelumnya.”

Linghu Chong tersenyum dan berkata, “Xiang Wentian tidak pernah menipu orang. Tapi hari ini demi menyelamatkan adiknya, terpaksa melanggar pentangannya sendiri.”

“Hehe, siapa bilang aku tidak pernah menipu orang?” ujar Xiang Wentian terkekeh-kekeh. “Hanya saja terhadap keroco seperti Pendeta Songwen dari Emei itu, sebenarnya kakakmu tidak sudi untuk menipunya. Kalau mau menipu harus benar-benar untuk masalah yang penting, yang bisa mengguncangkan langit dan bumi. Sesuatu yang akan diketahui khalayak ramai.”

Kedua orang itu lantas bergelak tawa. Meskipun mereka berusaha meredam tawa supaya tidak terdengar oleh musuh yang berada di atas, namun gelak tawa mereka benar-benar riang tanpa beban.

Tidak lama kemudian keduanya merasa lelah. Mereka lalu duduk bersandar pada dinding batu dan memejamkan mata untuk beristirahat.

Linghu Chong yang terlalu letih akhirnya tertidur pulas. Dalam mimpinya, ia melihat Yingying membawa tiga ekor kodok panggang di tangan sambil menyapa, “Apakah kau telah lupa kepadaku?”

“Tidak lupa, tidak lupa,” seru Linghu Chong. “Kau … kau pergi ke mana?”

Tiba-tiba bayangan Yingying menghilang. Linghu Chong berteriak-teriak, “Jangan pergi! Kau jangan pergi! Aku ingin bicara banyak kepadamu!”

Tiba-tiba ia melihat bermacam-macam senjata, seperti golok, pedang, tombak, gada, berdatangan hendak membunuhnya. Pada saat itulah ia menjerit dan terbangun.

Terdengar suara Xiang Wentian bicara dengan tertawa, “Kau mimpi bertemu kekasihmu, ya? Banyak sekali yang hendak kau bicarakan kepadanya, bukan?”

Muka Linghu Chong menjadi merah. Ia tidak tahu igauan apa yang telah didengar oleh Xiang Wentian dalam mimpinya tadi.

“Adik, kalau kau hendak mencari kekasihmu, maka kau harus menyembuhkan penyakitmu lebih dulu,” kata Xiang Wentian. “Kalau kau sudah sembuh, barulah kau bisa mencari dia.”

“Aku … aku tidak punya kekasih,” sahut Linghu Chong. “Lagipula penyakitku ini jelas tidak bisa disembuhkan.”

“Aku telah berhutang nyawa kepadamu. Meski kita sudah mengangkat saudara, bagaimanapun juga aku tetap merasa tidak enak dan harus membayar hutang satu nyawa kepadamu. Baiklah, aku akan membawamu ke suatu tempat di mana penyakitmu pasti bisa disembuhkan di sana.”

Sebenarnya Linghu Chong sudah tidak memikirkan lagi soal hidup dan mati, sehingga akhir-akhir ini ia terpaksa tidak peduli dengan penyakitnya. Namun begitu mendengar ucapan Xiang Wentian itu membuat semangatnya bangkit. Jika orang lain yang mengatakannya mungkin ia sukar untuk percaya, sedangkan Xiang Wentian ini memang lain daripada yang lain. Seumur hidup, selain Feng Qingyang, ia belum pernah bertemu orang sehebat Xiang Wentian. Bahkan, ia merasa ilmu silat Yue Buqun, gurunya masih di bawah kakak angkatnya tersebut. Maka, begitu Xiang Wentian berkata dengan enteng tentu perkataannya itu memiliki dasar yang jelas. Seketika dalam lubuk hati Linghu Chong timbul sepercik harapan yang menggembirakan. Ia pun berkata dengan gugup, “Aku … aku ….” sampai di sini ia tidak sanggup lagi meneruskan ucapannya.

Saat itu bulan sabit telah mengintip di tengah cakrawala. Sinarnya yang jernih tidak mampu menerangi dasar jurang yang gelap gulita itu. Namun dalam pandangan Linghu Chong sekarang, suasana yang ia lihat bagaikan sinar matahari yang terang dan menyilaukan.

“Kita akan pergi mencari seseorang,” lanjut Xiang Wentian. “Perilaku orang ini sangat aneh. Jangan sampai dia tahu akan urusan ini. Kalau kau percaya kepadaku, biarlah aku yang mengatur semuanya.”

“Mana mungkin aku tidak percaya?” sahut Linghu Chong. “Kakak hendak berusaha menyembuhkan penyakitku meskipun hal ini sebenarnya sangat tipis harapannya. Seperti menghidupkan kuda yang sudah mati. Jika aku bisa sembuh, maka aku akan bersujud pada langit dan bumi karena mendapatkan kebeuntungan yang tidak terduga. Namun jika aku tidak bisa sembuh, mungkin memang itu sudah sepantasnya terjadi.”

Xiang Wentian tersenyum dan berkata, “Adik, kita berdua hidup dan mati bersama, maka tidak sepantasnya aku menyembunyikan sesuatu darimu. Namun siasat yang akan kujalankan ini sangat rahasia dan tidak boleh sampai bocor sedikit pun. Nanti setelah semuanya berakhir, aku pasti akan menjelaskan semuanya kepadamu.”

Linghu Chong menjawab, “Kakak tidak perlu khawatir. Apa pun yang kau perintahkan, aku akan selalu menurutinya.”

Xiang Wentian menyambung, “Adik, aku adalah Pelindung Kanan Sekte Mentari dan Bulan, yang dalam pandangan aliran lurus disebut Sekte Iblis. Tingkah laku kami mau tidak mau akan terlihat aneh dan menyimpang di mata kalian. Aku akan memintamu melakukan sesuatu. Jika ini berhasil, maka akan bermanfaat menyembuhkan penyakitmu. Namun dari awal aku katakan, bahwa aku akan menggunakan dirimu dan membuatmu merasa seperti menelan pil pahit.”

Linghu Chong menjawab, “Kau dan aku sudah mengangkat saudara, maka selembar nyawaku ini adalah milikmu. Apa artinya menelan sedikit pil pahit buatku? Bagi saudara yang menjunjung tinggi kesetiakawanan, tidak perlu ada tawar-menawar atau bujuk-membujuk untuk melakukan sesuatu.”

Xiang Wentian terlihat sangat gembira dan berkata, “Kalau begitu kita tidak perlu saling berterima kasih?”

“Tentu saja!” jawab Linghu Chong mantap.

Sejak masuk Perguruan Huashan, perasaan Linghu Chong sepenuhnya tercurah kepada Yue Lingshan seorang. Hubungannya dengan Lu Dayou memang akrab, namun ia hanya menganggap adik keenamnya itu sebagai adik seperguruan belaka. Barulah sekarang ini ia bertemu Xiang Wentian dan menemukan arti kesetiakawanan yang sesungguhnya. Baru saat ini ia merasakan semangat “persahabatan sampai mati”, siap menyerahkan nyawa untuk sahabat. Memang ia baru mengenal Xiang Wentian dan hanya sedikit tahu tentang latar belakang dan sifat kakak angkatnya itu. Tentu saja ini sangat berbeda dengan bagaimana ia mengenal Shi Daizi, Gao Genming, atau adik-adik seperguruannya yang lain. Namun karena hatinya dipenuhi rasa kagum dan merasa senasib dengan orang tua itu, sehingga perasaan rela mati demi sahabat pun muncul dengan sendirinya.

“Paha-paha kuda itu jatuh di mana, ya?” kata Xiang Wentian sambil menjulurkan lidah dan menjilat-jilat bibirnya. “Sialan, aku sudah membunuh banyak anjing, tapi tak satu pun kelihatan bangkainya.”

Ketika melihat raut wajahnya, Linghu Chong paham bahwa Xiang Wentian ingin mencari mayat untuk dimakan. Meskipun ia terkejut, namun tidak berani banyak bicara. Maka, ia pun memejamkan mata dan melanjutkan tidur.

Keesokan paginya, Xiang Wentian berkata, “Adik, di sini hanya ada rumput dan lumut. Tidak ada benda lain yang bisa dimakan. Kalau kita bertahan di sini, maka kita harus mencari mayat untuk dimakan. Orang-orang yang kemarin jatuh ke dasar jurang ini sudah tua semua dan liat-liat. Kurasa kau tidak akan berselera memakannya.”

Linghu Chong buru-buru menjawab, “Aku tidak punya selera makan sedikit pun.”

Xiang Wentian tertawa dan berkata, “Kalau begitu kita harus mencari jalan untuk keluar dari sini. Aku akan mengubah penampilanmu lebih dulu.”

Orang tua itu kemudian pergi mencari lumpur dan mengoleskannya ke wajah Linghu Chong. Kemudian ia mengusap dagu sambil mengerahkan tenaga dalam. Seketika janggutnya pun rontok semua. Setelah itu kedua tangannya meremas-remas kepala dan dalam sekejap seluruh rambutnya yang beruban itu pun rontok bersih sehingga kepalanya kini terlihat botak licin.

Melihat wajah Xiang Wentian berubah dalam waktu sekejap, Linghu Chong merasa geli sekaligus kagum.

Xiang Wentian kemudian memungut segenggam tanah liat untuk menambal hidungnya sehingga bertambah besar. Kedua pipinya juga dibuat lebih tembam. Sekarang biarpun kawan sendiri yang melihatnya dengan seksama tetap saja sukar untuk mengenalinya lagi.

Begitulah, mereka lantas mencari jalan keluar dari lembah jurang itu. Xiang Wentian menyembunyikan kedua tangannya di dalam lengan baju yang longgar untuk menutupi borgol dan rantai yang mengikat pergelangan tangannya. Asalkan tidak mengangkat tangan tentu tidak ada orang yang tahu bahwa si gundul gemuk tersebut adalah Xiang Wentian yang gagah perkasa.

Setelah menyusur kian kemari di tengah lembah, melewati tengah hari mereka menemukan satu pohon persik di suatu tanjakan. Meskipun buah persik itu masih hijau dan rasanya masih sepat, tapi karena terlalu lapar mereka tidak banyak berpikir lagi. Segera mereka pun melahap buah-buahan itu sampai kenyang.

Sesudah beristirahat sebentar, mereka maju lagi ke depan. Menjelang petang, akhirnya Xiang Wentian berhasil menemukan suatu jalan keluar. Hanya saja mereka harus melintasi suatu dinding tebing yang curam dan beberapa puluh meter tingginya. Dengan menggendong Linghu Chong, Xiang Wentian pun memanjat ke atas.

Di atas tebing curam itu terdapat sebuah jalan kecil berliku-liku menembus padang rumput alang-alang lebar di kanan kiri. Walaupun suasana di situ sangat sunyi tapi sudah jauh lebih aman daripada berada di dasar lembah yang curam tadi. Tanpa sadar, mereka berdua pun menghela napas panjang.

Esok paginya mereka berdua berjalan menuju ke arah timur. Sampai di suatu kota kecil, Xiang Wentian mengeluarkan selembar emas dari saku dadanya, dan meminta Linghu Chong pergi menukarkannya dengan uang perak beberapa tahil di sebuah toko perak. Setelah itu mereka mencari penginapan untuk bermalam.

Di penginapan itu, Xiang Wentian memesan beberapa macam makanan dan satu guci arak. Kedua orang itu lantas minum sepuasnya, sampai akhirnya sama-sama mabuk. Tanpa sempat memakan nasi, mereka sama-sama terkapar. Yang satu tertidur di meja, yang satu lagi tertidur di ranjang. Sampai esok paginya ketika sang surya sudah meninggi barulah mereka terjaga. Kedua orang itu saling pandang dan tertawa lepas. Mereka merasa seperti mendapat hidup baru bila teringat pertempuran sengit di sekitar gardu dan balok batu beberapa hari yang lalu. Semua peristiwa menegangkan itu terasa bagaikan terjadi di dunia lain.

“Adik, kau tunggu di sini, aku akan keluar sebentar,” kata Xiang Wentian.

Ia berkata sebentar tapi sampai dua jam lebih tidak juga kembali. Linghu Chong merasa cemas namun akhirnya lega melihat Xiang Wentian datang dengan membawa beberapa bungkusan. Rantai borgol di tangannya sudah lenyap pula. Mungkin ia telah membayar pandai besi untuk menanggalkannya.

Ketika Xiang Wentian membuka bungkusan itu, ternyata isinya pakaian-pakaian yang bagus dan mewah. Ia berkata, “Kita berdua akan menyamar sebagai saudagar kaya. Semakin dermawan semakin baik.”

Mereka berdua lantas berganti pakaian sehingga penampilan keduanya kini berubah. Waktu keluar dari penginapan, pelayan sudah menyiapkan dua ekor kuda pilihan bertubuh tinggi, lengkap dengan pelana indah yang mengkilap, jelas itu pun Xiang Wentian yang membelinya.

Mereka melanjutkan perjalanan dengan menunggang kuda perlahan-lahan ke arah timur. Setelah dua hari berjalan, Linghu Chong terlihat sangat lelah. Xiang Wentian lantas menyewa sebuah kereta besar untuknya. Sampai di tepi Kanal Besar yang menghubungkan Sungai Yangtze, Sungai Kuning, dan Sungai Huai, mereka lantas meninggalkan kereta dan berganti menumpang kapal menuju ke selatan.

Di sepanjang jalan, Xiang Wentian berlaku royal, menghambur-hamburkan uang seperti air. Lembaran emas yang ia bawa seakan-akan tiada pernah ada habis-habisnya. Setelah melintasi Sungai Yangtze, di kiri-kanan kanal tampak toko dan pasar berderet-deret. Xiang Wentian lagi-lagi membeli baju-baju yang makin mewah.

Di atas kapal itu, Xiang Wentian banyak bercerita tentang kisah-kisah menarik di dunia persilatan. Sebagian di antaranya belum diketahui oleh Linghu Chong, sehingga pemuda itu mendengarkan dengan penuh semangat. Namun, Xiang Wentian tidak pernah membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan Sekte Iblis yang bermarkas di Tebing Kayu Hitam. Linghu Chong sendiri juga tidak berani untuk menanyakannya.

Mengangkat saudara.

Xiang Wentian dan Linghu Chong dalam penyamaran.

(Bersambung)