Bagian 39 - Dalam Kepungan Musuh

Yue Buqun ditangkap musuh.

Sambil berpikir dan terus berpikir, Yue Buqun mengayunkan pedangnya tanpa henti. Setiap kali ilmu Kabut Lembayung Senja dikerahkan, ujung pedangnya pun memancarkan sinar kemilauan. Setelah melewati belasan jurus kemudian, bahu salah seorang bercadar tertusuk sehingga senjata orang itu yang berwujud pentungan baja terlepas jatuh. Seorang kawannya yang sejak tadi berada di luar kalangan maju menyerang dengan bersenjata golok berkait. Ujung senjatanya yang melengkung itu digunakannya untuk mengincar dan mengait pedang Yue Buqun. Namun Yue Buqun sendiri sangat sulit dikalahkan. Semakin bertempur semakin ia bersemangat. Tanpa diduga-duga, tangan kiri ketua Perguruan Huashan itu menghantam ke belakang mengenai dada seorang lawan hingga patah tulang rusuknya dua buah. Tongkat baja yang dipegang orang itu sampai tergetar jatuh.

Namun orang itu benar-benar nekad. Sambil menahan rasa sakit di bagian rusuk yang patah tadi, ia menerjang maju ke bawah dan mendekap kaki kiri Yue Buqun. Tentu saja sang ketua Huashan sangat terkejut. Tanpa pikir panjang Yue Buqun langsung menusukkan pedang ke arah punggung penyerangnya itu dari atas. Namun, dari arah samping dua bilah golok sudah menangkisnya.

Karena tidak mampu menggunakan senjatanya, Yue Buqun pun berusaha menendang dagu orang yang mendekap kaki kirinya tadi. Namun, orang itu memiliki keterampilan bergulat lumayan bagus. Ia lebih dulu menangkap kaki kanan Yue Buqun dan membantingnya ke samping. Seketika tubuh Yue Buqun pun tertarik ke depan. Meskipun memiliki ilmu silat tingkat tinggi, namun Yue Buqun tidak mampu menjaga keseimbangannya sehingga tubuhnya pun jatuh terbanting ke tanah. Sekejap kemudian, golok, tombak pendek, palu godam, pedang, dan berbagai macam senjata musuh lainnya sudah bersama-sama mengancam di titik-titik mematikan seperti kepala, wajah, leher, dan dada.

Yue Buqun menghela napas panjang dan melepaskan pedangnya. Ia kemudian memejamkan mata untuk menyambut ajal. Namun yang ia rasakan kemudian adalah kesemutan pada daerah pinggang, rusuk, tenggorokan, dan dada. Rupanya musuh tidak membunuhnya, tetapi hanya menotok beberapa titik nadi untuk melumpuhkannya.

Dua orang bercadar maju dan memapah bangun tubuh Yue Buqun. Terdengar suara seorang tua di antara kawanan musuh berkata, “Ilmu silat Tuan Yue si Pedang Budiman memang bukan nama kosong. Ilmu silatmu benar-benar luar biasa. Kami lima belas orang mengeroyokmu dan berhasil menjatuhkanmu setelah beberapa di antara kami roboh dan terluka. Hehe, sungguh mengagumkan! Bila satu lawan satu melawanmu sudah pasti aku tidak mungkin menang. Tapi kalau dipikir-pikir jumlah kami hanya lima belas, sedangkan dalam rombongan Huashan kalian terdapat lebih dari dua puluh orang. Jadi, malam ini kami tidak sepenuhnya main keroyok. Kami yang berjumlah lebih sedikit ternyata mampu menangkap orang-orang Huashan yang berjumlah lebih banyak. Apalagi tubuh kalian masih utuh semua, tidak ada yang kehilangan anggota badan. Jadi, pertempuran ini kami menangkan dengan tidak mudah. Betul tidak, kawan-kawan?”

“Benar sekali, benar sekali! Ini bukan kemenangan yang mudah!” sahut orang-orang bercadar yang lain di belakangnya.

Pria tua itu melanjutkan, “Tuan Yue, kami tidak ada dendam dan tidak pernah terlibat permusuhan apapun denganmu. Kami hanya ingin meminjam kitab Pedang Penakluk Iblis saja. Lagipula kitab tersebut juga bukan milik Perguruan Huashan kalian. Segala macam tipu muslihat kau lancarkan. Kau pancing tuan muda dari Keluarga Lin masuk perguruanmu, pertanda kau juga mengincar kitab pedang itu. Apa yang kau lakukan sungguh terang-terangan. Begitu kawan-kawan dunia persilatan mendengar tentang ini, mereka jadi penasaran dan bertanya-tanya. Nah, Tuan Yue, lebih baik kau serahkan saja kitab itu kepada kami, dengan demikian nama baikmu bisa tetap terjaga.”

Yue Buqun semakin gusar mendengar tuduhan itu. Ia menjawab, “Aku sudah jatuh ke tangan kalian, mengapa masih saja bicara omong kosong?  Kalau mau bunuh silakan bunuh saja. Bagaimana kepribadian si marga Yue ini sudah cukup dikenal setiap orang persilatan. Mudah saja kalian membunuhku, tapi jangan harap bisa merusak nama baikku. Jangan mimpi!”

“Apa susahnya merusak nama baikmu?” seru salah seorang bercadar lainnya sambil bergelak tawa. “Istrimu, putrimu, dan murid-murid perempuanmu, semuanya cantik-cantik. Mereka bisa kami bawa dan kami bagi-bagi sebagai istri muda. Dengan demikian, dapat dijamin namamu akan semakin tersohor di dunia persilatan, hahaha!”

Ucapan tersebut diikuti oleh gelak tawa penuh penghinaan para penyerang bercadar lainnya. Mendengar itu tubuh Yue Buqun sampai gemetar menahan marah. Ia melihat beberapa pria bercadar mendorong tubuh para murid laki-laki dan perempuan yang kesemuanya dalam keadaan tertotok. Di antara para murid itu ada yang wajahnya berlumuran darah, ada pula yang kakinya terluka.

“Tuan Yue,” sahut si orang tua bercadar. “Kau boleh menduga-duga dari mana asal-usul kami. Kami bukan kaum kesatria atau pahlawan dari perguruan ternama. Kami tidak memiliki pantangan terhadap apa yang boleh dilakukan, apa yang tidak boleh dilakukan. Beberapa kawanku ini gemar paras cantik. Main perempuan adalah pekerjaan sehari-hari. Bila mereka sampai mengganggu istri dan putrimu, bagaimanapun juga aku minta maaf.”

“Kau tidak perlu mengancam!” kata Yue Buqun. “Jika kalian masih saja tidak percaya, silakan geledah badan kami semua! Coba lihat, apa kitab Pedang Penakluk Iblis ada pada kami atau tidak?”

“Lebih baik kau keluarkan sendiri saja kitab itu,” ujar seorang bercadar lainnya. “Bila kami harus menggeledah kalian semua, bagaimana dengan istri dan putrimu? Tentu hal ini akan kurang sedap dipandang, bukan? Hahahaha.”

Merasa tidak tahan, Lin Pingzhi tiba-tiba berteriak, “Semua permasalahan ini berawal dariku. Keluarga Lin kami di Fujian tidak punya kitab Pedang Penakluk Iblis atau apa. Terserah kalian mau percaya atau tidak!” Usai berkata demikian ia meraih sebatang tongkat besi yang terjatuh di tanah tadi dan menghantamkannya ke dahi sendiri. Namun totokan di kedua lengan membuat tenaganya begitu lemah sehingga pukulan tersebut hanya membuat luka lecet saja tidak sampai menghancurkan kepala. Meskipun demikian setiap orang dapat membaca apa yang ia lakukan. Jelas-jelas pemuda itu berniat bunuh diri untuk membuktikan bahwa kitab pedang Penakluk Iblis benar-benar tidak pernah ada.

“Hehe, Tuan Muda Lin ternyata cukup setia kawan,” ujar orang tua tadi. “Kami adalah teman baik mendiang ayahmu. Yue Buqun telah membunuh ayahmu untuk mendapatkan kitab Pedang Penakluk Iblis. Itu sebabnya kami berada di sini adalah untuk menuntut keadilan. Percuma saja gurumu bergelar Si Pedang Budiman, padahal dia sama sekali tidak berbudi. Sepertinya lebih baik jika kau menjadi murid kami saja. Aku jamin kau akan memperoleh kepandaian yang lebih dari cukup untuk malang melintang di dunia persilatan.”

“Keparat kalian!” bentak Lin Pingzhi. “Ayahku mati dibunuh Yu Canghai dari Perguruan Qingcheng dan Mu Gaofeng si Bungkuk dari Utara. Berani sekali kau memfitnah guruku? Lin Pingzhi bangga menjadi murid Huashan. Apa kau pikir aku akan memohon-mohon untuk menjadi murid manusia rendah macam dirimu demi menyelamatkan nyawa?”

“Jawaban bagus!” teriak Liang Fa. “Perguruan Huashan kita....”

“Perguruan Huashan apanya?” sahut salah seorang bercadar lainnya menyela. Ia kemudian mengayunkan goloknya ke arah leher Liang Fa sampai putus. Kepala Liang Fa pun terlempar dan darah menyembur dengan deras.

Murid-murid Huashan lainnya menjerit ngeri. Kakak ketiga mereka yang bertubuh jangkung itu tewas dalam waktu yang sangat cepat. Yue Buqun sendiri termangu-mangu memikirkan dari mana sebenarnya kawanan bercadar itu berasal. Berdasarkan ucapan si orang tua, sepertinya kawanan itu berasal dari golongan hitam di dunia persilatan. Mungkin juga mereka adalah tokoh penting dalam Sekte Iblis. Meskipun Yue Buqun tidak mengenal semua tokoh hebat di dunia persilatan, baik itu dari golongan putih ataupun golongan hitam, namun paling tidak ia pernah mendengar sesuatu tentang mereka. Orang yang memenggal kepala Liang Fa terlihat begitu mantap tanpa ragu sedikit pun; suatu kekejian yang jarang ada di dunia persilatan. Memang apabila seseorang berlatih ilmu silat, maka kemungkinan terluka atau terbunuh adalah hal yang biasa. Akan tetapi, memenggal kepala pihak yang sudah tertawan adalah hal yang sangat jarang terjadi.

Sementara itu, setelah memenggal kepala Liang Fa, orang bercadar tadi bergelak tawa seperti orang gila dan kemudian berjalan mendekati Ning Zhongze. Ia mengayun-ayunkan goloknya yang berlumuran darah hanya beberapa jengkal di atas kepala Nyonya Yue.

“Jangan... jangan bunuh ibuku!” jerit Yue Lingshan ketakutan dan nyaris jatuh pingsan.

Sebaliknya, Ning Zhongze tetap menunjukkan keberanian dan sama sekali tidak terlihat gentar. Ia justru merasa kebetulan jika mati malam itu karena bisa bebas dari penghinaan yang berlarut-larut. Maka, ia pun memaki, “Bangsat, kalau kau memang berani, bunuh saja aku!”

Tiba-tiba dari arah timur laut terdengar suara derap kaki kuda berjumlah puluhan ekor melaju dengan cepat.

“Hei, siapa itu? Coba kalian lihat!” seru si tua bercadar.

“Baik!” jawab dua orang kawannya yang segera memacu kuda melaksanakan perintah. Tak lama kemudian terdengar suara benturan senjata. Rupanya para pendatang berkuda itu terlibat pertempuran melawan kedua orang bercadar tadi. Disusul kemudian terdengar suara jeritan orang terluka jatuh dari kuda. Meskipun demikian, kedua orang bercadar memilih mundur karena jumlah penunggang kuda yang baru tiba jauh lebih banyak.

Yue Buqun dan istrinya, serta para murid merasa gembira karena melihat adanya kedatangan rombongan yang mungkin dapat menyelamatkan nyawa mereka. Samar-samar dari kejauhan tampak empat puluh lebih penunggang kuda melaju ke arah mereka. Lumpur terlihat bercipratan di sana-sini dan akhirnya rombongan itu pun berhenti di depan kuil.

“Hei, ternyata kawan-kawan dari Perguruan Huashan ada di sini. Bukankah itu Saudara Yue?” seru salah seorang penunggang kuda.

Yue Buqun memandang orang itu dengan saksama dan kemudian wajahnya terlihat serbasalah. Ternyata yang datang menyapa dirinya adalah Lu Bai si Tapak Bangau, yaitu adik seperguruan Zuo Lengchan, ketua Perguruan Songshan yang tempo hari membawa Panji Pancawarna ke Gunung Huashan untuk membantu Feng Buping menuntut hak. Di sebelah kanannya tampak seorang laki-laki bertubuh tinggi besar. Yue Buqun mengenalinya sebagai adik seperguruan Zuo Lengchan nomor dua, yaitu Ding Mian si Tapak Penahan Menara. Di sebelah kiri Lu Bai terlihat pula pemimpin para murid Huashan dari Kelompok Pedang, yaitu Feng Buping. Orang-orang Taishan dan Hengshan yang kemarin ikut mengawal kali ini terlihat bertambah banyak. Karena cahaya lampu ting tidak mampu menerangi seluruh wajah para penunggang kuda itu, membuat Yue Buqun agak kesulitan untuk mengenali siapa saja dari mereka yang ikut serta.

“Saudara Yue,” Lu Bai menyapa, “Tempo hari kau menolak Panji Pancawarna yang merupakan perintah dari Ketua Zuo, hal ini membuat Beliau tidak senang. Itu mengapa Beliau kini mengutus Kakak Ding dan Adik Tang untuk mengunjungimu ke Gunung Huashan sekali lagi dengan membawa Panji Pancawarna pula. Siapa sangka di tengah malam gelap gulita ini kita justru berjumpa di sini? Sungguh mengejutkan!”

Yue Buqun hanya terdiam tanpa menjawab sedikit pun.

Si orang tua bercadar menyahut sambil memberi hormat, “Rupanya Pendekar Ding, Pendekar Lu, dan Pendekar Tang dari Perguruan Songshan yang hadir di sini. Sungguh suatu kehormatan bisa berjumpa para pendekar sekalian.”

“Ah, Saudara terlalu memuji. Dan, siapakah nama Saudara yang mulia ini? Mengapa tidak sudi memperlihatkan wajah yang asli?” balas Tang Ying’e, adik seperguruan nomor tujuh ketua Songshan.

“Kami ini hanyalah orang-orang tanpa nama dari golongan hitam,” jawab si orang tua bercadar. “Jika julukan kami yang jelek sampai terdengar tentu hanya akan mengotori telinga para pendekar sekalian. Baiklah, demi memandang kepada para pendekar sekalian, sudah tentu kami tidak berani berbuat kasar lagi kepada Nyonya Yue dan putrinya. Hanya saja, ada satu urusan yang ingin kami mintakan keadilan pada para pendekar sekalian, sesuai hukum dunia persilatan.”

“Urusan apa? Tidak ada salahnya bila kau sebutkan supaya kami juga ikut mengetahuinya,” tanya Tang Ying’e.

Orang tua itu berkata, “Baiklah, konon Tuan Yue yang bergelar Si Pedang Budiman ini setiap hari selalu berbicara tentang budi pekerti, keadilan, dan kebajikan. Kabarnya, ia juga sangat taat pada aturan dunia persilatan. Akan tetapi, akhir-akhir ini telah terjadi suatu peristiwa. Kiranya para pendekar sekalian sudah mendengar perihal Biro Ekspedisi Fuwei di Kota Fuzhou telah dihancurkan orang, serta pemiliknya yang bernama Lin Zhennan beserta istri juga mati terbunuh.”

“Benar. Konon kabarnya yang berbuat adalah Perguruan Qingcheng dari Szechwan,” jawab Tang Ying’e.

Si orang tua bercadar menggeleng beberapa kali dan berkata, “Meskipun berita yang tersiar di dunia persilatan seperti itu, tapi belum tentu merupakan suatu kebenaran. Baiklah, kita bicara terang-terangan saja. Setiap orang di dunia persilatan mengetahui kalau keluarga Lin memiliki pusaka turun-temurun berupa kitab ilmu Pedang Penakluk Iblis. Barangsiapa menguasainya, tentu akan merajai dunia persilatan. Itulah sebabnya mengapa Lin Zhennan dan istrinya terbunuh adalah karena ada pihak yang mengincar kitab pusaka tersebut.”

“Memangnya seperti apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Tang Ying’e.

“Kami tidak mengetahui dengan pasti siapa yang telah membunuh Lin Zhennan dan istrinya,” jawab si orang tua. “Hanya saja, kami mendengar bahwa Tuan Yue alias Si Pedang Budiman ini telah menggunakan tipu muslihat licik, supaya putra Lin Zhennan dengan sukarela mau bergabung menjadi murid Perguruan Huashan. Kau tahu apa maksudku? Tentu saja Kitab Pedang Penakluk Iblis dengan sendirinya akan ikut masuk ke dalam Perguruan Huashan. Kami memikirkan masak-masak hal ini dan akhirnya menyimpulkan bahwa Yue Buqun telah menjalankan tipu muslihat. Dia tidak mampu menguasai kitab pusaka itu dengan kekerasan, sehingga berusaha mendapatkannya dengan cara licik. Coba pikir, seberapa luas pengalaman si bocah Lin? Setelah menjadai murid Huashan, bukankah ia menjadi lebih mudah dipermainkan oleh si musang tua bermarga Yue ini sehingga suatu saat bocah ini akan mempersembahkan Kitab Pedang Penakluk Iblis tanpa diminta.”

“Pendapatmu mungkin kurang tepat,” ujar Tang Ying’e. “Perguruan Huashan memiliki ilmu pedang sendiri yang sangat bagus. Apalagi ilmu tenaga dalam Kabut Lembayung Senja yang dimiliki Tuan Yue juga tiada duanya. Jadi, untuk apa lagi harus mengincar ilmu pedang pihak lain?”

Si orang tua bergelak tawa kemudian menjawab, “Rupanya Pendekar Tang menggunakan jiwa kesatria untuk menilai manusia rendah ini. Menurutku, ilmu pedang bagus macam apa yang dimiliki Yue Buqun? Sejak perpecahan di Perguruan Huashan dahulu, sejak itu pula Kelompok Tenaga Dalam menguasai perguruan. Mereka pun sibuk berlatih tenaga dalam sehingga ilmu pedang mereka menjadi terlalu rendah dan tidak ada nilainya. Kaum persilatan hanya segan terhadap nama besar Perguruan Huashan, dan mengira Tuan Yue benar-benar memiliki kehebatan tinggi. Padahal sesungguhnya, hehehe...”

Sesudah tertawa mengejek beberapa kali, orang tua itu melanjutkan, “Sebagai ketua Perguruan Huashan, sudah seharusnya ilmu pedang Tuan Yue sangat luar biasa. Namun, lihatlah yang terjadi kini. Dia bisa meringkuk di tangan kami yang hanya kaum keroco di dunia persilatan. Padahal, kami tidak memakai racun, tidak memakai senjata rahasia. Selain itu kami bisa menang juga bukan karena jumlah kami yang lebih banyak. Kami telah meringkus guru dan semua murid Huashan tanpa kecuali. Maka, dapat dibayangkan betapa rendah tingkat kepandaian orang-orang Huashan ini. Kami memenangkan pertempuran secara adil. Dari itu saja para pendekar sekalian bisa membayangkan seperti apa ilmu silat Yue Buqun dan orang-orang Huashan lainnya. Namun tentu saja Yue Buqun menyadari kekurangannya. Itulah sebabnya mengapa Yue Buqun mengincar ilmu Pedang Penakluk Iblis untuk menutupi agar nama baiknya yang kosong melompong tidak terbongkar. Akan tetapi, di hadapan kami ia tidak bisa menutupi kebusukannya.”

“Uraianmu cukup masuk akal,” ujar Tang Ying’e sambil mengangguk.

“Kami hanyalah kaum keroco dari golongan hitam yang tiada harganya sama sekali jika dibandingkan dengan para pendekar besar sekalian dari perguruan ternama. Kami juga tidak terlalu berminat terhadap Kitab Pedang Penakluk Iblis,” lanjut si orang tua bercadar. “Hanya saja, dalam sepuluh tahun terakhir ini kami seringkali menerima kebaikan dari Lin Zhennan. Berbagai macam hadiah dari Beliau telah kami terima. Itu sebabnya setiap kali kereta barang Biro Ekspedisi Fuwei melewati daerah kekuasaan kami, tidak seorang pun di antara kami yang berani mengganggunya. Namun kami kemudian mendengar kematian Ketua Lin, serta kehancuran keluarga dan perusahannya gara-gara Kitab Pedang Penakluk Iblis. Hal ini jelas membuat kami merasa penasaran. Maka, kami pun ke sini untuk membuat perhitungan dengan Yue Buqun.”

Orang tua itu berhenti sejenak untuk memandangi rombongan berkuda di hadapannya, kemudian melanjutkan, “Yang datang di sini malam ini tampaknya tokoh-tokoh ternama dari dunia persilatan. Di antara para pendekar sekalian terdapat para kesatria sepuh kebanggan Serikat Pedang Lima Gunung. Sementara Perguruan Huashan sendiri juga merupakan salah satu anggota perserikatan. Untuk itu, kami serahkan kepada para pendekar sekalian untuk bagaimana baiknya menyelesaikan perkara ini.”

“Saudara ternyata sangat baik hati. Baiklah, kami terima maksud baikmu,” kata Tang Ying’e. “Bagaimana pendapat Kakak Ding dan Kakak Lu mengenai hal ini?”

Ding Mian menjawab, “Menurut pesan Ketua Zuo, kedudukan ketua Perguruan Huashan harus dipegang oleh Tuan Feng. Sekarang ini Yue Buqun ternyata melakukan perbuatan yang rendah dan memalukan. Untuk ini, biarlah Tuan Feng sendiri yang melakukan pembersihan di dalam perguruannya.”

“Benar, keputusan Pendekar Ding sungguh tepat,” sahut anggota rombongan berkuda lainnya. “Ini adalah masalah internal Perguruan Huashan, maka biarlah ketua Huashan sendiri yang mengatasinya. Ini juga menghindarkan tuduhan dunia persilatan kepada kami apabila terlalu mencampuri urusan rumah tangga pihak lain.”

Segera Feng Buping melompat turun dari kudanya. Setelah memberi hormat kepada para hadirin, ia pun berkata, “Sungguh aku sangat berterima kasih atas penghargaan kalian padaku. Sejak lama Perguruan Huashan dikangkangi oleh Yue Buqun. Banyak terdengar ketidakpuasan, sampai akhirnya nama besar Huashan pun jatuh habis-habisan. Bahkan, sekarang Yue Buqun juga tenggelam dalam lumpur kejahatan, antara lain ia membunuh seseorang untuk merebut kitab pusakanya, serta memaksa anak orang itu untuk menjadi muridnya. Benar-benar perbuatan rendah. Sebenarnya kepandaianku tidak seberapa. Aku juga merasa tidak pantas menjadi ketua. Namun demi mengingat jerih payah para leluhur yang telah berjuang mendirikan Perguruan Huashan, sudah tentu aku tidak terima begitu saja perguruan ini hancur di tangan murid durhaka seperti Yue Buqun. Aku akan berjuang sekuat tenaga untuk mengatasi masalah ini. Oleh karena itu, mohon nasihat dan pengawasan dari para sahabat sekalian, supaya aku bisa menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya.”

Saat itu hujan belum benar-benar reda, hanya tinggal gerimis saja. Di bawah cahaya obor, wajah Feng Buping terlihat berseri-seri. Ia melanjutkan, “Dosa Yue Buqun sudah terlalu besar dan tidak bisa diampuni lagi. Kita harus tegakkan aturan perguruan tanpa ragu-ragu. Adik Cong, bersihkan perguruan kita dari murid durhaka ini. Bunuh Yue Buqun beserta istrinya!”

Seorang laki-laki berusia lima puluhan mengiakan dan segera menghunus pedangnya mendekati Yue Buqun. Ia berkata, “Orang bermarga Yue, kau telah merusak nama baik perguruan kita. Hari ini kau harus menerima hukuman yang setimpal.”

Yue Buqun menghirup nafas panjang, dan menjawab, “Bagus sekali, bagus sekali. Demi untuk merebut jabatan ketua, kalian dari Kelompok Pedang tidak segan-segan berbuat keji. Cong Buqi, hari ini kalian boleh membunuhku. Tapi kelak di alam sana apa kalian masih punya muka untuk menemui para leluhur?”

Orang bernama Cong Buqi itu tertawa dan menjawab, “Orang yang banyak berbuat kejahatan pasti akan menuai karma. Meskipun kau tidak kubunuh tetap saja akan mati di tangan orang lain. Jika demikian, tentu kurang baik, bukan?”

“Adik Cong,” bentak Feng Buping. “Tidak ada gunanya banyak bicara. Cepat laksanakan hukuman!”

“Baik!” jawab Cong Buqi. Ia pun mengangkat pedangnya siap memenggal kepala Yue Buqun. Di bawah cahaya obor pedangnya terlihat berkilau mengerikan.

“Tunggu dulu!” seru Ning Zhongze tiba-tiba mencegah. “Kami tidak tahu menahu di mana kitab Pedang Penakluk Iblis berada. Menangkap pencuri harus ada barang buktinya. Kalau menuduh tanpa bukti itu merupakan fitnah. Sungguh bukan sifat kesatria.”

“Benar juga!” jawab Cong Buqi. Ia kemudian berjalan mendekati Nyonya Yue sambil menyeringai, “Bagus sekali. Menangkap pencuri harus disertai bukti. Aku rasa kemungkinan besar kitab Pedang Penakluk Iblis disembunyikan di dalam bajumu. Biar aku geledah supaya kau tidak menuduh kami melakukan tuduhan fitnah.” Usai berkata demikian, laki-laki itu menjulurkan tangan untuk menggerayangi baju Ning Zhongze.

Nyonya Yue yang terluka dan juga tertotok hanya bisa memandang tajam tangan Cong Buqi yang semakin mendekat, tanpa bisa bergerak sedikit pun. Sungguh suatu hal yang sangat memalukan apabila seujung jari saja ia tersentuh oleh laki-laki itu. Dalam keadaan yang sangat genting, Ning Zhongze kemudian berseru ke arah Ding Mian, “Saudara Ding dari Perguruan Songshan!”

“Ada apa?” tanya Ding Mian tanpa menduga sebelumnya.

“Kakak seperguruanmu adalah Ketua Zuo yang merupakan pemimpin Serikat Pedang Lima Gunung. Beliau seorang panutan di dunia persilatan. Perguruan Huashan kami adalah bagian dari perserikatan. Apakah yang akan kau sampaikan kepada Beliau jika kau membiarkan seorang wanita dilecehkan manusia rendah ini di hadapanmu?”

Ding Mian tampak kebingungan dan menjawab gugup, “Masalah ini....”

Tanpa memberi kesempatan, Ning Zhongze melanjutkan, “Mereka menuduh suamiku sebagai murid durhaka tanpa ada bukti yang nyata. Justru mereka adalah dua pengkhianat dari Perguruan Huashan. Asalkan salah satu dari mereka bisa mengalahkan suamiku, maka kami bersedia menyerahkan jabatan ketua Huashan secara sukarela. Mati pun kami tidak menyesal. Tapi kalau seperti ini, bagaimanapun juga tindakan mereka tidak pantas diterima oleh ribuan kesatria dunia persilatan yang mengutamakan kebenaran dan keadilan.”

Usai berkata demikian Ning Zhongze meludahi Cong Buqi wajah Cong Buqi. Karena Cong Buqi tepat berada di hadapannya serta tidak menduga sama sekali, mau tidak mau air ludah wanita itu mendarat tepat di antara kedua matanya.

“Perempuan bangsat!” bentak Cong Buqi dengan sangat marah.

Sebaliknya, Ning Zhongze membalas, “Kaum pengkhianat dari Kelompok Pedang semuanya tidak becus. Sebenarnya suamiku tidak perlu turun tangan. Cukup aku, seorang wanita saja sudah bisa membinasakan kalian dengan mudah, andai saja tubuhku tidak tertotok seperti ini.”

“Baiklah!” seru Ding Mian menanggapi. Ia pun menjalankan kudanya mendekati Ning Zhongze dan kemudian berputar sehingga kini berada di belakang wanita itu. Laki-laki bertubuh besar itu langsung melecutkan cambuknya tiga kali ke arah punggung Ning Zhongze. Seketika, Nyonya Yue berjingkat gemetar pertanda tiga totokan di tubuhnya terbuka.

Setelah mampu menguasai tubuhnya, Ning Zhongze pun meraih pedangnya yang tergeletak di tanah. Ia paham maksud Ding Mian adalah mengizinkan dirinya bertanding melawan Cong Buqi. Hasil akhir pertandingan nanti bukan hanya menentukan hidup mati Keluarga Yue, tapi juga bagaimana kelanjutan Perguruan Huashan. Jika ia bisa mengalahkan Cong Buqi, maka keadaan genting bisa berubah menjadi keselamatan. Sebaliknya, jika Cong Buqi yang unggul maka tidak akan ada harapan lagi. Akan tetapi, baru saja memasang kuda-kuda, kaki Ning Zhongze mendadak terasa sakit dan lemas. Hampir saja ia jatuh berlutut. Rupanya luka di kaki wanita tersebut cukup parah sehingga kesulitan untuk bangkit dan berdiri dengan tegak.

“Hahahaha!” terdengar suara Cong Buqi bergelak tawa. “Kau menyebut dirimu bukan wanita lemah. Tapi sekarang kau berpura-pura terluka segala. Lalu untuk apa menantang bertanding segala? Jika aku menang juga bukan kemenangan yang gemilang....”

“Awas!” seru Nyonya Yue tanpa menunggu lebih lanjut sambil menusukkan pedangnya dengan sangat cepat sebanyak tiga kali. Dalam setiap tusukan, ia mengerahkan segenap tenaga sampai pedangnya menimbulkan suara berdesing. Setiap tusukan selalu lebih dahsyat daripada tusukan sebelumnya, dan kesemuanya mengarah ke tiga titik mematikan di tubuh lawan.

“Bagus!” sahut Cong Buqi sambil mundur dua langkah untuk menghindar. Sebenarnya Ning Zhongze masih bisa memburunya. Namun luka di kaki membuatnya terpaksa berdiri di tempat semula tanpa berani mengambil risiko.

Cong Buqi maju dan membalas serangan sebanyak tiga kali hingga pedangnya berdesing pula. Ning Zhongze mengelak dan melancarkan gerakan untuk menangkis ketiga serangan itu. Menyusul kemudian ia pun membalas dengan menusuk ke arah perut Cong Buqi. Dan begitulah, kedua orang itu saling menyerang silih berganti.

Yue Buqun yang tidak dapat bergerak hanya bisa menyaksikan istrinya bertarung melawan musuh dengan menanggung luka di kaki. Sebaliknya, gerakan pedang Cong Buqi terlihat begitu lincah dan memiliki lebih banyak ragam perubahan. Setelah melewati sepuluh jurus, gerakan Ning Zhongze semakin terganggu dan pedangnya menjadi lebih lambat. Bagaimanapun juga dalam hal pengerahan tenaga, Kelompok Tenaga Dalam tentu lebih unggul. Akan tetapi, luka di kaki membuat wanita itu tidak mampu mengerahkan tenaga dalam dengan lancar, sehingga mau tidak mau pedang Cong Buqi lebih memimpin keadaan.

Yue Buqun semakin gelisah melihat istrinya mempercepat irama permainan pedangnya. “Kelompok Pedang memiliki lebih banyak jurus pedang dan lebih bagus permainannya daripada Kelompok Tenaga Dalam kita. Menyerang lawan dari pihak mereka dengan mengandalkan keterampilan bermain pedang sama artinya dengan bunuh diri.” Demikian pikir Yue Buqun.

Sebenarnya Nyonya Yue juga menyadari hal ini. Namun karena luka di kaki yang cukup parah serta keadaannya yang baru saja ditotok musuh sehingga tidak sempat mengobati diri sendiri, bahkan saat ini pun pendarahan pada luka tersebut masih belum berhenti, sehingga ia tidak mampu mengumpulkan tenaga dalam untuk menghadapi lawan. Oleh karena itu, Ning Zhongze merasa tidak mempunyai pilihan lain kecuali terus menyerang tanpa henti, meskipun kekuatan pedangnya semakin lama semakin berkurang.

Di lain pihak, setelah berlalu belasan jurus selanjutnya, Cong Buqi mulai mengetahui kelemahan Ning Zhongze tersebut. Laki-laki itu hanya tersenyum gembira, dan ia pun sengaja memperlambat irama permainannya dan ganti melancarkan jurus bertahan yang rapat untuk semakin menguras tenaga wanita itu.

Linghu Chong yang mengamati pertandingan dengan seksama dapat melihat ilmu pedang Cong Buqi sangat mengandalkan teknik dan jurus, tanpa disertai tenaga dalam sedikit pun. Hal ini jelas berbeda dengan ajaran gurunya yang lebih mengutamakan tenaga dalam daripada jurus pedang. “Pantas saja Perguruan Huashan terpecah menjadi Kelompok Tenaga Dalam dan Kelompok Pedang. Kedua pihak benar-benar menggunakan prinsip yang saling berlawanan,” pikir pemuda itu.

Perlahan-lahan Linghu Chong merangkak bangkit. Dipungutnya sebilah pedang yang kebetulan tergeletak di dekatnya. Dalam hati ia berkata, “Perguruan Huashan sudah kalah. Ibu Guru bukan tandingan laki-laki itu. Tapi aku tidak akan membiarkan bajingan itu melecehkan kehormatan Ibu Guru dan juga Adik Kecil. Baiklah, lebih baik dengan pedang ini aku bunuh Ibu Guru dan Adik Kecil untuk menjaga kehormatan Huashan, baru kemudian aku bunuh diri memotong leherku sendiri.”

Sementara itu permainan Ning Zhongze tampak semakin kacau dan tidak teratur. Akhirnya ia nekad menusuk ke depan menggunakan ilmu kebanggaannya, yaitu Jurus Tunggal Pedang Ning Tanpa Tanding.  Meskipun Nyonya Yue sedang terluka cukup parah, namun gerakan jurus tersebut tetap saja terlihat menakutkan.

Cong Buqi terkejut dan segera melompat mundur dengan sangat cepat. Beruntung ia bisa menghindari serangan maut tersebut. Andai saja Ning Zhongze dalam keadaan sehat, tentu pihak lawan tidak akan mempunyai kesempatan untuk menghindar. Sebaliknya, Ning Zhongze sendiri baru saja menguras segenap tenaga untuk melancarkan jurus tersebut sehingga kini wajahnya terlihat pucat dan nafasnya terengah-engah. Bahkan untuk menyangga keseimbangan tubuh, pedang pun digunakan sebagai tongkat.

“Nyonya Yue, ada apa denganmu? Apa kau sudah kehabisan tenaga? Sekarang, izinkan aku menggeledah tubuhmu,” ujar Cong Buqi sambil melangkah maju dan mengangkat tangan kiri dalam keadaan terbuka. Selangkah demi selangkah laki-laki itu makin mendekati Ning Zhongze.

Nyonya Yue sendiri berusaha mengangkat pedangnya dan melanjutkan pertarungan. Akan tetapi, ia merasa berat luar biasa, sedikit pun tidak ada tenaga lagi.

“Tunggu dulu!” teriak Linghu Chong tiba-tiba. Perlahan-lahan pemuda itu melangkah ke depan Ning Zhongze dan kemudian berkata, “Ibu Guru!” Usai menyapa demikian ia mengacungkan pedang siap menusuk sang ibu-guru sampai mati.

Nyonya Yue tampak tersenyum gembira memahami maksud murid pertama suaminya itu. Ia mengangguk-angguk dan berkata, “Anak pintar!” Perasaan lega membuatnya tak kuasa berdiri lagi dan ia pun jatuh terduduk di atas tanah berlumpur.

Melihat itu Cong Buqi membentak, “Apa yang kau lakukan? Enyah kau!” Bersamaan dengan itu ia pun menusuk ke arah tenggorokan Linghu Chong.

Linghu Chong sendiri menyadari bahwa dirinya tidak mampu mengerahkan tenaga dalam sama sekali. Apabila ia menangkis serangan tersebut, maka pedangnya sendiri yang akan terpukul jatuh. Maka, yang ia lakukan justru mengacungkan pedang ke arah tenggorokan Cong Buqi pula. Dapat dibayangkan hasil akhir kejadian ini adalah kedua pihak mati bersama. Tusukan Linghu Chong ini sama sekali tidak memiliki kekuatan dahsyat. Akan tetapi, teknik yang sangat memesona tersebut adalah bagian dari ilmu Sembilan Pedang Dugu.

Tentu saja hal ini membuat Cong Buqi kelabakan. Ia sama sekali tidak menduga seorang bocah kotor akan melancarkan serangan balasan seperti ini. Tanpa pikir panjang, laki-laki itu langsung menjatuhkan diri ke samping dan bergulingan di tanah sampai beberapa meter jauhnya untuk menghindari pedang Linghu Chong. Terlambat sedetik saja, mungkin nyawanya sudah melayang.

Para hadirin menyaksikan keadaan Cong Buqi dengan tatapan prihatin. Cong Buqi pun melompat bangkit dengan berlumuran lumpur di sekujur tubuh dan wajahnya. Beberapa orang tidak kuasa menahan tawa melihatnya. Namun setelah menyadari bahwa Cong Buqi tidak punya pilihan lain, mereka pun langsung berhenti tertawa.

Akan tetapi, Cong Buqi sudah terlanjur malu. Ia pun melompat dengan cepat dan menerjang ke arah Linghu Chong.

Linghu Chong kini menyadari bagaimana ia harus menghadapi lawan. “Aku tidak boleh mengerahkan tenaga dalam sedikit pun karena hanya akan mencelakakan diriku sendiri. Aku harus menghadapi serangannya dengan menggunakan ilmu pedang seperti yang diajarkan Kakek Guru Feng,” pikir pemuda itu.

Linghu Chong sudah mulai akrab dengan ilmu Sembilan Pedang Dugu. Ia tidak akan menggunakan jurus-jurus tersebut secara terang-terangan apabila tidak dalam keadaan genting dan mendesak. Kali ini dalam keadaan di antara hidup dan mati, entah bagaimana berbagai kilatan pikiran terlintas dalam benaknya, dan kesemuanya adalah cara-cara mematahkan jurus pedang, sebagaimana yang pernah diajarkan Feng Qingyang dulu. Maka begitu Cong Buqi menerjang seperti orang gila, Linghu Chong langsung menjemputnya dengan ujung pedang diacungkan miring ke depan. Sasarannya adalah perut lawan.

Cong Buqi kembali terkejut. Berdasarkan pengalaman, apabila ia melancarkan serangan seperti itu maka pihak musuh selalu berusaha menghindar atau menangkis. Oleh karena itu, ia tidak pernah memperhatikan bagian perutnya yang terbuka tanpa perlindungan. Namun kali ini ia bertemu lawan yang aneh. Bukannya menangkis, Linghu Chong justru membalas serangan tersebut dengan mengacungkan pedang ke arah perutnya.

Sebelum kakinya mendarat di tanah, Cong Buqi pun mengubah haluan serangan untuk menghindari bahaya. Dalam keadaan melayang di udara ia menebaskan pedang ke bawah untuk menjatuhkan pedang Linghu Chong. Namun Linghu Chong sudah melakukan gerakan antisipasi dengan lebih dulu menggeser pedang dan mengacungkannya ke atas, sehingga tebasan Cong Buqi hanya mengenai tempat kosong.

Keadaan selanjutnya sungguh di luar dugaan. Kini pedang Linghu Chong sudah mengarah ke dada lawan. Tadinya Cong Buqi berniat menjatuhkan pedang pemuda itu, siapa sangka justru kini ia yang berada dalam bahaya karena tidak menduga sama sekali kalau Linghu Chong justru melakukan gerakan seperti itu. Cong Buqi pun berteriak ngeri karena tidak mampu lagi menghindari maut di depan mata saat tubuhnya melayang jatuh menuju ujung pedang si pemuda.

Melihat adik seperguruannya dalam bahaya, Feng Buping segera melompat maju dan berhasil menangkap punggung Cong Buqi. Namun tindakannya sudah terlambat. Pedang Linghu Chong sudah lebih dulu menusuk bahu Cong Buqi.

Tanpa pikir lagi Feng Buping langsung mencabut pedang untuk menebas tengkuk Linghu Chong. Dalam keadaan biasa, Linghu Chong tentu akan melompat mundur dan membalas serangan. Namun Linghu Chong paham bahwa untuk melompat mundur dalam keadaan seperti itu harus mengerahkan tenaga dalam, dan itu akan mencelakakan diri sendiri. Tanpa ada pilihan lain, Linghu Chong pun menarik pedangnya dari bahu Cong Buqi untuk kemudian menusuk ke arah ulu hati Feng Buping. Gerakan ini juga bagian dari ilmu Sembilan Pedang Dugu. Sepertinya ini juga serangan bunuh diri yang dilakukan Linghu Chong. Akan tetapi, jika diperhitungkan maka pedang Linghu Chong akan lebih dulu menusuk perut lawan daripada pedang Feng Buping mengenai dirinya. Memang serangan mereka berdua hanya selisih satu detik, namun hasil akhirnya sungguh mencengangkan.

Tentu saja Feng Buping terkejut bukan main karena mengetahui meskipun si pemuda tidak bisa menghindari serangannya namun secara tiba-tiba melancarkan tusukan jitu ke arah ulu hatinya. “Sungguh serangan luar biasa!” pikir Feng Buping sambil melompat mundur beberapa langkah. Setelah menghirup nafas panjang, ia lalu menerjang maju dengan melancarkan tujuh serangan beruntun. Setiap serangan selalu lebih gencar daripada serangan sebelumnya. Kali ini Linghu Chong merasa seperti menghadapi terjangan angin badai.

Akan tetapi, Linghu Chong sendiri sudah tidak memikirkan hidup dan mati. Yang ada dalam pikirannya hanyalah segala teknik pedang yang pernah diajarkan Feng Qingyang tempo hari. Terkadang ia juga teringat pada gambar-gambar jurus yang terukir pada dinding gua di puncak Huashan. Berbekal jurus-jurus tersebut ia menyerang Feng Buping sekenanya dan sesuka hatinya. Tak terasa sudah enam puluh jurus terlewati, namun sekejap pun pedang mereka tidak pernah berbenturan. Baik itu gerakan menyerang ataupun bertahan, semua terlihat indah dan mengagumkan.

Menyaksikan pertandingan dahsyat tersebut, para hadirin hanya bisa terkagum-kagum dalam hati. Hampir semua orang dapat mendengar dengan jelas suara nafas Linghu Chong yang terengah-engah, pertanda ia sama sekali tidak memiliki tenaga dalam untuk melawan. Meskipun demikian, pemuda itu tetap mampu melahirkan gaya-gaya serangan baru yang tidak terduga sebelumnya. Gerakan-gerakan yang dilancarkannya benar-benar sukar ditebak oleh setiap orang. Setiap kali Feng Buping melancarkan serangan, entah bagaimana Linghu Chong mampu menghadapi dengan serangan balik pula; sama sekali tidak ada gerakan menangkis atau sejenisnya.

Feng Buping juga menyadari kalau Linghu Chong sama sekali tidak memiliki tenaga dalam. Maka, selain berusaha melukai tubuh Linghu Chong, ia juga berusaha memukul jatuh pedang milik pemuda itu. Maka, serangannya pun kemudian disertai dengan tenaga dalam yang sangat kuat.

Menyaksikan itu beberapa hadirin yang menonton dari jarak dekat mulai merasa kurang senang. Seorang pendeta dari Taishan pun menyindir, “Si paman dari Kelompok Pedang memiliki tenaga dalam lebih hebat, sedangkan si keponakan dari Kelompok Tenaga Dalam justru memiliki permainan pedang lebih bagus. Apa-apaan ini? Apakah kalian sudah bertukar seenaknya?”

Wajah Feng Buping bersemu merah mendengar ejekan itu. Ia pun melancarkan serangan yang semakin gencar dan lebih cepat dari sebelumnya, bagaikan hujan deras dan angin kencang. Bagaimanapun juga ia adalah pendekar terbaik dalam Kelompok Pedang di Perguruan Huashan. Sudah tentu ilmu pedangnya boleh dikata sangat memukau dan nyaris sempurna.

Linghu Chong sendiri sudah tidak memiliki tenaga cadangan untuk menghindar. Sisa-sisa tenaga yang ia miliki hanya digunakan untuk menjaga tubuhnya agar tetap berdiri tegak. Oleh sebab itu, ia kehilangan banyak kesempatan untuk melancarkan serangan yang bisa mengakhiri pertandingan. Di samping itu, ia sendiri juga belum benar-benar lancar dalam memainkan ilmu Sembilan Pedang Dugu sehingga mau tidak mau hatinya merasa gentar juga. Meskipun demikian, dalam pertarungan tersebut masih sulit ditentukan siapa yang menang, siapa yang kalah.

(Bersambung)

Terbunuhnya Liang Fa.

Rombongan Serikat Pedang Lima Gunung tiba.



Cong Buqi hendak melecehkan Ning Zhongze.


Feng Buping berusaha menyelamatkan Cong Buqi.

Pertarungan Linghu Chong dan Feng Buping.