Bagian 130 - Hari Bahagia

Pertemuan Ketua Linghu dan Ketua Ren

Linghu Chong lantas mengundang Mahabiksu Fangzheng dan Pendeta Chongxu masuk ke Biara Wuse untuk beristirahat di dalam Aula Guanyin. Ketiganya pun duduk di atas kasur samadi dengan kesibukan masing-masing. Mahabiksu Fangzheng tampak membalik-balik halaman Kitab Jinkang yang berbahasa Sanskerta itu, sementara Pendeta Chongxu membaca Kitab Taiji Quan sambil sesekali meraba Pedang Zhenwu. Betapa besar kebahagiaan di hatinya sungguh tak terlukiskan, sehingga rasa curiganya pun memudar pula.

Tiba-tiba dari bawah kolong meja persembahan terdengar suara seseorang berkata, “Ahhh, ternyata kau Yingying!”

Seseorang lainnya menjawab, “Benar, Kakak Chong, kau … kau ….”

Suara ribut-ribut ini tidak lain adalah suara Enam Dewa Lembah Persik.

Seketika Linghu Chong berseru kaget dan melonjak bangun dari tempat duduknya, “Hei!”

Suara percakapan di bawah kolong meja itu terus saja berlanjut, “Kakak Chong, ayahku, ayahku … sudah meninggal dunia.”

“Bagaimana Beliau meninggal dunia? Apa yang terjadi?”

“Hari itu setelah kau meninggalkan Puncak Huashan, tiba-tiba Ayah jatuh dari Batu Tapak Dewa dan meluncur ke bawah. Paman Xiang dan aku berhasil menangkap tubuhnya. Namun, hanya sebentar saja Ayah kemudian berhenti bernapas.”

“Apakah … apakah ada musuh yang mencelakai Beliau?”

“Tidak. Paman Xiang berkata usia Ayah sudah lanjut, juga pernah menderita belasan tahun di bawah Danau Barat. Beberapa tahun terakhir ini dalam penjara Ayah berlatih keras menggunakan tenaga dalam yang paling dahsyat untuk memusnahkan bermacam-macam hawa murni liar di tubuhnya secara paksa. Tentu saja hal ini sangat mengganggu kesehatannya. Setelah mendapatkan kembali kedudukannya, Ayah berencana untuk menghancurkan Serikat Pedang Lima Gunung sehingga membuatnya berpikir siang malam dan kesehatannya pun makin menurun. Jadi, Ayah meninggal dunia karena kesehatannya memang sangat buruk.”

“Sungguh tak kusangka akan terjadi demikian.”

“Kakak Chong, di Puncak Huashan waktu itu Paman Xiang langsung berunding dengan kesepuluh tetua agama kami. Dengan suara bulat mereka mengangkat diriku sebagai ketua Sekte Matahari dan Bulan menggantikan Ayah.”

“Oh, ternyata yang dimaksud dengan Ketua Ren sebenarnya adalah Nona Ren, bukan Tuan Ren.”

Begitulah, Enam Dewa Lembah Persik beberapa saat yang lalu telah berebut duduk di atas kursi sembilan naga, sehingga Mahabiksu Fangzheng terpaksa melumpuhkan mereka dengan ilmu Auman Singa. Pendeta Chongxu juga menotok semua titik gerak dan titik bisu mereka, kemudian mendorong keenam orang sinting itu ke dalam kolong meja persembahan. Akan tetapi, karena tenaga dalam enam bersaudara ini cukup hebat, maka tidak lama kemudian mereka pun sadar dari pingsan. Hanya saja, mereka masih dalam keadaan tertotok, sehingga tidak bisa bergerak dan tetap meringkuk di bawah meja. Meskipun demikian, hal ini justru mereka manfaatkan untuk mendengarkan percakapan Linghu Cong dengan “Ketua Ren” yang berada di dalam tandu tadi. Kini totokan mereka telah terbuka oleh waktu sehingga keenamnya langsung saja bersuara menirukan semua yang telah mereka dengar. Padahal, itu semua adalah percakapan rahasia.

Begitu mendengar Ren Woxing telah meninggal dunia dan kini Ren Yingying menjadi ketua Sekte Matahari dan Bulan yang baru, seketika Fangzheng dan Chongxu merasa terkejut bercampur senang. Mereka juga langsung paham mengapa Ren Yingying memberikan hadiah kepada Linghu Chong berupa barang-barang keperluan sehari-hari saja, karena ini merupakan tanda pertunangan mereka berdua.

Sementara itu, Enam Dewa Lembah Persik masih terus bersahut-sahutan di bawah meja tanpa henti. Daya ingat mereka sangat bagus sehingga mampu menirukan semua perkataan dan gaya bicara Linghu Chong ataupun Ren Yingying. Terdengar seseorang berkata, “Kakak Chong, hari ini aku sengaja datang kemari untuk melihatmu. Kalau sampai diketahui orang-orang di luar, tentu kita akan ditertawai.”

“Ah, peduli apa dengan mereka? Kau ini memang sangat pemalu.”

“Tidak, aku memang tidak ingin diketahui orang luar.”

“Baiklah, aku berjanji tidak akan bercerita kepada siapa pun.”

“Aku sengaja memerintahkan semua anggota sekte untuk meneriakkan sanjung puji seperti biasanya, agar tidak menimbulkan kecurigaan pihak luar. Sama sekali bukan maksudku untuk menyombongkan diri di hadapanmu, atau kepada Mahabiksu Fangzheng dan Pendeta Chongxu.”

“Mahabiksu Fangzheng dan Pendeta Chongxu tidak akan tahu.”

“Selain itu, mulai hari ini hubungan Sekte Matahari dan Bulan dengan Perguruan Henshan, Shaolin, dan Wudang telah berubah dari lawan menjadi kawan. Aku tidak ingin orang luar sampai tahu bahwa hal ini adalah hasil keputusanku. Jika itu sampai terjadi, maka kaum persilatan tentu akan menganggap permusuhan ini berakhir secara damai adalah dikarenakan kau dan … aku … karena hubungan kita berdua. Kalau hal ini sampai tersiar tentu akan membuat kita merasa rikuh.”

“Hahaha, aku tidak takut menjadi bahan cerita.”

“Mukamu tebal, tentu saja kau tidak takut. Tentang meninggalnya Ayah juga sengaja sangat dirahasiakan oleh Sekte Matahari dan Bulan. Orang luar harus mengira ayahku benar-benar datang berkunjung ke Gunung Henshan ini serta berunding denganmu, kemudian tercipta perdamaian. Dengan demikian nama baik Ayah di dunia persilatan menjadi lebih dihormati. Setelah pulang ke Tebing Kayu Hitam nanti, barulah berita meninggalnya Ayah akan kusiarkan secara luas.”

“Sebagai menantu kesayangan, tentu aku akan datang ke sana memberikan penghormatan terakhir.”

“Sungguh bagus kalau kau datang ke sana. Ketika di Puncak Huashan tempo hari, Ayah sudah merestui pernikahan kita, hanya saja ... hanya saja … setelah aku berkabung ….”

Mendengar Enam Dewa Lembah Persik mulai membeberkan kisah cintanya dengan Ren Yingying, seketika Linghu Chong pun membentak, “Enam Dewa Lembah Persik, lekas keluar! Jika tidak segera keluar dan masih mengoceh, akan kubeset kulit kalian!”

Akan tetapi, masih saja terdengar salah satu dari mereka berbicara dengan menirukan nada suara Ren Yingying, “Tapi, tapi yang kukhawatirkan adalah kesehatanmu. Ayah tidak sempat mengajarkan bagaimana cara memusnahkan bermacam-macam hawa murni liar yang mendekam dalam tubuhmu. Namun sebenarnya, ilmu itu juga tidak ada gunanya. Seandainya Ayah mengajarkan kepadamu juga sia-sia, karena Ayah sendiri juga … ehhh!”

Dewa Dahan Persik menirukan suara Ren Yingying menghela napas dengan penuh rasa sedih, sehingga membuat Fangzheng, Chongxu, dan Linghu Chong ikut terharu pula. Bagaimanapun juga Ren Woxing adalah kesatria hebat di zaman itu. Meskipun selama hidup ia sering berbuat keburukan, namun tetap saja kematiannya terasa menyedihkan.

Linghu Chong sendiri tidak sepenuhnya membenci Ren Woxing. Bagaimanapun kejamnya orang tua itu, tetap saja ia menaruh penghormatan yang sangat besar terhadap kehebatan dan kecerdasannya dalam hal ilmu silat dan siasat perang. Terutama juga kepada sifatnya yang suka hidup merdeka dan tidak peduli dengan tata aturan masyarakat yang kaku, dalam hal ini Linghu Chong merasa memiliki banyak kemiripan sifat dengannya. Perbedaan yang paling mencolok adalah, Linghu Chong tidak bernafsu merajai dunia persilatan, itu saja.

Pada saat itu Fangzheng, Congxu, dan Linghu Chong sama-sama merenung, “Sejak zaman dulu hingga sekarang, bagaimanapun besarnya kekuasaan dan keharuman nama seseorang, baik itu kaisar, maharaja, kesatria, nabi, orang suci, atau penjahat besar sekalipun pada akhirnya semua akan mati.”

Terdengar Dewa Buah Persik berkata, “Kakak Chong, aku ....”

Chongxu berpikir kalau ocehan Enam Dewa Lembah Persik diterus-teruskan, tentu akan membuat Linghu Chong semakin bertambah rikuh. Segera ia pun menyeret keenam bersaudara itu keluar. Sambil tertawa ia lalu berkata, “Keenam Dewa Persik bersaudara, maaf aku tadi harus menotok kalian semua. Ocehan kalian rasanya sudah cukup sampai di sini. Jika Ketua Linghu sampai marah, maka ia akan menotok titik bisu abadi kalian semua. Akibatnya sungguh sangat mengerikan.”

“Titik bisu abadi itu apa?” tanya Enam Dewa Lembah Persik bersamaan dengan nada terkejut dan khawatir.

“Jika titik bisu abadi kalian tertotok, maka seumur hidup kalian akan menjadi bisu,” kata Chongxu dengan tertawa. “Tapi kalau untuk makan dan minum masih bisa.”

Enam Dewa Lembah Persik langsung berseru serentak, “Bicara nomor satu, makan-minum nomor dua.”

“Kalau begitu, apa yang kalian bicarakan tadi jangan sekali-kali diucapkan kepada siapa pun juga,” ujar Chongxu. “Nah, Ketua Linghu, biarlah aku memintakan ampun bagi mereka. Janganlah kau menotok titik bisu abadi mereka. Mahabiksu Fangzheng dan aku berani menjamin bahwa untuk selanjutnya mereka berenam pasti tidak akan membocorkan sepatah kata pun dari percakapanmu dengan Nona Ren yang telah mereka curi dengar tadi.”

“Tidak benar, tidak benar! Kami tidak mencuri dengar sama sekali. Percakapan mereka masuk dengan sendirinya ke telinga kami, kami bisa apa?” seru Dewa Bunga Persik.

“Sudahlah,” ujar Chongxu. “Boleh jadi kalian memang tidak sengaja mendengarkan percakapan tadi. Tapi menirukan percakapan orang lain adalah perbuatan tidak benar.”

“Baik, baik! Kami berjanji tidak akan mengoceh lagi!” seru Enam Dewa Lembah Persik serentak.

Dewa Akar Persik lantas menyambung, “Tapi semboyan Sekte Matahari dan Bulan untuk ketua mereka yang baru telah berubah dua kalimat. Kami boleh mengatakannya atau tidak?”

“Tidak boleh, tetap tidak boleh!” bentak Linghu Chong.

“Kalau tidak boleh ya sudah!” sahut  Dewa Ranting Persik. “Hanya kau dan Nona Ren yang boleh mengatakan semboyan itu, sementara kami tidak boleh.”

Chongxu menjadi penasaran dan berpikir, “Dua kalimat apa yang telah berubah? Mungkinkah kalimat ‘Ketua panjang umur, merajai dunia persilatan’ yang berubah? Kini Nona Ren menjadi ketua sekte, sepertinya ia tidak tertarik menjadi penguasa dunia persilatan. Kalau benar demikian, lantas seperti apa semboyan Sekte Matahari dan Bulan yang baru itu?”

Tiga tahun kemudian di Wisma Meizhuang, dekat Gunung Gu dan Danau Barat, di dalam Kota Hangzhou, suasana tampak semarak dengan nyala lampion di mana-mana. Tampak orang-orang berdatangan dengan berpakaian rapih. Rupanya hari itu adalah hari bahagia pernikahan Linghu Chong dan Ren Yingying.

Pada saat itu Linghu Chong telah menyerahkan jabatan ketua Perguruan Henshan kepada Yiqing. Sebenarnya Yiqing tidak bersedia dan mendesak Yilin untuk menggantikannya sebagai ketua, mengingat Yilin telah membalaskan kematian guru mereka, yaitu dengan membunuh Yue Buqun. Namun, Yilin bersikeras menolak, bahkan sampai menangis di depan umum. Maka, diadakanlah musyawarah di antara para anggota dan mereka pun sepakat menerima usul Linghu Chong, yaitu mengangkat Yiqing menjadi ketua Perguruan Henshan yang baru.

Sementara itu, Perguruan Songshan, Huashan, Hengshan, dan Taishan juga telah memiliki ketua baru masing-masing. Para murid yang tidak ikut terjebak dalam malapetaka di Puncak Huashan kala itu telah merintis perguruan masing-masing sehingga kembali mendapatkan nama di dunia persilatan.

Ren Yingying sendiri juga telah melepaskan jabatan ketua Sekte Matahari dan Bulan, serta menyerahkan kedudukan itu kepada Xiang Wentian. Meskipun Xiang Wentian juga seorang tokoh persilatan yang keras kepala dan sukar dikendalikan, tapi dia tidak mempunyai ambisi mencaplok perguruan atau aliran lainnya. Maka itu, selama tiga tahun ini keadaan dunia persilatan menjadi aman dan tenteram.

Pada hari itu banyak sekali kaum persilatan yang hadir di Kota Hangzhou untuk mengucapkan selamat atas pernikahan Linghu Chong dan Ren Yingying. Wisma Meizhuang penuh sesak karena yang hadir berasal dari berbagai aliran persilatan, baik itu golongan putih ataupun hitam. Hari itu semuanya berkumpul dengan suka cita, tanpa ada rasa permusuhan di antara mereka.

Selesai upacara pernikahan, para hadirin meminta sepasang mempelai sudi memainkan ilmu pedang di depan umum. Setiap orang mengetahui bahwa ilmu pedang Linghu Chong tiada bandingannya di dunia ini, namun tidak semuanya pernah menyaksikan kehebatannya itu.

Linghu Chong tersenyum menanggapi permintaan para tamu, lalu berkata, “Hari ini adalah hari yang bahagia. Rasanya kurang pantas jika kami harus main senjata segala. Biarlah kami berdua, pengantin baru ini memainkan sebuah lagu bersama-sama. Apakah para hadirin setuju?”

Para tamu pun bersorak menyatakan setuju.

Linghu Chong segera menyiapkan kecapi dan memberikan seruling kumala kepada Ren Yingying. Tanpa membuka kerudung pengantin, Ren Yingying meniup seruling itu dengan merdu, beriringan dengan petikan kecapi Linghu Chong. Lagu yang mereka bawakan tidak lain adalah lagu “Menertawakan Dunia Persilatan”. Rupanya selama tiga tahun ini permainan kecapi Linghu Chong telah berkembang sangat pesat berkat bimbingan langsung Ren Yingying setiap saat.

Linghu Chong teringat dirinya pertama kali mendengar lagu itu ketika berada di hutan pegunungan di luar Kota Hengshan dahulu. Waktu itu Liu Zhengfeng dari Perguruan Hengshan meniup seruling, sedangkan Qu Yang dari Sekte Matahari dan Bulan memetik kecapi. Keduanya bersahabat karib meskipun berasal dari dua aliran yang bermusuhan. Setelah memainkan lagu tersebut, mereka akhirnya tewas bersama.

Hari ini Linghu Chong dan Ren Yingying telah menikah dan tiada lagi perbedaan di antara mereka. Dibandingkan dengan Qu Yang dan Liu Zhengfeng, nasib mereka jauh lebih bagus. Linghu Chong membayangkan pada saat menciptakan lagu tersebut, pasti Liu Zhengfeng dan Qu Yang dalam keadaan tertekan oleh pertentangan golongan mereka, serta berharap semua permusuhan bisa berakhir. Kini harapan mereka telah menjadi kenyataan. Linghu Chong dan Ren Yingying memainkan lagu Menertawakan Dunia Persilatan dengan perasaan bebas merdeka, sehingga perpaduan irama seruling dan kecapi yang dihasilkan boleh dikata sangat sempurna.

Kebanyakan para tamu tidak memahami seni musik. Akan tetapi, setiap orang merasa sangat nyaman dan terbuai oleh alunan irama tersebut. Di bawah permainan pengantin baru ini, lagu Menertawakan Dunia Persilatan berhasil menggetarkan sukma dan mengharukan hati setiap tamu yang hadir.

Begitu lagu selesai dimainkan, serentak para hadirin bertepuk tangan dan bersorak sorai memuji keduanya. Beramai-ramai mereka lalu mempersilakan kedua mempelai masuk ke dalam kamar pengantin yang telah disediakan mak comblang dan tertata rapi.

Baru saja pintu kamar ditutup, tiba-tiba Linghu Chong dan Ren Yingying mendengar alunan suara rebab yang sangat merdu dari luar pagar. Seketika Linghu Chong berteriak senang, “Paman Guru Mo ....”

“Ssst, jangan berisik,” sahut Ren Yingying mendesis.

Lagu yang dimainkan melalui rebab itu berjudul “Sepasang Burung Feng Bertemu”. Kedua mempelai yakin bahwa lagu ini dimainkan langsung oleh Tuan Besar Mo di luar rumah mereka. Meskipun permainannya sangat lembut dan lirih, namun benar-benar mengharukan perasaan Linghu Chong dan Ren Yingying dari awal hingga akhir. Dalam hati Linghu Chong berpikir, “Paman Guru Mo benar-benar lolos dari malapetaka di Puncak Huashan. Beliau datang kemari secara diam-diam untuk menyampaikan selamat atas pernikahan kami.”

Selama tiga tahun ini, Linghu Chong selalu memikirkan keberadaan Tuan Besar Mo. Berulang kali ia mengirim orang ke Gunung Hengshan namun tidak juga mendapatkan kabar. Perguruan Hengshan sendiri juga telah memiliki ketua yang baru, dan mereka pun tidak mengetahui keberadaan sang ketua lama.

Beberapa saat kemudian suara rebab terdengar semakin menjauh dan menjauh, hingga akhirnya menghilang tak terdengar lagi.

Perlahan-perlahan Linghu Chong mendekati Ren Yingying dan membuka kerudung sutra tipis berwarna merah yang menutup wajah cantiknya. Di bawah cahaya lilin tampak wajah mempelai perempuan yang sedang tersenyum itu semakin menawan bagaikan intan permata.

Tiba-tiba Ren Yingying berseru, “Keluar sekarang!”

Linghu Chong tersentak kaget. Dalam hati ia berpikir, “Aku sudah jadi suaminya, kenapa disuruh keluar?”

“Lekas keluar, atau kusiram dengan air?” bentak Ren Yingying sambil tertawa.

Selagi Linghu Chong kebingungan, tiba-tiba dari kolong ranjang tampak enam orang menerobos keluar. Siapa lagi mereka kalau bukan Enam Dewa Lembah Persik?

Rupanya keenam orang dungu bersaudara ini sengaja bersembunyi di bawah ranjang dengan tujuan ingin mendengarkan percakapan antara sepasang pengantin baru. Setelah itu, mereka akan mempergunakannya sebagai bahan pamer di hadapan para tamu. Saat itu Linghu Chong sedang mabuk kepayang mengagumi kecantikan sang istri sehingga kurang waspada. Sebaliknya, Ren Yingying tetap bersikap cermat dan ia pun mendengar suara orang bernapas sangat halus di bawah tempat tidur.

Dengan bergelak tawa Linghu Chong berkata, “Hahaha, keenam Dewa Persik bersaudara, hampir saja aku dapat kalian kerjai.”

Dengan tertawa pula Enam Dewa Lembah Persik lantas meninggalkan kamar pengantin itu. Begitu sampai di luar mereka langsung berteriak-teriak, “Semoga kedua mempelai panjang umur, menjadi suami-istri selamanya!”

Saat itu Pendeta Chongxu sedang bercakap-cakap dengan Mahabiksu Fangzheng di Balai Bunga yang menjadi ruang perjamuan tamu. Ketika mendengar teriakan Enam Dewa Lembah Persik tersebut, ia pun tersenyum. Teka-teki yang terpendam selama tiga tahun di hatinya baru sekarang terjawab sudah. Saat di Biara Wuse waktu itu ia sangat penasaran mendengar Enam Dewa Lembah Persik mengatakan semboyan Sekte Matahari dan Bulan telah berganti dua kalimat. Rupanya inilah semboyan yang mereka maksudkan itu

Empat bulan kemudian, pada saat musim semi berlangsung, tampak rumput liar memanjang dan bunga-bunga harum semerbak di mana-mana. Kedua pengantin baru Linghu Chong dan Ren Yingying sedang bersama-sama berangkat ke Gunung Huashan. Linghu Chong bermaksud membawa istrinya itu menyampaikan salam hormat kepada Feng Qingyang, sang kakek guru tercinta.

Akan tetapi, meskipun mereka berdua sudah menjelajahi semua lembah pegunungan Huashan, semua puncak, dan menelusuri dengan seksama, namun sedikit pun mereka tidak menemukan jejak orang tua itu. Tentu saja Linghu Chong merasa sangat kesal dan kecewa.

Ren Yingying berusaha menghibur sang suami dengan berkata, “Kakek Guru Feng seorang sakti yang suka hidup menyendiri. Beliau bagaikan naga keramat dari kahyangan, bisa melihat kita tapi tidak bisa kita melihatnya. Kemungkinan besar Beliau telah mengembara ke tempat lain.”

Linghu Chong menghela napas dan berkata, “Kakek Guru Feng tidak hanya mahasakti dalam ilmu pedang, bahkan tenaga dalam Beliau juga tiada bandingannya di dunia ini. Selama tiga setengah tahun aku berlatih ilmu tenaga dalam sesuai ajaran Beliau. Aku merasa hampir semua hawa murni liar yang bergolak di dalam tubuhku dapat dimusnahkan.”

“Untuk ini kita harus berterima kasih kepada Mahabiksu Fangzheng,” kata Ren Yingying. “Karena kita tidak berhasil menemui Kakek Guru Feng, maka besok juga kita pergi ke Biara Shaolin saja untuk mengucapkan terima kasih kepada Mahabiksu Fangzheng.”

“Benar,” jawab Linghu Chong. “Mahabiksu Fangzheng telah menyampaikan rumus ilmu tenaga dalam Kakek Guru Feng itu serta membimbing diriku pula. Kita memang harus berterima kasih kepadanya.”

Ren Yingying tersenyum dan berkata, “Kakak Chong, kenapa kau belum sadar juga? Sebenarnya yang telah kau pelajari itu bukan rumus tenaga dalam milik Kakek Guru Feng, melainkan ilmu sakti dalam Kitab Yijinjing milik Perguruan Shaolin.”

“Apa?” sahut Linghu Chong melonjak kaget. “Jadi, ini ... ini ... ilmu dalam Kitab Yijinjing? Dari mana kau tahu?”

Ren Yingying menjawab, “Dulu sewaktu kau bercerita padaku bahwa rumus ilmu tenaga dalam ini adalah milik Kakek Guru Feng yang disampaikan kepada Mahabiksu Fangzheng melalui Enam Dewa Lembah Persik, aku langsung curiga. Bagaimana tidak, untuk melatih ilmu ini, sedikit kesalahan saja dapat mengakibatkan kelumpuhan atau bahkan jiwa bisa melayang. Mana boleh rumus ilmu tenaga dalam sehebat ini disampaikan begitu saja melalui orang lain seperti Enam Dewa Lembah Persik yang dungu itu, bahkan secara lisan? Meskipun Mahabiksu Fangzheng mengaku mereka berenam dipaksa Kakek Guru Feng menghafal rumus itu dengan sekuat tenaga, tetap saja ini sangat berbahaya. Maka, pada suatu kesempatan aku sengaja menanyai keenam bersaudara itu. Mula-mula mereka mengaku bahwa cerita Mahabiksu Fangzheng adalah benar. Namun, begitu aku menyuruh mereka menyebut beberapa kalimat pada rumus tersebut, mereka menjawab secara simpang-siur. Ada yang mengaku sudah lupa, ada lagi yang mengaku tidak mau mengatakannya kecuali kepada Mahabiksu Fangzheng saja. Setelah kudesak lagi, akhirnya mereka pun menceritakan yang sebenarnya. Bahwa demi untuk menyelamatkan jiwamu, Mahabiksu Fangzheng sengaja mengarang cerita bahwa Beliau mendapatkan rumus ilmu ini dari Kakek Guru Feng. Jika tidak begitu, maka kau tidak akan mau mempelajarinya. Enam Dewa Lembah Persik juga dipesan agar merahasiakan hal ini kepadamu.”

Linghu Chong tercengang mendengar uraian itu. Sama sekali ia tidak menyangka akan maksud dan tujuan Mahabiksu Fangzheng tersebut. Untuk beberapa lama ia tidak bisa bersuara sedikit pun.

Ren Yingying melanjutkan, “Namun, Kakek Guru Feng memang benar-benar bertemu dengan Enam Dewa Lembah Persik. Beliau menyuruh keenam bersaudara itu menyampaikan berita kepada Mahabiksu Fangzheng bahwa sebulan lagi Sekte Matahari dan Bulan hendak menyerbu Perguruan Henshan. Maka itu, Perguruan Shaolin lantas menghubungi pihak Wudang dan bersama-sama menghimpun kekuatan dari berbagai golongan lainnya demi membantu pihak Henshan. Sementara itu, mengenai rumus ilmu tenaga dalam tersebut adalah benar-benar ilmu Perguruan Shaolin sendiri.”

“Kau sungguh keterlaluan,” gerutu Linghu Chong. “Sudah tahu sejak dulu kenapa baru sekarang kau sampaikan padaku?”

Ren Yingying tersenyum menjawab, “Kau sendiri yang keras kepala. Dulu kau terang-terangan menolak tawaran Mahabiksu Fangzheng agar dirimu masuk menjadi murid Perguruan Shaolin dan mempelajari Kitab Yijinjing untuk menyembuhkan penyakitmu. Kau menolak begitu saja dan meninggalkan biara, sampai akhirnya tanpa sengaja menemukan Jurus Penyedot Bintang. Penyakitmu memang sembuh tapi kemudian muncul penyakit baru akibat ilmu ayahku ini. Mahabiksu Fangzheng kembali berusaha menyembuhkan penyakitmu namun tidak berani secara terang-terangan menyebut nama Kitab Yijinjing lagi. Mungkin bagimu lebih baik mati daripada mempelajarinya, bukankah ini konyol? Maka itu, Mahabiksu Fangzheng lantas meminjam nama Kakek Guru Feng untuk menyampaikan rumus ilmu tersebut. Mengingat Kakek Guru Feng juga orang Huashan, maka dapat dipastikan kau tidak akan menolak lagi.”

“Oh,” ujar Linghu Chong sambil manggut-manggut. “Kau sengaja merahasiakan hal ini tentu karena kau takut sifat keras kepalaku kembali kambuh sehingga aku menghentikan latihan. Kini setelah tahu penyakitku hampir sembuh, barulah kau mau menceritakan yang sebenarnya.”

Ren Yingying kembali tertawa dan berkata, “Benar. Kebandelanmu cukup terkenal. Untuk sifat seperti ini memang perlu sedikit tipuan.”

Linghu Chong menghela napas terharu, kemudian ia menggenggam erat tangan Ren Yingying, dan berkata, “Yingying, dulu kau rela mengorbankan jiwamu di Biara Shaolin demi untuk meyakinkan Mahabiksu Fangzheng agar mau mengajarkan Kitab Yijinjing padaku. Meskipun jiwamu diampuni, namun Mahabiksu Fangzheng tetap menganggap Beliau telah berhutang kepadamu. Beliau seorang tokoh angkatan tua dunia persilatan yang paling terhormat dan harus pegang janji. Maka itu, Beliau tetap mengajarkan ilmu sakti ini kepadaku, meskipun aku bukan murid Biara Shaolin. Ilmu ini kudapatkan melalui pengorbananmu. Seandainya aku tidak memikirkan keselamatanku, tetap saja aku memikirkan jerih payah dan maksud baikmu. Mana mungkin ... mana mungkin aku kemudian menghentikan latihan ini?”

Ren Yingying berkata lirih, “Sebenarnya aku juga berpikir demikian. Hanya saja ... hanya saja aku tetap merasa khawatir.”

“Baiklah, besok juga kita segera berangkat ke Biara Shaolin. Karena aku sudah mendalami ilmu sakti dalam Kitab Yijinjing, maka aku terpaksa harus bergabung dengan Perguruan Shaolin dan menjadi biksu,” ujar Linghu Chong.

Ren Yingying paham suaminya itu hanya bercanda. Maka, ia pun menjawab, “Biksu liar macam dirimu, biara besar tidak sudi menerima, biara kecil tidak sudi menyambut. Mana mungkin Perguruan Shaolin yang memiliki peraturan ketat mau menerima biksu yang gemar minum arak dan makan daging? Dalam setengah hari saja kau akan langsung didepak keluar.”

Kedua pengantin baru itu melangkah bergandeng tangan sambil bercakap-cakap mesra. Tampak Ren Yingying berkali-kali menoleh ke sana dan ke sini, seperti hendak mencari sesuatu.

“Apa yang kau cari?” tanya Linghu Chong.

“Takkan kukatakan kepadamu. Kalau sudah bertemu tentu kau akan tahu sendiri,” sahut Ren Yingying. “Hari ini kita datang ke Gunung Huashan dan tidak berhasil menemukan Kakek Guru Feng. Sebenarnya ini mengecewakan. Tapi, kalau tidak menemukan orang yang satu ini, rasanya lebih kecewa lagi.”

Linghu Chong semakin bingung dan bertanya, “Memangnya siapa lagi yang akan kita temui? Siapakah dia?”

Ren Yingying hanya tersenyum dan tidak menjawab. Sejenak kemudian ia berkata, “Yang pasti dia bukan Lin Pingzhi. Kau telah mengurung bocah bermarga Lin itu dalam penjara di bawah Danau Barat sana. Kau ini memang pintar. Kau pernah menyanggupi wasiat adik kecilmu untuk selalu menjaga Lin Pingzhi seumur hidupnya. Maka itu, kau lantas mengurungnya di sana, kau beri makan dan pakaian. Dengan begini jiwanya pun terjamin. Kau benar-benar telah menjaga kehidupannya sesuai janjimu. Akan tetapi, untuk teman lamamu yang satu ini aku telah mengatur suatu cara demi menjamin kehidupannya.”

Linghu Chong bertambah heran dan merenung, “Teman lamaku? Memangnya siapa yang dimaksudkannya itu?” Namun mengingat sifat Ren Yingying yang cenderung aneh dan lain dari orang-orang pada umumnya, maka ia merasa tidak ada gunanya untuk bertanya lebih lanjut.”

Malam itu mereka berdua beristirahat di bilik Linghu Chong yang lama. Meskipun berhadapan dengan seorang istri cantik, namun karena terkenang pada kehidupan masa lalu, hati Linghu Chong merasa berduka. Setelah meneguk arak sampai belasan cawan barulah pikirannya agak tenang.

Tiba-tiba Ren Yingying berkata lirih, “Itu dia sudah datang. Marilah kita pergi melihatnya.”

Linghu Chong mendengar suara monyet dari arah lembah pegunungan di depan biliknya. Merasa penasaran tentang siapakah orang yang dimaksudkan Ren Yingying itu, tanpa banyak bertanya ia pun mengikuti sang istri berjalan keluar.

Ren Yingying bergegas menuju ke arah suara monyet tadi. Dengan cepat ia berlari ke lereng bukit di depan sana. Linghu Chong mengikuti ke mana istrinya melangkah. Di bawah sinar bulan yang cukup terang tampak tujuh atau delapan ekor monyet bertengger di atas bebatuan. Kawanan monyet di Gunung Huashan memang cukup banyak dan hal ini tidak mengherankan bagi Linghu Chong. Namun, tiba-tiba dilihatnya di tengah gerombolan monyet itu ada seorang manusia. Begitu diperhatikan dengan cermat, ternyata orang itu adalah Lao Denuo.

Dengan perasaan gusar bercampur senang Linghu Chong segera berbalik hendak mengambil pedang di dalam biliknya. Namun, Ren Yingying buru-buru menarik lengannya dan berkata, “Sabar dulu. Mari kita melihatnya lebih dekat.”

Setelah keduanya maju beberapa puluh meter, tampak Lao Denuo sedang diapit dua ekor monyet besar dan diseret ke kanan dan ke kiri begitu saja. Meskipun ilmu silat Lao Denuo cukup tinggi, ternyata ia tidak berdaya melawan dua ekor monyet itu.

“Kenapa bisa begitu?” tanya Linghu Chong heran.

“Lihatlah dengan lebih jelas. Sebentar lagi tentu kau akan tahu sendiri,” kata Ren Yingying.

Sifat monyet pada umumnya adalah suka bergerak ke mana-mana, sehingga Lao Denuo tampak ditarik ke sana dan diseret kemari oleh dua ekor monyet besar itu. Terkadang ia mengeluarkan suara caci maki, namun monyet-monyet itu lantas mencakar wajahnya.

Kini Linghu Chong dapat melihat dengan jelas bahwa tangan kanan Lao Denuo bergandengan dengan tangan kiri monyet sebelah kanan, sementara tangan kirinya juga bergandengan dengan tangan kanan monyet satunya lagi. Sepertinya antara tangannya dengan tangan monyet-monyet itu terikat oleh semacam borgol besi.

Linghu Chong mulai paham permasalahannya. Ia pun bertanya, “Tentu ini perbuatanmu, bukan?”

“Bagaimana menurutmu?” sahut Ren Yingying balas bertanya.

“Apakah kau telah memusnahkan ilmu silatnya?” tanya Linghu Chong.

“Tidak, tapi dia telah menerima buah perbuatannya sendiri,” sahut Ren Yingying.

Mendengar suara percakapan manusia, gerombolan monyet itu lantas berteriak-teriak melarikan diri ke balik bukit. Tentu saja tubuh Lao Denuo ikut terseret pula.

Pada mulanya Linghu Chong ingin membunuh Lao Denuo untuk membalaskan kematian Lu Dayou. Namun, melihat penderitaan Lao Denuo saat ini dalam hati ia merasa puas. Menurutnya, orang tua berambut putih itu telah merasakan hukuman yang lebih berat daripada dipenggal pedang. Ia kemudian berkata kepada sang istri, “Jadi, selama beberapa hari ini orang yang kau cari itu adalah Lao Denuo?”

“Benar,” sahut Ren Yingying. “Sewaktu Ayah tiba di Puncak Menyongsong Mentari tempo hari, Lao Denuo lebih dulu datang menghadap sebelum kita. Dia mengaku telah mendapatkan Kitab Pedang Penakluk Iblis untuk dipersembahkan kepada Ayah dengan harapan mendapatkan perlindungan dan kedudukan yang pantas di dalam Sekte Matahari dan Bulan. Ayah tidak ada kesempatan bicara dengannya dan segera memerintahkan orang untuk menahan dia. Namun kemudian Ayah meninggal dunia, sehingga semua orang menjadi sibuk dan tidak sempat mengurusinya. Akhirnya dia pun ikut terbawa pulang ke Tebing kayu Hitam sebagai tawanan. Setelah lewat belasan hari barulah aku ingat masalah ini. Segera dia kupanggil untuk ditanyai. Ternyata di dalam tahanan ia berusaha melatih Jurus Pedang Penakluk Iblis namun salah jalan sehingga kehilangan semua ilmu silatnya. Orang ini adalah pembunuh adik keenammu, sementara adik keenammu sangat suka memelihara monyet. Oleh sebab itu, aku lantas menyuruh orang mencarikan dua ekor monyet besar, dan memborgol kedua tangannya bersama kedua monyet itu. Kemudian dia kulepaskan di Gunung Huashan ini.”

Usai berkata demikian, ia lantas memegangi pergelangan tangan Linghu Chong. “Aih, sungguh tak disangka bahwa selama hidupku juga harus terikat bersama seekor monyet besar seperti ini dan tidak akan terpisah lagi,” ujarnya sambil tersenyum manis, senyuman yang lembut dan menawan.

Linghu Chong membalas senyum. Ia sendiri senang dengan kehidupan yang merdeka dan tidak terkekang. Namun, setelah menikah dengan Ren Yingying, maka keinginannya untuk selalu bebas dan tidak terikat dengan sendirinya tidak dapat terpenuhi. Tiba-tiba hatinya bersenandung mengalunkan lagu Menertawakan Dunia Persilatan. Terlintas suatu pikiran dalam benaknya, “Dalam memainkan lagu ini, entah kumainkan dengan nada tinggi, entah dengan nada rendah, dapat kulakukan sesuka hati. Namun, ini hanya bisa kulakukan jika bermain musik seorang diri. Apabila bermain musik bersama Yingying, tentu harus menyelaraskan diri agar tercipta perpaduan yang serasi. Tentu keselarasan tidak bisa kulakukan hanya berdasarkan keinginanku sendiri. Kalau dia memainkan nada tinggi, harus kuimbangi, nada rendah juga harus kuimbangi. Ini baru namanya selaras dan serasi.”

Sesaat kemudian Linghu Chong teringat kepada Biara Shaolin dan ia merenung, “Kaum Buddha mementingkan Nirwana, yaitu keadaan kosong, hampa, tanpa keinginan, tanpa pengharapan, dan inilah yang dinamakan bebas tanpa keterikatan. Akan tetapi, hidup di dunia perlu makan, perlu pakaian, juga harus mempertimbangkan orang lain. Bagaimana bisa hidup lepas dari keinginan? Nirwana adalah kehidupan tanpa keterikatan, sementara hidup di dunia selalu penuh dengan keterikatan. Ah, asalkan hidup di dunia tidak memiliki keinginan yang tidak pantas, tentu tidak akan terikat oleh sesuatu yang tidak pantas pula. Inilah yang dimaksud dengan bebas tanpa keterikatan menurutku.”

Ren Yingying menceritakan kematian ayahnya.
Keserasian dan Keseimbangan

(Tamat)