Bagian 8 - Murid Huashan Nomor Satu


Lao Denuo menceritakan pengalamannya.
Terdengar Lao Denuo melanjutkan cerita, “Aku pun bertanya kepada Guru, ‘Apakah Pendeta Tang Qingzi berhasil membalas dendam kepada Lin Yuantu?’
Guru menjawab, ‘Meskipun menyimpan sakit hati, namun Tang Qingzi tidak memiliki alasan untuk memusuhi Lin Yuantu. Kalah menang dalam suatu pertandingan adalah hal biasa. Apalagi Lin Yuantu berusia lebih tua dan lebih ternama, sedangkan Tang Qingzi hanya seorang pendeta Tao yang masih muda belia. Kemenangan seorang tua terhadap seorang muda adalah hal yang wajar. Kakek-gurumu juga menasihati agar Tang Qingzi melupakan kekalahan itu. Mereka sepakat untuk tidak membicarakannya lagi. Akan tetapi, Tang Qingzi ternyata meninggal pada usia tiga puluh enam tahun; dan mungkin kematiannya itu disebabkan karena sakit hati berkepanjangan yang tidak terbalaskan. Kini puluhan tahun telah berlalu. Entah mengapa tiba-tiba Yu Canghai mengajarkan Ilmu Pedang Penakluk Iblis kepada semua muridnya? Menurutmu bagaimana, Denuo?’
Aku pun mengemukakan pendapatku, ‘Sepertinya Pendeta Yu sibuk melatih murid-muridnya belajar Ilmu Pedang Penakluk Iblis untuk membalaskan dendam gurunya yang mati muda. Mungkin mereka hendak menghancurkan Biro Ekspedisi Fuwei habis-habisan.’
Guru mengangguk dan berkata, ‘Bisa jadi seperti itu. Tang Qingzi seorang pendeta yang berpikiran sempit. Seumur hidup ia tidak bisa melupakan kekalahannya di tangan Lin Yuantu. Mungkin sebelum mati, ia sempat menanamkan benih kebencian di hati Yu Canghai supaya membalaskan dendamnya kepada Keluarga Lin. Namun saat itu Lin Yuantu sendiri sudah lebih dulu meninggal, sedangkan Biro Ekspedisi Fuwei telah diwariskan kepada putranya yang bernama Lin Zhongxiong. Entah apa alasannya, baru sekarang Yu Canghai mempersiapkan balas dendam, yaitu saat Biro Fuwei dipimpin Lin Zhennan putra Lin Zhongxiong. Yu Canghai memang seorang cerdik dan penuh perhitungan. Ia menyusun rencana dengan sangat matang sebelum melancarkan serangan. Sepertinya akan terjadi pertempuran besar antara Perguruan Qingcheng melawan Biro Ekspedisi Fuwei.’
Aku bertanya kepada Guru, ‘Menurut pendapat Guru, jika benar Perguruan Qingcheng bertempur melawan Biro Fuwei, kira-kira pihak mana yang lebih unggul?’
Guru menjawab, ‘Ilmu silat Yu Canghai lebih bagus daripada Tang Qingzi. Sebaliknya, ilmu silat Lin Zhennan meskipun tidak banyak yang mengetahui, kemungkinan besar tidak sehebat Lin Yuantu. Di samping itu, pihak Qingcheng telah mempersiapkan serangan dengan matang, sementara pihak Fuwei tidak mengetahui apa-apa. Dengan demikian tujuh puluh persen pihak Fuwei akan kalah telak. Andai saja Lin Zhennan sempat meminta bantuan kepada mertuanya yang bernama Wang Yuanba, alias Si Golok Emas di Kota Luoyang, mungkin keadaan menjadi seimbang.’
Guru kemudian bertanya kepadaku, ‘Denuo, apakah kau ingin melihat keramaian di Fuzhou?’
Aku menjawab, ‘Tentu saja ingin, Guru!’
Kemudian Guru pun mengajarkan beberapa jurus ilmu pedang Perguruan Qingcheng kepadaku untuk berjaga-jaga.”
“Apa? Bagaimana Guru bisa menguasai ilmu pedang Qingcheng?” sahut Lu Dayou sambil melonjak. “Ah, aku tahu! Pendeta Tang Qingzi dan Kakek Guru bersahabat baik. Sudah pasti Guru pernah menyaksikan keduanya berlatih bersama untuk mengatasi Ilmu Pedang Penakluk Iblis.”
“Adik Keenam, tidak sepantasnya kita sebagai murid mengungkit-ungkit dari mana asal-usul kepandaian Guru,” kata Lao Denuo. Ia kembali bercerita, “Waktu itu Guru mengirimku ke Fuzhou secara diam-diam dengan tugas mengintai perkembangan di antara kedua pihak. Namun Adik Kecil sungguh cerdik. Entah bagaimana dia bisa mengetahui tugas yang diberikan Guru kepadaku. Dia pun merengek minta diizinkan ikut denganku dan Guru akhirnya mengabulkan. Kami lantas menyamar sebagai kakek dan cucu yang berjualan arak di pinggir Kota Fuzhou. Setiap hari kami pergi menyusup untuk menyelidiki keadaan kantor pusat Biro Fuwei. Di sana kami tidak melihat suatu hal yang istimewa, kecuali Lin Zhennan sedang sibuk melatih putranya yang bernama Lin Pingzhi. Begitu melihat mereka, Adik Kecil menggeleng-geleng dan berbisik kepadaku, ‘Apa ini yang dinamakan Ilmu Pedang Penakluk Iblis? Jika iblis benar-benar datang mengganggu, mungkin Tuan Muda Lin itulah yang justru ditaklukkan....’
Murid-murid Huashan seketika bergelak tawa, sementara Lin Pingzhi yang sedang mereka bicarakan itu tertunduk malu dengan wajah bersemu merah. Dalam hati pemuda itu berkata, “Jadi, mereka berdua pernah menyusup dan mengintai ke dalam rumahku tapi kami sekeluarga tidak mengetahuinya... Sungguh tidak berguna.”
Lao Denuo kembali bercerita, “Ternyata dugaan Guru benar. Beberapa hari kemudian datang murid-murid Qingcheng memasuki Kota Fuzhou. Mula-mula yang datang adalah Fang Renzhi dan Yu Renhao. Setiap hari mereka mondar-mandir di sekitar gedung kantor pusat Biro Fuwei. Adik Kecil dan aku memutuskan untuk tidak mengintai lagi karena khawatir ketahuan oleh mereka.
Sungguh sangat kebetulan, pada hari berikutnya Tuan Muda Lin berkunjung ke kedai arak kami. Adik Kecil segera melayani pesanannya. Tadinya aku mengira penyamaran kami telah terbongkar. Setelah kuajak bicara ternyata dia sama sekali tidak tahu apa-apa. Anak muda itu merasa hidupnya aman-aman saja, seolah tidak ada bahaya yang datang mengancam. Kalian tahu apa yang selanjutnya terjadi? Secara kebetulan datang pula dua manusia paling biadab dari Perguruan Qingcheng. Mereka adalah Yu Renyan dan Jia Renda....”
“Kakak Kedua,” sahut Lu Dayou memotong pembicaraan. “Kedai arak yang kau buka bersama Adik Kecil sungguh laris. Mungkin kau bisa menjadi hartawan kaya raya jika tetap tinggal di Fujian.”
“Tentu saja,” jawab Wan’er. “Kakak Kedua sekarang sudah kaya raya. Berkat keberuntungannya itu, aku bisa membeli beberapa gelandangan macam kalian.” Ucapan si gadis burik itu mendapat tanggapan gelak tawa saudara-saudaranya.
Sambil tertawa Lao Denuo melanjutkan cerita, “Meskipun ilmu silat Tuan Muda Lin sangat payah, bahkan tidak pantas menjadi murid Adik Kecil kita, namun ia ternyata memiliki jiwa kesatria. Ketika Yu Renyan berusaha mengganggu Adik Kecil, pemuda itu langsung tampil untuk membela....”
Mendengar itu darah Lin Pingzhi bergolak. Dalam hati ia semakin gusar, “Ternyata apa yang kudengar di cabang Changsa benar; sejak awal Perguruan Qingcheng memang sudah berusaha untuk menghancurkan Biro Ekspedisi Fuwei. Latar belakang semua ini adalah dendam Yu Canghai atas kekalahan gurunya. Aku yakin, yang dikirim ke Fuzhou bukan hanya empat orang, tapi lebih banyak lagi. Andai saja aku tidak membunuh Yu Renyan, tetap saja Biro Fuwei mereka hancurkan.”
Karena berpikir demikian ia tidak mendengar dengan jelas bagaimana Lao Denuo menceritakan kisah kematian Yu Renyan. Yang jelas, murid-murid Huashan lainnya bergelak tawa merasa geli. Lin Pingzhi berpikir mereka pasti menertawakan keadaannya yang konyol saat ditekan Yu Renyan dan berbalik membunuh putra bungsu Yu Canghai itu.
“Malam itu aku dan Adik Kecil melihat Pendeta Yu tiba di Kota Fuzhou bersama Hou Renying, Hong Renxiong, dan beberapa murid Qingcheng lainnya. Karena takut ketahuan, kami pun menjaga jarak dengan mengintai dari tempat yang agak jauh. Selanjutnya kami menyaksikan bagaimana para pegawai Biro Fuwei dibantai satu per satu dan mayat-mayat mereka dikirim ke hadapan Lin Zhennan,” lanjut Lao Denuo. “Perbuatan Pendeta Yu dan murid-muridnya sungguh kejam. Tadinya aku berpikir alasan pembantaian itu adalah untuk membalas kekalahan Pendeta Tang Qingzi. Namun jika benar demikian, mengapa mereka tidak langsung menantang Lin Zhennan saja? Lalu kupikir alasan mereka adalah untuk membalas kematian Yu Renyan. Akan tetapi, mengapa mereka hanya membunuh para pegawai dan membiarkan Lin Pingzhi dan ayah-ibunya tetap hidup? Mereka justru membiarkan Keluarga Lin pergi meninggalkan Kota Fuzhou. Sepeninggal mereka, orang-orang Qingcheng memasuki gedung kantor Biro Fuwei yang telah kosong itu. Kami melihat Pendeta Yu duduk di kursi majikan dengan tersenyum bangga.”
“Aku tahu sekarang. Alasan Pendeta Yu sebenarnya bukan untuk balas dendam, tetapi ia ingin merebut bisnis Biro Ekspedisi Fuwei. Rupanya dia ingin menjadi pengusaha,” ujar Lu Dayou menyela, disusul gelak tawa saudara-saudaranya.
Lao Denuo melanjutkan, “Orang-orang Qingcheng mengetahui Keluarga Lin meninggalkan Kota Fuzhou dengan menyamar. Fang Renzhi, Yu Renhao, dan Jia Renda pun dikirim untuk mengejar mereka. Adik Kecil mengajakku mengikuti dari belakang. Kami melihat mereka berhasil menangkap Lin Zhennan dan anak-istrinya di sebuah kedai nasi kecil, di sisi selatan Provinsi Fujian.
Waktu itu Adik Kecil berkata, ‘Demi diriku, Tuan Muda Lin itu nekad membunuh Yu Renyan. Kini melihatnya dalam kesulitan, tentu saja aku tidak bisa tinggal diam berpangku tangan.’
Sekuat tenaga aku berusaha menasihati Adik Kecil, bahwa tugas kami hanya mengintai pertikaian antara Perguruan Qingcheng dan Biro Fuwei saja. Sama sekali kami berdua tidak boleh ikut campur, agar tidak merusak hubungan baik antara Perguruan Qingcheng dan Huashan. Apalagi dengan keberadaan Pendeta Yu di Fuzhou, ini bisa menjadi masalah besar.”
Lu Dayou menukas, “Kakak Kedua sudah tua, wajar kalau sangat berhati-hati. Sebaliknya, Adik Kecil masih muda belia dan penuh gejolak. Pasti Adik Kecil tidak mau mendengarkan nasihat Kakak Kedua.”
“Benar sekali,” jawab Lao Denuo sambil tersenyum. “Adik Kecil sangat kecewa kepadaku. Seorang diri ia masuk ke pintu belakang kedai dan memukul Jia Renda yang waktu itu berada di dapur. Begitu Fang Renzhi dan Yu Renhao bergegas menolong, secepat kilat Adik Kecil berputar ke depan dan membawa Tuan Muda Lin kabur.”
“Luar biasa! Hebat sekali!” sahut Lu Dayou bertepuk tangan. “Aku tahu Adik Kecil bukan sekadar membalas budi kepada pemuda Lin itu saja, tapi sepertinya juga menyimpan maksud lain. Bagus sekali! Bagus sekali!”
“Maksud lain bagaimana? Awas kalau kau berani omong kosong lagi!” sahut Wan’er dengan mata melotot.
“Begini, sejak aku dihukum Guru, diam-diam Adik Kecil menyimpan dendam kepada orang-orang Qingcheng. Maka itu, ia pun memukul si marga Jia sekaligus untuk membalaskan sakit hatiku. Dalam hal ini aku berterima kasih kepadamu, Adik Kecil,” ujar Lu Dayou sambil berdiri dan memberi hormat.
“Sama-sama, Kakak Monyet Keenam,” jawab Wan’er sambil tersenyum dan membalas hormat pula.
“Adik Kecil memukul murid Qingcheng itu memang untuk membalaskan sakit hati saudara kita yang dihukum Guru,” kata si pembawa sempoa. “Tapi sepertinya orang itu bukan dirimu, Monyet Keenam. Memangnya kau saja yang telah dihukum Guru?”
“Kali ini Adik Keenam benar,” ujar Lao Denuo sambil tersenyum. “Adik Kecil memukul Jia Renda benar-benar untuk membalaskan sakit hatinya. Nanti jika Guru bertanya, tentu Adik Kecil akan menjawab demikian.”
“Ini... ini... bukan maksudku seperti itu,” sahut Lu Dayou ketakutan sambil menggoyang-goyangkan tangannya. “Jangan bawa-bawa diriku ke dalam masalah ini. Aku tidak mau dihukum Guru lagi.”
Murid-murid Huashan lainnya kembali bergelak tawa. Si jangkung lantas bertanya, “Apakah Fang Renzhi dan Yu Renhao tidak mengejarmu, Adik Kecil?”
“Tentu saja mereka mengejar,” jawab Wan’er. “Untungnya Kakak Kedua segera turun tangan dan memainkan beberapa jurus ilmu pedang Qingcheng yang telah dipelajarinya. Dengan melancarkan jurus Angsa Terbang di Angkasa, ia dapat melemparkan pedang si marga Fang dan Yu itu ke udara. Sayang sekali Kakak Kedua memakai cadar sehingga kedua murid Qingcheng tersebut tidak menyadari kalau mereka telah dikalahkan oleh seorang murid Perguruan Huashan.”
“Justru itu lebih baik,” sahut Lao Denuo. “Kalau aku tidak menyamar, tentu mereka akan mengenaliku dan ini bisa menjadi masalah besar bagi perguruan kita. Aku sendiri juga belum tentu menang jika harus bertarung melawan Fang Renzhi dan Yu Renhao. Hanya saja, aku menggunakan jurus pedang perguruan mereka secara tiba-tiba, sehingga kedua orang itu terkejut dan kehilangan senjata. Dengan cara itulah aku bisa menang dan segera mengajak Adik Kecil pergi.”
Masing-masing murid Huashan itu lantas berpikir, “Tidak peduli bagaimana Kakak Kedua bisa menang, yang jelas Kakak Pertama pasti sangat senang mendengar berita ini.”

Pendeta Yu Canghai menyerbu Biro Fuwei.
Sementara itu, hujan di luar tidak kunjung reda justru semakin bertambah deras. Butiran air yang jatuh menimpa atap dan permukaan jalan bagaikan biji kacang berhamburan dari langit. Samar-samar terlihat seorang penjual pangsit keliling sedang memikul dagangannya melewati jalanan kota. Orang tua itu lantas menepi dan berteduh di teras rumah minum tersebut. Tangannya kemudian memukul-mukulkan dua batang bambu kecil untuk mengundang pembeli. Uap hangat berbau sedap tampak mengepul keluar dari dalam bejana yang ia bawa.
Kebetulan murid-murid Huashan itu sedang lapar semua; sementara rumah minum tempat mereka berteduh hanya menjual teh dan kuaci saja. Tanpa diperintah, Lu Dayou pun berseru, “Pak Tua, buatkan kami sembilan mangkuk pangsit! Tambahkan telur pada setiap mangkuk!”
“Baik, Tuan!” jawab si penjual pangsit. Segera orang tua itu memasukkan bahan pangsit ke dalam bejana. Tidak lama kemudian ia sudah masuk ke dalam kedai dengan membawa nampan berisi lima mangkuk pangsit hangat. Lu Dayou menyambut mangkuk-mangkuk itu dan menyerahkannya secara berurutan kepada Lao Denuo si kakak kedua, Liang Fa si kakak ketiga, Shi Daizi si kakak keempat, dan Gao Genming si kakak kelima. Seharusnya mangkuk kelima menjadi jatahnya, namun ia justru menyerahkannya kepada Wan’er sambil berkata, “Kau duluan, Adik Kecil.”
Sejak tadi Wan’er meledek dan memanggilnya “Monyet Keenam”, namun begitu menerima mangkuk tersebut ia lantas berdiri dan berkata dengan penuh hormat, “Terima kasih, Kakak Keenam!”
Lin Pingzhi melirik dan mengamati murid-murid Huashan itu dengan seksama. Tampak si gadis burik tidak memakan pangsitnya sampai si penjual masuk kembali mengantarkan empat mangkuk lainnya. Dalam hati pemuda itu memuji, “Murid-murid Huashan ini sungguh menjunjung tinggi tata krama. Mereka bisa membedakan kapan waktunya bercanda, kapan waktunya serius.”
“Kakak Kedua,” sahut si jangkung Liang Fa sambil melahap pangsitnya. “Kau tadi berkata bahwa Pendeta Yu menduduki gedung kantor pusat Biro Fuwei sepeninggal Lin Zhennan dan anak-istrinya. Lantas, apa yang terjadi setelah itu?”
Lao Denuo menjawab, “Setelah berhasil meloloskan Lin Pingzhi entah ke mana, Adik Kecil bermaksud membebaskan Lin Zhennan dan istrinya pula. Namun, aku lantas mencegah dengan mengatakan bahwa hutang budi antara Adik Kecil dan Lin Pingzhi sudah terbayar lunas. Sementara itu, perselisihan antara Perguruan Qingcheng dan Biro Ekspedisi Fuwei sebenarnya merupakan kelanjutan dari generasi sebelumnya; maka, tidak sepantasnya kalau kami ikut campur terlalu jauh. Adik Kecil akhirnya setuju. Kami berdua lantas kembali ke Fuzhou untuk menyelidiki gedung kantor pusat Biro Fuwei.
Di tempat itu aku merasa ada yang aneh. Sepertinya orang-orang Qingcheng yang sudah menduduki gedung itu tampak sibuk dan terburu-buru; padahal Lin Zhennan sekeluarga sudah pergi. Aku dan Adik Kecil menjadi penasaran dan ingin melihat lebih dekat. Akan tetapi, penjagaan yang dilakukan mereka juga sangat ketat. Baru setelah petang tiba, kami berhasil menyusup melalui kebun sayur di pekarangan belakang. Kami menyelinap ketika mereka sedang lengah, yaitu saat terjadi pergantian tugas jaga. Begitu sampai di dalam kami tertegun menyaksikan seisi gedung diobrak-abrik oleh Yu Canghai dan murid-muridnya. Ada yang membuka peti, ada yang membongkar lemari, ada yang membobol dinding, ada pula yang membuka lantai ubin. Namun anehnya, mereka sama sekali tidak mengambil harta benda dan barang-barang mewah yang ditinggalkan Lin Zhennan. Oleh karena itu, aku berpikir pasti ada barang lain yang lebih berharga sedang dicari oleh orang-orang Qingcheng tersebut.”
Liang Fa dan yang lain menyahut bersamaan, “Apakah mungkin mereka mencari kitab rahasia Ilmu Pedang Penakluk Iblis?”
“Benar sekali!” jawab Lao Denuo. “Adik Kecil dan aku juga berpikir demikian. Rupanya mereka sengaja menciptakan kesan bahwa gedung kantor pusat Biro Ekspedisi Fuwei adalah rumah maut. Setelah gedung itu kosong, mereka bisa mengobrak-abriknya dengan sesuka hati. Namun melihat mereka masih sedemikian sibuknya, aku menduga kitab itu belum berhasil ditemukan.”
“Apakah pada akhirnya mereka berhasil menemukan kitab itu?” tanya Lu Dayou.
“Sebenarnya aku dan Adik Kecil ingin mengintai sampai tuntas untuk melihat bagaimana hasilnya,” jawab Lao Denuo. “Akan tetapi mereka terus saja mencari sampai ke segala arah; bahkan, kakus juga mereka bongkar. Khawatir jangan-jangan mereka juga mencari di luar gedung, kami pun memutuskan untuk pergi.”
Gao Genming si pembawa sempoa bertanya, “Kakak Kedua, kali ini Pendeta Yu ikut turun gunung dan memimpin langsung penaklukan Biro Fuwei. Menurutmu, apakah hal ini tidak berlebihan?”
“Tidak juga, Adik Kelima,” jawab Lao Denuo. “Guru Pendeta Yu pernah dikalahkan oleh Lin Yuantu menggunakan Ilmu Pedang Penakluk Iblis. Mengenai ilmu silat Lin Zhennan apakah sehebat kakeknya atau tidak, tak seorang pun yang mengetahuinya. Dalam hal ini Pendeta Yu tidak berani gegabah dengan hanya mengirimkan dua atau tiga muridnya saja untuk membalas dendam. Ia bahkan turun gunung untuk memimpin murid-muridnya secara langsung, serta membekali mereka dengan beberapa jurus ilmu pedang pihak lawan. Maka menurutku, Pendeta Yu ikut menyerang Fuzhou bukanlah suatu hal yang berlebihan. Balas dendam baginya hanyalah tujuan yang kedua, karena yang utama adalah mendapatkan Kitab Pedang Penakluk Iblis.”
Shi Daizhi menanggapi, “Kakak Kedua, bukankah kau melihat sendiri murid-murid Qingcheng itu telah berlatih Ilmu Pedang Penakluk Iblis di Kuil Cemara Angin? Bukankah mereka telah menguasai ilmu pedang tersebut? Jadi, untuk apa Pendeta Yu repot-repot mencari Kitab Pedang Penakluk Iblis segala? Apakah tidak mungkin mereka mencari benda lain?”
“Tidak juga, Adik Keempat,” jawab Lao Denuo sambil menggeleng. “Orang seperti Pendeta Yu hanya tertarik pada ilmu silat mahasakti saja. Memangnya apalagi yang membuatnya sudi membuang-buang banyak waktu? Setelah itu, Adik Kecil dan aku melihatnya sekali lagi di Yushan, ibu kota Provinsi Jiangxi. Di sana aku melihat Pendeta Yu sangat gelisah sewaktu menerima laporan dari murid-muridnya yang datang dengan tangan hampa setelah disebar ke segala wilayah untuk mengobrak-abrik semua kantor cabang Biro Fuwei.”
Shi Daizhi terlihat belum paham. Ia menggaruk-garuk kepala sambil berkata, “Maksudku begini, kau sendiri melihat Pendeta Yu melatih murid-muridnya mempelajari Ilmu Pedang Penakluk Iblis di Gunung Qingcheng. Nah, itu berarti ia sudah menguasai ilmu tersebut. Lalu, kenapa ia masih repot-repot mencari kitabnya segala? Bukankah ini aneh?”
Lao Denuo menjawab, “Adik Keempat, coba pikir seperti ini; puluhan tahun yang lalu, Lin Yuantu pernah mengalahkan Tang Qingzi, guru Pendeta Yu. Itu artinya Ilmu Pedang Penakluk Iblis memang ilmu silat yang luar biasa. Tentu saja apa yang diajarkan Pendeta Yu kepada murid-muridnya hanyalah bersumber dari ingatan Tang Qingzi belaka. Sementara itu, Ilmu Pedang Penakluk Iblis yang asli tetap berada di tangan Keluarga Lin. Akan tetapi, di tangan Lin Zhennan ilmu tersebut sama sekali tidak terdengar kehebatannya. Bukankah ada yang tidak beres dengan hal ini?”
“Tidak beres bagaimana?” tanya Shi Daizhi masih juga belum paham.
“Begini,” jawab Lao Denuo, “sepertinya ada suatu rahasia tersembunyi di dalam Ilmu Pedang Penakluk Iblis. Mungkin Pendeta Yu sangat penasaran karena ilmu pedang ini terlihat biasa-biasa saja tapi mengapa bisa menjatuhkan gurunya? Tampaknya Lin Zhennan juga tidak mengetahui rahasia kekuatan ilmu pedang leluhurnya tersebut.”
Shi Daizhi masih terlihat bingung. Sejenak ia termangu-mangu sampai akhirnya kembali berkata, “Tapi ilmu pedang biasanya diajarkan secara lisan. Padahal, Lin Yuantu sudah lama meninggal; itu berarti Pendeta Yu harus membongkar kuburannya dan bertanya kepada jasadnya. Akan tetapi, ini jelas tidak mungkin, bukan?”
Lao Denuo menjawab dengan sabar, “Memang ilmu silat dalam perguruan kita diajarkan oleh Guru secara lisan. Namun, belum tentu hal ini juga berlaku di perguruan lainnya.”
“Kakak Kedua, aku masih belum paham mengapa Pendeta Yu menginginkan kitab tersebut,” sahut Shi Daizhi. “Pendeta Yu ingin membalas sakit hati gurunya dengan cara mengalahkan Ilmu Pedang Penakluk Iblis. Maka itu, cukup masuk akal kalau dia berusaha memecahkan rahasia ilmu pedang tersebut. Akan tetapi, yang terjadi justru sebaliknya. Dia berhasil menangkap Lin Zhennan dan menghancurkan Biro Fuwei beserta seluruh cabangnya. Baru setelah itu, ia mencari kitab rahasia ilmu pedang itu ke mana-mana. Nah, kalau kitab itu sudah ditemukan, lantas kepada siapa lagi ia harus membalas dendam? Bukankah Lin Zhennan sudah mereka tangkap? Bukankah Biro Fuwei sudah mereka hancurkan?”
“Adik Keempat, coba pikirkan ini,” ujar Lao Denuo. “Menurutmu mana yang lebih hebat, ilmu pedang pedang Perguruan Qingcheng ataukah Serikat Pedang Lima Gunung?”
“Aku tidak begitu tahu,” jawab Shi Daizhi sambil menggaruk-garuk kepalanya. “Sepertinya ilmu pedang kita lebih hebat daripada Perguruan Qingcheng.”
“Dugaanmu benar,” kata Lao Denuo. “Tapi Pendeta Yu seorang yang sombong dan angkuh. Tidak mungkin ia sudi menerima kekalahan terus-menerus. Tidak selamanya ia mau berdiri di bawah kaki orang lain di dunia persilatan. Nah, kalau Yu Canghai berhasil menemukan kitab yang berisi rahasia Ilmu Pedang Penakluk Iblis dan menggabungkannya dengan ilmu pedang Qingcheng, bagaimana menurutmu?”
Shi Daizhi kembali termenung untuk sekian lama. Tiba-tiba ia bangkit dan berseru sambil menggebrak meja, “Aha, aku baru paham sekarang! Rupanya Yu Canghai ingin menjadi raja dari segala macam ilmu pedang! Ia ingin menjadi ahli pedang nomor satu di dunia persilatan!”
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara langkah kaki beberapa orang menuju rumah minum tersebut. Orang-orang Huashan menoleh ke arah datangnya suara dan melihat serombongan perempuan sedang melangkah cepat. Melihat gerak kaki mereka jelas para perempuan ini juga berasal dari kalangan persilatan. Masing-masing mengenakan mantel hujan yang terbuat dari kain minyak. Setelah agak dekat, barulah terlihat jelas kalau mereka ini rombongan kaum biksuni.
Begitu sampai di teras, seorang biksuni tua bertubuh jangkung yang memimpin rombongan tersebut langsung berteriak, “Linghu Chong, keluar kau!”
Ternyata Lao Denuo dan adik-adik seperguruannya mengenali biksuni tua tersebut bernama Biksuni Dingyi dari Biara Awan Putih. Ia merupakan adik seperguruan Biksuni Dingxian, ketua Perguruan Henshan. Kaum persilatan sangat menghormati nama besar Biksuni Dingyi ini yang terkenal berhati keras dan berilmu tinggi. Sebagai sesama anggota Serikat Pedang Lima Gunung, para murid Huashan pun menghormatinya sebagai tokoh sepuh yang sederajat dengan guru mereka.
Lao Denuo segera berdiri diikuti adik-adiknya, kemudian berseru, “Salam hormat dari kami, Bibi Biksuni Dingyi!”
Biksuni Dingyi tidak menjawab, melainkan memandangi murid-murid Huashan itu satu per satu. Dengan nada kasar melebihi kaum laki-laki, ia berteriak, “Di mana Linghu Chong bersembunyi? Lekas, suruh dia keluar!”
“Bibi Biksuni, kakak pertama kami tidak berada di sini,” jawab Lao Denuo dengan penuh hormat. “Kami semua sedang menunggunya, tapi Kakak Pertama belum juga datang. Mungkin dia masih dalam perjalanan.”
Lin Pingzhi yang masih duduk terpaku di tempatnya diam-diam berpikir, “Jadi kakak pertama murid-murid Huashan ini bernama Linghu Chong. Sepertinya dia memang tukang membuat masalah. Entah apa yang telah dilakukannya sehingga membuat biksuni tua ini sangat marah?”

Biksuni Dingyi mendatangi rumah minum teh.
Biksuni Dingyi kemudian menyusuri segenap penjuru rumah minum untuk mencari di mana Linghu Chong berada, namun sama sekali ia tidak menemukan murid pertama Perguruan Huashan tersebut. Pandangannya lantas tertuju ke arah si gadis burik. Ia pun bertanya dengan tatapan heran, “Hei, apakah kau ini Lingshan? Kenapa kau berdandan dengan wajah aneh seperti ini? Mau menakut-nakuti orang, hah?”
“Ada beberapa orang jahat hendak mencelakai saya, Bibi Biksuni. Maka itu, saya pun menyamar seperti ini,” jawab Wan’er sambil tersenyum. Ternyata nama asli gadis burik ini adalah Lingshan.
Dingyi mendengus dan menjawab, “Huh, tata tertib Perguruan Huashan kalian sungguh payah! Semakin lama semakin tidak terkendali. Ayahmu terlalu lunak terhadap murid-muridnya, sehingga kakak pertamamu bebas main gila di mana-mana. Setelah urusanku di kota ini selesai, aku akan langsung pergi ke Gunung Huashan untuk berbicara dengan ayahmu.”
Dengan sangat khawatir Lingshan memohon, “Bibi Biksuni, tolong jangan lakukan itu. Kakak Pertama baru saja dihukum Ayah dengan tiga puluh pukulan sehingga berjalan saja susah. Jika Bibi Biksuni mengadu kepada Ayah, tentu dia akan dihukum lebih berat lagi. Jangan-jangan Kakak Pertama mati karenanya.”
Mendengar itu, Lin Pingzhi kembali berpikir, “Oh, ternyata gadis burik ini adalah anak perempuan ketua Perguruan Huashan.”
Dingyi kembali berkata dengan galak, “Binatang liar seperti Linghu Chong memang lebih baik mampus. Kakak pertamamu adalah penjahat, sedangkan dirimu adalah pendusta. Kau berani berbohong di depan mataku; dengan mengatakan kalau Linghu Chong tidak bisa berjalan. Jika memang benar demikian, kenapa dia bisa membawa lari muridku yang masih belia?”
Ucapan Dingyi membuat murid-murid Huashan terperanjat, terutama Lingshan. Gadis itu bahkan hampir menangis saat ia berkata, “Tidak mungkin! Tidak mungkin seperti itu! Bagaimanapun nakalnya Kakak Pertama, tidak mungkin dia berani membawa lari saudari dari Henshan. Mungkin saja... mungkin saja ada pihak lain yang mencoba mengadu domba kedua perguruan kita, Bibi Biksuni.”
“Kau masih juga menyangkal dan membelanya?” sahut Dingyi galak. Ia kemudian berkata kepada salah satu muridnya, “Yiguang, coba ceritakan berita apa yang kau dapatkan dari Perguruan Taishan!”
Seorang biksuni setengah tua yang bernama Yiguang itu pun maju dan menjawab, “Saudara-saudara dari Taishan bercerita bahwa Paman Pendeta Tiansong melihat Saudara Linghu bersama Adik Yilin duduk bersama di sebuah rumah arak di Kota Hengyang. Rumah arak tersebut bernama Rumah Minum Pemabuk Dewa. Sepertinya Adik Yilin telah ditangkap dan dipaksa minum arak bersama-sama. Konon Adik Yilin sangat ketakutan. Tidak hanya itu, di samping mereka juga ada seorang lagi... yaitu seorang penjahat cabul bernama... bernama Tian Boguang.”
“Tian Boguang?” seru murid-murid Huashan bersama-sama begitu mendengar nama ini disebut.
Dingyi sudah mendengar cerita ini sebelumnya, dan kini ia semakin marah setelah mendengarnya lagi. Sekali tangannya memukul di atas meja, seketika mangkuk-mangkuk pangsit pun terlempar dan berjatuhan di lantai.
Murid-murid Huashan tampak malu dan bingung. Lingshan tak kuasa menahan sedih, air matanya pun berlinang membasahi pipi. “Mereka pasti berbohong, atau... atau... Paman Tiansong salah mengenali orang,” ujarnya dengan nada gemetar.
“Kita semua mengenal siapa Pendeta Tiansong. Mana mungkin dia salah mengenali orang?” sahut Dingyi gusar. “Binatang bernama Linghu Chong telah terjerumus ke dalam lumpur hina karena bergaul dengan penjahat busuk bernama Tian Boguang. Meskipun guru kalian tidak peduli dengan hal ini atau mungkin membelanya, tetap saja aku akan memenggal kepala kakak pertama kalian itu jika nanti bertemu. Si bajingan Tian Boguang yang berjuluk Si Pengelana Tunggal Selaksa Li itu seorang manusia cabul yang meresahkan banyak orang. Aku, biksuni tua tidak takut kepadanya! Begitu mendengar Tian Boguang dan Linghu Chong menculik muridku, aku segera mencarinya. Tapi... tapi sampai sekarang aku masih juga belum menemukan mereka.” Begitu sedih dan gusar hatinya sehingga suara biksuni tua ini terdengar serak. Ia lantas berkata gemas sambil menghentakkan kaki, “Yilin, Yilin, kasihan anak itu!”
Murid-murid Huashan terdiam dengan jantung berdebar kencang. Dalam hati mereka ikut gemas dengan perbuatan sang kakak pertama. Linghu Chong menculik Yilin, dan membawa biksuni muda itu minum arak bersama, jelas-jelas perbuatan memalukan. Lebih-lebih, ia juga bergaul dengan penjahat cabul bernama Tian Boguang yang sangat terkenal.
Setelah terdiam agak lama, Lao Denuo lantas berkata, “Bibi Biksuni, mungkin pertemuan Kakak Linghu dengan Tian Boguang hanya kebetulan belaka. Selama beberapa hari ini dia memang sedang banyak-banyaknya minum. Mungkin pengaruh arak membuatnya linglung sehingga sukar mengenali orang....”
“Arak adalah minuman keji yang merenggut kesadaran manusia,” sahut Dingyi menukas. “Sebagai manusia dewasa, kenapa dia tidak bisa membedakan mana yang baik, mana yang buruk?
“Bibi Biksuni benar,” lanjut Lao Denuo tanpa berani membantah. “Entah di mana Kakak Pertama berada saat ini? Biarlah kami yang pergi untuk mencari dan menegur perbuatannya yang tidak pantas itu. Biarlah kami yang lebih dulu meminta maaf kepada Bibi Biksuni atas kenakalan Kakak Pertama. Selanjutnya, kami akan mengadukan ini semua kepada Guru, biar Kakak Pertama mendapat hukuman berat.”
“Huh, aku tidak peduli dengan kakak pertamamu!” seru Dingyi galak. Tiba-tiba tangannya bergerak cepat meraih lengan Lingshan. Gadis berwajah burik itu merasa lengannya seperti dijepit batangan besi.
“Ah... Bibi Biksuni!” sahutnya kesakitan dengan suara gemetar.
Dingyi tidak peduli dan berkata kasar, “Pihak kalian telah menculik muridku; maka sebagai gantinya, aku menculik murid perempuan perguruan kalian. Nanti jika Yilin sudah kembali padaku, maka Lingshan akan kubebaskan.” Tanpa ampun, biksuni tua itu pun menyeret si gadis burik berjalan keluar rumah minum.
Lao Denuo dan Liang Fa segera melompat untuk menghadang Biksuni Dingyi. Lao Denuo buru-buru memberi hormat sambil berkata, “Bibi Biksuni pantas jika marah kepada Kakak Pertama. Akan tetapi, semua perbuatan Kakak Pertama tidak ada sangkut pautnya dengan adik kecil kami. Mohon Bibi Biksuni menaruh belas kasihan.”
“Baiklah, ini yang kalian minta!” jawab Dingyi sambil melayangkan pukulan menggunakan tangan kanannya ke arah kedua murid Huashan tersebut. Seketika Lao Denuo dan Liang Fa merasakan hembusan tenaga dalam yang teramat besar, membuat tubuh mereka terlempar ke belakang. Lao Denuo terdorong sampai menabrak pecah daun pintu rumah minum; sementara Liang Fa terlempar ke arah bejana pangsit yang berisi air mendidih. Dapat dibayangkan, sebentar lagi pria bertubuh jangkung itu akan menabrak bejana tersebut, dan kulitnya pasti akan melepuh tersiram air kuah yang sangat panas.
Tiba-tiba Liang Fa merasa punggungnya ditangkap oleh suatu kekuatan sehingga ia pun bisa berdiri di tanah dengan selamat. Rupanya sang penolong ini tidak lain adalah kakek tua penjual pangsit itu sendiri.
Biksuni Dingyi terkejut dan menoleh ke arah penjual pangsit dengan pandangan tajam. “Oh, ternyata kau orangnya!” ujarnya setengah tak percaya.
“Benar, memang akulah orangnya,” jawab si penjual pangsit sambil tersenyum. “Kau ini memang seorang biksuni yang mudah marah.”
“Bukan urusanmu!” sahut Dingyi ketus.
Pada saat itulah datang dua orang laki-laki memakai mantel hujan dan memegang payung kertas di tangan kanan, serta lampu kerudung di tangan kiri. Salah satu dari mereka berseru, “Apakah kami sedang berhadapan dengan Biksuni Dingyi yang mulia dari Perguruan Henshan?”
“Ah, kalian terlalu berlebihan. Aku tidak pantas menerimanya,” sahut Dingyi menanggapi. “Aku memang Biksuni Dingyi dari Perguruan Henshan. Lantas, siapa Saudara berdua ini?”
Kedua laki-laki berpayung itu perlahan mendekati Dingyi yang masih mencengkeram lengan Lingshan. Lampu kerudung yang mereka bawa tampak bertuliskan tinta merah, berbunyi “Kediaman Liu”. Salah seorang lantas berkata, “Kami berdua diperintah oleh Guru untuk menyambut kedatangan Bibi Biksuni dan kakak-adik dari Perguruan Henshan supaya beristirahat sekadarnya di tempat kami yang sederhana. Andai saja kami mendengar berita kedatangan Bibi Biksuni dan rombongan sejak awal, tentu kami segera mengadakan penyambutan yang lebih pantas di gerbang Kota Hengshan. Untuk ini, mohon Bibi Biksuni sudi memaafkan.”
“Ah, jangan terlalu banyak adat,” jawab Dingyi dengan suara sedikit lembut dibanding tadi. “Jadi, kalian ini murid-murid Adik Liu?”
“Benar sekali,” jawab laki-laki itu. “Saya bernama Xiang Danian, dan ini adalah adik seperguruan saya, bernama Mi Weiyi. Terimalah sembah hormat kami, Bibi Biksuni!”
Biksuni Dingyi yang senang dipuji merasa puas melihat perlakuan sopan kedua murid Hengshan tersebut. “Baiklah, kami memang hendak mengunjungi kediaman Adik Liu.”
Xiang Danian kemudian menoleh ke arah murid-murid Huashan dan bertanya, “Kalau Saudara ini dari perguruan mana?”
Liang Fa menjawab, “Kami dari Perguruan Huashan. Saya bernama Liang Fa.”
“Oh, rupanya kakak ketiga dari Huashan,” sahut Xiang Danian gembira. “Kami juga mendapat perintah dari guru untuk menyambut kedatangan Kakak-Kakak sekalian. Selain itu, Guru juga menyuruh kami menyambut semua tamu dari berbagai golongan. Hanya saja, tenaga kami sangat terbatas sehingga banyak kekurangan di sana-sini. Untuk itu, mohon maaf yang sebesar-besarnya jika ada yang tidak berkenan di hati terhadap penyambutan kami. Sudilah kiranya Saudara sekalian mampir ke tempat kami yang sederhana.”
Lao Denuo yang sudah bangkit dari jatuh ikut menjawab, “Sebenarnya kami sedang menunggu kedatangan kakak pertama kami di sini. Nanti bila sudah lengkap, kami akan menuju ke rumah Paman Liu bersama-sama.”
“Ah, yang ini pasti Kakak Kedua Lao,” ujar Xiang Danian menoleh ke arah murid Huashan yang berambut putih itu. “Guru sering memuji kehebatan dan kegagahan murid-murid Huashan, terutama Kakak Linghu yang sangat berbakat dan berkepandaian tinggi. Mengapa Saudara-Saudara sekalian tidak menunggu Kakak Linghu di tempat kami saja?”
Dalam hati Lao Denuo berpikir, “Adik Kecil berada di tangan Bibi Biksuni Dingyi. Mau tidak mau kami harus mengikuti ke sana.”
“Baiklah, Saudara Xiang!” jawab Lao Denuo kemudian. “Kami akan memenuhi undangan Paman Liu. Mohon maaf bila kami terlalu merepotkan.”
“Ah, kedatangan Saudara-Saudara dari Huashan merupakan suatu kehormatan bagi kami. Jangan terlalu merendah,” jawab Xiang Danian. “Silakan! Silakan!”
“Apakah kau juga mengundang orang itu?” sahut Dingyi sambil menunjuk si kakek penjual pangsit.
Xiang Danian memandangi penjual pangsit itu agak lama, kemudian menyapa dengan penuh hormat, “Oh, rupanya Paman He dari Gunung Yandang juga berada di sini. Kami berdua sungguh ceroboh tidak mengenali Paman He. Silakan, silakan Paman He juga mampir ke tempat kami!”
Rupanya kakek tua ini juga seorang tokoh persilatan yang bernama He Sanqi. Sewaktu muda ia memang berjualan pangsit secara berkeliling. Meskipun sudah menguasai ilmu silat dan berkepandaian tinggi, ia tetap saja membawa keranjang pikulannya sambil berkelana ke mana-mana. Orang tua ini tidak mengejar kejayaan atau kemasyhuran. Yang ia lakukan setiap hari hanyalah berdagang pangsit kecil-kecilan tanpa menonjolkan diri. Namun demikian, banyak tokoh persilatan yang menaruh hormat kepadanya. Di dunia ini memang banyak penjual pangsit keliling; namun hanya seorang saja di antara mereka yang menyimpan ilmu silat tinggi, dan dia adalah He Sanqi.
“Baiklah. Aku juga hendak menuju ke tempat guru kalian,” jawab He Sanqi tersenyum, sambil kemudian mengemasi dagangannya.
Melihat itu, Lao Denuo segera memberi hormat, “Kami dari Perguruan Huashan punya mata tapi tidak melihat kehadiran Sesepuh He di sini. Mohon Sesepuh He sudi memaafkan.”
“Tidak, tidak! Mengapa aku harus marah?” sahut He Sanqi dengan tertawa. “Kalian telah membeli pangsitku; kenapa pula aku harus marah kepada para pelangganku? Satu mangkuk pangsitku seharga sepuluh keping. Jadi, kalian berhutang kepadaku sembilan puluh keping, hahaha!”
Lao Denuo tertunduk malu, dan tidak menyadari kalau orang tua itu hanya bercanda.
“Hei, bayar dia segera. He Sanqi tidak akan membiarkan kalian makan dengan cuma-cuma,” sahut Dingyi kemudian.
“Benar sekali,” sahut He Sanqi sambil mengangguk. “Bisnis adalah bisnis. Bayar pangsitku dengan uang kontan, tidak boleh hutang juga tidak boleh membayar telat. Tidak peduli kawan atau saudara, semua diperlakukan sama.”
“Tentu saja, tentu saja,” jawab Lao Denuo. Tanpa berani memberikan uang lebih, ia pun membayar semua pesanan tersebut sesuai tagihan tadi. Dengan kedua tangan ia menyerahkan sembilan puluh keping uang tembaga tersebut kepada He Sanqi sambil membungkuk penuh hormat.
He Sanqi lantas menoleh ke arah Dingyi dan berkata, “Hei, kau telah memecahkan dua mangkuk. Kau harus membayar empat belas keping.”
“Dasar kau pedagang pelit! Tega-teganya kau menarik uang dari kaum biksuni!” sahut Dingyi menggerutu. “Yiguang, bayarkan uang sesuai tagihannya.”
Dengan kedua tangan pula, Yiguang menyerahkan empat belas keping uang tembaga sambil membungkuk hormat. He Sanqi menerima dan memasukkan semua uangnya itu ke dalam tabung bambu. Setelah memikul keranjang dagangannya, ia pun berkata, “Mari berangkat!”
“Xiang Danian mengangguk, lalu berkata kepada pemilik rumah minum, “Hitung semuanya, lalu kirimkan tagihan kepada Tuan Majikan Liu.”
Si pemilik menjawab, “Kehormatan bagi kami bisa melayani tamu-tamu Keluarga Liu. Lupakan saja semua tagihan di kedai teh kami ini.” Rupanya Liu Zhengfeng sangat dermawan dan sering menyumbang keuangan para penduduk di Kota Hengshan. Itulah sebabnya, si pemilik rumah minum merasa segan melayangkan tagihan tersebut.

Biksuni Dingyi membawa Lingshan pergi.
(Bersambung)

bagian 7 ; halaman muka ; bagian 9