Bagian 36 - Jabat Tangan Sebelum Mati

Yue Lingshan mencuri kitab pusaka untuk Linghu Chong.

Tiba-tiba terdengar orang di luar itu berkata lirih, “Monyet Keenam, apa kau berada di dalam?”

Seketika perasaan Lu Dayou berubah gembira karena ia mengenali suara tersebut sebagai suara seorang perempuan yang tidak lain adalah Yue Lingshan. Dengan cepat ia menjawab, “Adik Kecil, aku di sini.” Buru-buru ia pun menyalakan kembali pelita di dalam kamar.

Sementara itu Yue Lingshan sudah masuk ke dalam kamar. Gadis itu bertanya, “Bagaimana keadaan Kakak Pertama?”

“Banyak darah yang keluar,” jawab Lu Dayou.

Yue Lingshan meraba dahi Linghu Chong ternyata panas luar biasa.

Tiba-tiba Linghu Chong siuman dan bertanya, “Adik Kecil… apakah itu kau?”

Yue Lingshan menjawab dengan suara lembut, “Benar, Kakak Pertama, ini aku. Bagaimana keadaanmu?”

“Aku merasa lebih… baik,” jawab Linghu Chong lirih.

Tiba-tiba Yue Lingshan mengeluarkan bungkusan kecil dari balik bajunya dan berkata, “Ini adalah kitab rahasia ilmu Kabut Lembayung Senja. Kata Ayah....”

“Kitab Kabut Lembayung Senja?” sahut Linghu Chong terkejut.

“Benar,” jawab Yue Lingshan. “Ayah berkata di dalam badanmu terdapat enam hawa murni yang aneh. Untuk memusnahkannya harus menggunakan ilmu tenaga dalam paling tinggi dalam perguruan kita, yaitu ilmu Kabut Lembayung Senja... Monyet Keenam, tolong kau bacakan isi kitab ini kepada Kakak Pertama. Bacalah kata demi kata dengan jelas. Tapi awas, kau sendiri tidak boleh ikut mempelajarinya! Kalau sampai Ayah mengetahuinya, tentu kau akan tahu sendiri akibatnya.”

Lu Dayou sangat gembira mendengarnya. Buru-buru ia menyahut, “Aku ini hanya orang bodoh. Mana mungkin aku berani mempelajari ilmu rahasia yang merupakan puncak dari segala ilmu tenaga dalam milik perguruan kita? Sudahlah, kau jangan khawatir. Luar biasa! Demi menolong jiwa Kakak Pertama, Guru berkenan menurunkan kitab rahasia ilmu Kabut Lembayung Senja. Kali ini Kakak Pertama pasti selamat.”

Yue Lingshan menukas dengan suara berbisik, “Kau jangan beri tahu siapa-siapa. Sebenarnya kitab ini bukan pemberian Ayah. Tapi... tapi aku mencurinya dari bawah bantal Ayah.”

“Apa? Kau... kau telah mencuri kitab pusaka milik Guru?” tanya Lu Dayou tak percaya. “Jika Guru sampai tahu... bagaimana?”

“Bagaimana apanya? Kalau sampai ketahuan apa mungkin aku dibunuh oleh Ayah?” balas Yue Lingshan. “Paling-paling aku hanya dimarahi dan dihajar saja sampai babak belur. Tapi kalau dengan ini Kakak Pertama bisa disembuhkan, tentu Ayah dan Ibu akan senang sehingga persoalan ini tidak lagi dipermasalahkan.”

“Benar juga, benar juga,” kata Lu Dayou. “Yang penting Kakak Pertama harus diselamatkan terlebih dulu. Yang lain urusan belakangan.”

Tiba-tiba Linghu Chong menukas, “Adik Kecil, kembalikan... kembalikan kitab itu pada Guru.”

“Mengapa?” tanya Yue Lingshan heran. “Susah payah aku membawa kitab pusaka ini kemari, menempuh jalan pegunungan yang jauh dan berbahaya di tengah malam gelap gulita. Tapi, kau malah memintaku mengembalikannya. Ini bukan masalah mencuri, tapi masalah hidup dan matimu.”

“Benar kata Adik Kecil,” sahut Lu Dayou ikut mendesak. “Kau tidak perlu mempelajari semuanya. Latih saja secukupnya asal dapat memusnahkan hawa jahat di dalam tubuhmu. Setelah itu kita kembalikan kitab ini kepada Guru. Kelak tentu Guru akan mewariskan kitab ini kepadamu. Kau memang murid pertama perguruan kita. Kepada siapa lagi kitab pusaka ini akan diwariskan kalau bukan kepadamu? Sekarang atau besok apa bedanya? Ini hanya masalah waktu. Apa salahnya kalau kitab ini kau pelajari sekarang?”

“Tidak, tidak… Lebih baik aku mati daripada melanggar perintah Guru,” jawab Linghu Chong. “Guru sudah mengatakan bahwa... bahwa aku belum waktunya belajar ilmu Kabut Lembayung Senja. Maka... maka....” Belum habis ia berkata mendadak nafasnya terasa sesak dan ia pun kembali pingsan.

Yue Lingshan mencoba memeriksa hembusan hidung Linghu Chong. Nafas pemuda itu sangat lemah namun tidak berhenti. Yue Lingshan kemudian berkata, “Aku harus segera kembali sebelum fajar menyingsing. Ayah dan Ibu bisa khawatir apabila mengetahui kepergianku ini. Kakak Keenam, tolong bujuk Kakak Pertama supaya mau mempelajari kitab Kabut Lembayung Senja. Jangan sia-siakan....” Sampai di sini wajahnya mendadak bersemu merah. Gadis itu lalu melanjutkan, “Jangan sia-siakan jerih payahku berlari malam-malam kemari demi dia.”

“Baik, aku akan membujuknya,” kata Lu Dayou. “Adik Kecil, sekarang ini rombongan Guru sudah sampai di mana?”

“Kami bermalam di kuil Kuda Putih,” jawab Yue Lingshan.

“Apa? Bukankah kuil itu berjarak hampir sepuluh Li dari sini?” sahut Dayou. “Adik Kecil berlari pulang-pergi di malam gelap ini menempuh jarak sejauh itu. Kakak Pertama tentu takkan melupakan pengorbananmu ini.”

Mata Yue Lingshan terlihat merah berkaca-kaca. Ia pun berkata, “Aku hanya ingin melihat Kakak Pertama selamat dan kembali pulih. Aku tidak peduli kejadian ini diingat olehnya atau tidak.”

Usai berkata demikian gadis itu lalu menaruh kitab rahasia ilmu Kabut Lembayung Senja perlahan-lahan di ujung ranjang Linghu Chong. Dipandanginya sejenak wajah si kakak pertama dan selanjutnya ia pun berlari keluar.

Kira-kira dua jam kemudian barulah Linghu Chong siuman dari pingsan. Begitu membuka mata ia langsung berseru, “Adik... Adik Kecil!”

“Adik Kecil sudah pergi,” jawab Dayou.

“Sudah pergi?” sahut Linghu Chong dengan nada keras. Ia kemudian bangkit dan tangannya langsung menarik baju Lu Dayou pada bagian dada.

“Benar, Adik Kecil sudah pergi,” jawab Lu Dayou ketakutan. “Katanya, sebelum fajar menyingsing ia harus berada di sana supaya tidak meresahkan Guru dan Ibu Guru. Sebaiknya kau beristirahat saja.”

Namun Linghu Chong seperti tidak mendengarkan jawaban Lu Dayou. Ia terlihat menggumam sendiri, “Dia sudah pergi? Dia sudah pergi bersama Adik Lin?”

“Adik Kecil bersama rombongan Guru dan Ibu Guru,” lanjut Lu Dayou.

Namun Linghu Chong hanya memandang dengan tatapan kosong sambil tangannya masih mencengkeram baju Lu Dayou.

Lu Dayou kembali berkata dengan suara lirih, “Kakak Pertama, sesungguhnya Adik Kecil sangat peduli pada keselamatanmu. Sebagai seorang gadis belia, di tengah malam segelap ini ia berlari pulang-pergi ke sini dari kuil Kuda Putih yang berjarak sepuluh Li dari sini hanya untuk membantu kesembuhanmu. Betapa dalam perasaannya kepadamu tak dapat dibayangkan. Sebelum pergi ia juga berpesan supaya kau sudi mempelajari kitab rahasia ilmu Kabut Lembayung Senja ini. Janganlah kau sia-siakan maksud baiknya itu.”

“Dia berkata demikian?” tanya Linghu Chong menegas.

“Mana mungkin aku berani berdusta?” jawab Lu Dayou.

Tangan Linghu Chong yang mencengkeram baju Lu Dayou pun mengendur. Ia tak tahan lagi duduk dan kembali roboh berbaring di atas ranjangnya. Meskipun kepalanya terbentur dengan keras namun tidak terasa sakit.

“Kakak Pertama, biar aku yang membacakan kitab ini untukmu,” kata Lu Dayou yang kemudian mengambil kitab Kabut Lembayung Senja dan membacanya kata demi kata mulai halaman pertama.

“Segala bentuk ilmu silat menggunakan tenaga dalam sebagai landasan. Sesungguhnya jumlah tenaga dalam yang begitu besar adalah karunia dari Langit. Akan tetapi, kebanyakan manusia tidak memahaminya dengan baik, justru mengumbar emosi belaka. Dampak buruk dari belajar ilmu silat adalah membuat manusia menjadi bengis, congkak, kejam, dan licik. Menjadi bengis membuat jiwa menjadi terganggu, dan aliran tenaga menjadi kacau. Bersikap congkak membuat jiwa menjadi kerdil sehingga aliran tenaga menjadi ribut. Bersikap kejam membuat jiwa menjadi kosong, dan aliran tenaga pun menjadi hampa pula. Bersikap licik membuat perilaku menjadi jahat, sehingga aliran tenaga menjadi pendek. Keempat sikap buruk ini bagaikan pisau yang memotong aliran tenaga.”

“Apa yang sedang kau baca?” tanya Linghu Chong.

“Ini adalah bab pertama rahasia ilmu Kabut Lembayung Senja,” jawab Lu Dayou. Ia kemudian melanjutkan bacaannya. “Dengan berpantang pada keempat sifat buruk tersebut membuat hati kita menjadi lembut. Dengan menahan sikap kejam dan bengis dapat membuat aliran tenaga menjadi lebih tahan lama. Menabuh Tian-Gu, meminum Yu-Jiang, membilas Hua-Chi, dan mengetuk Jin-Liang, lakukan dan lihatlah bagaimana hasilnya….”

Di luar dugaan Linghu Chong justru menjadi gusar. Ia berseru, “Ini adalah ilmu rahasia perguruan kita. Berani membaca tanpa izin sama artinya melanggar peraturan. Ayo, lekas simpan kembali kitab itu!”

“Kakak Pertama, seorang laki-laki sejati harus dapat bertindak sesuai keadaan. Sekarang yang paling penting adalah kesembuhanmu. Urusan lain kita kesampingkan dulu. Biar kulanjutkan....” kata Lu Dayou yang kemudian membacakan bagaimana kelanjutan isi kitab tersebut.

“Tutup mulutmu!” bentak Linghu Chong.

Lu Dayou ketakutan dan berhenti membaca. Ia bertanya, “Kakak Pertama, apakah kau baik-baik saja? Apakah kau merasa sakit?”

“Benar! Sekujur badanku terasa sakit begitu mendengar kau membaca isi kitab pusaka tanpa seizin Guru. Apakah kau ingin menjerumuskan aku menjadi murid durhaka dan tercela?” bentak Linghu Chong.

“Tidak, tidak,” jawab Lu Dayou sambil berhenti membaca. “Mengapa kau sebut dirimu durhaka dan tercela?”

“Di Tebing Perenungan beberapa waktu yang lalu Guru sudah berniat mengajarkan ilmu Kabut Lembayung Senja kepadaku,” jawab Linghu Chong dengan nafas terengah-engah. “Tapi, karena aku dinilai salah mengambil jalan, maka niat tersebut dibatalkan. Guru tidak jadi mengajarkan ilmu itu kepadaku.”

“Tapi, untuk kali ini tujuannya lain, bukan?” ujar Lu Dayou. “Ini bukan mencuri pelajaran, tapi hanya untuk menyembuhkan sakitmu dan menyelamatkan nyawamu.”

“Sebagai seorang murid, apakah nyawa sendiri lebih berharga daripada perintah guru?” balas Linghu Chong.

“Tapi, Guru dan Ibu Guru juga ingin kau sembuh. Ini adalah urusan yang paling penting,” jawab Lu Dayou. “Apalagi... apalagi Adik Kecil sudah berlari jarak jauh di tengah malam hanya untuk mengantarkan kitab ini. Apa kau tega menyia-nyiakan pengorbanannya?”

Linghu Chong merasa sangat terharu namun berusaha keras menahan air mata agar jangan sampai meleleh keluar. Segera ia berpaling sambil menjawab, “Justru itu... sebagai laki-laki sejati apa pantas aku menerima belas kasihan orang lain?”

Usai berkata demikian, tubuhnya pun gemetar dan dalam benaknya terlintas pikiran, “Selama ini aku tidak pernah memegang teguh peraturan. Demi menyelamatkan nyawaku, apa susahnya bagiku untuk memelajari ilmu tertinggi dari perguruan sendiri? Jika dipikir lagi, sesungguhnya aku menolak belajar ilmu Kabut Lembayung Senja adalah karena rasa cemburu terhadap Adik Kecil. Jauh di lubuk hatiku, aku merasa iri melihat perlakuan Adik Kecil terhadap Adik Lin yang penuh perhatian, sedangkan kepadaku begitu dingin. Linghu Chong, Linghu Chong, mengapa kau begitu picik?”

Meskipun demikian, ketika ia berpikir bahwa dalam perjalanan menuju Gunung Songshan pasti Yue Lingshan dan Lin Pingzhi akan berjalan berdampingan sambil mengobrol dan bernyanyi bersama, mau tidak mau membuat air matanya mengalir di pipi.

“Kakak Pertama,” sahut Lu Dayou. “Sejak kecil kau dibesarkan bersama Adik Kecil. Kalian berdua bagaikan... bagaikan saudara kandung.”

Linghu Chong semakin gusar. Dalam hati berkata, “Aku tidak sudi menjadi saudara kandung dengannya.”

Tiba-tiba Lu Dayou kembali membaca lanjutan kitab rahasia ilmu Kabut Lembayung Senja, “Kakak Pertama, aku akan melanjutkan membaca. Dengarkan baik-baik. Jika kau tidak mampu menghafal, maka aku akan mengulangi beberapa kali. Semua bentuk ilmu silat menggunakan tenaga dalam sebagai dasar. Betapa banyak jumlah tenaga dalam adalah karunia dari Langit…”

“Hentikan!” bentak Linghu Chong dengan suara keras.

Lu Dayou menjawab, “Baiklah, baiklah, Kakak Pertama. Demi kesembuhanmu aku terpaksa melawan dan membantah dirimu. Aku pun berani melanggar larangan perguruan. Kau sama sekali tidak bersalah. Kau tidak ingin mendengarkan, tapi aku tetap memaksamu untuk mendengarkannya. Aku yang memaksa untuk tetap membaca. Bahkan, kau sama sekali tidak pernah menyentuh kitab rahasia ilmu Kabut Lembayung Senja ini. Kau sama sekali tidak pernah melihat satu huruf sekalipun dalam kitab ini. Jadi, apa ini kesalahanmu? Kau hanya terbaring lemah di atas ranjang. Akulah yang memaksamu untuk mempelajari kitab ini. Jika Guru sampai menghukum, biar aku, Lu Dayou, yang menanggungnya sendiri. Nah, sekarang dengarkanlah, aku akan mengulanginya lagi. Semua bentuk ilmu silat menggunakan tenaga dalam sebagai dasar. Betapa banyak jumlah tenaga dalam adalah karunia dari Langit…”

Lu Dayou membacakan isi kitab Kabut Lembayung Senja.

Linghu Chong berusaha mengabaikan suara Lu Dayou, namun kata demi kata tetap saja meluncur masuk ke dalam telinganya. Ia berusaha memberontak dan merintih keras.

Mendengar itu Lu Dayou pun bertanya, “Kakak Pertama, apa kau baik-baik saja?”

“Tolong... tolong kau ganjal bantalku supaya sedikit lebih tinggi,” pinta Linghu Chong.

“Baik,” jawab Lu Dayou tanpa curiga sedikit pun sambil melangkah mendekati ranjang dan memegang bantal yang dimaksud tersebut.

Tidak disangka-sangka Linghu Chong mengerahkan segenap tenaga dan menotok tepat di titik Tan-Zhong pada dada Lu Dayou. Seketika Lu Dayou pun roboh terkulai di atas ranjang tanpa suara sedikit pun.

“Maaf, Adik Keenam,” kata Linghu Chong sambil tersenyum hambar. “Kau berbaring di sini saja. Beberapa jam lagi totokan pada tubuhmu akan terbuka sendiri.”

Perlahan-lahan Linghu Chong berusaha bangun dari ranjang. Sekilas ia memandang kitab rahasia ilmu Kabut Lembayung Senja kemudian menghela nafas dan berjalan menuju ke arah pintu. Tangannya meraih sebatang kayu yang dipakai untuk mengunci pintu sebagai tongkat penyangga tubuh.

“Kakak Pertama, kau… kau mau ke mana?” tanya Lu Dayou dengan nada khawatir. Pada umumnya apabila seseorang terkena totokan pada titik Tan-Zhong maka ia akan lumpuh tidak dapat bergerak ataupun bersuara. Namun karena tenaga Linghu Chong sangat lemah, maka ia hanya bisa membuat Lu Dayou tidak bisa menggerakkan tangan dan kaki, namun masih bisa berbicara.

Linghu Chong menoleh dan menjawab, “Adik Keenam, terpaksa aku harus pergi jauh. Makin jauh aku meninggalkan kitab rahasia ilmu Kabut Lembayung Senja semakin baik. Sebentar lagi aku akan mati. Aku tidak mau orang lain menemukan mayatku di samping kitab itu. Aku tidak mau orang lain menuduhku mati setelah mencuri ilmu tanpa izin. Aku tidak mau dipandang rendah oleh Adik Lin.” Usai berkata demikian dada Linghu Chong kembali bergolak dan ia pun muntah darah.

Khawatir tenaganya akan segera habis, Linghu Chong pun memaksakan diri untuk melangkah pergi tanpa menunda-nunda lagi. Sambil menghirup nafas dalam-dalam, ia melangkah maju dengan bantuan batang kayu pengunci pintu sebagai tongkat penyangga tubuh. Perlahan-lahan ia berjalan tertatih-tatih sampai tubuhnya lenyap ditelan kegelapan malam.

Dalam setiap seratus langkah, Linghu Chong beristirahat dan bersandar pada tongkatnya untuk menghirup nafas. Setelah berjalan sejauh hampir satu Li matanya terasa berkunang-kunang. Kepalanya pusing dan pandangannya kabur. Bumi dan langit terasa berputar-putar. Badannya terasa semakin lemah dan hampir saja ia terbanting jatuh.

Tiba-tiba dari arah semak-semak terdengar suara seorang pria merintih kesakitan. Linghu Chong pun bertanya, “Siapa itu?”

Orang itu pun menjawab, “Apakah di situ Saudara Linghu? Ini aku, Tian Boguang. Aduh!”

Linghu Chong terkejut dan bertanya lagi, “Hei, ternyata Saudara... Saudara Tian. Ada apa... ada apa denganmu?”

“Aku sekarat... aku hampir mati,” jawab Tian Boguang. “Tolong aku, Saudara Linghu! Tolong kau bunuh aku dengan pedangmu daripada... daripada aku menderita kesakitan.” Meskipun ia merintih kesakitan namun suaranya terdengar jelas dan lantang.

“Apa... apa kau terluka?” tanya Linghu Chong. Kakinya terasa semakin lemas sehingga tak kuat lagi berdiri dan terbanting roboh.

Mengetahui itu Tian Boguang terkejut pula, “Hei apa kau juga terluka? Siapa... siapa yang melukaimu? Aduh….”

“Panjang ceritanya,” jawab Linghu Chong lemah. “Saudara Tian, kau sendiri... kau sendiri dilukai siapa?”

“Aku... aku tidak tahu,” kata Tian Boguang.

“Bagaimana bisa?” desak Linghu Chong.

“Setelah aku turun dari puncak Huashan beberapa waktu yang lalu, tiba-tiba aku disergap oleh beberapa orang. Mereka menangkap kedua tangan dan kedua kakiku, lalu mengangkat tubuhku ke atas. Tenaga mereka begitu besar. Aku tidak tahu... aku tidak tahu siapa mereka....”

“Oh, ternyata Enam Dewa Lembah Persik,” ujar Linghu Chong dengan tertawa. “Saudara Tian, bukankah kau satu komplotan dengan mereka?”

“Apa maksudmu?” sahut Tian Boguang heran.

“Mereka... mereka juga memintaku menemui Adik Yilin,” jawab Linghu Chong dengan nafas terengah-engah.

Tian Boguang merangkak keluar dari semak-semak. Ia menggeleng dan menggerutu kesal, “Keparat! Aku tidak ada hubungannya dengan mereka. Mereka bilang datang ke Gunung Huashan untuk mencari seseorang. Mereka bertanya di mana bisa menemukan orang itu. Aku pun bertanya siapa yang mereka cari. Tapi mereka marah-marah dan mengatakan kalau aku ini seorang tawanan, jadi tidak berhak bertanya. Jika aku mampu menangkap mereka barulah aku boleh bertanya. Kata mereka... jika aku berani boleh mencoba menangkap mereka. Jika aku bisa menangkap mereka, baru aku boleh bertanya sedangkan mereka tidak boleh bertanya. Aduh... Jika aku punya kekuatan, maka aku boleh menangkap dan mengangkat mereka, dan setelah itu ganti aku yang boleh bertanya….”

Linghu Chong tertawa terbahak-bahak. Tapi nafasnya langsung sesak dan dadanya terasa sakit.

Tian Boguang kembali bercerita, “Saat itu tubuhku terangkat ke atas dengan wajah menghadap ke bawah. Biarpun memiliki kepandaian setinggi langit juga tidak mampu melepaskan diri dari cengkeraman mereka, apalagi mau menangkap mereka sekaligus. Bagaimana bisa? Huh, ucapan mereka benar-benar seperti tahi kuda!”

“Selanjutnya bagaimana?” tanya Linghu Chong sambil tersenyum.

“Aku berkata pada mereka bahwa aku tidak ingin bertanya apa-apa. Aku pun meronta, ‘Lepaskan! Lepaskan aku!’ Namun salah satu di antara mereka berkata, ‘Kami sudah menangkapmu. Jika kami tidak merobekmu menjadi empat potong, tentu nama besar kami akan jatuh.’

Seseorang lagi berseru, ‘Sesudah dirobek menjadi empat potong, coba lihat apa dia masih bisa berbicara atau tidak?’” Sampai di sini Tian Boguang berhenti dan mengambil nafas.

Linghu Chong menyela, “Saudara Tian, mereka memang suka mengoceh sembarangan dan berdebat untuk urusan yang tidak perlu. Jalan pikiran mereka pun konyol.”

“Huh, persetan dengan mereka!” maki Tian Boguang kemudian melanjutkan cerita, “Salah satu dari mereka berkata, ‘Kita berenam sudah merobek ratusan orang. Memangnya pernah kau dengar ada orang yang sudah robek menjadi empat potong masih bisa bicara?’

Yang tadi menjawab, ‘Mengapa ada orang yang sudah terpotong menjadi empat tidak bisa bicara adalah karena kita tidak bertanya kepadanya. Coba kalau kita bertanya, mana mungkin dia berani diam saja?’

‘Dia sudah terpotong menjadi empat, kenapa dia harus takut? Apa alasan baginya untuk takut? Memangnya kita akan membelah dia menjadi delapan?’ sahut yang lain.

Orang pertama bertanya, ‘Membelah orang menjadi delapan? Ini bukan ilmu yang mudah. Kita dulu menguasai ilmu ini tapi sekarang sudah lupa caranya.’”

Demikianlah Tian Boguang bercerita dengan terputus-putus namun ingatannya sungguh luar biasa dapat menceritakan semua percakapan konyol keenam orang aneh itu dengan lengkap meskipun dirinya sedang terluka cukup parah.

Linghu Chong menanggapi sambil menghela nafas, “Keenam bersaudara itu memang bersifat aneh dan langka. Mereka… mereka juga berbuat sesuatu kepadaku.”

Tian Boguang bertanya dalam keheranan, “Jadi, Saudara Linghu juga dilukai oleh mereka?”

“Begitulah kira-kira,” jawab Linghu Chong sambil kembali menghela nafas.

Tian Boguang melanjutkan, “Dalam keadaan masih terangkat di atas, terus terang aku merasa takut juga. Akhirnya aku pun berteriak, ‘Jika kalian membelah tubuhku menjadi empat potong, aku tidak akan bicara lagi. Meskipun lidahku masih bisa berbicara, hatiku tetap tidak ingin bicara.’

Salah satu dari mereka berkata, ‘Setelah kami membelah tubuhmu menjadi empat, maka lidahmu ada di satu bagian, dan hatimu ada di bagian lain yang terpisah. Mana mungkin antara lidah dan hati masih terjalin hubungan?’

Mendengar itu aku merasa tidak ada gunanya lagi berdebat dengan mereka. Maka, aku pun berteriak, ‘Jika kalian mau bertanya, segeralah kalian bertanya! Awas, sebentar lagi aku akan melepaskan gas beracun!’

Seseorang di antara mereka bertanya kepadaku, ‘Gas beracun apa?’

Aku menjawab, ‘Kentutku busuk bagaikan bangkai. Barangsiapa mencium bau kentutku, dijamin selama tiga hari tiga malam akan kehilangan selera makan. Bahkan, nasi yang kalian makan selama tiga hari sebelumnya akan tertumpah semua. Aku telah memperingatkan kalian semua. Persetan jika kalian terkena gas beracun dariku.’”

Linghu Chong tersenyum lemah, “Ucapanmu sepertinya jitu.”

“Memang,” kata Tian Boguang. “Begitu mendengar ucapanku tadi, mereka langsung menjerit ketakutan dan melepaskan diriku. Tubuhku terbanting di tanah begitu saja, dan aku pun melompat bangkit untuk berdiri. Kulihat keenam orang aneh itu berwajah buruk, dan masing-masing dari mereka memencet hidung untuk menghindari bau kentutku. Saudara Linghu, apakah keenam orang tua itu yang kau sebut Enam Dewa Lembah Persik?”

“Benar sekali,” jawab Linghu Chong. “Aih, sayang sekali aku tidak secerdas Saudara Tian. Sama sekali tidak terpikir olehku bahwa tipuan kentut beracun sangat ampuh. Tipu muslihat Saudara Tian sungguh tidak kalah hebat dibanding siasat kota kosong Zhuge Liang saat menakut-nakuti pasukan Sima Yi pada zaman Tiga Negara dulu.”

Tian Boguang memaki-maki sambil tertawa, kemudian melanjutkan cerita, “Aku sadar keenam orang itu berilmu tinggi. Ditambah lagi golokku tertinggal di puncak Huashan. Maka, aku pun berusaha melarikan diri. Tak kusangka keenam orang itu langsung menghadang di depanku dengan berjajar rapat bagaikan tembok keras sambil tangan mereka masih menutup hidung. Hahaha, tidak seorang pun dari mereka yang berani berdiri di belakangku. Aku pun segera memutar tubuh berbalik arah, namun gerakan keenam orang itu sungguh bagaikan siluman. Entah bagaimana tahu-tahu mereka sudah berdiri menghadang di depanku lagi. Berkali-kali aku memutar badan tetap saja mereka bisa menghadang di depanku. Aku pun mendapat akal, yaitu berjalan mundur menghindari mereka. Namun mereka tetap mengejarku dengan gerak maju selangkah demi selangkah, sampai akhirnya aku terdesak pada batuan gunung dan tidak bisa bergerak lagi. Keenam orang aneh itu bergelak tawa. Seseorang bertanya kepadaku, ‘Dia berada di mana?’

Aku balas bertanya, ‘Siapa yang kalian cari?’

Mereka serentak berkata, ‘Kau telah kami kepung. Kami yang bertanya padamu. Kau hanya boleh menjawab, tidak boleh bertanya.’

Seorang dari mereka berkata, ‘Jika kau bisa mengepung kami, maka kau berhak mengajukan pertanyaan kepada kami.’

Seorang lainnya menukas, ‘Dia hanya sendirian, mana mungkin bisa mengepung kita berenam?’

Yang pertama tadi menjawab, ‘Bisa saja. Jika kepandaiannya sangat tinggi, dia bisa mengalahkan kita.’

Yang kedua menjawab, ‘Itu namanya dia mengalahkan kita, bukan mengepung kita.’

Yang pertama berkata, ‘Tapi, bisa saja dia menggiring kita masuk ke dalam gua, kemudian menutup mulut gua dengan batu besar sehingga kita terkurung di dalamnya. Bukankah itu artinya dia mengepung kita?’

Yang kedua menjawab, ‘Tetap tidak sama! Itu namanya terkurung, bukan terkepung.’

Yang pertama tetap tidak mau kalah dan berkata, ‘Bisa saja dia memeluk kita menjadi satu. Itu namanya dia bisa mengepung kita.’

Yang kedua berkata, ‘Tidak mungkin! Pertama, di dunia ini mana ada orang yang memiliki lengan panjang sehingga bisa memeluk kita berenam? Kedua, andaikan ada jenis manusia berlengan panjang, maka orang ini tidak termasuk golongan itu. Ketiga, andaikan orang ini berlengan panjang, tetap saja itu bukan mengepung, tapi memeluk.’

Yang pertama mengerutkan dahi untuk melanjutkan perdebatan. Ia tidak mau mengakui kekalahan dan tetap berpikir keras untuk beberapa waktu. Akhirnya ia pun tertawa dan berkata, ‘Aha, aku tahu! Jika dia kentut terus-menerus sehingga kita tidak bisa lari dan menghindar, bukankah itu berarti dia bisa mengepung kita?’

Serentak keempat orang lainnya yang tidak ikut berdebat bertepuk tangan dan berseru, ‘Betul sekali! Orang ini bisa mengepung kita dengan kentut.’

Mendengar itu segera terpikir olehku bahwa mereka benar-benar takut pada kentut. Maka aku pun bersiap lari sambil mengancam, ‘Aku akan mengepung kalian sekarang!’

Tadinya aku mengira bahwa mereka tidak akan berani mengejarku. Namun, siapa sangka gerakan keenam orang tua itu sungguh cepat. Baru beberapa langkah aku mencoba kabur, tahu-tahu sudah dibekuk lagi oleh mereka. Tanpa ampun aku didorong supaya duduk di atas sebongkah batu. Tubuhku ditekan oleh mereka kuat-kuat. Sedemikian kuatnya mereka mendudukkan tubuhku di atas batu sehingga sekalipun aku bisa kentut juga tidak akan menimbulkan bau yang busuk.”

Mendengar itu Linghu Chong tertawa terbahak-bahak. Akan tetapi setelah itu ia merasa darah di rongga dadanya kembali bergolak sehingga membuatnya berhenti tertawa seketika.

Tian Boguang melanjutkan ceritanya, “Setelah aku didudukkan dengan paksa di atas batu, salah seorang dari mereka bertanya, ‘Dari mana datangnya kentut?’

Salah satunya lagi menjawab, ‘Dari perut melalui usus besar dan keluar melalui lubang pantat. Itu berarti melalui kita sebaiknya menotok titik Shang-Yang, He-Gu, Qu-Chi, dan Ying-Xiang.’

Usai berkata demikian ia langsung menotok sekaligus keempat titik tersebut dengan gerakan sederhana. Belum pernah aku melihat ilmu menotok yang sangat cepat dan jitu seperti ini. Sungguh membuatku sangat kagum. Setelah itu mereka berenam sama-sama menghela nafas lega, kemudian berkata, ‘Tukang kentut sialan ini sudah tidak mampu kentut lagi.’

Orang yang menotok diriku menyahut, ‘Hei, di mana orang itu? Jika kau tetap tidak mau mengatakannya, maka aku tidak akan membuka totokan ini supaya selamanya kau tidak bisa kentut. Coba bayangkan, perutmu akan kembung sampai mati.’

Dalam hati aku menduga kedatangan enam orang aneh berilmu tinggi tersebut ke Huashan sini tentu mencari seorang yang berilmu tinggi pula. Aku yakin keenam orang itu tidak mencari guru dan ibu-gurumu karena mereka berdua sedang tidak berada di Gunung Huashan. Sekalipun Beliau berdua berada di sini, tentu keenam orang itu bisa menemukan dengan mudah di Gedung Kebajikan. Akhirnya aku menarik kesimpulan bahwa orang yang sedang mereka cari pasti tokoh sakti lainnya yang sulit ditemukan, yaitu paman dari gurumu, yaitu Sesepuh Feng Qingyang.”

Mendengar itu jantung Linghu Chong berdebar kencang. Ia pun bertanya, “Apakah kau beri tahukan kepada mereka?”

Tian Boguang terlihat gusar dan menjawab, “Huh, kau pikir Tian Boguang ini manusia macam apa? Aku telah berjanji padamu bahwa aku tidak akan membocorkan di mana keberadaan Sesepuh Feng. Apa kau kira bajingan seperti aku tidak bisa memegang janji?”

“Maafkan aku, maafkan aku salah bicara! Mohon Saudara Tian jangan tersinggung,” ujar Linghu Chong.

“Jika kau berani menghina lagi, putus sudah hubungan kita,” kata Tian Boguang. “Untuk selanjutnya jangan pernah lagi menganggapku sebagai sahabat!”

Linghu Chong terdiam dan berpikir, “Huh, siapa pula yang menganggapmu sahabat? Kau ini maling cabul yang sangat kejam. Dunia persilatan membencimu. Hanya saja kau beberapa kali tidak mau membunuhku. Anggap saja aku sedang berhutang budi.”

Dalam kegelapan Tian Boguang tidak dapat melihat raut muka Linghu Chong. Karena yang diajak bicara hanya terdiam, ia pun melanjutkan ceritanya, “Keenam siluman itu terus saja mendesakku. Aku sangat kesal dan berteriak keras, ‘Aku tahu di mana orang itu berada, tapi aku tidak sudi mengatakannya kepada kalian. Sedemikian banyaknya puncak di Huashan ini, jika aku tidak mau bicara, maka selamanya aku tetap tidak mau bicara.’

Keenam orang itu menjadi gusar. Mereka pun menyiksa dan menganiaya diriku, namun aku tetap bertahan. Aduh... Saudara Linghu, ilmu silat mereka sungguh tinggi dan aneh. Sebaiknya lekas kau beri tahu Sesepuh Feng supaya Beliau bersiap siaga. Meskipun ilmu pedang Beliau sangat hebat, namun lebih baik mempersiapkan diri daripada diserang tiba-tiba.”

Enam Dewa Lembah Persik menyiksa Tian Boguang.

Tian Boguang hanya menyebutkan bahwa keenam orang aneh itu telah menyiksa dan menganiaya dirinya, namun Linghu Chong dapat membayangkan tentu yang dilakukan adalah berbagai penyiksaan kejam sebagaimana luka dalam dan penderitaan yang kini ia rasakan. Padahal, Enam Dewa Lembah Persik mempunyai niat baik untuk mengobati luka pada tubuhnya, namun hasilnya justru penderitaan. Apalagi terhadap Tian Boguang yang ingin mereka paksa untuk mengatakan sesuatu, tentu cara yang mereka gunakan benar-benar kejam.

Menyadari hal itu Linghu Chong merasa sangat kasihan pada Tian Boguang dan ia pun berkata, “Saudara Tian benar-benar seorang laki-laki sejati yang memegang janji. Kau lebih memilih mati daripada membocorkan keberadaan Kakek Guru Feng. Namun sesungguhnya orang yang dicari oleh Enam Dewa Lembah Persik adalah aku, bukan Kakek Guru Feng.”

Tian Boguang gemetar dan bertanya dengan nada terkejut, “Apa? Mereka mencarimu? Ada urusan apa mereka mencarimu?”

Linghu Chong menjawab, “Tujuan mereka sama denganmu. Mereka disuruh Adik Yilin untuk membawaku kepadanya.”

Tian Boguang tersentak kaget. Mulutnya menganga lebar namun tidak berbicara sama sekali, kecuali merintih kesakitan. Selang agak lama baruah ia berkata, “Andai saja aku tahu kalau yang dicari mereka adalah dirimu, tentu aku akan mengatakannya. Kemudian mereka bisa menangkapmu dan aku tinggal ikut di belakang saja. Dengan demikian aku tidak perlu mati keracunan di sini.... Eh, aneh juga, jika kau berhasil ditangkap dan disiksa oleh mereka, kenapa kau tidak dibawa menemui biksuni cilik itu?”

Linghu Chong menghela napas dan berkata, “Terlalu panjang ceritanya. Saudara Tian, kau bilang akan mati keracunan di sini, apa maksudmu?”

“Bukankah aku pernah mengatakannya kepadamu, bahwa ada seseorang yang menotok titik kematian dan meracuni tubuhku?” sahut Tian Boguang. “Dengan cara itu dia dapat menyuruhku untuk membawamu menemui biksuni cilik dalam sebulan ini. Jika tugas ini dapat kulaksanakan maka aku akan mendapatkan obat penawar darinya. Namun, ternyata aku tidak mampu mengajakmu menemui biksuni cilik, bahkan aku juga kalah bertarung melawanmu. Lebih sial lagi, aku bertemu dan disiksa oleh keenam siluman itu. Kalau dihitung-hitung, racun itu akan kambuh dalam sepuluh hari lagi.”

Linghu Chong menyahut, “Kalau begitu di mana Adik Yilin berada? Kalau kita berangkat sekarang apa masih mencukupi waktunya?”

Tian Boguang sangat gembira. Ia bertanya, “Apa kau mau pergi bersamaku?”

Linghu Chong menjawab, “Sudah beberapa kali kau mengampuni jiwaku. Meskipun tingkah lakumu buruk, namun aku tidak akan membiarkanmu mati mengenaskan terkena racun. Sebelum ini kau memaksaku dengan kekerasan, sudah tentu aku tidak sudi menurutinya. Tapi kini keadaannya sudah berbeda. Aku sendiri juga sudah berubah pikiran.”

Tian Boguang berkata, “Saat ini biksuni cilik berada di daerah Shanxi. Aih... kalau kita dalam keadaan sehat tentu bisa sampai di sana dalam waktu enam atau tujuh hari dengan mengendarai kuda. Tapi, kalau kita seperti ini, lebih baik lupakan saja.”

“Aku sedang menunggu ajal di Gunung Huashan sini. Jadi, apa salahnya kalau aku sekarang ikut bersamamu?” tanya Linghu Chong. “Siapa tahu Langit memberkati kita dan tiba-tiba kita menemukan kereta bagus dan kuda cepat di bawah gunung. Lalu dalam waktu kurang dari sepuluh hari kita sudah sampai di Shanxi.”

Tian Boguang tertawa, “Hahahaha. Selama hidup aku sudah berbuat kejahatan tak terhitung banyaknya terhadap orang-orang tak berdosa. Mana mungkin Langit sudi memberkati aku? Kecuali para dewa sudah buta.”

“Barangsiapa yang bertobat tentu mendapat ampunan,” kata Linghu Chong. “Pada akhirnya semua orang juga mati. Tiada salahnya kita mencoba.”

“Benar juga! Apa bedanya mati di atas gunung atau mati di tengah jalan?” seru Tian Boguang sambil bertepuk tangan. “Aku rasa yang paling penting kita harus turun gunung dahulu untuk mencari makanan enak. Sejak keadaanku menjadi seperti ini, yang bisa kumakan hanyalah biji-bijian mentah di semak-semak. Aku benar-benar merindukan makanan matang. Apa kau sanggup berdiri, Saudara Linghu? Mari kubantu.”

Tian Boguang mengulurkan tangan padahal ia sendiri tidak bisa bangun. Linghu Chong berusaha mengulurkan tangannya pula namun sedikit pun ia tidak mempunyai tenaga. Keduanya saling berusaha keras namun sama-sama tak berdaya. Semakin mengerahkan tenaga justru semakin lemas. Akhirnya, mereka pun tertawa terbahak-bahak.

“Seumur hidup aku malang melintang di dunia persilatan tanpa teman, tanpa kawan. Sekarang ini bisa mati bersama Saudara Linghu sungguh menyenangkan juga,” kata Tian Boguang.

Linghu Chong menanggapi sambil tertawa, “Kelak jika guruku menemukan mayat kita berdua, tentu Beliau berpikir kita bertempur mati-matian hingga akhirnya gugur bersama. Siapa sangka sebelum ajal kita malah mempererat persaudaraan.”

“Saudara Linghu, mari kita berjabat tangan sebelum mati bersama,” ujar Tian Boguang sambil tetap mengulurkan sebelah tangannya.

Linghu Chong terdiam ragu-ragu melihat Tian Boguang yang sungguh-sungguh ingin menjalin persaudaraan sebelum ajal tiba. Bagaimanapun juga Tian Boguang seorang penjahat besar di dunia persilatan, sedangkan ia sendiri berasal dari perguruan ternama. Mana mungkin ia menerima ajakan persaudaraan Tian Boguang? Memang Tian Boguang beberapa kali mengampuni nyawanya saat bertanding kala itu. Namun untuk menjalin persahabatan dengan penjahat tersebut membuat Linghu Chong merasa ragu-ragu. Kebimbangan itulah yang membuat Linghu Chong mengulurkan tangannya namun terhenti di tengah jalan.

Melihat itu Tian Boguang hanya berpikir bahwa linghu Chong sudah kehabisan tenaga untuk menyambut uluran tangannya. Ia pun berkata dengan suara keras, “Saudara Linghu, aku telah menganggapmu sebagai saudara. Meskipun kita tidak lahir bersamaan, tapi kita bisa mati pada hari yang sama. Jika kau mati lebih dulu karena lukamu yang parah, maka aku pun bersumpah tidak ingin hidup sendirian lagi.”

Linghu Chong tertegun mendengar ucapan Tian Boguang yang sepertinya benar-benar tulus. Tanpa ragu lagi ia pun mengulurkan tangannya meraih tangan Tian Boguang dan tertawa, “Hahahaha. Saudara Tian, kita mati bersama. Kita tidak akan kesepian di alam sana.”

Belum tuntas pemuda itu berbicara, tiba-tiba terdengar suara seorang laki-laki mendengus dan kemudian berkata, “Huh, murid pertama Perguruan Huashan dari Kelompok Tenaga Dalam ternyata sedemikian sesatnya, sampai-sampai mau bersahabat dengan seorang maling cabul.”

“Siapa kau?” bentak Tian Boguang.

Linghu Chong menggerutu di dalam hati, “Aku tidak takut mati sekarang karena luka-lukaku yang parah ini. Tapi kalau aku mati dengan mencemarkan nama baik Guru, ini sungguh mengerikan.”

Dalam kegelapan samar-samar terlihat seorang laki-laki berdiri tegap sambil menghunus pedang yang berkilauan di bawah cahaya bintang.

Orang itu berkata, “Linghu Chong, saat ini kau masih punya kesempatan untuk menarik kata-katamu tadi. Ambil pedangku ini dan gunakan untuk membunuh maling cabul itu. Dengan demikian, tentu nama baikmu tidak akan tercemar dan tidak akan ada seorang pun yang menyalahkanmu.” Usai berkata demikian ia langsung melemparkan pedangnya dan segera menancap di atas tanah.
 
Jabat tangan menjelang ajal.

(Bersambung)