Bagian 90 - Empat Boneka Salju

Yue Buqun dan Ning Zhongze menemukan empat boneka salju.

Ternyata Ren Yingying berkata, “Kalau ingin mengatakan sesuatu, katakan saja.”

Linghu Chong menjawab, “Selama ini aku tidak habis pikir, mengapa Lao Touzi, Zu Qianqiu, Ji Wushi, dan yang lain begitu takut kepadamu?”

Ren Yingying menanggapi, “Aku tahu bila persoalan ini tidak kujelaskan padamu, tentu hatimu tidak akan bisa tenteram. Jangan-jangan dalam hatimu mengira aku ini siluman.”

“Tidak, tidak, aku menganggapmu sebagai dewi kahyangan yang memiliki ilmu mahasakti,” ujar Linghu Chong.

“Baru mengucapkan tiga kalimat saja, kau sudah bicara omong kosong. Sebenarnya kau ini belum tentu seorang berandalan, tapi mulutmu licin begitu, sehingga pantas kalau orang menyebutmu pemuda iseng,” balas Ren Yingying.

“Saat aku memanggilmu ‘nenek’ apakah aku pernah bicara omong kosong?” tanya Linghu Chong.

“Kalau begitu kau panggil ‘nenek’ saja kepadaku seumur hidup,” kata Ren Yingying.

“Baik, aku akan selalu memanggilmu seumur hidup, tapi bukan memanggil ‘nenek’,” jawab Linghu Chong.

Wajah Ren Yingying seketika merona. Dadanya terasa hangat, dan ia pun berkata lirih, “Kuharap kau tidak hanya bicara manis.”

Linghu Chong berkata, “Kalau kau tidak suka dengan mulut yang licin, jika nanti masak untukku jangan kau beri minyak.”

Ren Yingying menjawab dengan tersenyum, “Aku tidak bisa memasak. Memanggang kodok saja hangus.”

Seketika Linghu Chong pun terkenang saat memanggang kodok bersama Ren Yingying di tepi sungai kecil beberapa bulan yang lalu. Ia merasa saat ini seakan-akan kembali pada suasana masa silam tersebut.

Terdengar Ren Yingying menyambung, “Jika kau tidak takut dengan masakan hangusku, maka setiap hari aku akan memasak untukmu seumur hidup.”

“Kenapa tidak?” sahut Linghu Chong. “Jika kau memasak untukku setiap hari, aku akan menghabiskan tiga mangkuk besar setiap hari pula.”

Ren Yingying berkata, “Kau suka bercanda sesuka hatimu. Kau bicara seenaknya untuk menyenangkan hatiku. Tapi kenyataannya, aku memang merasa senang mendengarnya.”

Keduanya pun beradu pandang. Cukup lama mereka saling terdiam, sampai akhirnya Ren Yingying berkata lirih, “Kau sudah tahu, ayahku sebenarnya Ketua Sekte Matahari dan Bulan. Kemudian Paman Dongfang … maksudku, Dongfang Bubai mengkhianati Ayah dengan perangkapnya yang licik itu. Ia menyekap Ayah di suatu tempat rahasia. Dongfang Bubai berdusta kepada semua orang, dengan berkata bahwa Ayah meninggal di tempat yang jauh dan berpesan agar dirinya menggantikan sebagai ketua baru. Waktu itu aku masih kecil, sementara Dongfang Bubai teramat cerdik dan licin, siasatnya sangat rapi tanpa celah, sehingga apa yang ia perbuat sama sekali tidak membuatku curiga. Untuk mengelabui orang lain, Dongfang Bubai sengaja memperlakukan aku dengan sangat baik. Setiap saat aku dimanjakan olehnya. Apa yang kukatakan selalu ia laksanakan. Apa yang kuminta selalu ia turuti. Sebab itulah di dalam aliran kami kedudukanku sangat dihormati.”

“Apakah orang-orang persilatan itu adalah anggota Sekte Matahari dan Bulan kalian?” tanya Linghu Chong.

“Tidak semuanya,” jawab Ren Yingying. “Hanya saja mereka memiliki hubungan dengan kami, juga ada di bawah pengaruh kami selamanya, karena sebagian besar pimpinan mereka sudah menelan Pil Penghancur Otak.”

Linghu Chong mendengus. Ia telah menyaksikan sendiri kejadian beberapa waktu yang lalu di Wisma Meizhuang. Ketika para pemuka Sekte Iblis seperti Bao Dachu, San Sanniang, dan yang lain melihat Pil Penghancur Otak di tangan Ren Woxing, mereka begitu ketakutan setengah mati. Teringat pada peristiwa tersebut membuat Linghu Chong hanya bisa mengernyitkan dahi.

“Sesudah menelan obat itu,” sambung Ren Yingying, “setiap satu tahun sekali mereka harus menelan obat penawarnya. Jika tidak, mereka tentu akan mati konyol bila racun yang terkandung dalam obat itu mulai bekerja. Dongfang Bubai memperlakukan orang-orang persilatan itu dengan sangat bengis. Sedikit saja tidak menyenangkan hatinya langsung tidak diberi obat penawar. Selalu saja aku yang harus memintakan ampun serta memintakan obat penawar untuk mereka.”

“O, ternyata demikian. Jadi kau adalah dewi penyelamat bagi mereka,” ujar Linghu Chong.

“Sebenarnya aku bukan dewi penyelamat apa-apa. Mereka yang menyembah-nyembah dan memohon-mohon kepadaku. Aku jadi tidak tega dan tidak bisa tinggal diam. Ternyata ini juga bagian dari rencana Dongfang Bubai untuk menipu para anggota Sekte. Ia ingin menunjukkan betapa dirinya sangat menaruh hormat kepadaku. Dengan demikian tidak ada yang akan curiga kalau ia telah merebut kedudukan Ayah dengan cara licik,” jawab Ren Yingying.

Linghu Chong manggut-manggut dan berkata, “Orang ini benar-benar ahli siasat yang cerdik.”

“Lama-lama aku merasa susah juga karena selalu memintakan pengampunan untuk mereka kepada Dongfang Bubai,” lanjut Ren Yingying. “Selain itu keadaan di dalam Sekte juga jauh berbeda dengan sebelumnya. Dongfang Bubai menghendaki dirinya disanjung puji tiap hari, dan itu terdengar sangat menjijikkan. Maka, musim semi tahun lalu aku mengajak keponakanku, Luzhuweng untuk menemaniku bertamasya. Akhirnya aku tertarik melihat Hutan Bambu Hijau di pinggiran Kota Luoyang yang tampak asri dan sepertinya nyaman untuk ditinggali. Maka aku pun menetap di sana dan tidak perlu lagi mengurusi masalah yang bukan tugasku, juga tidak perlu lagi mengucapkan sanjungan-sanjungan yang memalukan untuk Dongfang Bubai … Tak kusangka aku malah bertemu dirimu di sana.”

Gadis itu kemudian melirik ke arah Linghu Chong, terkenang saat-saat pertama kali mereka bertemu. Ia menghela napas dan dadanya terasa hangat. Sejenak kemudian ia melanjutkan, “Ribuan orang yang datang ke Biara Shaolin itu tidak semuanya pernah mendapat obat penawar dariku. Tapi bila salah seorang pemimpin mereka, atau keluarga mereka pernah menerima bantuanku, maka mereka merasa ikut berhutang budi. Lagipula kedatangan mereka ke Gunung Shaoshi juga belum tentu demi diriku. Bisa jadi mereka datang atas panggilan Pendekar Besar Linghu, dan mereka tidak berani mangkir.”

“Wah, baru setengah hari bergaul denganku kau sudah mahir memutar lidah,” kata Linghu Chong.

Ren Yingying mendengus, tapi kemudian tertawa riang. Selama ini di dalam Sekte Matahari dan Bulan, ia selalu diperlakukan bagaikan tuan putri. Setiap orang tidak berani membantah perintahnya dan hari-harinya pun penuh dengan sanjung puji. Namun sekarang bisa bersenda gurau dengan Linghu Chong, ini benar-benar pengalaman paling menggembirakan seumur hidup.

Selang sejenak Ren Yingying menunduk dan berkata, “Aku sangat senang mendengarmu memimpin orang sebanyak itu ke Biara Shaolin untuk menjemputku pulang. Tadinya orang-orang persilatan suka membicarakan diriku, bahwa aku jatuh hati padamu. Sementara kau adalah pemuda berandalan yang suka bermain cinta di sembarang tempat, sama sekali tidak menaruh perhatian padaku .…” sampai di sini suaranya menjadi lirih, “tapi setelah keributan di biara itu, paling tidak kau telah mengembalikan kehormatanku dalam pandangan mereka. Andai aku mati juga takkan … takkan menanggung tuduhan jelek lagi.”

Linghu Chong menjawab, “Ketika kau membawaku ke Biara Shaolin dan meminta pengobatan untukku, aku benar-benar tidak tahu sama sekali. Kemudian aku terkurung lama di penjara Wisma Meizhuang, di bawah Danau Barat. Setelah bebas, aku langsung terlibat urusan Perguruan Henshan. Begitu aku mengetahui permasalahanmu, aku pun langsung datang menjemputmu. Tapi kau sendiri sudah cukup banyak menderita.”

“Sebenarnya aku tidak menderita kesulitan apa-apa selama dikurung di gunung belakang Biara Shaolin. Aku disekap sendirian di sebuah rumah batu, dan setiap sepuluh hari datang seorang biksu tua mengantarkan kayu bakar dan beras untukku. Selain itu ada pula seorang pelayan wanita yang membantu memasak dan mencuci pakaianku. Tapi mereka berdua tidak tahu apa-apa dan juga tidak pernah bercerita apa-apa,” ujar Ren Yingying. “Sampai akhirnya Biksuni Dingxian dan Biksuni Dingyi datang ke Biara Shaolin. Kepala Biara mengundangku untuk menemui mereka berdua. Saat itu aku baru tahu kalau Kepala Biara ternyata tidak pernah mengajarkan Ilmu Pengubah Urat kepadamu. Aku pun marah karena merasa telah tertipu, dan memaki-maki biksu tua itu. Biksuni Dingxian lantas menenangkan amarahku dengan mengatakan bahwa kau dalam keadaan sehat dan selamat. Ia juga berkata bahwa dirimulah yang telah meminta mereka datang ke Biara Shaolin untuk memohon pembebasanku.”

“Sesudah mendengar demikian barulah kau tidak mencaci maki Kepala Biara lagi, begitu?” tanya Linghu Chong.

Ren Yingying menjawab, “Kepala Biara Shaolin itu hanya tersenyum saja meski aku telah mencaci maki dirinya. Ia berkata, ‘Nona, waktu itu biksu tua ini berjanji akan mengajarkan Ilmu Pengubah Urat kepada Pendekar Linghu untuk memusnahkan bermacam-macam hawa murni kacau di dalam tubuhnya, dengan syarat dia bersedia memasuki Perguruan Shaolin sehingga dapat menjadi muridku. Namun Pendekar Linghu menolak anjuranku, sehingga aku pun tidak dapat memaksanya. Lagipula sewaktu kau menggendong … sewaktu dia pertama kali datang ke sini, saat itu keadaannya sangat payah bagaikan di ujung tanduk. Namun ketika ia meninggalkan pegunungan ini, meskipun penyakitnya belum sembuh, tapi ia sudah bisa berjalan seperti biasa. Dalam hal ini Biara Shaolin juga sedikit berjasa kepadanya.’ Kupikir ucapannya benar juga. Aku lantas berkata, ‘Lalu, kenapa kau tetap menahanku di sini? Kau ini seorang biarawan, seorang biksu, kenapa seorang masih saja berbohong?’”

“Ya, dia memang tidak seharusnya menyembunyikan itu darimu,” ujar Linghu Chong.

“Tapi ia kemudian menyampaikan alasannya,” jawab Ren Yingying. “Biksu tua itu mengatakan bahwa aku ditahan di Biara Shaolin supaya dapat melenyapkan sifat kejiku. Huh, omong kosong!”

“Benar. Mana mungkin kau punya sifat keji?” ujar Linghu Chong menanggapi.

“Kau tidak perlu berkata-kata manis untuk menyenangkan diriku. Tentu saja aku memiliki sifat keji. Bahkan, sifatku ini sangat keji,” kata Ren Yingying. “Tapi kau tidak perlu khawatir. Aku tidak akan menggunakan sifat kejiku ini padamu.”

“Terima kasih banyak atas keistimewaan ini,” jawab Linghu Chong tersenyum.

Ren Yingying melanjutkan, “Aku berkata pada biksu tua itu, ‘Kau sudah begini tua, tapi suka membohongi kaum muda. Sungguh memalukan!’ Biksu tua itu menjawab, ‘Waktu itu kau sendiri yang rela berkorban jiwa raga demi keselamatan Pendekar Linghu. Meskipun kami urung menyembuhkan Pendekar Linghu, tapi kami juga tidak mengambil jiwamu. Dari kedua biksuni kami mendengar keadaan Pendekar Linghu kini baik-baik saja, bahkan ia telah melakukan banyak perbuatan kesatria di dunia persilatan. Sungguh aku ikut bahagia mendengarnya. Sekarang demi memandang muka emas Biksuni Dingxian dan Biksuni Dingyi, kau boleh pergi dari sini.’ Begitulah, aku lantas dibebaskan dan turun gunung bersama kedua tokoh Perguruan Henshan tersebut. Kemudian di bawah gunung kami mendengar kabar bahwa kau sedang dalam perjalanan memimpin ribuan orang menuju Biara Shaolin untuk menjemputku. Kedua biksuni merasa khawatir dan segera kembali ke atas gunung untuk mencegah terjadinya pertumpahan darah di kedua pihak. Tak disangka, kedua biksuni berbudi luhur itu justru meninggal di dalam Biara Shaolin.” Usai berkata demikian Ren Yingying menghela napas panjang penuh penyesalan. Tak terasa air matanya meleleh di pipi.

Linghu Chong ikut menghela napas dan berkata, “Benar, entah siapa orangnya yang telah menurunkan tangan keji kepada Beliau berdua itu? Pada tubuh kedua biksuni sama sekali tidak ditemukan tanda-tanda luka. Bagaimana cara mereka tewas juga tidak diketahui.”

“Siapa bilang tidak ada tanda luka?” sahut Ren Yingying. “Saat tiba di Biara Shaolin, Ayah, Paman Xiang, dan aku menemukan jasad kedua biksuni dan memeriksa mereka. Aku membuka pakaian mereka dan menemukan pada bagian ulu hati masing-masing terdapat suatu titik merah bekas tusukan jarum. Jelas mereka tewas karena tertusuk jarum.”

“Hah!” seru Linghu Chong melonjak kaget. “Jarum beracun? Di dunia persilatan saat ini, siapa yang memakai senjata jarum beracun?”

“Ayah dan Paman Xiang yang berwawasan luas juga tidak tahu. Menurut Ayah, itu bukan jarum beracun, tapi sejenis jarum baja yang ditusukkan ke titik penting sehingga korbannya mati seketika. Hanya saja tusukan ke ulu hati Biksuni Dingxian agak sedikit melenceng,” ujar Ren Yingying.

“Benar. Sewaktu aku menemukan Biksuni Dingxian, Beliau belum meninggal. Jika tusukan jarum itu mengarah ke ulu hati, maka jelas ini bukan serangan dari tempat gelap, tetapi pertarungan berhadap-hadapan. Tentu pembunuh kedua biksuni itu seorang ahli silat yang sakti luar biasa,” kata Linghu Chong.

“Ya, ayahku pun berkata demikian. Dengan beberapa petunjuk yang kita temukan itu, rasanya tidak sulit kalau kita ingin mencari pembunuh kedua biksuni,” ujar Ren Yingying.

Tiba-tiba Linghu Chong memukul dinding gua dan berkata, “Yingying, selama kita masih bernapas, kita harus membalas dendam bagi kedua biksuni yang baik hati itu.”

“Tentu saja,” sahut Ren Yingying mantap.

Sambil bertumpu pada dinding gua, Linghu Chong merasa kaki dan tangannya dapat bergerak leluasa. Dadanya juga tidak terasa sakit, membuatnya menjadi heran, “Aneh, dadaku telah ditendang begitu keras oleh Guru, kenapa sepertinya tidak terluka sama sekali?”

Ren Yingying menjawab, “Kata ayahku, kau telah mempelajari Jurus Penyedot Bintang dan menghisap banyak tenaga dalam orang lain. Maka, kekuatanmu kini sudah jauh melebihi gurumu. Namun karena kau tidak mau mengerahkan tenaga untuk melawan tendangan gurumu, akibatnya kau pun muntah darah. Meski begitu, tanpa kau sadari tenaga dalammu yang melimpah itu telah melindungi tubuhmu sehingga lukamu hanyalah luka ringan. Setelah Paman Xiang mengurut-urut tubuhmu, hawa murni dalam tubuhmu bangkit dengan sendirinya sehingga kau bisa sembuh dalam waktu singkat. Hanya saja, kenapa tulang kaki gurumu itu sampai patah benar-benar sangat aneh. Selama setengah hari Ayah memikirkan hal ini namun tetap tidak menemukan duduk perkaranya.”

“Tenaga dalamku sangat kuat, sehingga menggetarkan kembali tendangan Guru dan mematahkan tulang kaki Beliau. Kenapa hal ini kau bilang aneh?” ujar Linghu Chong.

“Bukan begitu,” sahut Ren Yingying, “kata Ayah, tenaga dalam yang berasal dari hasil menghisap orang lain memang bisa untuk melindungi dirimu, namun tidak bisa untuk menyerang lawan kecuali kalau kau sengaja mengerahkannya. Dibandingkan dengan tenaga dalam yang asli hasil latihan sendiri juga masih kalah setingkat.”

“Ternyata demikian,” kata Linghu Chong. Karena tidak paham permasalahannya, ia pun tidak mau berpikir lebih dalam lagi. Ia hanya merasa bersalah karena telah mematahkan tulang kaki Sang Guru, juga telah membuatnya kehilangan muka di hadapan para jago papan atas dunia persilatan.

Untuk sekian lama mereka saling pandang tanpa bersuara. Suasana sunyi senyap, hanya kadang-kadang terdengar suara letupan kayu bakar yang berkobar di luar gua. Tampak bunga-bunga salju bertaburan dengan lebatnya, jauh lebih lebat daripada hujan salju di atas Gunung Shaoshi kemarin.

Tiba-tiba Linghu Chong mendengar suara orang bernapas dengan berat dari arah sebelah barat mulut gua. Segera ia memasang telinga untuk mendengarkan lebih cermat. Tenaga dalam Ren Yingying tidak setinggi Linghu Chong, sehingga tidak dapat mendengar suara itu. Namun begitu melihat perubahan wajah pemuda itu ia lantas bertanya, “Kau mendengar suara apa?”

“Seperti suara orang bernapas, entah napas siapa ini? Tapi suara napas ini agak terengah-engah. Sepertinya bukan orang berilmu tinggi,” sahut Linghu Chong. “Di mana ayahmu?”

“Ayah dan Paman Xiang berkata mereka ingin jalan-jalan keluar,” kata Ren Yingying dengan wajah merah. Ia tahu maksud ayahnya pergi adalah sengaja memberi kesempatan padanya agar bisa leluasa mengobrol dengan Linghu Chong setelah siuman, untuk melepas rindu setelah lama tidak bertemu.

Sementara itu Linghu Chong kembali mendengar suara orang bernapas berat, “Mari kita keluar untuk melihatnya!”

Keduanya pun keluar gua. Terlihat bekas telapak kaki Ren Woxing dan Xiang Wentian sudah hampir lenyap tertutup salju.

“Dari arah sana datangnya suara napas itu,” kata Linghu Chong sambil menunjuk ke arah jejak-jejak tersebut. Segera mereka mengikuti jejak kaki itu, kira-kira satu-dua li jauhnya. Setelah berbelok di suatu lembah, tiba-tiba di atas terlihat Ren Woxing dan Xiang Wentian berdiri sejajar bergandeng tangan tanpa bergerak di atas tanah berlapis salju.

Ren Yingying berseru, “Ayah!” Ia pun menjulurkan tangan untuk memegang sebelah tangan Ren Woxing. Tak disangka, begitu menyentuh tangan sang ayah, seluruh tubuh Ren Yingying langsung tergetar. Terasa olehnya suatu arus hawa mahadingin mengalir keluar dari tangan sang ayah.

“Ayah, kau … kau kenapa ….” belum habis ia berkata, badannya sudah menggigil kedinginan. Tapi ia segera paham duduk permasalahannnya. Sewaktu turun gunung tadi ayahnya telah bercerita bahwa tenaga dalam mahadingin Zuo Lengchan pada pertandingan tadi masih bersarang di tubuhnya. Ren Woxing sejak tadi berusaha menahan diri, namun kini akhirnya tidak tahan juga, dan hawa dingin pun menyeruak keluar dari tubuhnya. Xiang Wentian saat ini pasti sedang membantunya melawan serangan hawa dingin tersebut dengan segenap tenaga.

Mula-mula Linghu Chong juga tidak paham. Dari cahaya yang terpantul melalui kepingan bunga-bunga salju, ia bisa melihat wajah Ren Woxing dan Xiang Wentian sangat serius. Menyusul kemudian Ren Woxing bernapas lagi beberapa kali dengan terengah-engah. Baru sekarang ia paham suara napas berat yang didengarnya tadi ternyata berasal dari orang tua itu.

Ketika melihat tubuh Ren Yingying menggigil kedinginan, tanpa pikir panjang ia lantas memegang tangan gadis itu. Sekejap saja hawa dingin pun mengalir masuk ke dalam tubuhnya. Seketika ia langsung paham bahwa Ren Woxing telah terserang oleh hawa dingin Zuo Lengchan dan sekarang sedang mengerahkan tenaga untuk memusnahkan hawa dingin tersebut. Pikirannya segera melayang mengingat cara yang pernah dipelajarinya dari ukiran rumus pada lempengan dipan besi di penjara Danau Barat tempo hari. Perlahan-lahan ia pun menggunakan cara tersebut untuk membuyarkan hawa dingin yang mengalir masuk ke dalam tubuhnya.

Begitu mendapat bantuan Linghu Chong, hati Ren Woxing merasa lega. Maklum, tenaga dalam Xiang Wentian dan Ren Yingying hanya bisa membantu melawan hawa dingin itu, namun mereka berdua tidak mengetahui cara untuk membuyarkannya. Sejak tadi Ren Woxing berusaha keras menaikkan suhu tubuhnya agar tidak membeku, sehingga pada akhirnya ia sudah tidak mempunyai tenaga lagi untuk membuyarkan hawa dingin tersebut. Semakin bertahan semain ia merasa kelelahan. Dengan bantuan Linghu Chong yang datang tepat waktu, sedikit demi sedikit hawa murni mahadingin Zuo Lengchan yang menyusup ke dalam tubuh Ren Woxing dapat dihisap keluar dan dibuyarkan olehnya.

Keempat orang itu pun berdiri kaku dan bergandeng tangan di tanah bersalju seperti patung. Hujan salju masih terus turun dengan lebatnya sehingga lambat laun kepala, tangan, pakaian, sampai kaki mereka tertutup semua oleh lapisan es.

Sambil mengerahkan tenaga Linghu Chong merasa heran kenapa bunga salju yang menimpa tubuhnya itu tidak meleleh, sebaliknya justru menempel dan membeku serta semakin lama semakin tebal. Ia tidak tahu kalau tenaga dalam mahadingin yang dikuasai Zuo Lengchan itu sangat ampuh. Hawa dingin tersebut jauh lebih dingin daripada salju. Kini kulit dan daging mereka berempat sudah sedingin es, dan hanya organ tubuh bagian dalam saja yang masih hangat. Sebab itulah bunga salju yang menimpa mereka tidak meleleh, bahkan makin berlapis dan semakin keras. Bisa dikatakan, bunga salju yang jatuh dari langit lebih cepat menyelimuti mereka berempat daripada menimbun tanah.

Selang agak lama, hari sudah berangsur-angsur terang, tapi hujan salju masih turun dengan lebatnya. Linghu Chong khawatir tubuh wanita Ren Yingying tidak tahan terhadap serangan hawa dingin terus-menerus dalam waktu lama. Namun ia merasa racun dingin di tubuh Ren Woxing juga belum terkuras habis. Meskipun suara napas orang tua itu tidak lagi terengah-engah, namun ia tidak berani menghentikan pertolongan karena khawatir akan terjadi hal yang membahayakan. Untungnya ia dapat merasakan tangan Ren Yingying meskipun masih sangat dingin namun sudah tidak menggigil lagi. Samar-samar ia dapat pula merasakan denyut nadi pada telapak tangan gadis itu.

Mereka berempat terbungkus oleh salju yang tebal seperti boneka salju. Pada bagian mata masing-masing juga tertutup salju beberapa senti. Samar-samar Linghu Chong hanya bisa merasakan hari sudah pagi, namun tetap tidak bisa melihat apa-apa. Tanpa menghiraukan urusan lain ia terus mengerahkan tenaganya, berharap racun dingin di tubuh Ren Woxing bisa lekas-lekas dikeluarkan seluruhnya dari delapan pembuluh Qijing, kemudian dipaksanya keluar melalui titik-titik Shaoshang, Shangyang, dan titik-titik lain pada jari tangan.

Tiba-tiba dari arah timur laut terdengar suara derap kaki kuda yang makin lama makin mendekat. Kemudian terdengar jelas bahwa yang datang ada dua ekor kuda sedang berlari, yang satu di depan dan yang satu lagi di belakang. Selanjutnya terdengar suara salah seorang penunggangnya berteriak, “Adik, Adik, tunggu dulu! Dengarkan aku dulu!”

Meskipun kedua telinganya tertutup salju tebal, Linghu Chong dapat mendengar dengan jelas bahwa suara itu tidak lain adalah suara Yue Buqun, gurunya sendiri. Terdengar Yue Buqun kembali berseru, “Kau tidak paham seluk-beluk permasalahannya langsung marah-marah. Hendaknya kau dengarkan dulu penjelasanku.”

Lalu terdengar Ning Zhongze berkata, “Aku sedang kesal sendiri, untuk apa kau mengurusiku? Memangnya apa lagi yang perlu dijelaskan?”

Suara seruan mereka serta derap kaki kedua ekor kuda itu semakin mendekat. Tampaknya Ning Zhongze berada di depan dan Yue Buqun menyusul di belakang. Linghu Chong menjadi heran dan berpikir, “Perangai Ibu Guru biasanya sangat halus dan jarang bertengkar dengan Guru. Entah mengapa Guru kali ini bisa membuatnya sangat tersinggung?”

Terdengar kuda sang ibu-guru semakin mendekat. Tiba-tiba terdengar Ning Zhongze berseru heran, “Hah?” Menyusul kemudian kudanya meringkik panjang, mungkin karena mendadak ia menahan tali kendali sehingga kudanya itu berhenti dengan kedua kaki depan terangkat.

Selang sejenak Yue Buqun telah menyusul tiba dan berkata, “Di tanah pegunungan yang sepi ini ternyata ada yang membuat empat boneka salju. Adik, boneka-boneka salju ini bagus sekali dan mirip manusia asli”

“Hm,” Ning Zhongze hanya mendengus tanpa menjawab. Mungkin rasa marahnya belum reda. Tapi yang jelas, dalam hati ia sangat tertarik kepada empat boneka salju tersebut dan tadi secara mendadak ia menghentikan kudanya juga karena terkejut melihat pemandangan itu.

Linghu Chong merasa heran, “Bagaimana ada empat boneka salju di tanah pegunungan sepi ini?” Tapi ia segera paham, “Benar juga, tubuh kami berempat tertutup lapisan salju sedemikian tebalnya sehingga Guru dan Ibu Guru menyangka kami adalah empat boneka salju. Ini gawat. Kalau Guru mengetahui yang sesungguhnya, tentu ia akan langsung menusuk kami sampai mati.”

Terdengar Yue Buqun berkata, “Di sini tidak terdapat jejak kaki. Sepertinya keempat boneka salju ini sudah dibuat beberapa hari yang lalu. Adik, coba kau lihat, bukankah tiga di antaranya seperti laki-laki dan yang satu seperti perempuan?”

“Bagiku keempatnya sama saja. Bagaimana kau tahu itu laki-laki dan perempuan?” ujar Ning Zhongze. Ia lalu membentak kudanya hendak kembali melaju.

Namun Yue Buqun segera menahan tali kekang kuda istrinya dan berkata, “Adik, kenapa kau terburu-buru? Di sini tidak ada orang lain. Mari kita bicara panjang lebar.”

“Terburu-buru apa? Aku hanya ingin pulang ke Gunung Huashan. Kalau kau lebih suka menjilat kepada Zuo Lengchan, silakan kau pergi sendiri saja ke Gunung Songshan,” sahut Ning Zhongze.

“Siapa bilang aku menjilat Zuo Lengchan? Sebagai Ketua Perguruan Huashan yang terhormat, untuk apa aku harus tunduk kepada Perguruan Songshan?” ujar Yue Buqun.

Ning Zhongze berkata, “Maka itu, aku justru tidak paham mengapa sebagai Ketua Perguruan Huashan kau justru menunduk-nunduk begitu saja di hadapan Zuo Lengchan dan mematuhi setiap perintahnya? Sekalipun dia adalah pimpinan dari Serikat Pedang Lima Gunung, tapi seharusnya tidak boleh mencampuri urusan rumah tangga Perguruan Huashan kita. Bila kelima perguruan dilebur menjadi satu, lantas apakah nama Perguruan Huashan masih tetap ada di dunia persilatan? Dulu sewaktu Guru menyerahkan jabatan ketua padamu, wasiat apa yang Beliau katakan?”

“Guru menghendaki agar aku mengembangkan kejayaan Perguruan Huashan,” sahut Yue Buqun.

“Nah, itu dia. Sekarang bila kau menggabungkan Perguruan Huashan ke dalam Perguruan Songshan, lalu bagaimana kau akan bertanggung jawab kepada mendiang guru kita di alam sana? Pepatah mengatakan, lebih baik menjadi paruh ayam daripada menjadi pantat kerbau. Biarpun perguruan kita kecil tapi lebih baik mandiri daripada bersandar kepada orang lain,” desak Ning Zhongze.

Yue Buqun menghela napas, “Adik, menurut pendapatmu, bagaimana kepandaian Biksuni Dingxian dan Biksuni Dingyi dari Perguruan Henshan jika dibandingkan dengan kita?”

“Kita tidak pernah bertanding melawan mereka. Tapi kurasa hampir sama. Untuk apa kau tanya soal itu?” sahut Ning Zhongze.

“Aku pun berpendapat demikian. Kedua biksuni itu tewas di Biara Shaolin. Jelas Zuo Lengchan yang telah membunuh mereka,” kata Yue Buqun.

Linghu Chong tergetar mendengarnya. Ia memang mencurigai Zuo Lengchan telah membunuh kedua pimpinan Perguruan Henshan tersebut, karena orang lain rasanya tidak mungkin memiliki kepandaian setinggi itu. Meskipun ilmu silat Mahabiksu Fangzheng dan Pendeta Chongxu juga tinggi, namun watak mereka yang berbudi luhur tidak mungkin membunuh kedua biksuni secara diam-diam. Sebaliknya, Zuo Lengchan sudah terkenal kelicikannya. Apalagi Perguruan Songshan sebelumnya sudah berselisih dengan pihak Perguruan Henshan, dan menyebabkan kematian Biksuni Dingjing. Mereka tidak berhasil memaksa Bikusni Dingxian dan Biksuni Dingyi menyerah kalah di Lembah Tempa Pedang, sehingga kini Zuo Lengchan sendiri yang turun tangan. Ren Woxing yang cerdik dan berilmu tinggi saja bisa dipecundangi olehnya, apalagi kedua biksuni yang polos dan welas asih itu, tentu saja bukan tandingannya.

“Lantas bagaimana jika itu memang perbuatan Zuo Lengchan?” ujar Ning Zhongze. “Bila kau punya bukti nyata, seharusnya kau undang seluruh kesatria aliran lurus untuk bersama-sama mendatangi Zuo Lengchan dan membalaskan sakit hati kedua biksuni.”

Kembali Yue Buqun menghela napas, “Pertama, kita tidak punya bukti. Kedua, kekuatan kita tidak cukup untuk melawannya.”

“Mengapa tidak cukup untuk melawannya?” sahut Yue Buqun. “Kita dapat meminta bantuan Mahabiksu Fangzheng dari Biara Shaolin dan Pendeta Chongxu dari Perguruan Wudang. Apakah Zuo Lengchan masih berani?”

“Tapi sebelum Beliau berdua itu dapat kita undang, aku khawatir kita suami istri sudah mengalami nasib seperti kedua biksuni itu,” ujar Yue Buqun.

“Maksudmu kita akan dibunuh juga oleh Zuo Lengchan, begitu?” sahut Ning Zhongze. “Hm, sebagai orang persilatan kenapa harus takut menghadapi kematian? Kalau takut harimau di depan, takut serigala di belakang, bagaimana kau bisa malang melintang di dunia persilatan?”

Diam-diam Linghu Chong merasa kagum luar biasa mendengar ucapan sang ibu-guru. Ia berpikir, “Meskipun kaum wanita, tapi jiwa kesatria Ibu Guru melebihi para laki-laki.”

Terdengar Yue Buqun menjawab, “Kau dan aku tidak takut mati, tapi bagaimana kalau Zuo Lengchan membunuh kita secara licik? Tiba-tiba saja kita berdua mati dengan seluk-beluk tidak jelas. Akhirnya, dia tetap saja melebur Serikat Pedang Lima Gunung. Bahkan, tidak mustahil dia justru menjatuhkan fitnah keji kepada kita.”

Ning Zhongze hanya terdiam mendengarnya.

Yue Buqun melanjutkan, “Bila kita mati, maka murid-murid Perguruan Huashan tentu akan menjadi sasaran empuk Zuo Lengchan. Mana mungkin mereka sanggup melawannya? Pendek kata, bagaimanapun juga kita harus memikirkan nasib Shan’er.”

Ning Zhongze berdehem perlahan. Sepertinya ia mulai terpengaruh oleh kata-kata sang suami. Selang sejenak baru berkata, “Baiklah, sementara ini kita tidak perlu membongkar tipu muslihat Zuo Lengchan. Kita tetap berpura-pura menurut padanya, sambil menunggu kesempatan yang baik untuk bertindak.”

“Kau setuju dengan kata-kataku, itu bagus sekali,” ujar Yue Buqun. “Sayang sekali Kitab Pedang Penakluk Iblis telah dicuri oleh bangsat cilik Linghu Chong. Andai saja ia mau mengembalikannya kepada Pingzhi, tentu semua murid Huashan dapat bersama-sama memelajarinya. Dengan demikian kita tidak perlu takut lagi kepada Zuo Lengchan. Perguruan Huashan kita sekarang dalam keadaan lemah. Bagaimana kita bisa bertahan?”

“Kenapa kau masih saja menuduh Chong’er sebagai pencuri hanya karena ilmu pedangnya maju pesat?” sahut Ning Zhongze ketus. “Bukankah di Biara Shaolin kita mendengar sendiri Pendeta Chongxu berkata bahwa ilmu pedang Chong’er yang luar biasa itu adalah hasil didikan Paman Guru Feng? Meskipun Paman Guru Feng berasal dari Kelompok Pedang, namun Beliau tetaplah orang Perguruan Huashan. Soal Chong’er bergaul dengan aliran sesat memang patut kita salahkan. Tapi bagaimanapun juga kita juga salah telah menuduhnya mencuri Kitab Pedang Penakluk Iblis. Jika kau tidak percaya kepada Mahabiksu Fangzheng dan Pendeta Chongxu, lantas siapa lagi di dunia ini yang bisa kau percaya?”

Linghu Chong sangat bersyukur mendengar ucapan sang ibu-guru yang terus-menerus membelanya. Rasanya ingin sekali ia keluar dan menyembah wanita itu. Namun tiba-tiba ia merasa kepalanya ditepuk oleh seseorang beberapa kali. “Celaka, mungkin persembunyian kami sudah ketahuan oleh mereka. Selagi racun dingin pada tubuh Ketua Ren belum musnah sama sekali, apa yang harus kulakukan jika Guru dan Ibu Guru menyerangku?” pikirnya. Ia merasa tenaga dalam yang tersalur dari tangan Ren Yingying juga tergetar beberapa kali. Sepertinya perasaan Ren Woxing juga tidak tenteram. Tapi sesudah kepalanya ditepuk orang, ternyata tidak ada kejadian lain lagi.

Terdengar Ning Zhongze berkata, “Kemarin sewaktu kau bertanding dengan Chong’er, berulang-ulang kau memainkan jurus-jurus Kembalinya Si Anak Hilang, Cemara Tua Menyambut Tamu, Nong Yu Meniup Seruling, dan Xiao Shi Menunggang Naga. Apa maksud semua itu?”

“Hehe, meskipun kelakuan bangsat cilik itu tidak senonoh, tapi bagaimanapun juga dia adalah anak yang kita pungut sejak kecil, rasanya sayang juga jika melihat dia sampai tersesat,” jawab Yue Buqun. “Bila dia mau kembali ke jalan yang benar, maka aku bersedia menerimanya kembali di Perguruan Huashan.”

“Lalu bagaimana dengan tiga jurus yang lainnya?” tanya Ning Zhongze.

“Kau sudah tahu, mengapa masih bertanya?” balas Yue Buqun.

“Jika Chong’er kembali ke Huashan, kau akan menjodohkannya dengan Shan’er, begitu?” tanya Ning Zhongze.

“Ya, memang,” sahut Yue Buqun.

“Isyarat yang kau mainkan melalui jurus waktu itu hanya sebagai siasat supaya menang, ataukah memang benar-benar tulus dari hati?” Ning Zhongze kembali bertanya.

Yue Buqun tidak menjawab. Lagi-lagi Linghu Chong merasa kepalanya diketuk-ketuk perlahan oleh seseorang. Maka ia pun paham pasti itu tangan Sang Guru yang tadi menepuk-nepuk kepalanya, dan sekarang mengetuk-ketuk lagi sambil berpikir. Jadi sama sekali bukan karena keberadaan mereka berempat telah ditemukan.

Sejenak kemudian baru terdengar Yue Buqun berkata, “Perkataan seorang laki-laki teguh bagaikan gunung. Sekali aku menyanggupi tentu tidak akan kuingkari.”

“Dia jatuh hati kepada perempuan siluman dari Sekte Iblis itu. Apa kau tidak tahu?” tanya Ning Zhongze.

“Tidak, terhadap perempuan siluman itu ia hanya berterima kasih dan membalas budi,” ujar Yue Buqun. “Apa kau tidak dapat membandingkan bagaimana sikapnya terhadap Shan’er dan terhadap perempuan siluman itu?”

“Sudah tentu aku dapat melihatnya. Jadi kau yakin dia masih belum bisa melupakan Shan’er?” lanjut Ning Zhongze.

“Bukan hanya tidak bisa lupa, bahkan boleh dikata ia sangat merindukan Shan’er siang malam,” jawab Yue Buqun. “Begitu dia memahami makna dari jurus-jurusku, seketika wajahnya langsung berubah. Apa kau tidak menyaksikan betapa gembira raut mukanya, bagaikan mendapat durian runtuh?”

“Justru karena itu, maka kau menggunakan Shan’er sebagai umpan untuk memancingnya agar sengaja mengalah kepadamu, bukan?” balas Ning Zhongze.

Meskipun telinganya tertutup salju, namun Linghu Chong dapat mendengar kata-kata ibu-gurunya yang terdengar ketus dan marah. Padahal nada demikian itu selamanya tidak pernah diucapkan oleh Ning Zhongze terhadap suaminya. Sejak kecil Linghu Chong selalu diperlakukan seperti anak kandung oleh Yue Buqun suami-istri, sehingga tidak ada rahasia apa pun yang disembunyikan darinya. Dalam urusan rumah tangga, tidak jarang Linghu Chong menyaksikan ibu-gurunya bertengkar dengan sang guru. Namun dalam urusan perguruan, bagaimanapun juga wanita itu selalu menghormati kedudukan suaminya sebagai Ketua Perguruan Huashan dan tidak pernah membantah. Tapi sekarang ia sampai mengucapkan kata-kata bernada menyindir seperti tadi, pertanda rasa tidak senangnya terhadap perbuatan sang suami sudah terlalu besar.

Terdengar Yue Buqun menghela napas panjang, lalu berkata, “Ternyata kau tidak paham maksud dan tujuanku, apalagi orang luar? Padahal itu semua bukan untuk kepentingan diriku pribadi, tetapi demi kehormatan Perguruan Huashan kita. Jika aku dapat menyadarkan Linghu Chong sehingga dia meninggalkan jalan sesat dan kembali ke dalam Perguruan Huashan, maka ini berarti kita akan mendapat empat keuntungan. Suatu hal yang sangat bagus.”

“Mendapat empat keuntungan bagaimana?” tanya Ning Zhongze.

Yue Buqun menjawab, “Ilmu pedang Linghu Chong sangat bagus melebihi diriku. Entah ia mendapatkannya dari Kitab Pedang Penakluk Iblis, entah ia mendapatkannya dari Paman Guru Feng, bagiku tidak masalah. Jika dia kembali ke Perguruan Huashan, itu berarti wibawa perguruan kita akan bertambah cemerlang, ini adalah keuntungan pertama. Selanjutnya, tipu muslihat Zuo Lengchan untuk mencaplok Perguruan Huashan tentu sukar terlaksana. Bahkan Perguruan Taishan, Hengshan, dan Henshan juga bisa diselamatkan, ini adalah keuntungan kedua. Jika dia kembali ke Perguruan Huashan, itu berarti golongan lurus akan bertambah satu jago kelas satu, sedangkan pihak aliran sesat akan kehilangan seorang pembantu yang berilmu tinggi, ini adalah keuntungan ketiga. Betul, tidak?”

Ning Zhongze seperti tertarik oleh uraian sang suami. Ia lalu bertanya, “Lalu, apa keuntungan yang keempat?”

“Keuntungan keempat ini lebih meyakinkan lagi. Kita tidak memiliki anak laki-laki, dan kita telah mengasuh Chong’er sejak kecil bagaikan anak kandung sendiri. Melihatnya tersesat ke jalan yang salah sesungguhnya aku merasa sangat sedih. Usiaku sudah lanjut, apa artinya nama besar bagiku di dunia fana ini? Asalkan dia bisa kembali ke jalan yang benar, maka kita sekeluarga dapat berkumpul lagi dengan bahagia. Bukankah ini suatu peristiwa yang menggembirakan?” ujar Yue Buqun.

Mendengar sampai di sini, Linghu Chong sangat terharu sehingga air matanya berlinang-linang. Hampir saja ia berteriak, “Guru, Ibu Guru!” Namun untungnya tangan Ren Yingying yang digenggamnya itu agak bergetar sehingga suaranya pun tertahan tidak sampai keluar.

“Shan’er dan Pingzhi sangat cocok satu sama lain. Apa kau tega memisahkan mereka dan membuat Shan’er bersedih seumur hidup?” tanya Ning Zhongze.

“Apa yang kulakukan ini adalah demi kebaikan Shan’er juga,” sahut Yue Buqun.

“Demi kebaikan Shan’er? Padahal Pingzhi selalu bersikap sopan, juga rajin dan telaten. Kurang baik bagaimana?” balas Ning Zhongze.

“Meskipun Pingzhi sangat giat belajar, tapi kalau dibandingkan Linghu Chong sungguh bagaikan langit dan bumi. Biarpun naik kuda seumur hidup juga tidak mampu menyusulnya,” jawab Yue Buqun.

“Apakah memiliki ilmu silat yang tinggi pasti menjadi suami yang baik?” tanya Ning Zhongze. “Aku memang mengharapkan Chong’er bisa meninggalkan jalan yang sesat dan kembali ke dalam perguruan kita. Tapi dia suka angin-anginan dan berbuat onar. Dia juga gemar mabuk-mabukan dan ugal-ugalan. Bagaimanapun juga kebahagiaan Shan’er tidak boleh dikorbankan.”

Mendengar ucapan sang ibu-guru, seketika Linghu Chong berkeringat dingin. Ia berpikir, “Penilaian Ibu Guru atas diriku memang tepat. Tapi … tapi bila aku dapat menikahi Adik Kecil, mana mungkin aku akan membuatnya kecewa? Tidak mungkin! Sama sekali tidak. Kalau aku harus menaati peraturan, maka akan kutaati. Kalau aku harus berhenti minum arak, maka akan kupenuhi.”

Yue Buqun kembali menghela napas dan berkata, “Tapi usahaku percuma saja. Bangsat cilik itu sudah terjerumus terlalu dalam. Apa yang kita bicarakan ini sia-sia belaka. Adik, apakah kau masih marah padaku?”

Ning Zhongze tidak menjawab. Selang sejenak baru ia berkata, “Apakah kakimu masih sakit?”

“Hanya luka luar saja, tidak terlalu parah,” jawab Yue Buqun. “Adik, mari kita pulang ke Huashan!” Menyusul kemudian terdengar suara kaki kuda mereka mulai berjalan di atas tanah bersalju, yang makin lama semakin menjauh.

Linghu Chong dan Ren Yingying mengobrol di gua.

Usaha memusnahkan hawa dingin dari tubuh Ren Woxing.
 
Yue Buqun dan Ning Zhongze di dekat empat boneka salju.

(Bersambung)