Bagian 115 - Pertemuan Dua Ilmu Pedang

Ren Yingying diburu Yue Buqun.

Linghu Chong sangat terkejut mendengar orang yang ditawan oleh para anggota Sekte Iblis itu ternyata ibu-gurunya sendiri. Ia bermaksud menerjang keluar untuk menolong, tapi segera teringat bahwa dirinya sedang tidak membawa pedang. Tanpa pedang di tangan jelas kepandaiannya tidak cukup untuk menandingi tokoh-tokoh semacam Tetua Ge dan Tetua Du itu. Maka, ia hanya bisa menunggu lebih lanjut di tempat persembunyian dengan perasaan khawatir.

Kemudian terdengar Tetua Du bertanya, “Kenapa tidak boleh?”

Tetua Ge menjawab, “Ilmu pedang Nyonya Yue sangat bagus. Entah bagaimana Saudara Du dapat menangkapnya? Ah, pasti kau memakai obat bius, bukan?”

Tetua Du tertawa menjawab, “Perempuan ini masuk ke dalam rumah makan dalam keadaan bingung seperti orang linglung. Tanpa banyak pikir ia lantas meminum semangkuk teh. Orang-orang sering memuji betapa hebat Pendekar Wanita Ning Zhongze, istri Yue Buqun. Hm, ternyata dia begini ceroboh.”

Linghu Chong sangat gusar dalam hati, “Ibu Guru pasti sudah mendengar putri tersayangnya mendapat luka dan hilang entah ke mana. Sudah berhari-hari Ibu Guru mencari Adik Kecil dan tidak menemukan jejaknya, mana mungkin tidak bingung? Huh, berani-beraninya kalian menyebutnya ceroboh? Sebentar lagi aku akan keluar untuk membinasakan kalian semua dan menolong Ibu Guru.” Setelah terdiam sejenak ia kembali merenung, “Tapi bagaimana caraku menghadapi mereka kalau di tanganku tidak ada pedang? Sebaiknya aku merebut salah satu pedang dari mereka. Tapi kalau tidak ada pedang, golok pun jadi.”

Terdengar Tetua Ge berkata, “Setelah istri Yue Buqun berhasil kita bekuk, maka segala urusan menjadi mudah. Saudara Du, persoalan yang harus kita pikirkan saat ini adalah bagaimana cara memancing Yue Buqun agar datang kemari?”

“Juga bagaimana selanjutnya jika dia sudah terpancing kemari?” tanya Tetua Du.

Tetua Ge merenung sejenak, lalu menjawab, “Kita gunakan istrinya sebagai sandera dan kita paksa dia menyerah. Suami-istri Yue terkenal sangat rukun dan serasi, sudah tentu dia tidak akan berani membangkang.”

“Apa yang disampaikan Saudara Ge sangat masuk akal,” kata Tetua Du. “Tapi aku khawatir kalau-kalau Yue Buqun ternyata berhati kejam. Cintanya kepada sang istri ternyata tidak mendalam, dan tidak setia pula. Kalau demikian bisa jadi urusan kita menjadi runyam.”

“Ini memang … memang … eh, bagaimana pendapatmu, Saudara Xue?” tanya Tetua Ge tiba-tiba.

Si marga Xue menjawab, “Di hadapan kedua tetua, hamba merasa tidak berhak banyak bicara dan ikut perintah saja.”

Sampai di sini tiba-tiba dari arah barat terdengar suara orang bertepuk tangan tiga kali.

“Ah, Tetua Bao sudah datang,” ujar Tetua Du.

Dalam sekejap saja tampak dua orang datang berlari dari arah barat dengan kecepatan luar biasa.

“Tetua Mo juga ikut,” kata Tetua Ge.

Melihat itu Linghu Chong mengeluh dalam hati, “Mendengar cara mereka berlari, sepertinya kedua orang yang baru datang ini memiliki kepandaian yang lebih tinggi daripada si marga Ge dan Du. Entah bagaimana caraku bisa menyelamatkan Ibu Guru dengan tangan kosong?”

Terdengar Tetua Ge berkata, “Saudara Du telah berjasa besar. Ia berhasil menangkap istri Yue Buqun.”

“Bagus sekali, bagus sekali! Kalian sudah bekerja keras,” kata seorang tetua yang baru datang itu senang.

Tetua Ge menjawab, “Ini semua berkat jasa Saudara Du.”

Linghu Chong merasa suara gembong Sekte Iblis yang baru datang itu seperti sudah dikenalnya. “Mungkinkah aku pernah bertemu dengannya di Tebing Kayu Hitam?” Ia lantas mengerahkan tenaga dalam agar dapat mendengar lebih jelas suara percakapan orang-orang itu, namun sama sekali tidak berani melongok keluar untuk mengintai. Ia sadar gembong-gembong Sekte Iblis ini rata-rata berilmu tinggi, sehingga sedikit saja dirinya bergerak pasti akan langsung ketahuan.

Sementara itu, Tetua Ge terdengar berkata, “Saudara Bao dan Saudara Mo, kami di sini sedang berunding bagaimana cara memancing Yue Buqun kemari agar kita dapat menangkap dan membawanya ke Tebing Kayu Hitam.”

“Lalu bagaimana rencana kalian?” tanya seorang sesepuh yang baru datang itu.

Tetua Ge menjawab, “Kami belum menemukan cara yang tepat. Mungkin Saudara Bao dan Saudara Mo ada saran?”

Tetua yang tadi berkata, “Ketika orang-orang Serikat Pedang Lima Gunung bertanding di Puncak Songshan memperebutkan jabatan ketua, Yue Buqun telah membutakan mata Zuo Lengchan. Setelah kejadian itu tak seorang pun yang berani lagi menantangnya. Konon ia telah mendapatkan Jurus Pedang Penakluk Iblis yang asli dari Keluarga Lin, dan ilmu silatnya kini sangat lain daripada yang lain. Maka itu, jangan sekali-kali kita memandang remeh kepadanya.”

“Benar, dengan kekuatan kita berempat rasanya belum tentu kita kalah, juga belum tentu kita menang,” ujar Tetua Du.

Tetua Mo berkata, “Aku rasa Tetua Bao tentu sudah memiliki rencana bagus. Tolong katakan saja pada kami.”

Tetua Bao menyahut, “Sebenarnya aku memang mendapat suatu akal, tapi hanya akal biasa. Aku khawatir hanya menjadi bahan tertawaan kalian.”

“Mana mungkin? Tetua Bao terkenal sebagai gudang akal agama kita. Rencanamu pasti sangat bagus,” seru Tetua Mo, Ge, dan Du bersama-sama.

“Rencanaku ini sebenarnya hanya suatu akal bodoh,” ujar Tetua Bao. “Kita gali saja sebuah liang yang dalam, lalu di atasnya kita tutup dengan ranting kayu dan rumput sehingga tidak terlihat lagi. Setelah itu kita totok nadi perempuan ini dan kita letakkan ia di pinggir liang itu untuk memancing kedatangan Yue Buqun. Bila ia melihat sang istri tergeletak di situ, tentu ia akan bergegas datang untuk menolongnya dan … plung … aduuuh ….” sambil berbicara demikian ia bergaya seperti orang yang terperosok ke dalam lubang. Maka, tertawalah ketiga tetua lainnya bersama-sama.

“Akal Tetua Bao sungguh hebat, ditambah lagi kita berempat bersembunyi di dekat liang jebakan itu. Maka, begitu Yue Buqun terjerumus, serentak kita mengacungkan senjata-masing-masing untuk menutup rapat mulut lubang tersebut sehingga tidak memberi kesempatan padanya untuk melompat naik ke atas,” kata Tetua Mo dengan tertawa.

“Benar, namun dalam hal ini masih ada satu kesulitan,” ujar Tetua Bao.

“Kesulitan?” Tetua Mo menegas. “Benar juga. Tentu Saudara Bao khawatir pada ilmu pedang Yue Buqun yang sangat aneh itu. Setelah ia terjerumus ke dalam lubang tetap saja masih sukar bagi kita untuk membekuknya, bukan begitu?”

“Dugaan Saudara Mo memang tepat,” ujar Tetua Bao. “Kali ini tugas yang dibebankan kepada kita oleh Ketua Ren adalah menghadapi tokoh utama Serikat Pedang Lima Gunung yang baru dilebur itu. Mati atau hidup diri kita nanti sukar diperkirakan. Bila kita sampai gugur saat menjalankan tugas sungguh merupakan suatu kehormatan yang tak ternilai. Hanya saja, nama baik agama kita dan wibawa Ketua Ren tentu akan sangat dirugikan. Pepatah mengatakan, kalau tidak berani mengambil risiko bukanlah kesatria. Demi meringkus seorang munafik seperti Yue Buqun, terpaksa kita harus menggunakan cara yang licik. Maka menurut pendapatku, di dalam lubang jebakan itu rasanya kita masih perlu menambahkan sesuatu.”

“Aha, ucapan Tetua Bao benar-benar sangat cocok dengan seleraku,” seru Tetua Du. “Aku membawa ‘Bubuk Seratus Bunga Penghisap Jiwa’ dalam jumlah yang cukup banyak. Kita bisa menebarkan bubuk ini di antara daun-daun dan rumput-rumput penutup lubang jebakan. Begitu Yue Buqun terperosok, tentu dia akan menarik napas panjang-panjang untuk berusaha melompat ke atas. Akan tetapi … hahaha ….” sampai di sini kembali mereka bergelak tawa bersama-sama.

“Nah, urusan ini jangan ditunda. Mari kita atur seperlunya,” kata Tetua Bao. “Di mana sebaiknya lubang jebakan itu kita gali?”

“Dari sini ke barat sana, kira-kira tiga li jauhnya adalah sebuah jalan setapak yang berbahaya. Di sebelahnya terdapat jurang yang curam, dan di sisi lain terdapat dinding tebing yang tinggi. Bila Yue Buqun benar-benar datang kemari, mau tidak mau dia harus melalui jalan setapak itu.”

“Bagus, mari kita melihat ke sana,” ajak Tetua Bao sambil mendahului melangkah pergi. Segera orang-orang yang lain ikut berjalan di belakangnya.

Linghu Chong berpikir, “Mereka pasti membutuhkan waktu yang cukup lama untuk menggali lubang dalam itu. Ini kesempatanku untuk memberi tahu Yingying dan mengambil pedang guna menolong Ibu Guru.”

Setelah menunggu orang-orang Sekte Iblis itu pergi cukup jauh barulah ia melangkah meninggalkan tempat itu. Namun, baru berjalan beberapa li, tiba-tiba telinganya mendengar suara orang menggali tanah. “Hah, ternyata mereka menggali di sini?” ujarnya dalam hati. Segera ia bersembunyi di balik pohon dan mencoba mengintip orang-orang itu. Benar juga, keempat tetua Sekte Iblis tersebut sedang sibuk menggali tanah. Karena jaraknya cukup dekat, Linghu Chong dapat melihat wajah mereka. Ternyata ada satu di antaranya yang sudah ia kenali. Orang itu adalah Bao Dachu yang pernah dilihatnya di Wisma Meizhuang di tepi Danau Barat, di Kota Hangzhou dulu. Pantas saja yang lain memanggilnya Tetua Bao, ternyata ia adalah Bao Dachu.

Waktu itu Linghu Chong mengenal Bao Dachu sebagai utusan Dongfang Bubai yang datang untuk menghukum Empat Sekawan dari Jiangnan karena kelalaian mereka yang telah menyebabkan Ren Woxing dapat meloloskan diri dari penjara bawah danau. Bao Dachu inilah tetua pertama yang tunduk kepada Ren Woxing. Sebelum itu, ia sempat menundukkan Huang Zhonggong, pemimpin Empat Sekawan dari Jiangnan, sehingga Linghu Chong dapat mengetahui betapa tinggi ilmu silatnya.

Linghu Chong kembali berpikir, “Guru telah menjadi ketua Perguruan Lima Gunung, pasti Ketua Ren kini menganggapnya sebagai musuh yang paling berbahaya. Ketua Ren mengirim para tetua berilmu tinggi, jelas ia tidak memandang rendah terhadap Guru. Pasti selain keempat orang ini masih tersembunyi pula bala bantuan lainnya.”

Kini Linghu Chong tidak dapat mengambil pedang dan memberi tahu Ren Yingying karena penggalian liang itu telah menutup jalannya. Ia sempat terkejut menyaksikan orang-orang Sekte Iblis itu menggali tanah tidak menggunakan cangkul atau sekop dan sebagainya, namun memakai senjata mereka yang berbentuk kapak, tombak, dan sejenisnya. Mula-mula mereka mencongkel tanah, lalu dengan menggunakan tangan mereka untuk mengorek tanah yang sudah gembur itu. Cara demikian sudah tentu makan waktu lama. Namun, Linghu Chong tetap tidak berani meninggalkan sang ibu guru untuk mengambil senjata dengan cara mengambil jalan memutar menghindari jalan tersebut.

Linghu Chong merasa heran melihat perubahan tempat galian itu dan berpikir, “Aneh, bukankah tadi mereka hendak menggali di jalan setapak dekat tebing sana, tapi mengapa sekarang berpindah ke sini? Ah, aku paham sekarang. Tentu di sana tanahnya keras dan banyak mengandung bebatuan cadas. Rupanya si marga Ge ini tidak terlalu pandai dan hanya sembarang bicara saja.”

Tiba-tiba terdengar Tetua Ge tertawa dan berkata, “Yue Buqun itu sudah tua, tapi istrinya ternyata masih begini muda dan cantik.”

Tetua Du menanggapi dengan tertawa pula, “Dia memang cantik, tapi sudah tidak muda lagi. Paling tidak, usianya sudah sekitar empat puluhan. Kalau memang Saudara Ge tertarik, tunggu sampai kita menangkap Yue Buqun dan membawanya kepada Ketua Ren. Kemudian, kau dapat meminta wanita ini sebagai hadiah, bagaimana?”

Tetua Ge menjawab, “Mengambilnya sebagai hadiah aku rasa tidak perlu. Namun, kalau sekadar untuk bermain-main kurasa boleh juga.” Sambil berbicara ia tertawa terbahak-bahak.

Mendengar itu, Linghu Chong semakin gusar. Ia berpikir, “Dasar bajingan tak tahu malu! Berani kalian merendahkan ibu-guruku seperti ini? Tunggu saja, akan kubunuh kalian satu per satu.” Karena suara tertawa Tetua Ge yang menjijikkan itu, tanpa terasa Linghu Chong melongok untuk melihat apa yang dilakukannya. Ternyata pria bermarga Ge itu sedang mencubit pipi ibu-gurunya satu kali. Ning Zhongze sendiri tidak mampu bergerak untuk melawan karena titik nadinya sedang tertotok. Terdengar pula orang-orang Sekte Iblis yang lain ikut bergelak tawa.

“Wah, tampaknya Saudara Ge sudah tidak sabar lagi. Apakah kau hendak bermain-main dengan perempuan ini sekarang juga?” kata Tetua Du dengan tertawa.

Linghu Chong yang sudah sangat murka bermaksud menerjang keluar menolong sang ibu-guru meski pedang tidak ada di tangannya. Namun, lantas terdengar Tetua Ge menjawab, “Bukan masalah berani atau tidak berani. Masalahnya aku khawatir menggagalkan tugas yang dibebankan Ketua Ren kepada kita. Andaikan aku punya seratus kepala juga akan dipenggal semua oleh Beliau.”

“Bagus sekali,” ujar Bao Dachu dengan nada dingin. “Sekarang Tetua Ge dan Tetua Du silakan pergi memancing kedatangan Yue Buqun. Ilmu ringan tubuh kalian sangat bagus. Kira-kira dua jam lagi segala sesuatu di sini sudah kami bereskan.”

“Baik,” jawab Tetua Ge dan Tetua Du bersama-sama, kemudian mereka berlari ke arah utara.

Kepergian kedua orang itu membuat suasana di lembah pegunungan itu kembali sunyi. Yang terdengar kini hanyalah suara tanah sedang digali saja. Kadang-kadang terdengar pula suara Tetua Mo memberi petunjuk ini dan itu.

Linghu Chong masih mendekam di tengah semak-semak rumput dan tidak berani bergerak sedikit pun. Ia merenung, “Aku sudah pergi terlalu lama, Yingying pasti sangat khawatir. Kalau ia menyusul kemari dengan mengikuti suara galian, tentu dapat menyelamatkan Ibu Guru. Bagaimanapun juga orang-orang Sekte Iblis ini pasti akan tunduk kepada perintah tuan putri mereka. Dengan demikian aku juga tidak perlu bertarung melawan mereka. Ah, makin lama aku tertahan di sini rasanya justru lebih baik. Lagipula si marga Ge sudah pergi. Tidak ada lagi yang mengganggu Ibu Guru.”

Akhirnya, orang-orang Sekte Iblis itu telah selesai menggali lubang jebakan. Mulut lubang tersebut kemudian ditutupi dengan ranting-ranting kayu dan rerumputan, serta ditaburi pula dengan bubuk obat bius. Setelah itu, di atasnya ditutup lagi dengan rumput-rumput pula. Bao Dachu dan rekan-rekannya yang semua berjumlah enam orang lantas menyusup ke tengah semak-semak di samping lubang jebakan itu untuk menantikan kedatangan Yue Buqun.

Perlahan-lahan Linghu Chong memungut sebongkah batu di sebelahnya dan berpikir, “Bagaimanapun juga aku harus menyelamatkan Guru. Jika nanti Guru datang, aku akan melemparkan batu ini untuk merusak lubang perangkap itu. Dengan demikian, Guru akan lebih waspada dan tidak terjebak ke dalamnya.”

Begitulah, baik Linghu Chong maupun kelompok Bao Dachu sama-sama memasang telinga di tempat persembunyian masing-masing. Saat itu adalah permulaan musim panas. Selain suara serangga hutan dan sesekali kicauan burung liar, tidak terdengar lagi suara apa pun selain itu. Mereka benar-benar memusatkan perhatian kalau-kalau terdengar suara langkah kaki Yue Buqun sedang mengejar Tetua Ge dan Tetua Du.

Setelah lebih dari satu jam, tiba-tiba terdengar suara jerit seorang perempuan dari kejauhan. Linghu Chong terkejut seketika dan berpikir, “Itu suara Yingying. Apakah ia bertemu dengan Guru ataukah dengan kedua tetua tadi?”

Tidak lama lantas terdengar suara dua orang berlari mendekati tempat itu. Yang satu berlari di depan dan yang lain mengejar di belakang. Terdengar suara Ren Yingying kembali berteriak, “Kakak Chong, gurumu hendak membunuhmu, kau jangan keluar!” Suaranya ini dikerahkan sekuat tenaga. Rupanya ia tidak tahu di mana Linghu Chong berada dan ingin sekali memberitahukan tentang hal ini.

Linghu Chong sendiri terkejut mendengarnya. “Guru di sini hendak membunuhku?” pikirnya.

Ren Yingying kembali berteriak-teriak, “Kakak Chong, segeralah menyingkir! Gurumu hendak membunuhmu!” Tak lama kemudian gadis itu muncul dalam keadaan rambut acak-acakan. Tangannya menghunus pedang, tapi kakinya berlari kencang karena dikejar Yue Buqun dari belakang.

Tidak lebih dari sepuluh langkah lagi Ren Yingying pasti akan terjerumus ke dalam lubang perangkap yang digali orang-orang Sekte Iblis tadi. Baik Linghu Chong maupun kelompok Bao Dachu sama-sama bingung tidak tahu harus berbuat apa.

Akan tetapi, Yue Buqun lebih dahulu melompat ke depan. Tangan kirinya mencengkeram punggung Ren Yingying, sementara tangan kanannya menangkap dan menelikung kedua tangan gadis itu ke belakang pinggang. Pedangnya tampak jatuh ke tanah pula.

Linghu Chong dan Bao Dachu sama sekali tidak sempat memberi pertolongan karena kecepatan gerak Yue Buqun yang luar biasa itu. Padahal, ilmu silat Ren Yingying sangat tinggi, namun sekarang tidak ada apa-apanya di hadapan Yue Buqun. Dalam sekali serang, gadis itu sudah dapat diringkus dan dilumpuhkan. Meskipun demikian, tetap saja ia berteriak-teriak, “Kakak Chong, lekas lari yang jauh! Gurumu hendak membunuhmu!”

Air mata hangat berlinang-linang di pelupuk mata Linghu Chong. Ia sangat terharu dan merenung, “Yingying hanya memikirkan keselamatanku meski bahaya sudah ada di dekatnya.”

Yue Buqun telah menotok beberapa titik nadi di punggung Ren Yingying sehingga gadis itu jatuh ke tanah tak bisa bergerak lagi. Pada saat yang sama ia juga melihat istrinya tergeletak di dekat situ tanpa bergerak.

Yue Buqun sangat terkejut namun dengan cepat menguasai perasaannya. Dengan tenang ia memeriksa keadaan di sekitar dan ternyata tiada sesuatu pun yang mencurigakan. Pada dasarnya Yue Buqun memang sangat cerdik, sehingga tidak berusaha mendekati dan menolong sang istri, sebaliknya ia berkata dengan suara hambar, “Nona Ren, bajingan Linghu Chong telah membunuh putri kesayanganku. Tentunya kau pun ikut ambil bagian atas perbuatan itu, bukan?”

Kembali Linghu Chong terkejut di tempat persembunyiannya. Ia tidak habis pikir mengapa sang guru menuduhnya telah membunuh Yue Lingshan.

Maka, terdengar Ren Yingying menjawab, “Yang membunuh putrimu adalah Lin Pingzhi. Memangnya ada masalah apa antara kau dengan Linghu Chong? Mengapa kau menuduh Linghu Chong yang membunuh putrimu?”

Yue Buqun bergelak tawa dan berkata, “Lin Pingzhi adalah menantuku, memangnya kau tidak tahu? Mereka adalah pengantin baru. Betapa besar cinta kasih di antara mereka dapat kau bayangkan sendiri. Mana mungkin seorang suami tega membunuh istrinya?”

Ren Yingying menyambung, “Lin Pingzhi telah bergabung dengan Perguruan Songshan. Demi mendapatkan kepercayaan Zuo Lengchan bahwa dirinya benar-benar bermusuhan denganmu, maka ia sengaja membunuh anak perempuanmu.”

“Hahaha, omong kosong!” kembali Yue Buqun tertawa. “Kau menyebut Perguruan Songshan? Huh, di dunia ini Perguruan Songshan sudah tidak ada lagi. Perguruan Songshan telah dilebur ke dalam Perguruan Lima Gunung. Mana mungkin Lin Pingzhi menggabungkan diri ke dalam perguruan yang sudah punah? Lagipula ia juga tahu Zuo Lengchan sekarang ini adalah bawahanku. Tidak mungkin ia meninggalkan ayah mertuanya yang menjadi ketua Perguruan Lima Gunung, kemudian mengekor kepada seorang buta semacam Zuo Lengchan yang membela diri sendiri saja susah. Sekalipun orang paling bodoh di dunia ini juga tidak mungkin berbuat demikian.”

“Persetan jika kau tidak percaya. Kau bisa mencari Lin Pingzhi dan bertanya sendiri kepadanya,” kata Ren Yingying.

“Yang kucari saat ini bukan Lin Pingzhi, tapi Linghu Chong,” seru Yue Buqun dengan nada bengis. “Setiap kaum persilatan saat ini mengatakan Linghu Chong telah memerkosa putriku. Karena putriku melawan sekuat tenaga, akhirnya ia dibunuh oleh bajingan itu. Sekarang kau mengarang cerita untuk menutupi dosa Linghu Chong, jelas kau juga bukan manusia baik-baik.”

“Huh!” ujar Ren Yingying hanya mendengus.

Yue Buqun melanjutkan, “Nona Besar Ren, ayahmu adalah ketua Sekte Matahari dan Bulan yang terhormat, seharusnya aku tidak perlu menyusahkanmu. Namun, demi untuk memaksa Linghu Chong muncul kemari, terpaksa aku harus menggunakan sedikit kekerasan atas dirimu. Aku akan memotong telapak tangan kirimu lebih dulu, kemudian telapak tangan kanan, kemudian menebas kaki kirimu dan setelah itu kaki kanan. Apabila Linghu Chong mempunyai perasaan tentu dia akan segera muncul.”

“Memangnya kau berani?” sahut Ren Yingying dengan suara lantang. “Sekali kau berani mengganggu seujung rambutku, Ayah pasti akan menyapu bersih seluruh keluargamu tanpa kecuali.”

Yue Buqun menyahut dengan tertawa, “Aku tidak berani katamu?” Usai berkata ia lantas melolos pedang yang tergantung di pinggangnya.

Linghu Chong tidak tahan lagi. Segera ia menerobos keluar dari tempat persembunyiannya dan berseru, “Guru, Linghu Chong ada di sini!”

Ren Yingying menjerit terkejut dan segera berseru, “Lekas lari, lekas lari! Dia tak mungkin berani mencelakai aku!”

Namun, Linghu Chong menggeleng sambil tetap melangkah maju, “Guru ….” katanya terputus.

“Bangsat cilik, kau masih punya muka untuk memanggil ‘guru’ padaku?” bentak Yue Buqun bengis.

Dengan menahan air mata tiba-tiba Linghu Chong berlutut dan berkata, “Langit menjadi saksi, selamanya Linghu Chong sangat menghormati Nona Yue, tidak mungkin berani berlaku kasar sedikit pun. Linghu Chong merasa berhutang budi kepada Guru dan Ibu Guru yang telah membesarkan diriku ini. Jika hendak membunuhku, silakan lakukan saja.”

Ren Yingying menjadi khawatir dan berseru, “Kakak Chong, orang ini setengah laki-laki setengah perempuan. Dia sudah gila, kenapa kau tidak lekas pergi saja!”

Raut muka Yue Buqun berubah merah mendengar perkataan gadis itu. Serentak ia pun berpaling dan berkata, “Apa maksud ucapanmu tadi?”

“Demi untuk mendalami Jurus Pedang Penakluk Iblis, kau telah … telah merusak dirimu sendiri ... kau telah menjadi … menjadi sebangsa siluman,” sahut Ren Yingying. “Kakak Chong, apakah kau masih ingat dengan Dongfang Bubai? Dia dan gurumu ini sudah gila semua. Mereka bukan lagi manusia normal.”

Dalam pikiran Ren Yingying adalah bagaimana agar Linghu Chong lekas-lekas lari menyelamatkan diri, meski ia sadar bahwa ucapannya itu pasti akan membangkitkan amarah Yue Buqun dan berakibat buruk baginya. Namun semua itu sudah tidak dipedulikannya lagi.

Dengan nada dingin Yue Buqun bertanya, “Kata-katamu yang aneh itu kau dengar dari mana?”

“Lin Pingzhi sendiri yang bicara demikian,” jawab Ren Yingying. “Kau telah mencuri Kitab Pedang Penakluk Iblis milik Keluarga Lin, memangnya kau kira dia tidak tahu? Saat kau melempar jubah biksu yang bertuliskan salinan kitab pusaka itu, Lin Pingzhi sedang bersembunyi di luar jendela kamarmu sehingga dapat menangkapnya. Maka itu, dia … dia juga berhasil mendalami Jurus Pedang Penakluk Iblis. Jika tidak, mana mungkin dia bisa membunuh Yu Canghai dan Mu Gaofeng? Bagaimana dia berlatih Jurus Pedang Penakluk Iblis, dengan sendirinya dia pun tahu bagaimana kau berlatih sebelumnya. Nah, Kakak Chong, perhatikan baik-baik suara Yue Buqun yang mirip dengan perempuan ini. Dia … dia sama saja dengan Dongfang Bubai. Dia sudah … sudah bukan laki-laki normal lagi.”

Waktu itu Ren Yingying mendengar dengan jelas percakapan antara Lin Pingzhi dan Yue Lingshan di dalam kereta, sementara Linghu Chong tidak ikut mendengarnya. Ia sadar betapa Linghu Chong sangat menghormati gurunya sehingga sengaja memendam rahasia itu rapat-rapat. Namun, kini keadaannya berbeda. Ia terpaksa membocorkan rahasia tersebut demi untuk menyadarkan Linghu Chong bahwa guru yang dihadapinya sekarang ini bukan lagi seorang tokoh persilatan terhormat, melainkan seorang aneh yang sudah tidak normal, seorang gila yang tidak mungkin bisa diajak bicara tentang budi kebaikan segala.

Benar juga, sorot mata Yue Buqun bertambah beringas. “Nona Ren, sebenarnya aku bermaksud mengampuni jiwamu. Namun, karena ucapanmu yang tidak jelas itu, terpaksa aku harus membereskan nyawamu. Maka, janganlah kau menyalahkan aku bila sebentar lagi kau harus mampus,” ujarnya.

“Lekas pergi, Kakak Chong, lekas pergi!” kembali Ren Yingying berteriak-teriak tanpa memedulikan keselamatan diri sendiri.

Sementara itu Yue Buqun sudah mulai mengangkat pedangnya. Linghu Chong hafal benar bagaimana kehebatan ilmu silat sang guru. Sekali pedangnya bergerak, tentu jiwa Ren Yingying akan langsung melayang. Maka dengan cepat ia berteriak, “Kalau mau bunuh, bunuh saja aku, jangan mencelakai dia!”

Tiba-tiba Yue Buqun menoleh ke arah Linghu Chong dan berkata, “Hm, kau hanya mempelajari beberapa jurus cakar kucing saja lantas mengira dapat malang melintang di dunia persilatan, hah? Baiklah, angkat pedangmu, akan kuhajar kau supaya mati dengan rela.”

“Sama sekali … sama sekali aku tidak berani bertarung melawan Gu… melawanmu!” jawab Linghu Chong.

“Dalam keadaan seperti ini kau masih juga berlagak bodoh?” bentak Yue Buqun gusar. “Dahulu, ketika di atas kapal di Sungai Kuning, juga ketika berada di Lembah Lima Tiran, kau sengaja berkomplot dengan kawanan bangsat untuk membuatku malu. Waktu itu sudah timbul niatku hendak membunuhmu, tapi kutahan sampai sekarang. Boleh dikata kau sangat beruntung. Waktu di Fuzhou pun kau sudah jatuh ke tanganku. Kalau bukan karena istriku yang berada di sana tentu sudah lama kuhabisi riwayatmu. Gara-gara salah perhitungan waktu itu akibatnya malah mengorbankan putriku yang harus mati di tangan bangsat semacam dirimu ini.”

“Aku tidak … aku tidak ….” sahut Linghu Chong tergagap-gagap.

“Siapkan pedangmu!” bentak Yue Buqun murka. “Jika kau mampu mengalahkan ilmu pedangku, maka kau dapat langsung membunuhku pula. Kalau tidak, maka aku pun takkan mengampuni jiwamu. Siluman betina Sekte Iblis ini sembarangan mengoceh, biar kubereskan dia lebih dahulu.” Usai berkata ia langsung menebaskan pedangnya ke arah leher Ren Yingying.

Tanpa pikir lagi Linghu Chong langsung melemparkan sebongkah batu yang dipegangnya tadi ke arah Yue Buqun. Yue Buqun terpaksa berkelit menghindar. Secepat kilat Linghu Chong menjatuhkan diri dan menggelinding ke samping untuk menyambar pedang Ren Yingying yang terjatuh di tanah tadi. Secepat kilat ia lantas menusuk pula ke arah paha kiri Yue Buqun.

Apabila serangan Yue Buqun tadi diarahkan kepada Linghu Chong, maka pemuda itu pasti tidak akan menghindar dan rela mati di tangan Sang Guru. Namun, melihat Yue Buqun berniat membunuh Ren Yingying karena telah membongkar rahasianya, maka Linghu Chong pun tidak bisa tinggal diam. Dilihatnya bagian bawah ketiak kanan Yue Buqun adalah tempat yang terbuka, maka ia lantas menyerang titik itu dengan lemparan batu untuk memaksa lawan menarik kembali serangannya.

Benar juga, Yue Buqun segera menarik pedangnya untuk menangkis. Namun, berturut-turut Linghu Chong kembali menyerang tiga kali, terpaksa Yue Buqun mundur dua-tiga langkah dengan perasaan terkejut bercampur heran. Tiga kali pedang mereka beradu membuat tangan Yue Buqun terasa kesemutan. Memang dalam pertarungan di Biara Shaolin beberapa bulan yang lalu Linghu Chong tidak mengerahkan segenap kemampuannya, sementara kali ini ia berusaha sekuat tenaga untuk menyelamatkan nyawa Ren Yingying.

Setelah mendesak mundur lawan, Linghu Chong segera membalik sebelah tangannya hendak membuka totokan pada tubuh Ren Yingying.

Namun, Ren Yingying berseru, “Jangan khawatirkan aku, awas!”

Tampak sinar putih berkelebat, rupanya pedang Yue Buqun sudah menusuk kembali. Untungnya Linghu Chong pernah melihat ilmu silat Dongfang Bubai, Yue Buqun, dan Lin Pingzhi sebelumnya. Ia pun sadar bahwa gerakan ketiga orang itu sangat cepat seperti bayangan setan. Jika ia menunggu sampai titik kelemahan lawan terlihat, maka bisa-bisa dirinya akan terluka lebih dahulu. Oleh sebab itu, tanpa pikir panjang, Linghu Chong pun mengacungkan pedangnya lantas menusuk perut Yue Buqun secepat kilat.

Yue Buqun kelabakan dan terpaksa melompat mundur sambil memaki, “Sungguh keji kau, bangsat cilik!”

Padahal, sebagai orang yang mendidik dan membesarkan Linghu Chong sejak kecil seharusnya Yue Buqun hafal watak pemuda itu. Apabila ia tidak peduli dengan serangan balasan Linghu Chong tadi dan tetap menyerang, tentu jiwa lawan sudah melayang di tangannya. Linghu Chong sendiri meskipun menggunakan siasat hancur bersama musuh, namun dalam hati ia tidak pernah melupakan budi baik Sang Guru. Sebenarnya ia tidak sungguh-sungguh menusuk perut gurunya itu. Jadi, dalam hal ini Yue Buqun telah salah perhitungan. Ia terlanjur mengukur orang lain seperti dirinya sendiri, sehingga kehilangan satu kesempatan bagus untuk membinasakan lawan.

Setelah beberapa jurus berlalu, permainan pedang Yue Buqun bertambah gencar namun tetap tidak bisa mengalahkan lawan. Linghu Chong sendiri menghadapinya dengan tangkas dan penuh semangat. Semula ia rela mati di tangan sang guru. Namun, begitu teringat bahwa Ren Yingying telah membuat Yue Buqun sakit hati, maka ia yakin gurunya itu pasti akan menyiksa si nona sampai mati menderita demi melampiaskan amarah. Membayangkan hal itu membuat Linghu Chong pantang menyerah dan bertempur dengan sekuat tenaga.

Puluhan jurus telah terlewati. Serangan Yue Buqun tampak bertambah rumit. Linghu Chong menghadapi itu semua dengan memusatkan perhatiannya. Lambat laun pikirannya menjadi terbuka, dan bertambah paham pula. Yang dipandangnya kali ini hanyalah titik ujung pedang sang guru saja, sementara yang lainnya sudah tidak ia pedulikan lagi.

Rupanya intisari Sembilan Jurus Pedang Dugu yang ia mainkan adalah “semakin kuat pihak musuh semakin kuat pula diri sendiri.” Dahulu sewaktu bertanding melawan Ren Woxing dalam penjara di bawah Danau Barat, tak peduli bagaimanapun Ren Woxing menyerang dengan bermacam-macam gerak perubahan selalu saja Linghu Chong dapat melayaninya dengan jurus-jurus baru yang lahir seketika. Padahal, ilmu silat Ren Woxing boleh dikata jarang ada bandingannya, namun ia harus mengakui kehebatan dan kecerdasan Linghu Chong.

Kini Linghu Chong sudah berhasil pula mendalami Jurus Penyedot Bintang, membuat kekuatan tenaga dalamnya sukar diukur lagi. Sebaliknya, Jurus Pedang Penakluk Iblis meski aneh, namun baru beberapa bulan saja dipelajari oleh Yue Buqun. Gerakannya belum secepat Dongfang Bubai. Tentu keadaannya berbeda dengan Linghu Chong yang telah setahun lebih menguasai Sembilan Jurus Pedang Dugu dan memperoleh banyak pengalaman bersama ilmu sakti tersebut. Oleh karena itu, setelah ratusan jurus berlalu, cara Linghu Chong melayani lawannya sudah tidak perlu menggunakan pikiran lagi. Betapapun aneh perubahan gerak serangan Jurus Pedang Penakluk Iblis selalu dapat disambutnya dengan jurus serangan yang sama anehnya pula.

Meskipun Jurus Pedang Penakluk Iblis memiliki tujuh puluh dua jurus utama, namun setiap jurus memiliki gerak perubahan yang bermacam-macam. Gerakan-gerakan perubahan dalam jurus pedang tersebut sangat rumit dan menakjubkan. Jika orang lain yang menghadapinya pasti akan mati seketika, atau mungkin mati pusing karena kebingungan. Sebaliknya, meskipun Sembilan Jurus Pedang Dugu hanya memiliki sembilan jurus utama saja, namun masing-masing tidak memiliki gerak perubahan yang pasti dan terikat. Ilmu pedang ini secara alami bergerak mengikuti kehebatan lawan. Jika lawan memainkan satu jurus, maka ia pun menghadapinya dengan satu jurus pula. Dan apabila lawan memainkan seribu jurus, maka ia pun mampu melayaninya dengan seribu jurus pula.

Dalam pandangan Yue Buqun kali ini gerak pedang Linghu Chong dirasakannya jauh lebih rumit daripada gerak serangannya. Rasanya sekalipun bertempur tiga hari tiga malam juga tetap akan lahir jurus-jurus baru dari tangan Linghu Chong untuk melayaninya.

Karena berpikir demikian seketika timbul rasa gentar di dalam hati Yue Buqun. Ia pun berpikir, “Siluman betina Sekte Iblis ini telah membongkar rahasiaku. Bila hari ini aku tidak dapat membereskan mereka, kelak cerita tentang diriku tentu akan tersiar luas di kalangan persilatan. Lantas, apakah aku masih punya muka untuk menjabat sebagai ketua Perguruan Lima Gunung lagi? Sepertinya segala rencana yang kurancang sekian lama akan hancur seluruhnya. Si keparat Lin Pingzhi telah membocorkan rahasiaku kepada siluman betina ini. Entah apa yang harus kulakukan untuk mencegah aib ini agar tidak tersebar luas?”

Karena merasa gelisah, serangan-serangannya pun bertambah ganas. Akan tetapi, pikiran yang kacau membuat kecepatan pedangnya agak menurun pula. Padahal, keistimewaan Jurus Pedang Penakluk Iblis adalah mengandalkan kecepatan untuk mengalahkan lawan. Maka, jika ratusan jurus telah berlalu dan tidak bisa mengalahkan lawan, dengan sendirinya semangat dari jurus pedang sehebat apa pun pasti akan berkurang.

Sebaliknya, pikiran Linghu Chong lebih terbuka dan ia mampu melihat celah kelemahan pada jurus lawan. Keistimewaan utama Sembilan Jurus Pedang Dugu adalah kehebatannya dalam mengincar titik-titik kelemahan ilmu silat lawan. Bagaimanapun serangannya, apa pun senjatanya, setiap jurus pasti memiliki celah kelemahan dan inilah yang selalu diincar dengan baik oleh Sembilan Jurus Pedang Dugu. Sekali celah kelemahan itu berhasil dimasuki, maka kemenangan sudah pasti dapat berada di tangan.

Dalam pertempuran di Tebing Kayu Hitam waktu itu, Linghu Chong bertarung melawan Dongfang Bubai yang hanya bersenjatakan sebatang jarum sulam. Meskipun pada gerakan Dongfang Bubai terlihat adanya celah kelemahan, namun karena kecepatannya yang luar biasa membuat Linghu Chong tidak mampu melancarkan serangan dengan tepat. Setiap kali ia menusukkan pedang, lawannya itu telah berganti jurus yang baru, sehingga kelemahan yang tadi langsung tertutup dengan sendirinya.

Selanjutnya, Linghu Chong juga menyaksikan bagaimana Yue Buqun bertarung melawan Zuo Lengchan di Puncak Songshan, serta bagaimana Lin Pingzhi membunuh Yu Canghai dan Mu Gaofeng. Akhir-akhir ini ia berusaha keras memikirkan bagaimana cara untuk mematahkan Jurus Pedang Penakluk Iblis tersebut, namun selalu saja ada satu kesimpulan membayanginya, yaitu jurus pedang ini sangat-sangat cepat. Setiap kali satu celah kelemahan dalam suatu jurus dapat diincar selalu saja terlewatkan dan jurus yang lain pun menyusul datang.

Kini pertarungan Linghu Chong dan Yue Buqun itu telah berlangsung mendekati dua ratus jurus. Linghu Chong sempat melihat celah terbuka pada ketiak kanan Yue Buqun ketika lawannya itu mengangkat pedang. Seketika Linghu Chong teringat bahwa jurus ini sudah digunakan oleh Yue Buqun sebelumnya. Setelah beberapa gerakan terlewati, lagi-lagi Yue Buqun memperlihatkan titik kelemahan pada pinggang kirinya. Jurus ini pun sudah digunakan Yue Buqun sebelumnya. Rupanya rangkaian Jurus Pedang Penakluk Iblis telah habis dan terpaksa harus diulangi lagi dari awal.

Tiba-tiba seberkas pikiran muncul dalam benak Linghu Chong, “Jurus Pedang Penakluk Iblis sangat cepat luar biasa. Celah kelemahannya yang kutemukan bukanlah celah kelemahan yang sesungguhnya, karena gerakannya begitu cepat, sehingga langsung tertutup oleh jurus-jurus selanjutnya yang susul-menyusul. Tapi, pada akhirnya aku berhasil menemukan celah kelemahan yang sebenarnya, yaitu ketika jurus ini diulangi dari awal.”

Dalam dunia persilatan, ilmu pedang aliran mana pun, meski bagaimanapun hebatnya, serta betapa pun banyak jurus-jurusnya, tetap saja pasti akan berakhir. Apabila musuh belum bisa dirobohkan mau tidak mau rangkaian jurus tersebut harus diulangi kembali dari awal. Namun demikian, seorang jago silat papan atas pasti memiliki banyak jurus cadangan sehingga tidak mudah untuk dikalahkan lawan. Akan tetapi, dalam hal ini Yue Buqun sudah kehabisan akal. Ia sadar tidak bisa menggunakan jurus pedang Perguruan Huashan ataupun empat perguruan yang lain karena semuanya sudah dikenal dengan baik oleh Linghu Chong. Satu-satunya yang ia andalkan kini hanyalah Jurus Pedang Penakluk Iblis dan itu pun harus diulangi lagi dari awal. Melihat datangnya kesempatan untuk meraih kemenangan, tanpa terasa Linghu Chong tampak tersenyum senang.

Melihat ujung bibir lawan sekilas tertarik ke atas membuat Yue Buqun menjadi penasaran. “Mengapa bangsat cilik ini tersenyum? Apakah dia sudah menemukan jalan untuk mengalahkan diriku?” pikirnya kemudian.

Maka, ia lantas mengerahkan segenap tenaga dalam dan kemudian mendesak maju serta mundur sekaligus. Secepat kilat ia sudah mengelilingi tubuh Linghu Chong dengan rapat. Serangannya pun bertambah gencar dan membadai. Betapa cepat Yue Buqun berputar membuat Ren Yingying yang tergeletak di tanah tidak dapat melihat dengan jelas ke mana serangannya itu ditujukan. Lambat laun ia merasa pusing dan mual pula seperti orang yang sedang mabuk laut.

Setelah lebih dari tiga puluh jurus berlalu, tampak jari tangan kiri Yue Buqun menunjuk ke depan. Pedangnya di tangan kanan pun ditarik. Linghu Chong paham bahwa ini adalah awal dari rangkaian Jurus Pedang Penakluk Iblis yang akan diulangi lagi untuk yang ketiga kalinya. Setelah bertarung sekian lama, diam-diam Linghu Chong merasa lelah karena ia baru sembuh dari sakit akibat luka parah tempo hari. Namun, ia sadar bahwa keadaan begitu gawat. Di bawah serangan Yue Buqun yang gencar dan cepat itu, sedikit saja lengah pasti jiwanya akan melayang, bahkan Ren Yingying akan ikut menjadi korban pula. Oleh sebab itulah ketika melihat serangan lawan hendak diulangi, segera ia mendahului menusuk ke bawah ketiak kanan Yue Buqun. Tempat yang diincarnya tepat merupakan titik kelemahan jurus serangan Yue Buqun itu.

Rupanya gerakan demikian inilah yang ditemukan Linghu Chong untuk mengalahkan Jurus Pedang Penakluk Iblis, yaitu menyerang titik kelemahan musuh sebelum melancarkan serangannya. Maka, sebelum Yue Buqun sempat mengganti jurus yang lain, tahu-tahu ujung pedang lawan sudah menyambar tiba. Seketika Yue Buqun menjerit terkejut, suaranya penuh rasa tidak percaya, gusar dan putus asa pula.

Saat itu ujung pedang Linghu Chong sudah berada di bawah ketiak lawan. Sedikit saja didorong ke depan, tentu tubuh Yue Buqun akan tertembus. Namun begitu mendengar jeritan tajam Yue Buqun itu, seketika ia pun sadar, “Ah, kenapa aku sampai lupa diri? Dia ini guruku, mana boleh aku mencelakainya?”

Segera ia pun menahan pedangnya dan berkata, “Kalah atau menang sudah jelas. Bagaimana kalau kita sudahi saja pertandingan ini. Yang paling penting adalah men… nolong Ibu Guru.”

“Baiklah! Aku mengaku kalah,” jawab Yue Buqun dengan muka pucat seperti mayat.

Linghu Chong melindungi Ren Yingying.

Sembilan Pedang Dugu melawan Pedang Penakluk Iblis.

Linghu Chong mengalahkan Yue Buqun.

(Bersambung)