Jurus Pedang Kilat Angin Puyuh |
Setelah melewati tiga puluh jurus berikutnya, Linghu Chong menyadari apabila dirinya melancarkan serangan yang aneh dan sesuka hati, pihak lawan justru semakin sukar untuk mengatasi. Namun jika ia melancarkan jurus pedang Huashan, atau jurus-jurus Serikat Pedang Lima Gunung lainnya, maka dengan mudah Feng Buping dapat menghadapinya. Bahkan pada suatu kesempatan, hampir saja Feng Buping berhasil memenggal lengan kanannya. “Sungguh mengerikan!” Demikian pikir pemuda itu.
Dalam keadaan genting, Linghu Chong teringat nasihat Feng Qingyang, “Pedangmu tidak jelas arah serangannya, tentu musuhmu tidak dapat pula mengatasinya. Tanpa jurus untuk mengalahkan jurus adalah puncak kesempurnaan dari segala ilmu pedang.”
Tak terasa sudah lebih dari dua ratus jurus terlewati. Pemahaman Linghu Chong terhadap intisari ilmu Sembilan Pedang Dugu semakin baik dan semakin mendalam. Tak peduli betapa mengerikan gaya serangan yang dilancarkan Feng Buping tetap saja ia mampu melihat celah kelemahannya. Maka, serangan lawan pun dibalas dengan serangan pula, sehingga membuat Feng Buping yang masih sayang nyawa terpaksa membatalkan serangannya atau bergerak mundur untuk menjaga diri.
Setelah berlalu beberapa jurus berikutnya, rasa percaya diri Linghu Chong semakin meningkat. Ia terus-menerus teringat pada ajaran Feng Qingyang, “Tanpa jurus mengalahkan jurus.” Oleh sebab itu, ia selalu menghirup nafas dan menyerang sesuka hati tanpa arah yang jelas. Tanpa direncanakan tiba-tiba ia menusuk miring ke depan. Gerakannya ini seperti enteng tak bertenaga. Ini bukan bagian dari jurus pedang perguruan mana pun, juga bukan bagian dari ilmu Sembilan Pedang Dugu. Ujung pedangnya seperti mengarah ke timur, seperti mengarah ke barat, tidak menentu – bahkan, ia sendiri juga tidak tahu hendak mengarah ke mana.
“Jurus pedang apa pula ini?” tanya Feng Buping dalam hati. Karena tidak tahu bagaimana caranya mengatasi serangan tersebut, terpaksa ia hanya memutar pedangnya dengan kencang untuk melindungi tubuh bagian atas.
Karena gerakan Linghu Chong sama sekali tidak baku dan bisa berubah sesuai keadaan, maka begitu bagian atas tubuh lawan tertutup rapat, ia pun membelokkan ujung pedangnya mengarah ke bawah pinggang. Feng Buping yang tidak menduga sama sekali pun terkejut dan terpaksa melompat mundur.
Linghu Chong sendiri tidak sanggup untuk ikut melompat. Meskipun tidak menggunakan tenaga dalam sama sekali, namun menggerakkan pedang seperti tadi benar-benar menguras habis kekuatannya. Nafas pemuda itu terdengar payah dan tangan kirinya tampak memegangi dada.
Melihat keadaan lawan, Feng Buping ingin segera mengakhiri pertarungan. Ia pun menerjang maju dan melancarkan serangan ke arah dada, perut, dan pinggang Linghu Chong. Namun yang diserang sama sekali tidak menghindar, tetapi balas menyerang ke arah mata kiri Feng Buping. Tentu saja Feng Buping menjerit kaget dan kembali melompat mundur menyelamatkan diri.
Menyaksikan pertarungan tersebut seorang pendeta dari Perguruan Taishan memuji, “Sungguh aneh! Sungguh aneh! Ilmu pedang yang benar-benar hebat!”
Feng Buping sangat tersinggung karena pujian tersebut sudah tentu ditujukan kepada Linghu Chong. “Aku adalah pemimpin Kelompok Pedang yang berniat merebut Perguruan Huashan. Jika aku tidak bisa mengalahkan murid Kelompok Tenaga Dalam, tentu bukan hanya cita-citaku yang kandas, tetapi aku juga harus kembali mengasingkan diri karena sudah tidak punya muka lagi untuk bertemu siapa pun di dunia persilatan.” Demikian ia berpikir. “Keadaan sudah sangat mendesak. Tidak ada lagi yang perlu aku sembunyikan!”
Sambil memekik lantang, Feng Buping pun menerjang maju kemudian menebaskan pedangnya dari samping secara cepat luar biasa. Secara bersamaan ia menyerang lima kali sehingga pedangnya mengeluarkan bunyi angin yang menderu kencang. Ia menebaskan pedangnya semakin cepat, dan bunyi angin pun terdengar semakin kencang pula.
Inilah yang disebut jurus Pedang Kilat Angin Puyuh yang diciptakan Feng Buping sewaktu ia mengasingkan diri di puncak Gunung Zhongtiao selama lima belas tahun. Setiap serangan dalam jurus ini selalu lebih dahsyat daripada serangan sebelumnya, serta suara angin yang ditimbulkan juga semakin kencang dari sebelumnya. Jurus ini merupakan jurus tertinggi yang dimiliki Feng Buping. Dengan berbekal ilmu pedang yang berjumlah seratus delapan jurus serangan tersebut, ia tidak hanya bercita-cita merebut kedudukan ketua Perguruan Huashan, tetapi juga ingin menjadi pemimpin Serikat Pedang Lima Gunung. Sebenarnya ia tidak ingin buru-buru memamerkan ilmu pedang tersebut dalam pertandingan kali ini, namun kini sudah terlanjur. Apabila kelak ia bertarung melawan ahli silat papan atas yang pernah mendengarnya, tentu jurus ini bukan menjadi senjata andalan lagi. Pihak lawan pasti sudah mempersiapkan jurus tertentu untuk menghadapinya. Akan tetapi, keadaan kali ini sudah begitu mendesak dan tidak ada gunanya untuk disembunyikan lagi. Jika ia tidak mampu mengalahkan seorang Linghu Chong, maka ia akan kehilangan muka untuk selama-lamanya. Maka, jurus pedang andalan ini pun menjadi usaha terakhir baginya untuk meraih kemenangan.
Daya tekanan jurus Pedang Kilat Angin Puyuh ini sungguh luar biasa. Tenaga yang terpancar dari ujung pedang Feng Buping perlahan-lahan semakin luas. Para hadirin merasa kedinginan dan muka masing-masing terasa sakit serta tidak nyaman karena tersapu angin pedang tersebut. Selangkah demi selangkah mereka pun mundur untuk menghindar.
Kali ini para penonton dari Perguruan Songshan, Taishan, dan Hengshan, serta pasangan suami-istri Yue Buqun tidak lagi berani memandang rendah terhadap Feng Buping. Mereka tidak hanya mengagumi kehebatan jurus pedang tersebut, tapi juga angin dahsyat yang ditimbulkan olehnya. “Feng Buping tidak hanya mengandalkan jurus pedang untuk memenangkan pertarungan. Tadinya ia bukan tokoh ternama di dunia persilatan. Siapa sangka ilmu pedangnya begitu luar biasa?” Demikian para hadirin berkata dalam hati.
Cahaya obor yang dipegang para hadirin tampak bergoyang-goyang bahkan sebagian ada yang padam terkena angin pedang Feng Buping. Di mata para hadirin, pertarungan mengerikan itu bagaikan menyaksikan sebuah perahu kecil yang diombang-ambingkan badai dan ombak samudera. Meskipun badai bertiup kencang dan ombak bergulung tinggi, namun perahu itu hanya naik turun mengikuti irama gelombang saja. Perahu sama sekali tidak bisa ditenggelamkan oleh badai dan ombak dahsyat tersebut.
Begitulah yang sedang dialami Linghu Chong. Semakin cepat Feng Buping melancarkan serangan, semakin membuat Linghu Chong memahami intisari Sembilan Pedang Dugu sebagaimana yang diajarkan Feng Qingyang dulu. Semakin mereka bertarung, semakin baik pemahaman Linghu Chong. Semakin ia mampu mengatasi jurus pedang lawan, semakin besar pula rasa percaya dirinya. Justru dalam keadaan ini Linghu Chong tidak ingin buru-buru menyelesaikan pertarungan, melainkan terus mengamati setiap serangan musuh dengan saksama.
Ilmu Pedang Kilat Angin Puyuh hanya meliputi seratus delapan jurus saja. Setelah dimainkan semuanya dalam waktu sebentar ternyata sudah habis. Feng Buping merasa gelisah karena tidak mampu membuat Linghu Chong menyerah kalah. Ia pun membentak-bentak murka dan menyerang dengan lebih sengit lagi untuk memancing Linghu Chong menangkis serangannya.
Linghu Chong agak ngeri juga melihat pihak lawan sudah bertingkah habis-habisan untuk memenangkan pertarungan. Khawatir pertarungan ini berlarut-larut, ia pun melancarkan empat serangan ke arah lawan. Tiba-tiba bertutut-turut kedua lengan dan kedua paha Feng Buping tertusuk semua. Tusukan tersebut membuat Feng Buping terkejut dan pedangnya sampai jatuh ke tanah.
Dikarenakan tenaga Linghu Chong yang lemah, maka keempat tusukan tersebut hanya menggores kulit lawan. Namun demikian, hal itu sudah cukup membuat Feng Buping kehilangan harga diri. Dengan wajah pucat pasi, pemimpin Kelompok Pedang tersebut berseru, “Sudahlah, sudah cukup!”
Ia kemudian berjalan menghampiri Ding Mian, Lu Bai, dan Tang Ying’e. Sambil memberi hormat, ia pun berkata, “Saudara bertiga dari Songshan, tolong sampaikan kepada Ketua Zuo bahwa aku sangat berterima kasih atas bantuan Beliau. Hanya sayang... hanya sayang kepandaianku belum cukup. Aku sungguh malu… sungguh malu….”
Feng Buping tidak sanggup lagi melanjutkan ucapannya. Sekali lagi ia memberi hormat, kemudian bergegas pergi meninggalkan tempat itu. Namun setelah belasan langkah, ia menoleh ke belakang dan bertanya, “Anak Muda, ilmu pedangmu sungguh hebat dan lihai. Aku mengaku kalah. Tapi, sepertinya jurus-jurusmu yang menakjubkan tadi bukan hasil didikan Yue Buqun. Jika diizinkan, tolong beri tahu siapa namamu, dan siapa pula pendekar besar yang telah mengajarimu, supaya aku tidak penasaran terhadap siapa dan apa yang telah mengalahkanku.”
Linghu Chong menjawab, “Namaku Linghu Chong. Aku murid pertama dari Pendekar Yue Buqun yang budiman. Aku bisa menang juga karena belas kasihan dari Tuan yang sudi mengalah. Mengenai hal ini rasanya tidak perlu untuk dibanggakan.”
Feng Buping menghela nafas panjang, yang terdengar seolah ingin menunjukkan kegelisahan hatinya yang penuh rasa kecewa dan patah semangat. Perlahan ia melangkah pergi dan akhirnya hilang ditelan kegelapan malam.
Ding Mian, Lu Bai, dan Tang Ying’e hanya saling pandang satu sama lain. Masing-masing dari mereka berpikir, “Ilmu pedang kami mungkin tidak sebagus Feng Buping, sehingga tidak ada gunanya jika kami maju menghadapi Linghu Chong. Apabila kami bertiga maju bersama-sama, bisa jadi Linghu Chong dapat dikalahkan. Namun, di sini banyak para pendekar dari perguruan lain. Main keroyok hanya akan mendatangkan masalah baru yang dapat berpengaruh buruk bagi nama baik Perguruan Songshan.”
Karena sama-sama berpikir demikian, mereka bertiga pun mengangguk-anggukkan kepala. Ding Mian kemudian berkata dengan suara keras, “Keponakan Linghu, ilmu pedangmu benar-benar hebat, membuat kami semua bertambah pengalaman. Sampai jumpa di lain kesempatan!”
“Ayo jalan!” seru Tang Ying’e yang kemudian melecutkan cambuknya. Kudanya pun berlari meninggalkan tempat itu, diikuti seluruh rombongan Serikat Pedang Lima Gunung lainnya. Hanya dalam waktu singkat mereka sudah menghilang di kegelapan malam. Yang terdengar sayup-sayup hanya derap kaki kuda yang makin lama makin menjauh.
Kini yang tertinggal hanyalah orang-orang Huashan dan kelima belas laki-laki bercadar tadi. Si orang tua tertawa lalu berkata, “Pendekar muda Linghu, kami sungguh-sungguh kagum melihat ilmu pedangmu yang luar biasa hebat. Kepandaian Yue Buqun masih berada sangat jauh di bawahmu. Seharusnya kau yang menjadi ketua Perguruan Huashan.”
Linghu Chong diam tidak menjawab. Hanya nafasnya yang terengah-engah terdengar jelas oleh para penjahat itu.
“Melihat kepandaianmu tadi kami seharusnya tahu diri dan mundur teratur,” lanjut si orang tua. “Tapi kami sudah terlanjur mengganggu Perguruan Huashan kalian. Jika kami mundur maka suatu hari nanti giliran kalian yang akan membalas kami. Untuk itu, kami harus mencabut rumput sampai ke akar-akarnya. Tidak ada jalan lain, kami terpaksa harus mengeroyokmu bersama-sama.”
Usai berkata demikian, orang tua itu memberi isyarat dan keempat belas kawannya langsung ikut mengepung rapat Linghu Chong membentuk suatu lingkaran. Obor-obor yang ditinggalkan rombongan Ding Mian masih berserakan di tanah dan belum padam. Samar-samar Linghu Chong bisa melihat tubuh bagian bawah kelima belas orang bercadar itu yang masing-masing menggunakan senjata berbeda-beda.
Mau tidak mau timbul rasa khawatir dalam hati Linghu Chong. Dalam pertarungan melawan Feng Buping tadi memang ia tidak menggunakan tenaga dalam, tapi tetap saja membuatnya sangat letih dan kelelahan. Dengan berbekal ilmu Sembilan Pedang Dugu ia berhasil mengalahkan semua jurus pedang yang dikerahkan Feng Buping. Akan tetapi, saat ini yang ia hadapi adalah lima belas orang musuh dengan senjata berbeda-beda, sehingga tentu saja memiliki jurus yang berbeda-beda pula. Apabila mereka nanti maju bersama-sama, tentu akan sulit untuk mengalahkan mereka satu per satu meskipun dengan mengandalkan ilmu Sembilan Pedang Dugu. Andaikan Linghu Chong masih memiliki tenaga dalam rasanya juga percuma, karena kelima belas orang itu mengepung rapat dirinya dari segala arah.
Dalam keadaan putus asa itu Linghu Chong menghela nafas dan memandang ke arah Yue Lingshan. Ia merasa mungkin ini adalah untuk yang terakhir kalinya ia dapat memandang wajah gadis yang sangat ia cintai itu. Ternyata tatapan mata Yue Lingshan kepadanya juga menunjukkan wajah penuh rasa cemas dan khawatir. Sungguh senang perasaan Linghu Chong tak terkatakan. Dalam saat-saat terakhir ia masih sempat melihat adik kecilnya itu menunjukkan kasih sayang kepadanya.
Akan tetapi, ketika Linghu Chong melirik ke samping, tampak samar-samar tangan Yue Lingshan bergenggaman erat dengan tangan seorang pemuda, yang tidak lain adalah Lin Pingzhi. Seketika Linghu Chong merasa hatinya disayat-sayat. Semangat bertempurnya patah. Rasanya ia ingin membuang senjata dan membiarkan kelima belas senjata lawan menghabisi nyawanya.
Di lain pihak, kelima belas orang bercadar ternyata tidak berani mendahului serangan karena masing-masing tidak ingin bernasib seperti Feng Buping. Mereka hanya maju selangkah demi selangkah dan semakin rapat mengepung Linghu Chong.
Dalam kegelapan itu Linghu Chong samar-samar dapat melihat lima belas pasang mata para pengepungnya yang berkedip-kedip bagaikan binatang buas sedang mengincar mangsa. Penuh dengan tatapan keji dan sikap bermusuhan. Menyaksikan itu membuat dirinya teringat sesuatu.
“Aku ingat, dalam ilmu Sembilan Pedang Dugu ada satu jurus yang bernama Cara Mengalahkan Senjata Rahasia. Tak peduli berapa pun banyaknya senjata rahasia atau anak panah yang berhamburan, aku bisa mengatasinya tanpa masalah. Semua bisa disapu secara bersamaan.”
Sekejap kemudian terdengar suara si orang tua berseru memberi perintah, “Maju semua! Habisi dia!”
Tanpa pikir lagi Linghu Chong pun menggerakkan pedangnya secara melingkar mengelilingi dirinya. Ia membayangkan lima belas pasang mata yang mengepungnya bagaikan tiga puluh senjata rahasia yang sedang berhamburan. Sekejap kemudian terdengar suara jerit kesakitan orang-orang bercadar itu, serta suara senjata berjatuhan di tanah. Rupanya dengan memainkan jurus Cara Mengalahkan Senjata Rahasia, Linghu Chong berhasil membutakan tiga puluh biji mata para pengepungnya secara sekaligus.
Jurus Cara Mengalahkan Senjata Rahasia dalam ilmu Sembilan Pedang Dugu memang dapat menyapu bersih semua jenis senjata rahasia ataupun anak panah yang dilepaskan musuh, berapa pun banyaknya. Jurus ini sangat sulit karena membutuhkan tusukan yang jitu. Sekali menusuk harus bisa menjatuhkan senjata yang dilemparkan. Jika tidak, tentu senjata rahasia itu akan terus menerjang maju. Linghu Chong sendiri belum terlalu lihai dalam memainkan jurus ini. Akan tetapi, untuk menusuk mata musuh tentu lebih mudah daripada menusuk senjata rahasia yang melayang kencang. Itulah sebabnya, ia dapat membutakan semua mata kelima belas orang bercadar itu dengan sangat jitu.
Setelah melakukan serangan yang luar biasa itu, Linghu Chong melangkah sempoyongan melewati para pengepungnya yang menjerit-jerit kesakitan. Setelah berada di dekat kuil tua, ia langsung memegangi ambang pintu dengan wajah pucat dan tubuh gemetar. Menyusul kemudian pedangnya pun terlepas dari genggaman.
Ketika menoleh ke belakang, tampak kelima belas penjahat bercadar itu kelabakan sambil menutupi mata masing-masing. Darah segar merembes keluar melalui sela-sela jari tangan mereka. Ada yang berjongkok merintih, ada yang berlari-lari seperti lalat tak berkepala, ada pula yang berguling-guling di dalam kubangan lumpur. Andai saja mereka tetap bersikap tenang, tentu Linghu Chong dapat mereka habisi seperti daging cincang. Namun, semua itu dapat dimaklumi. Bagaimanapun tingginya ilmu kesaktian seseorang, apabila kehilangan penglihatan secara tiba-tiba, tentu akan membuatnya gentar dan tidak sanggup lagi melanjutkan pertarungan.
Dalam keadaan genting, Linghu Chong berniat melancarkan serangan lanjutan. Akan tetapi ia merasa kasihan bercampur ngeri melihat pemandangan tersebut.
Di sisi lain, Yue Buqun juga merasa heran bercampur gembira. Ia pun membentak, “Chong’er, cepat putuskan urat kaki mereka! Setelah itu kita bisa periksa dan tanyai asal-usul mereka.”
“Baik... baik....” jawab Linghu Chong sambil berjongkok meraih pedangnya. Tidak disangka tenaganya kali ini sudah benar-benar habis. Tubuhnya semakin gemetar dan tangannya tidak kuat lagi mengangkat pedang.
Sementara itu si tua berseru, “Kawan-kawan, lekas pungut senjata masing-masing dengan tangan kanan, dan raih ikat pinggang kawan terdekat dengan tangan kiri! Kita pergi meninggalkan tempat ini. Dengarkan arah suaraku!”
Keempat belas kawannya semula tidak tahu harus berbuat apa. Maka begitu mendengar teriakan tersebut, mereka langsung berjongkok dan meraba-raba tanah. Masing-masing segera memungut senjata yang mereka temukan, tidak peduli itu milik siapa. Ada yang memungut lebih dari satu, ada pula yang tidak menemukan apa-apa di tanah. Kemudian mereka pun saling memegang ikat pinggang kawan yang ada di dekat masing-masing sehingga membentuk satu barisan, di mana si orang tua berada di urutan paling depan. Dengan langkah tak menentu mereka pun berjalan menembus kegelapan malam gerimis.
Selain Ning Zhongze dan Linghu Chong, semua anggota Perguruan Huashan dalam keadaan tertotok tanpa bisa bergerak sedikit pun. Ning Zhongze dalam keadaan terluka cukup parah di bagian kaki sehingga tidak mampu berjalan, sedangkan Linghu Chong sendiri kehabisan tenaga dan hanya terbaring lemah di atas tanah berlumpur. Maka itu, orang-orang Huashan tersebut hanya bisa memandang kelima belas musuh pergi tanpa bisa berbuat apa-apa.
Setelah musuh menjauh, keadaan menjadi begitu sepi. Yang terdengar kini hanyalah suara nafas orang-orang Huashan di halaman kuil tua tersebut. Tiba-tiba terdengar Yue Buqun berkata, “Pendekar Linghu, mengapa kau tidak segera membuka totokan kami? Apa kami harus memohon belas kasihanmu supaya sudi menolong kami?”
Kontan saja Linghu Chong terkejut. Ia berkata dengan suara gemetar, “Guru... Guru, mengapa.... mengapa Guru bercanda seperti itu? Saya akan... saya akan segera membuka totokan Guru.”
Segera ia merangkak bangun dan melangkah gontai mendekati Yue Buqun. “Guru... mana... mana titik nadi yang harus dibuka?”
Yue Buqun merasa sangat gusar tak terkatakan. Teringat kembali olehnya bagaimana Linghu Chong bersandiwara di lereng Gunung Huashan untuk membebaskan Tian Boguang. Kali ini ia pun mengira Linghu Chong sengaja melepaskan kelima belas penjahat bercadar tadi, serta sengaja mengulur waktu untuk tidak segera membuka totokan pada tubuhnya. Dengan bengis ia menjawab, “Tidak perlu lagi.”
Usai berkata demikian Yue Buqun mengerahkan tenaga dalam Kabut Lembayung Senja sekuat-kuatnya untuk membuka titik nadi yang tertotok itu. Sejak tadi ia diam-diam sudah berusaha membuka totokan tersebut namun sulit sekali. Orang bercadar yang menotoknya sungguh memiliki tenaga dalam yang sangat hebat. Beberapa titik nadi Yue Buqun yang ditotok olehnya adalah titik nadi utama, yaitu Yu-Zhen, Tan-Zhong, Ju-Zhui, Jian-Zhen, dan Zhi-Tang. Setiap kali ia mengerahkan tenaga untuk membuka totokan tersebut, entah bagaimana ada suatu penghalang yang membendung di titik-titik tersebut, yang akhirnya mengurangi kekuatan ilmu Kabut Lembayung Senja.
Linghu Chong sendiri ingin sekali membantu sang guru membuka totokan tersebut, namun tidak memiliki tenaga sama sekali. Berkali-kali ia mencoba mengangkat lengan, namun setiap kali mengerahkan tenaga selalu saja yang ia rasakan adalah sakit luar biasa, mata berkunang-kunang, telinga berdengung, dan hampir saja jatuh pingsan. Terpaksa ia hanya duduk di samping Yue Buqun dan menunggu sang guru membuka sendiri totokannya.
Ning Zhongze tampak masih terbaring lemah di atas tanah. Dalam pertarungan melawan Cong Buqi tadi ia mengalami kecelakaan dalam mengalirkan tenaga dalam untuk mengerahkan Jurus Tunggal Pedang Ning Tanpa Tanding. Akibatnya, kini ia tidak hanya kesulitan menghimpun tenaga, tapi bahkan tidak mampu menggerakkan tangan untuk merawat luka di kaki.
Menjelang fajar tiba barulah hujan berhenti. Keadaan sudah mulai terang. Dari kepala Yue Buqun tampak asap putih mengepul, pertanda ia masih berjuang mengerahkan tenaga dalam untuk membuka totokan musuh. Mukanya yang bersemu ungu pun terlihat semakin tandas. Akhirnya ia menjerit singkat pertanda semua totokan pada tubuhnya telah terbuka. Dengan cepat ia melompat bangun dan segera bekerja membuka satu per satu totokan pada tubuh murid-muridnya. Ada yang ditepuk, ada pula yang diremas. Hanya sekejap saja mereka pun terbebas dari siksaan sepanjang malam tersebut.
Terakhir ia memapah istrinya. Setelah Ning Zhongze bangun dalam keadaan terduduk, ia pun mengalirkan tenaga dalam untuk melancarkan aliran darah sang istri. Setelah itu, Yue Lingshan mendekat dan mengobati luka pada kaki ibunya tersebut.
Teringat pada kejadian yang nyaris merenggut nyawa mereka tadi malam, membuat para murid Huashan masih saja gemetar. Mereka bersyukur karena merasa seperti mendapat hidup baru. Namun begitu melihat mayat Liang Fa yang tanpa kepala, mau tidak mau membuat mereka berlinang air mata. Bahkan, beberapa murid perempuan sampai menangis meraung-raung. Masing-masing dari murid-murid Huashan tersebut berpikir, “Untunglah, Kakak Pertama dapat mengalahkan para penjahat itu. Kalau tidak, entah bagaimana nasib kita ini?”
Saat itu Linghu Chong masih tergeletak di atas tanah berlumpur. Gao Genming segera membantunya bangun. Yue Buqun tampak memandangi murid pertamanya itu dengan tatapan dingin. Ia bertanya, “Apa kau tahu asal-usul kelima belas orang bercadar itu?”
“Saya... saya tidak kenal mereka,” jawab Linghu Chong.
“Kau tidak kenal mereka? Apa mereka bukan teman-temanmu?” desak Yue Buqun.
“Saya belum pernah bertemu mereka, kecuali tadi malam,” jawab Linghu Chong gugup.
“Jika demikian, mengapa kau tidak mematuhi perintahku untuk menahan mereka? Mengapa kau tidak memutus urat kaki mereka?” tanya Yue Buqun kembali.
“Saya sudah... tidak punya tenaga. Seluruh tubuh terasa... terasa lemas. Bahkan sekarang… sekarang pun….” jawab Linghu Chong sambil mencoba berdiri, namun kesulitan.
“Kau sungguh pandai berpura-pura,” ujar Yue Buqun.
Linghu Chong gemetar dan berkeringat dingin. Ia segera berlutut di hadapan sang guru. “Sejak kecil saya sudah yatim piatu. Atas budi baik Guru dan Ibu Guru, saya telah dirawat sampai besar, bagaikan putra sendiri... Selama ini saya memang bukan murid yang baik. Tetapi… tetapi saya tidak berani... tidak berani membantah perintah Guru dan Ibu Guru.”
“Tidak berani?” sahut Yue Buqun sambil mencibir. “Hm, lantas ilmu pedangmu tadi kau peroleh dari mana? Apakah hasil didikan dewa mimpi, atau mendadak jatuh dari langit?”
Berulang kali Linghu Chong menyembah, kemudian menjawab, “Saya pantas dihukum mati. Tapi orang yang mengajari saya mengharuskan saya untuk berjanji tidak akan memberitahukan kepada siapa pun juga tentang asal-usul ilmu pedang ini. Terpaksa, saya tidak bisa memberi tahu Guru dan Ibu Guru tentang siapa orang itu.”
“Tentu saja, tentu saja. Ilmu silatmu sekarang sudah setinggi langit, pantas kalau kau sudah tidak memandang pada guru dan ibu-gurumu lagi. Mana mungkin ilmu pedang Huashan yang remeh ini bisa dibandingkan dengan ilmu pedangmu yang mahasakti itu?” sahut Yue Buqun. “Orang tua bercadar tadi benar. Kau memang lebih pantas menjadi ketua Perguruan Huashan.”
Linghu Chong tidak berani menjawab. Ia hanya menyembah sambil pikirannya bergejolak, “Jika aku berterus terang mengenai ilmu Sembilan Pedang Dugu, tentu Guru dan Ibu Guru akan memaafkanku. Tapi seorang laki-laki sejati harus bisa memegang janji. Seorang penjahat cabul bernama Tian Boguang saja tidak bersedia membocorkan keberadaan Kakek Guru Feng meskipun disiksa sedemikian beratnya oleh Enam Dewa Lembah Persik. Apalagi aku, yang telah menerima budi baik dari Beliau. Aku tidak boleh mengkhianati kepercayaan Kakek Guru Feng. Rasa hormatku kepada Guru dan Ibu Guru tulus dari hati. Langit menjadi saksi. Biarlah aku menanggung beban ini untuk sementara waktu.”
Maka ia kemudian berkata, “Guru dan Ibu Guru, sama sekali saya tidak bermaksud membangkang perintah Guru berdua. Namun saya sudah terlanjur berjanji untuk tidak mengatakannya. Berilah saya waktu untuk meminta izin kepada sesepuh yang telah mengajari saya itu supaya bisa menceritakan semua yang terjadi kepada Guru berdua. Jika sudah demikian, saya tidak perlu takut lagi untuk menceritakan dengan sejelas-jelasnya.”
“Baiklah! Sekarang kau boleh bangun,” kata Yue Buqun.
Linghu Chong menyembah tiga kali, kemudian mencoba untuk bangkit. Akan tetapi, baru saja sebelah kakinya menjejak tanah, tubuhnya kembali gemetar dan ia pun jatuh terduduk. Lin Pingzhi yang ada di dekatnya segera membantunya bangun.
“Hm, ilmu pedangmu hebat, tapi sandiwaramu jauh lebih hebat,” ujar Yue Buqun.
Linghu Chong hanya terdiam tak berani menjawab. Dalam benaknya terlintas pikiran, “Selamanya aku tidak akan pernah melupakan budi baik Guru. Biarlah untuk kali ini Guru menyalahkanku. Tapi suatu hari nanti, kebenaran pasti akan terungkap. Kejadian ini memang sangat aneh dan ganjil. Aku bisa memaklumi kesalahpahaman Guru terhadapku.”
Ning Zhongze menanggapi masalah ini dengan suara lembut, “Jika bukan karena ilmu pedang Chong’er yang hebat tadi, mungkin Perguruan Huashan kita sudah musnah. Mungkin saat ini para murid perempuan juga sudah menderita karena dilecehkan oleh para penjahat itu. Entah siapa sesepuh yang telah mengajari Chong’er ilmu pedang bagus, yang jelas kita semua sudah ikut merasakan manfaatnya. Mengenai kawanan penjahat bercadar itu, suatu hari nanti pasti kita dapat mengetahui asal-usul mereka. Mana mungkin mereka adalah teman-teman Chong’er? Bukankah mereka hendak mencincang tubuh Chong’er bersama-sama? Bukankah Chong’er telah membutakan mata mereka semua?”
“Anak ini punya banyak akal,” kata Yue Buqun yang seolah-olah tidak menghiraukan setiap perkataan istrinya tadi.
Sementara itu murid-murid Huashan lainnya telah berbagi tugas. Sebagian ada yang memasak makanan, sebagian ada yang membersihkan ruangan kuil, dan ada pula yang memakamkan jenazah Liang Fa. Setelah sarapan pagi mereka semua mengganti pakaian masing-masing yang telah basah dan kotor. Setelah itu mereka tinggal menunggu perintah Yue Buqun sambil bertanya-tanya dalam hati, “Apakah kita masih perlu melanjutkan perjalanan ke Gunung Songshan? Bukankah Feng Buping sudah dikalahkan Kakak Pertama? Apa mungkin dia masih berani mencari masalah dengan kita?”
Ternyata Yue Buqun masih meminta pertimbangan sang istri. “Adik, menurut pendapatmu, kita sebaiknya ke mana?”
Ning Zhongze masih ingat kalau tujuan mereka turun gunung sebenarnya bukan untuk meminta keadilan kepada Zuo Lengchan di Gunung Songshan, melainkan untuk mengungsi menghindari serangan balas dendam Enam Dewa Lembah Persik. Maka, wanita itu pun menjawab, “Kita memang sudah tidak perlu lagi pergi ke Gunung Songshan. Tapi kita sudah terlanjur turun gunung, rasanya tidak perlu buru-buru pulang ke Huashan.”
“Benar juga. Kita tidak ada kepentingan mendesak lainnya,” jawab Yue Buqun. “Tidak ada salahnya kalau kita pergi berpesiar supaya para murid bertambah pengalaman.”
“Bagus sekali! Ayah....” seru Yue Lingshan gembira. Namun begitu teringat Liang Fa yang baru saja terbunuh, ia langsung terdiam tanpa melanjutkan kata-kata, melainkan hanya bertepuk satu kali saja.
“Hm, sepertinya kau senang sekali begitu mendengar kita akan pergi berpesiar. Baiklah, untuk saat ini kau boleh bersenang-senang,” ujar Yue Buqun tersenyum. “Shan’er, coba katakan ke mana sebaiknya kita pergi?” Sambil berkata demikian, ia kemudian menoleh ke arah Lin Pingzhi.
Yue Lingshan menjawab, “Ayah, apabila kita ingin bersenang-senang, sebaiknya kita berpesiar yang jauh sekalian. Makin jauh makin baik. Jangan buru-buru pulang. Bagaimana kalau kita pergi ke... kita pergi ke rumah Lin Kecil. Memang Kakak Kedua dan aku pernah pergi ke Fuzhou. Tetapi saat itu kami sedang dalam tugas penyamaran. Tentu saja kami tidak sempat bersenang-senang. Lin Kecil pernah bilang buah lengkeng Fujian besar-besar dan manis-manis. Di sana juga ada jeruk segar, pohon banyan, serta bunga bakung.”
Nyonya Yue menggeleng dan berkata, “Provinsi Fujian jaraknya terlalu jauh dari sini. Dari mana kita punya biaya untuk rombongan sebanyak ini? Jangan-jangan kita harus menjadi anggota Partai Pengemis dan meniru cara mereka berkelana sambil meminta-minta.”
Lin Pingzhi ikut bicara, “Guru dan Ibu Guru, bagaimana kalau kita pergi ke Provinsi Henan? Jaraknya hanya dua hari perjalanan dari sini. Kakek saya tinggal di Kota Luoyang.”
Ning Zhongze menjawab, “Benar juga. Kakekmu dari pihak ibu bukankah Wang Yuanba si Golok Emas Tanpa Tanding?”
“Ayah dan Ibu sudah meninggal. Saya ingin mengunjungi Kakek dan Nenek untuk memberitahukan hal itu secara rinci,” kata Lin Pingzhi. “Apabila Guru dan Ibu Guru, serta kakak-kakak sekalian sudi ikut mampir ke rumah Kakek dan tinggal di sana beberapa hari, tentu Beliau akan merasa mendapatkan kehormatan besar. Baru setelah itu kita bisa melanjutkan perjalanan ke Fujian. Mengenai biaya tidak perlu khawatir. Saya pernah mengambil benda-benda berharga yang dirampas Perguruan Qingcheng dari Biro Ekspedisi Fuwei kami di cabang Changsa.”
Meskipun Ning Zhongze telah menusuk Dewa Buah Persik, namun tetap saja hatinya dicekam ketakutan sewaktu teringat bagaimana orang-orang aneh dari Lembah Persik itu mementang dan mengangkat tubuhnya ke udara. Ia masih teringat bagaimana kematian Cheng Buyou yang mengerikan, dengan mayat terbelah menjadi empat dan isi perut berhamburan di mana-mana. Kejadian tersebut telah menjadi mimpi buruk yang selalu menghantui wanita itu. Ia tidak pernah lupa kalau perjalanan ke Gunung Songshan hanyalah untuk mengalihkan perhatian saja. Kini begitu melihat Lin Pingzhi mengajak semua orang untuk pergi ke Fujian setelah mendapat isyarat dari Yue Buqun, Ning Zhongze pun merasa melanjutkan perjalanan adalah pilihan yang lebih baik daripada kembali ke Huashan. Di samping itu, ia dan suami juga belum pernah mengunjungi daerah selatan, sehingga tidak ada salahnya untuk pergi ke sana.
Berpikir demikian, Ning Zhongze pun tersenyum senang dan berkata, “Kakak, Pingzhi telah menyatakan siap menanggung makanan dan tempat tinggal. Bagaimana kalau kita menerima ajakannya?”
Yue Buqun tersenyum dan menjawab, “Kakek Pingzhi adalah Si Golok Emas Tanpa Tanding yang sangat terpandang. Sudah lama aku ingin berkenalan dengan Beliau, namun sampai saat ini belum juga terkabulkan. Selain itu di daerah Fujian juga terdapat Biara Shaolin Cabang Selatan yang banyak melahirkan tokoh-tokoh ternama. Baiklah, aku setuju untuk pergi ke Luoyang dan Fujian. Jika di sana kita dapat menjalin persahabatan dengan beberapa kawan baru, maka perjalanan ini tidak sia-sia.”
Mendengar ucapan sang guru bahwa rombongan akan melanjutkan perjalanan ke Luoyang dan Fujian untuk berwisata membuat murid-murid Huashan pun bersorak gembira, terutama Yue Lingshan dan Lin Pingzhi. Hanya Linghu Chong yang terlihat murung. Pemuda itu berpikir, “Untuk apa Guru dan Ibu Guru memutuskan pergi ke Luoyang dan Fujian yang jaraknya ribuan Li dari sini? Aku tahu, pasti tujuan ke Luoyang adalah untuk menemui kakek dan nenek Adik Lin, supaya Adik Lin dan Adik Kecil bisa dijodohkan di sana. Setelah itu rombongan ini menuju ke Fujian. Bisa jadi, mereka berdua kemudian dinikahkan di sana... Aku hanya seorang yatim piatu. Tanpa sanak, tanpa saudara. Mana bisa dibandingkan dengan seorang majikan muda Biro Ekspedisi Fuwei yang kantor cabangnya tersebar di mana-mana? Apalagi kakeknya yang bernama Wang Yuanba si Golok Emas Tanpa Tanding sangat dihormati Guru. Kali ini rombongan kami hendak menemuinya, untuk apa aku ikut serta?”
Perasaan Linghu Chong semakin kesal melihat adik-adik seperguruannya yang bergembira ria seolah-olah sudah melupakan kematian Liang Fa yang mengenaskan. Ia kemudian berpikir, “Nanti kalau bermalam di suatu penginapan, biarlah aku meloloskan diri tengah malam. Mana mungkin aku bisa ikut perjalanan yang menggunakan biaya dari Adik Lin, serta tinggal di rumahnya sambil menahan perasaan sedih saat mengucapkan selamat kepada Adik Lin dan Adik Kecil?”
Maka, sewaktu rombongan Huashan tersebut melanjutkan perjalanan, dengan semangat lesu dan badan lemas Linghu Chong melangkah gontai di belakang. Karena jalannya makin lama makin lambat, ia akhirnya tertinggal jauh. Mendekati tengah hari keadaannya bertambah payah. Ia tidak tahan lagi dan duduk beristirahat di atas batu di tepi jalan dengan nafas tersengal-sengal. Tiba-tiba Lao Denuo datang berlari padanya. “Kakak Pertama, bagaimana keadaanmu? Apa kau lelah? Biar aku temani.”
“Terima kasih banyak,” jawab Linghu Chong.
“Ibu Guru telah menyewa sebuah kereta di kota sana dan sebentar lagi akan datang ke sini menjemputmu,” lanjut Lao Denuo.
Linghu Chong merasa sangat terharu. Dadanya terasa hangat membayangkan meski sang guru menaruh curiga kepadanya, namun ibu-guru ternyata masih tetap bersikap baik dan penuh perhatian. Benar juga. Tidak lama kemudian datang sebuah kereta yang ditarik keledai ke tempat itu. Linghu Chong segera masuk ke dalamnya didampingi Lao Denuo.
Sejak itu, Lao Denuo selalu mendampingi dan menyertai Linghu Chong kemana pun juga. Bahkan, saat bermalam di penginapan pun mereka tidur dalam kamar yang sama. Selama dua hari mereka tidak pernah berpisah. Tentu saja ini membuat Linghu Chong merasa terharu dan berterima kasih atas perhatian adik keduanya tersebut.
“Saat Adik Lao bergabung dengan Perguruan Huashan, ia sudah berpengalaman dan memiliki beberapa macam ilmu silat. Selain itu usianya juga jauh lebih tua dariku. Biasanya dia sangat jarang berbicara denganku. Siapa sangka sekarang ia menjadi saudaraku yang paling dekat dan paling memerhatikanku? Adik-adik yang lain pasti tidak berani berbicara denganku karena takut kepada Guru yang telah memarahiku di depan kuil tua tempo hari. Sekarang aku tahu siapa yang tulus kepadaku dan siapa yang tidak. Benar juga kata pepatah, jarak yang jauh akan mengukur kekuatan kuda. Ternyata ini juga berlaku untuk isi hati manusia.”
Apa yang dipikirkan Linghu Chong ternyata tidak benar. Tak disangka pada malam ketiga tanpa sengaja ia mendengar adik perguruannya yang paling kecil, yaitu Shu Qi, berbisik di luar kamar kepada Lao Denuo, “Kakak Kedua, Guru menyuruhku bertanya kepadamu apakah hari ini Kakak Pertama memperlihatkan gerak-gerik yang mencurigakan?”
Terdengar Lao Denuo menjawab dengan suara berbisik, “Ssst, jangan keras-keras! Kita keluar saja.”
Keringat dingin pun mengalir membasahi dahi Linghu Chong. Hanya dari pembicaraan tersebut sudah cukup baginya untuk membuat kesimpulan bahwa sang guru benar-benar curiga kepadanya. Ternyata Lao Denuo selama ini bersama dirinya hanyalah karena menjalankan perintah sang guru untuk mengawasinya secara diam-diam.
Saat itu Shu Qi sudah mengendap-endap pergi, sementara Lao Denuo mendekati ranjang untuk memeriksa apakah Linghu Chong telah tertidur atau belum. Sebenarnya Linghu Chong ingin sekali bangun dan membentak adik keduanya itu, namun ia kemudian sadar kalau Lao Denuo hanya menjalankan tugas dari sang guru. Maka, ia pun menahan diri dan pura-pura tidur nyenyak.
Lao Denuo kemudian melangkah keluar kamar. Linghu Chong yakin kalau kepergiannya adalah untuk menyampaikan laporan kepada sang guru. Pemuda itu kembali berpikir, “Hm, aku tidak berbuat salah. Sekalipun kalian berjumlah seratus atau dua ratus orang mengawasiku siang dan malam, aku tidak takut. Tidak ada yang perlu kusembunyikan.”
Karena perasaannya sedang dirundung kemarahan membuat dadanya terasa sesak dan nafas menjadi kacau. Dengan sendirinya, sedikit tenaga dalam pun mengalir keluar untuk mengatasi keadaan. Akan tetapi, dengan munculnya aliran tenaga dalam ini justru membuat Linghu Chong semakin menderita. Ia pun meremas bantal dengan nafas terengah-engah. Selang agak lama, rasa sakit perlahan sirna.
Perlahan-lahan pemuda itu bangkit untuk duduk. Tangannya hendak meraih baju dan sepatu, sambil berpikir, “Jika Guru sudah tidak menganggapku sebagai murid dan menempatkan orang untuk mengawasiku seperti maling, lalu untuk apa aku masih berada di sini? Mungkin lebih baik aku pergi saja. Aku tidak peduli apakah kelak Guru akan mengerti yang sebenarnya terjadi atau tidak.”
Pada saat itu tiba-tiba terdengar suara orang berbicara di luar kamar, “Ssst, jangan berisik!”
Lalu suara lain menjawab, “Benar, sepertinya Kakak Pertama sudah bangun.”
Meskipun kedua suara itu diucapkan dengan nada berbisik, namun karena keadaan sudah tengah malam, ditambah lagi dengan pendengaran Linghu Chong yang terlatih, membuat pemuda itu dapat mengenali bahwa beberapa adik seperguruannya sedang ditugasi untuk mengintai di luar, serta menjaga apabila dirinya melarikan diri.
Sungguh Linghu Chong semakin kesal. Tangannya terkepal sampai mengeluarkan bunyi yang terdengar jelas di tengah gelap malam. Ia pun berpikir, “Jika saat ini aku pergi meninggalkan rombongan, justru aku akan dituduh benar-benar melakukan dosa. Baik, bakilah kalau begitu! Aku tidak akan pergi. Terserah kalian berbuat apa saja kepadaku, aku tidak peduli.”
Ia kemudian berteriak-teriak, “Pelayan! Pelayan! Ambilkan aku arak!”
Beberapa lama kemudian barulah muncul seorang pelayan membawakan sebotol arak. Linghu Chong lalu meminum arak itu sepuas-puasnya sampai mabuk tak sadarkan diri. Esok paginya sewaktu Lao Denuo memapah tubuhnya untuk menaiki kereta, ia masih dalam keadaan setengah sadar, sambil mulutnya tetap berteriak-teriak, “Berikan aku arak! Berikan aku arak yang banyak!”
Dalam keadaan genting, Linghu Chong teringat nasihat Feng Qingyang, “Pedangmu tidak jelas arah serangannya, tentu musuhmu tidak dapat pula mengatasinya. Tanpa jurus untuk mengalahkan jurus adalah puncak kesempurnaan dari segala ilmu pedang.”
Tak terasa sudah lebih dari dua ratus jurus terlewati. Pemahaman Linghu Chong terhadap intisari ilmu Sembilan Pedang Dugu semakin baik dan semakin mendalam. Tak peduli betapa mengerikan gaya serangan yang dilancarkan Feng Buping tetap saja ia mampu melihat celah kelemahannya. Maka, serangan lawan pun dibalas dengan serangan pula, sehingga membuat Feng Buping yang masih sayang nyawa terpaksa membatalkan serangannya atau bergerak mundur untuk menjaga diri.
Setelah berlalu beberapa jurus berikutnya, rasa percaya diri Linghu Chong semakin meningkat. Ia terus-menerus teringat pada ajaran Feng Qingyang, “Tanpa jurus mengalahkan jurus.” Oleh sebab itu, ia selalu menghirup nafas dan menyerang sesuka hati tanpa arah yang jelas. Tanpa direncanakan tiba-tiba ia menusuk miring ke depan. Gerakannya ini seperti enteng tak bertenaga. Ini bukan bagian dari jurus pedang perguruan mana pun, juga bukan bagian dari ilmu Sembilan Pedang Dugu. Ujung pedangnya seperti mengarah ke timur, seperti mengarah ke barat, tidak menentu – bahkan, ia sendiri juga tidak tahu hendak mengarah ke mana.
“Jurus pedang apa pula ini?” tanya Feng Buping dalam hati. Karena tidak tahu bagaimana caranya mengatasi serangan tersebut, terpaksa ia hanya memutar pedangnya dengan kencang untuk melindungi tubuh bagian atas.
Karena gerakan Linghu Chong sama sekali tidak baku dan bisa berubah sesuai keadaan, maka begitu bagian atas tubuh lawan tertutup rapat, ia pun membelokkan ujung pedangnya mengarah ke bawah pinggang. Feng Buping yang tidak menduga sama sekali pun terkejut dan terpaksa melompat mundur.
Linghu Chong sendiri tidak sanggup untuk ikut melompat. Meskipun tidak menggunakan tenaga dalam sama sekali, namun menggerakkan pedang seperti tadi benar-benar menguras habis kekuatannya. Nafas pemuda itu terdengar payah dan tangan kirinya tampak memegangi dada.
Melihat keadaan lawan, Feng Buping ingin segera mengakhiri pertarungan. Ia pun menerjang maju dan melancarkan serangan ke arah dada, perut, dan pinggang Linghu Chong. Namun yang diserang sama sekali tidak menghindar, tetapi balas menyerang ke arah mata kiri Feng Buping. Tentu saja Feng Buping menjerit kaget dan kembali melompat mundur menyelamatkan diri.
Menyaksikan pertarungan tersebut seorang pendeta dari Perguruan Taishan memuji, “Sungguh aneh! Sungguh aneh! Ilmu pedang yang benar-benar hebat!”
Feng Buping sangat tersinggung karena pujian tersebut sudah tentu ditujukan kepada Linghu Chong. “Aku adalah pemimpin Kelompok Pedang yang berniat merebut Perguruan Huashan. Jika aku tidak bisa mengalahkan murid Kelompok Tenaga Dalam, tentu bukan hanya cita-citaku yang kandas, tetapi aku juga harus kembali mengasingkan diri karena sudah tidak punya muka lagi untuk bertemu siapa pun di dunia persilatan.” Demikian ia berpikir. “Keadaan sudah sangat mendesak. Tidak ada lagi yang perlu aku sembunyikan!”
Sambil memekik lantang, Feng Buping pun menerjang maju kemudian menebaskan pedangnya dari samping secara cepat luar biasa. Secara bersamaan ia menyerang lima kali sehingga pedangnya mengeluarkan bunyi angin yang menderu kencang. Ia menebaskan pedangnya semakin cepat, dan bunyi angin pun terdengar semakin kencang pula.
Inilah yang disebut jurus Pedang Kilat Angin Puyuh yang diciptakan Feng Buping sewaktu ia mengasingkan diri di puncak Gunung Zhongtiao selama lima belas tahun. Setiap serangan dalam jurus ini selalu lebih dahsyat daripada serangan sebelumnya, serta suara angin yang ditimbulkan juga semakin kencang dari sebelumnya. Jurus ini merupakan jurus tertinggi yang dimiliki Feng Buping. Dengan berbekal ilmu pedang yang berjumlah seratus delapan jurus serangan tersebut, ia tidak hanya bercita-cita merebut kedudukan ketua Perguruan Huashan, tetapi juga ingin menjadi pemimpin Serikat Pedang Lima Gunung. Sebenarnya ia tidak ingin buru-buru memamerkan ilmu pedang tersebut dalam pertandingan kali ini, namun kini sudah terlanjur. Apabila kelak ia bertarung melawan ahli silat papan atas yang pernah mendengarnya, tentu jurus ini bukan menjadi senjata andalan lagi. Pihak lawan pasti sudah mempersiapkan jurus tertentu untuk menghadapinya. Akan tetapi, keadaan kali ini sudah begitu mendesak dan tidak ada gunanya untuk disembunyikan lagi. Jika ia tidak mampu mengalahkan seorang Linghu Chong, maka ia akan kehilangan muka untuk selama-lamanya. Maka, jurus pedang andalan ini pun menjadi usaha terakhir baginya untuk meraih kemenangan.
Daya tekanan jurus Pedang Kilat Angin Puyuh ini sungguh luar biasa. Tenaga yang terpancar dari ujung pedang Feng Buping perlahan-lahan semakin luas. Para hadirin merasa kedinginan dan muka masing-masing terasa sakit serta tidak nyaman karena tersapu angin pedang tersebut. Selangkah demi selangkah mereka pun mundur untuk menghindar.
Kali ini para penonton dari Perguruan Songshan, Taishan, dan Hengshan, serta pasangan suami-istri Yue Buqun tidak lagi berani memandang rendah terhadap Feng Buping. Mereka tidak hanya mengagumi kehebatan jurus pedang tersebut, tapi juga angin dahsyat yang ditimbulkan olehnya. “Feng Buping tidak hanya mengandalkan jurus pedang untuk memenangkan pertarungan. Tadinya ia bukan tokoh ternama di dunia persilatan. Siapa sangka ilmu pedangnya begitu luar biasa?” Demikian para hadirin berkata dalam hati.
Cahaya obor yang dipegang para hadirin tampak bergoyang-goyang bahkan sebagian ada yang padam terkena angin pedang Feng Buping. Di mata para hadirin, pertarungan mengerikan itu bagaikan menyaksikan sebuah perahu kecil yang diombang-ambingkan badai dan ombak samudera. Meskipun badai bertiup kencang dan ombak bergulung tinggi, namun perahu itu hanya naik turun mengikuti irama gelombang saja. Perahu sama sekali tidak bisa ditenggelamkan oleh badai dan ombak dahsyat tersebut.
Begitulah yang sedang dialami Linghu Chong. Semakin cepat Feng Buping melancarkan serangan, semakin membuat Linghu Chong memahami intisari Sembilan Pedang Dugu sebagaimana yang diajarkan Feng Qingyang dulu. Semakin mereka bertarung, semakin baik pemahaman Linghu Chong. Semakin ia mampu mengatasi jurus pedang lawan, semakin besar pula rasa percaya dirinya. Justru dalam keadaan ini Linghu Chong tidak ingin buru-buru menyelesaikan pertarungan, melainkan terus mengamati setiap serangan musuh dengan saksama.
Ilmu Pedang Kilat Angin Puyuh hanya meliputi seratus delapan jurus saja. Setelah dimainkan semuanya dalam waktu sebentar ternyata sudah habis. Feng Buping merasa gelisah karena tidak mampu membuat Linghu Chong menyerah kalah. Ia pun membentak-bentak murka dan menyerang dengan lebih sengit lagi untuk memancing Linghu Chong menangkis serangannya.
Linghu Chong agak ngeri juga melihat pihak lawan sudah bertingkah habis-habisan untuk memenangkan pertarungan. Khawatir pertarungan ini berlarut-larut, ia pun melancarkan empat serangan ke arah lawan. Tiba-tiba bertutut-turut kedua lengan dan kedua paha Feng Buping tertusuk semua. Tusukan tersebut membuat Feng Buping terkejut dan pedangnya sampai jatuh ke tanah.
Dikarenakan tenaga Linghu Chong yang lemah, maka keempat tusukan tersebut hanya menggores kulit lawan. Namun demikian, hal itu sudah cukup membuat Feng Buping kehilangan harga diri. Dengan wajah pucat pasi, pemimpin Kelompok Pedang tersebut berseru, “Sudahlah, sudah cukup!”
Ia kemudian berjalan menghampiri Ding Mian, Lu Bai, dan Tang Ying’e. Sambil memberi hormat, ia pun berkata, “Saudara bertiga dari Songshan, tolong sampaikan kepada Ketua Zuo bahwa aku sangat berterima kasih atas bantuan Beliau. Hanya sayang... hanya sayang kepandaianku belum cukup. Aku sungguh malu… sungguh malu….”
Feng Buping tidak sanggup lagi melanjutkan ucapannya. Sekali lagi ia memberi hormat, kemudian bergegas pergi meninggalkan tempat itu. Namun setelah belasan langkah, ia menoleh ke belakang dan bertanya, “Anak Muda, ilmu pedangmu sungguh hebat dan lihai. Aku mengaku kalah. Tapi, sepertinya jurus-jurusmu yang menakjubkan tadi bukan hasil didikan Yue Buqun. Jika diizinkan, tolong beri tahu siapa namamu, dan siapa pula pendekar besar yang telah mengajarimu, supaya aku tidak penasaran terhadap siapa dan apa yang telah mengalahkanku.”
Linghu Chong menjawab, “Namaku Linghu Chong. Aku murid pertama dari Pendekar Yue Buqun yang budiman. Aku bisa menang juga karena belas kasihan dari Tuan yang sudi mengalah. Mengenai hal ini rasanya tidak perlu untuk dibanggakan.”
Feng Buping menghela nafas panjang, yang terdengar seolah ingin menunjukkan kegelisahan hatinya yang penuh rasa kecewa dan patah semangat. Perlahan ia melangkah pergi dan akhirnya hilang ditelan kegelapan malam.
Ding Mian, Lu Bai, dan Tang Ying’e hanya saling pandang satu sama lain. Masing-masing dari mereka berpikir, “Ilmu pedang kami mungkin tidak sebagus Feng Buping, sehingga tidak ada gunanya jika kami maju menghadapi Linghu Chong. Apabila kami bertiga maju bersama-sama, bisa jadi Linghu Chong dapat dikalahkan. Namun, di sini banyak para pendekar dari perguruan lain. Main keroyok hanya akan mendatangkan masalah baru yang dapat berpengaruh buruk bagi nama baik Perguruan Songshan.”
Karena sama-sama berpikir demikian, mereka bertiga pun mengangguk-anggukkan kepala. Ding Mian kemudian berkata dengan suara keras, “Keponakan Linghu, ilmu pedangmu benar-benar hebat, membuat kami semua bertambah pengalaman. Sampai jumpa di lain kesempatan!”
“Ayo jalan!” seru Tang Ying’e yang kemudian melecutkan cambuknya. Kudanya pun berlari meninggalkan tempat itu, diikuti seluruh rombongan Serikat Pedang Lima Gunung lainnya. Hanya dalam waktu singkat mereka sudah menghilang di kegelapan malam. Yang terdengar sayup-sayup hanya derap kaki kuda yang makin lama makin menjauh.
Kini yang tertinggal hanyalah orang-orang Huashan dan kelima belas laki-laki bercadar tadi. Si orang tua tertawa lalu berkata, “Pendekar muda Linghu, kami sungguh-sungguh kagum melihat ilmu pedangmu yang luar biasa hebat. Kepandaian Yue Buqun masih berada sangat jauh di bawahmu. Seharusnya kau yang menjadi ketua Perguruan Huashan.”
Linghu Chong diam tidak menjawab. Hanya nafasnya yang terengah-engah terdengar jelas oleh para penjahat itu.
“Melihat kepandaianmu tadi kami seharusnya tahu diri dan mundur teratur,” lanjut si orang tua. “Tapi kami sudah terlanjur mengganggu Perguruan Huashan kalian. Jika kami mundur maka suatu hari nanti giliran kalian yang akan membalas kami. Untuk itu, kami harus mencabut rumput sampai ke akar-akarnya. Tidak ada jalan lain, kami terpaksa harus mengeroyokmu bersama-sama.”
Usai berkata demikian, orang tua itu memberi isyarat dan keempat belas kawannya langsung ikut mengepung rapat Linghu Chong membentuk suatu lingkaran. Obor-obor yang ditinggalkan rombongan Ding Mian masih berserakan di tanah dan belum padam. Samar-samar Linghu Chong bisa melihat tubuh bagian bawah kelima belas orang bercadar itu yang masing-masing menggunakan senjata berbeda-beda.
Mau tidak mau timbul rasa khawatir dalam hati Linghu Chong. Dalam pertarungan melawan Feng Buping tadi memang ia tidak menggunakan tenaga dalam, tapi tetap saja membuatnya sangat letih dan kelelahan. Dengan berbekal ilmu Sembilan Pedang Dugu ia berhasil mengalahkan semua jurus pedang yang dikerahkan Feng Buping. Akan tetapi, saat ini yang ia hadapi adalah lima belas orang musuh dengan senjata berbeda-beda, sehingga tentu saja memiliki jurus yang berbeda-beda pula. Apabila mereka nanti maju bersama-sama, tentu akan sulit untuk mengalahkan mereka satu per satu meskipun dengan mengandalkan ilmu Sembilan Pedang Dugu. Andaikan Linghu Chong masih memiliki tenaga dalam rasanya juga percuma, karena kelima belas orang itu mengepung rapat dirinya dari segala arah.
Dalam keadaan putus asa itu Linghu Chong menghela nafas dan memandang ke arah Yue Lingshan. Ia merasa mungkin ini adalah untuk yang terakhir kalinya ia dapat memandang wajah gadis yang sangat ia cintai itu. Ternyata tatapan mata Yue Lingshan kepadanya juga menunjukkan wajah penuh rasa cemas dan khawatir. Sungguh senang perasaan Linghu Chong tak terkatakan. Dalam saat-saat terakhir ia masih sempat melihat adik kecilnya itu menunjukkan kasih sayang kepadanya.
Akan tetapi, ketika Linghu Chong melirik ke samping, tampak samar-samar tangan Yue Lingshan bergenggaman erat dengan tangan seorang pemuda, yang tidak lain adalah Lin Pingzhi. Seketika Linghu Chong merasa hatinya disayat-sayat. Semangat bertempurnya patah. Rasanya ia ingin membuang senjata dan membiarkan kelima belas senjata lawan menghabisi nyawanya.
Di lain pihak, kelima belas orang bercadar ternyata tidak berani mendahului serangan karena masing-masing tidak ingin bernasib seperti Feng Buping. Mereka hanya maju selangkah demi selangkah dan semakin rapat mengepung Linghu Chong.
Dalam kegelapan itu Linghu Chong samar-samar dapat melihat lima belas pasang mata para pengepungnya yang berkedip-kedip bagaikan binatang buas sedang mengincar mangsa. Penuh dengan tatapan keji dan sikap bermusuhan. Menyaksikan itu membuat dirinya teringat sesuatu.
“Aku ingat, dalam ilmu Sembilan Pedang Dugu ada satu jurus yang bernama Cara Mengalahkan Senjata Rahasia. Tak peduli berapa pun banyaknya senjata rahasia atau anak panah yang berhamburan, aku bisa mengatasinya tanpa masalah. Semua bisa disapu secara bersamaan.”
Sekejap kemudian terdengar suara si orang tua berseru memberi perintah, “Maju semua! Habisi dia!”
Tanpa pikir lagi Linghu Chong pun menggerakkan pedangnya secara melingkar mengelilingi dirinya. Ia membayangkan lima belas pasang mata yang mengepungnya bagaikan tiga puluh senjata rahasia yang sedang berhamburan. Sekejap kemudian terdengar suara jerit kesakitan orang-orang bercadar itu, serta suara senjata berjatuhan di tanah. Rupanya dengan memainkan jurus Cara Mengalahkan Senjata Rahasia, Linghu Chong berhasil membutakan tiga puluh biji mata para pengepungnya secara sekaligus.
Jurus Cara Mengalahkan Senjata Rahasia dalam ilmu Sembilan Pedang Dugu memang dapat menyapu bersih semua jenis senjata rahasia ataupun anak panah yang dilepaskan musuh, berapa pun banyaknya. Jurus ini sangat sulit karena membutuhkan tusukan yang jitu. Sekali menusuk harus bisa menjatuhkan senjata yang dilemparkan. Jika tidak, tentu senjata rahasia itu akan terus menerjang maju. Linghu Chong sendiri belum terlalu lihai dalam memainkan jurus ini. Akan tetapi, untuk menusuk mata musuh tentu lebih mudah daripada menusuk senjata rahasia yang melayang kencang. Itulah sebabnya, ia dapat membutakan semua mata kelima belas orang bercadar itu dengan sangat jitu.
Setelah melakukan serangan yang luar biasa itu, Linghu Chong melangkah sempoyongan melewati para pengepungnya yang menjerit-jerit kesakitan. Setelah berada di dekat kuil tua, ia langsung memegangi ambang pintu dengan wajah pucat dan tubuh gemetar. Menyusul kemudian pedangnya pun terlepas dari genggaman.
Ketika menoleh ke belakang, tampak kelima belas penjahat bercadar itu kelabakan sambil menutupi mata masing-masing. Darah segar merembes keluar melalui sela-sela jari tangan mereka. Ada yang berjongkok merintih, ada yang berlari-lari seperti lalat tak berkepala, ada pula yang berguling-guling di dalam kubangan lumpur. Andai saja mereka tetap bersikap tenang, tentu Linghu Chong dapat mereka habisi seperti daging cincang. Namun, semua itu dapat dimaklumi. Bagaimanapun tingginya ilmu kesaktian seseorang, apabila kehilangan penglihatan secara tiba-tiba, tentu akan membuatnya gentar dan tidak sanggup lagi melanjutkan pertarungan.
Dalam keadaan genting, Linghu Chong berniat melancarkan serangan lanjutan. Akan tetapi ia merasa kasihan bercampur ngeri melihat pemandangan tersebut.
Di sisi lain, Yue Buqun juga merasa heran bercampur gembira. Ia pun membentak, “Chong’er, cepat putuskan urat kaki mereka! Setelah itu kita bisa periksa dan tanyai asal-usul mereka.”
“Baik... baik....” jawab Linghu Chong sambil berjongkok meraih pedangnya. Tidak disangka tenaganya kali ini sudah benar-benar habis. Tubuhnya semakin gemetar dan tangannya tidak kuat lagi mengangkat pedang.
Sementara itu si tua berseru, “Kawan-kawan, lekas pungut senjata masing-masing dengan tangan kanan, dan raih ikat pinggang kawan terdekat dengan tangan kiri! Kita pergi meninggalkan tempat ini. Dengarkan arah suaraku!”
Keempat belas kawannya semula tidak tahu harus berbuat apa. Maka begitu mendengar teriakan tersebut, mereka langsung berjongkok dan meraba-raba tanah. Masing-masing segera memungut senjata yang mereka temukan, tidak peduli itu milik siapa. Ada yang memungut lebih dari satu, ada pula yang tidak menemukan apa-apa di tanah. Kemudian mereka pun saling memegang ikat pinggang kawan yang ada di dekat masing-masing sehingga membentuk satu barisan, di mana si orang tua berada di urutan paling depan. Dengan langkah tak menentu mereka pun berjalan menembus kegelapan malam gerimis.
Selain Ning Zhongze dan Linghu Chong, semua anggota Perguruan Huashan dalam keadaan tertotok tanpa bisa bergerak sedikit pun. Ning Zhongze dalam keadaan terluka cukup parah di bagian kaki sehingga tidak mampu berjalan, sedangkan Linghu Chong sendiri kehabisan tenaga dan hanya terbaring lemah di atas tanah berlumpur. Maka itu, orang-orang Huashan tersebut hanya bisa memandang kelima belas musuh pergi tanpa bisa berbuat apa-apa.
Setelah musuh menjauh, keadaan menjadi begitu sepi. Yang terdengar kini hanyalah suara nafas orang-orang Huashan di halaman kuil tua tersebut. Tiba-tiba terdengar Yue Buqun berkata, “Pendekar Linghu, mengapa kau tidak segera membuka totokan kami? Apa kami harus memohon belas kasihanmu supaya sudi menolong kami?”
Kontan saja Linghu Chong terkejut. Ia berkata dengan suara gemetar, “Guru... Guru, mengapa.... mengapa Guru bercanda seperti itu? Saya akan... saya akan segera membuka totokan Guru.”
Segera ia merangkak bangun dan melangkah gontai mendekati Yue Buqun. “Guru... mana... mana titik nadi yang harus dibuka?”
Yue Buqun merasa sangat gusar tak terkatakan. Teringat kembali olehnya bagaimana Linghu Chong bersandiwara di lereng Gunung Huashan untuk membebaskan Tian Boguang. Kali ini ia pun mengira Linghu Chong sengaja melepaskan kelima belas penjahat bercadar tadi, serta sengaja mengulur waktu untuk tidak segera membuka totokan pada tubuhnya. Dengan bengis ia menjawab, “Tidak perlu lagi.”
Usai berkata demikian Yue Buqun mengerahkan tenaga dalam Kabut Lembayung Senja sekuat-kuatnya untuk membuka titik nadi yang tertotok itu. Sejak tadi ia diam-diam sudah berusaha membuka totokan tersebut namun sulit sekali. Orang bercadar yang menotoknya sungguh memiliki tenaga dalam yang sangat hebat. Beberapa titik nadi Yue Buqun yang ditotok olehnya adalah titik nadi utama, yaitu Yu-Zhen, Tan-Zhong, Ju-Zhui, Jian-Zhen, dan Zhi-Tang. Setiap kali ia mengerahkan tenaga untuk membuka totokan tersebut, entah bagaimana ada suatu penghalang yang membendung di titik-titik tersebut, yang akhirnya mengurangi kekuatan ilmu Kabut Lembayung Senja.
Linghu Chong sendiri ingin sekali membantu sang guru membuka totokan tersebut, namun tidak memiliki tenaga sama sekali. Berkali-kali ia mencoba mengangkat lengan, namun setiap kali mengerahkan tenaga selalu saja yang ia rasakan adalah sakit luar biasa, mata berkunang-kunang, telinga berdengung, dan hampir saja jatuh pingsan. Terpaksa ia hanya duduk di samping Yue Buqun dan menunggu sang guru membuka sendiri totokannya.
Ning Zhongze tampak masih terbaring lemah di atas tanah. Dalam pertarungan melawan Cong Buqi tadi ia mengalami kecelakaan dalam mengalirkan tenaga dalam untuk mengerahkan Jurus Tunggal Pedang Ning Tanpa Tanding. Akibatnya, kini ia tidak hanya kesulitan menghimpun tenaga, tapi bahkan tidak mampu menggerakkan tangan untuk merawat luka di kaki.
Menjelang fajar tiba barulah hujan berhenti. Keadaan sudah mulai terang. Dari kepala Yue Buqun tampak asap putih mengepul, pertanda ia masih berjuang mengerahkan tenaga dalam untuk membuka totokan musuh. Mukanya yang bersemu ungu pun terlihat semakin tandas. Akhirnya ia menjerit singkat pertanda semua totokan pada tubuhnya telah terbuka. Dengan cepat ia melompat bangun dan segera bekerja membuka satu per satu totokan pada tubuh murid-muridnya. Ada yang ditepuk, ada pula yang diremas. Hanya sekejap saja mereka pun terbebas dari siksaan sepanjang malam tersebut.
Terakhir ia memapah istrinya. Setelah Ning Zhongze bangun dalam keadaan terduduk, ia pun mengalirkan tenaga dalam untuk melancarkan aliran darah sang istri. Setelah itu, Yue Lingshan mendekat dan mengobati luka pada kaki ibunya tersebut.
Teringat pada kejadian yang nyaris merenggut nyawa mereka tadi malam, membuat para murid Huashan masih saja gemetar. Mereka bersyukur karena merasa seperti mendapat hidup baru. Namun begitu melihat mayat Liang Fa yang tanpa kepala, mau tidak mau membuat mereka berlinang air mata. Bahkan, beberapa murid perempuan sampai menangis meraung-raung. Masing-masing dari murid-murid Huashan tersebut berpikir, “Untunglah, Kakak Pertama dapat mengalahkan para penjahat itu. Kalau tidak, entah bagaimana nasib kita ini?”
Saat itu Linghu Chong masih tergeletak di atas tanah berlumpur. Gao Genming segera membantunya bangun. Yue Buqun tampak memandangi murid pertamanya itu dengan tatapan dingin. Ia bertanya, “Apa kau tahu asal-usul kelima belas orang bercadar itu?”
“Saya... saya tidak kenal mereka,” jawab Linghu Chong.
“Kau tidak kenal mereka? Apa mereka bukan teman-temanmu?” desak Yue Buqun.
“Saya belum pernah bertemu mereka, kecuali tadi malam,” jawab Linghu Chong gugup.
“Jika demikian, mengapa kau tidak mematuhi perintahku untuk menahan mereka? Mengapa kau tidak memutus urat kaki mereka?” tanya Yue Buqun kembali.
“Saya sudah... tidak punya tenaga. Seluruh tubuh terasa... terasa lemas. Bahkan sekarang… sekarang pun….” jawab Linghu Chong sambil mencoba berdiri, namun kesulitan.
“Kau sungguh pandai berpura-pura,” ujar Yue Buqun.
Linghu Chong gemetar dan berkeringat dingin. Ia segera berlutut di hadapan sang guru. “Sejak kecil saya sudah yatim piatu. Atas budi baik Guru dan Ibu Guru, saya telah dirawat sampai besar, bagaikan putra sendiri... Selama ini saya memang bukan murid yang baik. Tetapi… tetapi saya tidak berani... tidak berani membantah perintah Guru dan Ibu Guru.”
“Tidak berani?” sahut Yue Buqun sambil mencibir. “Hm, lantas ilmu pedangmu tadi kau peroleh dari mana? Apakah hasil didikan dewa mimpi, atau mendadak jatuh dari langit?”
Berulang kali Linghu Chong menyembah, kemudian menjawab, “Saya pantas dihukum mati. Tapi orang yang mengajari saya mengharuskan saya untuk berjanji tidak akan memberitahukan kepada siapa pun juga tentang asal-usul ilmu pedang ini. Terpaksa, saya tidak bisa memberi tahu Guru dan Ibu Guru tentang siapa orang itu.”
“Tentu saja, tentu saja. Ilmu silatmu sekarang sudah setinggi langit, pantas kalau kau sudah tidak memandang pada guru dan ibu-gurumu lagi. Mana mungkin ilmu pedang Huashan yang remeh ini bisa dibandingkan dengan ilmu pedangmu yang mahasakti itu?” sahut Yue Buqun. “Orang tua bercadar tadi benar. Kau memang lebih pantas menjadi ketua Perguruan Huashan.”
Linghu Chong tidak berani menjawab. Ia hanya menyembah sambil pikirannya bergejolak, “Jika aku berterus terang mengenai ilmu Sembilan Pedang Dugu, tentu Guru dan Ibu Guru akan memaafkanku. Tapi seorang laki-laki sejati harus bisa memegang janji. Seorang penjahat cabul bernama Tian Boguang saja tidak bersedia membocorkan keberadaan Kakek Guru Feng meskipun disiksa sedemikian beratnya oleh Enam Dewa Lembah Persik. Apalagi aku, yang telah menerima budi baik dari Beliau. Aku tidak boleh mengkhianati kepercayaan Kakek Guru Feng. Rasa hormatku kepada Guru dan Ibu Guru tulus dari hati. Langit menjadi saksi. Biarlah aku menanggung beban ini untuk sementara waktu.”
Maka ia kemudian berkata, “Guru dan Ibu Guru, sama sekali saya tidak bermaksud membangkang perintah Guru berdua. Namun saya sudah terlanjur berjanji untuk tidak mengatakannya. Berilah saya waktu untuk meminta izin kepada sesepuh yang telah mengajari saya itu supaya bisa menceritakan semua yang terjadi kepada Guru berdua. Jika sudah demikian, saya tidak perlu takut lagi untuk menceritakan dengan sejelas-jelasnya.”
“Baiklah! Sekarang kau boleh bangun,” kata Yue Buqun.
Linghu Chong menyembah tiga kali, kemudian mencoba untuk bangkit. Akan tetapi, baru saja sebelah kakinya menjejak tanah, tubuhnya kembali gemetar dan ia pun jatuh terduduk. Lin Pingzhi yang ada di dekatnya segera membantunya bangun.
“Hm, ilmu pedangmu hebat, tapi sandiwaramu jauh lebih hebat,” ujar Yue Buqun.
Linghu Chong hanya terdiam tak berani menjawab. Dalam benaknya terlintas pikiran, “Selamanya aku tidak akan pernah melupakan budi baik Guru. Biarlah untuk kali ini Guru menyalahkanku. Tapi suatu hari nanti, kebenaran pasti akan terungkap. Kejadian ini memang sangat aneh dan ganjil. Aku bisa memaklumi kesalahpahaman Guru terhadapku.”
Ning Zhongze menanggapi masalah ini dengan suara lembut, “Jika bukan karena ilmu pedang Chong’er yang hebat tadi, mungkin Perguruan Huashan kita sudah musnah. Mungkin saat ini para murid perempuan juga sudah menderita karena dilecehkan oleh para penjahat itu. Entah siapa sesepuh yang telah mengajari Chong’er ilmu pedang bagus, yang jelas kita semua sudah ikut merasakan manfaatnya. Mengenai kawanan penjahat bercadar itu, suatu hari nanti pasti kita dapat mengetahui asal-usul mereka. Mana mungkin mereka adalah teman-teman Chong’er? Bukankah mereka hendak mencincang tubuh Chong’er bersama-sama? Bukankah Chong’er telah membutakan mata mereka semua?”
“Anak ini punya banyak akal,” kata Yue Buqun yang seolah-olah tidak menghiraukan setiap perkataan istrinya tadi.
Sementara itu murid-murid Huashan lainnya telah berbagi tugas. Sebagian ada yang memasak makanan, sebagian ada yang membersihkan ruangan kuil, dan ada pula yang memakamkan jenazah Liang Fa. Setelah sarapan pagi mereka semua mengganti pakaian masing-masing yang telah basah dan kotor. Setelah itu mereka tinggal menunggu perintah Yue Buqun sambil bertanya-tanya dalam hati, “Apakah kita masih perlu melanjutkan perjalanan ke Gunung Songshan? Bukankah Feng Buping sudah dikalahkan Kakak Pertama? Apa mungkin dia masih berani mencari masalah dengan kita?”
Ternyata Yue Buqun masih meminta pertimbangan sang istri. “Adik, menurut pendapatmu, kita sebaiknya ke mana?”
Ning Zhongze masih ingat kalau tujuan mereka turun gunung sebenarnya bukan untuk meminta keadilan kepada Zuo Lengchan di Gunung Songshan, melainkan untuk mengungsi menghindari serangan balas dendam Enam Dewa Lembah Persik. Maka, wanita itu pun menjawab, “Kita memang sudah tidak perlu lagi pergi ke Gunung Songshan. Tapi kita sudah terlanjur turun gunung, rasanya tidak perlu buru-buru pulang ke Huashan.”
“Benar juga. Kita tidak ada kepentingan mendesak lainnya,” jawab Yue Buqun. “Tidak ada salahnya kalau kita pergi berpesiar supaya para murid bertambah pengalaman.”
“Bagus sekali! Ayah....” seru Yue Lingshan gembira. Namun begitu teringat Liang Fa yang baru saja terbunuh, ia langsung terdiam tanpa melanjutkan kata-kata, melainkan hanya bertepuk satu kali saja.
“Hm, sepertinya kau senang sekali begitu mendengar kita akan pergi berpesiar. Baiklah, untuk saat ini kau boleh bersenang-senang,” ujar Yue Buqun tersenyum. “Shan’er, coba katakan ke mana sebaiknya kita pergi?” Sambil berkata demikian, ia kemudian menoleh ke arah Lin Pingzhi.
Yue Lingshan menjawab, “Ayah, apabila kita ingin bersenang-senang, sebaiknya kita berpesiar yang jauh sekalian. Makin jauh makin baik. Jangan buru-buru pulang. Bagaimana kalau kita pergi ke... kita pergi ke rumah Lin Kecil. Memang Kakak Kedua dan aku pernah pergi ke Fuzhou. Tetapi saat itu kami sedang dalam tugas penyamaran. Tentu saja kami tidak sempat bersenang-senang. Lin Kecil pernah bilang buah lengkeng Fujian besar-besar dan manis-manis. Di sana juga ada jeruk segar, pohon banyan, serta bunga bakung.”
Nyonya Yue menggeleng dan berkata, “Provinsi Fujian jaraknya terlalu jauh dari sini. Dari mana kita punya biaya untuk rombongan sebanyak ini? Jangan-jangan kita harus menjadi anggota Partai Pengemis dan meniru cara mereka berkelana sambil meminta-minta.”
Lin Pingzhi ikut bicara, “Guru dan Ibu Guru, bagaimana kalau kita pergi ke Provinsi Henan? Jaraknya hanya dua hari perjalanan dari sini. Kakek saya tinggal di Kota Luoyang.”
Ning Zhongze menjawab, “Benar juga. Kakekmu dari pihak ibu bukankah Wang Yuanba si Golok Emas Tanpa Tanding?”
“Ayah dan Ibu sudah meninggal. Saya ingin mengunjungi Kakek dan Nenek untuk memberitahukan hal itu secara rinci,” kata Lin Pingzhi. “Apabila Guru dan Ibu Guru, serta kakak-kakak sekalian sudi ikut mampir ke rumah Kakek dan tinggal di sana beberapa hari, tentu Beliau akan merasa mendapatkan kehormatan besar. Baru setelah itu kita bisa melanjutkan perjalanan ke Fujian. Mengenai biaya tidak perlu khawatir. Saya pernah mengambil benda-benda berharga yang dirampas Perguruan Qingcheng dari Biro Ekspedisi Fuwei kami di cabang Changsa.”
Meskipun Ning Zhongze telah menusuk Dewa Buah Persik, namun tetap saja hatinya dicekam ketakutan sewaktu teringat bagaimana orang-orang aneh dari Lembah Persik itu mementang dan mengangkat tubuhnya ke udara. Ia masih teringat bagaimana kematian Cheng Buyou yang mengerikan, dengan mayat terbelah menjadi empat dan isi perut berhamburan di mana-mana. Kejadian tersebut telah menjadi mimpi buruk yang selalu menghantui wanita itu. Ia tidak pernah lupa kalau perjalanan ke Gunung Songshan hanyalah untuk mengalihkan perhatian saja. Kini begitu melihat Lin Pingzhi mengajak semua orang untuk pergi ke Fujian setelah mendapat isyarat dari Yue Buqun, Ning Zhongze pun merasa melanjutkan perjalanan adalah pilihan yang lebih baik daripada kembali ke Huashan. Di samping itu, ia dan suami juga belum pernah mengunjungi daerah selatan, sehingga tidak ada salahnya untuk pergi ke sana.
Berpikir demikian, Ning Zhongze pun tersenyum senang dan berkata, “Kakak, Pingzhi telah menyatakan siap menanggung makanan dan tempat tinggal. Bagaimana kalau kita menerima ajakannya?”
Yue Buqun tersenyum dan menjawab, “Kakek Pingzhi adalah Si Golok Emas Tanpa Tanding yang sangat terpandang. Sudah lama aku ingin berkenalan dengan Beliau, namun sampai saat ini belum juga terkabulkan. Selain itu di daerah Fujian juga terdapat Biara Shaolin Cabang Selatan yang banyak melahirkan tokoh-tokoh ternama. Baiklah, aku setuju untuk pergi ke Luoyang dan Fujian. Jika di sana kita dapat menjalin persahabatan dengan beberapa kawan baru, maka perjalanan ini tidak sia-sia.”
Mendengar ucapan sang guru bahwa rombongan akan melanjutkan perjalanan ke Luoyang dan Fujian untuk berwisata membuat murid-murid Huashan pun bersorak gembira, terutama Yue Lingshan dan Lin Pingzhi. Hanya Linghu Chong yang terlihat murung. Pemuda itu berpikir, “Untuk apa Guru dan Ibu Guru memutuskan pergi ke Luoyang dan Fujian yang jaraknya ribuan Li dari sini? Aku tahu, pasti tujuan ke Luoyang adalah untuk menemui kakek dan nenek Adik Lin, supaya Adik Lin dan Adik Kecil bisa dijodohkan di sana. Setelah itu rombongan ini menuju ke Fujian. Bisa jadi, mereka berdua kemudian dinikahkan di sana... Aku hanya seorang yatim piatu. Tanpa sanak, tanpa saudara. Mana bisa dibandingkan dengan seorang majikan muda Biro Ekspedisi Fuwei yang kantor cabangnya tersebar di mana-mana? Apalagi kakeknya yang bernama Wang Yuanba si Golok Emas Tanpa Tanding sangat dihormati Guru. Kali ini rombongan kami hendak menemuinya, untuk apa aku ikut serta?”
Perasaan Linghu Chong semakin kesal melihat adik-adik seperguruannya yang bergembira ria seolah-olah sudah melupakan kematian Liang Fa yang mengenaskan. Ia kemudian berpikir, “Nanti kalau bermalam di suatu penginapan, biarlah aku meloloskan diri tengah malam. Mana mungkin aku bisa ikut perjalanan yang menggunakan biaya dari Adik Lin, serta tinggal di rumahnya sambil menahan perasaan sedih saat mengucapkan selamat kepada Adik Lin dan Adik Kecil?”
Maka, sewaktu rombongan Huashan tersebut melanjutkan perjalanan, dengan semangat lesu dan badan lemas Linghu Chong melangkah gontai di belakang. Karena jalannya makin lama makin lambat, ia akhirnya tertinggal jauh. Mendekati tengah hari keadaannya bertambah payah. Ia tidak tahan lagi dan duduk beristirahat di atas batu di tepi jalan dengan nafas tersengal-sengal. Tiba-tiba Lao Denuo datang berlari padanya. “Kakak Pertama, bagaimana keadaanmu? Apa kau lelah? Biar aku temani.”
“Terima kasih banyak,” jawab Linghu Chong.
“Ibu Guru telah menyewa sebuah kereta di kota sana dan sebentar lagi akan datang ke sini menjemputmu,” lanjut Lao Denuo.
Linghu Chong merasa sangat terharu. Dadanya terasa hangat membayangkan meski sang guru menaruh curiga kepadanya, namun ibu-guru ternyata masih tetap bersikap baik dan penuh perhatian. Benar juga. Tidak lama kemudian datang sebuah kereta yang ditarik keledai ke tempat itu. Linghu Chong segera masuk ke dalamnya didampingi Lao Denuo.
Sejak itu, Lao Denuo selalu mendampingi dan menyertai Linghu Chong kemana pun juga. Bahkan, saat bermalam di penginapan pun mereka tidur dalam kamar yang sama. Selama dua hari mereka tidak pernah berpisah. Tentu saja ini membuat Linghu Chong merasa terharu dan berterima kasih atas perhatian adik keduanya tersebut.
“Saat Adik Lao bergabung dengan Perguruan Huashan, ia sudah berpengalaman dan memiliki beberapa macam ilmu silat. Selain itu usianya juga jauh lebih tua dariku. Biasanya dia sangat jarang berbicara denganku. Siapa sangka sekarang ia menjadi saudaraku yang paling dekat dan paling memerhatikanku? Adik-adik yang lain pasti tidak berani berbicara denganku karena takut kepada Guru yang telah memarahiku di depan kuil tua tempo hari. Sekarang aku tahu siapa yang tulus kepadaku dan siapa yang tidak. Benar juga kata pepatah, jarak yang jauh akan mengukur kekuatan kuda. Ternyata ini juga berlaku untuk isi hati manusia.”
Apa yang dipikirkan Linghu Chong ternyata tidak benar. Tak disangka pada malam ketiga tanpa sengaja ia mendengar adik perguruannya yang paling kecil, yaitu Shu Qi, berbisik di luar kamar kepada Lao Denuo, “Kakak Kedua, Guru menyuruhku bertanya kepadamu apakah hari ini Kakak Pertama memperlihatkan gerak-gerik yang mencurigakan?”
Terdengar Lao Denuo menjawab dengan suara berbisik, “Ssst, jangan keras-keras! Kita keluar saja.”
Keringat dingin pun mengalir membasahi dahi Linghu Chong. Hanya dari pembicaraan tersebut sudah cukup baginya untuk membuat kesimpulan bahwa sang guru benar-benar curiga kepadanya. Ternyata Lao Denuo selama ini bersama dirinya hanyalah karena menjalankan perintah sang guru untuk mengawasinya secara diam-diam.
Saat itu Shu Qi sudah mengendap-endap pergi, sementara Lao Denuo mendekati ranjang untuk memeriksa apakah Linghu Chong telah tertidur atau belum. Sebenarnya Linghu Chong ingin sekali bangun dan membentak adik keduanya itu, namun ia kemudian sadar kalau Lao Denuo hanya menjalankan tugas dari sang guru. Maka, ia pun menahan diri dan pura-pura tidur nyenyak.
Lao Denuo kemudian melangkah keluar kamar. Linghu Chong yakin kalau kepergiannya adalah untuk menyampaikan laporan kepada sang guru. Pemuda itu kembali berpikir, “Hm, aku tidak berbuat salah. Sekalipun kalian berjumlah seratus atau dua ratus orang mengawasiku siang dan malam, aku tidak takut. Tidak ada yang perlu kusembunyikan.”
Karena perasaannya sedang dirundung kemarahan membuat dadanya terasa sesak dan nafas menjadi kacau. Dengan sendirinya, sedikit tenaga dalam pun mengalir keluar untuk mengatasi keadaan. Akan tetapi, dengan munculnya aliran tenaga dalam ini justru membuat Linghu Chong semakin menderita. Ia pun meremas bantal dengan nafas terengah-engah. Selang agak lama, rasa sakit perlahan sirna.
Perlahan-lahan pemuda itu bangkit untuk duduk. Tangannya hendak meraih baju dan sepatu, sambil berpikir, “Jika Guru sudah tidak menganggapku sebagai murid dan menempatkan orang untuk mengawasiku seperti maling, lalu untuk apa aku masih berada di sini? Mungkin lebih baik aku pergi saja. Aku tidak peduli apakah kelak Guru akan mengerti yang sebenarnya terjadi atau tidak.”
Pada saat itu tiba-tiba terdengar suara orang berbicara di luar kamar, “Ssst, jangan berisik!”
Lalu suara lain menjawab, “Benar, sepertinya Kakak Pertama sudah bangun.”
Meskipun kedua suara itu diucapkan dengan nada berbisik, namun karena keadaan sudah tengah malam, ditambah lagi dengan pendengaran Linghu Chong yang terlatih, membuat pemuda itu dapat mengenali bahwa beberapa adik seperguruannya sedang ditugasi untuk mengintai di luar, serta menjaga apabila dirinya melarikan diri.
Sungguh Linghu Chong semakin kesal. Tangannya terkepal sampai mengeluarkan bunyi yang terdengar jelas di tengah gelap malam. Ia pun berpikir, “Jika saat ini aku pergi meninggalkan rombongan, justru aku akan dituduh benar-benar melakukan dosa. Baik, bakilah kalau begitu! Aku tidak akan pergi. Terserah kalian berbuat apa saja kepadaku, aku tidak peduli.”
Ia kemudian berteriak-teriak, “Pelayan! Pelayan! Ambilkan aku arak!”
Beberapa lama kemudian barulah muncul seorang pelayan membawakan sebotol arak. Linghu Chong lalu meminum arak itu sepuas-puasnya sampai mabuk tak sadarkan diri. Esok paginya sewaktu Lao Denuo memapah tubuhnya untuk menaiki kereta, ia masih dalam keadaan setengah sadar, sambil mulutnya tetap berteriak-teriak, “Berikan aku arak! Berikan aku arak yang banyak!”
Linghu Chong mengalahkan Feng Buping. |
Membutakan lima belas pasang mata. |
Yue Buqun mengerahkan tenaga membebaskan totokan. |
Murid-murid Huashan berangkat berpesiar. |
(Bersambung)