Bagian 94 - Menghadapi Tekanan

Utusan Serikat Pedang Lima Gunung datang di Henshan.

Di tengah-tengah teriakan itu, muncul lima orang melesat ke atas, sementara di belakang mereka menyusul rombongan berisi puluhan orang. Kelima orang yang berlari paling depan itu masing-masing membawa sebuah panji sulaman, yang tidak lain adalah Panji Pancawarna lambang kebesaran Serikat Pedang Lima Gunung. Kira-kira beberapa meter di depan Linghu Chong dan para hadirin, kelima orang itu lantas berdiri berjajar. Yang berdiri paling tengah seorang berkepala gundul licin, berusia lima puluhan tahun dan bertubuh tinggi besar. Linghu Chong mengenali orang itu yang tidak lain adalah Ding Mian, salah seorang tokoh terkemuka Perguruan Songshan yang berjuluk Si Tapak Penahan Menara. Ia merupakan adik seperguruan Zuo Lengchan nomor dua yang dulu pernah dilihat Linghu Chong saat peristiwa menghadapi Kelompok Pedang Cabang Perguruan Huashan di halaman Kuil Dewa Obat.

Linghu Chong pun menyapa, “Sesepuh Ding, bagaimana kabarmu?”

Ding Mian mengibaskan panji yang dipegangnya, lalu berkata, “Perguruan Henshan adalah anggota Serikat Pedang Lima Gunung, maka harus tunduk kepada perintah Ketua Zuo.”

Linghu Chong tersenyum menjawab, “Apakah Sesepuh Ding telah lupa bahwa tempo hari di Lembah Tempa Pedang di Longquan orang-orang Perguruan Henshan kami telah diserang oleh orang-orang Perguruan Songshan yang menyamar sebagai anggota Sekte Matahari dan Bulan? Peristiwa itu telah menewaskan tidak sedikit kakak dan adik kami, sehingga Biksuni Dingxian menyatakan untuk tidak lagi tunduk kepada perintah Ketua Zuo. Apakah saudara-saudara bermarga Zhao, Zhang, dan Sima tidak melaporkan hal ini kepada Ketua Zuo? Linghu Chong menerima wasiat terakhir Biksuni Dingxian untuk menjabat sebagai Ketua Perguruan Henshan. Maka untuk selanjutnya, Perguruan Henshan kami tidak akan tunduk lagi kepada Serikat Pedang Lima Gunung.”

Sementara itu, rombongan beberapa puluh orang yang berjalan di belakang tadi telah tiba pula. Ternyata mereka adalah murid-murid dari Perguruan Songshan, Hengshan, Huashan, dan Taishan. Yang menjadi perwakilan Perguruan Huashan adalah delapan orang adik seperguruan Linghu Chong. Mereka semua berbaris menjadi empat kelompok sesuai perguruan masing-masing dalam keadaan siap siaga menggenggam gagang pedang tanpa bersuara sedikit pun.

Ding Mian lantas berkata, “Selama ini Perguruan Henshan dipimpin kaum biksuni. Linghu Chong seorang laki-laki, mana boleh melanggar peraturan Perguruan Henshan yang sudah turun-temurun selama ratusan tahun?”

“Peraturan dibuat oleh manusia dan dapat diubah pula oleh manusia,” jawab Linghu Chong. “Lagipula ini adalah urusan rumah tangga Perguruan Henshan kami, orang luar tidak perlu ikut campur.”

Serentak terdengar caci maki Lao Touzi dan kawan-kawannya, “Huh, ini urusan Perguruan Henshan, apa hubungannya dengan Perguruan Songshan kalian?”

“Nenekmu! Cepat kalian enyah sana!”

“Huh, ketua serikat apa pula? Ketua serikat kentut anjing tak tahu malu!”

Tempo hari ketika Liu Zhengfeng dari Perguruan Hengshan hendak mengadakan Upacara Cuci Tangan Baskom Emas dan mengudurkan diri dari dunia persilatan, Zuo Lengchan telah mengirim Ding Mian, Lu Bai, dan Fei Bin yang memimpin para murid Perguruan Songshan untuk menghentikannya. Karena persiapan mereka telah matang dan berhati-hati, para hadirin termasuk pimpinan Perguruan Taishan, Huashan, dan Henshan dibuat tak berdaya untuk mencegah mereka. Akhirnya dalam peristiwa itu, Liu Zhengfeng tidak dapat melanjutkan upacara, bahkan harus kehilangan anak istri, serta murid-muridnya. Biksuni Dingyi yang bermaksud melerai juga ikut terluka oleh pukulan Ding Mian, sehingga memilih untuk pulang meninggalkan pertemuan. Kali ini apa yang dilakukan Perguruan Songshan di Gunung Henshan sama persis dengan yang dilakukan terhadap Liu Zhengfeng. Bahkan, kedatangan mereka juga disertai perwakilan dari Perguruan Taishan, Hengshan, dan Huashan, sehingga bisa dikatakan, kekuatan mereka dalam mengganggu upacara pelantikan Linghu Chong jauh lebih besar daripada saat menghentikan upacara Liu Zhengfeng.

Melihat itu, mau tidak mau jantung Yihe, Yiqing, dan para murid Perguruan Henshan lainnya berdebar-debar. Namun demi melihat para tamu yang hadir untuk memberikan selamat kepada Linghu Chong sangat banyak, ditambah lagi dengan kehadiran Kepala Biara Shaolin dan Ketua Perguruan Wudang, tentu membuat perasaan mereka menjadi agak tenang. Sepertinya niat Perguruan Songshan untuk menggagalkan pelantikan Linghu Chong akan sulit terlaksana. Melihat para hadirin yang terdiri dari orang-orang kasar itu berani memaki orang-orang Perguruan Songshan, membuat para biksuni merasa hal ini sangat bermanfaat bagi Perguruan Henshan.

Ding Mian berkata kepada Linghu Chong, “Apa yang dikerjakan orang-orang bermulut kotor ini di sini?”

“Mereka adalah kawan-kawanku yang hadir menyaksikan upacara,” jawab Linghu Chong.

“Nah, itu dia,” kata Ding Mian. “Coba katakan padaku, apa bunyi peraturan nomor lima Perguruan Henshan kalian?”

Merasa terus-menerus didesak, Linghu Chong terpaksa melayani Ding Mian berdebat. “Peraturan kelima adalah dilarang bergaul dengan golongan hitam. Maka itu, Linghu Chong tidak sudi bergaul dengan manusia semacam Saudara Ding dan murid-murid Perguruan Songshan ini.”

Maka terdengarlah suara gemuruh tawa banyak orang. Di antara mereka ada yang berteriak-teriak, “Nah, lekas kalian enyah dari sini, manusia jahat!”

Ding Mian saling pandang dengan keempat rekannya. Para hadirin yang mendukung Linghu Chong terlalu banyak. Jika sampai terjadi pertempuran tentu pihaknya dalam keadaan bahaya. Ia berpikir, “Kali ini Kakak Zuo salah perhitungan. Kakak Zuo mengira di Gunung Henshan hanya ada murid-murid perempuan yang mendampingi Linghu Chong saat dilantik. Meskipun ilmu silat Linghu Chong sangat tinggi, namun ia tidak mungkin menang melawan kami semua. Begitu dia sedang tidak memegang pedang, maka kami bisa mengepung dan mencabut nyawanya. Tak disangka, ternyata tamu yang datang memberikan selamat kepadanya berjumlah sebanyak ini. Bahkan Kepala Biara Shaolin dan Ketua Perguruan Wudang juga datang. Hm, jika sampai terjadi pertempuran, tentu ini sangat berbahaya.”

Maka, ia pun berpaling kepada Mahabiksu Fangzheng dan Pendeta Chongxu lalu berkata, “Sesepuh berdua adalah tokoh-tokoh yang diagungkan di dunia persilatan. Kami mohon untuk diberi penilaian yang adil. Dengan mendatangkan setan iblis sebanyak ini, bukankah Linghu Chong sudah melanggar peraturan kelima Perguruan Henshan, yaitu larangan bergaul dengan kaum penjahat? Tampaknya Perguruan Henshan yang punya nama baik selama beratus-ratus tahun hari ini akan runtuh begitu saja. Apakah Ketua berdua hanya berpeluk tangan?”

Mahabiksu Fangzheng menjawab, “Tentang hal ini … ini ….” Ia merasa ucapan Ding Mian memang ada benarnya. Sebagian besar tamu yang hadir ini memang berasal dari golongan hitam, tapi mana mungkin meminta Linghu Chong mengusir orang-orang sebanyak itu?

Tiba-tiba dari arah jalanan berkumandang suara seorang perempuan, “Nona Besar Ren dari Sekte Matahari dan Bulan tiba!”

Linghu Chong terkejut bercampur gembira begitu mendengarnya. Tanpa bisa ditahan lagi, mulutnya berseru, “Hei, Yingying juga datang!” Segera ia menyongsong ke ujung jalan. Dilihatnya dua lelaki kekar mengusung sebuah joli sedang mendaki ke atas. Langkah mereka cepat bagaikan terbang. Di belakang joli tampak empat orang dayang berbaju hijau melangkah tidak kalah cepat pula.

Begitu mendengar kedatangan Ren Yingying, sebagian besar para hadirin juga ikut menyongsong ke jalan sambil bersorak ramai. Tampak sebuah joli kecil telah tiba di tengah pelataran dan diturunkan ke tanah. Saat tirai dibuka, keluar seorang gadis jelita berpakaian hijau muda. Ternyata yang datang benar-benar Ren Yingying.

“Gadis Suci! Gadis Suci!” serentak para hadirin bersorak sambil membungkukkan tubuh. Jelas mereka sangat hormat dan segan kepada gadis itu. Suatu rasa hormat yang tulus dari lubuk hati terdalam, bukan dibuat-buat.

“Kau datang juga, Yingying?” sapa Linghu Chong sambil berjalan mendekat dengan bibir tersenyum.

“Hari ini adalah hari bahagiamu, mana boleh aku tidak datang?” jawab Ren Yingying dengan senyuman manis. Pandangannya menyapu ke sekeliling melintasi muka setiap hadirin. Ia lalu sedikit membungkuk kepada Mahabiksu Fangzheng dan Pendeta Chongxu sambil berseru, “Kepala Biara, Pendeta Ketua, terimalah salamku!”

Fangzheng dan Chongxu membalas hormat sambil berpikir, “Kau memang akrab dengan Linghu Chong. Tapi seharusnya kau jangan datang kemari, karena hanya akan membuat keadaan Linghu Chong bertambah sulit.”

Tiba-tiba Ding Mian berseru, “Nona ini adalah tokoh penting dari Sekte Iblis. Betul tidak, Linghu Chong?”

“Kau benar, lantas mau apa?” sahut Linghu Chong.

“Peraturan kelima dalam Perguruan Henshan adalah dilarang bergaul dengan kaum sesat. Bila tidak kau putuskan hubunganmu dengan manusia-manusia sesat ini, maka kau tidak boleh menjadi Ketua Perguruan Henshan,” kata Ding Mian.

“Tidak menjadi ketua juga tidak masalah. Apa pentingnya hal itu?” jawab Linghu Chong.

Ren Yingying tersentuh mendengar ucapan itu. Demi dirinya Linghu Chong tidak peduli apa pun. Ia lantas bertanya, “Ketua Linghu, dari manakah kawan ini berasal? Mengapa dia ke sini mencampuri urusan rumah tangga Perguruan Henshan kalian?”

“Dia mengaku diutus oleh Ketua Zuo dari Perguruan Songshan. Panji yang ia pegang itu adalah panji Pancawarna lambang kebesaran Ketua Zuo,” kata Linghu Chong. “Hm, jangankan cuma sebuah panji kecil begitu, sekalipun Ketua Zuo sendiri yang datang juga tidak berhak mencampuri urusan Perguruan Henshan kami.”

“Tepat,” kata Yingying sambil mengangguk. Ia merasa gemas saat teringat kelicikan Zuo Lengchan ketika bertanding melawan ayahnya di Biara Shaolin tempo hari. Tenaga dalam mahadingin yang dikerahkan Zuo Lengchan membuat ayahnya terluka dan hampir kehilangan nyawa. Ia lantas berkata, “Siapa bilang itu panji kebesaran Serikat Pedang Lima Gunung? Dia penipu ….” belum habis ucapannya, tiba-tiba tubuhnya melesat ke depan, tahu-tahu sebelah tangannya sudah memegang sebilah pedang pendek dan digunakannya untuk menikam ke arah dada Ding Mian.

Ding Mian sama sekali tidak menduga bahwa gadis jelita itu sedemikian cekatan, menerjangnya dengan cara licik. Untuk menangkis jelas tidak sempat lagi, terpaksa ia mengelak ke samping. Ternyata serangan Ren Yingying itu hanyalah pancingan belaka. Begitu menggeser ke samping, pegangan Ding Mian menjadi kendur. Panji Pancawarna yang ada di tangan kanannya pun dapat dirampas oleh si nona.

Ren Yingying tidak lantas berhenti sampai di situ. Berturut-turut pedang pendeknya menikam empat kali dan sekaligus pula empat buah panji lainnya sudah berpindah tangan. Keempat pemegang panji tersebut adalah saudara-saudara seperguruan Ding Mian yang rata-rata berilmu tinggi. Mereka semua mahir dalam pertarungan tangan kosong dan sengaja dipilih Zuo Lengchan untuk melumpuhkan Linghu Chong saat tidak memegang pedang. Tak disangka, kelimanya justru dipecundangi Ren Yingying seperti ini. Padahal kelima serangan yang dilancarkan Ren Yingying semua menggunakan jurus yang sama, namun kecepatannya luar biasa sehingga sebelum lawan sempat berpikir apa yang terjadi, tahu-tahu panji di tangan mereka sudah hilang. Boleh dikata mereka bukan kalah karena adu kesaktian, tetapi kalah karena diserang secara tiba-tiba menggunakan tipu muslihat.

Gadis itu lalu memutar ke belakang Linghu Chong dan berkata, “Ketua Linghu, panji-panji ini semuanya palsu. Mana bisa dikatakan panji Serikat Pedang Lima Gunung? Ini semua adalah Panji Pancabisa milik Partai Lima Dewi.”

Waktu ia membentangkan kelima panji tersebut, tampak dengan jelas pada panji-panji itu masing-masing bersulamkan gambar ular, kelabang, laba-laba, kalajengking, dan katak berbisa, sama sekali bukan Panji Pancawarna milik Serikat Pedang Lima Gunung.

Ding Mian dan kawan-kawannya ternganga, tidak tahu harus bicara apa. Sebaliknya, Lao Touzi, Zu Qianqiu, dan para hadirin lainnya lantas bersorak memuji. Mereka tahu, begitu merampas Panji Pancawarna itu Ren Yingying segera menukarnya dengan Panji Pancabisa dengan sangat cepat sehingga tak seorang pun sempat melihat perbuatannya.

“Ketua Lan!” seru Ren Yingying memanggil.

Seorang wanita cantik berpakaian suku Miao tampil ke depan dan menjawab, “Hamba di sini. Silakan Gadis Suci memberi perintah!” Perempuan itu tidak lain adalah Lan Fenghuang, Ketua Partai Lima Dewi yang terkenal.

“Panji Pancabisa milik aliranmu ini mengapa bisa jatuh ke tangan orang-orang Perguruan Songshan?” tanya Ren Yingying.

“Murid-murid Perguruan Songshan ini adalah teman-teman akrab anak buah perempuanku. Mungkin mereka telah memakai kata-kata manis sehingga Panji Pancabisa milik aliran kami bisa jatuh ke tangan mereka,” jawab Lan Fenghuang sambil tertawa.

“Oh, begitu. Ini kukembalikan panji-panjimu,” kata Ren Yingying sambil melemparkan kelima buah panji kecil itu.

“Terima kasih, Gadis Suci,” sahut Lan Fenghuang sambil menyambut panji-panji partainya.

Merasa dipermainkan, Ding Mian pun memaki, “Perempuan siluman, di depanku kau berani main gila seperti itu! Lekas kembalikan panji-panji serikat kami!”

“Kalau kau menginginkan Panji Pancabisa, kenapa tidak minta kepada Ketua Lan saja?” ujar Yingying tertawa.

Dengan kesal Ding Mian terpaksa berpaling kepada Mahabiksu Fangzheng dan Pendeta Chongxu. “Kepala Biara dan Pendeta Chongxu, hendaklah kalian berdua sudi memberi keadilan.”

“Tentang peraturan Perguruan Henshan memang … memang ada satu pasal yang melarang bergaul dengan kaum sesat,” kata Mahabiksu Fangzheng. “Hanya saja … hanya saja hari ini banyak kawan persilatan yang hadir menyaksikan upacara ini sehingga Ketua Linghu terpaksa tidak bisa menutup pintu dan membuat malu tamu-tamunya ….”

Tiba-tiba Ding Mian menunjuk seseorang di antara para hadirin sambil berseru, “Hei, hei, aku mengenal penjahat cabul ini. Dia adalah Tian Boguang yang sedang menyamar sebagai biksu. Apakah manusia macam ini juga kawan Linghu Chong?” Ia diam sejenak lalu berteriak dengan nada bengis, “Hei, Tian Boguang, kau mau apa datang ke Gunung Henshan ini?”

“Saya datang ke sini untuk berguru,” jawab Tian Boguang.

“Berguru?” sahut Ding Mian menegas.

“Betul,” jawab Tian Boguang sambil kemudian berjalan mendekati Yilin. Di hadapan biksuni muda itu ia berlutut dan menyembah, “Guru, terimalah hormat muridmu. Gelar Buddhaku adalah Bukebujie.”

Wajah Yilin merona merah menahan malu. “Kau … kau ….” dengan tergagap-gagap ia bergeser ke samping menghindari penghormatan itu.

Ren Yingying tersenyum dan berkata, “Tuan Tian telah bertobat dan kembali ke jalan yang benar. Ini sangat bagus. Ia bahkan menjadi biksu dengan gelar Bukebujie, artinya ‘tidak boleh tanpa pantangan’. Mahabiksu Fangzheng, barangsiapa yang mau menyadari kesalahannya, maka pintu Sang Buddha akan terbuka lebar, dan dia bisa mendapatkan pencerahan, betul tidak?”

“Benar sekali,” sahut Mahabiksu Fangzheng. “Amitabha, Biksu Bukebujie telah bergabung ke dalam Perguruan Henshan dan tunduk kepada peraturan yang berlaku. Ini benar-benar suatu berkah bagi dunia persilatan.”

Ren Yingying lantas berseru, “Nah, dengarkan, kawan-kawan! Kedatangan kita hari ini adalah untuk bergabung ke dalam Perguruan Henshan. Apabila Ketua Linghu sudi menerima, maka kita lantas terhitung sebagai anggota Perguruan Henshan. Nah, kalau sudah menjadi anak buah Perguruan Henshan apakah masih boleh disebut sebagai kaum sesat?”

Baru sekarang Linghu Chong paham. Rupanya kedatangan Ren Yingying dan orang banyak itu memang berencana untuk membelanya. Ia merasa sangat kebetulan dengan bertambahnya anggota laki-laki sebanyak itu. Tentu setelah ini tidak ada lagi orang yang mengolok-olok dirinya sebagai ketua kaum biksuni. Dengan suara lantang ia pun bertanya, “Kakak Yihe, apakah dalam peraturan perguruan kita ada larangan menerima anggota laki-laki?”

Yihe menjawab, “Larangan menerima anggota laki-laki memang tidak ada, hanya saja … hanya saja ….” Yihe merasa bingung. Pikirannya tidak bisa bekerja. Dalam hati ia merasa tidak enak juga karena Perguruan Henshan mendadak harus bertambah anggota sekian banyak murid laki-laki.

Linghu Chong melanjutkan, “Sungguh bagus jika kalian mau menjadi anggota Perguruan Henshan. Namun di sini kalian tidak perlu mengangkat guru segala, cukup menjadi anggota saja. Untuk selanjutnya, dalam Perguruan Henshan akan dibentuk suatu … eh suatu … suatu ‘cabang istimewa’ yang beranggotakan kalian semua. Kurasa Lembah Tongyuan di sebelah sana cocok untuk tempat tinggal kalian.”

Lembah Tongyuan terletak tidak jauh di sebelah Puncak Jianxing, yaitu puncak tertinggi Gunung Henshan di mana biara induk berada. Berdasarkan legenda dari zaman Dinasti Tang, di lembah itu dulu Zhang Guolao bertapa untuk menjadi dewa. Juga terdapat sebuah batu besar yang mengandung banyak jejak kaki keledai. Menurut kepercayaan, itu adalah jejak keledai yang ditunggangi Zhang Guoluo. Jika ini bukan perbuatan kaum dewa, bagaimana mungkin bisa terjadi demikian? Saat itu Kaisar Tang Xuanzong lantas memberi gelar “Tuan Tongyuan” kepada Zhang Guoluo.

Lembah Tongyuan memang tidak jauh, namun kalau hendak menuju Puncak Jianxing harus melalui jalanan yang terjal dan berbahaya. Dengan menempatkan orang-orang kasar itu di lembah terpencil tersebut, Linghu Chong bermaksud memisahkan mereka dari para biksuni dan murid perempuan.

Mahabiksu Fangzheng manggut-manggut dan berkata, “Baik sekali cara mengatur ini. Dengan masuknya para kawan persilatan ini ke dalam Perguruan Henshan dan terikat pula oleh tata tertib yang berlaku, hal ini benar-benar suatu berkah pula bagi dunia persilatan.”

Karena yang berkata demikian seorang tokoh agung, terpaksa Ding Mian tidak berani merintangi lagi. Maka, ia pun menyampaikan perintah kedua dari Zuo Lengchan, “Ketua Serikat Pedang Lima Gunung memberi perintah agar pada pagi hari tanggal lima belas bulan tiga nanti setiap anggota perserikatan kita berkumpul di Gunung Songshan untuk memilih Ketua Perguruan Lima Gunung. Hendaknya perintah ini dipatuhi dan semua orang datang tepat waktu.”

“Perguruan Lima Gunung? Jadi peleburan Serikat Pedang Lima Gunung sudah ditetapkan? Lantas siapakah yang mengambil prakarsa peleburan ini?” tanya Linghu Chong.

“Yang jelas Perguruan Songshan, Hengshan, Taishan, dan Huashan sudah setuju,” sahut Ding Mian. “Jika Perguruan Henshan punya pendirian berbeda, maka itu berarti kalian bermusuhan dengan keempat perguruan yang lain dan berarti pula kau mencari penyakit sendiri.” Ia lantas menoleh dan bertanya kepada para perwakilan keempat perguruan yang ikut datang bersamanya, “Betul, tidak?”

“Betul!” serentak puluhan orang yang berdiri di belakangnya itu menjawab.

Ding Mian mendengus dan tidak berbicara lagi. Ia memutar tubuh untuk kemudian melangkah pergi. Setelah beberapa langkah ia menoleh ke arah Ren Yingying karena teringat Panji Pancawarna yang direbut gadis itu. “Bagaimana cara merebut panji-panji itu?” demikian ia berpikir.

Tiba-tiba Lan Fenghuang berseru sambil tertawa, “Pendekar Ding, kau kehilangan Panji Pancawarna, bagaimana nanti kau akan menjawab bila ditanya oleh Ketua Zuo? Ini, kukembalikan panjimu!” Bersama itu sebuah panji bersulam pun dilemparkannya ke arah Ding Mian.

Begitu melihat panji kecil itu melayang ke arahnya, Ding Mian hanya terdiam saja. Ia merasa panji itu adalah milik Partai Lima Dewi, jadi untuk apa harus mengulurkan tangan menyambut. Namun saat itu panji kecil tersebut sudah meluncur ke arah lehernya, mau tidak mau ia pun menjulurkan tangan untuk menangkap. Tapi mendadak ia menjerit sambil melemparkan panji kecil itu ke lantai. Telapak tangannya terasa panas seperti terbakar. Begitu diperiksa, ternyata tangannya telah berwarna kebiru-biruan. Jelas panji itu mengandung bisa.

Di depan umum ia telah dipermainkan oleh Partai Lima Dewi. Wajahnya pun merah padam menahan marah, “Bedebah! Perempuan hina ….”

Dengan tertawa Lan Fenghuang menyela, “Lekas kau panggil ‘Ketua Linghu’ dan mohonlah belas kasihan kepadanya. Nah, habis itu segera kuberikan obat penawarnya. Jika tidak, kau akan kehilangan sebelah tanganmu yang akan membusuk dalam waktu singkat.”

Ding Mian cukup paham betapa hebat orang-orang Partai Lima Dewi dalam menggunakan racun. Dalam keraguannya sejenak itu saja telapak tangannya sudah terasa kaku dan mulai mati rasa. Segenap kepandaiannya terletak pada kedua tangan. Bila sebelah tangannya harus hilang ini sungguh lebih mengerikan daripada kematian. Karena sangat cemas, ia terpaksa berseru, “Ketua Linghu, kau … kau ….”

“Apakah begitu caranya memohon?” ejek Lan Fenghuang sambil tertawa.

“Ketua Linghu, aku telah berlaku kasar padamu, harap dimaafkan dan mohon … mohon kau sudi memberikan obat … obat penawarnya,” pinta Ding Mian dengan terputus-putus.

Linghu Chong tersenyum, kemudian berkata, “Ketua Lan, Saudara Ding hanya menjalankan perintah Ketua Zuo. Tolong berikan obat penawar kepadanya.”

Lan Fenghuang tertawa dan kemudian memberi isyarat kepada seorang gadis Miao di sampingnya. Gadis Miao itu mengeluarkan bungkusan kecil dan melemparkannya kepada Ding Mian. Dengan tersipu-sipu Ding Mian menangkap bungkusan kecil itu, lalu berlari pergi di bawah gelak tawa ejekan banyak orang. Puluhan orang yang menjadi rombongannya pun ikut menyusul pergi.

Linghu Chong lantas berseru lantang, “Kawan-kawan, kalau kalian sudi tinggal di Lembah Tongyuan, maka kalian harus taat kepada peraturan perguruan kita. Sekarang kalian adalah anggota Perguruan Henshan, sudah tentu kalian bukan lagi orang-orang golongan hitam. Untuk selanjutnya kalian harus berhati-hati dalam pergaulan dengan orang luar.”

“Baik, Ketua!” seru rombongan Lao Touzi itu mengiakan dengan suara bergemuruh.

Linghu Chong melanjutkan, “Bila kalian ingin minum arak dan makan daging boleh-boleh saja. Tapi, orang-orang yang makan daging untuk selanjutnya dilarang naik ke Puncak Jianxing ini, termasuk aku sendiri. Semua peraturan harus dipatuhi.”

“Shanti, shanti! Tempat suci Sang Buddha memang tidak sepantasnya dikotori,” ujar Mahabiksu Fangzheng.

“Baiklah, anggap saja sekarang aku telah resmi menjadi ketua,” kata Linghu Chong dengan tertawa. “Tentunya semua orang sudah merasa lapar. Hari ini kita semua makan sayur-sayuran saja. Aku akan menemani Mahabiksu Fangzheng dan Pendeta Chongxu bersantap. Esok barulah kita minum arak di Lembah Tongyuan.”

Semua orang pun makan bersama. Linghu Chong duduk semeja dengan para ketua perguruan yang hadir di situ. Usai makan, Biksu Fangzheng berkata, “Saya dan Saudara Chongxu ingin berunding sedikit dengan Ketua Linghu.”

“Baik,” jawab Linghu Chong. Sejak awal ia menduga kedua pemimpin aliran terbesar di dunia persilatan itu datang ke Gunung Henshan tentu bukan sekadar untuk mengucapkan selamat, namun dipastikan ada maksud dan tujuan yang lain. Apa yang akan dibicarakan kedua tokoh itu tentu suatu urusan penting. Padahal di puncak Puncak Jianxing ini sedang bercampur para hadirin yang berasal dari golongan hitam dan putih. Di mana pun mereka bicara, tentu akan sulit untuk menghindarkan diri dari telinga yang ikut mendengar. Maka, ia pun segera memerintahkan Yihe, Yiqing, dan yang lain untuk melayani tamu, lalu berkata kepada Fangzheng dan Chongxu, “Di bawah puncak ini, di sebelah Celah Tungku Porselen ada sebuah gunung bernama Gunung Cuiping. Tebing gunung itu sangat terjal dan licin, di atas puncaknya terdapat sebuah kuil gantung, yang merupakan salah satu tempat indah di wilayah Pegunungan Henshan. Apabila Ketua berdua berminat, saya dengan senang hati siap menemani ke sana.”

Pendeta Chongxu menjawab, “Sudah lama aku mendengar tentang Kuil Gantung di Gunung Cuiping. Kalau tidak salah kuil itu dibangun pada zaman Kerajaan Wei Utara. Pohon cemara tidak tumbuh di sana, bahkan monyet-monyet pun tidak sanggup memanjat ke sana. Tentu dibutuhkan suatu kekuatan luar biasa untuk membangun kuil tersebut. Ini benar-benar keajaiban dunia. Sudah lama aku mengagumi Kuil Gantung itu. Sungguh senang kalau hari ini bisa mengunjunginya.”

Linghu Chong lantas membawa kedua tamu agungnya itu menuruni Puncak Jianxing melalui Celah Tungku Porselen. Sampai di bawah Gunung Cuiping, mereka menegadah ke atas dan melihat di puncak gunung terdapat dua buah bangungan mencuat di angkasa seakan-akan terapung di udara. Tidak salah kalau bangunan tersebut diberi nama Kuil Gantung Gunung Cuiping. Sungguh sepasang kuil yang indah bagaikan dibangun oleh para dewa.

Mahabiksu Fangzheng menghela napas dan memuji, “Orang yang merancang kuil itu sungguh luar biasa. Untuk seorang yang luar biasa, di dunia ini tidak ada hal yang mustahil.”

Dengan ilmu meringankan tubuh tingkat tinggi, ketiga orang itu lantas mendaki ke atas dan tiba di Kuil Gantung tersebut. Kuil Gantung itu terdiri dari dua buah bangunan, masing-masing bertingkat tiga. Jarak kedua bangunan sekitar belasan meter dan dihubungkan dengan sebuah jembatan gantung.

Di dalam kuil terdapat seorang perempuan tua sedang menyapu. Melihat kedatangan Linghu Chong, Fangzheng, dan Chongxu, ia tidak menyapa juga tidak memberi hormat. Belasan hari yang lalu Linghu Chong telah berkunjung ke tempat ini bersama Yihe, Yiqing, Yilin, dan murid-murid lainnya, sehingga ia mengetahui kalau perempuan tua penjaga kuil ini seorang bisu dan tuli.

Linghu Chong mengajak Fangzheng dan Chongxu mengelilingi bangunan indah tersebut, kemudian menuju jembatan gantung. Jembatan ini hanya selebar satu meteran saja. Kalau orang biasa yang berdiri di tengah jembatan tentu merasa seakan-akan berdiri di udara kosong. Mungkin seketika kaki langsung terasa lemas dan tidak berani bergerak. Tapi Linghu Chong dan kedua tamunya adalah jago silat kelas satu. Berada di atas jembatan gantung yang sempit itu mereka malah merasa bebas merdeka, pikiran pun terasa lapang menggembirakan.

Dari atas jembatan itu Fangzheng dan Chongxu dapat menikmati indahnya pemandangan alam, mulai dari kumpulan awan yang menyelimuti puncak gunung, sampai dinding kota di kaki gunung juga terlihat oleh mereka. Selain itu juga terihat air terjun di antara Celah Tungku Porselen. Pemandangan di situ tampak begitu menakjubkan.

Mahabiksu Fangzheng berkata, “Cerita yang berkembang di masyarakat berbunyi, konon pada zaman dahulu satu orang saja berhasil mengatur sepuluh ribu orang di celah ini. Apa yang mereka ceritakan itu sesuai dengan keadaan tempat ini.”

“Pada zaman Dinasti Song Utara, Kaisar Yang Lao memerintahkan Gong E untuk menjaga tiga celah dan ia membangun benteng pertahanan di sini. Tempat ini sangat strategis dan cocok untuk pertahanan perang,” ujar Chongxu menanggapi. “Kini aku melihat secara langsung Kuil Gantung ini. Kuil ini begitu megah dan aku mengagumi ketekunan orang-orang zaman dulu. Namun, Kuil Gantung ini menjadi tak berharga jika dibandingkan dengan jalan di pegunungan ini yang panjangnya lima ratus li dan juga hasil buatan manusia.”

Linghu Chong terkejut mendengarnya, “Pendeta, kau bilang jalan pegunungan sepanjang lima ratus li itu juga buatan manusia?”

Chongxu menjawab, “Kitab sejarah menyebutkan, Kaisar Wei Daowu menempatkan pasukannya mulai dari Gunung Zhong sampai Pingzheng di Pegunungan Henshan ini sejak tahun pertama pemerintahannya. Ia juga memerintahkan mereka untuk menggali bebatuan gunung menjadi jalan setapak sepanjang lima ratus li. Celah Tungku Porselen itu merupakan titik akhir jalan tersebut.”

Fangzheng berkata, “Meskipun jalan tersebut dinamakan Jalur Lima Ratus Li, namun sebagian besar sudah dibentuk oleh alam. Kaisar Wei dari Kerajaan Song Utara mengirim puluhan ribu untuk membuka celah melewati pegunungan. Tentu saja, perintah ini merupakan hal besar dan mengejutkan banyak orang.”

“Tidak mengherankan kalau banyak orang yang ingin menjadi kaisar. Sekali ia membuka mulut dan mengatakan beberapa kata, maka puluhan ribu pasukannya segera menggali jalan setapak untuknya,” kata Linghu Chong.

Chongxu berkata, “Ambisi dan kekuasaan apalah bedanya? Pada zaman itu, banyak terdapat pendekar hebat dan terkemuka. Kau dapat membayangkan betapa susahnya mewujudkan jalur ini. Ambisi dan kekuasaan para kaisar pasti mendapat banyak gangguan. Namun, kita tidak perlu menyebutkan siapa saja kaisar-kaisar yang pernah mendapat gangguan dari dunia persilatan. Bahkan pada zaman sekarang, kekacauan di dunia persilatan juga disebabkan oleh ambisi dan nafsu kekuasaan, bukan?”

Linghu Chong tergetar mendengarnya. Ia merasa kedua tokoh ini telah menggiring pembicaraan sampai pada masalah yang akan mereka sampaikan. Maka, ia pun berkata, “Saya tidak paham, mohon petunjuk Ketua berdua.”

Fangzheng menjawab, “Ketua Linghu, hari ini Perguruan Songshan mengirimkan Pendekar Ding memimpin banyak orang ke sini. Kau tahu apa tujuannya?”

Linghu Chong menjawab, “Untuk menyampaikan perintah Ketua Zuo, bahwa saya dilarang menjabat sebagai Ketua Perguruan Henshan.”

“Apa sebabnya Ketua Zuo melarangmu menjadi Ketua Perguruan Henshan?” tanya Fangzheng.

“Mungkin karena saya pernah bersikap kasar kepadanya ketika di Biara Shaolin tempo hari,” kata Linghu Chong. “Selain itu saya pernah merintangi rencananya dalam usaha melebur Serikat Pedang Lima Gunung menjadi satu partai yang besar.”

“Mengapa kau merintangi rencananya itu?” tanya Fangzheng pula.

Linghu Chong tercengang, seketika ia merasa sukar untuk memberi jawaban. Akhirnya ia hanya bisa bertanya pada diri sendiri, “Mengapa aku merintangi rencananya? Mengapa?”

Fangzheng bertanya lagi, “Apakah kau merasa usahanya melebur Serikat Pedang Lima Gunung menjadi satu adalah rencana yang tidak baik?”

Linghu Chong menjawab, “Saat itu saya tidak pernah memikirkan apakah usahanya itu baik atau tidak. Hanya saja untuk mencapai tujuannya itu Perguruan Songshan telah mengancam Perguruan Henshan agar menurutinya, bahkan menyamar sebagai anggota Sekte Matahari dan Bulan untuk menculik murid-murid perempuan dan para biksuni Henshan. Biksuni Dingjing dikerubut pula secara keji hingga meninggal. Secara kebetulan saya memergoki perbuatan mereka itu. Kemudian Biksuni Dingxian juga dikepung dan hendak dibakar hidup-hidup di Lembah Tempa Pedang di Longquan. Saya merasa penasaran dan memberi bantuan kepada pihak Perguruan Henshan. Kupikir kalau peleburan Serikat Pedang Lima Gunung adalah suatu usaha yang baik, mengapa Perguruan Songshan tidak berunding secara terang-terangan dengan para pemimpin empat perguruan yang lain, tapi memakai cara-cara licik dan keji?”

“Pendapatmu memang betul,” ujar Pendeta Chongxu sambil manggut-manggut. “Zuo Lengchan memang memiliki ambisi besar dan ingin menjadi tokoh persilatan nomor satu. Tapi ia sadar secara pribadi sukar mengatasi orang banyak, sehingga terpaksa menggunakan tipu muslihat licik.”

Fangzheng menghela napas, lalu menyambung, “Ketua Zuo seorang yang sangat pandai dan terkemuka di dunia persilatan. Namun ambisinya terlalu besar. Ia juga bernafsu ingin menjatuhkan nama besar Perguruan Shaolin dan Wudang. Untuk maksud dan tujuannya ini ia terpaksa menggunakan bermacam-macam cara.”

Chongxu menyambung, “Bahwasanya Perguruan Shaolin adalah pemimpin dunia persilatan, hal ini telah diakui secara umum selama beratus-ratus tahun. Di samping Perguruan Shaolin, dapat diperhitungkan Perguruan Wudang pula. Untuk selanjutnya ada Perguruan Kunlun, Emei, serta Kongtong. Adik Linghu, berdiri dan berkembangnya suatu aliran dan perguruan adalah hasil usaha jerih payah tokoh kesatria masing-masing dalam aliran dan perguruan tersebut. Ilmu silat yang diciptakan adalah kumpulan dan gemblengan selama bertahun-tahun, sedikit demi sedikit. Tentang bangkitnya Serikat Pedang Lima Gunung adalah kejadian sekitar enam puluh tahun terakhir ini. Walaupun perkembangannya cepat dan pesat, namun pada dasarnya tetap berada di bawah Perguruan Kunlun dan Emei, lebih-lebih tidak dapat dibandingkan dengan Perguruan Shaolin yang termasyhur.”

Linghu Chong mengangguk setuju.

Chongxu meneruskan, “Di dalam suatu aliran dan perguruan itu terkadang memang muncul juga satu-dua orang bijaksana dan pandai yang menjadi jago pada zamannya. Tapi melulu mengandalkan tenaga satu dua orang saja tetap sukar mengatasi kesatria-kesatria dari berbagai perguruan dan aliran. Ketika Zuo Lengchan mula-mula menjabat sebagai pemimpin Serikat Pedang Lima Gunung, waktu itu Mahabiksu Fangzheng juga sudah meramalkan di dalam dunia persilatan untuk selanjutnya tentu akan terdapat banyak masalah. Dari tingkah laku Zuo Lengchan beberapa tahun terakhir ini, ternyata ramalan Mahabiksu Fangzheng sama sekali tidak meleset.”

“Amitabha!” ujar Fangzheng sambil merangkap kedua tangannya.

Chongxu melanjutkan, “Menjadi Ketua Serikat Pedang Lima Gunung adalah langkah pertama dalam usaha Zuo Lengchan. Langkah kedua adalah melebur kelima perguruan menjadi satu perguruan yang tetap diketuai olehnya. Sesudah itu, dengan sendirinya kekuatannya bertambah besar dan secara tidak resmi sudah sejajar dengan Perguruan Shaolin dan Wudang. Kemudian ia tentu akan maju selangkah lagi dengan mencaplok Perguruan Kunlun, Emei, Kongtong, dan Qingcheng. Lebih jauh ia tentu akan mencari perkara dengan Sekte Iblis. Perguruan Shaolin dan Wudang tentu diajaknya ikut serta memusuhi Tebing Kayu Hitam. Sudah pasti ia bermaksud menumpas sekte tersebut.”

Linghu Chong bergidik ngeri mendengarnya. Ia kemudian berkata, “Ambisi seperti itu sukar diwujudkan. Kemampuan Zuo Lengchan terbatas. Lalu, untuk apa ia bersusah payah mewujudkan itu semua?”

“Hati manusia sulit diukur. Segala di dunia ini, betapa sukarnya ada juga orang yang ingin mencobanya,” ujar Chongxu. “Masalahnya, apabila Zuo Lengchan dapat menumpas Sekte Iblis, maka saat itu boleh dikata ia akan dipuja oleh orang-orang persilatan sebagai pemimpin besar. Selanjutnya tentu tidak sukar baginya untuk mencaplok Perguruan Shaolin dan Wudang pula.”

“Oh, ternyata Zuo Lengchan ingin dipuja sebagai pemimpin dunia persilatan,” kata Linghu Chong.

“Benar sekali!” sahut Chongxu dengan tertawa. “Jika memungkinkan, ia ingin menjadi kaisar pula dan sesudah menjadi kaisar mungkin ingin hidup abadi tak pernah tua. Itulah sifat manusia yang serakah, sifat yang tidak kenal puas. Sejak dahulu kala memang hanya sedikit manusia yang tidak terjebak oleh ambisi dan kekuasaan.”

Linghu Chong terdiam sejenak, kemudian berkata, “Orang hidup paling-paling hanya beberapa puluh tahun saja, untuk apa harus bersusah payah begitu? Zuo Lengchan ingin menumpas Sekte Matahari dan Bulan dan ingin mencaplok Perguruan Shaolin dan Wudang. Bukankah untuk ini akan banyak korban berjatuhan?”

“Benar, sebab itulah tugas kita bertiga cukup berat. Kita harus mencegah agar maksud Zuo Lengchan itu tidak terlaksana demi mencegah terjadinya banjir darah di dunia persilatan,” kata Chongxu bersemangat.

“Wah, mana bisa saya disejajarkan dengan Ketua berdua? Pengetahuan dan pengalaman saya teramat dangkal. Saya menurut saja di bawah petunjuk Ketua berdua,” kata Linghu Chong terkejut.

“Tempo hari kau memimpin para kesatria ke Biara Shaolin untuk menjemput Nona Ren. Ternyata tidak ada satu benda pun yang kalian ganggu di Biara Shaolin. Untuk itu Kepala Biara merasa berhutang budi kepadamu,” kata Chongxu.

Muka Linghu Chong menjadi merah, “Tempo hari saya memang ceroboh, telah berbuat onar. Mohon dimaafkan.”

Chongxu melanjutkan, “Sesudah rombongan kalian pergi, Zuo Lengchan dan yang lain juga mohon diri, tapi aku masih tinggal beberapa hari di Biara Shaolin dan mengadakan pembicaraan panjang lebar dengan Kepala Biara. Kami sama-sama mengkhawatirkan ambisi Zuo Lengchan yang tidak kenal batas itu. Kau tentu ingat pertandingan di biara waktu itu. Ren Woxing menang secara licik terhadap Kepala Biara, dan kemudian Zuo Lengchan menang secara licik pula terhadap Ren Woxing. Orang-orang yang tidak tahu apa-apa dan tidak paham permasalahannya tentu menganggap Mahabiksu Fangzheng bukan tandingan Ren Woxing, dan Ren Woxing bukan tandingan Zuo Lengchan ….”

“Itu tidak benar, itu tidak benar,” sahut Linghu Chong kesal.

“Kita tahu hal itu tidak benar. Tapi nama besar Zuo Lengchan semakin harum sejak pertandingan itu. Tentu hal ini akan semakin memicu ambisi dan keserakahannya. Selanjutnya, kami menerima berita tentang pelantikanmu sebagai Ketua Perguruan Henshan. Maka, kami pun memutuskan untuk datang kemari, pertama untuk memberi selamat kepadamu, kedua untuk berunding soal ini.”

“Ketua berdua terlalu meninggikan saya, sungguh saya sangat berterima kasih,” ujar Linghu Chong.

Ren Yingying mengajak para hadirin masuk Perguruan Henshan.

Berunding di jembatan gantung.

(Bersambung)