Bagian 127 - Perpisahan

Linghu Chong menolak masuk Sekte.

Linghu Chong berpaling ke arah Ren Yingying. Dilihatnya kedua pipi si nona bersemu merah. Kebahagiaan terpancar jelas di wajahnya. Setelah semua orang berhenti tertawa, barulah Linghu Chong melanjutkan perkataan dengan suara lantang, “Terima kasih banyak atas maksud baik Ketua yang telah mengajakku masuk ke dalam agama suci kalian, bahkan memberikan jabatan sedemikian tinggi dan terhormat. Namun, aku sudah terbiasa hidup bebas, tidak taat pada peraturan. Kalau aku masuk ke dalam agama suci kalian tentu akan banyak membuat runyam urusan penting Ketua. Oleh karena itu, setelah kupikirkan masak-masak, kukira lebih baik Ketua menarik kembali keputusan tadi.”

Ren Woxing gusar luar biasa dan berkata bengis, “Jadi, kau menolak masuk ke dalam agama suci kami?”

“Benar sekali!” sahut Linghu Chong. Jawaban ini diucapkannya dengan tegas tanpa ragu-ragu sedikit pun. Seketika semua orang tercengang mendengarnya. Sebagian dari mereka tampak berubah pucat membayangkan apa yang akan terjadi.

Kembali Ren Woxing berkata, “Dalam tubuhmu terhimpun bermacam-macam hawa murni milik orang lain. Baru saja penyakitmu itu kambuh. Kelak, setiap setengah tahun atau tiga bulan sekali tentu akan kambuh lagi, bahkan lebih hebat daripada yang kau rasakan saat ini. Adapun cara untuk memusnahkan pergolakan hawa murni yang menjadi penyakit dalam tubuhmu itu, hanya aku seorang di seluruh dunia yang mengetahuinya.”

Linghu Chong menjawab, “Mengenai hal ini Ketua sudah menyinggungnya ketika berada di Wisma Meizhuang di Kota Hangzhou dulu. Tadi aku memang sudah merasakan betapa sakitnya saat bermacam-macam hawa murni itu bergolak di dalam tubuh. Benar-benar sangat tersiksa dan rasanya lebih baik mati saja daripada menderita seperti tadi. Namun, sebagai seorang pengelana di dunia persilatan, persoalan hidup atau mati, senang atau susah adalah hal biasa. Seharusnya ini tidak perlu dipersoalkan lagi.”

“Hm, lancang benar mulutmu!” sahut Ren Woxing. “Hari ini segenap Perguruan Henshan kalian sudah berada dalam genggamanku. Bisa saja aku memerintahkan tak seorang pun boleh turun gunung dalam keadaan hidup. Bagiku, hal ini semudah membalik telapak tanganku sendiri.”

“Dengan kepandaian Ketua Ren yang mahasakti, aku percaya apapun yang Ketua katakan pasti bisa terlaksana,” sahut Linghu Chong tegas. “Namun demikian, meskipun Perguruan Henshan kami terdiri dari kaum wanita secara keseluruhan, menghadapi segala sesuatu selamanya juga tidak pernah gentar. Jikalau Ketua hendak membunuh kami semua, biarlah kita berhadapan lebih dulu. Sampai napas penghabisan Perguruan Henshan tetap pantang menyerah.”

Segera Yiqing mengangkat tangan sebagai isyarat. Serentak murid-murid Henshan yang lain langsung berbaris di belakang Linghu Chong.

“Kita semua hanya mematuhi perintah Ketua Linghu,” seru Yiqing. “Mati pun kami tidak gentar.”

“Benar, sampai mati tetap pantang menyerah!” sahut para murid lainnya bersama-sama.

Zheng E lantas berteriak, “Meskipun jumlah musuh terlalu banyak dan jumlah kami hanya sedikit, ditambah lagi kami juga sudah masuk perangkap, kami tetap tidak takut. Biarlah dunia persilatan mengetahui bagaimana Perguruan Henshan menghadapi musuh tanpa gentar. Meskipun tertumpas habis, paling tidak kami telah meninggalkan nama yang harum.”

Ren Woxing menjadi gusar mendengar sindiran ini. Ia menengadah ke langit dan tertawa terbahak-bahak, kemudian berseru, “Jika aku membunuh kalian hari ini, tentu aku akan dituduh telah menjebak dan mencelakai kalian secara licik. Baiklah, Linghu Chong, kau boleh memimpin anak buahmu pulang ke Gunung Henshan. Satu bulan lagi aku pasti akan akan mendatangi kalian secara langsung. Apabila saat itu tiba, maka seorang pun tidak akan kuampuni. Kalau sampai di atas Gunung Henshan masih tersisa seekor ayam atau burung, anggap saja aku ini orang yang tidak becus!”

Serentak orang-orang Sekte Matahari dan Bulan bersorak menanggapi, “Hidup Ketua Suci! Semoga Ketua panjang umur, hidup abadi, merajai dunia persilatan selamanya! Bunuh habis semua orang Perguruan Henshan. Bantai habis semua ayam dan burung tanpa kecuali!”

Dengan kekuatan dan kebesaran Sekte Matahari dan Bulan saat ini, menyerbu Puncak Jianxing hanyalah persoalan mudah. Tidak peduli bagaimanapun persiapan dan pertahanan Perguruan Henshan kelak, semuanya pasti dapat dibasmi habis oleh sekte besar tersebut.

Sejak dahulu kelima perguruan pedang telah bersatu membentuk Serikat Pedang Lima Gunung untuk menghadapi Sekte Matahari dan Bulan yang mereka sebut sebagai Sekte Iblis itu. Kelima perguruan selalu bahu-membahu dan saling membantu. Jika salah satu mendapat kesulitan, maka keempat perguruan yang lain segera datang memberikan bantuan. Dalam seratus tahun terakhir ini permusuhan dengan Sekte Matahari dan Bulan berjalan seimbang, tidak ada yang kalah juga tidak ada yang menang. Kini, dari kelima perguruaan hanya tinggal Perguruan Henshan saja yang masih berdiri tegak, tentu saja sulit melawan kekuatan Sekte Matahari dan Bulan. Mengenai hal ini jelas disadari oleh setiap murid Henshan.

Ancaman Ren Woxing hendak membabat habis orang-orang Henshan, bahkan seekor ayam pun tidak akan diampuni jelas bukan omong kosong belaka. Akan tetapi, di dalam benak Ren Woxing sebenarnya ada maksud dan tujuan lain. Ia berpikir meskipun ilmu pedang Linghu Chong sangat lihai, namun seorang diri mana mungkin sanggup terus bertahan? Yang justru menjadi pertimbangan Ren Woxing sebenarnya adalah Perguruan Shaolin dan Wudang. Menurut perhitungannya, setelah Linghu Chong pulang ke Gunung Henshan, tentu ia akan meminta bantuan kepada dua perguruan besar itu, yang pastinya akan mengirimkan jago-jago pilihan untuk membantu. Dalam keadaan demikian Ren Woxing justru tidak langsung menyerang ke Gunung Henshan, melainkan secara mendadak ia berganti haluan menyerbu Perguruan Wudang. Ia juga akan memasang tiga perangkap di antara jalur Gunung Shaoshi menuju Gunung Wudang.

Jarak antara kedua gunung tersebut hanya beberapa puluh kilo saja. Apabila Perguruan Wudang menderita kesulitan, tentu Biara Shaolin yang akan dimintai bantuan. Padahal, saat itu sebagian jago pilihan dari Shaolin telah dikirim ke Henshan, maka sisanya pasti akan keluar semua untuk membantu Wudang. Dalam keadaan demikian pihak Sekte Matahari dan Bulan akan memutar haluan untuk menyerbu Gunung Shaoshi lebih dulu dan membakar habis Biara Shaolin. Setelah itu, perangkap yang telah dipasang di tengah jalan serentak dijalankan untuk memotong barisan musuh. Dengan digempur dari depan dan belakang, tentu para biarawan Shaolin yang hendak menolong Perguruan Wudang akan binasa seluruhnya.

Setelah semuanya berjalan, barulah Gunung Wudang benar-benar dikepung, namun tidak langsung diserang. Ia sengaja menunggu jago-jago Shaolin dan Wudang yang sedang berkumpul di Henshan menerima berita buruk dan lekas-lekas berangkat ke Gunung Wudang. Perjalanan dari Henshan menuju Wudang menempuh jarak ribuan kilo tentu akan sangat melelahkan mereka. Dalam keadaan letih tersebut, mereka pun disergap oleh orang-orang sekte di tengah jalan dan hasilnya pasti sangat memuaskan. Setelah para jago itu ditumpas, maka menyerang markas Wudang dan Henshan bisa dikatakan hanyalah persoalan mudah.

Betapa tajam otak Ren Woxing yang penuh tipu muslihat ini sungguh jarang terdapat di dunia persilatan. Dalam sekejap saja ia sudah mengatur siasat cemerlang untuk menumpas Perguruan Shaolin dan Wudang, dua perguruan terbesar saat itu. Maka, penolakan Linghu Chong terhadap tawarannya meskipun menimbulkan perasaan malu di hadapan anak buah sendiri ternyata ada manfaaatnya juga. Karena kejadian ini telah membuat Sekte Matahari dan Bulan memiliki alasan untuk menyerang Gunung Henshan sekaligus menghancurkan Perguruan Shaolin dan Wudang dalam waktu yang bersamaan. Dengan demikian semboyan “merajai dunia persilatan untuk selamanya” akan segera terwujud satu bulan yang akan datang.

Sementara itu, Linghu Chong berpaling kepada Ren Yingying dan bertanya, “Apakah kau akan ikut denganku?”

Sejak tadi kedua mata Ren Yingying sudah berkaca-kaca. Tak mampu menahan perasaan lagi, air matanya pun jatuh bercucuran di pipi. Gadis itu menjawab, “Jika aku ikut denganmu ke Gunung Henshan, itu berarti aku tidak berbakti kepada orang tua. Namun, jika aku mengingkari dirimu, itu berarti aku tidak setia. Bakti dan kesetiaan sukar diraih bersama. Kakak Chong, Kakak Chong, mulai hari ini janganlah kau memikirkan diriku lagi, karena ….”

“Karena apa?” tanya Linghu Chong.

“Karena hidupmu tidak akan lama lagi,” jawab Ren Yingying. “Jika kau mati, maka aku pun tidak mau hidup lebih lama sehari saja darimu.”

Linghu Chong tersenyum dan berkata, “Ayahmu sudah merestui pernikahan kita. Beliau seorang pemimpin sekte besar yang mahabijaksana, yang merajai dunia persilatan, mana mungkin tidak menepati ucapannya sendiri? Bagaimana kalau sekarang juga kita mengadakan upacara menyembah langit dan bumi, sehingga resmi menjadi suami-istri?”

Ren Yingying tercengang. Meskipun ia sudah hafal watak Linghu Chong sebagai pemuda petualang yang berani berkata berani berbuat, namun tidak pernah menyangka bahwa kekasihnya itu akan bicara sedemikian terus terang di hadapan banyak orang. Seketika wajahnya menjadi merah, dan ia pun berkata, “Bagaimana … bagaimana kita bisa melakukannya?”

Linghu Chong bergelak tawa dan berkata, “Kalau begitu biarlah kita berpisah sekarang saja.”

Ia sendiri memahami isi hati Ren Yingying. Pada saat dirinya terbunuh oleh serangan Ren Woxing ke Gunung Henshan kelak, tentu si nona akan ikut bunuh diri mengikuti ke alam sana. Hal ini sudah pasti akan terjadi begitu saja dan sukar untuk dicegah. Namun, kalau Ren Yingying mau meninggalkan adat istiadat dan bersedia menikah dengannya di Puncak Menyongsong Mentari hari ini juga, dengan demikian mereka berdua dapat menikmati kebahagiaan sebagai pengantin baru di Gunung Henshan. Meskipun sebulan kemudian mereka tewas oleh serangan Sekte Matahari dan Bulan, namun rasanya tidak ada penyesalan di dalam hati. Namun demikian, hal ini terlalu luar biasa dan menyimpang dari tradisi umum. Linghu Chong memang tidak peduli dengan nama baiknya, namun Ren Yingying yang sangat pemalu sudah pasti tidak bersedia melaksanakannya. Jika si nona sampai menuruti ajakan tersebut tentu ia akan menanggung nama buruk sebagai seorang putri yang durhaka dan tidak berbakti kepada orang tua.

Karena berpikiran demikian, Linghu Chong pun tertawa. Kemudian ia memberi hormat kepada Ren Woxing, Xiang Wentian, dan para tetua sekte di tempat itu sambil berkata, “Linghu Chong akan menyambut kunjungan kalian di Puncak Jianxing dengan penuh penghormatan.” Usai berkata ia lantas memutar tubuh dan melangkah pergi.

“Tunggu dulu!” tiba-tiba Xiang Wentian berseru. “Ambilkan arak! Adik Linghu, hari ini kita harus minum sepuas-puasnya. Mungkin kelak tidak ada kesempatan lagi.”

“Bagus, bagus!” jawab Linghu Chong sambil tertawa. “Kakak Xiang memang kawan sejati, benar-benar memahami kegemaranku!”

Kedatangan Sekte Matahari dan Bulan ke Gunung Huashan kali ini memang telah diatur dengan rapi, termasuk juga membawa segala macam perbekalan yang dianggap perlu. Maka, begitu Xiang Wentian mengajak Linghu Chong minum, segera anak buahnya mengusung beberapa guci arak ke hadapannya. Begitu tutup guci dibuka, isinya pun lantas dituang ke dalam mangkuk. Tanpa banyak bicara Xiang Wentian dan Linghu Chong saling bersulang dan mengadu mangkuk, lalu sama-sama menghabiskan isinya ke dalam mulut.

Tiba-tiba di antara banyak orang, tampil ke muka seorang tua bertubuh cebol gemuk. Ia tidak lain adalah Lao Touzi, yang segera berseru, “Tuan Muda Linghu, budi kebaikanmu dahulu tidak pernah kulupakan seumur hidup. Izinkan aku bersulang satu mangkuk denganmu.” Usai berkata demikian ia lantas mengisi dua mangkuk dan menyerahkan salah satunya kepada Linghu Chong. Setelah bersulang, keduanya pun menghabiskan isi mangkuk masing-masing.

Padahal, Lao Touzi hanyalah seorang jago silat biasa yang berada di bawah pengaruh Sekte Matahari dan Bulan. Kedudukannya sudah tentu tidak bisa disejajarkan dengan Xiang Wentian. Begitu Linghu Chong dengan tegas menolak masuk ke dalam sekte, maka secara terang-terangan pemuda itu telah memusuhi Ren Woxing pula. Namun kini, seorang Lao Touzi ternyata berani menyuguhkan arak kepada Linghu Chong, pertanda ia juga berani melawan kehendak Ren Woxing. Bukan mustahil sebentar lagi ia akan dihukum mati dan jiwanya pun melayang. Namun demikian, ia ternyata lebih mengutamakan rasa setia kawan daripada nyawa sendiri, jelas tidak lagi memikirkan bahaya yang sebentar lagi bisa datang menimpa.

Melihat keberanian Lao Touzi itu, diam-diam para jago lainnya merasa kagum. Maka, Zu Qianqiu, Ji Wushi, Lan Fenghuang, Huang Boliu, dan yang lain satu per satu maju pula ke depan untuk bersulang dengan Linghu Chong.

Sama sekali Linghu Chong tidak menolak setiap suguhan mereka. Setiap mangkuk yang datang selalu ia minum isinya sampai habis sehingga lama-lama berjumlah puluhan mangkuk. Namun, para jago yang ingin bersulang dengannya itu masih saja berbaris tiada putus-putusnya. Sungguh terharu perasaan Linghu Chong melihat betapa mereka sangat menghargai dirinya. Ia berpikir, “Begini banyak kawan-kawan yang menghormatiku, sungguh tidak sia-sia aku hidup di dunia ini. Namun, kenapa aku harus membunuh mereka di medan perang kelak?”

Segera ia pun mengangkat tinggi-tinggi mangkuknya dan berseru lantang, “Terima kasih atas maksud baik kawan-kawan sekalian! Sayang sekali kekuatanku terbatas. Hari ini aku tidak sanggup minum lebih banyak lagi. Biarlah lain hari jika kawan-kawan ikut menyerbu ke Puncak Jianxing, aku akan menunggu kalian di kaki gunung dengan arak-arak enak. Di sanalah kita bisa minum sepuas-puasnya, dan setelah itu baru kita bertempur mati-matian!” Usai berkata, ia lantas meneguk habis isi mangkuk terakhirnya itu.

“Ketua Linghu sungguh seorang terbuka yang suka berterus terang!” seru para jago itu bersamaan.

“Benar,” sahut seseorang menambahkan. “Kalau kita sudah kenyang minum sampai mabuk, barulah kita bertempur secara serabutan. Ini pasti menarik!”

Linghu Chong lantas membuang mangkuknya. Dengan berjalan sempoyongan ia pun turun ke bawah gunung diikuti Yihe, Yiqing, dan murid-murid Perguruan Henshan lainnya.

Pada saat para jago silat itu sedang minum arak bersama Linghu Chong, ternyata Ren Woxing hanya tersenyum-senyum tanpa bicara. Meskipun ia agak tersinggung, namun otaknya sedang berputar menyusun rencana matang untuk menggempur Perguruan Shaolin dan Wudang satu bulan lagi. Terutama pula ia memikirkan bagaimana caranya harus pura-pura menyerang Gunung Henshan untuk memancing pihak Shaolin dan Wudang mengerahkan bala bantuan. Ia berpikir rencananya itu harus diatur sedemikian rapih sehingga tidak menimbulkan rasa curiga pihak lawan yang juga tidak kalah cerdiknya itu. Maka, ketika Linghu Chong turun ke bawah dalam keadaan mabuk, rencana dalam benaknya juga sudah selesai disusun, hanya tinggal menunggu pelaksanaannya saja.

Selain itu, ia juga berpikir, “Kawanan bangsat ini berani bersulang dengan Linghu Chong di hadapanku. Perbuatan mereka harus diganjar hukuman yang setimpal. Biarlah ini kucatat sebagai hutang, karena aku masih membutuhkan tenaga mereka. Kelak jika Perguruan Shaolin, Wudang, dan Henshan sudah kutumpas habis, maka orang-orang yang bersulang dengan Linghu Chong itu tinggal menunggu nasib saja.”

Tiba-tiba terdengar Xiang Wentian berseru, “Kawan-kawan sekalian, dengarkanlah aku! Bahwasanya Ketua Suci sebenarnya sudah mengetahui betapa bodohnya Linghu Chong yang tidak mengetahui maksud baik Beliau. Namun, Ketua Suci masih mencoba untuk membujuknya dengan ramah. Meskipun Ketua Suci berjiwa besar dan menyukai pemuda berbakat, namun sesungguhnya Beliau masih menyimpan suatu maksud yang mendalam, yang tidak bisa dipahami oleh orang kasar semacam Linghu Chong. Hari ini, kita telah menumpas Perguruan Songshan, Taishan, Huashan, dan Hengshan tanpa susah payah. Untuk selanjutnya, Sekte Matahari dan Bulan pasti akan lebih termasyhur, lebih berjaya, dan lebih ditakuti.”

“Benar! Hidup Ketua Suci! Semoga panjang umur dan merajai dunia persilatan selamanya!” teriak banyak orang dengan suara bergemuruh.

Setelah suara ramai orang-orang itu reda, Xiang Wentian melanjutkan, “Di dunia persilatan sekarang ini tinggal Perguruan Shaolin dan Wudang saja yang masih menjadi ancaman bagi agama suci kita. Untuk ini, Ketua Suci sengaja mengatur siasat bagus, dan pilihannya itu jatuh kepada Linghu Chong. Melalui bocah itu, kita akan menyapu bersih Biara Shaolin dan menumpas Perguruan Wudang. Perhitungan Ketua sungguh mahajitu, rencananya diatur sangat rapih. Beliau sudah menduga Linghu Chong pasti menolak masuk ke dalam agama suci kita dan ternyata itu benar-benar terjadi. Bocah itu telah menolak bujukan Ketua Suci. Mengenai kita bersulang dengan Linghu Chong tadi, sebenarnya itu juga merupakan salah satu siasat Ketua Suci.”

“Oh, ternyata begitu!” seru banyak orang. Mereka lalu beramai-ramai berteriak lagi, “Hidup Ketua Suci! Semoga Ketua Suci panjang umur seribu tahun, merajai dunia persilatan selamanya!”

Xiang Wentian sudah hidup puluhan tahun bersama Ren Woxing, sehingga cukup mengenal kepribadian sang ketua tersebut. Karena terdorong oleh rasa persaudaraan, tanpa pikir panjang ia telah bersulang arak perpisahan dengan Linghu Chong, dan hal ini tentu tidak disukai oleh Ren Woxing. Mengingat hubungan baiknya dengan sang ketua, maka hukuman tidak mungkin jatuh kepadanya. Tak disangka, orang-orang seperti Lao Touzi, Zu Qianqiu, Ji Wushi, dan sebagainya juga ikut-ikutan bersulang dengan Linghu Chong. Jelas perbuatan mereka itu akan mendatangkan bencana bagi jiwa mereka sendiri. Maka itu, ia lantas mengarang suatu rangkaian kata sanjung puji untuk menutupi kejadian tadi. Ia berharap dengan ucapannya itu bisa membuat Ren Woxing tidak sampai kehilangan muka, sementara Lao Touzi dan yang lain juga tidak sampai kehilangan nyawa. Dengan ucapan Xiang Wentian tadi, perbuatan mereka bersulang dengan Linghu Chong justru terkesan mengangkat derajat kepemimpinan Ren Woxing.

Mendengar itu, Ren Woxing sangat senang hatinya. Diam-diam ia berpikir, “Saudara Xiang sudah hidup bersamaku selama puluhan tahun. Tidak sia-sia aku mengangkatnya sebagai pelindung kiri agama, karena ia memang sangat mengerti isi hatiku. Ah, meskipun ia tahu aku hendak menyapu bersih Biara Shaolin dan menumpas habis Perguruan Wudang, namun rincian siasat yang akan kulaksanakan sama sekali tidak ia ketahui. Siasatku ini akan kujalankan selangkah demi selangkah, dan tidak seorang pun yang akan kuberi tahu secara terperinci.”

Sejenak kemudian terdengar Shangguan Yun berkata, “Ketua Suci mahabijaksana. Segala urusan besar di dunia ini sudah lama berada dalam perhitungan Beliau. Apa pun yang Beliau katakan pasti tidak salah. Apa pun yang Beliau perintahkan pasti segera kita laksanakan.”

Bao Dachu menambahkan, “Benar sekali! Asalkan Ketua Suci mengacungkan salah satu jari kepada kita, pasti kita akan segera bertindak. Apa pun perintah Beliau pasti kita laksanakan dengan penuh tanggung jawab. Sekalipun harus menyeberangi lautan api, atau terjun ke dalam minyak mendidih juga kita tak akan menolak.”

Qin Weibang menyahut, “Demi Ketua Suci, mati seribu kali jauh lebih baik daripada hidup tanpa tujuan.”

Seorang lagi berkata, “Saudara-saudara sama-sama mengetahui, beberapa hari terakhir ini telah menjadi hari yang paling indah dalam hidup kita, karena dapat menyaksikan secara langsung wajah emas Ketua Suci. Dengan melihat wajah Ketua Suci yang bercahaya membuat kita bertambah pintar dan bertambah kuat, jauh lebih baik daripada berlatih selama sepuluh tahun.”

“Ketua Suci menerangi seluruh jagad, membuat agama suci kita semakin dekat di hati rakyat jelata. Kebaikan hati Ketua Suci bagaikan hujan yang membasahi bumi, menumbuhkan bahan makanan untuk umat manusia. Semua orang berbahagia dan bersyukur untuk Ketua Suci.”

“Para kesatria dari zaman dulu hingga sekarang, para nabi dan orang suci sekalipun tidak ada yang mampu menandingi kebesaran Ketua Suci. Kong Fuzi memang bijaksana, tapi mana mampu ia menghadapi ilmu silat Ketua Suci yang perkasa. Guan Yu memang memiliki tenaga malaikat, namun Ketua Suci jauh lebih cerdas darinya. Zhuge Liang ahli dalam siasat perang, namun tidak mungkin ia mampu menghadapi pedang Ketua Suci yang mahasakti.”

Serentak segenap anggota sekte berteriak, “Kong Fuzi, Guan Yu, Zhuge Liang, tidak seorang pun dapat dibandingkan dengan Ketua Suci.”

Bao Dachu berkata, “Setelah agama suci kita merajai dunia persilatan, maka kita bersihkan semua patung Kong Fuzi dan Guan Yu dari setiap kuil. Kita dirikan patung Ketua Suci menggantikan tempat mereka.”

Shangguan Yun berseru lantang, “Semoga Ketua Suci panjang umur, berjaya selalu. Anak-anak kita, cucu-cucu kita sampai delapan belas turunan, semuanya akan mengabdi dengan setia kepada Ketua Suci.”

Serentak segenap anggota sekte bersorak gemuruh, “Hidup Ketua Suci, semoga Ketua Suci panjang umur, merajai dunia persilatan selamanya!”

Ren Woxing mendengar sanjung puji anak buahnya itu dengan perasaan puas dan senang. Meskipun ucapan mereka terlalu berlebihan dan tidak masuk akal, namun Ren Woxing berusaha mencari pembenaran untuknya. Diam-diam ia berpikir, “Apa yang mereka katakan tidak salah. Ilmu silat Zhuge Liang jauh di bawahku. Apalagi kampanye penaklukannya juga tidak semuanya membawa hasil, mana mungkin ia bisa dibandingkan denganku? Guan Yu pernah membunuh enam jenderal musuh. Ia memang perkasa, namun mana mungkin bisa menghindari Jurus Penyedot Bintang andalanku? Kong Fuzi selama hidupnya hanya memiliki murid tidak sampai tiga ribu orang, sementara aku memiliki anak buah sebanyak tiga puluh ribu lebih. Ia memimpin muridnya berlari ke segala arah menghindari banjir dan kekurangan pangan tanpa bisa berbuat apa-apa, sedangkan aku memimpin puluhan ribu anak buahku menjelajahi jagad raya ke mana aku suka tanpa ada masalah sedikit pun. Kepandaian dan kebijaksanaan Kong Fuzi tidak bisa menandingi aku.”

Sorak sorai para anggota sekte masih terus bergemuruh, menggema di lembah pegunungan itu. Langit terasa ikut bergetar, bumi terasa ikut berguncang. Tidak hanya yang berada di Puncak Menyongsong Mentari saja yang berteriak-teriak, bahkan para anggota yang berjaga di pos-pos penjagaan di segenap penjuru pegunungan juga ikut bersorak ramai.

Dengan wajah berseri-seri Ren Woxing lantas bangkit dari tempat duduknya. Melihat sang ketua telah berdiri, semua orang serentak berlutut dan memberikan sembah. Dalam sekejap saja suasana di atas Puncak Menyongsong Mentari itu berubah menjadi hening dan sunyi senyap. Sinar matahari pagi menerpa wajah dan sekujur badan Ren Woxing. Ia tampak sangat berwibawa bagaikan seorang dewa turun dari kahyangan.

Ren Woxing lantas tertawa terbahak-bahak dan berkata, “Jika aku bisa hidup selamanya seperti hari ….” sampai di sini tiba-tiba suaranya berubah serak. Ia mencoba mengerahkan tenaga dan mengatur napas untuk mengucapkan kata “hari ini”, namun otot dada terasa kejang dan mulut pun sukar beruara. Dengan tangan kanan menahan dada, ia berusaha menekan darah panas yang telah naik ke dalam kerongkongan. Akan tetapi, kepalanya lantas pusing dan mata pun berkunang-kunang. Cahaya matahari pagi itu membuat pandangannya terasa sangat silau.

Sementara itu, Linghu Chong turun ke bawah gunung dalam keadaan mabuk. Sampai lewat tengah malam barulah ia sadar kembali. Begitu bangun ternyata dirinya sudah berada di tengah ladang luas, sementara para murid Perguruan Henshan tampak duduk di kejauhan untuk menjaganya. Kepalanya terasa sangat pusing. Begitu teringat untuk selanjutnya mungkin tiada harapan lagi berjumpa dengan Ren Yingying, seketika hatinya merasa sangat berduka.

Sesampainya di kaki gunung, rombongan Linghu Chong bertemu Biksu Bujie dan istrinya, serta Yilin dan Tian Boguang. Bersama-sama mereka pun berjalan menuju ke Gunung Henshan. Akhirnya, rombongan tersebut sampai juga di Puncak Jianxing dengan selamat. Hal pertama yang mereka lakukan adalah bersembahyang di depan altar ketiga biksuni sepuh karena kematian mereka telah terbayar lunas. Biksuni Dingjing tewas dikeroyok anak buah Zuo Lengchan, sementara Biksuni Dingxian dan Biksuni Dingyi dibunuh secara licik oleh Yue Buqun.

Dalam waktu singkat entah siang entah malam, Sekte Matahari dan Bulan pasti akan datang menyerbu Gunung Henshan. Setelah pertempuran berakhir, tentu Perguruan Henshan akan musnah selamanya. Karena kekalahan sudah jelas di depan mata, hal ini membuat murid-murid Henshan menjadi tidak khawatir lagi. Mereka menganggap tidak ada gunanya berlatih lebih keras karena masing-masing merasa tetap tidak mungkin bisa memenangkan pertempuran. Maka, murid-murid Henshan itu pun menjadi malas berlatih ilmu pedang tidak seperti biasanya. Sebagian dari mereka yang taat kepada agama tetap menjalankan sembahyang dengan baik. Sementara itu, mereka yang putus asa dan beriman tipis lebih suka bertamasya menikmati keindahan alam pegunungan tersebut. Biasanya tata tertib di Henshan sangat ketat, namun kali ini mereka benar-benar merasa santai dan mendapat kelonggaran.

Beberapa hari kemudian, di Puncak Jianxing tiba-tiba datang sepuluh orang biksu yang dipimpin langsung oleh ketua Biara Shaolin, Mahabiksu Fangzheng. Saat itu Linghu Chong sedang asyik minum arak seorang diri sambil bernyanyi-nyanyi di biara induk. Begitu menerima laporan kedatangan Mahabiksu Fangzheng, seketika ia merasa terkejut bercampur senang. Lekas-lekas ia pun berlari menyambut keluar.

Mahabiksu Fangzheng tersenyum melihat penampilan Linghu Chong dan berkata, “Pada umumnya seseorang yang tergopoh-gopoh menyambut tamu masih tetap mempunyai waktu untuk memakai sepatu. Namun, begitu mendengar kedatangan kami, Ketua Linghu sampai lupa memakai sepatu. Penghormatan Ketua Linghu kepada kami terlalu berlebihan.”

Linghu Chong membungkuk dan berkata, “Begitu mendengar Kepala Biara datang, Linghu Chong selalu terlambat dalam memberi penyambutan. Sungguh, saya merasa sangat tidak enak hati.” Ia kemudian memberi hormat pula kepada seorang biksu tua di belakang Fangzheng, dan berkata, “Rupanya Biksu Fangsheng juga ikut serta.”

Fangsheng hanya tersenyum dan membalas hormat.

Linghu Chong lantas memberi hormat kepada delapan biksu lainnya yang rata-rata sudah berusia tua dan berjanggut putih. Begitu memperkenalkan diri, ternyata mereka juga berasal dari angkatan “Fang”, jelas satu golongan dengan Fangzheng dan Fangsheng.

Linghu Chong lantas mempersilakan kesepuluh biksu itu masuk ke dalam biara induk dan duduk di atas kasur samadi. Biara ini dulunya merupakan tempat sembahyang Biksuni Dingxian yang selalu terawat dengan baik tanpa debu sedikit pun. Namun, sejak Linghu Chong tinggal di situ, keadaannya menjadi kotor dan berantakan. Tempat ibadah itu kini penuh dengan guci dan cawan arak berserakan.

Dengan wajah merah padam Linghu Chong berkata, “Saya sungguh ceroboh telah membuat tempat suci ini menjadi sedemikian kotor. Mohon para Biksu yang mulia jangan marah.”

“Kedatangan kami kali ini adalah untuk membahas urusan penting, maka itu Ketua Linghu tidak perlu segan-segan,” jawab Fangzheng sambil tersenyum. “Konon kabarnya Ketua Linghu telah menolak kedudukan sebagai wakil ketua Sekte Matahari dan Bulan demi membela Perguruan Henshan. Bahkan, Ketua Linghu juga tidak memikirkan diri sendiri dan rela berpisah dengan Nona Ren. Padahal, semua orang telah mengetahui betapa kalian adalah pasangan serasi. Dalam hal ini, segenap kawan dari golongan putih sangat kagum terhadap sikap Ketua Linghu.”

Seketika Linghu Chong tercengang dan berpikir, “Padahal persoalan ini sudah kurahasiakan, bahkan aku juga melarang segenap murid Henshan untuk menceritakan peristiwa ini dengan maksud untuk mencegah datangnya bala bantuan dari Perguruan Shaolin dan Wudang. Tapi Mahabiksu Fangzheng ternyata telah mengetahui semuanya.”

Segera ia pun menjawab, “Kepala Biara terlalu memuji, saya menjadi malu. Tentang hubungan saya dengan Ketua Ren memang banyak hal-hal yang sukar dijelaskan. Selain itu, saya juga terpaksa harus mengingkari kebaikan Nona Ren. Perbuatanku yang tidak tahu diri ini malah mendapat pujian dari Kepala Biara, dan bukannya dicela. Sungguh-sungguh saya tidak berani menerimanya.”

Fangzheng berkata, “Menurut kabar yang tersiar, dalam waktu dekat Ketua Ren akan memimpin langsung segenap anak buahnya datang menyerbu ke Gunung Henshan ini. Kini Perguruan Lima Gunung telah runtuh, dan yang tersisa dari Songshan, Taishan, Hengshan, dan Huashan hanyalah nama belaka. Tinggal Perguruan Henshan saja yang masih tegak berdiri, namun tidak mendatangkan bantuan dari mana pun. Ketua Linghu juga tidak mengirim orang untuk menyampaikan berita kepada kami. Jangan-jangan Perguruan Shaolin kami hanya dianggap sebagai kumpulan orang-orang yang takut mati dan tidak punya rasa setia kawan terhadap sesama kaum persilatan, bukan begitu?”

“Sama sekali kami tidak berani berpikiran demikian,” ujar Linghu Chong cepat. “Masalahnya segala urusan yang timbul saat ini adalah gara-gara perbuatanku sendiri yang telah salah bergaul dengan gembong-gembong Sekte Iblis. Menurut pendapatku, barangsiapa berbuat maka biarlah ia sendiri yang bertanggung jawab. Membuat susah segenap anggota Perguruan Henshan saja sudah membuatku tidak enak, apalagi sampai menyusahkan Kepala Biara dan Pendeta Chongxu. Jika Perguruan Shaolin dan Wudang mengirimkan bala bantuan dan sampai jatuh banyak korban di dalamnya, tentu dosaku akan semakin besar. Dosa ini tidak akan terbalas meskipun harus mati sepuluh ribu kali.”

“Ucapan Ketua Linghu ini kurang tepat,” ujar Fangzheng dengan tersenyum. “Sudah sejak ratusan tahun yang lalu pihak Sekte Iblis ingin menumpas Perguruan Shaolin, Wudang, dan Serikat Pedang Lima Gunung. Saat itu bahkan kami sendiri belum lahir. Jadi, ini sama sekali bukan kesalahan pribadi Ketua Linghu saja.”

Linghu Chong mengangguk dan menjawab, “Benar. Mendiang guruku juga sering mengatakan bahwa selamanya golongan putih dan golongan hitam tidak mungkin hidup bersama. Aliran sesat dan aliran lurus kita sudah terlibat pertempuran sekian lamanya, sehingga permusuhan di antara kedua pihak sangat mendalam. Menurut pendapatku yang bodoh ini, kalau salah satu pihak mau mengalah selangkah tentu permusuhan dapat dihentikan. Ternyata meskipun hubunganku dengan Ketua Ren sedemikian baiknya, tetap saja pada akhirnya kami harus bertemu di medan perang.”

“Ucapanmu tentang saling mengalah selangkah dan permusuhan dapat dihentikan, hal ini sebenarnya tidak salah,” ujar Fangzheng. “Pertarungan antara anggota aliran lurus kita melawan para anggota Sekte Matahari dan Bulan sebenarnya juga tidak memiliki alasan yang kuat. Masalahnya hanyalah pemimpin kedua pihak sama-sama ingin merajai dunia persilatan, sehingga masing-masing pun ingin saling menumpas pihak lawan. Tempo hari Pendeta Chongxu dan saya, beserta Ketua Linghu telah berbicara di Kuil Gantung untuk membahas niat Ketua Zuo dari Songshan yang hendak melebur Serikat Pedang Lima Gunung menjadi satu. Kita sama-sama mengkhawatirkan ambisinya yang besar itu, ingin merajai dunia persilatan.”

Setelah berhenti sejenak dan menghela napas panjang, Fangzheng melanjutkan, “Konon Sekte Matahari dan Bulan memiliki semboyan yang menyatakan, ‘Panjang umur, hidup abadi, merajai dunia persilatan selamanya’. Kalau Ketua Ren sudah punya niat seperti itu, tentu tidak akan pernah ada kedamaian lagi di dunia persilatan. Dalam dunia persilatan terdapat berbagai macam perguruan, aliran, partai, ataupun perkumpulan, yang masing-masing memiliki keanekaragaman. Menyatukan itu semua di bawah satu bendera jelas bertentangan dengan hukum alam.”

Linghu Chong menjawab, “Ucapan Kepala Biara sangat benar.”

“Ketua Ren menyatakan dalam bulan ini ia akan menyapu bersih seluruh penghuni Gunung Henshan, bahkan ayam dan burung juga tidak diberi ampun. Sekali ia berkata demikian, sudah pasti ia laksanakan pula. Oleh karena itu, sekarang ini para jago terbaik dari Perguruan Shaolin, Wudang, Kunlun, Emei, dan Kongtong telah berkumpul di kaki gunung Henshan ini.”

“Hah, benarkah demikian?” seru Linghu Chong terkejut sampai melonjak dari duduknya. “Para tokoh terkemuka dari berbagai perguruan telah datang membantu, namun sedikit pun saya tidak tahu? Aih, sudah sepantasnya saya yang tidak becus ini mendapat hukuman.”

Rupanya ancaman serangan dari Ren Woxing itu bukannya membuat Perguruan Henshan bersiaga, tetapi justru menyerahkan diri pada nasib. Linghu Chong telah menarik orang-orangnya yang berjaga dan meronda di segenap penjuru pegunungan, untuk kemudian memberi mereka kebebasan menikmati sisa waktu. Akibatnya, ia sama sekali tidak mengetahui kalau bala bantuan dari berbagai perguruan golongan putih telah datang dan berkumpul di kaki gunung.

Terdengar Linghu Chong melanjutkan, “Para biksu yang mulia, silakan beristirahat lebih dulu, saya akan memimpin para murid untuk menyambut para tamu agung tersebut.”

Fangzheng mengangguk dan menjawab, “Segenap perguruan aliran lurus ibarat berada dalam satu kapal yang sama. Bersama-sama kita bahu membahu menghadapi ombak dan badai yang datang menerjang. Tidak perlu terlalu banyak adat, kami sudah membawa perbekalan secukupnya.”

“Baik,” jawab Linghu Chong sambil mengangguk. Ia lantas bertanya, “Kalau boleh tahu, kapan dan dari mana Kepala Biara mendengar kabar bahwa Sekte Matahari dan Bulan hendak menyerbu Gunung Henshan?”

“Seorang sesepuh telah mengirimkan surat kepada kami yang berisi kabar mengenai hal ini,” jawab Fangzheng.

“Sesepuh?” sahut Linghu Chong menegas. Jelas-jelas ia tahu kedudukan Mahabiksu Fangzheng di dunia persilatan sudah sangat tinggi. Lantas, siapa pula yang lebih tua tingkatannya daripada dia?

Dengan tersenyum Fangzheng menjawab, “Sesepuh ini adalah tokoh terkenal dari Perguruan Huashan. Beliau pernah mengajarkan ilmu pedang mahasakti kepada Ketua Linghu.”

“Ah, ternyata Kakek Guru Feng!” seru Linghu Chong senang.

“Benar sekali, memang Sesepuh Feng Qingyang orangnya,” kata Fangzheng. “Sesepuh Feng telah mengirim enam orang sobat ke Biara Shaolin untuk memberitahukan tentang apa yang dialami Ketua Linghu di Puncak Menyongsong Mentari tempo hari. Cara bicara keenam sobat itu agak bertele-tele dan tidak jelas. Namun, setelah mendengarkan dengan sabar selama dua jam, akhirnya saya dapat memahaminya dengan jelas.”

“Enam Dewa Lembah Persik, benarkah mereka?” tanya Linghu Chong.

“Mereka memang Enam Dewa Lembah Persik,” sahut Fangzheng tersenyum.

Linghu Chong berkata, “Ketika berada di Gunung Huashan, sebenarnya saya ingin menyampaikan salam hormat kepada Kakek Guru Feng. Namun, mendadak muncul berbagai macam urusan. Sampai meninggalkan gunung pun saya tetap tidak sempat berkunjung kepada Beliau. Tak disangka, ternyata Beliau mengetahui segala hal yang terjadi di sana.”

“Sesepuh Feng memang tidak suka menonjolkan diri. Beliau bagaikan naga sakti dari kahyangan yang terihat kepalanya tapi tak terlihat ekornya. Beliau bisa melihat kita sementara kita tidak mengetahuinya,” ujar Mahabiksu Fangzheng. “Meskipun Beliau mengasingkan diri di lembah pegunungan, namun begitu Perguruan Huashan tertimpa musibah, mana mungkin Beliau tinggal diam begitu saja? Pada saat itu sebenarnya Enam Dewa Lembah Persik juga menyusul ke Gunung Huashan dan bermain-main di sana. Mereka lantas ditangkap dan disekap selama beberpa hari oleh Sesepuh Feng. Setelah jera, mereka akhirnya dapat disuruh pergi ke Biara Shaolin menyampaikan surat dari Beliau.”

Linghu Chong pun merenung, “Rupanya Enam Dewa Lembah Persik ditawan beberapa hari oleh Kakek Guru Feng. Mereka suka menjaga gengsi, tidak mungkin mau menceritakan kejadian memalukan ini kepadaku. Bisa-bisa mereka justru membual telah menangkap Kakek Guru Feng segala. Biarlah nanti aku bicara melantur untuk memancing mereka sehingga menceritakan semuanya dengan lengkap.”

Ia lantas bertanya, “Menurut isi surat tersebut, apakah ada perintah Kakek Guru Feng kepada saya?”

“Sesepuh Feng dengan sangat rendah hati mengaku telah mendengar ancaman Sekte Matahari dan Bulan terhadap Perguruan Henshan. Oleh karena itu, Beliau sengaja mengirim kabar kepada saya. Sesepuh Feng mengatakan bahwa Ketua Linghu adalah murid kesayangan Beliau. Tindakan Ketua Linghu yang dengan tegas menolak ajakan Sekte Iblis itu sangat membuat hati Sesepuh Feng berkenan. Maka itu, Beliau pun menyuruh saya untuk menjaga Ketua Linghu dengan baik. Padahal ilmu silat Ketua Linghu sepuluh kali lebih hebat daripada saya. Beliau mengatakan ‘menjaga’ segala, sungguh terlalu berlebihan.”

“Tapi Kepala Biara telah menjaga diri saya bukan hanya sekali dua kali saja,” ujar Linghu Chong dengan membungkuk dan berterima kasih.

“Ah, Ketua Linghu jangan mengolok-olok,” sahut Fangzheng. “Setelah mengetahui berita ini, meskipun Sesepuh Feng tidak memerintah juga saya tetap berangkat ke Gunung Henshan demi mengingat hubungan baik kedua perguruan dan persahabatan kita pula. Apalagi persoalan ini menyangkut hidup dan mati segenap kaum persilatan golongan putih. Apabila Perguruan Henshan benar-benar dimusnahkan oleh Sekte Matahari dan Bulan, mana mungkin Shaolin dan Wudang tidak mengalami nasib yang serupa? Sebab itulah kami lantas menyebarkan kabar ini kepada berbagai aliran dan perguruan agar berkumpul di kaki Gunung Henshan. Kita bertempur mati-matian menghadapi Sekte Matahari dan Bulan di sini.”

Sebenarnya Linghu Chong sudah putus asa sejak turun meninggalkan Puncak Menyongsong Mentari. Melihat betapa hebat kekuatan Sekte Matahari dan Bulan itu, jelas Perguruan Henshan tidak akan mampu melawan. Maka itu, ia hanya dapat menunggu hari kedatangan Ren Woxing untuk kemudian bersama segenap murid Perguruan Henshan melawan mati-matian sampai titik darah penghabisan. Murid-murid Henshan juga ada yang mengusulkan agar meminta bantuan kepada Perguruan Shaolin dan Wudang. Akan tetapi, Linghu Chong menganggap itu semua tidak ada gunanya, sebab kekuatan Shaolin dan Wudang juga terbatas. Karena hasil akhirnya sudah dapat ditebak, ia pun berpikir untuk apa ikut mengorbankan Perguruan Shaolin dan Wudang segala?

Sebenarnya dalam lubuk hati Linghu Chong ada perasaan enggan bertempur melawan Ren Woxing dan Xiang Wentian. Namun, setelah harapan menikah dengan Ren Yingying telah musnah, tanpa terasa timbul pikirannya yang putus asa. Ia merasa hidup ini tiada gunanya lagi, bahkan lebih baik mati secepat-cepatnya. Kini begitu mengetahui kedatangan Mahabiksu Fangzheng adalah atas permintaan Feng Qingyang, seketika semangatnya bangkit kembali, meskipun dalam hati masih enggan untuk benar-benar bertempur melawan pihak Sekte Matahari dan Bulan.

Ren Yingying berpamitan.
Rombongan dari Shaolin tiba di Henshan.

(Bersambung)