Bagian 113 - Kebenaran yang Terungkap

Lin Pingzhi bercerita kepada Yue Lingshan.

Terdengar Lin Pingzhi berkata gusar, “Aku tidak mau dikasihani! Siapa pula yang minta belas kasihanmu? Ilmu pedang Lin Pingzhi sudah sempurna. Tak ada lagi yang kutakuti sekarang? Tunggu sampai mataku sembuh, aku akan menguasai dunia persilatan. Yue Buqun, Linghu Chong, Mahabiksu Fangzheng, Pendeta Chongxu, mereka semua bukan tandinganku!”

Diam-diam Ren Yingying memaki dalam hati, “Tunggu sampai matamu sembuh? Huh, apa mungkin matamu masih bisa sembuh?” Sebenarnya ia agak kasihan terhadap nasib Lin Pingzhi yang malang itu. Namun, begitu menyaksikan sikapnya yang kasar terhadap istri sendiri, juga mendengar ucapannya yang sombong itu, mau tidak mau timbul rasa gemas dan gusar bukan main dalam hatinya.

Terdengar Yue Lingshan menghela napas, lalu berkata sambil naik kembali ke atas kereta, “Paling tidak kau perlu mencari tempat untuk bersembunyi. Sembuhkan dulu luka pada matamu itu.”

“Aku sudah mempunyai cara untuk mengatasi ayahmu,” kata Lin Pingzhi.

“Keadaanmu dan Ayah sama saja. Kalau kau tidak menyiarkan rahasia ini kepada pihak lain, tentu Ayah tidak perlu mencarimu,” ujar Yue Lingshan.

“Huh, aku jauh lebih kenal sifat ayahmu,” sahut Lin Pingzhi. “Mulai besok, terhadap siapa saja yang kutemui pasti akan kuberi tahu tentang rahasia ayahmu itu.”

“Untuk apa harus berbuat demikian? Bukankah kau sendiri ….” kata Yue Lingshan.

“Untuk apa? Justru inilah cara yang dapat menyelamatkan nyawaku. Berita itu akan segera tersebar sampai ke telinga ayahmu. Setelah Yue Buqun mengetahui bahwa aku telah membeberkan rahasianya, tentu dia tidak perlu lagi membunuhku untuk melenyapkan saksi. Justru sebaliknya, dia akan berusaha menyelamatkan jiwaku,” ujar Lin Pingzhi.

“Cara berpikirmu sungguh aneh,” kata Yue Lingshan.

“Apanya yang aneh? Jika aku sebarkan rahasia itu tidak mungkin orang lain akan langsung percaya, karena ayahmu bisa saja memakai kumis dan janggut palsu dengan perekat jika yang asli mulai rontok. Namun sebaliknya, jika tiba-tiba aku mati secara tak wajar, tentu setiap orang akan langsung menuduh ayahmu telah membungkam mulutku,” kata Lin Pingzhi.

Yue Lingshan menghela napas. Ia tidak tahu harus bicara apa lagi.

Sementara itu Ren Yingying termenung di tempat persembunyiannya, “Lin Pingzhi ini memang berpikiran tajam. Rencananya sungguh jitu. Nona Yue benar-benar serbasalah. Jika rahasia ini sampai tersebar luas, tentu nama besar ayahnya akan hancur. Sebaliknya, kalau ia mencegah penyebaran rahasia itu, tentu ia akan kehilangan nyawa suami sendiri.

Lin Pingzhi melanjutkan, “Sekalipun kedua mataku buta, tapi hatiku tidak buta. Untuk selanjutnya aku memang tidak bisa melihat apa-apa lagi, namun aku tidak menyesal karena sakit hati ayah-ibuku sudah terbalas. Dulu Linghu Chong telah menyampaikan wasiat terakhir Ayah, bahwa ada benda pusaka disimpan di kediaman lama leluhurku di Gang Xiangyang. Ayah berpesan agar jangan sekali-kali aku sampai memeriksa ataupun melihatnya. Itu adalah wasiat Kakek Buyut turun-temurun. Namun, sekarang aku bahkan membacanya sampai tuntas dan juga mendalami isinya. Meski melanggar pesan leluhur, namun aku dapat membalas sakit hati ayah-ibuku. Kalau aku tidak berbuat demikian, Jurus Pedang Penakluk Iblis milik Keluarga Lin kami hanya dikenal orang sebagai nama kosong belaka. Orang-orang Biro Ekspedisi Fuwei tentu akan dicap sebagai kaum pendusta.”

Yue Lingshan berkata, “Dulu kau dan Ayah mencurigai Kakak Pertama telah mencuri Kitab Pedang Penakluk Iblis. Kakak Pertama juga difitnah telah memalsukan wasiat Ayah Mertua ....”

“Aku telah salah menuduh orang, memangnya kenapa?” sela Lin Pingzhi. “Bukankah waktu itu kau sendiri juga ikut mencurigai dia?”

Yue Lingshan menghela napas perlahan dan berkata, “Kau belum lama mengenal Kakak Pertama, sehingga wajar jika kau berprasangka buruk kepadanya. Tapi aku dan Ayah sebenarnya tidak pantas mencurigai dia. Di dunia ini yang benar-benar percaya pada Kakak Pertama hanyalah Ibu seorang.”

Ren Yingying membantah dalam hati, “Siapa bilang hanya ibumu saja?”

Terdengar Lin Pingzhi menyahut, “Hm, ibumu memang benar-benar sayang kepada Linghu Chong. Gara-gara bocah itu, entah sudah berapa kali ayah-ibumu bertengkar?”

“Ayah dan Ibu bertengkar karena Kakak Pertama? Ayah dan ibuku selamanya tidak pernah bertengkar. Dari mana kau tahu?” tanya Yue Lingshan heran.

“Selamanya tidak pernah bertengkar? Itu hanya sandiwara di depan orang lain saja,” ejek Lin Pingzhi. “Sampai-sampai hal seperti ini juga ditutupi dengan rapih oleh Yue Buqun. Benar-benar seorang munafik sempurna. Aku mendengar dengan telingaku sendiri pertengkaran mereka. Mana mungkin aku salah?”

“Aku tidak bilang kau salah, aku hanya merasa heran,” ujar Yue Lingshan. “Mengapa aku sebagai anaknya tidak tahu atau tidak pernah mendengar mereka bertengkar. Sebaliknya, kau malah mengetahui pertengkaran mereka.”

“Baiklah, tiada salahnya kalau kuceritakan semua kepadamu,” kata Lin Pingzhi. “Ketika di Fuzhou tempo hari, orang-orang Perguruan Songshan telah merebut jubah biksu peninggalan Kakek Buyut. Namun, mereka dapat dibinasakan oleh Linghu Chong dan berhasil merebut kembali jubah itu. Sebaliknya, ia sendiri juga terluka parah dan jatuh pingsan. Ketika aku menggeledah tubuhnya, ternyata jubah itu sudah hilang entah ke mana ….”

“Jadi, saat di Fuzhou kau sempat menggeledah tubuh Kakak Pertama?” sahut Yue Lingshan menegas.

“Benar,” jawab Lin Pingzhi. “Lantas kenapa?”

“Tidak apa-apa,” jawab Yue Lingshan.

Mendengar itu Ren Yingying berpikir, “Sungguh kasihan Nona Yue. Ia mendapat suami yang licik dan culas seperti itu. Jika terus menemani bocah yang angin-anginan dan suka menang sendiri seperti itu, tentu kelak ia akan banyak menderita.” Sejenak kemudian ia terkesiap, “Aku telah lama meninggalkan Kakak Chong sendiri. Tentu ia sangat khawatir.”

Gadis itu lalu memiringkan kepalanya agar salah satu telinga mengarah ke tempat Linghu Chong berada. Suasana begitu hening dan sunyi, pertanda Linghu Chong dalam keadaan baik-baik saja.

Terdengar Lin Pingzhi kembali berkata, “Karena jubah itu tidak ditemukan pada Linghu Chong, aku yakin pasti sudah diambil oleh orang tuamu. Maka, begitu pulang ke Gunung Huashan, diam-diam aku selalu menyelidiki gerak-gerik ayahmu. Akan tetapi, permainan ayahmu benar-benar rapih, sedikit pun tidak memperlihatkan sesuatu yang mencurigakan. Waktu itu ayahmu jatuh sakit. Sudah tentu dia sakit karena baru saja mengebiri diri sendiri. Setiap malam aku berusaha mencari tahu rahasia orang tuamu. Aku ingin tahu di mana kitab pusaka keluargaku itu disembunyikan. Aku berusaha mendengar percakapan ayah-ibumu dengan bersembunyi di tepi jurang dekat kamar tidur mereka.”

“Jadi, kau bersembunyi di tepi Jurang Tiansheng untuk menguping pembicaraan Ayah dan Ibu?” sahut Yue Lingshan menegas.

“Benar,” sahut Lin Pingzhi.

“Setiap malam?” desak Yue Lingshan.

“Benar,” jawab Lin Pingzhi kembali.

“Kau sungguh telaten. Benar-benar berkemauan baja,” ujar Yue Lingshan.

“Demi membalaskan sakit hati ayah-ibuku, terpaksa harus begitu,” jawab Lin Pingzhi.

Tempat tinggal Yue Buqun di Gunung Huashan memang berdekatan dengan Jurang Tiansheng yang dalam, curam, dan mengerikan. Orang lain akan mengira Yue Buqun sengaja memilih tempat yang sunyi agar bisa berlatih dengan baik. Namun sebenarnya, tempat itu dibangun sebagai benteng pertahanan terhadap serangan mendadak dari musuh-musuhnya, misalnya Kelompok Pedang cabang Perguruan Huashan sendiri.

Terdengar Lin Pingzhi melanjutkan, “Setiap malam aku dengan tekun menguping pembicaraan mereka. Namun, yang kudengar hanyalah pembicaraan biasa-biasa saja. Akhirnya, setelah lebih dari sepuluh malam, aku mendengar ibumu berkata kepada ayahmu, ‘Kakak, kulihat raut wajahmu akhir-akhir ini agak berubah. Apakah itu akibat gangguan ilmu Awan lembayung yang sedang kau dalami? Hendaknya kau jangan terburu nafsu ingin lekas-lekas mencapai tahap sempurna, tapi malah mengundang masalah.’

Ayahmu menjawab, ‘Ah, tidak apa-apa. Latihanku berjalan lancar.’

Ibumu tidak percaya dan berkata, ‘Jangan berbohong padaku. Aku heran mengapa suaramu akhir-akhir ini agak berubah. Rasanya agak melengking tajam, mirip suara perempuan.’

Ayahmu menjawab, ‘Omong kosong! Selamanya suaraku juga begini?’ Menurut pendengaranku waktu itu, suara ayahmu memang melengking tajam, seperti perempuan cerewet yang sedang marah.”

Kemudian ibumu berkata, ‘Kenapa kau bilang tidak berubah? Kau belum pernah berbicara sekasar ini padaku. Kakak, sesungguhnya ada masalah apa yang menyusahkanmu? Kita sudah berpuluh-puluh tahun menjadi suami istri. Berterus teranglah kepadaku?’

Ayahmu menjawab, ‘Masalah apa yang menyulitkanku? Hm, pertemuan di Gunung Songshan sudah semakin dekat. Zuo Lengchan bermaksud mencaplok keempat perguruan yang lain. Masalah inilah yang membuatku kesal.’

Ibumu berkata, ‘Aku melihat ada persoalan yang lain,’

Ayahmu menjadi gusar. Dengan suara melengking ia berkata, ‘Kau memang suka curiga. Selain itu mana ada persoalan lagi?’

Ibumu menjawab, ‘Kalau memang tidak ada yang lain kenapa kau marah? Aku tahu, kau pasti sedang memikirkan tuduhanmu yang salah terhadap Chong’er.’

Ayahmu menegas, ‘Chong’er? Dia jelas bergaul dengan Sekte Iblis dan menjalin hubungan dengan gadis bermarga Ren dari agama sesat itu. Semua orang sudah tahu akan hal ini. Kenapa kau sebut aku salah menuduh?’”

Mendengar hubungannya dengan Linghu Chong diungkit-ungkit, seketika Ren Yingying menjadi sangat geram. Wajahnya pun terasa panas. Namun kemudian, tiba-tiba saja perasaan mesra memenuhi rongga dadanya.

Terdengar Lin Pingzhi melanjutkan kisahnya, “Ibumu menjawab, ‘Dia memang bergaul dengan kaum Sekte Iblis, sudah tentu ini bukan fitnah. Namun, kau juga telah menuduhnya mencuri Kitab Pedang Penakluk Iblis milik Ping’er.’

Ayahmu berkata gusar, ‘Apa menurutmu kitab pusaka itu tidak dicuri olehnya? Bukankah kau menyaksikan sendiri ilmu pedangnya mendadak maju pesat, bahkan lebih sakti daripada aku?’

Ibumu menjawab, ‘Mungkin dia memperoleh keberuntungan lain sehingga mendapat kesaktian mendadak. Aku yakin dia tidak mengambil Kitab Pedang Penakluk Iblis. Sekalipun watak Chong’er ugal-ugalan, tapi sejak kecil dia selalu hidup jujur, tidak sudi melakukan hal-hal yang memalukan. Apalagi Shan’er telah mengesampingkan dia dan lebih akrab dengan Ping’er. Orang berwatak angkuh seperti Chong’er, sekalipun Ping’er mempersembahkan kitab pusaka itu kepadanya juga ia tidak sudi menerimanya.’”

Sungguh tidak terkira betapa senang rasa hati Ren Yingying mendengarnya. Ia berharap bisa langsung bertemu Nyonya Yue dan memeluk wanita itu sebagai ungkapan terima kasih. “Sungguh tidak sia-sia Nyonya Yue membesarkan Kakak Chong sejak kecil. Dari sekian banyak orang-orang Perguruan Huashan hanya kau seorang yang mengenal sifat Kakak Chong dengan baik. Pantas selama ini Kakak Chong selalu memujimu. Kelak bila ada kesempatan ingin sekali aku membalas kebaikan Nyonya Yue itu,” demikian pikirnya.

Lin Pingzhi melanjutkan ceritanya, “Ayahmu berkata, ‘Jika demikian, kau menyesal karena kita telah memecat bocah durhaka itu dari Perguruan?’

Ibumu menjawab, ‘Karena dia melanggar peraturan dan kau pun berusaha menegakkan tata tertib, maka sudah sepantasnya dia mendapatkan hukuman. Kau sudah menuduhnya bergaul dengan kaum aliran sesat, rasanya itu sudah cukup. Tapi, mengapa kau juga memfitnahnya mencuri kitab pusaka milik Keluarga Lin? Padahal kau sendiri jauh lebih tahu daripada aku. Jelas-jelas kau tahu dia tidak mengambil Kitab Pedang Penakluk Iblis.’

Ayahmu tiba-tiba berteriak, ‘Dari mana kau tahu?’”

Suara Lin Pingzhi yang menirukan teriakan Yue Buqun itu melengking tajam memecah kesunyian malam bagaikan jeritan seekor burung hantu. Bahkan, Ren Yingying sampai merinding mendengarnya.

Setelah diam sejenak barulah Lin Pingzhi melanjutkan, “Perlahan ibumu berkata, ‘Sudah tentu aku tahu, karena ... kau sendiri yang telah mengambil kitab pusaka itu.’

Dengan gusar ayahmu kembali menjerit, ‘Maksudmu, aku … aku ….’ namun hanya sekian saja ucapannya itu kemudian ia terdiam.

Suara ibumu terdengar semakin tenang. Ia berkata, ‘Waktu itu aku menemukan Chong’er jatuh pingsan di jalanan Kota Fuzhou. Aku membawanya pulang ke rumah Keluarga Lin untuk diobati. Saat hendak menghentikan pendarahannya, aku sempat melihat ia menggenggam erat selembar jubah biksu yang penuh bertuliskan semacam jurus-jurus ilmu pedang. Ketika aku memberikan obat untuk yang kedua kalinya serta mengganti perban, ternyata jubah biksu itu sudah tidak ada lagi. Padahal waktu itu Chong’er masih belum siuman sama sekali. Selama itu tiada orang lain yang masuk ke kamarnya selain kau dan aku. Namun yang pasti, aku jelas-jelas tidak pernah mengambil jubah biksu tersebut.’”

Terdengar Yue Lingshan menangis, “Ayahku... ayahku...”

Lin Pingzhi melanjutkan, “Beberapa kali ayahmu bermaksud menyela, namun hanya satu-dua kata yang tidak jelas dan langsung terhenti. Sebaliknya, suara ibumu terdengar semakin lembut saat berkata, ‘Kakak, ilmu pedang Huashan memiliki keistimewaan tersendiri. Ilmu Awan Lembayung juga merupakan ilmu tenaga dalam yang sukar dicari tandingannya. Ilmu silat Perguruaan Huashan memiliki nama harum di dunia persilatan, maka kita tidak perlu mencuri ilmu perguruan lain. Hanya saja, Zuo Lengchan memang sangat bernafsu mencaplok keempat perguruan. Bagaimanapun juga Perguruan Huashan yang berada di bawah kepemimpinanmu tidak boleh sampai jatuh ke dalam cengkeraman Zuo Lengchan. Mari kita bersekutu dengan Perguruan Taishan, Hengshan, dan Henshan. Empat lawan satu kurasa pihak kita tetap ada kemungkinan unggul. Seandainya kita pada akhirnya tidak bisa menang, namun kita harus tetap melawan mereka habis-habisan, sehingga di akhirat nanti kita tidak malu jika bertemu para leluhur Perguruan Huashan. Jika Zuo Lengchan membantai keempat perguruan, itu berarti cita-citanya untuk melebur kelima perguruan tidak akan terlaksana karena hanya tinggal Perguruan Songshan saja yang tersisa.’”

Mendengar sampai di sini, Ren Yingying memuji, “Nyonya Yue memang benar-benar wanita berjiwa kesatria. Ia jauh lebih terhormat dan terpuji daripada suaminya.”

Terdengar Yue Lingshan berkata, “Apa yang dikatakan Ibu memang tidak salah.”

Lin Pingzhi mendengus, “Huh, tapi waktu itu ayahmu sudah mendapatkan kitab pusakaku dan sudah mulai mempelajari Jurus Pedang Penakluk Iblis, mana mau dia mendengar nasihat Ibu Guru?” Tiba-tiba saja ia menyebut “Ibu Guru”, pertanda dalam hatinya masih menghormati Ning Zhongze alias Nyonya Yue itu.

Kemudian ia melanjutkan cerita, “Waktu itu ayahmu menjawab, ‘Kau hanyalah melihat dari sudut pandang kaum wanita saja. Apabila kita mati dalam pertempuran tetap saja Perguruan Huashan jatuh ke tangan Zuo Lengchan. Dia bisa saja menempatkan orang-orang kepercayaannya di setiap perguruan sebagai bonekanya, dan pura-pura membangun kembali Perguruan Taishan, Hengshan, Henshan, dan Huashan kita. Apa dengan demikian kita masih berani bertemu muka dengan para leluhur di akhirat?’

Ibumu terdiam beberapa saat, lalu berkata, ‘Sebenarnya tujuanmu menyelamatkan Perguruan Huashan dengan segala daya upaya adalah sangat mulia. Hanya saja, Jurus Pedang Penakluk Iblis lebih banyak ... lebih banyak merugikan jika dipelajari. Bukankah anak cucu Keluarga Lin tidak ada yang mendalami ilmu pedang tersebut? Saranku sebaiknya kau jangan melanjutkan berlatih ilmu pedang itu.’

Dengan suara keras ayahmu menjawab, ‘Dari mana kau tahu? Apa kau selalu mengintip gerak-gerikku?’

Ibumu menjawab, ‘Untuk apa susah payah mengintip kalau memang aku sudah tahu?’

Ayahmu berkata gusar, ‘Katakan, katakan padaku!’ Suaranya ini keras sekali sampai menggema di pegunungan yang sunyi malam itu. Meskipun keras, namun suara bentakannya ini terkesan agak gemetar.

Ibumu tetap tenang menjawab, ‘Akhir-akhir ini suaramu banyak berubah, hal ini dapat didengar jelas oleh siapa pun juga. Memangnya kau sendiri tidak sadar?’

Ayahmu masih saja mendebat, ‘Selamanya suaraku juga seperti ini.’

Ibumu berkata, ‘Setiap pagi di atas bantalmu selalu terdapat kumis dan janggut yang rontok ....’

‘Kau melihatnya?’ sahut ayahmu.

Ibumu berkata, ‘Sudah lama aku melihatnya, namun aku diam saja. Kumis dan janggut palsu yang kau tempelkan dengan perekat mungkin dapat mengelabui orang lain, tapi mana bisa mengelabui adik seperguruan sekaligus istrimu yang telah mendampingimu selama puluhan tahun ini?’

Karena merasa rahasianya terbongkar, ayahmu tidak membantah lagi. Selang sejenak barulah ia bertanya, ‘Apakah orang lain ada yang tahu?’

Ibumu menjawab, ‘Tidak.’

Ayahmu bertanya lagi, ‘Bagaimana dengan Shan’er dan Ping’er?’

‘Mereka juga tidak tahu,’ kata ibumu.

Lalu ayahmu berkata, ‘Baik, aku menuruti nasihatmu. Jubah biksu ini akan kita usahakan agar bisa kembali ke tangan Pingzhi. Kemudian kita berusaha pula mencuci bersih nama baik Chong’er. Mulai malam ini aku pun takkan mendalami lagi ilmu pedang yang menyesatkan ini.’

Ibumu menjadi senang dan berkata, ‘Begitulah sebaiknya. Namun, ilmu pedang Keluarga Lin ini jelas-jelas merugikan siapa pun yang melatihnya, mana boleh kita mengembalikannya kepada Pingzhi? Kurasa lebih baik dimusnahkan saja.’”

Yue Lingshan menyahut,  “Tentunya Ayah tidak setuju. Kalau Ayah setuju memusnahkan kitab pusaka itu tentu … tentu kau takkan berubah menjadi seperti ini.”

“Kau salah duga. Ayahmu ternyata setuju untuk memusnahkan kitab pusaka tersebut,” kata Lin Pingzhi. “Aku sendiri pun terkejut. Aku bermaksud bersuara untuk mencegahnya, sebab kitab pusaka itu adalah milik Keluarga Lin kami. Tidak peduli kitab itu merugikan atau menguntungkan, bagaimanapun juga ayahmu tidak punya hak untuk memusnahkannya. Pada saat itulah kudengar daun jendela dibuka. Seketika aku pun menunduk ke bawah. Tiba-tiba suatu benda dilemparkan keluar lewat di atas kepalaku, ternyata jubah biksu tersebut yang dibuang, menyusul kemudian jendela lantas ditutup kembali. Melihat jubah biksu itu melayang menuju ke bawah, kalau kubiarkan tentu akan jatuh ke dalam jurang. Aku pun berusaha menangkapnya namun meleset. Waktu itu aku merasa jubah itu adalah satu-satunya harapanku untuk membalaskan kematian Ayah dan Ibu. Maka, tanpa pikir panjang aku segera menangkapnya dengan kaki sambil tanganku berpegangan pada batuan tebing. Hampir saja aku jatuh ke dasar jurang bersama jubah itu.”

Di tempat persembunyiannya Ren Yingying berpikir, “Kau akan lebih beruntung kalau membiarkan jubah itu hilang di dasar jurang.”

Tiba-tiba Yue Lingshan menyahut, “Ibu mengira Ayah telah membuang jubah biksu yang berisi salinan kitab pusaka keluargamu itu ke dalam Jurang Tiansheng, padahal sebenarnya Ayah telah menghafal semua isinya di luar kepala. Dengan demikian jubah biksu tersebut jadi tidak berguna lagi, dan karena itu kau bisa mempelajarinya dengan tenang.”

“Benar!” sahut Lin Pingzhi.

“Rupanya sudah suratan takdir,” kata Yue Lingshan. “Sepertinya semua sudah diatur oleh Kehendak Langit agar kau dapat membalas sakit hati Ayah dan Ibu Mertua. Benar-benar ... bagus.”

“Akan tetapi, masih ada satu hal yang membuatku bingung,” lanjut Lin Pingzhi. “Beberapa hari ini aku selalu pusing memikirkannya. Masalahnya adalah, kenapa Zuo Lengchan juga mampu memainkan Jurus Pedang Penakluk Iblis?”

“O,” sahut Yue Lingshan acuh tak acuh. Tampaknya ia tidak terlalu peduli apakah Zuo Lengchan benar-benar mahir Jurus Pedang Penakluk Iblis atau tidak.

Sebaliknya, Lin Pingzhi lantas berkata, “Kau tidak pernah belajar Jurus Pedang Penakluk Iblis, sehingga kau tidak mengetahui di mana letak keistimewaan ilmu pedang itu. Tempo hari sewaktu Zuo Lengchan bertempur melawan ayahmu di Panggung Fengshan, ketika pertarungan mereka sudah memuncak, ilmu pedang yang mereka mainkan ternyata sama-sama Jurus Pedang Penakluk Iblis. Hanya saja, permainan Zuo Lengchan mula-mula tampak teratur dan hebat, namun pada akhirnya menjadi kacau balau. Setiap jurus yang ia mainkan seolah-olah sengaja mengalah kepada ayahmu. Untung saja ilmu pedangnya memiliki dasar yang kuat sehingga pada detik-detik paling berbahaya ia masih sanggup mengelak. Akan tetapi, tetap saja ia harus terjebak ke dalam lingkaran kehebatan Jurus Pedang Penakluk Iblis ayahmu dan akhirnya kehilangan kedua matanya. Kalau waktu itu ia menggunakan jurus pedang Perguruan Songshan dan dikalahkan oleh ayahmu, maka hal ini cukup masuk akal karena Jurus Pedang Penakluk Iblis memang tiada tandingannya di muka bumi. Namun, Jurus Pedang Penakluk Iblis yang dipelajari Zuo Lengchan hanya setengah-setengah, dan sepertinya ia juga tidak mengebiri diri sendiri. Entah dari mana Zuo Lengchan mempelajari jurus pedang keluargaku itu?” Kata-katanya yang terakhir itu mencerminkan suasana hatinya yang dirundung kebingungan mendalam.

Ren Yingying berpikir, “Sepertinya sudah cukup aku mendengarkan percakapan mereka. Mungkin Jurus Pedang Penakluk Iblis yang dipelajari Zuo Lengchan adalah hasil curian sehingga ia hanya menguasai beberapa gerakan saja. Andai saja kau tahu, ilmu silat Dongfang Bubai jauh lebih hebat daripada Yue Buqun, tentu kau akan semakin bingung memikirkannya dan bisa-bisa kepalamu pecah.

Ren Yingying kemudian melangkah mundur perlahan-lahan. Tiba-tiba terdengar suara derap kaki beberapa ekor kuda dari jauh menuju ke tempat itu. Sepertinya ada lebih dari dua puluh orang penunggang kuda yang datang. Khawatir terjadi sesuatu atas diri Linghu Chong, ia pun lekas-lekas melangkah pergi menuju ke tempat keretanya sendiri.

Sesampainya di sana ia pun berbisik, “Kakak Chong, ada orang datang!”

“Eh, apa kau mencuri dengar lagi tentang orang membawa daging sebagai umpan anjing di rumah si gadis? Kenapa kau mendengarkan sekian lama?” sahut Linghu Chong sambil tertawa mengolok-olok.

“Cih!” sahut Ren Yingying dengan wajah merah karena teringat ajakan Yue Lingshan yang ingin melakukan hubungan suami-istri dengan Lin Pingzhi di dalam kereta tadi. “Mereka … mereka sedang berbicara tentang … tentang Jurus Pedang Penakluk Iblis.”

“Ah, cara bicaramu gelagapan, tentu ada sesuatu yang menarik. Ayo naik ke sini dan ceritakan kepadaku dengan lebih jelas,” pinta Linghu Chong.

“Tidak mau, aku tidak mau!” sahut Ren Yingying.

“Kenapa tidak mau?” Linghu Chong memaksa.

“Tidak mau ya tidak mau,” kata Ren Yingying.

Sementara itu suara derap kaki kuda yang riuh tersebut terdengar semakin mendekat. Ren Yingying berkata, “Dari jumlahnya tentu mereka adalah murid-murid Perguruan Qingcheng yang tersisa. Rupanya mereka benar-benar menyusul kemari untuk menuntut balas.”

Segera Linghu Chong bangkit untuk duduk. “Mari kita maju perlahan-lahan. Masih ada cukup waktu,” ajaknya.

Ren Yingying memahami perasaan Linghu Chong yang khawatir terhadap keselamatan sang adik kecil dan ingin melindunginya meskipun diri sendiri belum sembuh dari luka. Sebenarnya Ren Yingying siap melaksanakan keinginan Linghu Chong itu namun ia tidak tega jika harus meninggalkannya seorang diri. Maka, perlahan-lahan ia pun menurunkan tubuh kekasihnya itu dari kereta.

Ketika kaki Linghu Chong menyentuh tanah, lukanya kembali terasa sakit dan ia pun berdiri terhuyung-terhuyung. Tanpa sadar tangannya memegang roda kereta. Sejak tadi keledai penarik kereta itu diam saja. Kini begitu roda kereta sedikit bergerak, segera binatang menegakkan kepala hendak meringkik karena mengira perjalanan hendak dilanjutkan kembali.

Namun, gerakan Ren Yingying sungguh sangat cepat. Pedangnya lantas menebas satu kali dan kepala keledai itu langsung terpenggal jatuh ke tanah sebelum sempat bersuara. Diam-diam Linghu Chong memuji kehebatan Ren Yingying, bukan karena kecepatan jurus pedangnya, tetapi karena kecepatannya bertindak dengan tegas dan jitu. Dalam sekali tebas gadis itu telah mencegah si keledai hingga tidak sempat mengeluarkan suara sedikit pun. Mengenai bagaimana kereta mereka nanti dapat berjalan, itu urusan belakangan.

Linghu Chong buru-buru melangkah ke depan karena mendengar derap kaki kuda-kuda itu semakin dekat. Melihat langkahnya yang tertatih-tatih Ren Yingying berpikir, “Kakak Chong ingin secepatnya mendekati tempat Nona Yue sebelum musuh datang. Tapi ini bisa membuat lukanya bertambah buruk. Namun jika aku menggendongnya, apakah ia tidak merasa malu?”

Sementara itu terdengar suara derap kuda sudah makin mendekat. Ren Yingying akhirnya berseru, “Permisi, Kakak Chong!” Tanpa menunggu jawaban ia lantas memegang punggung dan pinggang kekasihnya itu lalu mengangkat tubuhnya dengan mengerahkan tenaga dalam. Secepat kilat keduanya pun masuk dan menelusuri ladang jagung yang lebat.

Linghu Chong bersyukur namun juga merasa geli. Ia selaku ketua Perguruan Henshan, namun digendong oleh seorang gadis bagaikan bayi. Andai kejadian ini dilihat orang lain tentu bisa runyam. Namun, kalau Ren Yingying tidak cepat mengambil tindakan, bisa jadi orang-orang Perguruan Qingcheng tiba lebih dulu, tentu sang adik kecil akan celaka. Linghu Chong merasa Ren Yingying memang benar-benar bisa menyelami isi hatinya sehingga berbuat demikian.

Tidak lama kemudian, jarak kedua pihak sudah semakin dekat. Ren Yingying mencoba melongok keluar. Dalam kegelapan tampak satu barisan obor datang dari jurusan lain jalan raya tersebut.

“Berani sekali mereka mengejar musuh dengan membawa obor,” kata Ren Yingying.

“Mereka sudah gelap mata. Setelah kematian guru mereka, rupanya orang-orang Qingcheng ini ingin bertempur habis-habisan. Aduh, ini sungguh mengerikan,” jawab Linghu Chong.

Tiba-tiba Ren Yingying menyahut, “Celaka! Jangan-jangan mereka hendak membakar kereta Nona Yue!”

“Lekas kita hadang mereka agar tidak sampai kemari,” kata Linghu Chong.

“Jangan khawatir. Kita masih mampu untuk menolong mereka,” ujar Ren Yingying.

Linghu Chong sadar kepandaian Ren Yingying cukup tinggi. Yu Canghai juga sudah mati, maka sisa orang-orang Perguruan Qingcheng yang datang itu tentu tidak perlu ditakuti lagi.

Ren Yingying menggendong tubuh Linghu Chong sampai pada jarak belasan meter dari kereta Yue Lingshan, kemudian perlahan-lahan ia pun menurunkan pemuda itu. “Duduklah yang tenang dan jangan bergerak,” ujarnya lirih.

Sementara itu, terdengar Yue Lingshan sedang berkata di dalam keretanya, “Musuh sudah datang secepat ini. Mereka pasti kawanan tikus dari Perguruan Qingcheng.”

“Dari mana kau tahu?” tanya Lin Pingzhi.

“Mereka tahu kita terluka sehingga berani datang dengan membawa obor,” ujar Yue Lingshan.

“Mereka membawa obor?” sahut Lin Pingzhi menegas.

“Benar,” jawab Yue Lingshan.

“Lekas turun ke bawah. Kawanan tikus itu hendak membakar kereta ini!” seru Lin Pingzhi. Penderitaan bertubi-tubi yang sudah lama ia alami membuat pikirannya jauh lebih tajam dan waspada daripada Yue Lingshan.

“Baik,” jawab Yue Lingshan. Dengan cepat ia melompat turun dari kereta, lalu memegang tangan Lin Pingzhi untuk membantu suaminya itu melompat turun pula. Keduanya lantas menyingkir ke tepi jalan dan menyusup ke tengah ladang jagung. Tempat mereka kini hanya berjarak beberapa meter saja dari tempat Ren Yingying dan Linghu Chong bersembunyi.

Sementara itu, orang-orang Perguruan Qingcheng sudah tiba dan mengepung kereta kosong tersebut. Seorang di antaranya lantas berteriak, “Anjing Lin Pingzhi! Apa kau ingin bersembunyi seperti bulus? Mengapa kau tidak menongolkan kepalamu keluar?”

Namun, keadaan kereta itu sunyi senyap tiada jawaban terdengar. Segera seorang di antara mereka kembali berkata, “Mungkin dia sudah melarikan diri dan meninggalkan kereta ini.”

Tiba-tiba api obor memecah kegelapan. Tampak sebuah obor dilemparkan ke arah kereta. Tapi mendadak dari dalam kereta menjulur keluar sesosok tangan yang langsung menangkap obor itu dan melemparkannya kembali.

Kontan orang-orang Perguruan Qingcheng menjadi panik dan berteriak, “Bangsat! Anjing itu berada di dalam kereta!”

Melihat dari dalam kereta tiba-tiba menjulur keluar tangan seseorang, tentu saja membuat Ren Yingying dan Linghu Chong terheran-heran. Mereka tidak menyangka ada orang lain yang juga bersembunyi dan bermaksud menolong Lin Pingzhi. Sementara itu, Yue Lingshan jelas lebih terkejut lagi. Sekian lama ia berbicara dengan Lin Pingzhi, sama sekali tak menduga bahwa di dalam keretanya telah bersembunyi orang lain. Kalau dilihat dari cara orang itu melemparkan kembali obor kepada musuh, sepertinya ia memiliki ilmu silat yang tinggi.

Murid-murid Perguruan Qingcheng berturut-turut melemparkan obor di tangan masing-masing ke arah kereta, namun semuanya dapat ditangkap dan dilemparkan kembali oleh orang itu. Jumlah obor yang dilempar dan dikembalikan mencapai lebih dari delapan buah. Meskipun obor-obor itu tidak sampai melukai seorang pun di antara mereka, namun ini sudah cukup untuk membuat orang-orang Qingcheng tidak berani melempar lagi. Mereka lantas mengelilingi kereta itu sambil memaki-maki, “Anak bulus itu tidak berani keluar. Mungkin dia terluka parah dan hampir mampus!”

Di bawah cahaya obor yang masih tersisa tampak dengan jelas bahwa orang yang bersembunyi di dalam kereta itu memiliki lengan yang kecoklatan dan keriput, serta urat-uratnya yang menonjol, jelas merupakan lengan seorang tua.

“Dia bukan Lin Pingzhi,” seru salah seorang.

“Dia juga bukan istrinya,” seru yang lain.

Orang-orang Qingcheng itu menjadi ragu dan tidak berani sembarangan bergerak. Tiba-tiba sekitar dua puluhan di antara mereka serentak menusukkan pedang masing-masing ke dalam kereta. Maka, muncullah seorang laki-laki yang meloncat keluar menembus atap kereta dengan sinar pedang gemerlapan. Tahu-tahu orang itu sudah melompat ke belakang barisan orang-orang Qingcheng tersebut. Begitu pedangnya bergerak, seketika dua orang lawan jatuh terkapar.

Orang itu memakai baju kuning seperti seragam Perguruan Songshan. Hanya saja wajahnya memakai cadar kain hitam, sehingga tidak bisa dikenali, kecuali sepasang matanya yang berkilat-kilat tajam. Perawakan orang itu sangat tinggi, pedangnya pun bergerak begitu cepat. Hanya beberapa jurus saja kembali dua murid Qingcheng berguguran.

Melihat pertempuran itu, tanpa terasa tangan Linghu Chong menggenggam erat tangan Ren Yingying. Keduanya sama-sama berpikir, “Dia memainkan Jurus Pedang Penakluk Iblis.”

Ditinjau dari bentuk tubuhnya, orang itu jelas bukan Yue Buqun, apalagi Zuo Lengchan yang sudah buta. Kembali mereka berdua berpikiran sama, “Ternyata selain Yue Buqun, Lin Pingzhi, dan Zuo Lengchan, masih ada orang keempat yang bisa memainkan Jurus Pedang Penakluk Iblis.”

Sementara itu, Yue Lingshan berkata lirih kepada Lin Pingzhi, “Adik Ping, orang itu memainkan jurus pedang yang mirip denganmu.”

“Apa?” sahut Lin Pingzhi tidak percaya. “Dia … dia juga dapat memainkan ilmu pedang keluargaku? Apa kau tidak … tidak keliru?”

Dalam pertempuran tersebut kembali tiga orang murid Qingcheng roboh terkena pedang lawan. Kini Linghu Chong dan Ren Yingying sudah dapat melihat dengan jelas. Meski jurus yang dimainkan orang itu adalah Jurus Pedang Penakluk Iblis, namun kecepatannya masih kalah jauh dibandingkan Yue Buqun dan Lin Pingzhi, apalagi terhadap Dongfang Bubai. Hanya saja, ilmu silat orang itu cukup tinggi, ditambah jurus-jurus Pedang Penakluk Iblis yang ia gunakan memang mengagumkan, sehingga masih lebih unggul menghadapi orang-orang Qingcheng yang berjumlah lebih banyak.

“Ilmu pedangnya mirip denganmu, tapi gerakannya masih tidak secepat dirimu,” kata Yue Lingshan lagi.

“Gerakannya masih kurang cepat? Ini jelas tidak sesuai dengan intisari ilmu pedang keluargaku,” ujar Lin Pingzhi. “Akan tetapi siapa … siapa dia? Mengapa dia dapat memainkan jurus pedang kami?”

Di tengah pertarungan sengit, tiba-tiba seorang murid Perguruan Qingcheng dadanya tembus oleh pedang orang itu. Menyusul kemudian orang bercadar itu membentak keras, pedangnya lantas ditarik dan menebas pula. Kontan seorang di belakangnya terpotong menjadi dua sebatas pinggang. Orang-orang Perguruan Qingcheng yang lain menjadi ngeri dan sama-sama melompat mundur.

Kembali orang itu membentak keras dan menerjang maju. Tiba-tiba seorang murid Qingcheng menjerit ketakutan dan kemudian memutar tubuh melarikan diri. Kawan-kawannya yang lain menjadi takut pula dan beramai-ramai mereka menyusul kabur. Ada yang memacu kuda, ada pula yang lari tunggang langgang tak tentu arah.

Setelah semua murid Qingcheng menghilang, orang bercadar itu tampak berdiri tegak dengan napas terengah-engah. Linghu Chong dan Ren Yingying dapat menduga bahwa dalam pertempuran sengit tadi orang itu telah banyak kehilangan tenaga, bahkan mungkin juga terluka dalam.

Beberapa obor yang berserakan di tanah masih menyala sehingga dapat terlihat orang tua bercadar itu terengah-engah cukup lama. Setelah agak tenang, orang tua berbaju kuning itu menyarungkan kembali pedangnya, lalu berseru, “Pendekar Lin dan Nyonya Lin, aku dikirim Ketua Zuo dari Perguruan Songshan untuk datang memberi bantuan.” Dari suaranya yang bernada rendah dan serak itu sepertinya ia sedang mengulum sesuatu di mulutnya, seolah sedang menyamarkan suara agar tidak dikenali orang lain.

“Terima kasih banyak atas bantuan Tuan. Kalau boleh tahu, siapakah nama Tuan yang mulia ini?” sahut Lin Pingzhi sambil keluar dari tempat persembunyiannya bersama Yue Lingshan.

Orang tua itu berkata, “Ketua Zuo mendengar bahwa Pendekar Lin bersama Nyonya terluka parah setelah membasmi para penjahat. Kini Pendekar Lin berdua handak disergap musuh di tengah jalan. Aku diperintahkan Beliau untuk melindungi Pendekar Lin berdua dan mencari suatu tempat istirahat yang aman, supaya tidak bisa ditemukan oleh ayah-mertuamu.”

Baik Linghu Chong dan Ren Yingying maupun Lin Pingzhi dan Yue Lingshan sama-sama heran dari mana Zuo Lengchan mendapat keterangan sejelas itu?

Lin Pingzhi lantas menjawab, “Maksud baik Ketua Zuo dan Tuan yang mulia sungguh sangat kuhargai. Mengenai luka ini bisa kupulihkan sendiri, dan aku tidak berani merepotkan Tuan.”

Orang tua itu kembali berkata, “Tapi kedua mata Pendekar Lin terkena racun Si Bungkuk, sungguh sukar kiranya untuk bisa melihat kembali. Kalau Pendekar Lin tidak diobati secara langsung oleh Ketua Zuo, bisa jadi … bisa jadi sepasang mata Pendekar Lin sukar untuk dipertahankan.”

Sejak kedua matanya terkena air beracun dari punggung Mu Gaofeng, baik mata maupun wajah Lin Pingzhi terasa kaku dan gatal luar biasa. Bahkan karena gusarnya, hampir-hampir ia mencongkel kedua biji matanya sendiri. Syukurlah ia masih mampu bertahan sedapat mungkin.

Setelah termenung sejenak, Lin Pingzhi menjawab, “Aku bukan teman ataupun keluarga Ketua Zuo, tapi mengapa Ketua Zuo menaruh perhatian sedemikian rupa kepadaku? Silakan Tuan menjelaskan lebih dulu. Kalau tidak, sukar bagiku untuk menerima maksud baik Beliau.”

Orang bercadar itu tertawa terkekeh dan berkata, “Pepatah mengatakan, ‘Musuh dari musuhku adalah teman’. Ketua Zuo kehilangan penglihatan karena dicelakai secara licik oleh Yue Buqun. Kalau Yue Buqun mendengar Pendekar Lin mendalami Jurus Pedang Penakluk Iblis, meski Pendekar Lin berusaha menyingkir ke ujung dunia sekalipun juga akan diburu olehnya. Kini dia sudah menjadi ketua Perguruan Lima Gunung. Kekuasaannya besar, pengaruhnya pun luas. Memangnya kau seorang diri hendak bersembunyi ke mana lagi? Hehe, apalagi putri kesayangan Yue Buqun senantiasa mendampingimu siang dan malam. Meski Pendekar Lin memiliki kepandaian setinggi langit, namun tetap sulit berjaga-jaga terhadap musuh dalam selimut ….”

“Kakak Kedua, ternyata dirimu!” mendadak Yue Lingshan berteriak memanggil orang bercadar itu.

Seketika perasaan Linghu Chong terguncang mendengarnya. Suara orang tua yang samar-samar dan serak itu memang seperti sudah akrab di telinganya. Kini setelah Yue Lingshan berteriak, ia pun langsung sadar bahwa orang tua itu adalah Lao Denuo, bekas adik seperguruannya nomor dua. Namun, dulu ia mendengar kabar dari Yue Lingshan bahwa Lao Denuo mati terbunuh di Kota Fuzhou. Jika demikian, kabar tersebut bisa jadi tidak benar.

Terdengar orang tua itu berkata dingin, “Hm, bocah yang cukup cerdik. Kau dapat mengenali suaraku.” Kali ini ia bicara dengan menggunakan suara yang sebenarnya, sehingga semakin jelas bahwa orang itu memang benar-benar Lao Denuo.

Lin Pingzhi mendapatkan jubah biksu.
Pendekar bercadar menumpas orang-orang Qingcheng.
Orang tua bercadar menemui Lin Pingzhi dan Yue Lingshan.

(Bersambung)