Bagian 73 - Penculikan di Kota Sunyi

Biksuni Dingjing menghadapi keroyokan musuh.

Melihat Linghu Chong berjalan terhuyung-huyung menuju selatan, makin lama makin jauh, murid-murid Perguruan Henshan lantas mengelilingi Biksuni Dingjing. Mereka pun bertanya-tanya dengan ribut, “Bibi Guru, dari mana asal orang itu?”

“Guru, dia itu benar-benar sinting atau pura-pura saja?”

“Dia itu benar-benar berilmu tinggi ataukah hanya beruntung secara kebetulan bisa mengalahkan musuh?”

“Dia itu apakah benar-benar jenderal? Usianya kelihatan belum tua?”

Dingjing hanya menghela napas tanpa menjawab. Ia berpaling memandangi murid-murid yang terluka oleh senjata rahasia musuh. Ternyata keadaan mereka sudah lebih baik setelah dibubuhi obat penawar dari Sekte Iblis tadi. Darah mereka tidak lagi kehitam-hitaman, denyut nadi mereka juga terasa lebih kuat. Untuk penyembuhan selanjutnya, pihak Perguruan Henshan sendiri juga memiliki obat luka yang sangat manjur. Maka, ia lantas membuka totokan kelima anggota Sekte Iblis yang tertangkap, kemudian menyuruh mereka pergi.

“Mari kita beristirahat di bawah pohon itu!” kata Dingjing kepada para murid setelah kelima tawanan sudah pergi cukup jauh. Mereka lalu beristirahat di bawah pohon tersebut, sedangkan Dingjing sendiri duduk di atas batu besar dan merenungkan kejadian tadi. “Saat orang itu menerobos masuk ke dalam kepungan musuh, si tua pemimpin Sekte Iblis berusaha menyerangnya, tapi dalam sekejap ia justru menotok roboh lima orang anggota musuh. Jurus yang digunakannya jelas bukan ilmu menotok, serta gerakannya sama sekali tidak memperlihatkan dari perguruan mana ia berasal. Di dunia persilatan zaman ini ternyata ada jago muda selihai itu. Entah ia murid orang sakti dari mana? Sungguh Perguruan Henshan sangat bersyukur, karena jago sehebat ini ternyata bukan lawan, tetapi kawan.”

Untuk beberapa saat Biksuni Dingjing menggumam sendiri, kemudian ia menyuruh seorang murid menyiapkan kuas dan tinta, serta sehelai kain sutra tipis. Setelah menulis surat pada kain tersebut, Dingjing pun berkata, “Yizhi, ambilkan merpati!”

“Baik, Guru,” jawab Yizhi yang merupakan murid Dingjing sendiri. Ia kemudian mengeluarkan seekor merpati putih dari sangkar bambu yang digendongnya.

Dingjing melipat kain sutra tipis itu menjadi satu gulungan kecil, lalu memasukkannya ke dalam sebuah tabung bambu yang amat kecil pula. Tabung kecil itu lalu ditutup dan disegel, kemudian diikat pada kaki kiri merpati menggunakan kawat tipis. Dalam hati ia berdoa semoga merpati itu sampai di tempat tujuan dengan selamat, lalu melepaskan burung itu ke udara. Merpati tersebut mengepakkan sayapnya dan terbang tinggi, makin lama makin jauh, hingga akhirnya hanya terlihat seperti titik kecil di angkasa.

Dari menulis surat sampai melepaskan merpati, setiap gerakan Biksuni Dingjing terlihat sangat lamban, sungguh berbeda dengan ketangkasannya yang lincah dan ganas saat melabrak musuh tadi. Setelah melepaskan merpati, ia pun menengadah mengikuti terbangnya burung tersebut sampai menghilang di balik awan. Selama itu pula para murid tiada seorang pun yang berani bersuara. Mereka sadar dalam pertempuran tadi, meskipun mendapat bantuan “Sang Jenderal” yang sinting dan lucu sehingga suasana menjadi menyenangkan, tetap saja peristiwa tadi sungguh berbahaya, bagaikan lolos dari lubang jarum.

Setelah agak lama termenung menatap langit, Dingjing kemudian berpaling dan melambaikan tangan ke arah seorang gadis cilik berusia sekitar lima belas atau enam belas tahun. Gadis cilik itu bangkit dan mendekat kepadanya sambil menyapa, “Guru!”

Perlahan-lahan Dingjing membelai rambut anak gadis itu dan bertanya, “Juan’er, tadi kau takut atau tidak?”

Gadis cilik itu mengangguk-angguk dan menjawab, “Takut. Untung jenderal itu sangat gagah berani sehingga kawanan penjahat tadi dapat dipukul mundur.”

Dingjing tersenyum dan berkata, “Jenderal itu bukannya gagah berani, tapi ilmu silatnya memang sangat tinggi.”

Gadis cilik itu menegas, “Guru, apa benar ilmu silatnya sangat tinggi? Tadi kulihat serangannya kacau balau, tingkahnya juga ceroboh. Bahkan, dahinya sampai terkena gagang golok sendiri. Goloknya juga berkarat sehingga tidak bisa dilolos keluar dari sarung.”

Gadis cilik itu bernama Qin Juan, murid Biksuni Dingjing yang paling kecil. Sifatnya cerdik dan banyak akal, sehingga sangat disayang oleh Sang Guru. Murid-murid Perguruan Henshan yang enam puluh persen adalah kaum biksuni, sedangkan empat puluh persen adalah kaum awam. Dari usia mereka ada yang wanita setengah baya, bahkan ada pula nenek-nenek lanjut usia. Qin Juan sendiri adalah murid yang paling muda di dalam Perguruan Henshan.

Yihe menukas, “Kau bilang serangannya kacau balau? Menurutku, ia hanya berpura-pura untuk mengelabui orang dan menyembunyikan asal-usul perguruannya. Itu baru namanya orang pintar. Guru, apakah kau dapat menerka jenderal itu berasal dari aliran atau perguruan mana?”

Perlahan-lahan Dingjing menggeleng, lalu menjawab, “Ilmu silat orang itu hanya bisa dilukiskan dengan kata-kata ‘sukar diukur’. Selebihnya aku sama sekali tidak tahu.”

Qin Juan bertanya, “Guru tadi menulis surat kepada Bibi Ketua, benar tidak? Apakah bisa segera sampai?”

Dingjing menjawab, “Burung merpati itu akan terbang menuju Biara Baiyi di Suzhou untuk diganti merpati yang lain. Dari Biara Baiyi, burung merpati selanjutnya akan terbang menuju Biara Miaoxiang di Jinan untuk diganti lagi. Kemudian, merpati penggantinya akan terbang menuju Biara Qingjing di Laohekou untuk ditukar lagi. Jadi, berturut-turut sambung-menyambung sebanyak empat merpati, akhirnya tentu akan sampai di Gunung Henshan.”

Yihe berkata, “Syukurlah kita tidak kehilangan seorang pun. Beberapa kakak dan adik yang terluka oleh senjata rahasia dalam satu-dua hari lagi juga akan sembuh. Sedangkan yang terkena lemparan batu dan terluka oleh senjata juga tidak terlalu parah.”

Biksuni Dingjing hanya menengadah dan termangu-mangu, seolah tidak mendengar ucapan itu. Ia berpikir, “Perjalanan kami menuju selatan kali ini sebenarnya sangat dirahasiakan. Siang tidur, malam berjalan, bagaimana mungkin orang-orang Sekte Iblis itu bisa mengetahui rencana kami dan melakukan penyergapan di tempat berbahaya ini?” Ia kemudian berkata kepada para murid, “Musuh sudah pergi jauh, kurasa untuk sementara mereka tidak akan kembali lagi. Kita semua sudah sangat letih, sehingga lebih baik kita makan bekal saja di sini, kemudian tidur di bawah pohon itu.”

Para murid serentak mengiakan. Beberapa di antaranya segera menyalakan api untuk merebus air dan menyeduh teh.

Semua orang tertidur dan beristirahat selama beberapa jam, lalu bangun untuk makan siang. Melihat raut muka para murid yang terluka tampak sangat letih, Biksuni Dingjing pun berkata, “Jejak kita sudah diketahui musuh. Setelah ini, kita tidak perlu lagi berjalan sembunyi-sembunyi di malam hari. Kawan-kawan yang terluka juga butuh istirahat. Nanti malam kita menginap di Nianbapu.”

Begitulah, mereka lantas melanjutkan perjalanan menuruni bukit. Beberapa jam kemudian sampailah rombongan itu di Nianbapu, sebuah kota perbatasan antara daerah Zhejiang dan Fujian. Setiap orang yang berjalan dari Pegunungan Xianxia pasti melewati kota ini. Setibanya di sana hari belumlah gelap, namun anehnya tiada seoraang pun yang terlihat.

Yihe bertanya dengan heran, “Adat kebiasaan di Fujian sungguh aneh. Mengapa masih sore penduduk di sini sudah tidur?”

Biksuni Dingjing berkata, “Coba kita cari suatu penginapan untuk bermalam.”

Perguruan Henshan mempunyai hubungan baik dengan berbagai biara kaum wanita Buddha di sejumlah daerah. Namun di Nianbapu tidak terdapat biara semacam itu sehingga mereka terpaksa harus mencari penginapan untuk bermalam. Di sisi lain, masyarakat awam banyak yang menghindari kaum biksuni karena menganggap mereka sebagai pembawa sial, juga karena mereka suka mencari perkara demi hal-hal sepele. Untungnya kaum biksuni Henshan sudah terbiasa dan tidak mempermasalahkannya.

Nianbapu bukanlah kota besar, namun juga tidak bisa disebut kecil. Di dalamnya terdapat dua sampai tiga ratus rumah dan toko, namun suasananya sunyi senyap seperti kota mati. Selayang pandang mereka melihat semua pintu rumah dan toko telah tertutup rapat. Meski hari belum gelap, tapi suasana sudah seperti tengah malam.

Setelah rombongan berbelok di tikungan jalan, terlihat sehelai spanduk yang bertuliskan “Penginapan Xianju” dengan huruf-huruf besar. Namun demikian, pintu penginapan itu juga terkunci rapat, dan keadaan di dalamnya sunyi senyap tiada suara seorang pun.

Seorang murid perempuan bernama Zheng E segera maju mengetuk pintu penginapan itu. Zheng E adalah murid dari kalangan awam, dengan raut muka bulat telur yang selalu tersenyum manis. Ia pintar bicara dan pandai menjawab, sehingga sangat disukai kawan-kawannya. Di sepanjang perjalanan, ia selalu menjadi juru bicara rombongan jika harus berurusan dengan orang luar, karena jika yang maju dari kaum biksuni dikhawatirkan bisa terjadi penolakan.

Zheng E mengetuk pintu beberapa kali, berhenti sejenak, lalu kembali mengetuk beberapa kali, tapi sampai lama sekali masih belum juga ada orang menjawab atau membukakan pintu. Ia lantas berseru, “Paman pengurus, mohon bukakan pintu!” Suaranya terdengar nyaring dan jelas. Sebagai seorang pesilat, suaranya terdengar sampai jauh, meski melewati beberapa ruangan juga tetap bisa didengar orang. Namun anehnya, tetap saja tiada seorang pun dalam penginapan itu yang menjawab. Keadaan ini benar-benar di luar dugaan.

Yihe melangkah maju dan menempelkan telinga pada daun pintu, tapi tiada suara apa pun yang terdengar dari dalam. Papan pintu juga terlihat bersih dan rapi, jelas tidak seperti usaha yang sudah lama tutup. Ia pun berpaling kepada Dingjing dan berkata, “Guru, di dalam memang tidak ada orang. Bagaimana kalau kita lihat-lihat lagi di tempat lain? Penginapan di kota ini tentunya ada lagi yang lainnya.”

Setelah melewati puluhan rumah, mereka kembali menemukan sebuah penginapan bernama Penginapan Nan’an. Kembali Zheng E maju dan mengetuk pintu seperti tadi, namun keadaan tetap sama tiada jawaban seorang pun.

“Kakak Yihe, marilah kita periksa ke dalam,” ajak Zheng E.

“Baik!” jawab Yihe mengiakan.

Bersama mereka lantas melompati pagar tembok dan masuk ke dalam. Zheng E berseru, “Adakah orang di dalam?”

Karena tetap tiada jawaban apa-apa, mereka lantas menghunus pedang dan masuk ke aula penginapan, lalu memeriksa ke ruangan dalam, dapur, istal, dan sekelilingnya. Ternyata memang benar-benar tiada seorang pun di sana. Anehnya, di atas meja kursi tidak terdapat lapisan debu, bahkan poci teh di atas meja kamar juga terasa masih hangat.

Zheng E membuka pintu sehingga Biksuni Dingjing dan rombongan bisa masuk ke dalam, lalu melaporkan apa yang dilihatnya. Semua orang hanya bisa berdecak keheranan.

Dingjing lalu memberi perintah, “Kalian buatlah kelompok-kelompok tujuh orang untuk berpencar ke seluruh penjuru kota, memeriksa keadaan dan mencari tahu apa yang terjadi. Tujuh orang tidak boleh terpisah. Begitu menemukan jejak musuh segera tiuplah peluit untuk memberi tahu yang lain.”

Para murid mengiakan, kemudian berjalan ke luar dengan cepat bersama kelompok masing-masing. Dalam sekejap saja di aula penginapan itu hanya tinggal Dingjing seorang diri. Semula masih terdengar suara langkah kaki para murid, sampai akhirnya suasana menjadi sunyi senyap dan membuat bulu roma berdiri. Di dalam kota yang berisi ratusan rumah ternyata tiada suara manusia, bahkan kokok ayam atau lolongan anjing juga tidak terdengar. Benar-benar aneh.

Selang sejenak, Dingjing tiba-tiba merasa khawatir, “Jangan-jangan pihak Sekte Iblis memasang jebakan mematikan? Para murid sebagian besar belum berpengalaman di dunia persilatan. Aku khawatir mereka bisa masuk perangkap musuh.”

Ia kemudian berjalan keluar. Terlihat olehnya bayangan orang berkelebatan di sebelah timur laut. Di sebelah barat juga ada beberapa bayangan melompat masuk ke dalam toko dan rumah. Namun mereka semua adalah murid-murid Perguruan Henshan, sehingga membuat hati Dingjing agak tenang. Tidak lama kemudian para murid telah kembali susul-menyusul dan melaporkan tidak menemukan seorang pun di seluruh penjuru kota.

Yihe berkata, “Jangankan manusia, hewan juga tidak ada seekor pun.”

Yiqing menyambung, “Sepertinya penduduk kota ini belum lama meninggalkan rumah. Banyak tanda-tanda yang menunjukkan mereka baru saja berangkat dengan tergesa-gesa. Di beberapa rumah kami temukan peti yang masih terbuka, sedangkan barang-barang berharga di dalamnya sudah dibawa pergi.”

Dingjing manggut-manggut, kemudian bertanya, “Bagaimana pendapat kalian?”

Yihe menjawab, “Sepertinya ini perbuatan Sekte Iblis. Mereka telah mengusir penduduk supaya kota menjadi kosong, sehingga mereka bisa melakukan penyerangan besar-besaran terhadap kita dalam waktu dekat.”

“Benar!” sahut Dingjing. “Kali ini kaum iblis ternyata ingin bertempur dengan kita secara terang-terangan. Bagus sekali. Kalian takut atau tidak?”

“Menumpas kaum iblis adalah tugas suci pengikut Sang Buddha,” jawab para murid serentak.

Dingjing berkata pula, “Baiklah, kita bermalam di penginapan ini. Lebih dulu kita perlu menanak nasi dan makan kenyang. Tapi sebelumnya periksa dulu apakah air dan bahan makanan mengandung racun atau tidak.”

Begitulah, murid-murid Perguruan Henshan lantas sibuk menyiapkan makanan. Biasanya di waktu makan para murid memang dilarang bicara, lebih-lebih dalam keadaan mencekam seperti ini. Mereka saling memasang telinga untuk mendengarkan kalau-kalau ada sesuatu hal yang mencurigakan di luar sana. Setelah kelompok pertama selesai makan, mereka segera keluar untuk berjaga menggantikan kelompok yang lain untuk mendapat giliran makan, dan begitulah seterusnya.

Tiba-tiba Yiqing mendapat akal. Ia berkata, “Guru, bagaimana kalau kita pergi menyalakan pelita di rumah-rumah penduduk agar musuh tidak tahu di mana kita berada?”

“Siasat membingungkan musuh ini sangat bagus,” jawab Dingjing. “Baiklah, kalian bertujuh bisa pergi sekarang untuk menyalakan pelita.”

Yiqing dan kelompoknya segera berangkat. Sewaktu Dingjing memandang keluar, dilihatnya pada rumah-rumah penduduk di sebelah barat jalan satu per satu mulai memancarkan cahaya pelita. Tidak lama kemudian rumah-rumah di sebelah timur jalan juga mulai memancarkan cahaya pelita. Hanya saja, keadaan masih tetap sunyi senyap.

Dingjing menengadah ke langit. Tampak bulan sabit memancarkan sinarnya yang remang redup. Dalam hati ia pun berdoa, “Dewi Guanyin, lindungilah perjalanan kami supaya bisa kembali ke Gunung Henshan dengan selamat. Apabila kami dapat pulang, sejak itu Dingjing akan menyalakan pelita dan berdoa kepada Sang Buddha saja dan tidak akan menghunus pedang lagi.”

Bertahun-tahun silam Biksuni Dingjing pernah malang melintang di dunia persilatan. Namun menurutnya, pertempuran di Pegunungan Xianxia kemarin malam benar-benar sangat berbahaya. Bila membayangkan kejadian itu membuat hatinya langsung merasa ngeri. Jika pergi seorang diri, biarpun keadaan lebih buruk sepuluh kali juga tidak akan membuat Dingjing gentar. Namun sekarang ia memimpin puluhan murid Perguruan Henshan, mau tidak mau harus memikirkan keselamatan mereka. Diam-diam ia berdoa, “Dewi Guanyin yang welas asih, tolonglah kami dalam menghadapi kesulitan ini. Jika Perguruan Henshan harus tertimpa musibah, biarlah Dingjing sendiri yang menanggungnya, asalkan yang lain bisa selamat pulang ke Gunung Henshan.”

Pada saat itulah tiba-tiba dari arah timur laut berkumandang suara jeritan seorang perempuan, “Tolong, tolooong!”

Di tengah malam sunyi senyap, tiba-tiba terdengar suara jeritan melengking yang makin lama makin keras membuat suasana bertambah mengerikan. Dingjing terkesiap. Suara itu jelas bukan suara murid Perguruan Henshan. Ia berusaha menajamkan penglihatan untuk mengawasi arah datangnya suara itu, tapi tidak tampak terjadi sesuatu. Sejenak kemudian terlihat Yiqing dan keenam kawannya berlari ke sana, tentunya untuk menyelidiki apa yang sedang terjadi. Namun sampai lama kelompok itu tidak juga muncul kembali.

Yihe berkata, “Guru, izinkan kami pergi melihat ke sana.”

Dingjing mengangguk. Segera Yihe memimpin keenam kawannya berlari ke arah timur laut. Di tengah malam sunyi pedang yang mereka bawa tampak berkilauan kemudian menghilang dalam kegelapan.

Selang sejenak tiba-tiba terdengar lagi suara jeritan melengking wanita tadi berkumandang, “Tolong, ada orang terbunuh, toloong!”

Murid-murid Perguruan Henshan saling pandang dengan perasaan bingung karena tidak tahu apa yang terjadi di sana. Mereka heran mengapa kelompok-kelompok yang dipimpin Yiqing dan Yihe itu sampai sekian lama masih juga belum tampak kembali. Jika mereka bertemu musuh mengapa tidak terdengar suara pertempuran? Mendengar suara wanita yang minta tolong itu mereka serentak memandang ke arah Biksuni Dingjing untuk menunggu perintah supaya memberi pertolongan.

Dingjing kemudian berkata, “Yu Sao, kau pimpinlah enam adikmu ke sana. Apa pun yang kau lihat segera laporkan kepadaku.”

Yu Sao adalah wanita setengah baya yang semula menjadi pelayan Biksuni Dingxian di Biara Awan Putih Gunung Henshan. Karena sikapnya rajin dan juga memiliki keluhuran budi, akhirnya Dingxian pun menerimanya sebagai murid. Kali ini perjalanannya mengikuti Biksuni Dingjing menuju Fujian adalah pengalaman pertama berkelana di dunia persilatan.

Setelah mengiakan sambil memberi hormat, Yu Sao pun berangkat bersama enam adik seperguruannnya berlari ke arah timur laut tersebut. Akan tetapi, lagi-lagi kepergian ketujuh perempuan ini seperti batu dilemparkan ke laut, ditunggu sekian lamanya tetap tidak kembali.

Biksuni Dingjing bertambah gelisah. Ia berpikir mungkin musuh telah memasang perangkap sehingga ketiga kelompok murid itu terpancing ke sana dan akhirnya tertangkap satu per satu. Ia berusaha mendengarkan dengan seksama, ternyata tidak ada suara apa pun, dan suara jeritan wanita meminta tolong tadi juga tidak terdengar lagi.

Dingjing kemudian berkata, “Yizhi, Yizhen, kalian tinggal saja di sini. Rawatlah kakak-adik kalian yang terluka. Apa pun yang terjadi jangan sekali-kali meninggalkan penginapan agar tidak terjebak tipu muslihat ‘memancing harimau turun gunung’.”

Yizhi dan Yizhen mengiakan sambil memberi hormat.

Dingjing kemudian berkata kepada tiga murid yang berusia muda, “Zheng E, Yilin, Qin Juan, kalian bertiga ikut aku.” Habis berkata ia langsung berlari ke arah timur laut sambil menghunus pedang, diikuti ketiga murid tersebut.

Semakin dekat semakin terlihat oleh mereka sederetan rumah yang gelap gulita tanpa cahaya pelita, juga tidak terdengar suara apa-apa. Dengan suara bengis Dingjing membentak, “Kalian para siluman Sekte Iblis, kalau berani cepat keluar untuk bertempur! Orang gagah macam apa yang main sembunyi-sembunyi seperti tikus?”

Sampai sekian lama tidak juga terdengar jawaban dari dalam rumah. Tanpa pikir lagi Dingjing pun mendepak pintu rumah di depannya hingga terbuka lebar. Namun keadaan di dalam rumah sama sekali gelap gulita, entah ada penghuninya atau tidak. Dingjing tidak berani menerobos masuk begitu saja, hanya berseru, “Yihe, Yiqing, Yu Sao, apakah kalian mendengar suaraku?”

Namun di tengah malam sunyi itu hanya suaranya saja yang terdengar berkumandang.

“Kalian bertiga tetap di belakangku, jangan sampai terpisah,” kata Dingjing sambil menoleh kepada ketiga murid muda.

Segera ia berjalan mengitari rumah-rumah itu, tapi tidak tampak adanya sesuatu yang mencurigakan. Ia lalu melompat ke atas genting sebuah rumah dan memandang ke segala penjuru. Yang terasa olehnya hanyalah suasana sunyi senyap, tiada angin bertiup, tiada dedaunan yang bergerak, hanya cahaya rembulan yang jernih terpantul pada genting rumah. Keadaan seperti ini mirip sekali dengan pengalamannya saat keluar dari biara di Gunung Henshan pada malam hari. Hanya saja, suasana di Gunung Henshan aman tenteram penuh kedamaian, sedangkan saat ini sunyi senyap dalam bayang-bayang kematian. Percuma saja Dingjing memiliki ilmu silat tinggi namun dibuat mati kutu, karena musuh sama sekali tidak terlihat.

Diam-diam ia menjadi gelisah dan menyesal di dalam hati. “Sejak dulu aku tahu kalau Sekte Iblis memiliki banyak tipu muslihat. Seharusnya aku tidak mengirim para murid dalam kelompok-kelompok terpisah ….”

Mendadak hatinya tergetar. Dengan cepat ia pun melompat turun, kemudian berlari sekuat tenaga kembali ke Penginapan Nan’an tadi. Sebelum mencapai pintu depan ia sudah berseru, “Yizhi, Yizhen, apakah kalian melihat sesuatu?”

Akan tetapi, tidak terdengar jawaban seorang pun dari dalam penginapan. Dengan cepat ia menerjang ke dalam, namun penginapan itu sudah kosong. Beberapa muridnya yang terluka dan terbaring di situ juga sudah menghilang entah ke mana. Dalam keadaan demikian, betapa pun tenang dan sabarnya Dingjing juga tidak bisa lagi menguasai perasaan. Bayangan pedangnya yang terpantul oleh cahaya lilin tampak bergoyang-goyang, pertanda tangannya yang memegang pedang itu sedang gemetaran. Puluhan murid telah hilang, ke mana mereka? Mengapa itu bisa terjadi? Bagaimana sebaiknya? Dalam sekejap Dingjing merasa bibirnya kering, lidahnya kelu, dan sekujur tubuh tidak dapat digerakkan.

Namun perasaan lemas dan gemetar itu hanya terjadi sekejap saja. Segera ia menarik napas dalam-dalam, menghimpun tenaga di dalam Dantian, membuat semangatnya bangkit kembali. Dengan langkah gesit ia pun memeriksa seluruh ruang di penginapan itu, tapi tidak juga menemukan petunjuk apa-apa. Setelah berusaha menenangkan diri, ia berseru memanggil, “Zheng E, Qin Juan, Yilin, lekas kemari!”

Namun di tengah malam gelap itu lagi-lagi yang terdengar hanyalah suaranya sendiri, sedikit pun tidak ada jawaban dari ketiga murid muda tersebut.

“Celaka!” seru Dingjing setelah menyadari apa yang terjadi. Buru-buru ia menerjang keluar dan berteriak, “Zheng E, Qin Juan, Yilin, kalian di mana?”

Sesampainya di depan penginapan yang terlihat hanyalah cahaya rembulan yang dingin. Ketiga murid muda yang menyertainya ikut lenyap pula. Menghadapi peristiwa ini, perasaan cemas Dingjing berubah menjadi murka. Ia lalu melompat ke atap rumah dan berteriak sekerasnya, “Kalian para siluman Sekte Iblis, kalau berani keluarlah bertempur mati-matian! Orang gagah macam apa hanya bisa membuat bingung?”

Ia mengulangi teriakannya berkali-kali, tapi yang terdengar selalu suaranya sendiri. Terus-menerus ia mencaci maki, namun di dalam kota yang memiliki ratusan rumah itu seolah hanya tinggal ia seorang diri.

Tiba-tiba terlintas akal di benaknya. Segera ia berseru lantang, “Wahai para siluman Sekte Iblis, dengarkanlah! Jika kalian tetap tidak keluar, itu berarti membuktikan Dongfang Bubai adalah pengecut yang tak tahu malu, tidak berani menyuruh anak buahnya bertarung terang-terangan. Huh, Dongfang Bubai apa pula? Yang benar adalah Dongfang Bibai. Hayo, Dongfang Bibai, apa kau berani menghadapi biksuni tua ini? Huh, karena kau adalah Bibai, sudah pasti tidak berani. Pasti kalah!”

Ia paham segenap anggota Sekte Iblis sangat menghormati ketua mereka. Dongfang Bubai konon dipuja bagaikan malaikat dewata. Jika ada yang berani menghinanya, maka para anggota pasti akan turun tangan. Jika ada anggota yang tidak mati-matian membela nama baik Sang Ketua, tentu bisa dianggap melakukan dosa besar tanpa ampun.

Benar juga, begitu Dingjing menyebut nama “Dongfang Bibai” beberapa kali, mendadak dari sebuah rumah telah membanjir keluar tujuh orang. Tanpa bersuara, mereka serentak melompat ke atap rumah sehingga Dingjing terkepung di tengah-tengah.

Munculnya musuh-musuh itu membuat Dingjing merasa senang. Ia berpikir, “Akhirnya kaum siluman Sekte Iblis akhirnya keluar juga. Meskipun kalian bersatu mengepung diriku dan ingin mencincangku, tetap saja aku lebih senang daripada dipermainkan seperti tadi.”

Ketujuh orang itu tetap diam tanpa bersuara sedikit pun. Dingjing pun membentak dengan gusar, “Di mana murid-muridku? Kalian sembunyikan di mana mereka?”

Namun ketujuh orang itu tetap bungkam. Kedua orang yang berdiri di sebelah barat berusia lima puluhan. Wajah mereka tampak kaku tanpa perasaan seperti mayat. Dingjing pun berseru, “Baiklah, terima seranganku!”

Pedang Dingjing pun menusuk ke arah dada salah satu orang tua di sisi barat itu. Sang Biksuni paham di tengah kepungan musuh, sudah tentu serangannya sukar mencapai sasaran. Maka tusukannya itu hanyalah serangan tipuan. Sampai di tengah jalan ia berusaha menarik kembali pedangnya.

Tapi orang yang berada di depannya sungguh lihai. Rupanya ia pun mengetahui serangan tersebut hanyalah tipuan belaka. Maka, terhadap tusukan Dingjing itu sama sekali ia tidak berusaha mengelak.

Melihat sasarannya tidak bergerak, Dingjing membatalkan niatnya untuk menarik kembali serangannya. Sebaliknya, ia pun mengerahkan tenaga dan menusuk ke depan dengan lebih cepat.

Pada saat itulah dua orang lawan dari kedua sisi berkelebat pula. Tangan mereka masing-masing berusaha memukul bahu kanan-kiri Dingjing. Dengan cepat Dingjing bergeser ke samping. Seperti baling-baling pedangnya berputar balik untuk menebas tubuh lawan berperawakan tinggi besar yang berdiri di sisi timur.

Dengan gesit orang itu melangkah mundur, kemudian mengeluarkan senjata untuk menangkis pedang Dingjing. Senjata yang ia gunakan berupa perisai bundar yang sangat berat.

Namun pedang Dingjing sudah lebih dulu berputar ke arah lain. Seorang kakek di sebelah kiri menjadi sasarannya. Ternyata kakek itu tidak gentar terhadap senjata tajam. Dengan tangan kiri ia berusaha mencengkeram pedang Dingjing. Di bawah sinar rembulan yang remang-remang, Dingjing dapat melihat orang tua itu memakai sarung tangan hitam. Dapat diduga sarung tangan tersebut tentunya tidak mempan senjata tajam.

Dalam sekejap saja Dingjing sudah bergebrak beberapa jurus melawan lima di antara tujuh musuh. Ia sadar lawan-lawan yang mengepungnya ini semua adalah para pesilat tangguh. Jika satu lawan satu atau satu lawan dua tentu Dingjing tidak gentar, bahkan yakin masih bisa menang. Namun sekarang pihak lawan adalah tujuh orang yang maju sekaligus dan bekerja sama dengan rapat. Setiap ada celah kelemahan pada salah seorang musuh, tentu kawannya akan berusaha menutupi, sehingga Dingjing sukar melakukan serangan dan hanya bisa melakukan gerakan bertahan.

Makin lama bertempur, perasaan Dingjing semakin gelisah. Sambil bertarung ia pun berpikir, “Tokoh-tokoh Sekte Iblis yang ternama hampir semua sudah aku dengar sepak terjangnya. Senjata dan ilmu silat mereka juga telah diketahui Serikat Pedang Lima Gunung kami. Tapi terhadap ketujuh orang ini ternyata aku sama sekali tidak bisa menebak permainan mereka. Tak disangka, dalam beberapa tahun ini kekuatan Sekte Iblis semakin maju pesat dan semakin banyak jago sakti papan atas yang bergabung di dalamnya, serta merahasiakan asal-usul mereka.”

Setelah melewati enam atau tujuh puluh jurus berikutnya, keadaan Dingjing bertambah payah. Napasnya pun sudah mulai terengah-engah. Sekilas pandang ia melihat di atas genting sebuah rumah telah muncul belasan sosok manusia. Jelas orang-orang itu sejak tadi sudah bersembunyi di sana dan baru sekarang menampakkan diri.

Diam-diam Dingjing mengeluh dalam hati, “Celaka, melawan tujuh orang saja aku sudah kewalahan, apalagi sekarang bertambah musuh sebanyak itu. Kali ini nasib Dingjing si biksuni tua benar-benar di ujung tanduk. Daripada nanti aku tertangkap dan menerima penghinaan, lebih baik aku akhiri saja hidupku ini. Meski Sang Buddha melarang bunuh diri, tapi ini adalah bunuh diri di medan perang demi membela kehormatan. Tubuhku hanyalah kantong kulit yang tidak perlu disesalkan. Hanya saja, puluhan murid yang kubawa akan ikut menjadi korban. Di alam baka nanti bagaimana aku punya muka untuk bertemu para leluhur Perguruan Henshan?”

Sesudah mengambil keputusan, ia pun menyerang dengan ganas sebanyak tiga kali untuk mendesak musuh mundur dua langkah, kemudian secara cepat ia membalikkan pedang untuk menikam jantung sendiri.

Ketika ujung pedang sudah hampir menempel di dada, tiba-tiba terdengar benturan logam yang sangat keras. Tangan Dingjing tergetar keras, sampai pedangnya pun jatuh ke samping. Terlihat seorang laki-laki dengan pedang terhunus sudah berdiri di sebelahnya sambil berseru, “Biksuni Dingjing jangan berpikiran pendek. Kawan-kawan dari Perguruan Songshan berada di sini!”

Rupanya benturan tadi terjadi akibat orang itu secara tiba-tiba memukul jatuh pedang Dingjing menggunakan pedangnya.

Maka kemudian terdengarlah suara senjata beradu dengan sengit. Belasan orang yang muncul di atas genting tadi telah melompat serentak dan melabrak ketujuh jago Sekte Iblis tersebut. Setelah lolos dari kematian, semangat Dingjing menjadi berkobar. Ia segera memungut pedangnya dan kembali bertempur. Kali ini pihak Sekte Iblis yang berada dalam keadaan terdesak, karena harus berhadapan satu melawan dua. Tidak lama kemudian, ketujuh orang itu serentak bersuit dan mundur ke arah selatan.

Sambil mengacungkan pedangnya, Dingjing melompat ke atap untuk mengejar mereka. Namun dari tempat gelap di bawah teras sebuah rumah seketika muncul senjata rahasia berhamburan ke arahnya. Teringat akan kejadian di Pegunungan Xianxia kemarin, ia pun memusatkan perhatian dan dengan cepat memutar kencang pedangnya untuk menangkis senjata-senjata rahasia itu. Di bawah sinar rembulan pedangnya tampak menari-nari diikuti suara logam berdentingan, sampai akhirnya tidak terdengar lagi. Dingjing telah memukul jatuh semua senjata rahasia satu per satu, tetapi ketujuh musuh yang dikejarnya sudah menghilang dalam kegelapan.

Sesaat kemudian terdengar suara seseorang memuji di belakangnya, “Jurus Pedang Selaksa Bunga milik Perguruan Henshan benar-benar hebat. Hari ini mata kami benar-benar terbuka.”

Dingjing memasukkan pedang ke sarungnya, sambil perlahan-lahan membalik tubuh. Dalam sekejap raut wajahnya berubah dari seorang pesilat ganas kembali menjadi seorang biksuni sepuh yang memancarkan rasa welas asih. Dengan menguncupkan tangan ia memberi hormat sambil berkata, “Terima kasih banyak atas pertolongan Saudara Zhong.”

Ia mengenali laki-laki setengah baya yang berdiri di depannya itu yang tadi telah menggagalkan niatnya untuk bunuh diri. Orang itu bernama Zhong Zhen yang tidak lain adalah adik seperguruan Ketua Zuo dari Perguruan Songshan. Julukannya adalah Si Pedang Berlekuk Sembilan, bukan karena memiliki senjata yang yang berlekuk-lekuk, tetapi karena permainan pedangnya berubah-ubah sulit ditebak orang. Tempo hari Dingjing pernah berjumpa dengannya dalam acara pertemuan besar di Puncak Riguan, Pegunungan Songshan. Di antara tokoh-tokoh Perguruan Songshan lainnya, hanya beberapa saja yang dikenali oleh Sang Biksuni.

Zhong Zhen lantas membalas penghormatan, lalu menjawab sambil tersenyum kecil, “Seorang diri Biksuni Dingjing bertempur melawan ‘Tujuh Duta Bintang’ dari Sekte Iblis dengan ilmu pedangmu yang sangat hebat. Sungguh kami merasa kagum.”

Baru sekarang Dingjing mengetahui bahwa ketujuh lawannya tadi dikenal sebagai “Tujuh Duta Bintang” segala. Agar tidak terlihat kurang wawasan, ia pun tidak bertanya lebih jauh. Yang penting baginya sekarang sudah mengetahui julukan oraang-orang itu sehingga di kemudian hari urusan bisa menjadi lebih mudah.

Satu per satu orang-orang Perguruan Songshan lainnya memberi hormat. Dua di antara belasan orang itu adalah adik seperguruan Zhong Zhen, sedangkan sisanya adalah murid-murid dari angkatan yang lebih muda.

Biksuni Dingjing membalas penghormatan mereka, kemudian berkata, “Sungguh memalukan! Perjalanan Perguruan Henshan kami ke Fujian kali ini bersama puluhan murid, tapi secara mendadak mereka lenyap semua di kota ini. Saudara Zhong, kapan kalian sampai di Nianbapu sini? Apakah kalian menemukan tanda-tanda yang dapat kugunakan sebagai petunjuk?”

Diam-diam ia merasa kesal karena yakin orang-orang Perguruan Songshan ini sejak tadi sudah bersembunyi di situ, tapi sengaja menunggu dirinya terdesak. Baru setelah ia mencoba bunuh diri, mereka pun muncul membantu untuk memperlihatkan kebesaran perguruan mereka. Hal ini sebenarnya sangat menyebalkan. Hanya saja, puluhan muridnya mendadak lenyap entah ke mana. Persoalan ini sungguh gawat dan terpaksa ia mencari tahu kepada orang-orang Perguruan Songshan tersebut. Kalau saja urusan ini hanya menyangkut dirinya sendiri, meskipun mati juga ia tidak sudi memohon kepada mereka. Bertanya seperti tadi kepada Zhong Zhen saja sudah membuatnya merasa tidak nyaman.

Zhong Zhen pun menjawab dengan tersenyum, “Kawanan siluman Sekte Iblis memang memiliki banyak tipu muslihat. Kedatangan mereka kali ini jelas sudah direncanakan dengan matang. Mereka tahu betapa lihai ilmu silat Biksuni. Maka, mereka pun sengaja memasang perangkap untuk menjebak para murid. Tapi Biksuni tidak perlu khawatir. Betapa pun kurang ajarnya Sekte Iblis rasanya tidak berani mencelakai jiwa para murid Perguruan Henshan yang mulia. Sekarang, marilah kita turun ke bawah untuk merundingkan cara-cara yang baik demi menolong mereka.” Sambil berbicara ia menjulurkan tangan kanannya untuk mempersilakan turun ke tanah.

Dingjing mengangguk-angguk, lantas mendahului melompat ke bawah. Menyusul kemudian Zhong Zhen dan rombongannya juga melompat turun.

Zhong Zhen mendahului berjalan ke arah barat, sambil berkata, “Marilah ikut denganku, Biksuni.”

Setelah berjalan ratusan meter, mereka pun sampai di Penginapan Xianju. Setibanya di sana, Zhong Zhen lantas mendorong pintu dan masuk ke dalam, lalu berkata, “Biksuni, marilah kita berunding di sini saja.”

Kedua adik seperguruan Zhong Zhen masing-masing bernama Teng Bagong yang berjuluk Si Cambuk Sakti, dan Gao Gexin yang berjuluk Si Singa Berbulu Terang. Mereka bertiga termasuk dalam “Tiga Belas Pelindung Songhan”. Ketiganya mengajak Dingjing masuk ke dalam sebuah ruangan yang cukup luas. Beberapa murid ikut masuk untuk menghidangkan teh, setelah itu mengundurkan diri. Gao Gexin lantas menutup rapat pintu ruangan.

Zhong Zhen berkata, “Kami bertiga sudah lama mengagumi ilmu pedang Biksuni Dingjing, paling hebat di Perguruan Henshan ….”

“Tidak benar,” tukas Dingjing sambil menggeleng. “Ilmu pedang Adik Ketua jauh lebih hebat. Bahkan ilmu pedangku tidak lebih tinggi daripada Adik Dingyi.”

“Ah, Biksuni terlalu rendah hati,” ujar Zhong Zhen tersenyum. “Masalahnya tadi aku dan kedua adikku ingin melihat kehebatan ilmu pedang Biksuni sehingga terlambat memberi bantuan. Sama sekali kami tidak punya maksud jelek. Untuk ini kami minta maaf, mohon supaya Biksuni tidak menyalahkan kami.”

Melihat ketiga orang itu bangkit dan memberi hormat, Dingjing pun bangkit pula untuk membalas hormat, sambil berkata, “Ah, tidak apa-apa.” Sampai di sini rasa kesalnya tadi seketika berkurang banyak.

Zhong Zhen menunggunya duduk lebih dulu, kemudian melanjutkan berkata, “Sejak kelima perguruan membentuk Serikat Pedang Lima Gunung, kita bagaikan pancatunggal dan tidak membeda-bedakan ini dan itu. Bagaikan pohon yang memiliki lima cabang, susah dan senang ditanggung bersama. Hanya saja, akhir-akhir ini kita semakin jarang berjumpa. Banyak urusan penting yang tidak kita kerjakan bersama sehingga membuat Sekte Iblis semakin ganas dan luas pengaruhnya.”

“Hmm,” jawab Dingjing. Diam-diam ia berpikir mengapa dalam keadaan seperti ini Zhong Zhen masih saja bicara basa-basi.

Zhong Zhen melanjutkan perkataannya, “Ketua Zuo sering mengatakan, ‘Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh.’ Seandainya Serikat Pedang Lima Gunung kita senantiasa bersatu padu, betapa pun kuatnya Sekte Iblis tidak akan mampu melawan kita. Bahkan, kebesaran Perguruan Shaolin dan Wudang yang termasyhur di dunia persilatan pun tidak akan mampu menandingi kita. Maka, Ketua Zuo memiliki cita-cita ingin mempersatukan Serikat Pedang Lima Gunung yang berserakan seperti pasir untuk digabung menjadi sebuah Perguruan Lima Gunung. Jika itu bisa diwujudkan, maka dengan anggota yang begitu banyak dan bergabung menjadi satu, maka kita akan merajai dunia persilatan. Bagaimana pendapat Biksuni?”

Zhong Zhen muncul bersama para murid Songshan.

Zhong Zhen mengajak Dingjing berunding.

(Bersambung)