Bagian 48 - Menuangkan Darah

Zu Qianqiu membisikkan sesuatu kepada Lao Touzi.

Mendengar itu barulah Linghu Chong paham duduk perkara yang sebenarnya. Ia pun berkata, “Ternyata obat Tuan Lao ini akan digunakan untuk menyembuhkan penyakit putrimu tetapi terlanjur kumakan. Sungguh aku merasa tidak enak hati. Aku tidak tahu penyakit apa yang sedang diderita putrimu, tapi mengapa kau tidak meminta pertolongan kepada Ping Yizhi, Si Tabib Sakti Pembunuh untuk mengobatinya?”

“Huh, siapa yang tidak tahu bila sakit parah harus meminta pertolongan kepada Ping Yizhi? Aku tinggal di Kaifeng, apa kau kira aku tidak kenal dia?” bentak Lao Touzi. “Dia menetapkan peraturan bahwa setiap orang yang disembuhkan harus membunuh orang lain sebagai pengganti nyawa. Aku khawatir dia menolak mengobati putriku, maka terlebih dulu kubunuh lima orang anggota keluarga mertuanya. Dengan demikian barulah dia merasa segan dan terpaksa memeriksa penyakit putriku. Menurut kesimpulannya, penyakit putriku yang aneh itu sudah ada sejak keluar dari kandungan ibunya. Maka, ia pun memberikan resep Pil Penyambung Nyawa kepadaku. Kalau tidak –aku sendiri bukan tabib– dari mana aku paham cara meracik obat segala?”

Linghu Chong heran dan bertanya, “Kau telah meminta pertolongan kepada Tabib Ping untuk mengobati putrimu, tapi mengapa malah membunuh lima anggota keluarga mertuanya?”

“Kau ini benar-benar sangat tolol, harus dijelaskan sampai paham,” gerutu Lao Touzi. “Musuh Ping Yizhi sebenarnya tidak banyak, apalagi beberapa tahun terakhir ini sudah habis dibunuh oleh pasien yang disembuhkan olehnya. Tapi seumur hidup, Ping Yizhi paling benci kepada ibu mertuanya. Karena takut istri, ia tidak berani membunuh ibu mertuanya itu, sehingga akulah yang mewakilinya turun tangan. Sesudah aku membunuh segenap keluarga istrinya, Ping Yizhi sangat senang dan mau mengobati putriku dengan sungguh-sungguh.”

“Oh, ternyata demikian,” kata Linghu Chong. “Padahal pilmu yang katanya sangat mujarab itu ternyata tidak cocok untuk penyakitku. Entah bagaimana keadaan penyakit putrimu sekarang? Apakah kau masih bisa mengumpulkan bahan lagi dan meracik obat yang baru?”

Lao Touzi menjadi gusar dan membentak, “Putriku paling lama bisa bertahan hidup sampai satu tahun lagi. Mana sempat untuk mencari bahan-bahan yang sangat sukar ditemukan itu? Sekarang tiada pilihan lain, terpaksa aku harus mengobatinya dengan caraku sendiri.”

Usai berkata demikian ia lantas mengambil seutas tali untuk mengikat kaki dan tangan Linghu Chong sekencang-kencangnyanya di kursi. Kemudian orang tua bertubuh cebol bulat itu merobek baju bagian dada Linghu Chong sehingga terlihat kulit dadanya.

“Apa yang akan kau lakukan?” tanya Linghu Chong gusar.

“Jangan terburu-buru! Sebentar lagi kau akan tahu sendiri,” jawab Lao Touzi sambil menyeringai. Ia lalu memindahkan tubuh Linghu Chong sekaligus beserta kursinya ke ruang belakang. Setelah melewati dua buah ruangan, ia pun menyingkap tirai kain dan masuk ke ruangan ketiga yang ternyata sebuah kamar tidur.

Berada di dalam kamar tersebut, Linghu Chong merasa pengap luar biasa. Celah-celah jendela kamar ditutup rapat dengan kertas sehingga benar-benar tidak tembus udara sedikit pun. Selain itu terdapat pula dua buah anglo yang arangnya tampak membara menghangatkan ruangan. Kelambu tempat tidur tampak menjulai rendah. Bau obat pun menyengat memenuhi ruangan.

Si bulat Lao Touzi lantas meletakkan Linghu Chong beserta kursinya di depan ranjang. Perlahan ia membuka kelambu kemudian berkata dengan suara lembut, “Busi, bagaimana keadaanmu hari ini?”

Linghu Chong merasa tidak percaya pada apa yang baru saja ia dengar. “Apa? Anak gadisnya bernama Busi? Busi artinya ‘tidak mati’. Kalau begitu nama lengkapnya pasti Lao Busi, artinya ‘sampai tua tidak mati’. Ah, aku tahu. Pasti gadis ini sejak bayi sudah menderita penyakit aneh dan membuat ayahnya sangat takut kehilangan. Maka, si bulat ini memberi nama anaknya Busi sebagai harapan agar sampai tua tidak mati. Hei, namanya mengandung unsur ‘bu’, jika di Perguruan Huashan tentu ia satu angkatan dengan guruku.” Berpikir demikian membuat Linghu Chong tersenyum geli.

Di atas ranjang tampak berbaring seorang gadis dengan mata tertutup rapat. Wajah gadis itu pucat pasi dengan rambut jarang dan agak kekuningan, terurai di atas selimut. Usia gadis itu sekitar tujuh belas tahun.

“Ayah!” kata si gadis menyapa dengan mata tetap terpejam.

“Busi sayang,” kata Lao Touzi, “Pil Penyambung Nyawa yang Ayah racik untukmu sekarang sudah siap. Hari ini bisa kau telan dan penyakitmu tentu akan segera sembuh. Tidak lama lagi kau dapat bangun dan bermain-main sepuas hati.”

Gadis itu hanya bersuara sangat lirih, seolah tidak begitu tertarik pada ucapan sang ayah.

Linghu Chong dapat memahami betapa besar cinta kasih Lao Touzi terhadap putrinya itu. Ia pun berpikir, “Hm, Lao Touzi sengaja berbohong untuk menyenangkan hati anaknya.”

Lao Touzi kemudian meletakkan lengannya pada punggung putrinya dan membantu gadis itu bangun, sambil berkata, “Kau duduk saja agar lebih leluasa meminum obat ini. Obat ini tidak mudah diperoleh, jadi jangan kau sia-siakan.”

Si gadis perlahan bangun dengan dibimbing ayahnya. Lao Touzi kemudian mengambil dua buah bantal untuk mengganjal punggung putrinya tersebut. Begitu membuka mata, Lao Busi sangat heran melihat Linghu Chong. Ia pun bertanya, “Ayah, siapa … siapakah dia?”

“Dia? Oh, dia bukan orang. Dia adalah obat,” jawab Lao Touzi sambil tersenyum.

“Dia obat?” tanya Lao Busi agak bingung.

“Ya, dia adalah obat,” kata Lao Touzi menegaskan. “Pil Penyambung Nyawa terlalu keras untuk ditelan begitu saja olehmu. Maka itu Ayah berikan kepadanya untuk ditelan. Sekarang akan Ayah ambil darahnya untuk kau minum.”

“Meminum darahnya? Apakah itu tidak akan menyakitinya? Ini bukan cara yang bagus,” kata Lao Busi lirih.

“Tenang saja, orang ini dungu. Dia tidak akan kesakitan,” kata Lao Touzi menenangkan.

“Oh,” kata Lao Busi yang kemudian memejamkan matanya kembali.

Tentu saja Linghu Chong terkejut dan sangat gusar mendengar kata-kata Lao Touzi. Ia bermaksud memaki tapi lantas terpikir olehnya, “Aku telah menelan obat mujarab yang seharusnya digunakan untuk menolong nyawa gadis ini. Walaupun tidak sengaja, tetap saja aku yang telah membuat dia susah. Di samping itu, aku sendiri sudah kehilangan semangat hidup. Tidak ada masalah jika sekarang darahku digunakan untuk menolong jiwanya.”

Lao Touzi berdiri di samping Linghu Chong. Ia siap menotok titik bisu pemuda itu jika sampai mengeluarkan caci maki. Tak disangka, raut muka Linghu Chong sama sekali tidak terlihat gusar, justru tersenyum hambar kepadanya. Ia tidak tahu kalau pemuda itu sudah tidak memiliki semangat hidup lagi setelah Yue Lingshan jatuh hati kepada pemuda lain. Lebih-lebih malam ini Linghu Chong baru saja mendengar seorang pria bertubuh raksasa telah memaki Yue Lingshan dan Lin Pingzhi yang berani membicarakan dirinya di dalam kegelapan. Apalagi dengan membayangkan bagaimana Yue Lingshan dan Lin Pingzhi diam-diam berjumpa dan mengobrol di tepi sungai malam itu membuat Linghu Chong semakin pilu dan tidak ada gairah hidup sama sekali.

Lao Touzi bertanya, “Aku akan menusuk jantungmu dan mengambil darahmu hangatmu untuk mengobati putriku. Kau takut atau tidak?”

“Kenapa harus takut?” sahut Linghu Chong dengan nada datar.

Lao Touzi melirik wajah pemuda itu yang terlihat tenang-tenang saja, tanpa gentar sedikit pun. Dengan agak heran ia melanjutkan, “Sekali kutusuk jantungmu, maka jiwamu langsung melayang. Aku sudah memperingatkan, jadi jangan menyalahkan aku kelak!”

Linghu Chong tersenyum dan menjawab, “Setiap orang pada akhirnya akan mati. Mati lebih cepat beberapa tahun atau lebih lambat beberapa tahun apa bedanya? Jika darahku dapat menolong jiwa nona ini tentu sangat bagus daripada aku mati sia-sia tanpa bermanfaat bagi siapa pun.” Sambil berkata demikian ia mengasihani diri sendiri karena membayangkan jika Yue Lingshan mendengar kabar kematiannya pasti gadis itu tidak akan bersedih, mungkin malah berkata, “Rasakan! Kau pantas mendapatkannya!”

Di lain pihak, Lao Touzi mengacungkan jempolnya sambil memuji, “Sungguh hebat! Kau benar-benar kesatria yang tidak gentar mati. Orang sepertimu jarang sekali kutemukan dalam hidup ini. Sayang sekali putriku terpaksa harus meminum darahmu supaya bisa sembuh. Kalau tidak, sungguh aku ingin membebaskanmu saja.”

Segera ia berjalan ke dapur dan kembali dengan membawa sebuah baskom berisi air panas yang masih mendidih. Tangan kanannya kemudian memegang sebilah belati, sedangkan tangan kiri mengambil sehelai handuk kecil. Dibasahinya handuk itu dengan air panas, lalu ditempelkannya ujung belati di depan ulu hati Linghu Chong.

Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara Zu Qianqiu si sastrawan dekil berseru di luar, “Lao Touzi! Lao Touzi! Lekas bukakan pintu! Aku membawa barang bagus untuk putrimu Busi.”

Lao Touzi mengerutkan keningnya. Dipotongnya handuk kecil tadi menjadi dua, lalu yang selembar dijejalkan ke mulut Linghu Chong agar tidak dapat bersuara. Ia kemudian berseru, “Barang bagus apa yang kau maksudkan?” Orang tua bertubuh cebol bulat itu lantas menaruh belatinya, kemudian berlari keluar untuk membuka pintu dan mempersilakan Zu Qianqiu masuk ke dalam rumah.

Zu Qianqiu berkata, “Lao Touzi, entah bagaimana kau akan berterima kasih kepadaku soal ini? Karena urusannya terlalu mendesak, sedangkan aku tidak sempat bertemu denganmu, terpaksa aku mengambil Pil Penyambung Nyawa tanpa permisi dan menipu dia untuk meminumnya semua. Jika kau sendiri mengetahui permasalahannya, tentu kau pun akan mengantar sendiri obat mujarabmu kepada pemuda itu. Tapi belum tentu dia mau menerima begitu saja.”

Lao Touzi sangat gusar dan memaki, “Omong kos….”

Zu Qianqiu buru-buru menempelkan mulutnya ke dekat telinga Lao Touzi untuk kemudian membisikkan sesuatu kepadanya. Mendengar bisikan itu Lao Touzi melonjak terkejut dan berteriak, “Apa benar demikian? Kau … kau tidak berdusta padaku?”

“Untuk apa aku berdusta?” sahut Zu Qianqiu. “Semuanya sudah kuselidiki dan setelah terbukti barulah aku kerjakan. Lao Touzi, kita adalah sahabat karib selama puluhan tahun. Kita saling mengetahui isi hati masing-masing. Urusan yang telah kukerjakan ini cocok dengan perasaanmu atau tidak?”

“Benar sekali, benar sekali! Sial, sungguh sial!” jawab Lao Touzi.

“Hei, kalau sudah benar tapi kenapa kau bilang sial?” tanya Zu Qianqiu terheran-heran.

“Kau yang benar, aku yang sial!” jawab Lao Touzi.

“Apanya yang sial?” desak Zu Qianqiu.

Tanpa bicara lagi Lao Touzi langsung menyeret Zu Qianqiu masuk ke dalam kamar putrinya. Segera ia memberi hormat dan menyembah Linghu Chong, sambil berkata, “Tuan Muda Linghu, Pendekar Muda Linghu, hamba telah melakukan kesalahan besar dan membuat susah dirimu. Untungnya Langit Maha Pengasih. Zu Qianqiu keburu tiba. Apabila aku telanjur menikam ulu hatimu, meskipun aku dihukum gantung dan tubuhku dicincang juga belum cukup untuk menebus dosaku ini.”

Mulut Linghu Chong masih tersumbat sehingga hanya bisa menjawab, “Uh! Uh!”

Zu Qianqiu segera menarik kain penyumbat mulut Linghu Chong dengan sangat hati-hati, kemudian bertanya, “Tuan Muda Linghu, mengapa kau berada di sini?”

Linghu Chong berkata, “Sesepuh Lao, mohon segera bangun! Aku tidak berani menerima penghormatan darimu. Kau hanya membuatku segan.”

Lao Touzi menjawab, “Aku tidak tahu kalau Tuan Muda Linghu mempunyai hubungan dekat dengan penolongku, junjunganku yang berbudi. Aku bersalah telah banyak membuatmu susah. Aih, benar-benar kurang ajar diriku ini dan pantas dihukum mati. Andaikan aku mempunyai seratus orang putri dan semuanya sakit parah juga aku tidak akan berani lagi meminta setetes darah Tuan Muda Linghu untuk menolong jiwa mereka.”

Zu Qianqiu bertanya dengan mata melotot, “Lao Touzi, apa maksudmu dengan mengikat Tuan Muda Linghu di atas kursi ini?”

“Sudahlah, semua ini salahku. Tolong kau jangan banyak bertanya karena hanya membuatku semakin bertambah malu!” sahut Lao Touzi dengan wajah menyesal.

“Lalu belati ini, serta air panas di dalam baskom ini akan kau gunakan untuk apa?” kembali Zu Qianqiu bertanya.

Lao Touzi tidak menjawab melainkan menampar pipinya sendiri beberapa kali sehingga mukanya yang sudah bulat seperti labu itu bertambah bengkak dan melembung.

Linghu Chong berkata, “Aku juga tidak paham duduk perkara yang sebenarnya. Aku masih bingung. Mohon Sesepuh berdua sudi memberikan penjelasan kepadaku.”

Lekas-lekas Lao Touzi dan Zu Qianqiu melepaskan tali pengikat pada tubuh pemuda itu dan berkata, “Marilah kita minum arak sambil bicara.”

Linghu Chong memandang sejenak ke arah Lao Busi yang terbaring lemah di tempat tidurnya, kemudian bertanya, “Apakah penyakit putrimu tidak akan bertambah gawat?”

“Tidak, tidak akan,” jawab Lao Touzi. “Seandainya bertambah gawat juga … aih, apa hendak dikata ….” Mulutnya menggumam tidak jelas berkata apa. Ia kemudian mempersilakan Linghu Chong dan Zu Qianqiu pindah ke ruang tamu. Disuguhkannya tiga mangkuk arak dan sepiring daging babi serta makanan ringan lainnya. Dengan penuh hormat ia lalu mengangkat mangkuknya kepada Linghu Chong.

Linghu Chong mengangkat mangkuknya pula lalu meminum seteguk. Cita rasa arak ini biasa saja. Namun kalau dibandingkan dengan kedelapan cawan arak yang disuguhkan Zu Qianqiu tadi sore rasanya sepuluh kali lebih sedap.

“Tuan Muda Linghu, aku sudah tua bangka dan telah membuat susah dirimu, aih, sungguh … sungguh ….” Lao Touzi tidak kuasa melanjutkan ucapannya. Wajahnya tampak gugup dan ketakutan. Ia ingin sekali mengungkapkan rasa penyesalannya namun tidak tahu harus berkata apa lagi.

“Tuan Muda Linghu berjiwa besar, tentu takkan menyalahkan dirimu,” ujar Zu Qianqiu. “Lagipula Pil Penyambung Nyawa milikmu jika benar-benar ada manfaatnya bagi kesehatan Tuan Muda Linghu, tentu kau menjadi berjasa besar, bukan?.”

“Mengenai jasa … ah, aku tidak berani menerimanya,” jawab Lao Touzi. “Adik Zu, justru jasamu itu yang paling besar.”

“Aku telah mengambil kedelapan pilmu, mungkin akan mengganggu kesehatan Keponakan Busi,” kata Zu Qianqiu dengan tertawa. “Ini ada sedikit ginseng, bisa kau berikan kepadanya sekadar untuk penguat badan.” Pria kurus berpakaian sastrawan itu lantas mengambil keranjang bambu yang ia bawa dan membuka tutupnya. Dari dalam keranjang ia mengeluarkan beberapa batang ginseng. Mungkin beratnya tidak sampai sepuluh kati.

“Wah, dari mana kau memperoleh ginseng sebanyak ini?” tanya Lao Touzi.

“Sudah tentu kupinjam dari toko obat,” sahut Zu Qianqiu dengan tertawa.

“Seperti pada Zaman Tiga Negara, Liu Bei meminjam Kota Jinzhou tetapi tak pernah mengembalikannya,” kata Lao Touzi sambil bergelak tawa pula. Walaupun begitu, sekilas wajahnya terlihat menunjukkan rasa sedih.

Menyadari hal itu, Linghu Chong lantas berkata, “Tuan Lao dan Tuan Zu, meskipun kalian berniat baik hendak menyembuhkan penyakitku, namun kalian memakai cara yang kurang pantas. Yang satu menipu aku dengan arak, dan yang satu lagi menculik dan mengikat tubuhku di sini. Aku merasa direndahkan oleh kalian.”

Mendengar itu Lao Touzi dan Zu Qianqiu langsung berdiri dan memberi hormat kepada Linghu Chong. “Tuan Muda Linghu, kami berdua tua bangka mengaku salah. Entah bagaimana cara Tuan Muda Linghu menjatuhkan hukuman, sedikit pun kami tidak akan mengelak,” kata mereka bersamaan.

“Baik, ada sesuatu yang ingin aku tanyakan. Kuharap kalian bersedia menjawab terus terang,” kata Linghu Chong. “Aku ingin bertanya, siapakah orang yang sangat kalian hormati itu, sehingga kalian begitu segan kepadaku?”

Kedua orang tua itu saling pandang sejenak, kemudian Zu Qianqiu menjawab, “Inikah … inikah pertanyaannya? Tuan Muda Linghu tentu sudah tahu siapa tokoh itu. Mohon maaf, kami tidak berani menyebutkannya.”

“Tapi aku benar-benar tidak tahu,” kata Linghu Chong. Diam-diam ia memikirkan siapakah sebenarnya tokoh yang mereka maksudkan itu? Apakah Feng Qingyang? Atau Biksu Bujie? Atau Tian Boguang? Atau Lu Zhuweng? Tapi kalau dipikirkan lebih mendalam rasanya bukan mereka. “Kakek Guru Feng sudah menyepi di pegunungan dan melarang aku membocorkan keberadaan Beliau. Mana mungkin Beliau turun gunung dan melakukan ini semua? Tian Boguang, Biksu Bujie, dan Lu Zhuweng bersifat terbuka dan suka berterus terang. Rasanya tidak mungkin mereka.” Demikian ia berpikir.

“Tuan Muda Linghu,” kata Zu Qianqiu kemudian, “pertanyaanmu ini sama sekali tidak berani kami jawab. Biarpun kami dibunuh juga tidak akan kami katakan. Bukankah Tuan Muda Linghu sendiri sudah tahu, jadi untuk apa harus meminta kami menyebutkan namanya?”

Mendengar ucapan mereka itu, terpaksa Linghu Chong berkata, “Baiklah, karena kalian tidak mau mengatakannya, maka rasa kesalku pun sulit dilenyapkan. Tuan Lao baru saja mengikat tubuhku di kursi hingga aku ketakutan setengah mati. Sekarang giliranku untuk membalas dengan cara mengikat kalian di kursi pula. Bisa jadi aku masih belum puas dan akan mengorek keluar jantung kalian menggunakan belati.”

Lao Touzi dan Zu Qianqiu kembali berpandangan, kemudian berkata, “Jika Tuan Muda Linghu ingin mengikat kami, sudah tentu kami tidak berani melawan.”

Segera Lao Touzi mengambilkan dua buah kursi dan beberapa utas tali tambang. Dalam hati ia dan Zu Qianqiu percaya kalau Linghu Chong kemungkinan besar hanya bergurau saja.

Tak disangka Linghu Chong benar-benar mengambil tali tambang itu untuk mengikat tangan mereka berdua ke belakang sandaran kursi, serta kaki mereka pada kaki depan kursi pula. Lalu ia memegang belati sambil berkata, “Tenaga dalamku sudah musnah. Aku tidak kuat menotok kalian dengan jari. Terpaksa aku harus menggunakan gagang belati ini untuk menotok titik nadi kalian.”

Usai berkata demikian ia lantas menotok kedua orang tua itu pada titik Huantiao, Tianzhu, dan Shaohai menggunakan gagang belati. Zu Qianqiu dan Lao Touzi saling pandang dengan terheran-heran. Mau tidak mau timbul juga rasa khawatir mereka terhadap maksud dan tujuan Linghu Chong selanjutnya.

“Kalian tunggu di sini,” kata Linghu Chong. Ia lalu memutar tubuh dan melangkah pergi meninggalkan ruang tamu tersebut.

Dengan membawa belati, Linghu Chong menuju ke kamar Lao Busi. Sesampainya di luar kamar, ia berdehem dulu, lalu menyapa, “Nona La … eh, Nona, bagaimana keadaanmu?”

Semula Linghu Chong bermaksud memanggilnya “Nona Lao”, tapi itu mengandung bermakna “nona tua”. Tentu saja hal ini tidak pantas bagi seorang gadis yang masih muda belia. Sementara itu, panggilan “Nona Busi” yang bermakna “nona tidak mati” menurutnya juga kurang pantas.

Lao Busi tidak menjawab, hanya mengeluarkan suara, “Hm.”

Perlahan Linghu Chong menyingkap tirai kain penutup pintu masuk kamar dan melangkah masuk. Terlihat gadis itu masih tetap duduk bersandar di atas bantal. Kedua matanya sedikit terbuka dan seperti orang baru bangun tidur. Linghu Chong melangkah ke depan lebih dekat. Terlihat kulit wajah Lao Busi halus seperti kaca tembus pandang. Linghu Chong seperti dapat melihat aliran darah yang mengalir pada pembuluh darah berwarna biru yang terlihat jelas di balik kulit gadis itu yang kekuning-kuningan. Suasana kamar sunyi senyap, sama sekali tidak terdengar udara yang keluar masuk. Aliran darah pada tubuh gadis itu sangat lambat seperti membeku, sedangkan napasnya terdengar lemah. Tampaknya gadis itu lebih banyak mengembuskan napas daripada menghirup udara segar.

“Nona ini seharusnya dapat diselamatkan, tapi obatnya sudah telanjur kumakan. Aku sendiri juga sudah pasti akan mati. Bisa hidup lebih lama beberapa hari atau tidak, juga tiada bedanya bagiku,” demikian pikir Linghu Chong sambil menghela napas panjang.

Segera ia mengambil sebuah mangkuk porselen dan ditaruhnya di atas meja. Tiba-tiba ia mengiris nadi pergelangan tangan kirinya sendiri menggunakan belati. Seketika darah pun bercucuran dan mengalir jatuh ke dalam mangkuk tersebut. Setelah itu, tangan kanannya dicelupkan ke dalam air panas yang tadi sudah disiapkan Lao Touzi, lalu diusapkannya pada luka di pergelangan tangan kiri agar darah yang mengucur tidak lekas membeku. Maka, hanya sebentar saja mangkuk porselen itu sudah hampir penuh terisi darah segar.

Dalam keadaan setengah sadar, Lao Busi mencium bau anyir darah. Begitu membuka mata, ia pun menjerit kaget karena melihat darah mengucur dari pergelangan tangan Linghu Chong.

Saat itu mangkuk sudah terisi penuh dengan darah. Linghu Chong segera membawanya ke dekat ranjang dan menempelkannya di dekat mulut Lao Busi. “Lekas kau minum! Di dalam darah ini mengandung obat mujarab yang dapat menyembuhkan penyakitmu,” katanya.

“Aku … aku … aku takut. Aku tidak mau minum,” jawab Lao Busi.

Setelah mengeluarkan banyak darah, Linghu Chong merasa pusing dan kakinya pun gemetar lemas. Karena takut pengorbanannya sia-sia, ia pun menghunus belati untuk menggertak, “Kau mau minum atau tidak? Jika tidak mau, lebih baik kau kubunuh saja!” Menyusul kemudian, ujung belati tersebut ditempelkannya pada tenggorokan si gadis.

Lao Busi sangat ketakutan. Terpaksa ia membuka mulut dan meneguk darah di dalam mangkuk tersebut. Beberapa kali ia merasa mual dan hampir muntah. Tapi demi melihat ujung belati yang mengkilap itu, rasa takutnya pun mengusir segala kemualan jauh-jauh dan mencegah supaya tidak sampai muntah.

Melihat darah di mangkuk sudah habis, Linghu Chong pun berpikir, “Aku telah menelan habis kedelapan Pil Penyambung Nyawa milik Lao Touzi, tapi yang berpindah ke dalam perut gadis ini mungkin tidak lebih sampai sepersepuluh bagian saja. Apalagi kalau nanti aku pergi ke kakus, mungkin akan lebih banyak bagian obat yang hilang dari perutku. Aku harus mengucurkan lebih banyak darah lagi sampai aku merasa lemah dan tidak dapat bergerak.” Ia kemudian mengiris urat nadi lengan kanan dan mengucurkan darahnya ke dalam mangkuk.

Ketika Linghu Chong hendak meminumkan semangkuk darah tersebut, Lao Busi mengerutkan kening dan berkata, “Jangan paksa aku lagi! Aku sudah tidak … tidak sanggup lagi.”

“Sanggup atau tidak sanggup harus menghabiskannya. Lekas, minum ini!” desak Linghu Chong.

Lao Busi kembali meminum darah dalam mangkuk itu dengan sangat terpaksa. Seteleh beberapa teguk ia berhenti untuk bernapas, kemudian berkata, “Mengapa … mengapa kau berbuat begini? Ini bisa … ini bisa merugikan dirimu sendiri.”

“Jangan khawatirkan aku. Semua ini demi kebaikanmu,” sahut Linghu Chong sambil tersenyum hambar.

Sementara itu Dewa Ranting Persik dan Dewa Buah Persik yang masih terperangkap dalam jaring ikan milik Lao Touzi, berusaha membebaskan diri mereka. Namun semakin meronta, jaring ikan itu justru semakin erat membungkus tubuh mereka sampai tidak dapat bergerak sedikit pun. Meskipun demikian, telinga mereka masih bisa mendengar jelas tentang apa yang terjadi di dalam pondok, serta mulut mereka pun saling berdebat macam-macam. Ketika mendengar Linghu Chong mengikat tubuh Lao Touzi dan Zu Qianqiu pada kursi masing-masing, mereka pun saling adu pendapat seperti biasanya. Dewa Ranting Persik mengira Linghu Chong akan membunuh Lao Touzi dan Zu Qianqiu, sedangkan Dewa Buah Persik berpendapat bahwa Linghu Chong akan membebaskan dirinya dan kakak ketiganya itu. Namun perdebatan mereka sia-sia belaka karena Linghu Chong ternyata masuk ke dalam kamar si gadis anak Lao Touzi untuk melakukan sesuatu.

Karena kamar tidur Lao Busi tertutup rapat, maka suara Linghu Chong dan gadis itu hanya terdengar sayup-sayup saja dari luar. Meskipun Yue Buqun, Lao Touzi, Zu Qianqiu, Dewa Ranting Persik, dan Dewa Buah Persik memiliki tenaga dalam tingkat tinggi, namun mereka tidak dapat mengetahui dengan pasti, dan hanya bisa menduga-duga saja apa sebenarnya yang sedang diperbuat Linghu Chong terhadap gadis itu. Ketika mendadak terdengar suara jeritan si gadis, raut muka kelima orang itu berubah semua.

Dewa Ranting Persik berkata, “Seorang pemuda seperti Linghu Chong, untuk apa masuk ke kamar anak gadis orang?”

“Coba dengar, nona itu sangat ketakutan,” sahut Dewa Buah Persik. “Dia sedang meratap, ‘Aku… aku takut!’ Kemudian Linghu Chong berkata, “Kalau kau tidak mau menuruti perintahku, maka aku akan membunuhmu dengan belati ini.” Kira-kira Linghu Chong menyuruh gadis itu melakukan apa?”

“Apa lagi? Sudah tentu dia memaksa nona itu menjadi istrinya,” ujar Dewa Ranting Persik.

“Hahaha! Sungguh menggelikan!” Dewa Buah Persik terbahak-bahak. “Si cebol bulat itu pasti mempunyai putri yang juga bulat seperti semangka. Mengapa Linghu Chong memaksa perempuan seperti itu menjadi istrinya?”

“Ah, setiap orang memiliki selera sendiri-sendiri. Bisa jadi Linghu Chong itu paling suka dengan wanita gemuk bulat. Maka, begitu melihat nona gembrot itu, semangatnya langsung terbang ke awang-awang,” jawab Dewa Ranting Persik.

“Hei, coba dengarkan!” bisik Dewa Buah Persik. “Nona bulat itu sedang minta ampun, katanya, ‘Jangan kau paksa aku lagi! Aku benar-benar tidak sanggup.’”

“Benar sekali. Tapi sepertinya Linghu Chong tetap memaksa. Ia berkata, ‘Sanggup atau tidak sanggup, kau harus melakukannya segera!’”

“Segera? Mengapa Linghu Chong menyuruh dia melakukan segera?” tanya Dewa Buah Persik.

“Kau tidak pernah menikah, masih perjaka. Sudah tentu kau tidak paham,” kata Dewa Ranting Persik.

“Memangnya kau sendiri pernah beristri? Huh, tidak tahu malu!” jawab Dewa Buah Persik.

“Kau sudah tahu aku belum pernah menikah, mengapa masih bertanya?” balas Dewa Ranting Persik.

Dewa Buah Persik kemudian berteriak-teriak, “Lao Touzi, Linghu Chong sedang memaksa putrimu untuk menjadi istrinya, mengapa kau diam saja tanpa memberi pertolongan? Apa kau rela anakmu mati?”

Dewa Ranting Persik menanggapi, “Mengapa kau mencampuri urusan orang lain? Dari mana kau tahu gadis itu akan mati? Di dunia ini banyak perempuan menikah, apa semuanya mati? Lagipula gadis itu bernama Lao Busi, sudah pasti tidak akan mati.”

Lao Touzi sendiri bersama Zu Qianqiu masih dalam keadaan terikat di kursi dan tertotok pula. Saat mendengar suara si gadis menjerit keras, mereka hanya bisa saling pandang dengan pikiran macam-macam. Dalam hati mereka menaruh curiga, dan apa yang diperdebatkan kedua Dewa Lembah Persik membuat mereka semakin curiga.

“Kakak Lao, kita harus segera mencegahnya. Sungguh tak kusangka ternyata Tuan Muda Linghu doyan main perempuan. Aku khawatir akan terjadi masalah besar,” kata Zu Qianqiu.

“Aih, kalau dia terlanjur memerkosa Busi, lantas bagaimana lagi?” kata Lao Touzi. “Tapi … tapi bagaimana aku harus bertanggung jawab kepada ….”

“Coba dengar, agaknya Keponakan Busi juga menaruh perasaan kepadanya. Dia mengatakan, ‘Perbuatanmu ini merugikan dirimu sendiri.’ Kau dengar apa jawaban Linghu Chong? Kau dengar tidak?”

“Ya, aku dengar. Linghu Chong bilang, ‘Jangan khawatirkan aku. Ini semua demi kebaikanmu.’ Setan alas! Kedua bocah itu benar-benar….”

“Selamat, Kakak Lao! Selamat, Kakak Lao!” kata Zu Qianqiu sambil bergelak tawa.

“Selamat nenekmu!” damprat Lao Touzi.

“Kenapa kau marah? Aku memberi selamat karena kau baru saja memperoleh seorang menantu yang baik,” jawab Zu Qianqiu.

“Omong kosong!” bentak Lao Touzi. “Kau jangan sembarangan bicara lagi! Kalau peristiwa ini sampai tersebar luas, apakah jiwa kita bisa selamat?” Sampai di sini suaranya terdengar agak gemetar.

“Benar juga, benar juga,” kata Zu Qianqiu dengan suara gemetar pula.

Yue Buqun yang mengintai agak jauh dari pondok, meskipun telah mengerahkan ilmu Awan Lembayung juga hanya dapat mendengar secara samar-samar saja. Pada mulanya ia juga mengira Linghu Chong benar-benar melakukan perbuatan tidak senonoh kepada Lao Busi. Semula ia bermaksud menerjang ke dalam kamar untuk mencegah perbuatan murid pertamanya itu. Namun begitu teringat Linghu Chong menyimpan banyak rahasia yang mencurigakan, ia pun segera mengurungkan niat tersebut. Jangan-jangan Linghu Chong telah bekerja sama dengan Lao Touzi dan Zu Qianqiu mempersiapkan jebakan untuknya. Ia merasa lebih baik jangan bertindak gegabah. Setelah menambah kekuatan ilmu Awan Lembayung, ia pun mendengar percakapan kedua Dewa Lembah Persik, serta Lao Touzi dan Zu Qianqiu dengan jelas. Ia menduga Linghu Chong telah mengambil kesempatan dalam kesempitan saat gadis itu terbaring lemah. Namun ternyata gadis itu juga menaruh perasaan kepada Linghu Chong adalah lain soal. Ia menduga anak perempuan Lao Touzi tentu juga bertubuh cebol bulat sehingga wajar kalau ia jatuh cinta kepada Linghu Chong setelah mendapat perlakuan tidak senonoh. Membayangkan itu semua membuat Yue Buqun hanya bisa menggelengkan kepala.

Tiba-tiba terdengar Lao Busi menjerit kembali, “Jangan … jangan … oh, banyak sekali darah … oh, kumohon ….”

Pada saat itulah di luar sana terdengar seseorang berseru, “Lao Touzi, aku sudah bisa meloloskan diri dari kejaran Empat Setan Lembah Persik!” Ternyata dia adalah laki-laki berkopiah lancip, pembawa panji-panji putih yang telah memancing empat dari Enam Dewa Lembah Persik meninggalkan kapal rombongan Huashan tadi. Tahu-tahu ia sudah melompat masuk ke dalam pondok melewati tembok luar dan membuka pintu ruang tamu.

Begitu melihat keadaan Lao Touzi dan Zu Qianqiu, si kopiah lancip bertanya kaget, “Hei, kenapa … kenapa kalian?” Segera ia mengeluarkan sebilah belati dari balik bajunya. Hanya beberapa kali gerakan saja ia sudah memotong tali-tali yang mengikat kaki dan tangan kedua Leluhur Tua Sungai Kuning itu serta membuka totokan mereka.

Pada saat itu kembali terdengar jeritan melengking Lao Busi di dalam kamar, “Oh, kumohon kau jangan … jangan begitu ….”

Mendengar suara gadis itu, si kopiah lancip terkejut. “Itu Nona Busi!” teriaknya sambil berlari menuju ke arah kamar.

Tapi, Lao Touzi dengan cekatan memegang lengan laki-laki berkopiah itu dan membentak, “Jangan masuk ke sana!”

Si kopiah lancip  tercengang dan menghentikan langkahnya.

Terdengar suara Dewa Ranting Persik mengoceh di luar, “Aku yakin si cebol merasa gembira karena memperoleh menantu ganteng seperti Linghu Chong itu.”

“Linghu Chong sudah hampir mati. Apa yang perlu dibanggakan kalau mendapat menantu dalam keadaan setengah mati begitu?” tanya Dewa Buah Persik.

“Anak perempuan si cebol itu juga dalam keadaan sekarat. Sepasang suami istri yang sangat serasi, sama-sama setengah mati dan setengah hidup,” sahut Dewa Ranting Persik.

“Siapa yang akan mati? Siapa yang akan hidup?” tanya Dewa Buah Persik.

“Pertanyaan bodoh! Sudah jelas Linghu Chong akan segera mati, sedangkan anak perempuan si cebol bukankah bernama Lao Busi? Dia sampai tua tidak akan mati,” jawab Dewa Ranting Persik.

“Tidak benar! Tidak benar!” kata Dewa Buah Persik. “Apakah nama selalu sesuai dengan orangnya? Kalau di dunia ini semua orang memakai nama Lao Busi, apakah lantas tidak akan mati semua? Kalau begitu sungguh sia-sia kita belajar ilmu silat?”

Di sela-sela perdebatan kedua bersaudara itu, kembali terdengar suara si gadis berteriak dengan suara lirih, “Ayah, lekas kemari! Ayah, lekas kemari!” Meskipun teriakannya sangat lemah namun disertai perasaan khawatir yang teramat sangat.

Segera Lao Touzi berlari ke dalam kamar. Dilihatnya Linghu Chong sudah tergeletak di lantai. Sebuah mangkuk tengkurap di atas dadanya. Bajunya pun berlumuran darah. Anak gadisnya tampak duduk bersandar di atas ranjang, mulutnya juga berlumuran darah. Zu Qianqiu dan si kopiah lancip yang menyusul juga terkejut melihat apa yang terjadi. Mereka bertiga hanya bisa saling pandang dengan hati penasaran.

“Ayah, orang ini telah mengiris urat nadi sendiri dan mengambil darahnya,” kata Lao Busi dengan suara lemah, “Aku dipaksa … dipaksa minum darahnya sampai dua mangkuk, dan dia masih … masih akan ….”

Lao Touzi terkejut setengah mati seperti disambar petir. Dengan cepat ia mendekati Linghu Chong dan memapah pemuda itu bangun. Dilihatnya pada kedua pergelangan tangan Linghu Chong masih mengucurkan darah. Segera ia berlari keluar kamar untuk mengambil obat luka. Walaupun di dalam rumah sendiri, namun karena terlalu gugup sampai-sampai batok kepalanya terbentur bingkai pintu. Akibatnya, dahinya pun benjol dan bingkai pintu yang dibentur olehnya sampai rusak pula.

Ketika mendengar suara benturan tersebut, Dewa Ranting Persik mengira Lao Touzi dan kedua kawannya sedang menghajar Linghu Chong. Segera ia berteriak, “Lao Touzi, Linghu Chong adalah sahabat baik Enam Dewa Lembah Persik. Jangan sekali-kali kau memukul dia! Jika sampai terjadi apa-apa pada bocah itu, tentu akan kami robek tubuhmu yang penuh lemak menjadi irisan kecil.”

“Salah besar, salah besar!” kata Dewa Buah Persik.

“Apanya yang salah?” tanya Dewa Ranting Persik heran.

“Jika dia berbadan kurus, maka dagingnya akan mudah kita robek. Tapi jelas-jelas dia berbadan bulat. Kalau kita robek tentu dia akan menjadi potongan-potongan bulat seperti bola bakso. Bagaimana caranya badan yang pendek dan gemuk itu bisa kita robek menjadi irisan panjang?” ujar Dewa Buah Persik.

Lao Touzi segera membubuhkan obat dan membalut luka Linghu Chong. Setelah mengurut-urut beberapa titik nadi di dada dan di perut Linghu Chong, tidak lama kemudian pemuda itu pun sadar dari pingsan. Lao Touzi merasa sangat gembira dan berterima kasih. “Tuan Muda Linghu, meskipun tubuh kami hancur lebur juga … aih, benar-benar sulit kukatakan.”

Zu Qianqiu ikut bicara, “Tuan Muda Linghu, tadi Lao Touzi telah mengikatmu. Hal ini terjadi karena salah paham. Mengapa kau anggap semua ini sungguh-sungguh? Kau telah membuatnya merasa sangat bersalah.”

Linghu Chong tersenyum dan berkata, “Penyakitku ini tidak bisa disembuhkan dengan obat apa pun. Terhadap maksud baik Tuan Zu yang telah mengambil obat Tuan Lao untuk diminumkan kepadaku, sungguh aku sangat berterima kasih. Namun aku juga merasa sayang obat mujarab itu hanya terbuang sia-sia. Lebih baik darahku kuminumkan kepada gadis ini.” Karena terlalu banyak kehilangan darah, ia merasa pusing dan kembali jatuh pingsan.

Lao Touzi segera memapahnya keluar dan merebahkannya di atas ranjang pada kamarnya sendiri. Dengan sedih pria cebol bulat itu menggumam, “Wah, bagaimana ini? Bagaimana ini?”

“Tuan Muda Linghu terlalu banyak kehilangan darah. Mungkin jiwanya terancam bahaya. Bagaimana kalau kita bertiga menyalurkan tenaga dalam masing-masing ke dalam tubuhnya?” ajak Zu Qianqiu.

“Ya, harus begitu,” sahut Lao Touzi.

Perlahan ia membangunkan tubuh Linghu Chong dan menempelkan telapak tangan kanannya ke titik Dazhui pada punggung pemuda itu. Tapi baru saja ia mengerahkan tenaga, seketika badannya tergetar hebat. Kursi yang ia duduki sampai hancur berkeping-keping.

Terdengar Dewa Ranting Persik terbahak-bahak di luar, sambil berseru, “Penyakit Linghu Chong justru timbul karena kita enam bersaudara hendak menyembuhkan lukanya dengan tenaga dalam kami. Sekarang si cebol itu hendak menirukan cara kita tentu penyakit Linghu Chong akan bertambah parah! Hahahaha!”

Dewa Buah Persik menanggapi, “Kau dengar suara barang hancur tadi? Pasti si cebol bulat membentur sesuatu setelah terdorong oleh tenaga dalam yang ada di tubuh Linghu Chong. Dia tidak tahu kalau tenaga dalam Linghu Chong berasal dari kita, enam bersaudara. Bagus sekali! Bagus sekali! Sekarang dia tahu rasa karena berani main-main dengan Enam Dewa Lembah Persik.”

Melihat keadaan Linghu Chong, Lao Touzi pun berkata sambil menghela napas, “Aih, jika Tuan Muda Linghu masih tidak siuman, maka aku tidak punya pilihan lain. Aku harus bunuh diri.”

“Nanti dulu,” ujar lelaki berkopiah lancip. Tiba-tiba ia berteriak, “Itu orang yang bertengger di atas pohon di luar pagar tembok bukankah Tuan Yue, Ketua Perguruan Huashan?”

Kontan saja Yue Buqun terperanjat. “Ternyata ia sudah tahu kalau aku bersembunyi di sini,” pikirnya.

Si kopiah lancip melanjutkan, “Tuan Yue adalah tamu dari jauh, mengapa tidak masuk kemari untuk beramah tamah?”

Yue Buqun menjadi serbasalah. Kalau masuk ke dalam pondok agak berbahaya baginya, tapi ia juga tidak dapat bertengger terus-menerus di atas pohon.

Si lelaki berkopiah kembali berkata, “Tuan Muda Linghu muridmu tak sadarkan diri. Silakan Tuan Yue masuk kemari untuk melihatnya.”

Lao Touzi memaki Linghu Chong.

Lao Touzi dan Zu Qianqiu meminta maaf kepada Linghu Chong.

Laki-laki berkopiah lancip pembawa bendera.

(Bersambung)