Bagian 29 - Munculnya Jago Tua Huashan

Linghu Chong terdesak menghadapi Tian Boguang.

Linghu Chong melompat mundur dua langkah dan berseru, “Saudara Tian hanya mengandalkan kekuatan otot untuk mengalahkanku, sama sekali bukan mengandalkan jurus golok. Kekalahan ini tidak bisa kuterima. Biarkan aku masuk lagi ke dalam gua untuk mencari cara lain agar bisa mengalahkanmu.”

“Hahahaha, biarpun kau main siasat mengulur waktu juga percuma saja,” ejek Tian Boguang sambil tertawa. “Kedua gurumu saat ini paling tidak berada ratusan Li dari sini untuk mengejarku. Paling cepat mereka mungkin kembali kemari dalam waktu sepuluh atau lima belas hari lagi. Jadi, jangan kau sia-siakan tenagamu.”

“Huh, siapa bilang demikian?” sahut Linghu Chong. “Pahlawan macam apa aku ini kalau hanya bisa mengandalkan guru untuk mengalahkanmu? Sebenarnya kekalahanku ini karena baru saja sembuh dari sakit. Tenagaku belum pulih benar. Itulah sebabnya aku pasti kalah kalau adu tenaga. Kau pikir jika aku sedang sehat apa kau kira bisa menang dariku?”

“Huh, tidak perlu bersilat lidah!” sahut Tian Boguang. “Aku tidak peduli menang pakai tenaga atau pakai jurus. Kalau kalah ya kalah, menang ya menang. Kau hanya mencari-cari alasan.”

“Baik, coba kau tunggu lagi di sini! Jika memang laki-laki sejati jangan coba-coba untuk pergi. Aku tidak sudi mengejarmu,” ujar Linghu Chong.

Tian Boguang tertawa terbahak-bahak, kemudian mundur dua langkah dan duduk di atas batu.

Linghu Chong kembali masuk ke dalam gua belakang sambil merenung, “Tian Boguang pernah bertarung dan mengalahkan Pendeta Tiansong dari Perguruan Taishan. Dia juga pernah bertarung melawan Adik Yilin dari Perguruan Henshan. Kini harapanku hanya tinggal menggunakan ilmu pedang Perguruan Songshan saja. Mungkin ia belum pernah menghadapinya.”

Sesampainya di gua belakang, ia langsung mencari dan mengamati ukiran gambar di dinding batu yang memuat jurus-jurus pedang Perguruan Songshan. Dengan cepat ia mempelajari belasan jurus dari perguruan tersebut, kemudian memadukannya dengan jurus-jurus pedang Perguruan Hengshan yang tadi belum sempat ia mainkan. “Hm, kalau jurus-jurus ini aku gabungkan lagi dengan jurus pedang Huashan, pasti dia kewalahan.”

Maka, sebelum Tian Boguang berteriak-teriak memanggil, Linghu Chong sudah berlari keluar dan menyerang penjahat itu. Mula-mula ia menggunakan ilmu pedang Songshan. Satu menit berikutnya ia menggunakan ilmu pedang Hengshan, dan satu menit selanjutnya ia menggunakan ilmu pedang Huashan.

“Kacau! Ini sungguh kacau!” seru Tian Boguang yang terdesak kewalahan. Namun pada jurus kedua puluh dua ia berhasil membalik keadaan. Dengan serangan cepat tiga kali berturut-turut ia berhasil menodongkan goloknya di leher Linghu Chong dan membuat pemuda itu mengaku kalah.

Namun Linghu Chong masih berusaha bersikap tenang. Ia berkata sambil tertawa, “Hahahaha. Pertarungan pertama tadi aku hanya sanggup bertahan sepuluh jurus. Pertarungan kedua aku bertahan delapan belas jurus. Sementara pertarungan ketiga barusan aku bisa bertahan dua puluh satu jurus. Apa kau tidak takut, Saudara Tian?”

“Huh, apa yang harus aku takuti?” sahut Tian Boguang.

“Kalau aku merenung lagi di dalam gua, aku tentu bisa mengalahkanmu dalam tiga puluh jurus. Meskipun aku tidak membunuhmu, namun sudah pasti ini membuatmu takut,” jawab Linghu Chong.

Tian Boguang menukas, “Sudah bertahun-tahun aku berkelana di dunia persilatan, dan Saudara Linghu aku anggap sebagai lawan paling cerdas yang pernah kutemui. Namun tetap saja ilmu silatmu masih kalah jauh di bawahku. Meskipun kau berlatih lagi dalam satu jam tetap saja tidak akan mampu mengalahkan tiga puluh jurusku.”

Linghu Chong berkata, “Saudara Tian adalah lawanku yang paling ceroboh. Jelas-jelas Linghu Chong semakin bertambah kuat dan kuat, namun kau tetap saja bandel tidak mau kabur dari sini. Nah, Saudara Tian, apakah kau izinkan aku masuk lagi ke dalam gua untuk merenung?”

“Kalau kau masih penasaran, silakan kau pergi lagi memeras otak sana!” seru Tian Boguang sambil tersenyum.

“Baik, kau tunggu saja di sini. Jangan coba-coba kabur!” ujar Linghu Chong sambil kemudian masuk kembali ke dalam gua.

Dalam perjalanan menyusuri lorong sempit menuju gua belakang pikiran Linghu Chong berkecamuk macam-macam. “Bajingan Tian Boguang pasti datang ke Gunung Huashan ini dengan maksud jahat. Ia mengetahui bahwa Guru dan Ibu Guru sedang turun gunung untuk mengejarnya, namun ia berani menentang bahaya dan mendaki kemari. Meskipun tidak bermaksud membunuhku, namun dia seolah-olah ingin menahanku di sini. Kalau memang dia berniat menangkapku, mengapa tadi ia tidak langsung saja menotok titik nadiku? Mengapa dia membiarkan aku bebas keluar masuk ke dalam gua ini? Sebenarnya apa yang dia inginkan?”

Usai terdiam sejenak, pemuda itu kembali berpikir, “Jangan-jangan dia berusaha mengulur waktu dan menahanku di puncak sini, sementara ada orang lain yang menyerang adik-adik di bawah sana. Lalu, mengapa dia tidak membunuhku saja? Bukankah itu lebih mudah?”

Linghu Chong merenung di dalam gua belakang. Ia akhirnya melompat bangkit setelah mengambil keputusan. “Tidak peduli apapun yang terjadi di balik ini semua, aku berkewajiban menjaga keselamatan Perguruan Huashan. Selama Guru dan Ibu Guru turun gunung, maka untuk sementara waktu yang memimpin di Huashan sini adalah aku sebagai murid pertama. Bagaimanapun beratnya, harus kuhadapi sendiri. Tak peduli apa yang menjadi alasannya, pasti maksud dan tujuannya tidak baik. Aku harus berusaha menahan dia di sini. Nanti jika ia lengah, aku harus membunuhnya tanpa ragu-ragu.”

Setelah hatinya merasa mantap, Linghu Chong kembali mempelajari gambar-gambar jurus pedang di dinding gua. Namun kali ini yang ia pilih untuk dihafalkan hanyalah jurus-jurus yang paling mematikan. Satu jam kemudian ia pun keluar gua dan menjumpai hari ternyata sudah mulai terang.

Meskipun hatinya sudah bertekad bulat untuk membunuh Tian Boguang, namun mulutnya masih berusaha tersenyum ramah. “Saudara Tian, jauh-jauh kau datang kemari tapi aku belum memenuhi kewajibanku sebagai tuan rumah yang baik. Sungguh aku merasa tidak enak. Sesudah pertandingan ini aku tidak peduli siapa yang menang atau kalah. Aku tetap membuka tangan yang selebar-lebarnya mengundang Saudara Tian kemari sekadar menikmati hasil bumi pegunungan ini.”

“Terima kasih banyak,” jawab Tian Boguang sambil tertawa.

Linghu Chong berkata, “Dan kelak kalau kita bertemu lagi di lain tempat dan bertarung lagi, tentu bukan lagi pertandingan seperti saat ini. Tapi pertarungan mati-matian.”

“Sebenarnya teman seperti Saudara Linghu ini sangat sayang kalau terbunuh,” ujar Tian Boguang. “Tapi kalau kau tidak kubunuh tentu akan membahayakan diriku. Ilmu silatmu bisa maju pesat dalam waktu singkat. Kelak saat kau bisa lebih unggul dariku tentu kau tidak mau mengampuni nyawa seorang penjahat cabul sepertiku ini.”

“Betul juga,” kata Linghu Chong. “Kegiatan bertukar pikiran seperti yang kita lakukan saat ini kelak mungkin tidak ada lagi. Nah, Saudara Tian! Kita akan mulai kembali. Harap beri petunjuk seperlunya!”

“Saudara Linghu, kau terlalu memuji,” jawab Tian Boguang.

“Semakin aku pikirkan, semakin aku merasa bukan tandinganmu, Saudara Tian,” ujar Linghu Chong. Belum selesai ia bicara, pedangnya sudah menusuk kencang ke arah Tian Boguang. Namun ketika pedangnya masih berjarak satu meter dari sasaran, tiba-tiba ia menarik senjatanya itu ke samping dan secepat kilat menusuk kembali.

Tian Boguang mengangkat golok hendak menangkis. Namun sebelum kedua senjata beradu, tahu-tahu Linghu Chong memutar pedangnya dan menebas dari atas ke bawah selangkangan. Serangan yang tak terduga dan sangat keji ini membuat Tian Boguang terperanjat. Ia pun meloncat ke atas. Namun Linghu Chong telah melancarkan lagi tiga kali serangan yang semuanya mengarah ke titik mematikan pada tubuh penjahat itu.

Kali ini Tian Boguang dalam keadaan terdesak dan kewalahan menangkis serangan-serangan Linghu Chong. Bahkan, celananya sampai robek terkena tusukan pemuda itu namun tidak sampai melukai kulitnya. Tiba-tiba ia melancarkan serangan balik berupa pukulan yang sangat cepat dan berhasil membuat Linghu Chong roboh terpelanting.

 “Serangan Saudara Linghu benar-benar berbahaya dan mengarah ke tempat-tempat mematikan,” ujar Tian Boguang. “Apa seperti ini yang disebut ‘minta petunjuk’?”

Linghu Chong bangkit sambil berkata, “Bagaimanapun juga seranganku tetap saja tidak mampu mengganggu seujung rambut Saudara Tian. Kau benar-benar memiliki lengan yang perkasa.”

“Maaf atas hal itu,” ujar Tian Boguang.

“Aku rasa beberapa tulang igaku ada yang patah,” jawab Linghu Chong sambil tersenyum lebar. Sambil berkata demikian Linghu Chong tiba-tiba teringat kalau Tian Boguang hanya ingin menangkapnya hidup-hidup, bukan untuk membunuhnya. Ia pun berpikir, “Hm, penjahat ini tidak mau membunuhku. Kalau begitu ini kesempatanku untuk menyerangnya habis-habisan. Aku tidak perlu memikirkan keselamatanku karena dia tidak ingin melukaiku.”

Maka begitu dekat, tiba-tiba saja Linghu Chong menyerang lengan kiri Tian Boguang. Kali ini jurus yang ia gunakan adalah jurus pedang Perguruan Henshan. Tian Boguang terkejut karena tahu-tahu ujung pedang lawan sudah berada tepat di depan perutnya. Penjahat itu pun menjatuhkan diri sambil berguling-guling di tanah. Namun demikian, pedang Linghu Chong tetap saja mengejarnya dan melancarkan empat kali tusukan.

Tak disangka kaki Tian Boguang dengan cepat menendang pergelangan tangan Linghu Chong sehingga pedang pemuda itu terlepas dari genggaman. Menyusul kaki yang lain dengan sangat keras menendang perut pemuda itu hingga jatuh terjengkang.

Tanpa membuang waktu, Tian Boguang bangkit dan mengacungkan goloknya di leher Linghu Chong sambil tertawa dingin, “Hahaha, keji sekali ilmu pedangmu ini. Hampir saja nyawaku melayang. Bagaimana? Kali ini kau menyerah atau tidak?”

“Tentu saja tidak!” sahut Linghu Chong dengan tertawa pula. “Kita telah sepakat bertanding adu senjata. Tapi kenapa kakimu ikut menendang? Apa ini termasuk dalam hitungan?”

“Meskipun pukulan dan tendanganku dihitung tetap saja belum ada tiga puluh jurus,” sahut Tian Boguang sambil menarik kembali goloknya. Mulutnya mencibir seperti mengejek.

Linghu Chong segera bangun dan berkata, “Meskipun ilmu silatmu tinggi dan bisa mengalahkan aku sebelum tiga puluh jurus, lantas mau apa? Kalau mau bunuh silakan bunuh, mengapa masih juga mengejek?”

“Teguran Saudara Linghu sungguh membuatku sadar. Untuk ini aku mohon maaf yang sebesar-besarnya,” ujar Tian Boguang.

Jawaban Tian Boguang tersebut membuat Linghu Chong semakin heran mengapa seorang pemenang masih sempat meminta maaf. Tanpa membuang waktu ia pun balas memberi hormat, sambil berpikir, “Seorang pemenang memberi hormat, pasti menyimpan muslihat tertentu di balik ini semua.”

Karena tidak juga menemukan apa maksud dan tujuan lawan, pemuda itu lantas berkata, “Saudara Tian, aku mempunyai sebuah pertanyaan. Entah Saudara Tian sudi menjawab atau tidak?”

Tian Boguang berkata, “Bagiku tidak ada sesuatu pun yang perlu untuk dirahasiakan. Membunuh, merampok, memerkosa, atau apa saja, kalau berani berbuat ya harus berani mengakuinya. Untuk apa main rahasia segala?”

“Bagus kalau demikian,” sahut Linghu Chong. “Saudara Tian memang seorang laki-laki sejati yang berani mengakui perbuatannya sendiri.”

Tian Boguang tertawa dan menjawab, “Sebutan ‘laki-laki sejati’ tidak pantas kuterima. Aku ini hanya seorang hina yang hanya bisa menepati janji saja.”

“Hehehe, tokoh seperti Saudara Tian ini jarang ada di dunia persilatan,” kata Linghu Chong sambil tertawa. “Sekarang aku ingin bertanya, kau telah memancing guru dan ibu-guruku pergi menjauh supaya kau bisa datang kemari dan mengajakku pergi ke suatu tempat. Sebenarnya, apa yang kau inginkan?”

“Sejak awal sudah kukatakan bahwa aku mengundangmu menemui Biksuni Kecil Yilin untuk sekadar memenuhi rasa rindunya,” jawab Tian Boguang.

“Tidak mungkin,” sahut Linghu Chong cepat. “Jawabanmu itu terlalu aneh dan lucu. Linghu Chong bukan anak kecil, mana mungkin percaya dengan jawabanmu itu?”

Tian Boguang menjadi gusar dan berseru, “Aku memandangmu sebagai seorang kesatria sejati, tapi kau malah menuduhku sebagai jahanam kotor yang kata-katanya tidak dapat dipercaya. Memangnya ucapanku ini bukan ucapan manusia? Nah, dengarlah ini! Jika ucapan orang bermarga Tian ini bohong belaka, lebih baik kau anggap aku ini sebagai binatang saja.”

Melihat itu, mau tidak mau Linghu Chong percaya juga pada ucapan Tian Boguang. Ia pun bertanya, “Aku masih heran bukankah Saudara Tian mengangkat biksuni kecil itu sebagai guru hanya gurauan saja? Tapi mengapa sekarang kau sudi datang jauh-jauh kemari untuk mengundangku demi kepentingannya?”

Tian Boguang menjawab dengan malu-malu, “Dalam hal ini tentu ada penyebab lainnya.”

Melihat sikap Tian Boguang tersebut, Linghu Chong kembali bertanya, “Jangan-jangan Saudara Tian jatuh cinta pada Adik Yilin, kemudian sekarang kau bertobat untuk memperbaiki diri dan dosa-dosamu di masa lalu, begitu?”

“Ah, mana mungkin seperti itu? Saudara Linghu jangan sembarangan bicara,” sahut Tian Boguang.

Linghu Chong bertanya, “Sebenarnya ada apa di balik ini semua? Mohon Saudara Tian sudi memberi tahu!”

“Masalah ini menyangkut nasibku yang sial,” sahut Tian Boguang. “Pendek kata, jika aku tidak bisa mengajakmu turun gunung, tentu sebulan lagi aku akan mati dengan tubuh membusuk tak terkatakan.”

Linghu Chong sangat terkejut. Tapi wajahnya pura-pura tidak paham. “Bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi?”

Tian Boguang menghela napas dan kemudian membuka bajunya. Tampak di bawah puting dadanya terdapat masing-masing sebuah titik merah sebesar uang logam. “Aku telah diracun orang dan dipaksa datang kemari untuk mengajakmu turun gunung menemui Biksuni Yilin. Jika aku tidak mendapatkan penawarnya, maka sebulan kemudian titik merah ini mulai membusuk dan menjalar ke seluruh tubuh dan saat itu sudah terlambat untuk diobati. Selama tiga setengah tahun aku akan hidup menderita dan akhirnya mati.”

Tian Boguang menunjukkan titik merah di dadanya.

Dengan wajah bersungguh-sungguh Tian Boguang melanjutkan cerita, “Maksud hatiku mengutarakan ini semua bukan untuk meminta belas kasihan darimu, tetapi supaya kau tahu bahwa aku akan melakukan apa saja demi untuk mendapatkan obat penawar itu. Aku sudah terbiasa berbuat kejam. Apalagi saat ini dalam keadaan terdesak. Tentu memaksamu bukan suatu hal yang berat.”

Dalam hati Linghu Chong memercayai cerita Tian Boguang. Ia pun mencari cara untuk mengulur waktu sampai lebih dari sebulan. Dengan demikian Tian Boguang bisa mati dengan sendirinya, sehingga dunia akan kehilangan satu penjahat cabul tanpa harus bersusah payah untuk membunuhnya. Berpikir demikian, pemuda itu pun tertawa dan berkata, “Sungguh usil orang yang meracuni Saudara Tian itu. Kalau boleh tahu siapakah orang hebat itu? Aku tidak bisa membayangkan bagaimana nanti jika tubuhmu membusuk akibat racun. Tapi sehebat-hebatnya racun, pasti ada penawarnya.”

“Mengenai siapa orang yang telah meracuniku terpaksa tidak bisa kukatakan kepadamu,” sahut Tian Boguang. “Di dunia ini satu-satunya orang yang bisa mengobatiku mungkin hanya Ping Yizhi alias Si Tabib Pembunuh. Tapi, mana mungkin ia sudi mengobati diriku?”

Linghu Chong menukas, “Bukankah kau bisa meletakkan golokmu di lehernya dan memaksanya menghilangkan racun dalam tubuhmu?”

Tian Boguang menjawab, “Simpan saja semua ocehanmu itu. Pendek kata, jika aku benar-benar tidak berhasil mengundangmu turun gunung, jika aku sampai mati, maka kau pun takkan kubiarkan selamat.”

“Ya, sudah tentu,” jawab Linghu Chong. “Tapi Saudara Tian harus mengalahkan aku secara jantan terlebih dulu barulah aku menyerah lahir batin. Untuk ini, silakan kau menunggu lagi barang sebentar. Aku akan masuk kembali untuk memeras otak.”

Usai berkata demikian, Linghu Chong pun berlari masuk ke dalam gua sambil berpikir, “Saat bertarung sambil duduk waktu itu, aku mampu menahan serangannya sebanyak lebih dari tiga puluh jurus. Tapi mengapa sekarang aku mengalami kemunduran dan hanya bisa bertahan kurang dari tiga puluh jurus? Ah, aku tahu sekarang! Saat bertarung melawan Tian Boguang tempo hari aku tidak peduli nyawa sendiri dan siap mati setiap saat. Aku tidak peduli entah berapa jurus yang sudah terlewati saat itu dan aku hanya berusaha untuk menangkis dan membalas saja. Kali ini pikiranku hanya terpusat pada jumlah jurus yang ia keluarkan. Mataku sibuk menghitung jurus goloknya mulai awal sampai akhir. Dengan demikian pikiranku menjadi terpecah sehingga ilmu pedangku menjadi jauh lebih lemah daripada dahulu. Linghu Chong, Linghu Chong, betapa bodohnya dirimu!”

Setelah menemukan letak permasalahannya, pemuda itu segera bergegas ke gua belakang untuk kembali melatih jurus yang terukir di dinding. Sesampainya di sana ia langsung memilih jurus pedang Perguruan Taishan karena cenderung stabil dan memiliki daya serang kuat. Dalam waktu singkat tentu saja tidak mungkin menemukan intisari ilmu pedang tersebut. Di samping itu, Linghu Chong juga merasa terburu-buru dan tidak sudi untuk mempelajarinya dengan tenang dan sabar. Setelah merasa cukup dan hendak meninggalkan gua, tiba-tiba pandangannya tertarik pada gambar orang memegang tombak yang berhasil mematahkan jurus pedang Taishan tersebut. Semakin ia mengamati jurus tombak tersebut, semakin hatinya merasa kagum. Sampai akhirnya terdengar suara teriakan Tian Boguang memanggil-manggil di luar.

Linghu Chong kembali bertarung melawan Tian Boguang. Namun kali ini ia bertindak lebih bijak tanpa menghitung sama sekali. Hanya tangannya yang mengayunkan pedang ke segala arah bagaikan hempasan badai. Di lain pihak, Tian Boguang tidak berani bersikap gegabah karena pihak lawan dinilai mengalami kemajuan pesat dan melancarkan jurus-jurus baru tiap kali selesai berlatih di dalam gua.

Pertarungan antara Linghu Chong dan Tian Boguang berlangsung semakin cepat dan dahsyat. Berbagai jurus dilancarkan hanya dalam waktu singkat. Tiba-tiba Tian Boguang mendapatkan kesempatan bagus. Tangannya bergerak secepat kilat dan berhasil memegang lengan Linghu Chong, kemudian mengarahkan lengan itu sedemikian rupa sehingga ujung pedang Linghu Chong berbalik menodong leher sendiri. Jika Tian Boguang menambah tenaga sedikit saja, tentu leher Linghu Chong sudah tembus oleh pedang sendiri.

“Kau kalah!” kata Tian Boguang.

“Tidak, bukan aku. Tapi kau yang kalah!” balas Linghu Chong.

“Bagaimana bisa aku yang kalah?” tanya Tian Boguang gusar.

“Karena jurus ini adalah jurus ketiga puluh dua,” jawab Linghu Chong.

“Jurus ketiga puluh dua bagaimana?” tanya Tian Boguang menegas.

“Tepat sekali. Ini jurus ketiga puluh dua,” ujar Linghu Chong yakin.

“Memangnya kau tidak menghitung?” sahut Tian Boguang.

“Aku menghitungnya dalam hati. Jurus yang terakhir ini jurus ketiga puluh dua,” jawab Linghu Chong dengan yakin, padahal sesungguhnya ia sama sekali tidak menghitung.

Tian Boguang melepaskan lengan pemuda itu dan berkata, “Tidak bisa. Jurus pertama tadi begini, aku menangkis seperti ini, kemudian kau menyerang lagi dengan cara begini. Jurus kedua begini dan....” begitulah seterusnya. Satu per satu jurus pertarungan mereka tadi diperagakannya dengan baik. Ternyata Linghu Chong tertangkap pada jurus kedua puluh delapan.

Linghu Chong tertegun menyaksikan daya ingat Tian Boguang yang luar biasa. Mereka bertarung dengan kecepatan tinggi, namun Tian Boguang mampu mengingat setiap gerakan dengan jelas dan benar. Sungguh suatu kemampuan yang jarang ada di dunia persilatan. Sambil mengacungkan jempol, Linghu Chong pun memuji, “Daya ingat Saudara Tian sangat hebat. Aku benar-benar kagum. Ternyata diriku ini yang salah menghitung. Baiklah, aku akan masuk kembali untuk memeras otak.”

“Tunggu dulu!” seru Tian Boguang tiba-tiba. “Sebenarnya ada rahasia apa di dalam gua sana? Apa terdapat kitab pelajaran ilmu silat tingkat tinggi? Mengapa setiap kali kau keluar selalu bertambah dengan jurus-jurus baru?” selesai berkata demikian ia pun melangkah hendak memasuki gua.

Tentu saja Linghu Chong berusaha mencegah, jangan sampai penjahat itu menemukan gambar-gambar di dinding gua belakang karena bisa menjadi bencana bagi Serikat Pedang Lima Gunung. Maka, ia pun pura-pura memperlihatkan wajah senang dan langsung berubah khawatir, sambil merentangkan kedua lengannya menghalangi Tian Boguang. “Saudara Tian jangan masuk! Di dalam terdapat kitab-kitab pusaka perguruan kami. Saudara Tian adalah orang luar. Tidak boleh melihat seenaknya!”

Melihat perubahan raut wajah Linghu Chong yang tiba-tiba itu, mau tidak mau membuat Tian Boguang merasa curiga. Dalam hati ia berpikir, “Mengapa bocah ini memperlihatkan wajah gembira saat aku mengatakan ingin masuk ke dalam gua, tapi kemudian mendadak berubah menjadi khawatir? Hm, rupanya dia ingin memancingku supaya penasaran. Dia ingin supaya aku menerobos masuk ke dalam gua tersebut. Huh, apa kau kira aku tidak tahu kalau di dalam sana sudah kau siapkan perangkap? Mungkin di dalam sudah ada orang lain yang bersiap menyergapku, atau mungkin ada ular berbisa, atau mungkin ada asap beracun. Hehe, aku bukan anak kecil yang bisa dengan mudah ditipu oleh permainan wajahmu.”

Menyadari itu Tian Boguang pun memutar tubuh dan berkata, “Oh, rupanya di dalam ada kitab rahasia ilmu pedang perguruanmu yang mulia. Memang tidak sepantasnya aku masuk ke dalam.”

Linghu Chong gembira melihat tipu muslihatnya berhasil dengan baik. Ia pun bergegas masuk ke dalam gua belakang dan beberapa waktu kemudian kembali menantang Tian Boguang. Namun demikian, tetap saja pemuda itu mengalami kekalahan.

Begitulah, berkali-kali Linghu Chong keluar masuk gua namun tetap saja tidak mampu melewati tiga puluh jurus dalam pertandingan melawan Tian Boguang. Tidak hanya ilmu pedang aneh dan rumit milik Serikat Pedang Lima Gunung saja yang ia mainkan, bahkan ilmu silat milik orang-orang yang mematahkan jurus-jurus pedang tersebut juga ia pelajari. Namun karena terburu-buru tentu saja ia tidak mampu menangkap intisari jurus-jurus yang tergambar pada dinding gua tersebut sehingga kekuatannya tidak bisa menembus ilmu golok kilat milik lawan. Lagi-lagi Tian Boguang memperoleh kemenangan.

Di lain pihak, Tian Boguang merasa curiga mengapa tiap kali keluar gua, Linghu Chong selalu memainkan jurus-jurus baru yang aneh dan seolah tidak ada habisnya. Memang jurus-jurus tersebut tidak mampu mengalahkan ilmu golok kilat miliknya, namun tetap saja membuat Tian Boguang berdecak kagum karena keindahan dan kehebatannya. Andai saja ini bukan pertandingan, ingin rasanya ia mengamati jurus-jurus aneh dan unik yang dimainkan Linghu Chong dengan seksama.

Setelah mengingat-ingat semua pertandingan yang terlewati, Tian Boguang menyadari kalau jurus-jurus tersebut tidak hanya milik Perguruan Huashan, tapi juga milik Perguruan Songshan, Taishan, Hengshan, dan Henshan. Ia pun berpikir, “Apakah mungkin para sesepuh Serikat Pedang Lima Gunung bersembunyi di dalam gua? Tiap kali bocah ini masuk ke dalam, apakah para sesepuh mengajarkan suatu jurus baru kepadanya? Hm, untung saja aku tidak jadi masuk ke dalam. Bagaimana mungkin aku mampu mengalahkan para sesepuh kelima perguruan besar tersebut?”

Karena berpikir demikian, Tian Boguang pun bertanya, “Mengapa mereka tidak keluar saja?”

“Siapa yang kau maksud?” sahut Linghu Chong bingung.

“Mereka, para sesepuh yang bersembunyi di dalam gua. Bukankah mereka yang telah mengajarimu? Mengapa mereka tidak keluar saja dan mencoba kepandaianku?” jawab Tian Boguang yakin.

Linghu Chong terperanjat. Namun ia akhirnya sadar kalau Tian Boguang hanya salah paham. Maka, ia pun tertawa terbahak-bahak sambil berkata, “Para sesepuh itu merasa... merasa enggan bertanding dengan Saudara Tian.”

Tian Boguang tersinggung mendengarnya. Sambil mendengus tidak puas, ia pun membentak, “Aku tahu orang-orang macam apa mereka itu! Mereka suka mengumpulkan pujian dan nama besar sehingga merasa tidak sederajat jika bertarung melawan penjahat cabul macam diriku. Sebaiknya kau panggil saja mereka semua supaya keluar. Selama kami bertarung satu lawan satu, tak peduli sehebat apa nama besar mereka tetap saja tidak mampu melukai diriku.”

Linghu Chong menggeleng dan berkata, “Saudara Tian, kalau kau berminat menemui mereka, aku persilakan kau masuk ke dalam gua dan menemui sebelas sesepuh di sana untuk meminta petunjuk dari Beliau sekalian. Aku yakin Beliau semua akan menghargai ilmu golok Saudara Tian.”

Linghu Chong paham bagaimana Tian Boguang telah melakukan banyak kejahatan di dunia persilatan dan juga memiliki banyak musuh. Dalam setiap tindak-tanduknya, penjahat cabul itu selalu berhati-hati. Kini dengan mengira bahwa di dalam gua terdapat para tokoh papan atas dari berbagai perguruan, tentu ia tidak akan berani mengambil risiko untuk masuk ke dalam. Sengaja Linghu Chong mengatakan bahwa di dalam gua terdapat sebelas orang sesepuh, karena dengan menyebut angka ganjil membuat ucapannya lebih meyakinkan.

Tian Boguang sendiri tampak mendengus dan menjawab, “Tokoh papan atas macam apa? Jangan-jangan mereka hanyalah para sesepuh yang terasing karena berkepandaian rendah. Jika tidak, kenapa mereka berulang kali mengajarimu namun tetap saja kau tidak mempu mengalahkan ketiga puluh jurusku?”

Sebenarnya Tian Boguang dalam hati merasa sedikit gentar. Namun mengingat dirinya memiliki ilmu meringankan tubuh yang sangat hebat, sekalipun sebelas sesepuh itu menyerang serentak, tentu ia dapat melarikan diri dengan cepat apabila keadaan kurang menguntungkan baginya. Di samping itu, para sesepuh dari perguruan terhormat semacam Serikat Pedang Lima Gunung tidak mungkin merendahkan diri mereka dengan main keroyok.

Linghu Chong memasang wajah serius dan kembali berkata, “Meskipun para sesepuh mengajariku di dalam gua, namun tetap saja aku yang bodoh tidak bisa memahami ajaran mereka sehingga kalah di tanganmu berkali-kali. Namun demikian, hendaknya Saudara Tian berhati-hati jangan sampai menyinggung perasaan mereka. Kalau saja ada seorang yang keluar dari gua dan menghadapimu, tentu tidak perlu menunggu sebulan lagi untuk mati. Sekarang juga kau akan kehilangan kepalamu di Tebing Perenungan ini.”

Tian Boguang bertanya, “Coba kau jelaskan, siapa saja yang berada di dalam gua sana?”

Raut wajah Linghu Chong seolah menyembunyikan sesuatu saat menjawab, “Ah, para sesepuh itu sudah lama mengasingkan diri. Sudah bertahun-tahun mereka mengundurkan diri dari dunia persilatan. Mereka berkumpul di sini juga tidak ada sangkut-pautnya denganmu. Nama-nama para sesepuh itu tidak boleh sampai diketahui orang luar. Andai kukatakan juga kau belum tentu kenal.”

Tian Boguang bertambah penasaran melihat wajah Linghu Chong. Ia berkata, “Para sesepuh dari Perguruan Songshan, Taishan, Hengshan, dan Henshan memang masih tersisa sedikit. Namun Perguruan Huashan sudah lama kehabisan tokoh-tokoh tua. Hal ini sudah diketahui setiap orang di dunia persilatan. Ucapan Saudara Linghu bagiku sungguh sukar dipercaya.”

“Benar,” sahut Linghu Chong. “Para sesepuh Perguruan Huashan kami memang sudah wafat. Beberapa tahun silam perguruan kami diserang wabah penyakit menular sehingga banyak di antara para sesepuh yang meninggal dunia. Dugaan Saudara Tian sungguh tepat. Di dalam gua ini memang tidak terdapat sesepuh dari Huashan.”

Meskipun Linghu Chong berkata benar, namun Tian Boguang sudah sering dibohongi sehingga ia pun yakin kalau kalimat terakhir tersebut juga salah satu tipuan pemuda itu. Jika Linghu Chong berkata tidak ada seorang pun sesepuh Huashan di dalam gua, tentu yang benar ialah sebaliknya, demikian pikir penjahat itu.

Setelah merenung sejenak, Tian Boguang seolah menyadari sesuatu. Sambil memukulkan tangan kanan ke telapak tangan kiri ia pun berkata, “Aku ingat sekarang! Dalam Perguruan Huashan masih terdapat seorang sesepuh. Dia pasti... dia pasti Feng Qingyang.”

Linghu Chong tertegun sejenak. Seketika ia pun teringat pada sebuah nama yang terukir di dinding gua depan, yaitu nama “Feng Qingyang” tersebut. Tanpa sadar mulutnya pun berseru karena terkejut karena sama sekali tidak menyangka kalau tokoh sepuh bernama Feng Qingyang ternyata masih hidup, setidaknya demikian menurut perkiraan Tian Boguang.

Sambil mengibaskan tangan pemuda itu berkata, “Saudara Tian, kau jangan bicara sembarangan.. Eh.. eh…” karena Feng Qingyang memiliki nama “Qing” dan itu berarti satu angkatan di atas gurunya yang memakai nama “Bu”, maka Linghu Chong pun melanjutkan perkataannya, “Kakek Guru... Kakek Guru Feng sudah puluhan tahun menghilang entah ke mana. Apakah Beliau masih hidup atau tidak di dunia ini juga kami tidak tahu. Jadi bagaimana mungkin Beliau ada di Gunung Huashan sini? Tapi apabila Saudara Tian tidak percaya silakan masuk saja ke dalam untuk memeriksa langsung.”

Semakin Linghu Chong mempersilakan masuk ke gua, semakin Tian Boguang merasa itu jebakan. Penjahat itu pun berpikir, “Raut wajah bocah ini benar-benar menunjukkan sikap khawatir. Jangan-jangan ini perangkapnya. Aku harus berhati-hati. Cerita yang pernah aku dengar bahwa dalam satu malam saja terjadi kematian besar-besaran di Gunung Huashan. Entah apa sebabnya, yang jelas hampir semua sesepuh Perguruan Huashan meninggal dunia. Konon saat itu Feng Qingyang sedang berada jauh entah di mana sehingga lolos dari bencana. Sejak saat itu kabar tentang dirinya tidak diketahui lagi. Andaikan saat ini ia masih hidup dan berada di dalam gua itu, tentu usianya sudah tujuh puluh atau delapan puluh tahun. Hm, tidak peduli sehebat apa ilmu pedangnya tetap saja tenagaku lebih kuat darinya. Persetan dengan orang itu. Untuk apa aku takut pada seorang tua bangka?”

Maka, Tian Boguang lantas berkata, “Saudara Linghu, kita sudah bertempur sehari semalam. Walaupun diteruskan tetap saja kau bukan tandinganku. Sekalipun Kakek Guru Feng-mu itu berkali-kali memberikan petunjuk padamu juga sia-sia belaka. Sebaiknya kau segera ikut denganku. Kita segera berangkat sekarang.”

Belum sempat Linghu Chong menjawab tiba-tiba dari arah belakang terdengar suara seorang pria menanggapi dengan nada dingin, “Jika aku benar-benar memberikan petunjuk beberapa jurus, mana mungkin kau bisa mengalahkannya?”

Linghu Chong terkejut bukan main. Begitu menoleh ke belakang ia pun melihat seorang pria tua berjanggut putih, berbadan tinggi kurus, dan berdiri di depan mulut gua depan. Laki-laki tua itu mengenakan pakaian berwarna hijau, dengan raut muka seram dan pucat pasi seperti mayat.

Munculnya Feng Qingyang.

Linghu Chong terheran-heran. Dalam hati ia bertanya-tanya, “Dari mana munculnya kakek ini? Apakah dia... apakah dia pria bercadar yang telah memainkan jurus Pedang Gadis Kumala di hadapanku malam itu? Bagaimana dia bisa tiba-tiba muncul di belakangku?”

Sementara itu Tian Boguang bertanya dengan suara gemetar, “Apakah Anda... Sesepuh Feng?”

Orang tua itu menghela napas dan berkata, “Tidak kusangka di dunia ini masih ada orang yang mengenal namaku.”

Mendengar jawaban tersebut seketika dalam benak Linghu Chong terlintas beberapa pertanyaan. “Apakah orang ini adalah sesepuh Perguruan Huashan yang masih tersisa? Mengapa Guru dan Ibu Guru tidak pernah bercerita soal ini? Ataukah dia hanya seseorang yang mengaku-aku gara-gara ucapan Tian Boguang tadi? Jika benar demikian, apakah aku tidak akan menjadi bahan tertawaan di dunia persilatan apabila berlutut memberi hormat kepadanya? Tentu saja ini aneh. Begitu Tian Boguang menyebut nama ‘Feng Qingyang’, mengapa langsung muncul orang tua yang mengaku bernama ‘Feng Qingyang’? Sungguh tidak masuk akal,” demikian pikirnya.

Tiba-tiba terdengar kakek itu berkata, “Linghu Chong, dasar bocah tidak becus! Coba sini, akan kuajari kau mengalahkan keparat ini. Seharusnya kau gunakan jurus Cahaya Fajar Membuka Hari, disusul jurus Burung Feng Datang Menyembah, kemudian jurus Angsa Emas Membelah Angkasa, kemudian jurus....” begitulah seterusnya ia menyebutkan satu per satu sampai tiga puluh jurus.

Linghu Chong sudah hafal ketiga puluh jurus itu dengan baik. Namun ia heran mengapa orang tua itu menyebutkannya secara tidak berurutan sehingga rasanya sulit apabila digunakan dalam suatu rangkaian yang sambung menyambung.

Melihat Linghu Chong termangu-mangu, orang tua itu membentak, “Apa lagi yang kau tunggu? Dengan ilmu silatmu saat ini memang sulit untuk memainkan ketiga puluh jurus itu dalam waktu serentak. Tapi kalau kau tidak percaya, mengapa tidak kau coba dengan gerakan perlahan dulu?”

Suara kakek itu pelan namun dalam, serta wajahnya terlihat sangat dingin. Apa yang ia ucapkan seolah disertai perasaan tertekan namun terdengar berwibawa.

Linghu Chong menjawab dalam hati, “Baiklah, tiada salahnya jika aku mencoba.”

Pemuda itu lantas memainkan jurus-jurus sesuai urutan yang telah disebutkan si kakek tadi. Pertama ia memainkan jurus Cahaya Fajar Membuka Hari yang berakhir dengan mengacungkan pedang ke atas. Kemudian disusul dengan jurus Burung Feng Datang Menyembah yang harus menusuk dari bawah ke atas. Tentu saja kedua jurus tersebut tidak bisa disambungkan begitu saja.

Kakek tua itu menghela napas dan menggerutu, “Bodoh! Goblok! Hanya melulu mengikuti aturan tanpa bisa melakukan penyesuaian. Aku tidak heran karena kau ini murid Yue Buqun yang kaku dan tidak bisa melihat gelagat. Tidak bisa mengubah haluan sesuai keadaan. Suatu ilmu pedang harus dapat dimainkan secara bebas menurut keinginan. Terbang seperti awan, mengalir seperti air. Alami dan lembut; datang dan pergi dengan merdeka. Jurus pertama tadi memang berakhir dengan pedang mengacung ke atas. Lantas apa kau tidak bisa menariknya kembali sambil menusuk? Meskipun tidak ada teori ilmu pedang seperti itu, apa kemudian kau tidak bisa menciptakannya sendiri sesuai kebutuhan?”

Petunjuk ini seketika menyadarkan Linghu Chong bagaikan lonceng yang berbunyi dekat telinga. Tangannya lantas mengayunkan pedang tanpa keraguan untuk memainkan ketiga puluh jurus yang disebutkan si kakek tadi. Mula-mula ia memeragakan jurus Burung Feng Datang Menyembah. Belum tuntas jurus itu dimainkan, Linghu Chong melanjutkan dengan jurus Angsa Emas Membelah Angkasa. Jurus-jurus lainnya pun sambung menyambung diperagakan Linghu Chong tanpa cacad dan tenpa jeda. Dengan pikiran gembira tanpa beban ia memainkan semua jurus yang diperintahkan si orang tua dengan sempurna. Tepat pada jurus ketiga puluh yaitu jurus Denting Lonceng Dentum Tambur ia pun menghentikan permainan. Dalam hati Linghu Chong merasa sangat gembira; semacam perasaan bahagia yang selama ini belum pernah ia rasakan.

“Boleh juga,” sahut si kakek memuji namun dengan wajah datar tanpa senyuman. “Hanya saja, gerakanmu masih kaku dan lambat. Bagiku, masih jauh dari bagus. Namun kalau untuk melayani bangsat keparat ini aku rasa sudah cukup. Nah, sekarang majulah!”

Meskipun hatinya belum sepenuhnya percaya kalau si orang tua adalah Feng Qingyang, namun Linghu Chong yakin kalau laki-laki tersebut adalah ahli pedang papan atas. Maka, ia pun membungkuk memberi hormat sambil memegang pedang dengan ujung menghadap ke bawah.

Setelah itu, ia pun berpaling ke arah Tian Boguang dan berkata, “Saudara Tian, mari kita mulai lagi!”

“Untuk apa?” tanya Tian Boguang. “Aku sudah hafal ketiga puluh jurusmu itu. Jika kita bertanding lagi, tentu aku akan menang dengan tidak terhormat.”

“Jika kau tidak ingin bertarung, baiklah! Silakan kau pergi saja dari sini!” ujar Linghu Chong. “Aku masih ingin meminta banyak petunjuk dari sesepuh ini. Aku tidak ada waktu mengobrol denganmu. Maaf, aku tidak bisa menemanimu lagi.”

“Enak saja ucapanmu itu!” bentak Tian Boguang. “Jika kau tidak mau pergi denganku, itu berarti nyawaku melayang sia-sia karenamu.” Setelah berkata demikian ia pun menoleh ke arah si kakek tua. “Sesepuh Feng, Tian Boguang ini hanya bocah kemarin sore. Sudah pasti aku tidak pantas beradu jurus denganmu. Bila kau sampai turun tangan membantu dia, itu sama artinya dengan merendahkan kedudukanmu sendiri.”

Kakek tua itu menghela napas sambil mengangukkan kepala. Tanpa menjawab ia lantas mendekati sebongkah batu besar dan duduk di atasnya.

Melihat itu Tian Boguang merasa lega dan membentak ke arah Linghu Chong, “Awas seranganku!”

Bersamaan dengan itu golok Tian Boguang berkelebat ke arah kepala lawannya. Linghu Chong pun mengelak ke samping dan membalas tusukan sesuai petunjuk si kakek. Begitu serangan pertamanya lancar, serangan lainnya pun membanjir tanpa halangan. Yang ia gunakan kadang-kadang sesuai petunjuk si kakek, namun kadang pula di luar jurus-jurus tersebut.

Setelah memahami intisari ilmu pedang yang bebas bergerak, alami, dan merdeka, seketika itu pula kehebatan Linghu Chong maju pesat. Dengan sengit ia bertanding melawan Tian Boguang sampai lebih dari seratus jurus dan masih belum jelas siapa yang menang. Sampai akhirnya pemuda itu kehabisan tenaga sehingga gerakannya mulai lamban.

Tian Boguang pun membentak dan mengayunkan goloknya dengan ganas. Menyadari serangan tersebut sulit untuk dihindari, Linghu Chong pun nekad mengacungkan pedang ke arah dada lawan. Secepat kilat Tian Boguang memutar goloknya ke samping dan menangkis pedang Linghu Chong. Tanpa memberi kesempatan Linghu Chong menarik pedangnya, Tian Boguang lalu membuang goloknya dan melompat maju sekuat tenaga. Kedua tangannya lantas mencekik leher Linghu Chong sekuat tenaga.

Linghu Chong merasa sesak napas. Pedangnya pun terlepas dari genggaman. Terdengar suara Tian Boguang mengancam, “Jika kau masih bersikeras menolak turun gunung bersamaku, biar kucekik saja sampai mampus.”
 
Tian Boguang kalap dan mencekik Linghu Chong.

(Bersambung)