Bagian 52 - Pertemuan di Lembah Lima Tiran

Linghu Chong menghentakkan arak ke udara.

Linghu Chong sangat ingin mengetahui di mana keberdaan Kitab Pedang Penakluk Iblis untuk memulihkan nama baiknya dan menghapuskan kecurigaan sang guru, ibu-guru, adik kecil, dan segenap saudara seperguruan. Maka, ia pun tidak menjawab panggilan dari luar tersebut, melainkan tetap mendesak You Xun, “Di luar ada orang datang, lekas katakan!”

You Xun menjawab, “Hendaklah Tuan Muda Linghu maklum. Kedatangan orang-orang itu justru membuatku tidak leluasa untuk menerangkan masalah ini.”

Sejenak kemudian kembali terdengar suara derap kuda di jalanan. Paling tidak ada tujuh atau delapan penunggang kuda yang datang mendekat dan kemudian berhenti di depan rumah makan. Setelah dua rombongan tersebut bertemu, terdengarlah suara seseorang berwibawa menyapa, “Ketua Huang, apakah kau datang kemari untuk menyambut Tuan Muda Linghu?”

Lalu terdengar suara seorang tua menjawab, “Benar. Ternyata Majikan Pulau Sima sendiri juga datang kemari.”

Orang pertama yang bersuara berwibawa tadi berdeham sekali, disusul kemudian terdengar suara langkah kaki yang berat dan mantap melangkah masuk ke dalam rumah makan. Tampak seseorang bertubuh tinggi besar muncul dan bertanya, “Siapakah di antara kalian yang bernama Tuan Muda Linghu? Saya Sima Da, datang untuk menyambut dan mengantar Beliau menuju Lembah Lima Tiran untuk bertemu segenap kesatria gagah yang sudah menunggu di sana.”

Merasa tidak punya pilihan lain, Linghu Chong pun memberi hormat dan berkata, “Aku Linghu Chong ada di sini. Aku tidak berani menyusahkan Majikan Pulau Sima.”

“Hamba bernama Sima Da,” sahut Majikan Pulau Sima. “Karena dilahirkan dengan badan tinggi besar, maka orang tua memberi nama Da kepada hamba. Selanjutnya, Tuan Muda Linghu boleh langsung memanggil hamba Sima Da, atau Ah Da saja. Hamba tidak berani dipanggil Majikan Pulau segala.”

“Ah, mana boleh begitu? Aku tidak berani langsung memanggil nama kecil Tuan Sima,” ujar Linghu Chong. Ia lalu memperkenalkan Yue Buqun dan Ning Zhongze. “Beliau berdua adalah guru dan ibu-guruku.”

“Senang bertemu dengan Tuan dan Nyonya berdua,” sahut Sima Da sambil memberi hormat. Ia kemudian berpaling kepada Linghu Chong dan berkata, “Penyambutan hamba ini agak terlambat, mohon Tuan Muda Linghu sudi memberi maaf.”

Yue Buqun sudah menjabat sebagai Ketua Perguruan Huashan selama lebih dari sepuluh tahun. Selama ini ia sangat dihormati kaum persilatan. Akan tetapi, orang-orang di hadapannya saat ini, seperti Sima Da dan Nyonya Zhang bertujuh ternyata sama sekali tidak memandang kepadanya. Kalaupun mereka memberi hormat, itu semata-mata dilakukan demi Linghu Chong, dan ini terlihat jelas pada raut muka mereka. Hal ini jauh lebih menyinggung perasaan daripada mereka mencaci maki secara terang-terangan. Namun demikian, Yue Buqun seorang yang sangat pandai mengendalikan diri dan menyembunyikan kekesalan. Sama sekali ia tidak menunjukkan kemarahan sedikit pun.

Sementara itu, ketua perkumpulan yang bermarga Huang tadi juga sudah melangkah masuk ke dalam rumah makan. Orang ini sudah tua, dan usianya sekitar delapan puluhan tahun. Janggutnya yang putih panjang menjulai sampai di depan dada, namun semangatnya masih tampak menyala. Ia sedikit membungkuk di hadapan Linghu Chong, lalu berkata, “Tuan Muda Linghu, hamba Huang Boliu. Banyak anggota perkumpulan kami yang mencari makan di sekitar sini, tapi tidak sempat menyambut kedatangan Tuan Muda dengan baik. Atas dosa ini kami pantas dihukum mati.”

Menyaksikan orang tua itu, Yue Buqun terperanjat. Ia berpikir, “Apakah dia orangnya?” Hatinya pun bertanya-tanya karena pernah mendengar sepak terjang Partai Sungai Langit yang terdapat di sekitar hilir Sungai Kuning. Ketua partai ini bernama Huang Boliu yang merupakan sesepuh dunia persilatan di Daratan Tengah. Partai tersebut sangat besar, namun peraturannya longgar. Di dalamnya bercampur orang baik dan jahat, sehingga partai ini susah untuk menghindari perbuatan jahat dan melanggar hukum. Akibatnya, nama Partai Sungai Langit di dunia persilatan juga tidak terlalu baik. Meskipun demikian, partai ini memiliki banyak anggota dan jago ternama, dan merupakan partai terbesar di empat provinsi.

“Apakah orang tua ini adalah ‘Si Naga Hujan Berjanggut Perak’ Huang Boliu yang membawahi puluhan ribu anggota partai? Kalau benar dia orangnya, mengapa bisa begitu hormat kepada Chong’er, anak kemarin sore yang baru muncul?” demikian pikir Yue Buqun.

Rasa bimbang dan ragu di hati Yue Buqun terjawab sudah ketika Yan Sanxing, Si Pengemis Jahat Sepasang Ular menyapa orang tua itu, “Naga Tua Berjanggut Perak, kau adalah penguasa wilayah sini. Apa kau tidak ingin menyambut kami, kawan-kawanmu yang datang dari jauh ini?”

Orang tua itu ternyata memang Huang Boliu, Si Naga Hujan Berjanggut Perak. Ia bergelak tawa dan menjawab, “Kalau bukan karena Tuan Muda Linghu, bagaimana mungkin aku bisa mengundang begitu banyak kaum kesatria gagah untuk berkumpul di sini? Semua orang yang berkunjung kemari adalah tamu-tamu Partai Sungai Langit, tentu saja semua kami sambut baik. Di Lembah Lima Tiran sudah kami siapkan sebuah jamuan sekadarnya. Bagaimana kalau Tuan Muda Linghu dan sobat-sobat sekalian berangkat ke sana?”

Linghu Chong melihat rumah makan kecil tersebut telah dipenuhi banyak orang. Dalam keadaan ribut seperti ini, You Xun tidak mungkin mengungkapkan rahasia yang ia simpan. Untungnya, setelah semua keributan yang terjadi tadi, kecurigaan sang guru dan adik kecil sepertinya sudah banyak berkurang. Kelak di kemudian hari, ia yakin semua dapat terungkap dengan jelas, sehingga rasanya tidak perlu untuk terburu-buru membersihkan nama. Berpikir demikian, ia pun berkata kepada Yue Buqun, “Guru, apakah kita perlu pergi bersama mereka? Mohon petunjuk dan arahan dari Guru.”

Yue Buqun tidak segera menjawab, tetapi sedang berpikir, “Orang-orang yang berkumpul di Lembah Lima Tiran sudah pasti tidak ada yang berasal dari aliran lurus bersih. Bagaimana mungkin aku bisa berkumpul dengan mereka? Sepertinya penghormatan yang mereka berikan kepada Chong’er juga basa-basi belaka. Orang-orang ini bertujuan memancing Chong’er supaya masuk ke dalam golongan mereka. Kejadian yang menimpa Liu Zhengfeng dari Perguruan Hengshan hendaknya menjadi peringatan, barangsiapa bergaul dengan aliran sesat, pada akhirnya akan kehilangan seluruh wibawa dan martabatnya. Namun, dalam keadaan seperti ini, bagaimana mungkin aku dapat menolak?”

You Xun berkata, “Tuan Yue, saat ini suasana di Lembah Lima Tiran sangat ramai. Banyak sekali majikan gua dan pulau yang datang ke sana, padahal mereka sudah lebih dari sepuluh tahun meninggalkan dunia persilatan. Kami semua berkumpul di sana demi Tuan Muda Linghu. Tuan Yue sudah mendidik dan membesarkan seorang pendekar muda gagah berani yang berbakat dalam ilmu sastra dan ilmu silat, tentu nama besar Tuan Yue akan semakin harum. Saya berani menebak, sudah pasti Tuan Yue akan ikut berkunjung ke Lembah Lima Tiran. Namun jika Tuan Yue menolak untuk datang, bukankah akan sangat mengecewakan kami semua?”

Yue Buqun masih tidak menjawab. Sementara itu, Sima Da dan Huang Boliu sudah lebih dulu memapah dan agak menggendong tubuh Linghu Chong keluar rumah makan. Di luar sudah menunggu sebuah kereta untuk mengangkut pemuda itu. Chou Songnian, Yan Sanxing, Sepasang Orang Aneh Tongbai, dan yang lain, serta Enam Dewa Lembah Persik berebut ikut keluar.

Yue Buqun dan Ning Zhongze hanya bisa saling pandang dengan bibir tersenyum hambar. Mereka sama-sama berpikir, “Orang-orang itu hanya menginginkan kedatangan Chong’er. Kita datang atau tidak, mereka sama sekali tidak peduli.”

Yue Lingshan yang terheran-heran segera berkata, “Ayah, bagaimana kalau kita ikut ke sana? Aku ingin melihat tipu musihat seperti apa yang mereka persiapkan untuk Kakak Pertama.” Sejenak kemudian, hatinya merasa takut saat teringat nama Sepasang Beruang Gurun Utara yang gemar makan daging manusia. Namun mengingat mereka membebaskannya karena memandang muka si kakak pertama, ia pun yakin orang-orang itu tidak akan mengancam akan memakan dagingnya lagi. Meskipun demikian, jika nanti ia jadi pergi ke Lembah Lima Tiran, ia berencana untuk tidak akan jauh-jauh dari sisi sang ayah.

Yue Buqun mengangguk-angguk kemudian melangkah keluar. Setelah tadi muntah-muntah di kapal, ia sama sekali belum makan dan minum. Tak disangka langkah kakinya terasa goyah, tenaga dalamnya pun tidak murni lagi. Diam-diam ia merasa terkejut dan mengakui kehebatan racun Lan Fenghuang dari Sekte Lima Dewi.

Kelompok Sima Da dan kelompok Huang Boliu sudah mempersiapkan banyak kuda di luar rumah makan. Mereka pun membagi-bagi kuda itu untuk Yue Buqun, Ning Zhongze, Enam Dewa Lembah Persik, Kelompok Nyonya Zhang, dan yang lainnya. Murid-murid laki-laki Huashan yang tidak kebagian kuda memilih berjalan bersama orang-orang Partai Sungai Langit, anak buah Huang Boliu, dan orang-orang Pulau Paus Panjang, pengikut Sima Da menuju Lembah Lima Tiran.

Lembah Lima Tiran sendiri terletak di perbatasan Provinsi Shandong dan Henan. Di sebelah barat terdapat Heze dan Dingtao yang masuk wilayah Shandong, sedangkan di sebelah timur terdapat Dongming yang masuk wilayah Henan. Tanah di sekitar daerah ini lumayan datar dan banyak memiliki rawa-rawa. Kalau dipandang dari jauh, Lembah Lima Tiran tidak terlalu tinggi, hanya seperti sebuah bukit saja. Para penunggang kuda dan kereta itu berkendara menuju ke arah timur. Setelah beberapa kilometer, mereka disambut oleh beberapa penunggang kuda yang melaju dari arah timur. Para penunggang kuda itu kemudian turun dan memberi salam kepada Linghu Chong di dalam kereta. Suara mereka terdengar lantang, tetapi tutur kata mereka sangat sopan.

Ketika perjalanan rombongan itu semakin mendekati Lembah Lima Tiran, jumlah orang yang menyambut semakin banyak. Orang-orang itu memberitahukan nama mereka satu per satu, tetapi Linghu Chong kesulitan menghafal nama mereka yang begitu banyak. Kereta yang ditumpanginya itu akhirnya sampai di depan sebuah bukit yang tinggi, dan di atas bukit itu terlihat sebuah hutan cemara yang lebat dengan jalan setapak yang berkelok-kelok menuju ke puncaknya.

Huang Boliu memapah Linghu Chong dan membantunya turun dari kereta. Di luar kereta sudah bersiap dua orang laki-laki bertubuh kekar mengusung sebuah tandu dari bambu yang memiliki dudukan empuk. Linghu Chong merasa tidak enak hati jika ia harus duduk di atas tandu, sementara guru, ibu-guru, dan adik kecil berjalan kaki. Maka, ia pun berkata, “Ibu Guru, silakan duduk di tandu ini. Saya berjalan kaki saja.”

Ning Zhongze tersenyum dan menjawab, “Yang mereka sambut adalah Tuan Muda Linghu, bukan ibu-gurumu ini.”

Usai berkata demikian, wanita itu mengerahkan ilmu ringan tubuh untuk mendaki jalanan bukit. Yue Buqun dan Yue Lingshan segera menyusul dengan langkah cepat. Mau tidak mau, Linghu Chong terpaksa duduk di dalam tandu yang sudah dipersiapkan untuknya itu. Tandu itu segera diusung menuju ke sebidang tanah lapang yang terletak di tengah hutan cemara di atas bukit tersebut. Dari segala penjuru terlihat orang-orang bermunculan. Raut muka dan penampilan mereka terlihat kasar. Sepertinya mereka berasal dari golongan hitam di dunia persilatan.

Orang-orang itu datang membanjir seperti kawanan lebah. Mereka ada yang bertanya, ada pula yang berkata menyampaikan sesuatu.

“Apakah ini Tuan Muda Linghu?”

“Ini ada obat mujarab turun-temurun dari leluhur hamba. Obat ini bisa membangkitkan orang mati.”

“Ini ada ginseng tua yang saya gali dari Gunung Changbai dua puluh tahun silam. Sekarang sudah matang dan bisa Tuan Muda Linghu gunakan.”

“Saya membawa tujuh orang tabib yang paling pandai dari timur Provinsi Shandong. Saya mengundang mereka semua untuk memeriksa nadi Tuan Muda Linghu.”

Linghu Chong melihat tujuh orang tabib dengan tangan diikat dengan tali tambang secara berendeng. Raut muka mereka terlihat cemas dengan wajah pucat pasi. Jelas bahwa mereka sengaja dipaksa untuk datang oleh orang yang baru saja bicara itu, sedangkan kata “mengundang” hanyalah basa-basi belaka.

Selanjutnya ada seseorang yang memikul dua buah keranjang besar sambil berkata, Segala macam obat-obatan berharga dan langka di Kota Jinan telah hamba ambil kemari. Semua hamba siapkan, kalau Tuan Muda membutuhkan suatu bahan obat, pasti telah tersedia.”

Orang-orang yang terus berdatangan itu kebanyakan berpenampilan aneh, dengan raut muka ganas dan kejam, namun tutur kata mereka terlihat tulus. Melihat orang-orang itu tampak bersungguh-sungguh, Linghu Chong sama sekali tidak menaruh curiga, bahkan sangat berterima kasih. Akhir-akhir ini ia terus-menerus mengalamai kemalangan, hidup dan mati sukar dipastikan. Itu sebabnya kini sifatnya lebih halus dan mudah tersentuh. Perasaannya bergolak dan tanpa terasa air mata pun meleleh di pipi.

Sambil memberi hormat, pemuda itu berkata, “Teman-teman semua, Linghu Chong hanyalah bocah kampung tak bernama, namun tiba-tiba menerima kebaikan kalian semua … kalian begitu peduli … aku merasa … aku benar-benar tak dapat … tak dapat membalasnya ….” Demikian ia berbicara sambil tersedu sedan. Tak kuasa menyelesaikan perkataannya, pemuda itu segera berlutut di tanah dan membungkukkan badan.

Orang-orang itu menjadi ribut. Mereka pun berkata, “Kami tidak berani menerima penghormatan ini.”

“Mohon Tuan Muda Linghu segera berdiri.”

“Kami tidak pantas menerimanya.”

Serentak orang-orang itu pun berlutut memberi hormat. Dalam sekejap lebih dari seribu orang yang berada di Lembah Lima Tiran berlutut semua, kecuali Yue Buqun, Ning Zhongze, dan murid-murid Huashan, serta Enam Dewa Lembah Persik. Yue Buqun dan orang-orang Huashan segera berpaling dan melangkah ke samping supaya tidak dikira menerima penghormatan itu, sedangkan Enam Dewa Lembah Persik terlihat menunjuk-nunjuk orang-orang yang berlutut itu sambil tertawa terkekeh-kekeh dan berbicara tak karuan.

Setelah saling bersujud beberapa kali dengan ribuan pendekar itu, Linghu Chong bangkit berdiri dengan air mata meleleh di pipinya. Dalam hati ia berkata, “Tak peduli apa maksud kawan-kawan ini datang kemari. Setelah kejadian ini, Linghu Chong rela tubuhnya hancur berkeping-keping dan menempuh bahaya apa pun demi mereka.”

“Tuan Muda Linghu, mohon untuk beristirahat di gubuk itu,” kata Huang Boliu, Ketua Partai Sungai Langit. Orang tua berjanggut panjang itu mempersilakan Linghu Chong dan Yue Buqun suami-istri untuk masuk ke dalam sebuah gubuk beratap alang-alang di depan sana.

Gubuk tersebut seperti baru saja didirikan. Di dalamnya terdapat beberapa buah meja dan kursi. Di atas meja tersedia poci dan cawan teh. Ketika Huang Boliu melambaikan tangan, beberapa orang pengikutnya segera datang untuk membawa guci arak dan menuangkannya. Disusul kemudian datang pula beberapa orang membawa daging sapi dan babi, atau makanan lain yang cocok sebagai teman minum arak.

Linghu Chong mengambil cawan arak dan melangkah keluar gubuk. Dengan suara lantang ia berkata, “Kawan-kawan sekalian, Linghu Chong dan kalian baru bertemu. Maka itu, kita harus minum bersama untuk menjalin persahabatan. Mulai saat ini kalian semua adalah sahabat Linghu Chong. Susah dan senang akan kita tanggung bersama. Mari kita minum secawan arak ini bersama-sama sebagai sahabat.”

Usai berkata demikian ia lantas mengangkat dan menghentakkan tangan kanannya yang memegang cawan. Arak di dalamnya pun tercurah ke udara dan turun kembali menjadi ribuan tetes yang berhamburan ke segala penjuru.

Ribuan pendekar di tempat itu pun bersorak sorai. Suara mereka meledak-ledak bagaikan guntur saat berkata dengan serentak, “Ucapan Tuan Muda Linghu sangat benar. Mulai hari ini kami akan menanggung susah dan senang bersamamu.”

Yue Buqun tampak mengernyitkan dahi sambil berpikir, “Sifat Chong’er ceroboh dan suka terburu-buru, tidak memikirkan akibat dari perbuatannya. Begitu orang-orang ini bersikap baik kepadanya, langsung saja ia berkata akan menanggung susah dan senang bersama mereka. Melihat orang-orang ini, aku khawatir tidak satu pun dari mereka yang taat pada hukum. Sama seperti Tian Boguang, jangan-jangan mereka suka merampok dan memerkosa. Apakah dengan orang-orang seperti itu kau akan menanggung susah dan senang? Kita ini anggota aliran lurus bersih, berkewajiban memusnahkan mereka. Namun kau justru ingin senasib sepenanggungan dengan mereka.”

Linghu Chong melanjutkan, “Aku sama sekali tidak tahu mengapa kawan-kawan sekalian begitu memperhatikan Linghu Chong. Tapi bagiku, tahu alasannya atau tidak juga bukan menjadi masalah. Yang jelas, jika ada hal yang mempersulit kalian, silakan katakan saja dengan terus terang. Laki-laki sejati selalu bersikap jujur dan terus terang, selalu mengatakan apa yang ada di dalam pikirannya. Kalau ada hal yang dapat aku lakukan, maka pasti akan aku lakukan untuk kalian, meskipun harus melewati gunung golok dan hutan pedang.”

Ia berpikir belum pernah bertemu orang-orang itu, namun mereka berusaha keras untuk bisa bersahabat dengannya, tentu mereka ingin meminta bantuannya untuk melakukan sesuatu yang besar. Karena ia sudah berjanji pada mereka, meskipun kelak tidak mampu menepatinya juga tidak menjadi soal, karena umurnya juga tidak akan lama lagi.

Huang Boliu menjawab, “Mengapa Tuan Muda Linghu berkata demikian? Kami semua mengagumi dan menghormatimu. Ketika kawan-kawan semua mendengar bahwa Tuan Muda Linghu akan berkunjung, kami pun secara kebetulan berkumpul di sini agar dapat secara langsung melihat dan menyaksikan kehadiran Tuan Muda yang anggun dengan penuh penghormatan. Kami sama sekali tidak meminta sesuatu dari Tuan Muda. Justru kami mendengar Tuan Muda Linghu agak kurang sehat, sehingga kami pun mengundang beberapa tabib ternama serta mencarikan sejumlah bahan obat. Kami semua tidak berasal dari kelompok yang sama. Kami sebelumnya jarang bertemu, atau hanya sekadar mengenal nama saja, bahkan ada juga yang saling tidak akur. Namun karena Tuan Muda Linghu berkata mulai sekarang kita semua harus menanggung susah dan senang bersama-sama, maka mulai saat ini kami semua harus bersahabat.”

Para pendekar itu serentak menanggapi, “Benar sekali! Ucapan Ketua Huang sama sekali tidak salah.”

Orang yang membawa tujuh tabib tadi maju menghampiri Linghu Chong dan berkata, “Tuan Muda Linghu, bagaimana kalau Tuan Muda masuk ke dalam gubuk supaya para tabib terkenal ini dapat memeriksa nadi Anda?”

Linghu Chong tidak segera menjawab, tetapi berpikir, “Ping Yizhi yang memiliki ilmu pengobatan begitu tinggi saja berkata bahwa lukaku ini tidak bisa disembuhkan. Ketujuh tabib yang kau bawa itu bisa melakukan apa?” Namun karena khawatir menyinggung perasaan orang itu, ia pun segera melangkah kembali menuju ke arah gubuk.

Orang tadi menyeret ketujuh tabib yang diikat berentengan seperti serenteng katak. Linghu Chong tersenyum dan berkata, “Saudara, mohon ikatan mereka dibuka saja. Aku rasa mereka tidak akan melarikan diri.”

Orang itu menjawab, “Karena Tuan Muda Linghu yang menyuruh, maka aku akan melepaskan mereka.” Usai berkata demikian ia segera memutuskan semua tali tambang yang mengikat tujuh tabib tersebut. Setelah itu ia berkata, “Kalau kalian tidak bisa menyembuhkan Tuan Muda Linghu, maka leher kalian akan putus seperti tali tambang ini.”

Salah seorang tabib menjawab, “Hamba … hamba pasti berusaha sebisa-bisanya … tapi di muka bumi ini … di muka bumi ini tidak ada tabib yang mampu memberikan jaminan kesembuhan ….”

Tabib yang lain menyahut, “Kalau melihat tuan muda ini segar bugar dan penuh semangat, penyakitnya pasti dapat disembuhkan.”

Beberapa tabib lainnya segera masuk ke dalam gubuk untuk memeriksa denyut nadi Linghu Chong. Tiba-tiba terdengar suara seseorang berteriak, “Keluar semua! Kalian tabib gadungan tidak berguna bisa apa?”

Linghu Chong berpaling melihat siapakah orang yang baru saja bersuara itu. Ternyata Ping Yizhi, Si Tabib Sakti Pembunuh telah tiba. Dengan perasaan senang ia pun menyapa, “Sesepuh Ping juga tiba. Kurasa para tabib ini memang tidak ada gunanya.”

Ping Yizhi melangkah masuk ke dalam gubuk. Ia mengangkat kaki kiri dan menendang seorang tabib keluar. Kemudian ia mengangkat kaki kanan dan menendang seorang tabib lainnya keluar pula. Orang yang membawa ketujuh tabib tadi mengenali dan sangat mengagumi Ping Yizhi. Ia pun berkata, “Tabib Ping yang termashur di dunia telah datang. Kalian bertujuh apa masih berani unjuk kebodohan di hadapan Beliau?”

Usai berkata demikian orang itu lalu menendang keluar dua orang tabib yang tadi ia ajukan. Tanpa menunggu pantat mereka menjadi sasaran, ketiga tabib lainnya segera merangkak keluar gubuk. Setelah semua tabib yang ia bawa keluar, orang tadi berkata, “Tuan Muda Linghu, Tabib Ping, aku telah lancang dan memberanikan diri. Mohon dimaafkan.”

Tanpa ampun, Ping Yizhi mengangkat kaki kirinya dan menendang orang itu sampai melayang keluar dari gubuk. Hal ini benar-benar di luar dugaan Linghu Chong yang hanya bisa tercengang kaget.

Ping Yizhi tidak berkata apa-apa. Ia lalu duduk dan memeriksa denyut nadi di pergelangan kanan Linghu Chong. Selang agak lama, ia kemudian memeriksa pergelangan kiri. Ia terus-menerus melakukan hal itu sambil mengernyitkan dahi dan memejamkan mata, sepertinya sedang berpikir keras.

Linghu Chong berkata, “Sesepuh Ping, hidup mati manusia tergantung suratan takdir. Luka Linghu Chong ini parah dan susah disembuhkan. Aku sudah dua kali merepotkan Sesepuh Ping, dan aku sangat berterima kasih. Sesepuh Ping tidak perlu bersusah payah lagi.”

Di luar gubuk terdengar suara hiruk-pikuk yang sangat riuh, diikuti suara para pendekar bersenda gurau dan main tebak-tebakan sambil menyebut soal arak. Sepertinya Partai Sungai Langit telah mendatangkan sejumlah arak dan makanan untuk ribuan pendekar yang hadir di tempat itu. Pikiran Linghu Chong melayang keluar, ingin sekali ia bersenang-senang dengan ribuan orang itu. Namun, Ping Yizhi masih memeriksa kedua nadi pada pergelangan tangan kanan dan kirnya secara bergantian tanpa henti. Diam-diam pemuda itu berpikir, “Tabib Ping ini punya nama Yizhi, artinya ‘satu jari’. Ia menyebut dirinya bisa menyembuhkan orang hanya dengan satu jari, juga bisa membunuh orang dengan satu jari pula. Namun sekarang dia memeriksa nadiku apa benar hanya memakai satu jari saja? Sepertinya ia menggunakan sepuluh jari sekaligus.”

Tiba-tiba muncul seseorang melongok ke dalam gubuk. Ternyata dia adalah Dewa Dahan Persik yang berkata, “Linghu Chong, kenapa kau tidak ikut minum-minum?”

Linghu Chong menjawab, “Aku pasti ikut minum. Tunggulah aku, jangan buru-buru puas dulu.”

“Baiklah!” sahut Dewa Dahan Persik. “Tabib Ping, kau cepatlah sedikit!” Sambil berbicara demikian, ia menarik kepalanya keluar dan kembali ke keramaian.

Ping Yizhi perlahan-lahan menarik tangannya, kemudian memejamkan mata. Telunjuk kanannya mengetuk-ketuk meja. Sepertinya ia agak bingung. Selang agak lama, tabib bertubuh gemuk itu membuka mata dan berkata, “Tuan Muda Linghu, di dalam tubuhmu ada tujuh jenis hawa murni yang saling bertumbukan dan tidak dapat dijinakkan, ataupun dikeluarkan. Ini bukan penyakit yang disebabkan oleh racun ataupun luka senjata, bukan pula karena bibit penyakit demam atau panas dalam, sehingga tidak dapat kusembuhkan dengan tusuk jarum ataupun obat-obatan.”

Linghu Chong hanya menjawab, “Benar.”

Ping Yizhi melanjutkan, “Sejak aku memeriksa denyut nadi Tuan Muda Linghu di Kota Zhuxian, aku telah menemukan suatu cara pengobatan. Jika beruntung, cara ini mungkin berguna untuk menyembuhkanmu. Aku berniat mengundang tujuh orang yang memiliki tenaga dalam tinggi untuk bekerja sama mengeluarkan ketujuh jenis hawa murni yang ada di dalam tubuh Tuan Muda dengan sekali gebrak. Hari ini aku telah mengajak tiga orang untuk datang. Bagiku tidak sulit untuk mendapatkan dua orang hebat lagi di antara pengunjung yang hadir. Untuk dua orang sisanya, bisa ditambah dengan gurumu yang terhormat, Tuan Yue, dan aku sendiri. Dengan cara itu kau bisa disembuhkan. Tetapi baru saja aku memeriksa denyut nadi Tuan Muda, ternyata sudah banyak mengalami perubahan yang rumit dan luar biasa.”

“Oh!” seru Linghu Chong kaget.

Ping Yizhi melanjutkan, “Dalam beberapa hari terakhir ini telah terjadi empat perubahan besar dalam diri Tuan Muda Linghu. Pertama, Tuan Muda telah minum beberapa macam obat penguat, di antaranya ginseng, umbi Shouwu, jamur Lingzhi, jamur Fuling, dan obat-obatan langka lainnya. Tapi obat-obatan itu sebenarnya dibuat untuk kaum wanita.”

“Wah!” seru Linghu Chong. “Ucapan Sesepuh Ping sangat benar! Luar biasa! Ilmu Sesepuh Ping jarang ada tandingannya di dunia.”

Ping Yizhi bertanya, “Bagaimana caranya Tuan Muda Linghu bisa meminum obat-obatan penguat itu? Apakah mungkin disebabkan oleh kesalahan tabib gadungan? Sungguh menyebalkan!”

Linghu Chong hanya terdiam dan berpikir, “Zu Qianqiu telah mencuri ‘Delapan Pil Penyambung Nyawa’ milik Lao Touzi dan memberikannya kepadaku. Sebenarnya ia bermaksud baik, hanya saja tidak mengetahui kalau obat penguat untuk kaum laki-laki dan perempuan ternyata berbeda. Kalau aku menceritakan hal ini, Tabib Ping pasti menyalahkannya. Lebih baik aku diam saja.” Setelah berpikir demikian, ia pun berkata, “Ini semua salahku sendiri. Aku tidak bisa menyalahkan orang lain.”

Ping Yizhi menjelaskan, “Tubuh Tuan Muda sedang tidak kekurangan tenaga, justru sebaliknya, hawa murni dalam tubuhmu terlalu banyak. Tapi kemudian kau minum obat penguat, bagaimana ini? Coba bayangkan, ini seperti air Sungai Yangtze sudah meluap, tetapi petugas pengatur air justru menambahkan air dari Danau Dongting dan Danau Boyang. Sungguh bencana! Obat penguat yang kau minum itu hanya bermanfaat untuk gadis muda yang cacat sejak lahir atau lemah tak berdaya, tetapi Tuan Muda Linghu justru meminumnya, aih, sungguh celaka!”

Linghu Chong berpikir, “Aku berharap setelah minum darahku, Nona Busi, putri Lao Touzi dapat disembuhkan.”

Ping Yizhi melanjutkan, “Perubahan besar kedua adalah secara mendadak Tuan Muda Linghu kehilangan banyak darah. Dalam keadaan sakit seperti ini, mengapa kau justru berkelahi dengan orang? Kalau kau bertarung dengan sengit seperti ini, bagaimana kau dapat memperpanjang umurmu? Aih, dia sangat menghargaimu, tapi kau justru tidak menghargai diri sendiri. Seorang laki-laki sejati mampu menunda balas dendam sepuluh tahun lagi, tapi mengapa Tuan Muda tidak sabaran dan buru-buru seperti ini?” Sambil berbicara demikian kepalanya terlihat menggeleng-geleng dengan raut wajah menunjukkan perasaan tidak setuju. Andai saja yang sedang ia obati bukan Linghu Chong, tentu sudah ia tampar, atau setidaknya sudah ia maki-maki.

Linghu Chong hanya bisa berkata, “Nasihat Sesepuh Ping benar.”

Ping Yizhi melanjutkan, “Kalau hanya kehilangan banyak darah juga tidak menjadi soal. Hal ini tidak sukar untuk dipulihkan. Tapi kau juga bergaul dengan kaum Sekte Lima Dewi dari Yunnan, serta meminum Arak Agung Lima Dewi milik mereka.” Sampai di sini nada bicaranya semakin lantang dan jelas.

“Arak Agung Lima Dewi?” tanya Linghu Chong menegas.

Ping Yizhi menjawab, “Arak Agung Lima Dewi adalah arak pusaka simpanan Sekte Lima Dewi yang diturunkan dari satu angkatan ke angkatan selanjutnya. Di dalamnya terendam lima jenis makhluk berbisa kecil yang amat langka. Konon kabarnya, setiap makhluk berbisa itu harus dipelihara selama sepuluh tahun lebih. Selain itu, arak ini juga mengandung puluhan jenis sari bunga dan tumbuhan aneh. Dipadukan dengan kelima jenis binatang berbisa tadi, sehingga arak tersebut memiliki khasiat yang sangat ampuh. Orang yang meminumnya tidak bisa diserang penyakit, kebal terhadap segala jenis racun, dan secara tiba-tiba mendapatkan tambahan tenaga dalam seperti berlatih selama sepuluh tahun. Arak ini adalah obat penguat yang paling luar biasa di dunia. Aku si tua ini sudah lama ingin melihatnya, tapi Lan Fenghuang itu kabarnya sangat ketat menjaga kehormatan dirinya, tidak pernah berbicara dengan sembarang laki-laki. Tidak disangka, ia justru memberikan arak obat milik sektenya yang berharga itu kepadamu. Aih, sungguh kau anak muda yang romantis, menebar pesona di mana-mana, tapi malah menuai bencana bagi dirimu sendiri.”

Linghu Chong hanya tersenyum kecut dengan wajah menahan malu, sambil berkata, “Ketua Lan dan aku hanya berjumpa sekali di atas Sungai Kuning itu saja. Ia menemuiku untuk memberikan arak pusaka yang katanya arak khas suku Miao itu. Selain itu, kami sama sekali tidak pernah berhubungan.”

Ping Yizhi menatap kepadanya tanpa berkedip. Selang agak lama tabib bertubuh gemuk itu mengangguk-angguk kemudian berkata, “Aku bisa menebak, Lan Fenghuang memberikan arak pusaka sektenya semata-mata demi memandang kepadanya. Namun arak obat itu justru menambah tenaga dalammu yang seharusnya tidak perlu ditambah. Akibatnya, penyakitmu akan semakin parah. Lagipula, meskipun arak tersebut dapat memperkuat daya tahan tubuh, namun juga mengandung racun. Huh, celaka, kacau semuanya! Sekte Lima Dewi hanya mengandalkan beberapa resep warisan nenek moyang mereka yang aneh. Lan Fenghuang si gadis cilik itu tahu apa soal ilmu pengobatan? Kentut! Semuanya jadi kacau balau!”

Linghu Chong mendengarkannya memaki-maki. Ia merasa watak Ping Yizhi teralu mudah panas, namun dengan wajah terlihat suram serta dada naik turun, pertanda si tabib sangat prihatin dan menaruh perhatian kepadanya. Hal ini membuatnya menyesal dan berkata, “Sesepuh Ping, Ketua Lan bermaksud baik ….”

“Bermaksud baik, bermaksud baik!” sergah Ping Yizhi dengan nada gusar. “Huh, semua tabib gadungan yang mengobati orang sampai mati bukankah pada awalnya juga bermaksud baik? Apa kau tahu kalau setiap hari orang yang mati karena diobati tabib gadungan jumlahnya lebih banyak daripada yang mati karena terkena golok di dunia persilatan?”

“Itu sangat mungkin terjadi,” jawab Linghu Chong.

“Apa maksudmu dengan ‘sangat mungkin terjadi’? Memang begitulah kenyatannya!” seru Ping Yizhi. “Atas dasar apa Lan Fenghuang merasa mampu mengobati penyakitmu? Memangnya siapa dia berani ikut-ikutan mengurusi orang yang sedang kuobati? Sekarang di dalam darahmu terdapat banyak racun. Kalau satu per satu racun itu dipunahkan, bisa-bisa mereka bertumbukan dengan ketujuh hawa murni itu. Jangan-jangan tidak sampai enam jam kau sudah kehilangan nyawa.”

Menyadari apa yang telah terjadi, Linghu Chong berpikir, “Di dalam darahku sekarang terkandung banyak racun, tapi belum tentu disebabkan karena aku meminum Arak Agung Lima Dewi itu. Bisa jadi itu karena darah yang disalurkan oleh Ketua Lan dan keempat gadis Miao anak buahnya kepadaku. Sehari-hari mereka bergaul dengan benda-benda beracun, makanan dan minuman mereka pun mengandung racun. Tidak aneh jika dalam darah mereka terkancung racun pula. Hanya saja karena mereka sudah terbiasa hidup seperti itu sehingga tubuh mereka sudah kebal. Mengenai darah mereka yang sudah bercampur dengan darahku tidak perlu kuberitahukan kepada Sesepuh Ping, karena bisa membuatnya semakin naik pitam.”

Setelah berpikir demikian, ia pun berkata, “Ilmu pengobatan sangat rumit dan mendalam. Tidak semua orang bisa memahaminya.”

Ping Yizhi menghela napas dan berkata, “Kalau hanya masalah minum obat penguat, kehilangan banyak darah, atau minum arak obat, aku masih punya cara untuk mengobatinya. Tapi perubahan besar pada dirimu yang keempat benar-benar membuatku tak habis pikir. Aih, ini akibat perbuatanmu sendiri!”

Linghu Chong menanggapi, “Benar, ini akibat perbuatanku sendiri.”

Ping Yizhi melanjutkan, “Akhir-akhir ini, mengapa kau tiba-tiba putus asa dan tidak ingin hidup lagi? Apa yang sebenarnya terjadi? Ada masalah berat apa yang sedang kauhadapi? Dulu saat aku memeriksa denyut nadimu di Kota Zhuxian, aku merasakan meskipun lukamu parah dan penyakitmu aneh, namun denyut nadimu kuat, jiwamu penuh harapan. Waktu itu aku memperpanjang hidupmu sampai seratus hari, lalu dalam seratus hari itu entah bagaimana aku harus bisa menemukan cara untuk menyembuhkan penyakitmu yang aneh. Saat itu aku tidak begitu yakin apakah bisa menyembuhkanmu, sehingga aku tidak mau buru-buru menjelaskan rencanaku kepadamu. Namun anehnya, hari ini aku merasa kau sama sekali tidak memiliki kekuatan, mengapa?”

Ketika mendengar pertanyaan itu, perasaan Linghu Chong langsung sedih. Pemuda itu berpikir, “Saat Guru mencurigai aku menggelapkan Kitab Pedang Penakluk Iblis milik Lin Kecil, aku merasa tidak terlalu sedih. Sebagai laki-laki sejati aku tidak perlu merasa khawatir karena kebenaran pasti akan terungkap. Namun … namun siapa sangka Adik Kecil juga curiga kepadaku? Demi Lin Kecil, ia memperlakukan aku seperti sampah yang tidak berguna. Lantas, apa artinya aku hidup seperti ini?”

Ping Yizhi tidak menunggu jawaban dari Linghu Chong. Tabib itu terus saja berbicara, “Dari denyut nadimu, sepertinya yang sedang kau hadapi adalah masalah asmara. Sebenarnya semua tutur kata perempuan di muka bumi ini hambar, wajah mereka menjijikkan, sifat mereka aneh dan tidak masuk akal, watak mereka pun kurang sabaran. Yang terbaik adalah apabila kita bisa menghindari mereka jauh-jauh. Kalau nasibmu jelek, meskipun naik ke langit dan bersembunyi di dasar bumi tetap saja kau tidak dapat menghindar. Kalau menghadapi masalah seperti itu terpaksa kau harus menerima mereka, bersikap sopan pada mereka, meskipun tanpa ketulusan. Kenapa kau tidak paham soal ini dan malah merindukan mereka siang dan malam? Salah besar! Salah besar! Meskipun … meskipun dia … dia … aih, aku harus bagaimana?” Sambil berbicara ia terlihat menggeleng-gelengkan kepala.

Linghu Chong berbicara dalam hati, “Istrimu memang hambar tutur katanya, menjijikkan wajahnya, sifatnya aneh, dan wataknya tidak sabaran. Tapi, tidak semua perempuan di muka bumi seperti istrimu itu. Huh, kau memakai istrimu sebagai tolok ukur semua perempuan di dunia, sungguh lucu. Andaikan Adik Kecil benar-benar hambar tutur katanya, menjijikkan wajahnya ….”

Pikiran Linghu Chong terpotong saat ia melihat Dewa Bunga Persik masuk ke dalam gubuk sambil memegang dua mangkuk besar berisi arak di kedua tangannya. Ia berkata, “Tabib Ping, mengapa kau belum menyembuhkan dia?”

Wajah Ping Yizhi berubah masam dan berkata, “Aku tidak bisa menyembuhkan dia.”

Dewa Bunga Persik tertegun dan berkata, “Tidak bisa disembuhkan? Lalu, apa yang akan kau lakukan?” Kemudian ia berpaling kepada Linghu Chong dan berkata, “Bagaimana kalau kita minum arak saja?”

“Baik!” jawab Linghu Chong.

“Kau tidak boleh pergi! Kau harus tetap di sini!” bentak Ping Yizhi dengan nada gusar. Dewa Bunga Persik sampai-sampai melonjak kaget. Buru-buru ia berbalik dan kabur hingga kedua mangkuk arak di tangan tumpah dan membasahi tubuhnya.

Ping Yizhi berkata dengan suara pelan, “Tuan Muda Linghu, aku khawatir penyakitmu sukar disembuhkan, bahkan oleh dewa yang mahasakti sekalipun. Namun, hidupmu masih bisa diperpanjang beberapa bulan atau beberapa tahun lagi. Syaratnya, kau harus menuruti perkataanku. Pertama, kau harus berhenti minum arak. Syarat kedua, kau harus bisa mengendalikan diri, sama sekali tidak boleh tergoda oleh kecantikan wanita. Jangankan main perempuan, memikirkan saja tidak boleh. Ketiga, kau tidak boleh lagi berkelahi dengan orang. Kalau kau bisa memenuhi ketiga pantangan ini, yaitu pantang minum, pantang wanita, dan pantang berkelahi, tentu kau akan bisa memperpanjang hidup setahun atau dua tahun lagi.”

Mendengar itu Linghu Chong hanya tertawa terbahak-bahak.

Ping Yizhi pun bertanya dengan gusar, “Apa yang lucu?”

Linghu Chong menjawab, “Manusia hidup di dunia harus bisa menikmati hidupnya dengan bebas. Kalau tidak boleh minum arak, tidak boleh memikirkan perempuan, kalau ada yang menganiaya tidak boleh membalas, lantas apa gunanya jadi manusia? Lebih baik lekas mati saja biar semua cepat selesai.”

Ping Yizhi berkata dengan nada tegas, “Kau harus berpantang. Kalau aku tidak bisa menyembuhkanmu, maka nama baikku akan hancur berkeping-keping.”

Linghu Chong menjulurkan tangan kirinya dan memegang punggung tangan kanan Ping Yizhi sambil berkata dengan wajah tulus, “Sesepuh Ping bermaksud baik kepadaku, dalam hal ini aku sangat berterima kasih. Namun hidup dan mati sudah ditakdirkan. Meskipun ilmu pengobatan Sesepuh Ping sangat hebat, namun sulit untuk menyelamatkan orang yang sudah ditakdirkan untuk mati. Kalau Sesepuh Ping tidak bisa menyembuhkan penyakitku, aku rasa hal itu tidak akan mempengaruhi nama baikmu.”

Kembali terdengar suara pintu gubuk terbuka. Kali ini Dewa Akar Persik yang menjulurkan kepala. Dengan suara keras ia berkata, “Linghu Chong, apa kau sudah sembuh?”

Linghu Chong menjawab, “Ilmu pengobatan Tabib Ping sungguh luar biasa. Aku sudah sembuh.”

“Bagus sekali, bagus sekali!” kata Dewa Akar Persik sambil kemudian menarik lengan baju Linghu Chong. “Ayo kita minum! Ayo kita minum!”

Linghu Chong segera membungkukkan badan dan memberi hormat kepada Ping Yizhi sambil berkata, “Terima kasih banyak atas perhatian Sesepuh Ping.”

Ping Yizhi tidak membalas penghormatan itu. Ia terlihat hanya mengernyitkan dahi sambil menggumam sendiri.
Sima Da, Majikan Pulau Paus Panjang.

Huang Boliu, Ketua Partai Sungai Langit.

Suasana di Lembah Lima Tiran.
 
Ping Yizhi memeriksa nadi Linghu Chong.

(Bersambung)