Bagian 86 - Lorong Bawah Tanah

Menelusuri lorong bawah tanah.

Begitu membuka mata dan tidak melihat adanya biksu besi lagi, Dewa Akar Persik segera membual, “Sungguh lihai biksu besi tadi. Tapi semuanya dapat dihancurkan oleh Enam Dewa Lembah Persik.”

Dewa Bunga Persik lebih tahu diri dan berkata, “Tuan Muda Linghu juga berjasa, tapi jasa kami enam bersaudara lebih besar.”

Dengan menahan rasa sakit di bahunya Linghu Chong berkata sambil tertawa, “Tentu saja. Siapa yang mampu menandingi Enam Dewa Lembah Persik?”

“Sebenarnya apa yang terjadi, Tuan Muda Linghu?” tanya Zu Qianqiu.

Dengan ringkas Linghu Chong menuturkan pengalamannya tadi, kemudian berpendapat, “Kemungkinan besar Gadis Suci terkurung di dalam situ. Kita harus mencari akal untuk memusnahkan kawanan patung biksu besi penjaga lorong ini.”

Zu Qianqiu melirik sekejap ke arah Enam Dewa Lembah Persik, lalu berkata, “Ternyata biksu-biksu besi itu belum dihancurkan.”

“Apa sulitnya untuk menghancurkan biksu-biksu mati itu? Hanya saja, sementara ini kami sedang tidak ingin,” sahut Dewa Dahan Persik.

“Benar, kemana pun kami berenam pergi, sehebat apa pun musuh bisa kami kalahkan,” tukas Dewa Buah Persik mendukung saudaranya.

“Entah bagaimana cara bekerja biksu-biksu besi itu, harap Enam Dewa Lembah Persik maju lagi untuk memancing serangannya, biar kami bisa menyaksikan,” kata Ji Wushi.

Tapi Enam Dewa Lembah Persik rupanya sudah jera, tentu tidak mau disuruh merasakan pukulan tongkat baja lagi. Dewa Dahan Persik lantas berkata kepada Ji Wushi dan yang lain, “Hei, melihat kucing makan tikus adalah biasa. Tapi kalau tikus makan kucing apa ada yang pernah melihat?”

“Baru saja kami bertujuh menyaksikan tikus makan kucing, sungguh luar biasa!” sambung Dewa Daun Persik.

Ternyata Enam Dewa Lembah Persik masih mempunyai suatu kepandaian simpanan, yaitu apabila terdesak dan tidak bisa menjawab pertanyaan, mereka lantas membelokkan pokok pembicaraan ke hal-hal lain.

Linghu Chong berkata, “Adakah yang bersedia mengambilkan beberapa bongkah batu besar?”

Segera tiga orang berlari keluar dan kemudian kembali dengan masing-masing membawa sepotong batu besar, masing-masing paling tidak seberat seratus kati. Batu-batu besar yang mereka ambil itu berasal dari bebatuan karang penghias taman dalam biara.

Linghu Chong lantas mengangkat sepotong batu besar itu lalu menggelindingkannya ke dalam lorong. Terdengarlah suara bergemuruh yang diikuti suara berderit-derit. Batu besar itu telah menyentuh alat rahasia di lantai, sehingga biksu-biksu besi yang bersembunyi di lekukan dinding lantas bergerak kembali. Di bawah sinar obor, bayangan tongkat baja yang bersambaran dengan kencang pun terlihat oleh mereka. Selang agak lama kemudian barulah biksu-biksu besi itu menyelinap kembali ke dalam dinding.

Semua orang tercengang menyaksikan peristiwa ajaib tersebut.

Ji Wushi lalu berkata, “Ketua Linghu, biksu-biksu besi itu digerakkan oleh semacam mesin. Tenaganya sangat kuat, tentu mereka digerakkan oleh semacam roda berpegas yang dililit rantai besi dan diputar kencang. Bagaimana kalau kita gelindingkan batu lebih banyak sampai tenaga pegasnya habis, sehingga biksu-biksu besi itu tidak akan bergerak lagi.”

Linghu Chong yang ingin lekas-lekas menolong Ren Yingying segera berkata, “Gerakan tongkat patung-patung besi itu sedikit pun tidak menjadi kendur. Entah berapa lama mereka bisa bergerak sampai habis tenaga pegasnya. Kalau kita menggelindingkan batu tujuh atau delapan kali, bisa-bisa kita harus menunggu sampai besok pagi. Begini saja, kalau ada di antara kawan-kawan yang membawa senjata pusaka, mohon pinjamkan sebentar kepadaku.”

Seseorang pun maju ke depan dan menyodorkan goloknya, “Ketua, senjataku ini cukup tajam.”

Linghu Chong melihat orang itu memiliki hidung mancung dan janggut berwarna agak pirang. Sepertinya ia berasal dari Daerah Barat. Benar juga, begitu menerima golok tersebut, Linghu Chong merasakan hawa dingin yang cukup kuat. Sungguh luar biasa.

“Terima kasih banyak. Golok pusaka milik Saudara ini akan kugunakan untuk memotong tongkat-tongkat baja milik biksu-biksu besi itu. Tolong jangan salahkan aku kalau sampai golok ini rusak,” kata Linghu Chong.

Si pemilik golok menjawab, “Demi Gadis Suci aku tidak keberatan jika harus berkorban nyawa. Golok ini hanya benda biasa. Tidak terlalu berharga.”

Linghu Chong mengangguk dan kembali melangkah memasuki lorong. Enam Dewa Lembah Persik serentak berseru, “Hati-hati!”

Ketika Linghu Chong berjalan, mendadak sebuah tongkat menghantam dari atas. Jurus serangan ini sudah tiga kali dilihatnya, sehingga tanpa pikir panjang ia pun mengayunkan golok pusaka tadi. Kontan pergelangan tangan patung biksu itu tertebas kutung bersama tongkatnya jatuh ke lantai.

“Golok bagus!” puji Linghu Chong. Semula ia khawatir golok pinjaman itu kurang tajam. Namun setelah melihat kekuatan dan ketajaman golok itu yang bisa memotong tongkat baja seperti lumpur membuat semangatnya bangkit kembali. Dengan dua kali mengayunkan golok, kembali ia membuntungi pergelangan tangan dua biksu besi yang menyerang.

Dengan memainkan Ilmu Sembilan Pedang Dugu, Linghu Chong terus-menerus mengayunkan golok di tangannya. Dari kedua sisi dinding biksu-biksu besi kembali bermunculan dan menyerang berturut-turut. Tapi semua pergelangan mereka langsung putus dibabat golok. Meskipun patung-patung itu tetap bergerak-gerak karena dikendalikan mesin rahasia, namun tanpa tongkat di tangan jelas kini tidak membahayakan lagi.

Semakin maju ke depan, jurus serangan biksu-biksu besi yang bermunculan pun semakin lihai. Dalam hati Linghu Chong sangat kagum. Namun bagaimanapun juga mereka hanyalah patung mati yang dikendalikan mesin. Begitu bergerak, celah kelemahan jurus serangan mereka pun dapat terbaca oleh Linghu Chong dan sekejap kemudian satu per satu tongkat pemukul kembali berjatuhan di lantai.

Kawan-kawan yang lain mengikuti Linghu Chong sambil mengangkat obor sebagai penerangan. Setelah ratusan tangan biksu besi terpotong, pada dinding-dinding batu itu tidak lagi muncul patung yang lain. Ada seorang yang coba menghitung, ternyata biksu-biksu besi itu seluruhnya berjumlah seratus delapan buah. Maka para pendekar di lorong itu pun bersorak-sorai sampai suara mereka membuat telinga berdengung.

Karena ingin lekas-lekas menemukan Ren Yingying, Linghu Chong pun meminta sebuah obor dan mendahului berjalan di depan. Jalanan itu terus menurun ke bawah dan makin lama makin rendah, namun tidak terdapat perangkap-perangkap lagi. Setelah tiga kilo lebih menyusuri lorong bawah tanah itu mereka pun menembus beberapa gua alam. Tiba-tiba di depan tampak cahaya remang-remang. Linghu Chong mempercepat langkahnya. Ketika sebelah kakinya menginjak tanah yang lunak, ia baru sadar ternyata sudah berada di atas lapisan salju. Bersamaan itu hawa dingin terasa merasuk menyegarkan dada. Rupanya sekarang ia sudah berada di tempat yang terbuka.

Ia memandang ke sekeliling. Suasana sunyi hening di tengah gelapnya malam. Bunga salju masih berhamburan dan terdengar pula suara gemercik air. Rupanya tempat itu terletak di tepi sebuah sungai. Sejenak Linghu Chong merasa sangat kecewa karena lorong bawah tanah tersebut tidak menembus ke tempat Ren Yingying ditahan.

Tiba-tiba terdengar Ji Wushi berkata lirih di belakangnya, “Teruskan pesan ini kepada kawan-kawan agar jangan bersuara. Kemungkinan besar kita sudah berada di kaki gunung.”

“Apakah kita sudah lolos dari kepungan musuh?” tanya Linghu Chong.

Ji Wushi menjawab, “Ketua Linghu, pada musim dingin seperti ini, mata air di atas gunung sudah membeku, tidak mungkin terdapat aliran air. Tampaknya dengan menelusuri lorong bawah tanah tadi kita sekarang sudah berada di kaki gunung.”

“Benar,” tukas Zu Qianqiu. “Secara tidak sengaja kita telah menemukan lorong rahasia Biara Shaolin yang menembus ke sini.”

Linghu Chong terkejut bercampur gembira. Setelah mengembalikan golok pusaka kepada pemiliknya, ia berkata, “Jika demikian, lekas suruh semua kawan keluar kemari melalui lorong rahasia ini.”

Ji Wushi segera meneruskan perintah itu. Ia mengirim beberapa orang untuk menyelidiki jalan sekitar, dan menugasi beberapa puluh orang untuk menjaga ujung lorong rahasia agar tidak diserang musuh. Jika pihak musuh sampai menyumbat ujung lorong tersebut, maka kawan-kawan lain yang belum keluar bisa-bisa terjebak di dalam.

Tidak lama kemudian mereka yang bertugas menyelidiki pun kembali dengan menyampaikan laporan bahwa tempat itu memang benar-benar kaki Gunung Shaoshi bagian belakang. Ketika mendongak mereka dapat melihat bangunan Biara Shaolin di atas gunung. Karena banyak kawan yang belum keluar, maka semua orang tidak berani bersuara keras.

Sementara itu, orang-orang yang keluar dari lorong rahasia itu semakin banyak. Menyusul kemudian para pendekar yang terluka dan yang sudah mati juga digotong keluar. Kawanan itu telah lolos dari ancaman maut, namun tetap tidak berani bersorak-sorak. Mereka hanya berbisik-bisik senang dengan wajah berseri-seri.

Si Beruang Hitam berkata, “Ketua Linghu, kawanan domba itu mengira kita masih terkurung di atas sana. Bagaimana kalau sekarang kita gempur mereka dari belakang? Kita potong saja ekor kaum keparat itu untuk melampiaskan rasa benci kita!”

Dewa Dahan Persik menyela, “Domba memang punya ekor. Tapi apakah kaum keparat itu juga punya ekor?”

Akan tetapi, Linghu Chong terlihat tidak setuju dan menjawab, “Tujuan kita ke sini adalah untuk menolong Gadis Suci. Karena kita belum menemukan Beliau, maka kita harus terus mencari dan tidak perlu ada korban lebih banyak lagi.”

“Hm, baiklah,” ujar Beruang Putih. “Tapi aku tetap ingin menangkap beberapa domba itu. Tak peduli mereka punya ekor atau tidak, aku ingin memakannya. Kalau tidak, mereka akan terus-menerus menggertak kita.”

Linghu Chong melanjutkan, “Harap Saudara-Saudara meneruskan perintah agar kita segera berpencar. Bila bertemu orang-orang aliran lurus sebaiknya menghindari pertarungan. Apabila ada yang mendapat kabar tentang Gadis Suci harus segera menyebarluaskannya dengan cepat. Selama Linghu Chong masih bernapas, bagaimanapun sukar dan bahaya akan tetap berusaha menyelamatkan Gadis Suci. Apakah semua kawan kita sudah keluar dari biara?”

Ji Wushi mendekati ujung lorong rahasia dan berteriak-teriak beberapa kali ke dalam, namun tidak terdengar jawaban seorang pun. Ia lantas melapor bahwa semua anggota kawanan sudah keluar.

Tiba-tiba timbul pikiran usil Linghu Chong yang kekanak-kanakan. Ia pun berkata, “Ayo kita berteriak tiga kali agar orang-orang di atas itu terkejut dan ketakutan!”

“Haha, bagus!” seru Zu Qianqiu tertawa. “Mari kita beramai-ramai mengikuti Ketua berteriak!”

Linghu Chong pun mengerahkan tenaga dalam dan berteriak, “Hei, kami sudah berada di bawah gunung!”

Ribuan pengikutnya serentak ikut berteriak, “Hei, kami sudah berada di bawah gunung!”

Lalu Linghu Chong berteriak lagi, “Silakan kalian makan salju di atas gunung!”

Ribuan pengikutnya ikut berteriak, “Silakan kalian makan salju di atas gunung!

Terakhir ia berteriak, “Gunung yang hijau takkan berubah, sungai akan selalu mengalir jauh. Selamat tinggal, sampai jumpa!”

“Gunung yang hijau takkan berubah, sungai akan selalu mengalir jauh. Selamat tinggal, sampai jumpa!” kata para pengikutnya lagi.

“Mari kita pergi!” kata Linghu Chong dengan tertawa.

Tiba-tiba beberapa orang masih saja berteriak, “Kalian kawanan anjing, anak bulus, pulang sana ke nenekmu!”

Serentak ribuan yang lain menirukan teriakan itu, “Kalian kawanan anjing, anak bulus, pulang sana ke nenekmu!” Makian kasar tersebut diucapkan oleh ribuan orang dengan suara sekeras-kerasnya, membuat gunung dan lembah serasa berguncang. Sungguh peristiwa yang jarang terjadi sebelumnya.

“Sudahlah, tidak perlu berteriak lagi, mari kita pergi!” seru Linghu Chong.

Namun orang-orang itu terlalu bergembira dan berteriak, “Sudahlah, tidak perlu berteriak lagi, mari kita pergi!”

Setelah teriakan-teriakan itu berakhir, ternyata tidak terjadi reaksi apa pun dari atas gunung. Sementara itu fajar telah tiba. Langit mulai terang sedikit demi sedikit. Salju masih turun dengan lebatnya. Saat itu beberapa kelompok sudah mulai berpencar pergi.

Linghu Chong berpikir sekarang ini urusan yang paling penting adalah menemukan Ren Yingying, serta menyelidiki siapa yang telah membunuh Biksuni Dingxian dan Biksuni Dingyi. Ia sendiri tidak tahu ke mana harus pergi melaksanakan kedua tugas tersebut.

Tiba-tiba suatu pikiran terlintas dalam benaknya, “Bila biksu-biksu Shaolin dan orang-orang aliran lurus itu mengetahui bahwa kami sudah lolos, tentu mereka akan kembali ke biara. Bisa jadi Yingying pun berada di tengah mereka. Untuk menyelesaikan dua masalah tadi rasanya aku harus kembali ke sana. Untuk menyelinap, semakin sedikit orang akan semakin lebih baik. Sebaiknya aku lakukan sendiri saja.”

Begitulah, ia lantas berkata kepada Ji Wushi, Lao Touzi, Zu Qianqiu, Lan Fenghuang, Huang Boliu, dan yang lain, “Semuanya telah bekerja keras. Kita akan bertemu lagi dan berpesta arak setelah menemukan Gadis Suci.”

“Tuan Muda Linghu hendak pergi ke mana?” tanya Ji Wushi.

“Aku ingin mempertaruhkan nyawa demi menolong Gadis Suci. Untuk saat ini aku belum bisa mengatakannya. Kelak tentu kalian akan kuberi tahu,” jawab Linghu Chong.

Semua orang tidak berani banyak bicara lagi. Terpaksa mereka hanya memberi hormat dan mohon diri.

Linghu Chong pun masuk ke dalam hutan lebat, lalu melompat ke atas sebuah pohon agar tidak meninggalkan jejak di tanah bersalju. Ia bersembunyi di balik rimbunnya dedaunan untuk sekian lama, sampai suara kawanan orang-orang tadi semakin berkurang dan akhirnya sunyi senyap. Setelah yakin kalau semua orang telah jauh pergi, perlahan-lahan ia pun berjalan kembali menuju mulut lorong rahasia tadi. Mulut lorong itu terhalang oleh dua bongkah batu besar dan tertutup semak belukar yang cukup tinggi pula. Meskipun ada orang lewat dekat situ juga tidak akan mengetahui kalau terdapat sebuah lorong rahasia menuju Biara Shaolin.

Linghu Chong bergegas menyusuri lorong rahasia tersebut dengan langkah cepat dan ia pun kembali ke ruangan patung Boddhidharma tadi. Sayup-sayup ia mendengar suara orang bercakap-cakap di ruang depan. Perlahan-lahan ia pun menggeser patung itu kembali ke tempat semula menutupi mulut lorong rahasia. Dalam hati ia bertanya-tanya, “Aku harus bersembunyi di mana agar dapat mendengarkan percakapan para pemimpin aliran lurus itu? Aih, di dalam Biara Shaolin ini banyak terdapat ruangan, entah di mana mereka akan berkumpul?”

Tiba-tiba teringat olehnya pernah diajak Biksu Fangsheng memasuki kamar samadi Mahabiksu Fangzheng. Samar-samar ia masih ingat di mana letak kamar tersebut. Segera ia pun berlari menuju ke sana. Akan tetapi, ruangan dan kamar di Biara Shaolin terlalu banyak jumlahnya. Kamar samadi Sang Kepala Biara tentu saja sangat sulit ditemukan meskipun ia berlari-lari mencarinya untuk sekian lama.

Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki beberapa orang sedang menuju ke arahnya. Waktu itu Linghu Chong berada di suatu ruangan di samping aula. Ia bingung mencari tempat yang cocok untuk bersembunyi. Terlihat olehnya sebuah papan nama besar bertuliskan kata “Alam Pencerahan” yang terpasang di atas ruangan. Maka, ia pun melompat dan hinggap di balik papan nama tersebut untuk kemudian mendekam di sana.

Suara langkah orang-orang itu terdengar semakin dekat. Tidak lama kemudian masuklah tujuh atau delapan orang ke dalam gedung. Seseorang di antaranya berkata, “Kawanan iblis itu benar-benar lihai. Kita telah mengepung pegunungan ini dengan rapat bagaikan pagar betis, tapi tetap saja mereka bisa lolos.”

Seseorang menanggapi, “Agaknya di sini terdapat jalan rahasia yang menembus ke kaki gunung. Kalau tidak, bagaimana mereka bisa kabur?”

“Kurasa tidak ada jalan rahasia apa pun di biara ini,” ujar seorang lagi. “Sudah puluhan tahun aku tinggal di sini, tapi belum pernah kudengar adanya jalan rahasia segala yang menembus ke kaki gunung.”

“Namanya juga jalan rahasia, sudah pasti tidak dapat diketahui setiap orang,” kata orang pertama.

Dari percakapan itu Linghu Chong dapat menduga kalau yang datang adalah biksu Shaolin dan para pendekar perguruan lain yang diundang membantu.

Terdengar biksu tadi berkata, “Bisa jadi aku memang tidak tahu. Tapi mana mungkin kepala biara kami juga tidak tahu? Kalau jalan rahasia itu memang benar-benar ada, mengapa kepala biara kami tidak menempatkan orang untuk menjaganya?”

Pada saat itulah tiba-tiba seseorang di antara mereka berteriak, “Hei, siapa di situ? Keluar kau!”

Linghu Chong sangat terkejut mendengarnya. Ia pun berpikir, “Apakah mereka mengetahui keberadaanku?” Baru saja ia hendak melompat turun, tiba-tiba dari balik papan nama di sebelah timur berkumandang suara gelak tawa seseorang, “Hahahaha, aku si tua ini sungguh ceroboh telah menjatuhkan beberapa butir debu sehingga kalian lantas mengetahui persembunyianku. Hm, tajam juga penglihatan kalian!”

Linghu Chong sangat terkejut begitu mengetahui ada orang lain yang juga bersembunyi di tempat itu. Mendengar suara orang tua yang lantang dan jelas tadi, ia merasa sangat gembira karena itu adalah suara Xiang Wentian.

“Ternyata Kakak Xiang sudah lebih dulu bersembunyi di sini. Sungguh hebat caranya menahan napas. Sejak tadi aku mendekam di sini sama sekali tidak mengetahui keberadaannya. Kalau saja bukan karena debu yang jatuh tadi tentu orang-orang di bawah itu juga tidak akan tahu,” pikir Linghu Chong.

Tiba-tiba terdengar suara berdetak dari arah kanan dan kiri papan nama sisi timur tersebut. Menyusul kemudian terdengar suara dua orang melompat turun. Mereka disambut suara teriakan tiga orang di bawah tadi, “Kau …”, “Siapa itu …”, Apa …”. Hanya kata-kata itu yang sempat mereka ucapkan sebelum kemudian diam untuk selamanya. Tanpa terasa Linghu Chong melongok ke bawah. Terlihat olehnya dua sosok bayangan berkelebat ke sana kemari. Salah satunya jelas Xiang Wentian, sementara seorang lagi bertubuh tinggi besar. Linghu Chong mengenali orang itu yang tidak lain adalah Ren Woxing, ketua Sekte Iblis terdahulu.

Gerak serangan kedua orang itu nyaris tidak bersuara, tapi setiap pukulan mereka selalu diikuti dengan robohnya seorang lawan. Hanya sekejap saja delapan orang di ruangan itu sudah berjatuhan. Lima di antaranya tengkurap, sementara tiga lainnya telentang dengan mata melotot menyeramkan. Masing-masing telah mati dalam sekali pukul di tangan Xiang Wentian dan Ren Woxing.

Ren Woxing kemudian melambaikan tangannya sambil berkata, “Ying’er, turunlah!”

Dari papan nama sebelah timur tadi lantas melayang turun sosok seorang perempuan dengan gerakan lemah gemulai. Perempuan tersebut tidak lain adalah Ren Yingying, yang selama beberapa hari ini dicari Linghu Chong dengan susah payah.

Linghu Chong merasa kepalanya pusing dan jantungnya berdebar melihat Ren Yingying memakai baju kusut, dengan wajah terlihat agak pucat. Baru saja ia bermaksud melompat turun untuk menemui mereka bertiga, tiba-tiba Ren Woxing berpaling ke arahnya dan menggoyangkan tangan. Melihat itu, Linghu Chong pun berkata dalam hati, “Mereka lebih dulu bersembunyi di sini, sudah tentu mengetahui keberadaanku. Tapi, mengapa Tuan Ren melarang aku turun?”

Sekejap kemudian ia langsung paham apa maksud Ren Woxing tersebut. Terlihat olehnya beberapa orang berlari masuk ruangan tersebut melalui pintu depan. Sekilas ia melihat guru dan ibu-gurunya dalam rombongan tersebut beserta Kepala Biara Shaolin, yaitu Mahabiksu Fangzheng, serta tokoh-tokoh terkemuka lainnya. Kedatangan mereka membuatnya tidak berani mengintip lagi. Segera ia kembali bersembunyi di balik papan kayu dengan hati berdebar-debar. “Yingying dan yang lain berada dalam kepungan musuh. Meskipun … badanku hancur lebur, aku harus bisa menyelamatkan Yingying,” demikian ia berpikir.

“Amitabha,” terdengar Mahabiksu Fangzheng bersuara. “Tuan dan Nona bertiga yang mulia ini sungguh memiliki pukulan luar biasa. Eh, Nona yang budiman sudah pergi dari Biara Shaolin, mengapa sekarang kembali lagi? Hm, Tuan-tuan yang mulia ini pasti dua sesepuh dari Tebing Kayu Hitam. Mohon maaf kalau saya tidak mengenal nama Tuan berdua.”

Xiang Wentian menjawab, “Beliau ini adalah Ketua Ren dari Sekte Matahari dan Bulan. Sedangkan aku bernama Xiang Wentian.”

“Oh!” seru orang-orang yang baru datang itu. Maklum saja, Ren Woxing dan Xiang Wentian meskipun memiliki nama besar, namun mereka sudah lama menghilang dari dunia persilatan sehingga wajah mereka kurang dikenal oleh Mahabiksu Fangzheng dan yang lainnya.

“Ternyata Ketua Ren dan Pelindung Kanan Xiang sudi berkunjung kemari,” ujar Fangzheng ramah. “Saya sudah lama mendengar nama besar Tuan berdua. Sekarang saya sungguh merasa sangat beruntung atas kunjungan ini. Entah petunjuk apa yang hendak Tuan berdua ajarkan kepada kami?”

Ren Woxing menjawab dengan lagak tua, “Sudah lama aku tidak berkecimpung di dunia ramai, sehingga banyak tokoh-tokoh angkatan baru yang tidak kukenal. Entah siapa saja nama sobat-sobat cilik ini?”

“Jika demikian izinkan saya memperkenalkan mereka kepada Tuan berdua,” ujar Mahabiksu Fangzheng. “Yang ini adakah Ketua Perguruan Wudang, bernama Pendeta Chongxu.”

Sejenak kemudian terdengar suara serak seorang tua berkata, “Bicara tentang umur bisa jadi aku beberapa tahun lebih tua daripada Tuan Ren. Tapi sewaktu menjabat sebagai Ketua Perguruan Wudang, saat itu Tuan Ren sudah mengasingkan diri. Sebutan ‘angkatan baru’ memang pantas bagiku. Tapi istilah ‘tokoh’ sama sekali aku tidak berani menerimanya. Hahaha!”

Linghu Chong merasa mengenali suara Ketua Perguruan Wudang tersebut. Tiba-tiba pikirannya tergerak, “Aih, ternyata dia adalah si kakek penunggang keledai yang diiringi dua petani itu! Orang tua yang menghadang kami di kaki Gunung Wudang itu ternyata Pendeta Chongxu.”

Seketika timbul rasa bangga di dalam hatinya. Keringat pun mengalir di tangan. Maklum saja, nama besar Perguruan Wudang sejajar dengan Perguruan Shaolin. Keduanya adalah perguruan nomor satu di dunia persilatan. Yang satu memiliki ilmu silat lembut, yang satu lagi memiliki ilmu silat keras, dan masing-masing memiliki keistimewaan tersendiri. Pendeta Chongxu juga terkenal memiliki ilmu pedang luar biasa yang tiada bandingannya. Begitu mengetahui kalau kakek tua yang telah dikalahkannya secara tak terduga di kaki Gunung Wudang beberapa hari lalu adalah Pendeta Chongxu, seketika Linghu Chong pun merasa sangat senang tak terbayangkan.

Terdengar Ren Woxing berkata, “Yang ini pasti Ketua Zuo. Dulu kami pernah bertemu. Bagaimana kabar ilmu andalanmu, Tapak Sakti Songyang? Pasti semakin hebat, bukan?”

Linghu Chong kembali terkesiap, “Ternyata Paman Guru Zuo, Ketua Perguruan Songshan juga hadir di sini.”

Kemudian terdengar seorang pria menjawab dengan suara halus tapi tegas, “Kabarnya Tuan Ren terkurung oleh anak buah sendiri dan menghilang selama beberapa tahun. Sekarang sudah muncul kembali di dunia persilatan, sungguh sangat menggembirakan dan harus diberi selamat. Tentang jurus Tapak Songyang sudah belasan tahun tidak kupakai. Jangan-jangan aku sudah banyak yang lupa.”

“Wah, jika begitu dunia persilatan pasti sangat sepi,” kata Ren Woxing dengan tertawa. “Begitu aku menghilang lantas tidak ada orang yang dapat mengadu tenaga dengan Saudara Zuo. Sungguh sayang, sungguh sayang.”

Zuo Lengchan menjawab, “Di dunia persilatan ini orang-orang yang berkepandaian seperti Tuan Ren sesungguhnya tidak sedikit, misalnya Mahabiksu Fangzheng atau Pendeta Chongxu. Tapi tokoh-tokoh berbudi luhur seperti Beliau berdua tentu tidak bisa sembarangan memberikan pelajaran kepadaku.”

Ren Woxing berkata, “Bagus, bagus! Kapan-kapan kalau ada waktu tentu aku ingin mencoba-coba kepandaian barumu.”

“Setiap saat aku siap melayani,” sahut Zuo Lengchan.

Dari percakapan mereka itu terlihat kalau keduanya pernah terlibat pertarungan di masa lalu. Hanya saja, siapa yang menang dan siapa yang kalah tidak bisa diketahui dari pembicaraan tersebut.

Mahabiksu Fangzheng melanjutkan, “Yang ini adalah Pendeta Tianmen, Ketua Perguruan Taishan. Yang itu adalah Tuan Yue, Ketua Perguruan Huashan, dan di sebelahnya adalah Nyonya Yue, atau sebelumnya terkenal dengan sebutan Pendekar Wanita Ning. Tuan Ren tentu pernah mendengar nama besar mereka.”

“Nama besar Pendekar Wanita Ning dari Perguruan Huashan memang aku pernah mendengarnya,” sahut Ren Woxing tertawa, “tapi kalau Tuan Yue atau siapa, aku tidak pernah mendengarnya.”

Linghu Chong menjadi kurang senang mendengarnya. Ia berpikir, “Nama Guru lebih terkenal daripada Ibu-Guru. Jika dia sama sekali tidak mengenal keduanya rasanya dapat dimengerti. Tapi dia mengatakan cuma mengetahui nama besar Pendekar Wanita Ning, tapi tidak mengenal Tuan Yue, hal ini jelas tidak masuk akal. Tuan Ren dikurung di Danau Barat selama sepuluh tahun. Padahal waktu itu Guru sudah cukup terkenal. Dia pasti sengaja hendak mengolok-olok Guru.”

Yue Buqun menanggapi ucapan Ren Woxing dengan nada dingin, “Namaku yang rendah memang hanya mengotori telinga Tuan Ren.”

Ren Woxing tiba-tiba mengalihkan pembicaraan, “Eh, Tuan Yue, aku ingin mencari tahu kabar seseorang, entah kau mengetahuinya atau tidak? Yang aku tahu dia pernah menjadi murid Perguruan Huashan kalian.”

“Siapakah orang yang dimaksud Tuan Ren itu?” ujar Yue Buqun.

“Orang ini sangat berbudi, cerdik, dan pandai. Wajahnya juga tampan dan ilmu silatnya tinggi,” kata Ren Woxing. “Tapi ada manusia-manusia picik yang iri hati kepadanya, serta berusaha untuk menyingkirkannya. Tidak heran, banyak fitnah keji dilontarkan kepadanya. Aku si tua bermarga Ren ini justru sangat cocok dengannya sejak pertama kali bertemu. Oleh karena itu sudah kuputuskan untuk menjodohkan putriku tercinta ini dengan dia ….”

Mendengar sampai di sini, seketika jantung Linghu Chong berdebar kencang. Samar-samar ia merasa sebentar lagi akan berada dalam suatu masalah besar.

Ren Woxing melanjutkan, “Pemuda itu baik hati dan berbudi luhur. Ketika mendengar putri tercintaku dikurung dalam Biara Shaolin ini, ia lantas memimpin beribu-ribu kesatria datang kemari untuk menjemput pulang calon istrinya. Tapi dalam sekejap ia sudah menghilang entah ke mana. Sebagai calon mertua, sudah tentu aku sangat gelisah dan kelabakan mencarinya. Maka itu, aku ingin mencari tahu tentang keberadaannya kepadamu.”

Yue Buqun menengadah dan tertawa, “Hahaha, Tuan Ren sangat sakti, kenapa calon menantu sendiri sampai lenyap? Pemuda yang dimaksud Tuan Ren tentu si bajingan cilik Linghu Chong. Dia adalah murid murtad yang sudah lama dikeluarkan dari perguruan kami secara tidak hormat.”

Ren Woxing tertawa, “Hahaha, jelas-jelas aku melihat permata tapi kau melihat batu kerikil. Pandanganmu sungguh picik. Pemuda yang kumaksud memang Linghu Chong. Hehe, kau memaki dia sebagai bajingan cilik, bukankah itu berarti kau memaki aku sebagai bajingan tua?”

Yue Buqun menjawab, “Bajingan cilik itu suka main perempuan. Demi seorang gadis, ia mengerahkan sedemikian banyak kawanan anjing dan serigala dari dunia persilatan untuk mengobrak-abrik Biara Shaolin yang mulia ini. Coba kalau Kakak Zuo tidak mengatur siasat yang jitu, biara agung yang bersejarah ribuan tahun ini pasti sudah hangus menjadi puing-puing di tangan mereka. Bukankah dosa besar seperti itu tidak bisa ditebus dengan ribuan kali hukuman mati? Dia memang pernah menjadi bagian dari Perguruan Huashan kami. Tapi sayang, aku tidak berhasil mendidiknya dengan baik, dan kini dia sudah mempermalukan banyak orang.”

Xiang Wentian menyela, “Ucapan Tuan Yue sungguh kurang tepat. Tujuan Adik Linghu ke sini hanya untuk menjemput Nona Besar Ren, bukan hendak berbuat kerusakan. Bukankah mereka mengibarkan panji-panji bertuliskan: ‘Para Pendekar Dunia Persilatan Pergi ke Biara Shaolin, Memuja Sang Buddha, Menghormati Para Biksu, Menjemput Gadis Suci.’ Bukankah tujuan mereka mulia? Sekarang kau boleh memeriksa, selama sehari semalam mereka tinggal di sini apakah ada sebatang ranting yang patah atau sehelai rumput yang tercabut? Bahkan satu butir beras dan setetes air pun tidak mereka sentuh.”

Tiba-tiba terdengar suara seseorang ikut bicara, “Kau benar. Biara Shaolin tidak kehilangan apa-apa, tapi justru bertambah banyak dengan harta kekayaan berkat kedatangan mereka.”

Dari suaranya yang melengking tajam itu Linghu Chong segera mengenali bahwa si pembicara tersebut adalah Yu Canghai, Ketua Perguruan Qingcheng. “Ternyata orang ini juga datang,” pikirnya.

“Bolehkah aku bertanya kepada Pendeta Yu, harta kekayaan apa yang bertambah itu?” tanya Xiang Wentian.

“Itu, tahi kerbau dan kencing kuda! Di mana-mana di penjuru Biara Shaolin terdapat emas kuning dan air raksa berserakan,” kata Yu Canghai disusul dengan gelak tawa beberapa orang.

Diam-diam Linghu Chong menyesal mendengarnya, “Hm, aku memang melarang mereka merusak setiap benda di biara ini, tapi lupa melarang mereka untuk tidak membuang hajat besar atau kecil di sembarang tempat. Dasar mereka itu orang-orang kasar, di setiap tempat bisa buka celana dan langsung buang kotoran.”

Mahabiksu Fangzheng menanggapi, “Ketika mendengar Tuan Muda Linghu memimpin banyak orang datang ke sini dengan tujuan mulia, sungguh saya merasa sangat berterima kasih. ‘Memuja Sang Buddha’ memang sudah sepantasnya dilakukan, tapi ‘Menghormati Para Biksu’ kami tidak berani menerimanya. Saya sendiri sempat khawatir mereka akan membakar biara. Tapi ternyata tidak ada satu benda pun yang berkurang, hal ini benar-benar berkat kepemimpinan Tuan Muda Linghu yang bijaksana. Seluruh biarawan Shaolin sangat menaruh hormat kepadanya. Kelak bila bertemu dengan Tuan Muda Linghu, tentu saya akan menyampakan terima kasih yang sebesar-besarnya. Pendeta Yu tadi hanya bercanda, harap Tuan Xiang jangan anggap sungguh-sungguh.”

Xiang Wentian tersenyum menjawab, “Bagaimanapun juga seorang biksu agung yang berbudi luhur memang berpikiran terbuka. Sungguh jauh berbeda dengan manusia-manusia palsu berjiwa kerdil.”

Fangzheng melanjutkan, “Namun ada juga yang membuat saya merasa tidak paham. Bagaimana kedua biksuni sepuh dari Perguruan Henshan bisa wafat di dalam biara kami ini?”

Ren Yingying menanggapi dengan nada sedih, “Biksuni Dingxian dan Biksuni Dingyi berbudi luhur dan sangat baik hati. Sungguh mengejutkan Beliau berdua tiba-tiba meninggal dunia.”

Mahabiksu Fangzheng berkata, “Jenazah mereka ditemukan di dalam biara ini. Diperkirakan waktu kematian mereka bersamaan dengan masuknya kawanan persilatan itu ke sini. Apa barangkali Tuan Muda Linghu tidak sempat mencegah bawahannya sehingga kedua biksuni tewas dikeroyok mereka?”

Ren Yingying berkata, “Tempo hari aku bertemu kedua biksuni sepuh di ruang belakang biara ini. Berkat kemurahan hati Kepala Biara, serta berkat permohonan kedua biksuni sepuh, maka aku mendapatkan kebebasan ….”

Mendengar itu Linghu Chong merasa bersyukur sekaligus prihatin. Ia merenung, “Ternyata berkat permohonan kedua biksuni sepuh, Kepala Biara bersedia membebaskan Yingying. Sebaliknya mereka justru tewas di sini sebagai korban kepentinganku. Sebenarnya, siapakah yang telah membunuh mereka berdua? Aku … aku harus menuntut balas bagi mereka.”

Ren Yingying melanjutkan, “Selama aku dikurung di Biara Shaolin ini, beberapa kali kawan-kawan persilatan mencoba membebaskan diriku dan berbuat kerusakan. Namun sebanyak ratusan dari mereka tertangkap oleh para biksu Shaolin dan ikut dikurung di sini. Kepala Biara yang bijaksana telah mengajarkan kepada mereka Sepuluh Jalan Kebaikan dengan harapan mereka bisa bertobat sebelum dikembalikan ke dunia persilatan. Tapi karena aku sudah lama tinggal di sini, maka aku yang dibebaskan lebih dulu.”

Linghu Chong merenung mendengar kisah itu, “Mahabiksu Fangzheng memang seorang yang bijaksana tapi sayangnya terlalu polos dan lugu. Mana mungkin para bawahan Yingying bersedia begitu saja meninggalkan sifat kekerasan dan bertobat hanya karena mendengar ceramahnya mengenai Sepuluh Jalan Kebaikan?”

Terdengar Ren Yingying melanjutkan, “Setelah berpamitan kepada Kepala Biara, kedua biksuni sepuh kemudian membawaku meninggalkan Gunung Shaoshi ini. Pada hari ketiga di tengah jalan kami mendapat berita bahwa Tuan … Tuan Linghu memimpin para kawan persilatan untuk menjemputku ke biara ini. Biksuni Dingxian mengajak untuk mempercepat perjalanan agar bisa mencegah Tuan Linghu dan rombongannya. Tapi malamnya kami bertemu seorang teman yang mengatakan bahwa para kawan persilatan dari beberapa penjuru telah menetapkan tanggal lima belas bulan dua belas sebagai waktu untuk berkumpul di Biara Shaolin. Kedua biksuni khawatir Biara Shaolin telanjur diserang, karena ternyata tidak semua kelompok berangkat bersama rombongan Tuan Linghu. Hal ini berarti mengingkari budi baik Kepala Biara yang telah membebaskan diriku tanpa syarat. Maka Biksuni Dingxian lantas menyuruhku berangkat sendiri untuk menemui … menemui Tuan Linghu dan membubarkan kawan-kawan persilatan itu, sedangkan Beliau berdua kembali ke Biara Shaolin ini untuk membantu Kepala Biara menjaga segala kemungkinan terjadinya kekacauan di tempat suci ini.”

Gadis itu bicara tanpa kenal lelah, tutur katanya terdengar jernih dan merdu. Perasaan Linghu Chong kembali tergetar begitu mendengar suaranya yang terharu ketika menyebut tentang kedua biksuni sepuh, dan agak malu-malu bila menyebut tentang dirinya.

“Amitabha,” ujar Biksu Fangzheng, “Saya sangat berterima kasih atas niat baik kedua biksuni. Begitu tersiar kabar bahwa Biara Shaolin akan menghadapi kesulitan, banyak kawan-kawan dari berbagai perguruan dan aliran, baik kenal ataupun tidak, berbondong-bondong datang kemari untuk membantu. Sungguh saya tidak tahu bagaimana caranya bisa membalas budi mereka itu. Untung berkat lindungan Sang Buddha, kedua pihak tidak sampai bertempur sungguh-sungguh sehingga malapetaka banjir darah dapat dihindari. Aih, dengan wafatnya kedua biksuni, Agama Buddha telah kehilangan dua tokoh saleh yang bijaksana. Sungguh sayang, sungguh sayang.”

Ren Yingying melanjutkan kisahnya, “Setelah berpisah dengan kedua biksuni, malamnya aku bertemu para pendekar dari Perguruan Songshan. Aku tidak berdaya menghadapi keroyokan sekian banyak pendekar sehingga tertangkap oleh mereka. Selama beberapa hari aku menjadi tawanan anak buah Ketua Zuo sampai akhirnya diselamatkan oleh Ayah dan Paman Xiang. Sementara itu para kawan persilatan yang dipimpin Tuan Linghu sudah terlanjur masuk ke dalam Biara Shaolin. Kami bertiga kemudian masuk ke sini sejak satu jam yang lalu namun kawan-kawan persilatan itu sudah menghilang entah ke mana. Kami juga menemukan jasad kedua biksuni namun tidak mengetahui bagaimana mereka bisa meninggal.”

“Jika demikian, kedua biksuni bukan dicelakai oleh Tuan Ren dan Tuan Xiang?” sahut Mahabiksu Fangzheng.

Ren Yingying menjawab, “Aku berhutang budi pada kedua biksuni sepuh. Apabila Ayah dan Paman Xiang terlibat perselisihan dengan mereka, pasti aku akan menjadi penengah dan mencegah agar mereka tidak saling melukai. Aku tidak mungkin berpangku tangan begitu saja.”

“Benar juga,” kata Fangzheng.

Tiba-tiba Yu Canghai menyahut, “Tapi kelakuan kaum Sekte Iblis seringkali berkebalikan dengan orang biasa. Jika umumnya kebaikan dibalas dengan kebaikan, sebaliknya manusia sesat justru membalas air susu dengan air tuba!”

Xiang Wentian menanggapi, “Hei, aneh, sungguh aneh! Sejak kapan Pendeta Yu menjadi anggota Sekte Matahari dan Bulan?”

“Apa? Siapa yang bilang aku masuk Sekte Iblis?” sahut Yu Canghai gusar.

“Kau sendiri yang bilang bahwa orang-orang sekte kami suka membalas air susu dengan air tuba. Coba ingat, Ketua Lin dari Biro Ekspedisi Fuwei sering membantu rumah tanggamu. Setiap tahun ia mengirim sepuluh ribu tahil perak sebagai hadiah untukmu. Tapi Perguruan Qingcheng yang kau pimpin malah membantai Ketua Lin sekeluarga. Pendeta Yu benar-benar memiliki nama besar dalam hal membalas kebaikan dengan kejahatan. Semua orang mengetahui berita ini. Dengan melihat kelakuanmu itu, sungguh tidak mengherankan kalau dirimu menjadi anggota sekte kami. Bagus sekali, bagus sekali! Selamat bergabung, Pendeta Yu!”

“Huh, omong kosong! Kentut busuk!” teriak Yu Canghai semakin gusar.

Xiang Wentian berkata, “Nah! Betul, bukan? Aku menyambut dengan ucapan selamat, tapi Pendeta Yu balas memaki. Benar kata orang. Gunung dan sungai bisa diubah, tapi watak manusia sulit diubah. Jika sudah bersifat suka membalas kebaikan dengan kejahatan, maka jangankan perbuatan, bahkan perkataan pun sudah menunjukkan wataknya itu.”
 
Berpamitan sebelum membubarkan diri.

Bersembunyi di balik papan nama.

Xiang Wentian dan Ren Woxing melakukan pembunuhan.
Ren Yingying menceritakan pembebasan dirinya.

(Bersambung)