Bagian 120 - Memperdaya Orang-Orang Licik

Yilin berdebat dengan ibunya.

Yilin menangis tersedu-sedu. Dengan lembut si nenek kembali berkata, “Aku hendak membicarakan suatu urusan penting denganmu. Setelah mendengarnya tentu kau akan senang.”

“Apakah soal ayahku?” tanya Yilin.

“Tentang ayahmu? Huh, persetan dia mampus atau hidup,” sahut si nenek. “Yang akan kubicarakan adalah mengenai Kakak Linghu-mu.”

“Tidak. Jang… jangan kau sebut-sebut dia lagi. Aku … aku tidak mau bicara tentang dia lagi untuk selamanya,” jawab Yilin dengan suara terputus-putus. “Sudahlah, aku mau pulang untuk sembahyang.”

“Jangan, tunggu dulu! Dengarkan dulu uraianku!” kata si nenek. “Kakak Linghu-mu bilang padaku bahwa sesungguhnya dalam hati dia sangat menyukaimu. Dia sepuluh kali lipat lebih menyukaimu daripada Nona Ren dari Sekte Iblis itu.”

Linghu Chong memandang sekejap kepada Ren Yingying, kemudian memaki dalam hati, “Perempuan tua bangka. Pembohong besar nomor satu di dunia!”

Sementara itu terdengar Yilin menghela napas lalu berkata, “Kau tidak perlu berdusta padaku. Ketika pertama kali aku mengenalnya, Kakak Linghu hanya menyukai adik seperguruannya seorang. Kemudian sesudah adik seperguruannya itu meninggalkannya dan menikah dengan orang lain, ia lantas menyukai Nona Ren seorang. Dalam lubuk hatinya kini hanya Nona Ren saja yang ia cintai.”

Kembali pandangan Linghu Chong beradu dengan Ren Yingying. Hati keduanya sama-sama merasa berbunga-bunga dan sangat bahagia.

Terdengar si nenek berkata, “Sebenarnya diam-diam dia sangat menyukaimu. Hanya saja, kau ini seorang biarawati, sedangkan dia juga ketua Perguruan Henshan. Rasanya tidak pantas kalau ia mengutarakan isi hati dengan bebas. Tapi kini dia sudah mengambil keputusan, sudah menetapkan niat, sudah bertekad bulat akan menikahimu. Sebab itulah ia lantas mencukur rambutnya dan menjadi biksu.”

“Hahhh!” kembali Yilin menjerit kaget. “Tidak bisa … tidak bisa demikian! Tidak boleh … tidak boleh demikian! Tolong kau suruh … suruh dia jangan menjadi biksu.”

“Sudah terlambat,” sahut si nenek dengan nada menyesal. “Kini dia sudah menjadi biksu. Katanya, bagaimanapun juga dia harus menikahimu. Kalau sampai gagal, maka dia akan bunuh diri atau menjadi kasim saja.”

“Menjadi kasim?” Yilin menegas. “Kasim itu apa? Kata Guru istilah kasim tidak baik untuk diucapkan, apalagi oleh kaum biarawati seperti kami.”

Si nenek menjawab, “Kasim bukan istilah kotor. Kasim adalah pelayan kaisar, pelayan keluarga kaisar, semacam kaum hamba sahaya di dalam istana.”

“Tapi Kakak Linghu sangat menjunjung tinggi harga diri, seorang yang suka hidup bebas merdeka. Mana mungkin ia sudi menjadi pelayan kaisar?” ujar Yilin. “Bahkan menjadi kaisar sekalipun dia tidak mungkin mau, apalagi menjadi pelayan kaisar? Aku yakin tidak mungkin dia menjadi kasim.”

Si nenek menjawab, “Bukan maksudku seperti itu. Istilah kasim aku gunakan hanya sebagai perumpamaan saja. Maksudku, orang yang sudah menjadi kasim selama hidupnya tidak bisa mempunyai anak lagi.”

“Ah, aku tidak percaya,” kata Yilin. “Kakak Linghu dan Nona Ren akan segera menikah. Mereka pasti akan memiliki beberapa bayi yang mungil. Mereka berdua pasangan serasi. Yang satu tampan dan yang satu cantik. Pasti anak-anak mereka juga lucu dan menyenangkan.”

Linghu Chong melirik Ren Yingying. Dilihatnya kedua belah pipi si nona bersemu merah. Rasa malu dan bahagia bercampur di dalam hati gadis itu.

Sepertinya si nenek menjadi gusar. Terdengar suaranya berubah keras, “Sekali aku berkata tidak bisa punya anak, maka dia takkan punya anak. Jangankan anak, punya istri juga tidak bisa. Dia sudah terikat sumpah, mau tidak mau harus menikah denganmu.”

“Tapi yang aku tahu dia hanya mencintai Nona Ren seorang,” ujar Yilin.

“Dia bisa menikahi Nona Ren dan juga menikahimu, paham?” kata si nenek. “Jadi, dia akan punya dua istri. Jangankan hanya dua, bahkan sudah biasa laki-laki di dunia ini memiliki beberapa istri dan banyak gundik.”

“Ah, tidak bisa, tidak bisa,” kata Yilin. “Dalam hati seseorang kalau sudah mencintai siapa, maka yang dia pikirkan hanyalah orang itu saja. Siang terpikir malam terkenang. Saat makan ia teringat, kala tidur juga terbawa mimpi. Mana mungkin ada tempat di hatinya untuk orang lain? Sama seperti Ayah. Sejak Ibu meninggalkannya, maka ia pun berkelana menjelajahi segenap pelosok dunia untuk mencari. Di dunia ini masih banyak wanita lain. Meskipun seorang laki-laki boleh mempunyai banyak istri, tapi Ayah tidak mau menikah lagi dengan perempuan lain.”

Seketika nenek itu terdiam. Cukup lama ia tidak bersuara karena kata-kata Yilin itu tepat mengena di hatinya. Akhirnya, setelah menghela napas ia kembali berkata, “Semula ayahmu berbuat salah. Mungkin kemudian dia … dia merasa menyesal.”

“Sudahlah, aku pulang saja,” kata Yilin. “Nenek, bila kau bicara pada orang lain bahwa Kakak Linghu ingin menikahiku, maka aku tidak … tidak mau hidup lagi.”

“Kenapa? Dia memang ingin menikahimu, apakah kau tidak senang?” tanya si nenek.

“Tidak, tidak!” jawab Yilin. “Hatiku memang senantiasa memikirkannya. Aku selalu berdoa agar ia diberkati hidup bahagia dan sehat selalu. Semoga ia terbebas dari segala kesulitan dan terlepas dari bencana. Semoga terkabul cita-citanya menjadi suami-istri dengan Nona Ren. Mungkin kau tidak paham isi hatiku. Nenek, aku hanya berharap asalkan Kakak Linghu merasa senang, merasa bahagia, maka aku pun akan ikut merasa senang dan bahagia.”

“Jika dia tidak berhasil menikahimu, maka dia takkan merasa senang dan takkan bahagia. Menjadi manusia mungkin juga tidak ada artinya lagi,” ujar si nenek bersikeras.

“Ah, semua ini memang salahku. Kukira kau tidak dapat mendengar, maka aku banyak bercerita soal Kakak Linghu kepadamu,” kata Yilin. “Dia seorang pahlawan besar pada zaman ini, sementara aku hanya seorang biksuni cilik yang tak berarti. Dia pernah berkata padaku bahwa setiap kali bertemu biksuni, selalu saja ia kalah judi. Melihat aku saja sudah membuatnya sial, mana bisa dia menikahi aku? Aku sudah menyerahkan jiwa ragaku ke dalam Agama Buddha. Aku harus menghilangkan segala keinginan duniawi. Aku tidak dapat memikirkan hal-hal seperti itu lagi. Nenek, untuk selanjutnya kau jangan lagi menyinggung-nyinggung masalah ini. Untuk selanjutnya aku pun tidak akan … tidak akan menemuimu lagi.”

Sepertinya si nenek menjadi kelabakan. Ia berkata, “Kau bocah cilik berkelakuan aneh dan membingungkan. Linghu Chong sudah menjadi biksu demi dirimu. Dia sudah bersumpah harus menikahimu. Bila Sang Buddha murka biarlah dia yang mendapat murka.”

Yilin menghela napas dan berkata, “Apakah mungkin dia punya jalan pikiran seperti ayahku? Tidak mungkin. Ibuku cantik dan cerdas. Perangainya halus dan ramah. Boleh dikata ia adalah wanita paling baik di dunia ini. Ayahku menjadi biksu demi ibuku adalah hal yang pantas. Tapi aku … aku sedikit pun tidak bisa menyamai ibuku. Mana mungkin Kakak Linghu ....”

Dalam hati Linghu Chong tertawa geli. Ia berpikir, “Ibumu cantik dan cerdas, rasanya kurang tepat. Perangainya halus, sangat-sangat tidak benar. Justru sebaliknya, sedikit pun ibumu tidak bisa menyamaimu.”

Terdengar si nenek kembali bertanya. “Dari mana kau tahu?”

“Tentu saja aku tahu,” sahut Yilin. “Setiap kali Ayah bertemu denganku, selalu saja ia bercerita tentang kebaikan Ibu, tentang budi pekerti Ibu yang halus pula. Selamanya Ibu tidak pernah marah dan memaki orang. Selama hidup Ibu tidak pernah menyakiti orang, bahkan seekor semut pun tidak pernah terinjak olehnya. Kata Ayah, meskipun seluruh wanita terbaik di dunia ini bergabung menjadi satu juga tidak bisa menyamai ibuku seorang.”

“Be… betulkah dia berkata demikian? Ah … mungkin … mungkin dia hanya berpura-pura,” kata si nenek dengan suara gemetar, jelas perasaannya agak terguncang.

“Sudah tentu benar,” sahut Yilin. “Aku adalah anak perempuannya, mana mungkin Ayah berdusta padaku?”

Seketika suasana di Loteng Kura-Kura Dewa itu menjadi sunyi senyap. Rupanya si nenek tenggelam dalam perasaannya.

“Nenek, aku mau pulang,” kata Yilin kemudian. “Selanjutnya aku takkan menemui Kakak Linghu lagi. Aku hanya berdoa setiap hari semoga Dewi Guanyin selalu melimpahkan berkah kepadanya.” Kemudian terdengar suara langkah kakinya perlahan turun ke bawah.

Selang agak lama barulah si nenek seperti tersadar dari lamunan. Terdengar ia bergumam perlahan, “Apa benar dia mengatakan bahwa aku adalah wanita paling baik di dunia? Dia telah menjelajahi segenap penjuru dunia demi untuk mencariku? Jika begitu, dia bukan lagi manusia yang tak berperasaan, bukan manusia yang paling doyan perempuan.”

Tiba-tiba perempuan tua itu berseru keras, “Yilin! Yilin! Di mana kau?”

Namun, Yilin sudah pergi jauh. Nenek itu berteriak lagi beberapa kali dan tidak juga mendapat suatu jawaban. Segera ia pun berlari-lari ke bawah loteng. Ia berlari dengan tergesa-gesa dan cepat, tapi suara langkahnya tetap terdengar sangat lirih, bahkan nyaris tak terdengar. Ini pertanda ilmu meringankan tubuhnya memang sangat luar biasa.

Linghu Chong saling pandang dengan Ren Yingying. Seketika bermacam-macam pikiran berkecamuk dalam benak mereka. Sinar mentari yang memancar masuk melalui jendela membuat pisau cukur yang sangat tajam itu tampak berkilauan. Diam-diam Linghu Chong merasa bersyukur, “Tak pernah kusangka bencana yang hampir saja mengancam keselamatanku ini ternyata berakhir begitu saja.”

Tiba-tiba terdengar suara beberapa orang berbicara di bawah Kuil Gantung. Namun, karena jaraknya agak jauh maka percakapan itu tidak dapat terdengar jelas. Selang sejenak, barulah percakapan mereka samar-samar bisa didengar. Rupanya ada satu rombongan sedang berjalan mendekati kuil tersebut.

“Ada yang datang!” sahut Linghu Chong.

Begitu mendengar suaranya sendiri seketika Linghu Chong sadar bahwa totokan pada titik bisunya telah terbuka. Di antara berbagai titik nadi pada tubuh manusia, titik bisu memang yang paling dangkal dan cepat terbuka jika mengalami totokan. Apalagi tenaga dalam Linghu Chong jauh lebih kuat daripada Ren Yingying, sehingga dapat melepaskan diri lebih dulu dari totokan tersebut.

Ren Yingying mengangguk perlahan. Segera Linghu Chong bermaksud menggerakkan tangan dan kaki, namun ternyata masih belum terbebas. Terpaksa ia berkata dengan suara tertahan, “Mungkin mereka musuh. Kita harus segera melepaskan semua totokan pada tubuh kita.”

Kembali Ren Yingying mengangguk sambil memasang telinga untuk mendengarkan. Dari suara di bawah itu sepertinya ada tujuh atau delapan orang yang sedang menuju Kuil Gantung.

Linghu Chong berpikir, “Semoga mereka naik ke Loteng Ular Sakti di sebelah sana.”

Akan tetapi, harapan ternyata tidak sesuai dengan kenyataan. Beberapa orang itu justru menaiki tangga yang menuju ke atas Loteng Kura-Kura Dewa.

Terdengar seseorang di antara mereka berkata dengan suara kasar, “Bahkan hantu pun tidak ada di Kuil Gantung ini. Lantas, apa pula yang hendak kita cari di sini?”

Linghu Chong mengenali suara tersebut adalah suara Qiu Songnian. Jelas yang datang ke tempat itu adalah kelompok Nyonya Zhang bertujuh.

Menyusul Biksu Xibao berkata, “Kita mendapat perintah seperti ini, lebih baik dijalani saja.”

Linghu Chong mengerahkan tenaga dalam sebanyak-banyaknya untuk menerjang totokan pada tubuhnya yang belum terbuka. Akan tetapi, tenaga dalamnya itu diperoleh dari menghisap orang lain, sehingga meskipun sangat kuat, namun tidak dapat digunakan secara leluasa. Semakin terburu-buru ternyata semakin macet pula.

Sementara itu, terdengar Yan Sanxing berkata, “Tuan Yue berkata bahwa, jika kita berhasil melaksanakan tugas ini, maka Beliau akan mengajarkan Jurus Pedang Penakluk Iblis kepada kita. Ucapannya ini memang sukar dipercaya. Coba kalian pikir, orang yang berjuang ke Gunung Henshan ini tidak terhitung banyaknya. Kita belum berjasa apa-apa, tapi mengapa Tuan Yue berjanji akan menurunkan jurus pedang itu kepada kita?”

Suara percakapan mereka terdengar semakin jelas. Rupanya mereka telah melalui anak tangga yang menuju Loteng Kura-Kura Dewa. Maka, begitu membuka pintu seketika mereka pun melihat Linghu Chong dan Ren Yingying dalam keadaan kaki dan tangan terikat kencang. Yang satu di atas meja, yang satu duduk di lantai. Menyaksikan itu semua masing-masing menjerit kaget bercampur heran.

“Hah, mengapa Nona Ren berada di sini? Hei, ada seorang biksu pula,” kata You Xun. Rupanya yang datang tidak hanya kelompok Nyonya Zhang bertujuh, karena Si Licin Susah Dipegang juga ikut serta.

“Siapa yang berani kurang ajar terhadap Nona Ren?” seru Nyonya Zhang. Segera ia pun mendekati Ren Yingying dan bermaksud melepaskan tali ikatannya.

“Jangan, jangan dulu, Nyonya Zhang!” seru You Xun.

“Tunggu apa lagi?” tanya Nyonya Zhang.

“Biar kupikirkan dulu masak-masak,” sahut You Xun. “Melihat gelagatnya, tampaknya Nona Ren diringkus orang sehingga tidak bisa berkutik. Ini benar-benar kejadian aneh dan ajaib.”

“Hei, orang ini bukan biksu. Tapi dia adalah … adalah … Ketua Linghu, Tuan Muda Linghu Chong!” tiba-tiba Pendeta Yuling berseru kaget.

Serentak orang-orang itu berpaling ke arah Linghu Chong. Selang sejenak barulah mereka dapat mengenali pemuda itu. Kedelapan orang ini biasanya sangat hormat kepada Ren Yingying, juga sangat takut kepada Linghu Chong.  Maka, untuk sekian lamanya mereka hanya saling pandang saja. Tidak seorang pun yang berani mengutarakan pendapat.

Tiba-tiba Yan Sanxing dan Qiu Songnian serentak berkata, “Bagus sekali. Kita benar-benar berjasa besar!”

“Benar!” sahut Pendeta Yuling. “Mereka hanya dapat menangkap beberapa orang biksuni cilik. Apa hebatnya? Sementara kita berhasil membekuk ketua Perguruan Henshan. Ini baru yang namanya jasa besar. Tuan Yue pasti akan mengajarkan Jurus Pedang Penakluk Iblis kepada kita.”

“Jadi, kita harus bagaimana?” sahut Nyonya Zhang sambil menarik kembali tangannya yang hampir saja membuka ikatan pada tubuh Ren Yingying.

Kedelapan orang itu sama-sama berpikir, “Jika Nona Ren dibebaskan, mana mungkin kita bisa menangkap Linghu Chong? Bisa-bisa kita semua akan kehilangan nyawa di sini.” Rupanya masing-masing merasa sangat segan terhadap kedudukan dan kekuasaan Ren Yingying dalam Sekte Matahari dan Bulan.

You Xun tertawa kecil dan berkata, “Pepatah mengatakan, bernyali kecil bukan kesatria, tidak kejam bukan laki-laki. Disebut tidak kesatria bukan masalah. Tapi kalau tidak menjadi laki-laki rasanya sungguh sayang, sungguh sayang!”

“Jadi menurutmu, kita harus membunuh Nona Ren untuk menghilangkan saksi?” tanya Pendeta Yuling.

“Bukan aku yang mengatakan, tapi kau sendiri yang menyimpulkan demikian,” jawab You Xun.

Nyonya Zhang langsung saja membentak, “Gadis Suci berjasa besar kepada kita. Kita semua berhutang budi kepada Beliau. Siapa yang berani kurang ajar terhadap Beliau, maka akulah orang pertama yang akan menghalangi.”

“Sampai sekarang kita belum juga melepaskan dia, apakah kau pikir dia akan bermurah hati mengampuni kita?” kata Qiu Songnian. “Lagipula, mana mungkin dia membiarkan kita menangkap Linghu Chong?”

Nyonya Zhang menyahut, “Bagaimanapun juga kita pernah bergabung ke dalam Perguruan Henshan. Kalau sekarang kita harus memberontak terhadap ketua sendiri, ini namanya pengkhianatan!” Usai berkata demikian tangannya kembali menjulur hendak membuka ikatan Ren Yingying.

“Tunggu dulu!” bentak Qiu Songnian dengan suara bengis.

“Kau berani membentak, memangnya aku takut padamu?” jawab Nyonya Zhang gusar.

Tanpa banyak bicara Qiu Songnian mengeluarkan goloknya. Namun, gerakan Nyonya Zhang sendiri sangat cepat. Tahu-tahu tangannya sudah melolos keluar sebilah belati dari balik bajunya dan dengan dua kali gerakan ia sudah memutuskan tali yang mengikat kaki dan tangan Ren Yingying. Ia sadar ilmu silat Ren Yingying sangat tinggi. Dengan membebaskan gadis itu, maka ketujuh orang lainnya tidak perlu ditakuti lagi

Qiu Songnian tidak tinggal diam. Segera ia mengayunkan goloknya ke arah Nyonya Zhang. Namun, Nyonya Zhang juga tidak kalah cepatnya. Dengan tiga kali tusukan ia dapat mendesak biksu berambut itu mundur.

Sementara itu You Xun dan yang lain merasa gentar melihat Ren Yingying sudah terbebas dari ikatan. Masing-masing melangkah mundur ke tepi ruangan untuk berjaga-jaga. Bahkan, mereka bermaksud melarikan diri pula. Namun, begitu melihat Ren Yingying tetap tergeletak di lantai tanpa bergerak, barulah mereka sadar bahwa titik nadi Sang Gadis Suci telah tertotok. Serentak mereka pun melangkah maju kembali.

“Hehe, sebenarnya kita semua adalah sahabat baik,” kata You Xun dengan cengar-cengir. “Untuk apa harus main senjata segala? Bukankah ini berbahaya?”

Qiu Songnian menjawab, “Kalau totokan Nona Ren sudah terbuka, apakah jiwa kita masih bisa dipertahankan?” Usai berkata ia kembali menerjang Nyonya Zhang.

Meskipun tubuh Qiu Songnian tinggi besar, ditambah senjatanya juga berat, tapi menghadapi seorang perempuan tua bersenjata belati macam Nyonya Zhang sedikit pun ia tidak bisa unggul. Bahkan biksu berambut ini berkali-kali terdesak mundur.

“Hei-hei, jangan berkelahi lagi, jangan berkelahi lagi! Apa pun masalahnya, mari kita bicarakan baik-baik,” kata You Xun sambil tertawa kecil. Laki-laki yang berdandan mirip saudagar itu melangkah mendekati keduanya sambil berkipas-kipas.

“Minggir sana! Jangan mengganggu!” bentak Qiu Songnian.

“Baik, baik!” sahut You Xun dengan tetap tertawa. Ia lantas berbalik, namun tiba-tiba tangannya bekerja cepat. Terdengar Nyonya Zhang menjerit ngeri, karena tahu-tahu gagang kipas You Xun yang terbuat dari baja sudah menancap di tenggorokan perempuan berambut putih itu.

“Aih, aih, sudah kukatakan kita semua bersahabat, untuk apa main senjata segala? Tapi kau tidak mau menurut. Bukankah ini namanya mementingkan diri sendiri?” kata You Xun sambil menarik kipasnya. Seketika darah segar pun menyembur keluar dari leher Nyonya Zhang.

Apa yang baru saja terjadi benar-benar di luar dugaan semua orang. Qiu Songnian melompat mundur sambil memaki, “Sialan, ternyata anak bulus ini membantuku.”

“Kalau bukan membantu dirimu, apakah aku harus membantu dia?” sahut You Xun dengan tertawa. Ia berpaling kepada Ren Yingying dan berkata, “Nona Ren, kau adalah putri kesayangan Ketua Ren. Kami semua hormat kepadamu karena memandang ayahmu. Namun, rasa segan dan takut kami kepadamu juga karena kau memegang obat penawar Pil Pembusuk Otak yang pernah kami telan. Kalau obat penawar itu dapat kami miliki, maka Gadis Suci macam dirimu sudah tidak berarti lagi.”

“Benar, benar, ambil obat penawarnya dan bunuh dia!” seru keenam yang lain beramai-ramai.

Pendeta Yuling berkata, “Tapi kita harus bersumpah lebih dulu. Barangsiapa membocorkan peristiwa ini, biarlah dia mati membusuk oleh ratusan pil maut yang telah dimakannya.”

Ketujuh orang itu merasa tidak mempunyai pilihan lain kecuali membunuh Ren Yingying. Namun, mereka juga sangat takut kepada Ren Woxing. Apabila peristiwa ini sampai diketahui oleh ketua Sekte Iblis tersebut, maka sekalipun dunia ini sangat luas tetap saja tiada tempat bagi mereka untuk bersembunyi. Tanpa ragu-ragu lagi masing-masing pun mengucapkan sumpah sesuai saran Pendeta Yuling.

Linghu Chong paham bahwa begitu mereka selesai bersumpah, tentu Ren Yingying akan segera dibunuh pula. Segera ia pun mengerahkan tenaga dalam untuk membobol beberapa titik nadinya yang masih tertotok. Namun, meskipun tenaga dalamnya sangat kuat tetap saja sulit untuk dikendalikan dengan baik. Totokan pada tubuhnya belum juga bisa terbuka. Menyadari hal ini hatinya sangat gelisah dan khawatir.

Linghu Chong lantas memandang ke arah Ren Yingying. Dilihatnya si nona juga sedang memandang dirinya dengan mesra. Sedikit pun gadis itu tidak menunjukkan rasa takut dan gentar. Linghu Chong lega melihatnya dan ia pun berpikir, “Sekalipun kami berdua akan mati, namun rasanya sungguh bahagia bisa mati bersama pada waktu yang sama dan di tempat yang sama pula.”

Terdengar Qiu Songnian berseru kepada You Xun, “Lekas kerjakan!”

“Saudara Qiu terkenal cepat dan tegas dalam menghadapi setiap urusan. Maka lebih baik Saudara Qiu saja yang turun tangan,” jawab You Xun.

“Bangsat! Kalau kau tidak turun tangan, maka kau sendiri yang akan kubunuh segera,” bentak Qiu Songnian.

“Kalau Saudara Qiu tidak berani, biar kita minta Saudara Yan saja yang turun tangan,” ujar You Xun dengan tertawa.

“Nenekmu,” sahut Qiu Songnian memaki. “Mengapa aku tidak berani? Masalahnya hari ini aku sedang tidak ingin membunuh orang.”

“Sebenarnya siapa pun yang turun tangan juga sama saja. Bukankah kita sudah bersumpah tidak akan membocorkan peristiwa ini?” kata Pendeta Yuling.

“Jika begitu, bagaimana kalau Saudara Pendeta saja yang turun tangan?” ujar Biksu Xibao.

“Hei, kenapa semuanya harus bingung seperti ini?” sahut Yan Sanxing. “Apabila kita memang tidak bisa saling percaya, maka yang paling baik adalah masing-masing mengayunkan senjata secara bersama-sama pada tubuh Nona Ren, bagaimana?”

Ketujuh orang ini adalah kumpulan manusia kejam dan serakah. Di samping itu mereka juga berhati licik. Masing-masing saling mencurigai sehingga pada saat-saat gawat seperti itu masih juga berusaha melimpahkan tanggung jawab kepada orang lain. Meskipun demikian, mereka tetap tidak berani berkata kasar kepada Ren Yingying.

“Tunggu dulu,” seru You Xun kemudian. “Biar kuambil dulu obat penawar racun pil tersebut dari tubuhnya.”

“Kenapa pula harus kau yang mengambilnya?” sahut Qiu Songnian. “Setelah kau ambil obat penawar itu tentu akan kau gunakan untuk memeras kami. Biar aku saja yang mengambil.”

“Kau yang mengambil? Memangnya siapa yang percaya kau tidak akan memeras kami?” sahut You Xun tidak terima.

“Sudahlah, jangan buang-buang waktu lagi!” seru Pendeta Yuling. “Bila terlalu lama, jangan-jangan totokannya terbuka sendiri. Urusan ini bisa runyam kalau sudah begitu. Yang paling penting adalah kita harus segera membinasakan dia, baru kemudian membagi obat penawarnya.”

Segera Yuling mendahului mencabut pedang. Keenam orang lainnya pun beramai-ramai mempersiapkan senjata masing-masing dan mengelilingi tubuh Ren Yingying.

Melihat ajal sudah dekat, Ren Yingying pun memandang Linghu Chong tanpa berkedip. Teringat saat-saat indah dan bahagia selama berdampingan dengan pemuda itu, sekilas bibirnya pun tersenyum manis.

“Sekarang aku akan menghitung sampai tiga, lalu kita turun tangan bersama!” seru Yan Sanxing. “Nah, mulai! Satu … dua … tiga!” Begitu hitungan ketiga diucapkan, serentak tujuh bentuk senjata pun menyambar turun ke arah Ren Yingying bersama-sama.

Sungguh tak disangka, ketujuh senjata itu tanpa diperintah tiba-tiba berhenti begitu saja pada jarak beberapa senti dari tubuh Sang Gadis Suci.

“Dasar pengecut!” gerutu Qiu Songnian. “Kenapa tidak diteruskan? Huh, kalian selalu saja ingin orang lain yang membunuhnya agar tidak ikut menanggung dosa.”

“Hei, kau sendiri kenapa juga berbuat demikian?” jawab Biksu Xibao. “Golokmu juga berhenti di tengah jalan. Kalau kau memang pemberani kenapa senjatamu tidak menyentuh kulit Nona Ren?”

Ketujuh orang ini sama-sama manusia busuk, berjiwa licik. Masing-masing mengharapkan Ren Yingying biarlah mati terkena senjata orang lain, sehingga kalau peristiwa ini sampai terbongkar mereka bisa mengelakkan diri dari tanggung jawab. Selain itu dalam hati mereka ternyata masih ada juga rasa segan menodai senjata masing-masing dengan darah seorang tuan putri yang selama ini mereka hormati.

“Baiklah, mari kita ulangi kembali!” seru Qiu Songnian. “Kali ini kalau ada yang menahan senjata, maka dia adalah bangsat anak haram, anak anjing, babi! Nah, biar aku yang menghitung. Satu … dua …”

Tiba-tiba Linghu Chong berseru, “Jurus Pedang Penakluk Iblis!”

Serentak ketujuh orang itu menoleh begitu mendengar istilah tersebut. Empat di antaranya lantas bertanya bersama-sama, “Kau bilang apa?”

Memang sudah sejak lama ketujuh orang ini mengincar kitab pusaka Jurus Pedang Penakluk Iblis. Bersama Nyonya Zhang mereka pernah mengeroyok Yu Canghai, karena mengira mendiang ketua Perguruan Qingcheng itu menyimpan kitab pusaka tersebut. Apalagi setelah mendengar berita menggemparkan bahwa Yue Buqun berhasil membutakan kedua mata Zuo Lengchan, membuat mereka semakin bernafsu untuk menguasai jurus pedang sakti tersebut. Maka, begitu mendengar ilmu itu disebut-sebut, serentak mereka pun mengesampingkan semua urusan.

Kini ketujuh pasang mata mereka memandang tanpa berkedip ke arah Linghu Chong. Terdengar mulut pemuda itu berkata, “Jurus Pedang Penakluk Iblis, ilmu pedang mahasakti di seluruh dunia. Latih dulu kekuatan tenaga, baru kemudian latih kesaktian pedang. Kalau kekuatan tenaga sudah kokoh, maka kesaktian pedang akan sempurna dengan sendirinya. Bagaimana cara membangkitkan kekuatan tenaga, serta bagaimana cara membangkitkan kesaktian pedang, rahasia keajaibannya dapat dicari dalam kitab ini.”

Setiap kali ia menyebut satu kalimat, serentak ketujuh orang itu maju satu langkah pula ke arahnya. Tahu-tahu mereka sudah meninggalkan Ren Yingying dan kini ganti mengelilingi tubuh Linghu Chong.

“Apakah kalimat tadi … terdapat dalam Kitab Pedang Penakluk Iblis?” tanya Qiu Songnian ketika Linghu Chong menghentikan uraiannya.

“Kalau bukan Kitab Pedang Penakluk Iblis, memangnya kau kira ini Kitab Iblis Penakluk Pedang?” sahut Linghu Chong gusar.

“Coba uraikan lanjutannya,” kata Qiu Songnian.

Linghu Chong mengangguk lalu kembali berkata, “Untuk melatih kekuatan tenaga, maka perasaan harus tulus dan bersungguh-sungguh. Pikiran harus tenang, hati harus bersih ....” Sampai di sini ucapannya lantas berhenti.

“Ayo teruskan, teruskan!” desak Biksu Xibao. Sementara itu Pendeta Yuling tampak komat-kamit mengulangi kalimat yang diucapkan Linghu Chong tadi. Sepertinya ia sedang mencoba menghafalkannya di luar kepala.

Sebenarnya Linghu Chong sama sekali belum pernah membaca isi Kitab Pedang Penakluk Iblis. Apa yang baru saja ia ucapkan tadi adalah kata pengantar dalam mempelajari ilmu pedang Perguruan Huashan aliran tenaga dalam. Tentu saja ia hanya sekadar menukar istilah Jurus Pedang Perguruan Huashan menjadi Jurus Pedang Penakluk Iblis. Namun, ketujuh penjahat di hadapannya tidak pernah mengenal ilmu pedang Perguruan Huashan, selain itu juga sangat berhasrat menguasai Jurus Pedang Penakluk Iblis. Maka, begitu mendengar uraian Linghu Chong tersebut, mereka menjadi semakin tergila-gila dan ingin mengetahui lebih banyak, tanpa memikirkan apakah kalimat yang mereka dengar itu asli atau tidak.

Linghu Chong sendiri sudah lama tidak berlatih ilmu Pedang Huashan, sehingga rumusan yang pernah diajarkan Yue Buqun sudah banyak yang terlupakan dari ingatannya. Di samping itu, kemampuan baca tulisnya juga rendah sehingga uraian kalimatnya pun macet di tengah jalan. Namun, demi menolong jiwa Ren Yingying terpaksa ia mencoba mengarang sebisanya.

“Mengalirlah dengan lembut, penuhi pedangmu dengan kekuatan, bunuh semua yang ada ... Selanjutnya, jika tidak berhasil membunuh, maka ilmu pedang tidak berguna lagi .... Entah apa lanjutannya, aku lupa. Aku belum tuntas menghafalkannya,” ujar Linghu Chong. Mengenai kata bunuh-membunuh ini jelas adalah hasil karangannya sendiri.

Biksu Xibao tidak sabar dan membentak, “Di mana kitab pusaka itu? Biar kami baca sendiri!” Yang lain ikut meendesak pula.

“Kitab pusaka itu … yang pasti tidak berada padaku. Bahkan, uang saja aku tidak punya,” sahut Linghu Chong sambil melirik ke arah perutnya. Tentu saja hal ini menimbulkan rasa curiga ketujuh orang itu. Serentak dua buah tangan pun menjulur maju menggerayangi perutnya itu. Yang satu adalah tangan Biksu Xibao, dan yang satunya lagi adalah tangan Qiu Songnian.

Tiba-tiba terdengar kedua orang itu menjerit ngeri. Kepala Biksu Xibao yang botak licin hancur dengan otak berhamburan, sementara punggung Qiu Songnian tertembus pedang sampai ke dada. Ternyata masing-masing telah dibereskan oleh Yan Sanxing dan Pendeta Yuling.

“Hm, kita sudah bekerja keras demi mendapatkan Kitab Pedang Penakluk Iblis, akhirnya bertemu juga di sini,” ujar Yan Sanxing tertawa. “Namun, kedua bajingan ini bermaksud mengangkanginya. Memangnya di dunia ini ada urusan semudah itu?” Menyusul ia lantas menendang dua kali. Seketika kedua sosok mayat tersebut terlempar hingga ke pinggir ruangan loteng.

Sebenarnya Linghu Chong berpura-pura mengutarakan isi Kitab Pedang Penakluk Iblis hanyalah untuk menyelamatkan Ren Yingying dari bahaya. Sedapat-dapatnya ia mencari akal untuk mengalihkan perhatian orang-orang itu, serta ia juga bermaksud mengulur waktu sambil menunggu totokan pada tubuhnya dan juga pada tubuh Ren Yingying terbuka sendiri oleh waktu. Tak disangka, akalnya ini ternyata sangat manjur. Bukan saja ketujuh orang itu dapat dipancing meninggalkan Ren Yingying, bahkan mereka justru saling bunuh pula. Kini tujuh orang itu tinggal berlima saja. Diam-diam Linghu Chong merasa sangat senang.

“Sabar dulu,” tiba-tiba You Xun menyela. “Apakah kitab pusaka itu benar-benar ada di tubuh Linghu Chong atau tidak juga belum pasti. Tapi kita sendiri malah saling membunuh. Bukankah ini sangat merugikan ….”

Belum usai ia berbicara, Yan Sanxing sudah melotot dan menegur, “Huh, kau sebut kami tidak sabar, sebenarnya kau tidak senang, bukan? Barangkali kau juga ingin mengangkangi sendiri kitab pusaka itu?”

“Mengangkangi sendiri jelas tidak berani. Memangnya siapa pula yang ingin meniru biksu gundul itu? Memangnya enak punya kepala hancur?” sahut You Xun. “Masalahnya kita datang ke sini demi satu tujuan bersama. Kitab pusaka yang terkenal di seluruh dunia persilatan ini sudah pasti setiap orang ingin melihatnya. Maka, apa salahnya kalau kita miliki bersama?”

“Benar,” ujar Sepasang Orang Aneh Tongbai bersamaan. “Siapa pun tidak boleh mengangkangi kitab pusaka itu. Kita harus membacanya bersama.”

Yan Sanxing lantas berkata kepada kepada You Xun, “Baiklah, silakan kau saja yang mengambil kitab pusaka itu dari balik baju bocah Linghu ini.”

You Xun menggeleng dengan tersenyum, lalu berkata, “Lebih baik tidak usah. Aku sama sekali tidak punya niat mengangkangi kitab pusaka itu. Silakan Saudara Yan saja yang mengambil. Asalkan aku diizinkan membaca sekilas saja sudah membuat hatiku puas.”

“Kalau begitu, kau saja yang mengambilnya,” kata Yan Sanxing kepada Pendeta Yuling.

“Kurasa lebih baik Saudara Yan saja yang mengambil,” jawab Pendeta Yuling.

Ketika Yan Sanxing memandang Sepasang Orang Aneh Tongbai, ternyata kedua orang itu pun menggelengkan kepala, pertanda mereka merasa enggan pula.

Dengan suara gusar Yan Sanxing lantas memaki, “Apa kalian pikir aku tidak tahu isi hati kalian? Kalian ingin aku yang mengambil kitab pusaka itu, lalu diam-diam kalian membunuhku dari belakang untuk mengurangi saingan. Hm, aku, si marga Yan sama sekali tidak sudi ditipu mentah-mentah.”

Kelima orang itu lantas terdiam dan saling pandang. Masing-masing juga tidak mau tertipu. Keadaan pun menjadi buntu dan menegangkan.

Linghu Chong khawatir kelima orang itu kembali mendekati Ren Yingying. Maka ia pun berbicara, “Hei, kalian tidak perlu bertengkar, biar aku mengingat-ingatnya lagi. Oh ya, kalau tidak salah, seperti ini kalimat selanjutnya: Pedang Penakluk Iblis muncul, bunuh semua habis-habisan. Kalau tidak habis maka … eh, apa ya? Kalau tidak habis … dijual lagi … eh, salah. Wah, ini konyol. Isi kitab pusaka ini memang terlalu dalam maknanya sehingga sukar dipahami.”

Kelima orang itu kembali memperhatikan ucapan Linghu Chong dengan seksama. Semakin Linghu Chong kebingungan dan pura-pura tidak mengerti, justru membuat mereka semakin penasaran.

Yan Sanxing tidak sabar dan segera mengangkat goloknya, lalu berseru, “Sebenarnya urusan ini tidak sulit kalau kalian membiarkan aku merogoh baju bocah ini. Baiklah, biar aku yang mengambilnya dan kalian berempat silakan berjaga di luar pintu. Dengan demikian, kalian tidak bisa membokong aku, dan aku pun tidak dapat kabur begitu saja,”

Tanpa bicara Sepasang Orang Aneh Tongbai segera melangkah keluar. You Xun keluar pula mengikuti pasangan tersebut sambil cengar-cengir. Tinggal Pendeta Yuling saja yang merasa sangsi dan hanya mundur dua-tiga langkah.

“Kau juga harus keluar dari tempat ini!” bentak Yan Sanxing.

“Apa-apaan kau main bentak? Memangnya aku takut padamu? Mau keluar atau tidak bukan urusanmu! Ada hak apa kau memerintah diriku?” jawab Yuling gusar. Namun, tetap saja pada akhirnya ia pun mengundurkan diri ke luar pintu.

Maka, You Xun dan yang lain pun berjaga di luar pintu sambil keempat pasang mata mereka memandang tajam ke dalam. Tanpa berkedip mereka mengawasi gerak-gerik Yan Sanxing. Mereka yakin Si Pengemis Kejam Berkawan Ular itu tidak mungkin bisa melarikan diri dari Loteng Kura-Kura Dewa yang terletak menggantung di puncak gunung tersebut. Satu-satunya jalan keluar hanyalah jambatan layang menuju Loteng Ular Sakti, namun jalur ini cukup berbahaya jika dilewati dengan tergesa-gesa.

Yan Sanxing sendiri masih tetap tidak percaya pada keempat orang itu. Sambil kepala menoleh ke arah pintu, ia berjalan mundur mendekati Linghu Chong. Sesudah dekat, tangan kirinya lantas menjulur dan meraba-raba baju pemuda itu, sementara tangan kanan tetap memegang golok untuk berjaga-jaga.

Akan tetapi, ternyata dalam baju Linghu Chong tidak terdapat suatu kitab apa pun, kecuali sebatang pedang pendek. Hatinya semakin penasaran. Goloknya pun dipindahkan ke mulut. Tangan kirinya lantas mencengkeram dada Linghu Chong, sementara tangan kanan kembali meraba baju pemuda itu. Di luar dugaan, begitu tangan kirinya mengerahkan tenaga untuk mencengkeram, seketika ia merasa tenaga dalamnya mengalir keluar melalui tangan kirinya itu.

Yan Sanxing sangat terkejut dan lekas-lekas hendak menarik kembali tangannya, namun terasa seperti melekat kuat di tubuh Linghu Chong. Semakin kuat ia menarik tangan semakin deras pula tenaganya yang terhisap keluar. Semakin ia meronta, semakin membanjir pula tenaga dalamnya bagaikan air bah yang sukar dibendung lagi.

Linghu Chong menyadari bahwa Jurus Penyedot Bintang dalam tubuhnya telah bekerja menghisap seluruh tenaga dalam Si Pengemis Kejam Berkawan Ular. Dengan gembira ia sengaja berkata, “Hei, kenapa kau totok nadi dadaku? Cepat lepaskan, biar kuuraikan rahasia Jurus Pedang Penakluk Iblis kepadamu.” Kemudian ia pun pura-pura menggerakkan bibir seperti sedang berbicara.

Melihat itu, You Xun dan yang lain mengira Linghu Chong benar-benar sedang menguraikan isi kitab pusaka kepada Yan Sanxing seorang. Masing-masing merasa rugi jika tidak ikut mendengarkan. Maka serentak mereka pun berlari ke hadapan Linghu Chong.

“Benar, benar. Kitab inilah yang kau cari. Keluarkan saja, biar teman-temanmu ikut membaca!” seru Linghu Chong dengan sengaja. Padahal, saat itu tangan Yan Sanxing sudah melekat kuat pada tubuhnya, mana mungkin bisa ditarik keluar?

Namun, Pendeta Yuling mengira Yan Sanxing benar-benar telah menemukan kitab pusaka tersebut dalam baju Linghu Chong. Ia juga mengira Yan Sanxing tidak mau mengeluarkan kitab tersebut, tapi ingin mengangkanginya sendiri. Sudah tentu ia tidak tinggal diam. Segera ia pun menjulurkan tangannya ke dalam baju Linghu Chong. Akibatnya, tangan pendeta jahat itu terasa lengket pula. Tenaga dalamnya juga membanjir keluar dengan sangat deras.

“Hei, hei, kalian berdua jangan berebut. Kalau kitab pusaka ini sampai robek nanti tidak bisa dibaca lagi!” seru Linghu Chong kembali berpura-pura.

Mendengar itu Sepasang Orang Aneh Tongbai saling pandang dan sama-sama mengangguk setuju. Keduanya lantas berkelebat mengayunkan senjata masing-masing yang berupa tongkat tembaga penyangga tubuh. Tanpa ampun, kepala Yan Sanxing dan Pendeta Yuling pecah berantakan. Otak mereka berhamburan di mana-mana.

Begitu kedua orang itu tewas, tenaga mereka pun buyar pula. Kedua tangan mereka yang melekat di tubuh Linghu Chong juga ikut terlepas. Sebaliknya, Linghu Chong justru mendapat keuntungan. Dengan menghisap tenaga dalam kedua penjahat itu seketika totokan pada tubuhnya pun terbuka dan urat nadinya kembali lancar seketika.

Qiu Songnian, Nyonya Zhang, You Xun

Yuling, Xibao, Sepasang Orang Aneh, Yan Sanxing

(Bersambung)