![]() |
Linghu Chong dan Tian Boguang tak takut mati. |
Dari bentuk pedang tersebut Linghu Chong dapat mengenalinya sebagai senjata Perguruan Songshan. Maka ia pun bertanya, “Siapakah Tuan dari Perguruan Songshan yang terhormat ini?”
“Hm, tajam juga penglihatanmu. Namaku Di Xiu dari Perguruan Songshan,” jawab orang itu.
“Oh, ternyata Kakak Di. Selama ini kita jarang bertemu sehingga kurang mengenal satu sama lain,” sahut Linghu Chong. “Entah ada keperluan apa kiranya kau datang berkunjung ke Gunung Huashan sini?”
Di Xiu menjawab, “Aku ditugasi Paman Ketua untuk memeriksa keadaan di sini. Kami ingin tahu apa benar berita yang kami terima bahwa murid Perguruan Huashan suka melakukan perbuatan yang kurang baik. Tak kusangka, hehe, begitu sampai di sini aku langsung melihat dan mendengar ucapanmu yang tulus dan sungguh-sungguh untuk menjalin persahabatan dengan maling cabul ini.”
Mendengar itu Tian Boguang pun memaki, “Kau bangsat keparat! Kau kira Perguruan Songshan lebih baik dariku? Mengapa kau tidak bercermin dulu sebelum menunjuk hidung orang lain?”
Di Xiu langsung maju dan menendang kepala Tian Boguang sambil memaki, “Anjing! Sebentar lagi mampus masih berani mengumbar mulut, hah?” Meskipun demikian, Tian Boguang justru semakin gencar memaki dengan kata-kata kotor dan kasar. Kalau saja Di Xiu mau membunuh Tian Boguang tentu sangat mudah baginya. Hanya saja ia memang ingin menghina Linghu Chong terlebih dulu.
“Linghu Chong, kau telah mengikat persahabatan dengan maling cabul ini. Tentu kau tidak akan membunuh dia, bukan?” demikian ia bertanya.
Linghu Chong menjadi gusar dan membentak, “Aku membunuhnya atau tidak apa pedulimu? Jika kau benar-benar berani, maka kau boleh membunuh aku lebih dulu. Kalau takut kau boleh enyah dari Gunung Huashan sekarang juga.”
“Jadi, kau memang tidak mau membunuhnya? Itu berarti sudah jelas kau mengakui penjahat cabul ini sebagai sahabatmu, begitu?” desak Di Xiu menegaskan.
“Apa urusanmu aku berteman dengan siapa?” sahut Linghu Chong. “Terserah diriku bersahabat dengan siapa pun daripada berteman denganmu.”
“Hahahaha. Bagus sekali, bagus sekali!” sorak Tian Boguang dengan tertawa.
“Huh, jangan harap kau bisa memancing kemarahanku sehingga membunuh kalian sekarang juga. Di dunia ini mana ada urusan semudah itu?” kata Di Xiu. “Aku justru ingin menelanjangi kalian berdua dan kuikat menjadi satu, serta kutotok titik bisu kalian. Kemudian aku akan mempertontonkan kalian berdua di depan umum. Akan kukatakan pada semua orang di dunia persilatan bahwa aku telah menangkap basah pasangan mesum yang sedang berbuat cabul. Hahaha, gurumu Yue Buqun yang sok suci, sok bersih, sok berbudi, entah bagaimana dia menyembunyikan wajah setelah menyaksikan pertunjukan kalian berdua? Apa setelah itu dia masih berani memakai julukan si Pedang Budiman atau tidak?”
Ucapan ini membuat kemarahan Linghu Chong meledak dan mebuatnya kehilangan kesadaran.
Di sisi lain Tian Boguang memaki, “Bangsat, kepa....” Belum habis ucapannya tahu-tahu pinggangnya terkena tendangan Di Xiu.
Di Xiu tertawa menyeringai, kemudian mendekati Linghu Chong dan berniat melucuti pakaian pemuda itu. Tiba-tiba terdengar suara lembut seorang perempuan menyapa di belakangnya, “Hei, apa yang sedang dilakukan Kakak ini?”
Di Xiu terkejut dan langsung menoleh. Samar-samar ia dapat melihat seorang perempuan yang tahu-tahu sudah berdiri di belakangnya. Ia pun balas bertanya, “Kau sendiri ada urusan apa?”
Tian Boguang luar biasa gembira karena mengenali suara perempuan itu yang tidak lain adalah suara Yilin. “Biksuni cilik... ternyata kau datang sendiri. Sungguh suatu kebetulan. Bangsat ini... bangsat ini hendak membunuh Kakak Linghu-mu.” Tadinya ia hendak berkata, “Bajingan ini hendak membunuhku.” Namun, karena berpikir Yilin tidak peduli kepadanya, maka ia pun segera menggantinya menjadi “Kakak Linghu-mu”.
Maka begitu mendengar keterangan tersebut, Yilin langsung merasa khawatir. Tanpa membuang-buang waktu ia pun maju ke depan sambil bertanya, “Apa benar... apa benar ini Kakak Linghu?”
Menyadari Yilin begitu polos tanpa berusaha melindungi diri, Di Xiu pun mengulurkan tangan berusaha menotok titik nadi biksuni itu. Namun belum sempat ujung jarinya menyentuh kain baju Yilin, tiba-tiba saja ia merasa seseorang telah mencengkeram kain bajunya di bagian tengkuk. Menyusul kemudian tubuh laki-laki itu terangkat setinggi beberapa kaki dari permukaan tanah.
Dalam keadaan bingung, Di Xiu meronta-ronta namun orang yang mengangkat tubuhnya itu ternyata memiliki tenaga yang sangat kuat. Ia mencoba menyerang ke belakang menggunakan siku kanan namun hanya mengenai tempat kosong. Menyusul kemudian kaki kirinya menendang ke belakang namun sia-sia. Tangannya berusaha meraba ke belakang namun orang itu balas mencekik lehernya dengan menggunakan tangan yang berukuran sangat besar. Seketika, Di Xiu merasa sesak nafas dan kehilangan daya perlawanan.
Sementara itu Linghu Chong perlahan-lahan siuman dari pingsan. Samar-samar ia mendengar suara seorang gadis memanggil dengan nada khawatir, “Kakak Linghu, Kakak Linghu!”
Begitu membuka mata ia melihat wajah Yilin yang putih dan cantik diterangi cahaya bintang, tepat berada di hadapannya.
Tiba-tiba terdengar pula suara seorang pria yang sangat keras bertanya, “Hei, Lin’er, apa bocah kurus kering penyakitan ini yang bernama Linghu Chong, yang sering kau ceritakan itu?”
Linghu Chong menoleh ke arah suara dan melihat seorang biksu bertubuh tinggi dan gemuk yang berdiri tegak bagaikan menara raksasa. Ukuran tinggi biksu itu kurang lebih tujuh kaki, dengan tangan kiri terpentang lurus ke samping sedang mencekik dan mengangkat leher Di Xiu. Sulit memastikan apakah murid Perguruan Songshan itu masih bernafas atau tidak.
Yilin menyahut, “Ayah, dia ini memang yang bernama Kakak Linghu. Tapi, dia bukan penyakitan.” Sambil bicara demikian ia sama sekali tidak memalingkan pandangan sedetik pun dari wajah Linghu Chong, dengan tatapan penuh perhatian. Ingin sekali ia mengusap wajah pemuda itu namun tidak berani sama sekali.
Linghu Chong sendiri sangat heran mendengar Yilin memanggil biksu itu sebagai ayah. Dalam hati ia bertanya-tanya, “Kau ini seorang biksuni, bagaimana mungkin memanggil biksu besar itu sebagai ayah? Seorang biksu memiliki anak itu sudah aneh, apalagi anaknya juga menjadi biksuni. Sungguh bertambah aneh.”
Biksu bertubuh besar itu tertawa, “Hahahaha. Linghu Chong yang kau rindukan siang dan malam aku kira seorang pemuda gagah dan tampan, tak tahunya hanya seorang laki-laki kurus dan tidak becus melawan bajingan yang menyiksa dirinya. Huh, menggeletak seperti orang penyakitan! Tidak sudi aku punya menantu seperti dia. Lebih baik kita pulang saja, lupakan bocah ini!”
Yilin menjadi malu dan gugup. Ia berkata, “Siapa juga yang rindu padanya siang dan malam? Ayah memang suka omong kosong. Kalau mau pergi, silakan pergi sendiri! Kalau kau tidak mau... tidak mau....” ucapannya terhenti sampai di sini karena malu untuk menyebut “menantu laki-laki seperti dia.”
Linghu Chong sendiri tersinggung mendengar ucapan sang biksu tadi. Ia pun menyahut, “Kalau mau pergi silakan pergi saja. Memangnya siapa yang menahanmu di sini?”
Namun di sisi lain, Tian Boguang kelabakan dan berteriak, “Kau tidak boleh pergi! Kau tidak boleh pergi!”
Linghu Chong bertanya, “Mengapa dia tidak boleh pergi?”
“Biksu ini harus membuka totokan pada titik kematianku, juga harus menyerahkan obat penawar pada racun ganas yang ada di tubuhku. Kalau dia pergi, maka nyawaku akan melayang sia-sia,” jawab Tian Boguang.
Linghu Chong menukas, “Kenapa kau harus takut? Apa kau sudah lupa kalau kita akan mati bersama? Begitu racun dalam tubuhmu bekerja, maka aku akan langsung menggorok leherku ini.”
Mendengar itu biksu besar pun tertawa dengan suara menggelegar dan bergema di segenap pegunungan, “Hahahaha. Bagus sekali! Bagus sekali! Ternyata bocah ini berjiwa kesatria. Lin’er, aku cocok dengan sifatnya. Hanya saja, aku masih ingin tahu apakah dia suka minum arak atau tidak?”
Belum sempat Yilin menjawab, Linghu Chong sudah menukas, “Sudah tentu aku suka minum arak. Aku ini rakus arak, pagi minum, siang minum, malam minum, dalam tidur pun aku mimpi minum arak. Andai saja kau melihatku minum, pasti kau akan gemetar ketakutan, karena sebagai biksu pasti kau terikat banyak pantangan, tidak boleh minum arak, tidak boleh makan daging, tidak boleh membunuh orang, tidak boleh bohong, tidak boleh ini, tidak boleh itu, tidak boleh anu.”
Biksu besar itu berkata. “Lin’er, coba kau katakan padanya, siapa namaku!” Usai berkata demikian ia kembali tertawa menggelegar bagaikan halilintar.
Yilin tersenyum dan menjawab, “Kakak Linghu, ayahku ini bergelar Biksu Bujie. Artinya ialah ‘tidak berpantang’. Meskipun seorang biksu, namun Ayah tidak mau terikat semua pantangan dalam agama Buddha. Hendaknya kau jangan tertawa. Ayah tidak pantang makan daging, suka minum arak, bahkan membunuh dan mencuri juga bisa dilakukannya. Termasuk pula... termasuk pula mempunyai seorang anak seperti aku ini.” Biksuni muda itu tertawa geli dengan wajah merona merah.
Linghu Chong juga tertawa terbahak-bahak, “Hahahaha. Biksu seperti ini yang aku suka. Menyenangkan!” Sambil berkata demikian ia mencoba berdiri dengan susah payah. Namun sedikit pun tidak ada tenaga.
Dengan cepat Yilin membantu memapah pemuda itu. Meskipun tubuhnya kecil, namun ia pernah belajar silat sehingga mengangkat tubuh Linghu Chong bukan urusan sulit.
Linghu Chong melanjutkan, “Paman Biksu, kalau seperti itu kegemaranmu, mengapa kau memakai jubah? Mengapa tidak menjadi orang awam saja?”
Biksu Bujie menjawab, “Aha, ada suatu hal yang perlu kau tahu. Karena aku punya sifat terbuka, maka akan kuceritakan kepadamu. Aku menjadi biksu adalah karena tertarik pada seorang biksuni cantik, sama seperti dirimu….”
“Ayah, kau bicara omong kosong lagi,” tukas Yilin menyela. Wajahnya berubah menjadi merah karena malu. Untungnya malam itu cukup gelap sehingga tidak seorang pun yang bisa melihatnya dengan jelas.
Biksu Bujie melanjutkan, “Laki-laki sejati selalu bertindak jujur dan terbuka. Berani berbuat, berani bertanggung jawab. Biarpun dimaki dan ditertawakan orang lain, peduli apa? Aku, Biksu Bujie, adalah laki-laki sejati yang selalu berkata benar. Apa pula yang harus kutakuti?”
“Betul sekali!” seru Linghu Chong dan Tian Boguang bersamaan.
Biksu Bujie gembira mendengar pujian mereka. Ia pun semakin bersemangat melanjutkan cerita. “Hehe, biksuni cantik yang kucintai itu, tentu saja ibunya.” Sambil berkata demikian ia menunjuk ke arah Yilin.
“Hm, ternyata orang tua Adik Yilin adalah pasangan biksu dan biksuni,” demikian pikir Linghu Chong.
“Sebelumnya aku ini seorang tukang jagal,” lanjut Bujie. “Aku mencintai ibunya, tapi ibunya tidak menghiraukan aku. Aku merasa tidak punya pilihan lagi sehingga memutuskan untuk menjadi biksu. Aku mengira dengan cara menjadi biksu maka aku dapat mendekatinya, karena menurutku kaum biksu dan biksuni bagaikan satu keluarga. Seorang biksuni tidak dapat mencintai tukang jagal, namun mungkin saja bisa mencintai biksu.”
“Huh, Ayah melantur lagi,” Yilin menukas. “Ayah ini sudah tua tapi masih juga bercerita seperti anak kecil.”
“Memangnya aku salah bicara?” sahut Bujie. Ia kemudian melanjutkan cerita, “Aku baru tahu kalau seorang biksu ternyata tidak boleh bergaul dengan wanita, termasuk dengan para biksuni. Usaha untuk mendekati ibunya jadi berantakan. Aku semakin sulit mendekati ibunya. Aku pun menyesal dan tidak mau menjadi biksu lagi. Namun guruku justru mengatakan bahwa sifatku yang buruk ini hanya bisa diredam jika aku tetap menjadi biksu. Beliau pun menolak keinginanku untuk kembali menjadi orang awam. Entah bagaimana sebabnya, ibunya justru bersimpati padaku. Dia jatuh hati pada kesungguhanku. Maka... maka kemudian lahirlah biksuni cilik ini. Nah, Linghu Chong, sekarang ini sudah jauh lebih bebas daripada zaman dahulu. Kalau kau menyukai seorang biksuni cilik seperti anakku ini, maka kau tidak perlu menjadi biksu seperti aku.”
Linghu Chong merasa serba salah. Ia pun berpikir, “Saat Adik Yilin jatuh ke tangan Tian Boguang, aku berjuang sekuat tenaga untuk membebaskannya. Ia seorang biksuni penganut agama Buddha dari Perguruan Henshan. Mana mungkin ia jatuh hati pada laki-laki awam seperti aku ini? Mungkin karena saat itu pertama kalinya ia bertemu laki-laki dewasa sehingga akhirnya nekad mengirim Tian Boguang dan Enam Dewa Lembah Persik untuk membawa diriku pergi kepadanya. Demi nama baik Perguaruan Huashan dan Henshan, maka aku harus menjauhi dia. Aku tidak mau jika aku mati nanti Guru dan Ibu Guru kecewa kepadaku, serta Adik Kecil memandang rendah kepadaku.”
Di sisi lain Yilin merasa sangat malu. Ia berkata, “Ayah jangan begitu. Kakak Linghu sudah punya pilihan sendiri. Mana mungkin dia sudi melirik perempuan lain? Mulai sekarang... Ayah jangan mengulangi lagi perkataan seperti tadi. Apa kau tidak malu jika nanti ditertawakan orang?”
“Apa? Bocah ini sudah punya pilihan lain? Kurang ajar!” bentak Bujie dengan nada marah. Biksu besar itu lantas mencengkeram dada Linghu Chong dengan tangan kanannya yang kekar. Linghu Chong sendiri tidak mampu melawan ataupun menghindar, sehingga kain bajunya di bagian dada dicengkeram oleh Bujie dan tubuhnya pun terangkat ke atas.
“Hm, tajam juga penglihatanmu. Namaku Di Xiu dari Perguruan Songshan,” jawab orang itu.
“Oh, ternyata Kakak Di. Selama ini kita jarang bertemu sehingga kurang mengenal satu sama lain,” sahut Linghu Chong. “Entah ada keperluan apa kiranya kau datang berkunjung ke Gunung Huashan sini?”
Di Xiu menjawab, “Aku ditugasi Paman Ketua untuk memeriksa keadaan di sini. Kami ingin tahu apa benar berita yang kami terima bahwa murid Perguruan Huashan suka melakukan perbuatan yang kurang baik. Tak kusangka, hehe, begitu sampai di sini aku langsung melihat dan mendengar ucapanmu yang tulus dan sungguh-sungguh untuk menjalin persahabatan dengan maling cabul ini.”
Mendengar itu Tian Boguang pun memaki, “Kau bangsat keparat! Kau kira Perguruan Songshan lebih baik dariku? Mengapa kau tidak bercermin dulu sebelum menunjuk hidung orang lain?”
Di Xiu langsung maju dan menendang kepala Tian Boguang sambil memaki, “Anjing! Sebentar lagi mampus masih berani mengumbar mulut, hah?” Meskipun demikian, Tian Boguang justru semakin gencar memaki dengan kata-kata kotor dan kasar. Kalau saja Di Xiu mau membunuh Tian Boguang tentu sangat mudah baginya. Hanya saja ia memang ingin menghina Linghu Chong terlebih dulu.
“Linghu Chong, kau telah mengikat persahabatan dengan maling cabul ini. Tentu kau tidak akan membunuh dia, bukan?” demikian ia bertanya.
Linghu Chong menjadi gusar dan membentak, “Aku membunuhnya atau tidak apa pedulimu? Jika kau benar-benar berani, maka kau boleh membunuh aku lebih dulu. Kalau takut kau boleh enyah dari Gunung Huashan sekarang juga.”
“Jadi, kau memang tidak mau membunuhnya? Itu berarti sudah jelas kau mengakui penjahat cabul ini sebagai sahabatmu, begitu?” desak Di Xiu menegaskan.
“Apa urusanmu aku berteman dengan siapa?” sahut Linghu Chong. “Terserah diriku bersahabat dengan siapa pun daripada berteman denganmu.”
“Hahahaha. Bagus sekali, bagus sekali!” sorak Tian Boguang dengan tertawa.
“Huh, jangan harap kau bisa memancing kemarahanku sehingga membunuh kalian sekarang juga. Di dunia ini mana ada urusan semudah itu?” kata Di Xiu. “Aku justru ingin menelanjangi kalian berdua dan kuikat menjadi satu, serta kutotok titik bisu kalian. Kemudian aku akan mempertontonkan kalian berdua di depan umum. Akan kukatakan pada semua orang di dunia persilatan bahwa aku telah menangkap basah pasangan mesum yang sedang berbuat cabul. Hahaha, gurumu Yue Buqun yang sok suci, sok bersih, sok berbudi, entah bagaimana dia menyembunyikan wajah setelah menyaksikan pertunjukan kalian berdua? Apa setelah itu dia masih berani memakai julukan si Pedang Budiman atau tidak?”
Ucapan ini membuat kemarahan Linghu Chong meledak dan mebuatnya kehilangan kesadaran.
Di sisi lain Tian Boguang memaki, “Bangsat, kepa....” Belum habis ucapannya tahu-tahu pinggangnya terkena tendangan Di Xiu.
Di Xiu tertawa menyeringai, kemudian mendekati Linghu Chong dan berniat melucuti pakaian pemuda itu. Tiba-tiba terdengar suara lembut seorang perempuan menyapa di belakangnya, “Hei, apa yang sedang dilakukan Kakak ini?”
Di Xiu terkejut dan langsung menoleh. Samar-samar ia dapat melihat seorang perempuan yang tahu-tahu sudah berdiri di belakangnya. Ia pun balas bertanya, “Kau sendiri ada urusan apa?”
Tian Boguang luar biasa gembira karena mengenali suara perempuan itu yang tidak lain adalah suara Yilin. “Biksuni cilik... ternyata kau datang sendiri. Sungguh suatu kebetulan. Bangsat ini... bangsat ini hendak membunuh Kakak Linghu-mu.” Tadinya ia hendak berkata, “Bajingan ini hendak membunuhku.” Namun, karena berpikir Yilin tidak peduli kepadanya, maka ia pun segera menggantinya menjadi “Kakak Linghu-mu”.
Maka begitu mendengar keterangan tersebut, Yilin langsung merasa khawatir. Tanpa membuang-buang waktu ia pun maju ke depan sambil bertanya, “Apa benar... apa benar ini Kakak Linghu?”
Menyadari Yilin begitu polos tanpa berusaha melindungi diri, Di Xiu pun mengulurkan tangan berusaha menotok titik nadi biksuni itu. Namun belum sempat ujung jarinya menyentuh kain baju Yilin, tiba-tiba saja ia merasa seseorang telah mencengkeram kain bajunya di bagian tengkuk. Menyusul kemudian tubuh laki-laki itu terangkat setinggi beberapa kaki dari permukaan tanah.
Dalam keadaan bingung, Di Xiu meronta-ronta namun orang yang mengangkat tubuhnya itu ternyata memiliki tenaga yang sangat kuat. Ia mencoba menyerang ke belakang menggunakan siku kanan namun hanya mengenai tempat kosong. Menyusul kemudian kaki kirinya menendang ke belakang namun sia-sia. Tangannya berusaha meraba ke belakang namun orang itu balas mencekik lehernya dengan menggunakan tangan yang berukuran sangat besar. Seketika, Di Xiu merasa sesak nafas dan kehilangan daya perlawanan.
Sementara itu Linghu Chong perlahan-lahan siuman dari pingsan. Samar-samar ia mendengar suara seorang gadis memanggil dengan nada khawatir, “Kakak Linghu, Kakak Linghu!”
Begitu membuka mata ia melihat wajah Yilin yang putih dan cantik diterangi cahaya bintang, tepat berada di hadapannya.
Tiba-tiba terdengar pula suara seorang pria yang sangat keras bertanya, “Hei, Lin’er, apa bocah kurus kering penyakitan ini yang bernama Linghu Chong, yang sering kau ceritakan itu?”
Linghu Chong menoleh ke arah suara dan melihat seorang biksu bertubuh tinggi dan gemuk yang berdiri tegak bagaikan menara raksasa. Ukuran tinggi biksu itu kurang lebih tujuh kaki, dengan tangan kiri terpentang lurus ke samping sedang mencekik dan mengangkat leher Di Xiu. Sulit memastikan apakah murid Perguruan Songshan itu masih bernafas atau tidak.
Yilin menyahut, “Ayah, dia ini memang yang bernama Kakak Linghu. Tapi, dia bukan penyakitan.” Sambil bicara demikian ia sama sekali tidak memalingkan pandangan sedetik pun dari wajah Linghu Chong, dengan tatapan penuh perhatian. Ingin sekali ia mengusap wajah pemuda itu namun tidak berani sama sekali.
Linghu Chong sendiri sangat heran mendengar Yilin memanggil biksu itu sebagai ayah. Dalam hati ia bertanya-tanya, “Kau ini seorang biksuni, bagaimana mungkin memanggil biksu besar itu sebagai ayah? Seorang biksu memiliki anak itu sudah aneh, apalagi anaknya juga menjadi biksuni. Sungguh bertambah aneh.”
Biksu bertubuh besar itu tertawa, “Hahahaha. Linghu Chong yang kau rindukan siang dan malam aku kira seorang pemuda gagah dan tampan, tak tahunya hanya seorang laki-laki kurus dan tidak becus melawan bajingan yang menyiksa dirinya. Huh, menggeletak seperti orang penyakitan! Tidak sudi aku punya menantu seperti dia. Lebih baik kita pulang saja, lupakan bocah ini!”
Yilin menjadi malu dan gugup. Ia berkata, “Siapa juga yang rindu padanya siang dan malam? Ayah memang suka omong kosong. Kalau mau pergi, silakan pergi sendiri! Kalau kau tidak mau... tidak mau....” ucapannya terhenti sampai di sini karena malu untuk menyebut “menantu laki-laki seperti dia.”
Linghu Chong sendiri tersinggung mendengar ucapan sang biksu tadi. Ia pun menyahut, “Kalau mau pergi silakan pergi saja. Memangnya siapa yang menahanmu di sini?”
Namun di sisi lain, Tian Boguang kelabakan dan berteriak, “Kau tidak boleh pergi! Kau tidak boleh pergi!”
Linghu Chong bertanya, “Mengapa dia tidak boleh pergi?”
“Biksu ini harus membuka totokan pada titik kematianku, juga harus menyerahkan obat penawar pada racun ganas yang ada di tubuhku. Kalau dia pergi, maka nyawaku akan melayang sia-sia,” jawab Tian Boguang.
Linghu Chong menukas, “Kenapa kau harus takut? Apa kau sudah lupa kalau kita akan mati bersama? Begitu racun dalam tubuhmu bekerja, maka aku akan langsung menggorok leherku ini.”
Mendengar itu biksu besar pun tertawa dengan suara menggelegar dan bergema di segenap pegunungan, “Hahahaha. Bagus sekali! Bagus sekali! Ternyata bocah ini berjiwa kesatria. Lin’er, aku cocok dengan sifatnya. Hanya saja, aku masih ingin tahu apakah dia suka minum arak atau tidak?”
Belum sempat Yilin menjawab, Linghu Chong sudah menukas, “Sudah tentu aku suka minum arak. Aku ini rakus arak, pagi minum, siang minum, malam minum, dalam tidur pun aku mimpi minum arak. Andai saja kau melihatku minum, pasti kau akan gemetar ketakutan, karena sebagai biksu pasti kau terikat banyak pantangan, tidak boleh minum arak, tidak boleh makan daging, tidak boleh membunuh orang, tidak boleh bohong, tidak boleh ini, tidak boleh itu, tidak boleh anu.”
Biksu besar itu berkata. “Lin’er, coba kau katakan padanya, siapa namaku!” Usai berkata demikian ia kembali tertawa menggelegar bagaikan halilintar.
Yilin tersenyum dan menjawab, “Kakak Linghu, ayahku ini bergelar Biksu Bujie. Artinya ialah ‘tidak berpantang’. Meskipun seorang biksu, namun Ayah tidak mau terikat semua pantangan dalam agama Buddha. Hendaknya kau jangan tertawa. Ayah tidak pantang makan daging, suka minum arak, bahkan membunuh dan mencuri juga bisa dilakukannya. Termasuk pula... termasuk pula mempunyai seorang anak seperti aku ini.” Biksuni muda itu tertawa geli dengan wajah merona merah.
Linghu Chong juga tertawa terbahak-bahak, “Hahahaha. Biksu seperti ini yang aku suka. Menyenangkan!” Sambil berkata demikian ia mencoba berdiri dengan susah payah. Namun sedikit pun tidak ada tenaga.
Dengan cepat Yilin membantu memapah pemuda itu. Meskipun tubuhnya kecil, namun ia pernah belajar silat sehingga mengangkat tubuh Linghu Chong bukan urusan sulit.
Linghu Chong melanjutkan, “Paman Biksu, kalau seperti itu kegemaranmu, mengapa kau memakai jubah? Mengapa tidak menjadi orang awam saja?”
Biksu Bujie menjawab, “Aha, ada suatu hal yang perlu kau tahu. Karena aku punya sifat terbuka, maka akan kuceritakan kepadamu. Aku menjadi biksu adalah karena tertarik pada seorang biksuni cantik, sama seperti dirimu….”
“Ayah, kau bicara omong kosong lagi,” tukas Yilin menyela. Wajahnya berubah menjadi merah karena malu. Untungnya malam itu cukup gelap sehingga tidak seorang pun yang bisa melihatnya dengan jelas.
Biksu Bujie melanjutkan, “Laki-laki sejati selalu bertindak jujur dan terbuka. Berani berbuat, berani bertanggung jawab. Biarpun dimaki dan ditertawakan orang lain, peduli apa? Aku, Biksu Bujie, adalah laki-laki sejati yang selalu berkata benar. Apa pula yang harus kutakuti?”
“Betul sekali!” seru Linghu Chong dan Tian Boguang bersamaan.
Biksu Bujie gembira mendengar pujian mereka. Ia pun semakin bersemangat melanjutkan cerita. “Hehe, biksuni cantik yang kucintai itu, tentu saja ibunya.” Sambil berkata demikian ia menunjuk ke arah Yilin.
“Hm, ternyata orang tua Adik Yilin adalah pasangan biksu dan biksuni,” demikian pikir Linghu Chong.
“Sebelumnya aku ini seorang tukang jagal,” lanjut Bujie. “Aku mencintai ibunya, tapi ibunya tidak menghiraukan aku. Aku merasa tidak punya pilihan lagi sehingga memutuskan untuk menjadi biksu. Aku mengira dengan cara menjadi biksu maka aku dapat mendekatinya, karena menurutku kaum biksu dan biksuni bagaikan satu keluarga. Seorang biksuni tidak dapat mencintai tukang jagal, namun mungkin saja bisa mencintai biksu.”
“Huh, Ayah melantur lagi,” Yilin menukas. “Ayah ini sudah tua tapi masih juga bercerita seperti anak kecil.”
“Memangnya aku salah bicara?” sahut Bujie. Ia kemudian melanjutkan cerita, “Aku baru tahu kalau seorang biksu ternyata tidak boleh bergaul dengan wanita, termasuk dengan para biksuni. Usaha untuk mendekati ibunya jadi berantakan. Aku semakin sulit mendekati ibunya. Aku pun menyesal dan tidak mau menjadi biksu lagi. Namun guruku justru mengatakan bahwa sifatku yang buruk ini hanya bisa diredam jika aku tetap menjadi biksu. Beliau pun menolak keinginanku untuk kembali menjadi orang awam. Entah bagaimana sebabnya, ibunya justru bersimpati padaku. Dia jatuh hati pada kesungguhanku. Maka... maka kemudian lahirlah biksuni cilik ini. Nah, Linghu Chong, sekarang ini sudah jauh lebih bebas daripada zaman dahulu. Kalau kau menyukai seorang biksuni cilik seperti anakku ini, maka kau tidak perlu menjadi biksu seperti aku.”
Linghu Chong merasa serba salah. Ia pun berpikir, “Saat Adik Yilin jatuh ke tangan Tian Boguang, aku berjuang sekuat tenaga untuk membebaskannya. Ia seorang biksuni penganut agama Buddha dari Perguruan Henshan. Mana mungkin ia jatuh hati pada laki-laki awam seperti aku ini? Mungkin karena saat itu pertama kalinya ia bertemu laki-laki dewasa sehingga akhirnya nekad mengirim Tian Boguang dan Enam Dewa Lembah Persik untuk membawa diriku pergi kepadanya. Demi nama baik Perguaruan Huashan dan Henshan, maka aku harus menjauhi dia. Aku tidak mau jika aku mati nanti Guru dan Ibu Guru kecewa kepadaku, serta Adik Kecil memandang rendah kepadaku.”
Di sisi lain Yilin merasa sangat malu. Ia berkata, “Ayah jangan begitu. Kakak Linghu sudah punya pilihan sendiri. Mana mungkin dia sudi melirik perempuan lain? Mulai sekarang... Ayah jangan mengulangi lagi perkataan seperti tadi. Apa kau tidak malu jika nanti ditertawakan orang?”
“Apa? Bocah ini sudah punya pilihan lain? Kurang ajar!” bentak Bujie dengan nada marah. Biksu besar itu lantas mencengkeram dada Linghu Chong dengan tangan kanannya yang kekar. Linghu Chong sendiri tidak mampu melawan ataupun menghindar, sehingga kain bajunya di bagian dada dicengkeram oleh Bujie dan tubuhnya pun terangkat ke atas.
![]() |
Yilin dan ayahnya. |
Dengan demikian biksu bertubuh besar itu sudah mengangkat dua orang sekaligus di kedua tangannya. Leher Di Xiu masih tetap dicengkeram menggunakan tangan kiri, sedangkan Linghu Chong diangkat menggunakan tangan kanan. Jika dilihat dari kejauhan, Biksu Bujie bagaikan sedang membawa dua keranjang dan pikulan. Sejak tadi Linghu Chong tidak memiliki daya untuk melawan, dan kini dalam keadaan melayang di udara, ia bagaikan beras terbungkus karung.
“Ayah, lepaskan Kakak Linghu!” seru Yilin. “Kalau tidak, aku akan marah sekarang!”
Sungguh aneh, begitu mendengar ancaman putrinya itu, Bujie terlihat ketakutan dan langsung menaruh Linghu Chong ke tanah. Namun demikian, mulutnya masih saja menggerutu, “Biksuni cantik mana lagi yang dia sukai? Sungguh kurang ajar!”
Bujie berkata demikian karena ia sendiri mencintai seorang biksuni. Jadi, wajar saja kalau ia menganggap wanita tercantik di dunia tentu berasal dari golongan biksuni.
Yilin menjawab pertanyaan ayahnya itu, “Gadis pilihan Kakak Linghu adalah adik seperguruannya sendiri, bernama Nona Yue Lingshan.”
Mendengar itu Bujie menggeram keras-keras sehingga telinga semua orang yang mendengarnya sampai terasa mendengung. “Nona bermarga Yue, katamu? Keparat! Jika dia bukan seorang biksuni, lantas apa yang menarik darinya sehingga bocah ini sampai terpikat? Lain kali jika bertemu dengannya tentu akan kucekik sampai mampus perempuan itu.”
Melihat sikap Bujie seperti itu Linghu Chong merasa gelisah. Ia berpikir, “Biksu Bujie ini ternyata seorang kasar dan bodoh seperti Enam Dewa Lembah Persik. Dia juga seorang yang sangat memegang ucapan. Sungguh berbahaya kalau dia sampai bertemu Adik Kecil.”
Sementara itu Yilin juga ikut resah. Ia pun berseru mengalihkan pembicaraan, “Ayah, Kakak Linghu ini sedang terluka parah. Lekas kau sembuhkan dia. Yang lain urusan nanti. Kita tidak punya banyak waktu.”
Biksu Bujie terlihat sangat penurut terhadap putrinya itu. “Betul sekali! Kita harus segera menyembuhkannya,” katanya sambil kemudian melemparkan tubuh Di Xiu ke belakang. Terdengar suara tubuh murid Songshan itu menggelinding masuk ke dalam semak-semak.
Bujie kemudian bertanya dengan suara keras kepada Linghu Chong, “Bagaimana kau bisa terluka?”
“Dadaku terkena pukulan orang, tapi rasanya tidak apa-apa....” jawab Linghu Chong.
Bujie yang kasar dan tidak sabaran segera menukas, “Dadamu terluka? Pasti urat nadi bagian dada yang rusak. Jalur Ren.”
“Enam Dewa....” lanjut Linghu Chong.
“Mana ada titik nadi pada Jalur Ren yang bernama Enam Dewa?” Bujie kembali menukas. “Ilmu tenaga dalam Perguruan Huashan sangat buruk, pantas kalau kau begitu payah. Ada satu titik dalam berbagai titik nadi pada tubuh manusia yang disebut titik Lembah Terpadu, yang terletak pada saluran tangan ke ginjal, tepatnya di antara jempol dan jari telunjuk. Tapi untuk baiknya, biar kuobati terlebih dulu lukamu pada Jalur Ren.
“Bukan, bukan… maksudku Enam Lembah….” seru Linghu Chong.
“Apa maksudmu Enam Lembah?” tukas Biksu Bujie. “Di antara berbagai jenis titik nadi terdapat Tangan Tiga Li, Kaki Empat Li, Yin-Ling-Quan, dan Si-Kong-Zhu. Tapi di mana letak titik Enam Lembah? Sekarang lebih baik kau diam saja dan hentikan omong kosongmu itu.” Bicara sampai di sini tangan Bujie lalu bekerja menotok titik bisu pada tubuh Linghu Chong.
“Aku akan mengirimkan tenaga dalam tingkat tinggu pada Jalur Ren di tubuhmu, melalui titik Cheng-Jiang, Tian-Tu, Tan-Zhong, Jiu-Wei, Ju-Yue, Zhong-Wan, Qi-Hai, Shi-Men, Guan-Yuan, dan Zhong-Ji. Lukamu akan segera sembuh. Aku berani bertaruh dalam tujuh atau delapan hari kau akan kembali sehat dan segar bagai mentimun,” kata Bujie sambil mengulurkan kedua telapak tangannya yang lebar seperti kipas. Tangan yang kiri diletakkan di titik Cheng-Jiang pada dagu Linghu Chong, dan tangan kanan diletakkan di titik Zhong-Ji pada bagian bawah perut Linghu Chong.
Seketika hawa hangat menyusup masuk ke dalam tubuh Linghu Chong melalui kedua titik tersebut. Biksu Bujie terkejut begitu merasakan hawa murni yang ia salurkan berbenturan dengan enam arus tenaga milik Enam Dewa Lembah Persik. Hampir saja kedua tangan Bujie terlepas dari tubuh Linghu Chong, sehingga membuat biksu bertubuh besar itu berteriak kaget.
“Ada apa, Ayah?” tanya Yilin dengan perasaan cemas.
Bujie menjawab, “Di dalam tubuhnya ada beberapa arus tenaga yang aneh... Satu, dua, tiga, empat... Ada empat arus hawa murni. Eh, tidak, ada satu lagi. Jumlahnya ada lima.... Aha, ada satu lagi. Sialan, jadi seluruhnya ada enam arus. Baiklah, kita lihat siapa yang lebih kuat? Apakah enam arus tenaga dalam tubuh bocah ini, ataukah kedua arus tenaga milikku? Jangan-jangan ada lagi. Hahaha, ramai sekali! Sungguh menarik! Ayo, keluarlah kalian semua! Hm, ternyata cuma enam saja. Kau pikir Biksu Bujie takut pada kalian, hah?”
Kedua tangan Bujie menahan kedua titik nadi di dada dan punggung Linghu Chong erat-erat dan dari ubun-ubun biksu besar itu mengepul asap putih. Awalnya ia masih bisa bicara seenaknya. Namun, karena ia semakin banyak menghimpun dan menyalurkan tenaga, lama-lama mulutnya tidak lagi mampu membuka suara.
Waktu pun berlalu. Hari sudah mulai terang. Asap yang mengepul di kepala Bujie bertambah tebal. Akhirnya biksu besar itu mengangkat kedua tangannya sambil tertawa terbahak-bahak. Tapi mendadak ia jatuh terguling di atas tanah dan tawanya pun terhenti.
Yilin terkejut dan berseru, “Ayah... Ayah!” Biksuni muda itu mencoba memapah ayahnya bangun. Namun tubuh Bujie berat bagaikan kerbau. Baru saja terangkat bangun tahu-tahu sudah jatuh terduduk sehingga Yilin ikut tertarik jatuh.
Biksu Bujie tampak terengah-engah dengan pakaian basah kuyup oleh keringat. Mulutnya terus-menerus memaki, “Keparat! Sungguh keparat!”
Mendengar itu Yilin sedikit agak lega. Ia pun bertanya, “Ayah, Ayah tidak apa-apa?”
“Keparat!” seru Bujie dengan napas terengah-engah. “Di dalam tubuh... bocah ini... ada enam hawa murni yang sangat kuat. Tapi, tenaga dalam yang kukerahkan tadi sudah bisa menahannya ke bawah... Hehe, kau bisa tenang. Bocah ini takkan mati. Dia takkan mati, pasti takkan mati!”
Yilin sangat senang. Ketika menoleh dilihatnya Linghu Chong sudah bisa berdiri perlahan-lahan.
Melihat itu Tian Boguang tertawa, “Hahahaha. Tenaga dalam Biksu memang sangat hebat. Hanya sebentar saja sudah bisa menyembuhkan luka Saudara Linghu.”
Bujie merasa senang mendengar pujian itu. Ia pun menyahut, “Kejahatanmu ini sebenarnya sudah melampaui batas. Seharusnya dalam sekali remas aku bisa mencabut nyawamu. Tapi, mengingat kau sudah berjasa menemukan si bocah Linghu Chong, maka jiwamu kuampuni. Lekas, pergilah dari sini!”
Tian Boguang terlihat gusar dan memaki keras, “Biksu keparat! Ucapanmu benar-benar tidak bisa dipercaya. Kau sudah berjanji jika aku bisa menemukan Linghu Chong dalam satu bulan, maka kau akan membuka totokan pada titik mautku, serta memberikan obat penawar racun ganasmu kepadaku. Kenapa sekarang hendak kau ingkari? Kalau kau tidak menepati ucapanmu, maka kau ini memang seorang biksu busuk yang rendah melebihi binatang!”
Menghadapi cacian itu Bujie justru tertawa, “Hahahaha. Bocah ini rupanya takut mati. Kau takut Biksu Bujie ini tidak menepati janji, hah? Ini, kau ambil obat ini!”
Usai berkata demikian Bujie merogoh sakunya dan mengeluarkan sebotol obat yang diminta Tian Boguang. Karena tenaganya banyak terkuras habis, ia pun gemetar sehingga botol porselen kecil itu jatuh di atas pangkuannya. Dengan cepat Yilin memungut botol itu dan membuka sumbatnya.
“Berikan tiga biji kepadanya,” sahut Bujie. “Sekarang makan satu, tiga hari lagi makan satu, dan tiga hari berikutnya makan lagi satu. Jika selanjutnya kau mati dibunuh orang sudah bukan tenggung jawabku.”
Tian Boguang menerima tiga butir obat tersebut dari tangan Yilin sambil berkata, “Biksu besar, kau sudah memaksaku meminum racun, dan sekarang kau berikan obat penawar kepadaku. Sudah bagus aku tidak memaki dirimu. Jadi, kau tidak perlu mengharap aku berterima kasih kepadamu. Tapi, bagaimana dengan totokanmu pada titik mautku?”
“Totokan itu sudah terbuka dengan sendirinya setelah tujuh hari. Jika aku benar-benar menotok titik mautmu, memangnya kau masih bisa hidup sampai sekarang?” kata Bujie sambil tertawa terbahak-bahak.
Tian Boguang memang sudah merasakan kalau totokan pada tubuhnya sudah terbuka. Kini setelah mendengar penjelasan Bujie membuat hatinya merasa lega. Ia pun memaki sambil tersenyum, “Dasar kau biksu pembohong!” Ia kemudian menoleh ke arah Linghu Chong dan berkata, “Saudara Linghu, aku paham tentu ada yang hendak kau bicarakan dengan biksuni cilik ini. Baiklah, untuk itu aku pergi saja. Sampai jumpa!” Bicara sampai di sini Tian Boguang pun merangkap tangan memberi hormat dan kemudian bersiap melangkah menyusuri jalanan menuju ke bawah.
“Tunggu dulu, Saudara Tian!” cegah Linghu Chong.
“Ada apa?” tanya Tian Boguang.
“Kau sudah beberapa kali sudi mengalah padaku. Bagiku, kau benar-benar seorang sahabat sejati,” ujar Linghu Chong. “Hanya saja, ada yang ingin kukatakan kepadamu. Kalau kau tidak mau mendengar saranku, maka lebih baik persahabatan kita putus sampai di sini.”
“Sudahlah, kau tidak perlu menjelaskan. Aku sudah paham maksudmu,” kata Tian Boguang sambil tertawa. “Kau ingin aku berhenti memerkosa lagi, bukan? Baiklah, aku menuruti permintaanmu. Aku akan berhenti memerkosa wanita baik-baik. Di dunia ini masih banyak pelacur yang bisa memuaskan nafsu birahiku. Hahahaha. Saudara Linghu, tentunya kau masih ingat pengalaman indah sewaktu di Wisma Kumala tempo hari, bukan?”
Mendengar nama rumah pelacuran itu disebut, wajah Linghu Chong dan Yilin langsung bersemu merah. Tian Boguang sendiri tertawa terbahak-bahak. Ia hendak melangkah pergi tapi tiba-tiba kakinya kembali lemas. Ia kemudian jatuh terguling-guling di tanah. Setelah berhenti ia pun menghimpun tenaga untuk duduk di tanah. Segera diambilnya sebutir obat penawar dan langsung ditelannya. Seketika perutnya terasa sakit pertanda obat itu sedang bekerja. Laki-laki itu kemudian duduk dengan badan lemas tanpa tenaga. Namun demikian, hatinya merasa gembira karena menyadari bahwa obat itu sedang bekerja membersihkan racun di dalam tubuhnya. Sedikit pun ia tidak mengeluh, melainkan menunggu dengan sabar.
Linghu Chong sendiri merasa sakitnya berkurang setelah mendapat bantuan Biksu Bujie tadi. Segala perasaan mual akibat hawa murni Enam Dewa Lembah Persik telah lenyap semua. Ia merasa tenaganya terkumpul untuk bangkit dan berjalan. Dengan sangat gembira Linghu Chong pun melangkah maju dan memberi hormat sambil membungkuk, “Terima kasih banyak atas pertolongan Mahabiksu tadi, yang telah menyelamatkan nyawa saya.”
“Tidak perlu berterima kasih,” jawab Bujie sambil bergelak tawa. “Sekarang kita sudah menjadi keluarga. Kau adalah menantuku, dan aku adalah mertuamu.”
Yilin merasa malu mendengarnya. “Ayah, jangan sembarangan bicara lagi,” sahutnya.
“Hei, bicara sembarangan bagaimana? Bukankah siang dan malam kau senantiasa merindukan bocah ini?” tanya Bujie heran. “Memangnya kau tidak ingin menikah dengannya? Apa kau tidak ingin melahirkan seorang biksuni cantik, hah?”
“Ayah!” seru Yilin dengan perasaan sangat malu. “Siapa yang... siapa yang....”
“Ayah, lepaskan Kakak Linghu!” seru Yilin. “Kalau tidak, aku akan marah sekarang!”
Sungguh aneh, begitu mendengar ancaman putrinya itu, Bujie terlihat ketakutan dan langsung menaruh Linghu Chong ke tanah. Namun demikian, mulutnya masih saja menggerutu, “Biksuni cantik mana lagi yang dia sukai? Sungguh kurang ajar!”
Bujie berkata demikian karena ia sendiri mencintai seorang biksuni. Jadi, wajar saja kalau ia menganggap wanita tercantik di dunia tentu berasal dari golongan biksuni.
Yilin menjawab pertanyaan ayahnya itu, “Gadis pilihan Kakak Linghu adalah adik seperguruannya sendiri, bernama Nona Yue Lingshan.”
Mendengar itu Bujie menggeram keras-keras sehingga telinga semua orang yang mendengarnya sampai terasa mendengung. “Nona bermarga Yue, katamu? Keparat! Jika dia bukan seorang biksuni, lantas apa yang menarik darinya sehingga bocah ini sampai terpikat? Lain kali jika bertemu dengannya tentu akan kucekik sampai mampus perempuan itu.”
Melihat sikap Bujie seperti itu Linghu Chong merasa gelisah. Ia berpikir, “Biksu Bujie ini ternyata seorang kasar dan bodoh seperti Enam Dewa Lembah Persik. Dia juga seorang yang sangat memegang ucapan. Sungguh berbahaya kalau dia sampai bertemu Adik Kecil.”
Sementara itu Yilin juga ikut resah. Ia pun berseru mengalihkan pembicaraan, “Ayah, Kakak Linghu ini sedang terluka parah. Lekas kau sembuhkan dia. Yang lain urusan nanti. Kita tidak punya banyak waktu.”
Biksu Bujie terlihat sangat penurut terhadap putrinya itu. “Betul sekali! Kita harus segera menyembuhkannya,” katanya sambil kemudian melemparkan tubuh Di Xiu ke belakang. Terdengar suara tubuh murid Songshan itu menggelinding masuk ke dalam semak-semak.
Bujie kemudian bertanya dengan suara keras kepada Linghu Chong, “Bagaimana kau bisa terluka?”
“Dadaku terkena pukulan orang, tapi rasanya tidak apa-apa....” jawab Linghu Chong.
Bujie yang kasar dan tidak sabaran segera menukas, “Dadamu terluka? Pasti urat nadi bagian dada yang rusak. Jalur Ren.”
“Enam Dewa....” lanjut Linghu Chong.
“Mana ada titik nadi pada Jalur Ren yang bernama Enam Dewa?” Bujie kembali menukas. “Ilmu tenaga dalam Perguruan Huashan sangat buruk, pantas kalau kau begitu payah. Ada satu titik dalam berbagai titik nadi pada tubuh manusia yang disebut titik Lembah Terpadu, yang terletak pada saluran tangan ke ginjal, tepatnya di antara jempol dan jari telunjuk. Tapi untuk baiknya, biar kuobati terlebih dulu lukamu pada Jalur Ren.
“Bukan, bukan… maksudku Enam Lembah….” seru Linghu Chong.
“Apa maksudmu Enam Lembah?” tukas Biksu Bujie. “Di antara berbagai jenis titik nadi terdapat Tangan Tiga Li, Kaki Empat Li, Yin-Ling-Quan, dan Si-Kong-Zhu. Tapi di mana letak titik Enam Lembah? Sekarang lebih baik kau diam saja dan hentikan omong kosongmu itu.” Bicara sampai di sini tangan Bujie lalu bekerja menotok titik bisu pada tubuh Linghu Chong.
“Aku akan mengirimkan tenaga dalam tingkat tinggu pada Jalur Ren di tubuhmu, melalui titik Cheng-Jiang, Tian-Tu, Tan-Zhong, Jiu-Wei, Ju-Yue, Zhong-Wan, Qi-Hai, Shi-Men, Guan-Yuan, dan Zhong-Ji. Lukamu akan segera sembuh. Aku berani bertaruh dalam tujuh atau delapan hari kau akan kembali sehat dan segar bagai mentimun,” kata Bujie sambil mengulurkan kedua telapak tangannya yang lebar seperti kipas. Tangan yang kiri diletakkan di titik Cheng-Jiang pada dagu Linghu Chong, dan tangan kanan diletakkan di titik Zhong-Ji pada bagian bawah perut Linghu Chong.
Seketika hawa hangat menyusup masuk ke dalam tubuh Linghu Chong melalui kedua titik tersebut. Biksu Bujie terkejut begitu merasakan hawa murni yang ia salurkan berbenturan dengan enam arus tenaga milik Enam Dewa Lembah Persik. Hampir saja kedua tangan Bujie terlepas dari tubuh Linghu Chong, sehingga membuat biksu bertubuh besar itu berteriak kaget.
“Ada apa, Ayah?” tanya Yilin dengan perasaan cemas.
Bujie menjawab, “Di dalam tubuhnya ada beberapa arus tenaga yang aneh... Satu, dua, tiga, empat... Ada empat arus hawa murni. Eh, tidak, ada satu lagi. Jumlahnya ada lima.... Aha, ada satu lagi. Sialan, jadi seluruhnya ada enam arus. Baiklah, kita lihat siapa yang lebih kuat? Apakah enam arus tenaga dalam tubuh bocah ini, ataukah kedua arus tenaga milikku? Jangan-jangan ada lagi. Hahaha, ramai sekali! Sungguh menarik! Ayo, keluarlah kalian semua! Hm, ternyata cuma enam saja. Kau pikir Biksu Bujie takut pada kalian, hah?”
Kedua tangan Bujie menahan kedua titik nadi di dada dan punggung Linghu Chong erat-erat dan dari ubun-ubun biksu besar itu mengepul asap putih. Awalnya ia masih bisa bicara seenaknya. Namun, karena ia semakin banyak menghimpun dan menyalurkan tenaga, lama-lama mulutnya tidak lagi mampu membuka suara.
Waktu pun berlalu. Hari sudah mulai terang. Asap yang mengepul di kepala Bujie bertambah tebal. Akhirnya biksu besar itu mengangkat kedua tangannya sambil tertawa terbahak-bahak. Tapi mendadak ia jatuh terguling di atas tanah dan tawanya pun terhenti.
Yilin terkejut dan berseru, “Ayah... Ayah!” Biksuni muda itu mencoba memapah ayahnya bangun. Namun tubuh Bujie berat bagaikan kerbau. Baru saja terangkat bangun tahu-tahu sudah jatuh terduduk sehingga Yilin ikut tertarik jatuh.
Biksu Bujie tampak terengah-engah dengan pakaian basah kuyup oleh keringat. Mulutnya terus-menerus memaki, “Keparat! Sungguh keparat!”
Mendengar itu Yilin sedikit agak lega. Ia pun bertanya, “Ayah, Ayah tidak apa-apa?”
“Keparat!” seru Bujie dengan napas terengah-engah. “Di dalam tubuh... bocah ini... ada enam hawa murni yang sangat kuat. Tapi, tenaga dalam yang kukerahkan tadi sudah bisa menahannya ke bawah... Hehe, kau bisa tenang. Bocah ini takkan mati. Dia takkan mati, pasti takkan mati!”
Yilin sangat senang. Ketika menoleh dilihatnya Linghu Chong sudah bisa berdiri perlahan-lahan.
Melihat itu Tian Boguang tertawa, “Hahahaha. Tenaga dalam Biksu memang sangat hebat. Hanya sebentar saja sudah bisa menyembuhkan luka Saudara Linghu.”
Bujie merasa senang mendengar pujian itu. Ia pun menyahut, “Kejahatanmu ini sebenarnya sudah melampaui batas. Seharusnya dalam sekali remas aku bisa mencabut nyawamu. Tapi, mengingat kau sudah berjasa menemukan si bocah Linghu Chong, maka jiwamu kuampuni. Lekas, pergilah dari sini!”
Tian Boguang terlihat gusar dan memaki keras, “Biksu keparat! Ucapanmu benar-benar tidak bisa dipercaya. Kau sudah berjanji jika aku bisa menemukan Linghu Chong dalam satu bulan, maka kau akan membuka totokan pada titik mautku, serta memberikan obat penawar racun ganasmu kepadaku. Kenapa sekarang hendak kau ingkari? Kalau kau tidak menepati ucapanmu, maka kau ini memang seorang biksu busuk yang rendah melebihi binatang!”
Menghadapi cacian itu Bujie justru tertawa, “Hahahaha. Bocah ini rupanya takut mati. Kau takut Biksu Bujie ini tidak menepati janji, hah? Ini, kau ambil obat ini!”
Usai berkata demikian Bujie merogoh sakunya dan mengeluarkan sebotol obat yang diminta Tian Boguang. Karena tenaganya banyak terkuras habis, ia pun gemetar sehingga botol porselen kecil itu jatuh di atas pangkuannya. Dengan cepat Yilin memungut botol itu dan membuka sumbatnya.
“Berikan tiga biji kepadanya,” sahut Bujie. “Sekarang makan satu, tiga hari lagi makan satu, dan tiga hari berikutnya makan lagi satu. Jika selanjutnya kau mati dibunuh orang sudah bukan tenggung jawabku.”
Tian Boguang menerima tiga butir obat tersebut dari tangan Yilin sambil berkata, “Biksu besar, kau sudah memaksaku meminum racun, dan sekarang kau berikan obat penawar kepadaku. Sudah bagus aku tidak memaki dirimu. Jadi, kau tidak perlu mengharap aku berterima kasih kepadamu. Tapi, bagaimana dengan totokanmu pada titik mautku?”
“Totokan itu sudah terbuka dengan sendirinya setelah tujuh hari. Jika aku benar-benar menotok titik mautmu, memangnya kau masih bisa hidup sampai sekarang?” kata Bujie sambil tertawa terbahak-bahak.
Tian Boguang memang sudah merasakan kalau totokan pada tubuhnya sudah terbuka. Kini setelah mendengar penjelasan Bujie membuat hatinya merasa lega. Ia pun memaki sambil tersenyum, “Dasar kau biksu pembohong!” Ia kemudian menoleh ke arah Linghu Chong dan berkata, “Saudara Linghu, aku paham tentu ada yang hendak kau bicarakan dengan biksuni cilik ini. Baiklah, untuk itu aku pergi saja. Sampai jumpa!” Bicara sampai di sini Tian Boguang pun merangkap tangan memberi hormat dan kemudian bersiap melangkah menyusuri jalanan menuju ke bawah.
“Tunggu dulu, Saudara Tian!” cegah Linghu Chong.
“Ada apa?” tanya Tian Boguang.
“Kau sudah beberapa kali sudi mengalah padaku. Bagiku, kau benar-benar seorang sahabat sejati,” ujar Linghu Chong. “Hanya saja, ada yang ingin kukatakan kepadamu. Kalau kau tidak mau mendengar saranku, maka lebih baik persahabatan kita putus sampai di sini.”
“Sudahlah, kau tidak perlu menjelaskan. Aku sudah paham maksudmu,” kata Tian Boguang sambil tertawa. “Kau ingin aku berhenti memerkosa lagi, bukan? Baiklah, aku menuruti permintaanmu. Aku akan berhenti memerkosa wanita baik-baik. Di dunia ini masih banyak pelacur yang bisa memuaskan nafsu birahiku. Hahahaha. Saudara Linghu, tentunya kau masih ingat pengalaman indah sewaktu di Wisma Kumala tempo hari, bukan?”
Mendengar nama rumah pelacuran itu disebut, wajah Linghu Chong dan Yilin langsung bersemu merah. Tian Boguang sendiri tertawa terbahak-bahak. Ia hendak melangkah pergi tapi tiba-tiba kakinya kembali lemas. Ia kemudian jatuh terguling-guling di tanah. Setelah berhenti ia pun menghimpun tenaga untuk duduk di tanah. Segera diambilnya sebutir obat penawar dan langsung ditelannya. Seketika perutnya terasa sakit pertanda obat itu sedang bekerja. Laki-laki itu kemudian duduk dengan badan lemas tanpa tenaga. Namun demikian, hatinya merasa gembira karena menyadari bahwa obat itu sedang bekerja membersihkan racun di dalam tubuhnya. Sedikit pun ia tidak mengeluh, melainkan menunggu dengan sabar.
Linghu Chong sendiri merasa sakitnya berkurang setelah mendapat bantuan Biksu Bujie tadi. Segala perasaan mual akibat hawa murni Enam Dewa Lembah Persik telah lenyap semua. Ia merasa tenaganya terkumpul untuk bangkit dan berjalan. Dengan sangat gembira Linghu Chong pun melangkah maju dan memberi hormat sambil membungkuk, “Terima kasih banyak atas pertolongan Mahabiksu tadi, yang telah menyelamatkan nyawa saya.”
“Tidak perlu berterima kasih,” jawab Bujie sambil bergelak tawa. “Sekarang kita sudah menjadi keluarga. Kau adalah menantuku, dan aku adalah mertuamu.”
Yilin merasa malu mendengarnya. “Ayah, jangan sembarangan bicara lagi,” sahutnya.
“Hei, bicara sembarangan bagaimana? Bukankah siang dan malam kau senantiasa merindukan bocah ini?” tanya Bujie heran. “Memangnya kau tidak ingin menikah dengannya? Apa kau tidak ingin melahirkan seorang biksuni cantik, hah?”
“Ayah!” seru Yilin dengan perasaan sangat malu. “Siapa yang... siapa yang....”
![]() |
Biksu Bujie saat mengobati Linghu Chong. |
Pada saat itu tiba-tiba muncul seorang pria dan seorang gadis muda. Mereka tidak lain adalah ayah dan anak dari Perguruan Huashan, yaitu Yue Buqun dan Yue Lingshan.
Melihat itu Linghu Chong gembira dan menyapa, “Guru, Adik Kecil, kalian telah kembali! Mana Ibu Guru?”
Yue Buqun memandang Linghu Chong dengan seksama. Melihat keadaan murid pertamanya itu sudah jauh lebih sehat daripada kemarin membuat hatinya merasa gembira. Namun demikian, sedikit pun ia tidak bertanya, melainkan memberi salam kepada Bujie, “Mohon maaf, mungkin aku belum pernah mendengar siapa gerangan nama biksu yang terhormat ini. Entah bersemayam di kuil mana, serta ada keperluan apa sehingga berkunjung ke tempat kami yang kotor ini?”
“Aku... aku bernama Biksu Bujie. Aku datang ke tempatmu yang kotor ini untuk... untuk mencari menantu,” sahut Bujie sambil menunjuk ke arah Linghu Chong. Bagaimanapun juga Bujie adalah mantan tukang jagal yang kurang mengerti basa-basi di antara kaum terpelajar. Mendengar ucapan Yue Buqun mengenai “tempat yang kotor” tadi, dengan serta merta ia pun menirukan begitu saja tanpa memahami maksud di balik kalimat tersebut.
Yue Buqun yang tidak tahu-menahu soal Biksu Bujie mengira ucapan “mencari menantu” tersebut ditujukan untuk menyindir dirinya. Dalam hati ia sangat tersinggung namun sikapnya yang sabar membuat raut mukanya terlihat tetap tenang. Ia hanya berkata, “Ah, biksu ini suka bercanda.”
Yilin juga maju memberi hormat kepada Yue Buqun. Menanggapi itu Yue Buqun pun menjawab dengan tersenyum, “Keponakan Yilin tidak perlu terlalu sungkan. Apakah kedatanganmu ke sini atas perintah dari gurumu?”
Dengan muka bersemu merah Yilin menjawab gugup, “Tidak. Saya ke sini... saya ke sini....”
Yue Buqun kemudian menoleh ke arah Tian Boguang dan langsung menegur, “Hei, Tian Boguang, besar juga nyalimu, ya?”
“Tidak juga,” jawab Tian Boguang. “Aku merasa cocok dengan muridmu. Aku kemari demi membawakan dua guci besar berisi arak bagus untuk kami minum bersama sepuas-puasnya.”
Wajah Yue Buqun tampak semakin bengis. Ia bertanya, “Mana araknya?”
“Sudah lama kami habiskan di atas Tebing Perenungan,” sahut Tian Boguang.
Yue Buqun menoleh ke arah Linghu Chong dan bertanya, “Apa benar demikian?”
Linghu Chong menjawab, “Masalah ini cukup panjang, Guru. Biarlah nanti saya ceritakan dengan jelas.”
“Sudah berapa lama Tian Boguang berada di Gunung Huashan sini?” Yue Buqun kembali mendesak.
“Kira-kira lima belas hari.”
“Selama itu?”
“Benar, Guru.”
“Mengapa tidak kau laporkan kepadaku?”
“Waktu itu Guru dan Ibu Guru tidak berada di sini.”
“Lantas di mana?”
“Guru dan Ibu Guru sedang berada di Chang’an untuk mencari Tuan Tian.”
Yue Buqun mendengus dan berkata, “Huh, Tuan Tian? Tuan Tian? Bukankah kau tahu kalau kejahatannya sudah setinggi gunung? Mengapa kau tidak membunuhnya? Jikapun kau tidak mampu mengalahkannya, kau seharusnya mati di tangannya, bukan malah bergaul dengan bajingan ini?”
Tian Boguang ikut bicara sambil tetap duduk di atas tanah, “Aku yang tidak mau membunuhnya. Lantas dia harus berbuat apa? Memangnya jika tidak bisa membunuhku lantas dia harus bunuh diri di hadapanku, begitu?”
“Di depanku kau tidak punya hak bicara!” bentak Yue Buqun. Ia kembali menoleh ke arah Linghu Chong dan berkata, “Sekarang bunuh dia!”
Mendengar itu Yue Lingshan menyahut, “Ayah, Kakak Pertama sedang terluka parah. Mana mungkin dia sanggup bertempur melawan Tian Boguang?”
“Apa yang kau takutkan? Aku ada di sini. Mana mungkin jahanam ini kubiarkan mencelakai kakak pertamamu?” ujar Yue Buqun.
Ketua Huashan itu sangat kenal watak Linghu Chong yang cerdik dan banyak akal. Ia yakin sebenarnya Linghu Chong membenci Tian Boguang dan karena tidak mampu mengalahkan penjahat itu dengan adu kekuatan, maka langkah yang ditempuh adalah dengan adu kepandaian. Apalagi saat itu Tian Boguang sedang terluka dan tidak bisa bangun, membuat Yue Buqun semakin yakin kalau itu semua akibat perbuatan muridnya tersebut. Maka begitu mengira Linghu Chong hanya pura-pura menjalin persahabatan dengan Tian Boguang untuk mencari celah membunuh penjahat itu, Yue Buqun pun hanya pura-pura marah terhadap Linghu Chong. Jika Tian Boguang hari ini sampai mati, maka itu tidak hanya bermanfaat bagi keamanan dan ketertiban dunia persilatan, tapi juga bisa meningkatkan nama baik muridnya. Dalam keadaan seperti itu, meskipun Tian Boguang mampu bertahan dari serangan Linghu Chong, tentu tidak mampu menghadapi serangannya.
Namun, tidak disangka-sangka Linghu Chong justru menjawab, “Guru, Saudara Tian ini sudah berjanji kepadaku bahwa dia tidak akan memerkosa wanita baik-baik lagi. Saya yakin dia pasti akan memegang janjinya....”
Yue Buqun membentak, “Dari mana kau tahu kalau dia pasti memegang janji? Terhadap penjahat ini apa kau masih juga bicara soal kepercayaan segala? Apa kau lupa sudah berapa banyak nyawa orang yang tidak berdosa sudah melayang di tangannya? Kalau binatang seperti ini kau biarkan hidup, apa gunanya kau belajar silat? Shan’er, lekas kau berikan pedangmu kepada Kakak Pertama!”
“Baik!,” jawab Yue Lingshan yang kemudian mencabut dan menyerahkan pedangnya kepada Linghu Chong.
Linghu Chong benar-benar merasa serbasalah. Ia sama sekali tidak berani membantah perintah gurunya, namun ia juga telah menjalin persahabatan dengan Tian Boguang. Di lain pihak, Tian Boguang sendiri sudah berjanji akan berhenti melakukan kejahatan lagi. Meskipun Tian Boguang sudah banyak melakukan kejahatan, namun ia seorang laki-laki yang selalu memegang kata-kata dan menepati janji. Jika sekarang harus membunuhnya tentu hal ini merupakan perbuatan kotor dan rendah.
Linghu Chong menerima pedang Yue Lingshan dan kemudian melangkah sempoyongan ke arah Tian Boguang. Namun begitu mendekati sasaran tiba-tiba ia pura-pura kehabisan tenaga sehingga jatuh terguling-guling di tanah dan pedangnya tanpa ampun menusuk betis sendiri.
Kejadian yang tak terduga itu membuat Yilin dan Yue Lingshan menjerit ngeri. Bersama-sama mereka mendekati Linghu Chong. Namun langkah Yilin langsung terhenti begitu ia teringat bahwa sebagai seorang biksuni tidak pantas baginya memperlihatkan rasa suka kepada lawan jenis di depan orang lain.
Maka hanya Yue Lingshan saja yang terus menghampiri Linghu Chong. “Kakak Pertama, kau kenapa?”
Linghu Chong diam tidak menjawab. Kedua matanya tertutup rapat.
Dengan hati-hati Yue Lingshan mencabut pedang yang menancap pada betis kakak pertamanya itu. Seketika darah pun mengucur keluar. Segera ia mengeluarkan obat dan membubuhkannya ke bagian luka tersebut.
Sewaktu berpaling, Yue Lingshan sempat melihat wajah Yilin terlihat cemas dalam memandangi Linghu Chong. Jantung Yue Lingshan pun berdebar dan ia berpikir, “Ah, biksuni cilik ini ternyata menaruh perhatian besar kepada Kakak Pertama.”
Yue Lingshan lalu bangkit dan menghunus pedang sambil berkata, “Ayah, biar aku yang membunuh penjahat ini.”
“Kalau kau yang membunuh bajingan itu, sama artinya kau mencemarkan nama baikmu sendiri,” seru Yue Buqun. “Mana, berikan pedangmu padaku!”
Ucapan Yue Buqun tersebut sangat beralasan. Tian Boguang adalah penjahat besar dan pemerkosa yang terkenal di dunia persilatan. Jika sampai terdengar kabar bahwa Nona Yue dari Huashan membunuh Tian Boguang, tentu akan muncul berbagai berita kurang sedap yang tentunya akan menjatuhkan nama baik Yue Lingshan sendiri.
Mendengar perintah sang ayah, Yue Lingshan pun menyerahkan pedangnya. Namun, Yue Buqun tidak meraihnya, melainkan mengibaskan lengan baju untuk menangkap pedang tersebut.
“Jangan!” seru Biksu Bujie sambil melepas sepasang sepatunya dan memegang erat di kedua tangan untuk berjaga-jaga.
Pada detik berikutnya, Yue Buqun mengibaskan lengan bajunya, dan pedang pun meluncur deras bagaikan anak panah ke arah Tian Boguang yang hanya berjarak seratus kaki di hadapannya. Hal ini sudah diperkirakan oleh Bujie. Segera biksu besar itu melemparkan kedua sepatunya sekuat tenaga. Meskipun kedua sepatu tersebut lebih ringan sedangkan pedang lebih berat, juga pedang meluncur lebih dulu, entah bagaimana kedua sepatu bisa menyusul dan mengait kedua sisi gagang pedang. Akibatnya, pedang pun bisa berbelok sehingga meleset sekitar dua puluh kaki dari sasaran. Pedang tersebut akhirnya menancap di tanah dengan kedua sepatu masih menempel di kedua sisi gagangnya.
“Wah, seharusnya tidak begini!” seru Bujie. “Lin’er, ayahmu ini terlalu banyak membuang tenaga untuk menyembuhkan si menantu tadi. Andai saja tenagaku masih penuh, seharusnya pedang itu bisa berputar sejenak tepat di depan guru si menantu, baru kemudian jatuh ke tanah. Dengan begitu baru bisa membuatnya terkejut. Wah, ini gagal, sungguh gagal! Aku sungguh malu!”
Melihat wajah Yue Buqun yang tampak kecewa, segera Yilin berbisik kepada ayahnya, “Ayah, jangan bicara lagi!” Ia kemudian melangkah maju dan memungut kedua sepatu Bujie, kemudian mencabut pedang dari tanah sambil berpikir, “Kakak Linghu tidak ingin membunuh Tian Boguang. Kalau aku mengembalikan pedang ini kepada Nona Yue, dan Nona Yue tetap membunuh Tian Boguang, apakah Kakak Linghu tidak akan kecewa kepadaku?”
Saat Yue Buqun mengibaskan lengan baju untuk melemparkan pedang, ia sangat yakin kalau lemparannya ini mampu menusuk jantung Tian Boguang secara jitu. Siapa sangka Biksu Bujie campur tangan dan mampu membelokkan serangannya hanya dengan melemparkan sepasang sepatu? Biksu itu juga menyebut dirinya sebagai ayah dari Yilin dan menyebut Linghu Chong sebagai menantu. Tentu saja ini sangat tidak masuk akal bagi Yue Buqun. Meskipun ucapannya seperti biksu gila, namun kekuatannya sungguh luar biasa. Ia juga berkata baru saja mengobati Linghu Chong dengan mengerahkan tenaga dalam. Jika benar demikian, bukankah ini lebih mengagumkan lagi?
Yue Buqun yakin kalau ia mengerahkan tenaga dalam Kabut Lembayung Senja, maka Biksu Bujie tidak akan mampu menandinginya. Akan tetapi sebagai seorang ahli silat papan atas, pantang baginya melakukan serangan kedua terhadap musuh yang tingkatan ilmunya lebih rendah apabila serangan pertama gagal. Maka, ketua Perguruan Huashan itu pun memberi hormat sambil berkata dengan suara datar, “Aku sungguh kagum dengan kekuatan lemparan Mahabiksu. Jika hari ini Mahabiksu sudah bertekad melindungi jahanam cabul itu, maka aku memutuskan untuk tidak turun tangan lagi.”
Mendengar ucapan itu, Yilin merasa lega dan ia pun berjalan ke arah Yue Lingshan kemudian mengulurkan pedang sambil berkata, “Kakak, ini pedangmu….”
Yue Lingshan mendengus saat menerima pedang itu. Tanpa melihat sedikit pun, ia memutar dan menyarungkan pedangnya dengan gerakan indah dan rapi.
“Gerakan yang luar biasa, Nona!” puji Biksu Bujie sambil tertawa keras. Ia kemudian menoleh ke arah Linghu Chong, “Menantuku, lebih baik kita berangkat sekarang saja. Adik perguruanmu itu sangat cantik. Kalau kau terus-menerus bersamanya, aku sangat khawatir.”
Linghu Chong menjawab, “Mahabiksu agaknya memang suka bercanda. Mohon kata-kata yang bisa mencemarkan nama baik Perguruan Henshan dan Huashan jangan diulangi lagi.”
“Apa maksudmu?” tanya Bujie heran. “Susah payah aku menemukanmu, bahkan menyelamatkan nyawamu, tapi sekarang kau menolak menikahi putriku, hah?”
Dengan muka merah padam Linghu Chong menjawab, “Seumur hidup, Linghu Chong tidak akan berani melupakan budi baik Mahabiksu. Tapi Perguruan Henshan memiliki peraturan yang sangat ketat. Bila Mahabiksu bercanda seperti itu lagi, tentu akan membuat rikuh Biksuni Dingxian dan Biksuni Dingyi.”
Bujie menoleh kepada Yilin. “Eh, Lin’er, apa-apaan calon menantuku ini? Aku sungguh... aku sungguh tidak paham,” ucapnya sambil menggaruk-garuk kepala.
Yilin menutup wajah dengan kedua tangan kemudian berkata sambil menangis, “Ayah jangan bicara lagi! Dia adalah dia, aku adalah aku. Ada sangkut-paut apa antara aku dan... dan dia?” Usai berkata demikian biksuni muda itu pun berlari menuruni jalan setapak ke arah kaki gunung.
Bujie termangu-mangu dalam kebingungan. Selang agak lama barulah ia berkata, “Aneh, sungguh aneh! Bila tidak bertemu susah payah berusaha mencari. Tapi kalau sudah bertemu malah ditinggal pergi. Ah, dia benar-benar mirip ibunya. Perasaan biksuni memang sukar ditebak.” Biksu bertubuh besar itu kemudian bergegas pergi menyusul putrinya.
Tian Boguang yang lolos dari maut perlahan-lahan bangkit berdiri. Ia lalu berkata, “Selama gunung masih menghijau dan sungai masih mengalir, semoga kita masih bisa berjumpa lagi, Saudara Linghu!” Perlahan ia memutar tubuh dan berjalan turun gunung dengan langkah sempoyongan.
Melihat itu Linghu Chong gembira dan menyapa, “Guru, Adik Kecil, kalian telah kembali! Mana Ibu Guru?”
Yue Buqun memandang Linghu Chong dengan seksama. Melihat keadaan murid pertamanya itu sudah jauh lebih sehat daripada kemarin membuat hatinya merasa gembira. Namun demikian, sedikit pun ia tidak bertanya, melainkan memberi salam kepada Bujie, “Mohon maaf, mungkin aku belum pernah mendengar siapa gerangan nama biksu yang terhormat ini. Entah bersemayam di kuil mana, serta ada keperluan apa sehingga berkunjung ke tempat kami yang kotor ini?”
“Aku... aku bernama Biksu Bujie. Aku datang ke tempatmu yang kotor ini untuk... untuk mencari menantu,” sahut Bujie sambil menunjuk ke arah Linghu Chong. Bagaimanapun juga Bujie adalah mantan tukang jagal yang kurang mengerti basa-basi di antara kaum terpelajar. Mendengar ucapan Yue Buqun mengenai “tempat yang kotor” tadi, dengan serta merta ia pun menirukan begitu saja tanpa memahami maksud di balik kalimat tersebut.
Yue Buqun yang tidak tahu-menahu soal Biksu Bujie mengira ucapan “mencari menantu” tersebut ditujukan untuk menyindir dirinya. Dalam hati ia sangat tersinggung namun sikapnya yang sabar membuat raut mukanya terlihat tetap tenang. Ia hanya berkata, “Ah, biksu ini suka bercanda.”
Yilin juga maju memberi hormat kepada Yue Buqun. Menanggapi itu Yue Buqun pun menjawab dengan tersenyum, “Keponakan Yilin tidak perlu terlalu sungkan. Apakah kedatanganmu ke sini atas perintah dari gurumu?”
Dengan muka bersemu merah Yilin menjawab gugup, “Tidak. Saya ke sini... saya ke sini....”
Yue Buqun kemudian menoleh ke arah Tian Boguang dan langsung menegur, “Hei, Tian Boguang, besar juga nyalimu, ya?”
“Tidak juga,” jawab Tian Boguang. “Aku merasa cocok dengan muridmu. Aku kemari demi membawakan dua guci besar berisi arak bagus untuk kami minum bersama sepuas-puasnya.”
Wajah Yue Buqun tampak semakin bengis. Ia bertanya, “Mana araknya?”
“Sudah lama kami habiskan di atas Tebing Perenungan,” sahut Tian Boguang.
Yue Buqun menoleh ke arah Linghu Chong dan bertanya, “Apa benar demikian?”
Linghu Chong menjawab, “Masalah ini cukup panjang, Guru. Biarlah nanti saya ceritakan dengan jelas.”
“Sudah berapa lama Tian Boguang berada di Gunung Huashan sini?” Yue Buqun kembali mendesak.
“Kira-kira lima belas hari.”
“Selama itu?”
“Benar, Guru.”
“Mengapa tidak kau laporkan kepadaku?”
“Waktu itu Guru dan Ibu Guru tidak berada di sini.”
“Lantas di mana?”
“Guru dan Ibu Guru sedang berada di Chang’an untuk mencari Tuan Tian.”
Yue Buqun mendengus dan berkata, “Huh, Tuan Tian? Tuan Tian? Bukankah kau tahu kalau kejahatannya sudah setinggi gunung? Mengapa kau tidak membunuhnya? Jikapun kau tidak mampu mengalahkannya, kau seharusnya mati di tangannya, bukan malah bergaul dengan bajingan ini?”
Tian Boguang ikut bicara sambil tetap duduk di atas tanah, “Aku yang tidak mau membunuhnya. Lantas dia harus berbuat apa? Memangnya jika tidak bisa membunuhku lantas dia harus bunuh diri di hadapanku, begitu?”
“Di depanku kau tidak punya hak bicara!” bentak Yue Buqun. Ia kembali menoleh ke arah Linghu Chong dan berkata, “Sekarang bunuh dia!”
Mendengar itu Yue Lingshan menyahut, “Ayah, Kakak Pertama sedang terluka parah. Mana mungkin dia sanggup bertempur melawan Tian Boguang?”
“Apa yang kau takutkan? Aku ada di sini. Mana mungkin jahanam ini kubiarkan mencelakai kakak pertamamu?” ujar Yue Buqun.
Ketua Huashan itu sangat kenal watak Linghu Chong yang cerdik dan banyak akal. Ia yakin sebenarnya Linghu Chong membenci Tian Boguang dan karena tidak mampu mengalahkan penjahat itu dengan adu kekuatan, maka langkah yang ditempuh adalah dengan adu kepandaian. Apalagi saat itu Tian Boguang sedang terluka dan tidak bisa bangun, membuat Yue Buqun semakin yakin kalau itu semua akibat perbuatan muridnya tersebut. Maka begitu mengira Linghu Chong hanya pura-pura menjalin persahabatan dengan Tian Boguang untuk mencari celah membunuh penjahat itu, Yue Buqun pun hanya pura-pura marah terhadap Linghu Chong. Jika Tian Boguang hari ini sampai mati, maka itu tidak hanya bermanfaat bagi keamanan dan ketertiban dunia persilatan, tapi juga bisa meningkatkan nama baik muridnya. Dalam keadaan seperti itu, meskipun Tian Boguang mampu bertahan dari serangan Linghu Chong, tentu tidak mampu menghadapi serangannya.
Namun, tidak disangka-sangka Linghu Chong justru menjawab, “Guru, Saudara Tian ini sudah berjanji kepadaku bahwa dia tidak akan memerkosa wanita baik-baik lagi. Saya yakin dia pasti akan memegang janjinya....”
Yue Buqun membentak, “Dari mana kau tahu kalau dia pasti memegang janji? Terhadap penjahat ini apa kau masih juga bicara soal kepercayaan segala? Apa kau lupa sudah berapa banyak nyawa orang yang tidak berdosa sudah melayang di tangannya? Kalau binatang seperti ini kau biarkan hidup, apa gunanya kau belajar silat? Shan’er, lekas kau berikan pedangmu kepada Kakak Pertama!”
“Baik!,” jawab Yue Lingshan yang kemudian mencabut dan menyerahkan pedangnya kepada Linghu Chong.
Linghu Chong benar-benar merasa serbasalah. Ia sama sekali tidak berani membantah perintah gurunya, namun ia juga telah menjalin persahabatan dengan Tian Boguang. Di lain pihak, Tian Boguang sendiri sudah berjanji akan berhenti melakukan kejahatan lagi. Meskipun Tian Boguang sudah banyak melakukan kejahatan, namun ia seorang laki-laki yang selalu memegang kata-kata dan menepati janji. Jika sekarang harus membunuhnya tentu hal ini merupakan perbuatan kotor dan rendah.
Linghu Chong menerima pedang Yue Lingshan dan kemudian melangkah sempoyongan ke arah Tian Boguang. Namun begitu mendekati sasaran tiba-tiba ia pura-pura kehabisan tenaga sehingga jatuh terguling-guling di tanah dan pedangnya tanpa ampun menusuk betis sendiri.
Kejadian yang tak terduga itu membuat Yilin dan Yue Lingshan menjerit ngeri. Bersama-sama mereka mendekati Linghu Chong. Namun langkah Yilin langsung terhenti begitu ia teringat bahwa sebagai seorang biksuni tidak pantas baginya memperlihatkan rasa suka kepada lawan jenis di depan orang lain.
Maka hanya Yue Lingshan saja yang terus menghampiri Linghu Chong. “Kakak Pertama, kau kenapa?”
Linghu Chong diam tidak menjawab. Kedua matanya tertutup rapat.
Dengan hati-hati Yue Lingshan mencabut pedang yang menancap pada betis kakak pertamanya itu. Seketika darah pun mengucur keluar. Segera ia mengeluarkan obat dan membubuhkannya ke bagian luka tersebut.
Sewaktu berpaling, Yue Lingshan sempat melihat wajah Yilin terlihat cemas dalam memandangi Linghu Chong. Jantung Yue Lingshan pun berdebar dan ia berpikir, “Ah, biksuni cilik ini ternyata menaruh perhatian besar kepada Kakak Pertama.”
Yue Lingshan lalu bangkit dan menghunus pedang sambil berkata, “Ayah, biar aku yang membunuh penjahat ini.”
“Kalau kau yang membunuh bajingan itu, sama artinya kau mencemarkan nama baikmu sendiri,” seru Yue Buqun. “Mana, berikan pedangmu padaku!”
Ucapan Yue Buqun tersebut sangat beralasan. Tian Boguang adalah penjahat besar dan pemerkosa yang terkenal di dunia persilatan. Jika sampai terdengar kabar bahwa Nona Yue dari Huashan membunuh Tian Boguang, tentu akan muncul berbagai berita kurang sedap yang tentunya akan menjatuhkan nama baik Yue Lingshan sendiri.
Mendengar perintah sang ayah, Yue Lingshan pun menyerahkan pedangnya. Namun, Yue Buqun tidak meraihnya, melainkan mengibaskan lengan baju untuk menangkap pedang tersebut.
“Jangan!” seru Biksu Bujie sambil melepas sepasang sepatunya dan memegang erat di kedua tangan untuk berjaga-jaga.
Pada detik berikutnya, Yue Buqun mengibaskan lengan bajunya, dan pedang pun meluncur deras bagaikan anak panah ke arah Tian Boguang yang hanya berjarak seratus kaki di hadapannya. Hal ini sudah diperkirakan oleh Bujie. Segera biksu besar itu melemparkan kedua sepatunya sekuat tenaga. Meskipun kedua sepatu tersebut lebih ringan sedangkan pedang lebih berat, juga pedang meluncur lebih dulu, entah bagaimana kedua sepatu bisa menyusul dan mengait kedua sisi gagang pedang. Akibatnya, pedang pun bisa berbelok sehingga meleset sekitar dua puluh kaki dari sasaran. Pedang tersebut akhirnya menancap di tanah dengan kedua sepatu masih menempel di kedua sisi gagangnya.
“Wah, seharusnya tidak begini!” seru Bujie. “Lin’er, ayahmu ini terlalu banyak membuang tenaga untuk menyembuhkan si menantu tadi. Andai saja tenagaku masih penuh, seharusnya pedang itu bisa berputar sejenak tepat di depan guru si menantu, baru kemudian jatuh ke tanah. Dengan begitu baru bisa membuatnya terkejut. Wah, ini gagal, sungguh gagal! Aku sungguh malu!”
Melihat wajah Yue Buqun yang tampak kecewa, segera Yilin berbisik kepada ayahnya, “Ayah, jangan bicara lagi!” Ia kemudian melangkah maju dan memungut kedua sepatu Bujie, kemudian mencabut pedang dari tanah sambil berpikir, “Kakak Linghu tidak ingin membunuh Tian Boguang. Kalau aku mengembalikan pedang ini kepada Nona Yue, dan Nona Yue tetap membunuh Tian Boguang, apakah Kakak Linghu tidak akan kecewa kepadaku?”
Saat Yue Buqun mengibaskan lengan baju untuk melemparkan pedang, ia sangat yakin kalau lemparannya ini mampu menusuk jantung Tian Boguang secara jitu. Siapa sangka Biksu Bujie campur tangan dan mampu membelokkan serangannya hanya dengan melemparkan sepasang sepatu? Biksu itu juga menyebut dirinya sebagai ayah dari Yilin dan menyebut Linghu Chong sebagai menantu. Tentu saja ini sangat tidak masuk akal bagi Yue Buqun. Meskipun ucapannya seperti biksu gila, namun kekuatannya sungguh luar biasa. Ia juga berkata baru saja mengobati Linghu Chong dengan mengerahkan tenaga dalam. Jika benar demikian, bukankah ini lebih mengagumkan lagi?
Yue Buqun yakin kalau ia mengerahkan tenaga dalam Kabut Lembayung Senja, maka Biksu Bujie tidak akan mampu menandinginya. Akan tetapi sebagai seorang ahli silat papan atas, pantang baginya melakukan serangan kedua terhadap musuh yang tingkatan ilmunya lebih rendah apabila serangan pertama gagal. Maka, ketua Perguruan Huashan itu pun memberi hormat sambil berkata dengan suara datar, “Aku sungguh kagum dengan kekuatan lemparan Mahabiksu. Jika hari ini Mahabiksu sudah bertekad melindungi jahanam cabul itu, maka aku memutuskan untuk tidak turun tangan lagi.”
Mendengar ucapan itu, Yilin merasa lega dan ia pun berjalan ke arah Yue Lingshan kemudian mengulurkan pedang sambil berkata, “Kakak, ini pedangmu….”
Yue Lingshan mendengus saat menerima pedang itu. Tanpa melihat sedikit pun, ia memutar dan menyarungkan pedangnya dengan gerakan indah dan rapi.
“Gerakan yang luar biasa, Nona!” puji Biksu Bujie sambil tertawa keras. Ia kemudian menoleh ke arah Linghu Chong, “Menantuku, lebih baik kita berangkat sekarang saja. Adik perguruanmu itu sangat cantik. Kalau kau terus-menerus bersamanya, aku sangat khawatir.”
Linghu Chong menjawab, “Mahabiksu agaknya memang suka bercanda. Mohon kata-kata yang bisa mencemarkan nama baik Perguruan Henshan dan Huashan jangan diulangi lagi.”
“Apa maksudmu?” tanya Bujie heran. “Susah payah aku menemukanmu, bahkan menyelamatkan nyawamu, tapi sekarang kau menolak menikahi putriku, hah?”
Dengan muka merah padam Linghu Chong menjawab, “Seumur hidup, Linghu Chong tidak akan berani melupakan budi baik Mahabiksu. Tapi Perguruan Henshan memiliki peraturan yang sangat ketat. Bila Mahabiksu bercanda seperti itu lagi, tentu akan membuat rikuh Biksuni Dingxian dan Biksuni Dingyi.”
Bujie menoleh kepada Yilin. “Eh, Lin’er, apa-apaan calon menantuku ini? Aku sungguh... aku sungguh tidak paham,” ucapnya sambil menggaruk-garuk kepala.
Yilin menutup wajah dengan kedua tangan kemudian berkata sambil menangis, “Ayah jangan bicara lagi! Dia adalah dia, aku adalah aku. Ada sangkut-paut apa antara aku dan... dan dia?” Usai berkata demikian biksuni muda itu pun berlari menuruni jalan setapak ke arah kaki gunung.
Bujie termangu-mangu dalam kebingungan. Selang agak lama barulah ia berkata, “Aneh, sungguh aneh! Bila tidak bertemu susah payah berusaha mencari. Tapi kalau sudah bertemu malah ditinggal pergi. Ah, dia benar-benar mirip ibunya. Perasaan biksuni memang sukar ditebak.” Biksu bertubuh besar itu kemudian bergegas pergi menyusul putrinya.
Tian Boguang yang lolos dari maut perlahan-lahan bangkit berdiri. Ia lalu berkata, “Selama gunung masih menghijau dan sungai masih mengalir, semoga kita masih bisa berjumpa lagi, Saudara Linghu!” Perlahan ia memutar tubuh dan berjalan turun gunung dengan langkah sempoyongan.
![]() |
Linghu Chong pura-pura menusuk kaki sendiri. |
(Bersambung)