Bagian 27 - Ujian di Puncak Huashan

Yue Buqun dan Ning Zhongze mengunjungi Linghu Chong.

Ning Zhongze sendiri juga beranjak sambil berkata, “Selama setengah bulan ke depan kau harus lebih giat belajar. Urusan ini sangat penting karena menyangkut masa depanmu. Jangan anggap remeh.”

“Baik, Ibu Guru....” jawab Linghu Chong. Sebenarnya ia juga berniat memberi tahu Nyonya Yue tentang gambar yang ia temukan di dalam gua belakang serta pria bercadar misterius. Namun, ibu-gurunya itu sudah melambaikan tangan diiringi senyuman hangat, kemudian melesat pergi menyusul sang suami dengan langkah lebar.

Kini tinggal Linghu Chong seorang diri. Diam-diam ia berpikir, “Mengapa Ibu Guru berkata urusan belajar ilmu silat bisa menyangkut masa depanku? Mengapa untuk menyampaikan pesan ini Beliau harus menunggu sampai Guru pergi? Jangan-jangan... jangan-jangan....”

Tiba-tiba sebuah pikiran terlintas di benaknya, membuat jantung berdebar-debar. Tak terasa pipinya pun bersemu merah menahan malu. Ia tidak berani berpikir lebih dalam lagi, namun di lubuk hatinya yang paling dalam timbul sebuah harapan, “Jangan-jangan Guru dan Ibu Guru mengetahui kalau sakitku ini karena memikirkan Adik Kecil. Apakah Beliau berdua berniat menjodohkan kami? Namun syaratnya aku harus rajin berlatih supaya dapat mewarisi semua kepandaian Guru, baik itu tenaga dalam ataupun ilmu pedang. Agaknya Guru merasa segan bicara terang-terangan. Sebaliknya, Ibu Guru sudah menganggapku seperti anak sendiri sehingga setelah Guru pergi, diam-diam Beliau menyampaikan pesan ini kepadaku.”

Menyadari hal itu, semangat Linghu Chong bangkit kembali. Ia pun menghunus pedangnya dan mulai memainkan jurus-jurus paling ampuh yang pernah diajarkan sang guru. Akan tetapi bayangan gambar di dalam gua senantiasa menghantui pikirannya. Maka, setiap kali ia memainkan suatu jurus dengan sendirinya pada saat itu pula ia membayangkan bahwa jurusnya itu dapat dipatahkan musuh.

Pikiran Linghu Chong menjadi terpecah dan sulit untuk diajak berkonsentrasi. “Mengenai ukiran-ukiran itu aku belum sempat menyampaikannya kepada Guru dan Ibu Guru. Ah, nanti saja kalau Beliau berdua datang lagi kemari dan mengamati gambar-gambar itu, tentu semua tanda tanya bisa dipecahkan.”

Begitulah, meskipun ucapan Ning Zhongze mengandung dukungan dan memberikan semangat Linghu Chong namun latihannya selama sehari penuh itu tidak menghasilkan apa-apa. Sebaliknya, ia kembali berkhayal tentang hubungannya dengan Yue Lingshan.

“Kalau benar Guru dan Ibu Guru berniat menjodohkan Adik Kecil dengan aku, apakah Adik Kecil bersedia menerimaku secara suka rela? Jika kami menjadi suami-istri, apakah dia bisa melupakan Adik Lin? Ah, aku tidak boleh berpikiran macam-macam. Adik Lin baru beberapa bulan masuk Huashan. Ia hanya berlatih bersama dengan Adik Kecil untuk meminta petunjuk darinya, serta menjadi teman bermain Adik Kecil pula. Mereka berdua tidak memiliki hubungan istimewa selain sebagai saudara seperguruan sehingga tidak bisa dibandingkan dengan hubungan kami yang dibesarkan bersama sejak kecil. Lagipula, Adik Lin pernah menyelamatkan nyawaku, maka aku pun tidak boleh melupakan jasanya. Kelak, jika aku sudah kembali ke perguruan, aku harus selalu baik kepadanya. Jika dia tertimpa masalah dan terancam bahaya, aku siap melindunginya meskipun bertaruh jiwa dan raga.”

Singkat kata, waktu setengah bulan pun terlewati dengan cepat. Sesuai yang pernah dijanjikan, pada suatu sore Yue Buqun dan Ning Zhongze datang untuk menguji kemajuan ilmu silat Linghu Chong. Selain mereka ikut pula beberapa orang murid yang menemani, yaitu Shi Daizi, Lu Dayou, dan Yue Lingshan.

Linghu Chong menyambut kedatangan mereka dengan hati berdebar. Lebih-lebih begitu melihat si adik kecil ternyata juga ikut serta.

Ning Zhongze tersenyum melihat semangat pemuda itu yang terlihat lebih segar dan tubuhnya lebih sehat dibanding sebelumnya. Ia pun berkata kepada Yue Lingshan, “Shan’er, tolong kau ambilkan nasi untuk Kakak Pertama. Biarkan dia makan sampai kenyang sebelum ujian dimulai.”

Yue Lingshan mengiakan dan segera membawa keranjang nasi ke dalam gua diikuti Linghu Chong. Gadis itu mengisi sebuah mangkuk sampai penuh dengan nasi dan menyerahkannya kepada Linghu Chong. “Silakan makan, Kakak pertama!” katanya sambil tersenyum.

Linghu Chong menerimanya dengan gugup, “Terima... terima kasih.”

Yue Lingshan tertawa melihatnya kemudian bertanya, “Hei, apa kau masih demam? Mengapa suaramu gemetar lagi?”

“Ti... tidak apa-apa,” jawab Linghu Chong. Dalam hati ia berpikir kelak setiap hari gadis itu yang akan melayaninya makan. Jika terjadi demikian tentu di hatinya sudah tidak menginginkan apa-apa lagi. Pemuda itu makan dengan lahap, dan dalam waktu singkat sudah menghabiskan isi mangkuknya.

Yue Lingshan berkata, “Aku tambah lagi nasinya?”

“Terima kasih, ini saja sudah cukup,” jawab Linghu Chong. “Guru dan Ibu Guru sudah menunggu.

Keduanya pun keluar gua. Tampak Yue Buqun dan Ning Zhongze duduk berjajar di atas batu. Linghu Chong membungkuk memberi hormat namun lidahnya terasa kelu sulit diajak bicara. Kemudian ia menoleh ke arah Lu Dayou. Dalam hati ia berkata, “Adik Keenam terlihat begitu gembira. Apakah dia baru saja menerima kabar gembira tentang diriku sehingga ikut merasa senang?”

Yue Buqun memandang tajam ke arah Linghu Chong. Sejenak kemudian ia membuka suara, “Kemarin Genming baru saja pulang dari Chang’an. Ia melaporkan bahwa si penjahat Tian Boguang baru saja membuat beberapa masalah di kota itu.”

“Tian Boguang ada di Chang’an?” sahut Linghu Chong menegas. “Sudah pasti ia melakukan perbuatan yang tidak baik.”

“Tentu saja! Kenapa kau masih bertanya?” ujar Yue Buqun. “Dia telah mencuri di tujuh rumah dalam satu malam. Tidak hanya itu, ia bahkan berani meninggalkan tulisan di masing-masing rumah yang berbunyi, ‘Barang-barangmu dipinjam Tian Boguang si Pengelana Tunggal Selaksa Li.’”

“Apa?” sahut Linghu Chong terkejut. Dengan perasaan geram ia berkata, “Kota Chang’an dekat dari sini. Dia benar-benar menganggap remeh Perguruan Huashan kita. Guru, kita harus….”

“Kita harus apa?” Yue Buqun menukas.

Linghu Chong melanjutkan, “Guru dan Ibu Guru berkedudukan tinggi juga terhormat, jadi tidak perlu mengotori tangan dengan darah penjahat itu. Sayang sekali kepandaian murid masih belum cukup untuk menandinginya. Selain itu murid juga masih menjalani masa hukuman. Tapi kalau keparat itu dibiarkan malang melintang di dekat Gunung Huashan, tentu hal ini patut disayangkan.”

“Jika kau benar-benar mampu, sudah tentu aku mengizinkanmu turun gunung. Masa hukumanmu kuanggap selesai sampai di sini apabila kau bisa menebusnya dengan membunuh penjahat itu,” ujar Yue Buqun. “Tapi sebelumnya aku ingin melihat kemajuan ilmu silatmu lebih dulu. Coba kau mainkan Jurus Tunggal Pedang Ning Tanpa Tanding yang pernah diajarkan ibu-gurumu dulu. Selama setengah tahun lebih tentu kau sudah mempelajarinya. Ditambah lagi petunjuk-petunjuk yang akan diberikan ibu-gurumu hari ini tentu sudah cukup untuk membunuh si keparat bermarga Tian.”

Linghu Chong terperanjat. Ia baru sadar kalau ibu-gurunya dahulu telah mengajarkan secara tidak resmi Jurus Tunggal Pedang Ning Tanpa Tanding. “Meskipun tidak mengajarkan secara langsung, namun Ibu Guru yakin dengan pengalaman dan kemampuanku, tentu bisa memahami dan menyerap intisari dari apa yang Beliau peragakan waktu itu. Guru juga memperhitungkan selama setengah tahun ini aku seharusnya sudah bisa menguasai jurus tersebut,” demikian ia berpikir. Tak terasa keringat dingin membasahi dahinya.

Memang pada permulaan menjalani hukuman, setiap hari Linghu Chong berlatih untuk bisa menguasai jurus ampuh tersebut. Akan tetapi, setelah menemukan gambar-gambar di dalam gua belakang membuat semangatnya hilang dan tidak pernah lagi melatih jurus tersebut begitu pula dengan jurus-jurus ilmu pedang Huashan lainnya. Ia menjadi yakin bahwa sehebat apapun ilmu pedang yang ia pelajari ternyata bisa dipatahkan musuh sehingga rasa percaya dirinya terhadap semua ilmu pedang Huashan menjadi lenyap. Ingin sekali ia berkata bahwa Jurus Tunggal Pedang Ning Tanpa Tanding memiliki kelemahan dan mudah untuk dipatahkan, namun tidak ingin membuat ibu-gurunya malu di hadapan Shi Daizi dan Lu Dayou.

Melihat raut wajah muridnya yang menunjukkan sikap ragu-ragu, Yue Buqun segera menanggapi, “Apa kau belum berlatih jurus tunggal itu? Baiklah, tidak mengapa. Jurus tersebut sesungguhnya merupakan intisari ilmu pedang Huashan. Mungkin kau sudah mengetahui caranya, namun tenaga dalammu belum sampai di tingkat itu. Lambat laun kau tentu dapat menguasainya.”

Linghu Chong diam tertunduk. Melihat itu Ning Zhongze berkata, “Chong’er, mengapa kau tidak segera berterima kasih? Gurumu berniat mengajarkan ilmu tenaga dalam Kabut Lembayung Senja kepadamu?”

Linghu Chong terperanjat. Dengan cepat ia pun berkata sambil berlutut di tanah, “Terima kasih, Guru!”

Yue Buqun segera menahan tubuh muridnya itu, dan berkata, “Jangan terburu-buru. Ilmu Kabut Lembayung Senja adalah intisari tertinggi dari ilmu tenaga dalam di perguruan kita. Aku tidak mau sembarangan mengajarkannya. Jika belajar ilmu ini, maka latihan harus giat, pemusatan pikiran harus sungguh-sungguh. Tidak boleh sampai terputus di tengah jalan karena akan sangat berbahaya dan bisa berakibat fatal. Maka itu, aku ingin melihat lebih dulu sampai di mana kemajuan ilmu silatmu yang kau capai selama ini. Baru setelah itu, aku bisa memutuskan untuk mengajarkannya atau tidak.”

Shi Daizi, Lu Dayou, dan Yue Lingshan kagum luar biasa mendengar kakak pertama mereka diizinkan untuk mempelajari ilmu tenaga dalam Kabut Lembayung Senja. Mereka mengetahui kalau Kabut Lembayung Senja adalah ilmu tenaga dalam tertinggi yang dimiliki Perguruan Huashan, dan bisa dikatakan sebagai pemimpin dari sembilan ilmu Huashan. Meskipun mereka bertiga mengetahui kalau ilmu silat Linghu Chong adalah yang paling hebat di antara para murid, namun mereka tidak menyangka kalau sang kakak pertama akan mewarisi ilmu tenaga dalam itu secepat ini.

Lu Dayou pun berkata, “Kakak Pertama selalu berlatih dengan giat. Setiap kali saya mengantar makanan ke sini, saya selalu melihat Kakak Pertama sedang belajar. Kalau tidak duduk bermeditasi tentu sedang berlatih pedang.”

Mendengar itu Yue Lingshan melirik dan mencibir. Dalam hati ia menggerutu, “Monyet Keenam, berani sekali kau berbohong di hadapan Ayah dan Ibu. Huh, selalu saja kau membela Kakak Pertama.”

Sementara itu Ning Zhongze berkata, “Chong’er, segera kau siapkan pedangmu. Kita bertiga akan pergi melabrak Tian Boguang. Kita akan berusaha keras untuk mengakhiri kejahatannya. Pepatah mengatakan, ‘Lebih baik mengasah tombak sebelum berangkat berperang daripada tidak membawa apa-apa.’”

“Kita bertiga?” sahut Linghu Chong tidak percaya. “Apakah Guru dan Ibu Guru akan bersama-sama membantu saya mengeroyok Tian Boguang, begitu?”

“Ya, begitulah kira-kira,” ujar Nyonya Yue tertawa. “Pada dasarnya kau yang menantang dan menghadapinya. Kami berdua hanya membantu dari belakang. Tidak peduli pedang siapa yang mencabut nyawanya, tetap saja kami akan mengatakan bahwa kau yang telah membunuh Tian Boguang. Dengan demikian, gurumu dan aku tidak akan kehilangan nama baik di dunia persilatan.”

“Bagus sekali,” seru Yue Lingshan. “Jika Ayah dan Ibu diam-diam membantu, tidak perlu Kakak Pertama yang maju, aku juga berani menghadapinya. Setelah penjahat itu mati, tinggal katakan saja kalau aku yang telah membunuhnya.”

“Enak saja kau bicara,” sahut Nyonya Yue. “Kakak pertamamu pernah bertanding melawan penjahat itu dan nyaris kehilangan nyawa, tentu ia sudah mengenali jurus-jurusnya. Sebaliknya, dengan kepandaianmu yang rendah itu, apa yang bisa kau andalkan? Lagipula kau ini seorang perempuan, maka jangan sekali-kali kau sebut namanya apalagi berharap bisa bertemu dengannya!”

Usai berkata demikian dengan sangat tiba-tiba wanita itu sudah mengacungkan pedang tepat di depan jantung Linghu Chong. Gerakannya sungguh cepat, padahal sedetik yang lalu ia baru saja bicara kepada putrinya sambil tersenyum.

Di lain pihak, Linghu Chong juga bergerak dengan cepat melolos pedang untuk menangkis tusukan sang ibu-guru sambil sedikit melangkah mundur. Kedua pedang pun bertemu dan menimbulkan suara benturan yang sangat keras.

Ning Zhongze menguji ilmu silat Linghu Chong.

Selanjutnya, berturut-turut Ning Zhongze melancarkan enam serangan, namun bersamaan dengan itu Linghu Chong juga melancarkan enam kali tangkisan.

“Serang aku ganti!” bentak Nyonya Yue sambil mengubah gaya permainan. Kali ini ia menebas dan mencincang seolah-olah pedangnya berfungsi sebagai golok. Jelas ini bukan ilmu pedang Huashan. Linghu Chong segera menyadari kalau ibu-gurunya itu sedang memainkan jurus golok kilat andalan Tian Boguang. Serangan itu pun bertambah cepat dan semakin cepat.

Yue Lingshan menyksikan dengan takjub, lalu berkata, “Ayah, gerakan Ibu sangat cepat, tapi tidak seperti jurus pedang, juga tidak seperti jurus golok. Aku khawatir jangan-jangan ilmu golok Tian Boguang tidak seperti itu.”

Yue Buqun menjawab, “Ilmu silat Tian Boguang sangat hebat. Tentu saja sulit bagi ibumu untuk meniru jurus goloknya dengan sama persis. Lagipula yang dilakukan ibumu bukan meniru jurus golok penjahat itu, tapi meniru kecepatannya. Sekali lagi, kecepatannya. Karena, kunci untuk mengalahkan Tian Boguang adalah bagaimana kita bisa menghadapi kecepatan ilmu goloknya… Lihat itu! Bagus sekali! Jurus Burung Feng Datang Menyembah!”

Yue Buqun berseru memuji karena Linghu Chong menggunakan jurus yang tepat di saat yang tepat pula. Sewaktu Linghu Chong merendahkan sedikit bahu kirinya sambil menarik siku kanan dan kemudian mengacungkan tangan kiri ke samping, ia lantas melancarkan Jurus Burung Feng Datang Menyembah. Akan tetapi pujian Yue Buqun berubah menjadi kecaman saat melihat tusukan Linghu Chong terlihat lemah dan arahnya melenceng sehingga gagal menembus lingkaran sinar pedang Ning Zhongze.

“Bodoh, salah besar!” seru Yue Buqun kesal.

Nyonya Yue sendiri tidak memberi ampun. Berturut-turut ia menyerang Linghu Chong sebanyak tiga kali. Pemuda itu tampak sangat kewalahan menangkisnya. Permainan pedangnya semakin kacau dan tidak terarah, bahkan beberapa jurus di antaranya bukan merupakan ilmu pedang Huashan. Menyaksikan ini membuat Yue Buqun bertambah gusar.

Meskipun gerakan pedangnya kacau, Linghu Chong masih tetap berusaha menangkis pedang Ning Zhongze. Setelah terdesak mundur sampai ke dekat gua, ia tiba-tiba ganti menyerang menggunakan jurus Cemara Tua Menyambut Tamu. Pedangnya berkelebat dan menusuk ke arah pelipis Nyonya Yue. Namun wanita itu dapat menangkis serangan tersebut diiringi suara benturan dua pedang yang sangat keras.

Nyonya Yue segera menyilangkan pedang di depan dada untuk pertahanan. Wanita itu menyadari kehebatan jurus yang dipakai Linghu Chong. Meskipun ia yakin Linghu Chong sudah menguasai jurus itu dengan sangat baik dan tidak mungkin melukai dirinya, namun ia tetap berjaga-jaga atas kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi. Maka, Ning Zhongze pun mengubah gaya permainannya dari menyerang menjadi bertahan.

Akan tetapi, siapa sangka lagi-lagi Linghu Chong memperlihatkan kelemahannya. Serangannya kali ini kembali melambat dan tidak membawa daya tekanan terhadap lawan.

“Chong’er, perhatikan gerakanmu! Pikiranmu sedang melayang ke mana?” seru Nyonya Yue sambil menebas tiga kali.

Linghu Chong melompat untuk menghindari serangan itu. Ning Zhongze semakin kesal dan berseru, “Jurus Cemara Tua Menyambut Tamu macam apa pula ini? Apa kau kehilangan semua ilmu silatmu gara-gara sakit?”

“Maaf!” jawab Linghu Chong dengan wajah bersemu merah menahan malu. Kemudian ia pun berbalik dengan melancarkan dua serangan.

Sementara itu Yue Buqun menyaksikan pertandingan tersebut dengan tatapan tajam. Shi Daizi dan Lu Dayou sampai ketakutan melihat raut wajah sang guru yang menampilkan perasaan gusar luar biasa.

Suasana di puncak tebing itu terdengar ramai oleh desingan suara pedang Ning Zhongze. Gaun berwarna hijau yang ia kenakan sudah tidak terlihat dengan jelas lagi, karena yang kini terlihat hanyalah bayangan hijau yang berkelebat ke sana kemari. Ditambah lagi dengan kilatan sinar pedang membuat gerakan jurusnya semakin sulit tertangkap mata.

Linghu Chong sendiri menghadapi serangan ibu-gurunya dengan pikiran semakin kacau. Dalam hati ia berkata, “Jika aku menggunakan jurus Kuda Menerjang, tentu musuh akan menangkis dengan cara seperti itu… Jika aku memaksakan diri menyerang dari samping, pasti aku akan terluka sendiri.”

Rupanya selama pertandingan ini berlangsung, yang ada dalam pikiran Linghu Chong hanyalah gambar-gambar di gua belakang. Ketika melancarkan jurus Burung Feng Datang Menyembah tadi, pikirannya langsung membayangkan jurus penangkal yang terukir di dinding gua. Begitu pula ketika menggunakan jurus Cemara Tua Menyambut Tamu, langsung dalam benaknya terbayang jurus yang bisa mematahkan jurus ini. Itulah sebabnya mengapa gerakan pemuda itu terlihat kacau dan tidak menentu. Bayangan gambar-gambar di gua belakang itu membuatnya khawatir dan mengubah gerakan menjadi bertahan.

Sebaliknya, Nyonya Yue mengayunkan pedangnya dengan cepat adalah untuk memaksa Linghu Chong mengeluarkan Jurus Tunggal Pedang Ning Tanpa Tanding. Namun Linghu Chong yang sedang bimbang justru menangkis dengan gerakan sekenanya. Pemuda itu sama sekali tidak bisa memusatkan pikiran. Jelas sekali terlihat bahwa ia sedang dicekam ketakutan dan rasa khawatir yang teramat sangat.

Ning Zhongze sendiri kesal melihat Linghu Chong yang biasanya pemberani, tapi entah mengapa hari itu terlihat begitu lemah dan gelisah. Belum pernah ia menyaksikan Linghu Chong bertarung seperti ini. Wanita itu pun berteriak, “Chong’er, mengapa jurus tunggal itu belum keluar juga?”

“Baiklah!” jawab Linghu Chong sambil mengacungkan pedangnya ke depan, pertanda ia hendak mengerahkan Jurus Tunggal Pedang Ning Tanpa Tanding.

“Bagus, gayamu sudah benar!” sahut Nyonya Yue. Karena mengetahui kehebatan jurus ini, wanita itu tidak berani menghadapinya secara langsung, namun bergerak ke samping untuk mengambil ancang-ancang. Kemudian ia pun menangkis pedang Linghu Chong dari atas sekuat tenaga.

Di lain pihak, Linghu Chong kembali bimbang karena teringat gambar di dalam gua. “Jurus ini masih bisa dikalahkan... Jurus ini masih bisa dikalahkan….”

Akibatnya, tenaganya pun melemah sehingga tangkisan Ning Zhongze membuat pedangnya terlepas dari genggaman dan melayang di udara.

“Aaaah!” seru Linghu Chong karena tangannya kesakitan.

Tidak berhenti sampai di sini, Ning Zhongze pun mengacungkan pedangnya lurus ke depan, yang tidak lain adalah Jurus Tunggal Pedang Ning Tanpa Tanding. Namun kali ini, jurus tersebut jauh lebih hebat daripada dulu, karena sudah lebih terarah dan terlatih.

Sejak menciptakan jurus pedang andalan tersebut, Ning Zhongze selalu memikirkan cara bagaimana membuat jurus ini lebih cepat dan lebih dahsyat sehingga lawan yang menghadapi tidak mempunyai kesempatan untuk emnghindar atau menangkis. Diam-diam ia sangat tersinggung karena Linghu Chong telah memainkan jurus kebanggaannya dengan sangat buruk, yaitu pada awalnya mirip namun pada akhirnya melenceng dan tak bertenaga. Seolah-olah Linghu Chong hendak menggambar harimau namun yang terbentuk hanya seekor kucing. Ning Zhongze menganggap Linghu Chong sebagai murid yang tidak berguna karena telah memainkan jurus pedang dahsyat yang menjadi kebanggaannya dengan cara yang buruk dan tidak teratur. Maka, ia pun mengambil alih penggunaan jurus tersebut untuk menyerang Linghu Chong.

Meskipun Nyonya Yue tidak bersungguh-sungguh hendak melukai muridnya, namun Jurus Tunggal Pedang Ning Tanpa Tanding sangat dahsyat dan berbahaya. Meskipun ujung pedang belum mengenai sasaran, namun tenaga dalam yang menyertai tusukan membuat pihak lawan merasa diselubungi kekuatan yang membuatnya sulit bergerak.

Yue Buqun merasa ngeri membayangkan Linghu Chong tidak mungkin mampu untuk menangkis ataupun menghindar, apalagi menyerang balik. Dulu sewaktu pertama kali menciptakan jurus itu, Ning Zhongze hanya menusuk baju Linghu Chong, kemudian menghentakkan tenaga dalam sehingga pedang di tangannya hancur berkeping-keping. Namun kali ini sungguh berbeda. Ning Zhongze sudah terbawa emosi sehingga tenaga dalamnya pun tercurah sedemikian besar dan tersalurkan ke ujung pedang. Dalam keadaan seperti ini wanita itu sama sekali tidak punya kesempatan untuk menarik serangannya kembali.

“Celaka!” seru Yue Buqun sambil kemudian mencabut pedang yang tergantung di pinggang Yue Lingshan dan kakinya melangkah maju. Ia berjaga-jaga kalau sampai sang istri kehilangan kendali dan membahayakan nyawa Linghu Chong, maka ia pun segera melompat maju untuk menangkis serangan tersebut.

Antara Yue Buqun dan Ning Zhongze adalah saudara seperguruan sebelum mereka menikah, sehingga saling mengenal kehebatan masing-masing. Meskipun tenaga dalam Yue Buqun lebih tinggi, namun dalam keadaan ini Ning Zhongze sudah lebih dulu menerjang sambil mengerahkan segenap kemampuan sehingga Yue Buqun tidak yakin apakah tangkisannya nanti bisa berhasil atau tidak. Dalam hati ia hanya bisa berharap semoga Linghu Chong tidak terluka cukup parah.

Sementara itu Linghu Chong juga berusaha membela diri. Tanpa sadar tangannya meraih sarung pedang yang tergantung di pinggang. Dengan cepat ia kemudian berjongkok sambil mengacungkan sarung pedang tersebut ke arah Nyonya Yue dengan lubang mengarah ke depan lurus searah tusukan pedang. Sesungguhnya gerakan ini mengacu pada gambar di dalam gua belakang tentang cara mematahkan jurus tusukan pedang Perguruan Huashan menggunakan toya. Jika ujung toya bertemu dengan ujung pedang membentuk sebuah garis lurus, maka pedang yang bentuknya pipih akan patah dan toya akan terus mengarah ke depan sehingga melukai si pembawa pedang.

Pertarungan melawan sang ibu-guru membuat pikiran Linghu Chong kacau balau. Berbagai bayangan gambar di gua belakang terlintas silih berganti di dalam benaknya. Apalagi sewaktu pedangnya terlempar ke udara dan melihat Ning Zhongze mengerahkan jurus andalan, Linghu Chong tidak mempunyai pilihan lain kecuali meniru gambar yang terlukis di gua. Kejadiannya begitu tiba-tiba membuat Linghu Chong tanpa sadar dan tanpa berpikir langsung menghadapinya dengan jurus penangkal demi menyelamatkan nyawa sendiri. Serangan pedang yang kuat dan sangat cepat harus dihadapi dengan tangkisan toya yang cepat pula. Tidak ada lagi waktu untuk berpikir darimana mendapatkan toya di saat-saat genting seperti itu. Karena tanpa sengaja tangannya menyentuh sarung pedang yang tergantung di pinggang, maka pemuda itu langsung mengacungkan benda tersebut sebagai pengganti toya. Bahkan, andai saja waktu itu yang terpegang adalah batu bata, tentu batu bata pun akan diacungkan pula untuk menahan tusukan pedang Ning Zhongze.

Namun dalam keadaan gugup dan terdesak, Linghu Chong tanpa sadar memutar sarung pedang di tangannya sehingga bagian mulut menghadap ke depan. Akibatnya, ketika kedua senjata bertemu tidak terjadi benturan yang mengakibatkan patahnya pedang seperti gambar di dinding gua, melainkan ujung pedang Ning Zhongze langsung masuk ke dalam sarung pedang di tangan Linghu Chong.

Dalam keterkejutan, Nyonya Yue hanya merasakan tangannya tergetar kesakitan. Pedang pun terlepas dari pegangan setelah masuk secara sempurna ke dalam sarung pedang di tangan Linghu Chong. Tanpa bisa dicegah, sarung pedang tersebut terus saja disodorkan sehingga gagang pedang mengarah ke tenggorokan Ning Zhongze.

Heran bercampur terkejut perasaan Yue Buqun melihat keadaan telah berbalik di mana jiwa istrinya yang kini terancam bahaya. Ia pun mengayunkan pedang sekuat tenaga disertai ilmu Kabut Lembayung Senja untuk menangkis gagang pedang yang disodorkan Linghu Chong. Perasaan hangat menggelora pun merasuki badan Linghu Chong namun kemudian menyesakkan dada. Pemuda itu mundur tiga langkah sampai akhirnya terhuyung-huyung kehilangan keseimbangan dan jatuh terduduk. Sarung pedang di tangannya telah terlepas dan hancur berkeping-keping sekaligus dengan pedang Ning Zhongze yang ada di dalamnya akibat berbenturan dengan pedang yang diayunkan Yue Buqun.

Pada saat yang bersamaan pedang Linghu Chong yang tadi terlempar ke udara akibat tangkisan Nyonya Yue jatuh pula ke tanah dan menancap hampir sebatas gagang.

Rangkaian peristiwa ini terjadi begitu cepat, mulai dari terlemparnya pedang Linghu Chong, serangan balasan Ning Zhongze menggunakan Jurus Tunggal Pedang Ning Tanpa Tanding yang disambut sarung pedang Linghu Chong, sampai tampilnya Yue Buqun menyelamatkan nyawa sang istri benar-benar terjadi dalam waktu beberapa detik saja. Sudah pasti ini semua membuat Shi Daizi, Lu Dayou, dan Yue Lingshan terkesima begitu menyadarinya.

Yue Buqun menyelamatkan nyawa sang istri.

Yue Buqun kemudian melompat maju dan menampar masing-masing pipi Linghu Chong dengan keras sambil membentak, “Dasar binatang! Apa yang telah kau lakukan?”

Linghu Chong merasa kepalanya pusing dan tubuhnya sempoyongan. Ia kemudian berlutut dan berkata, “Guru dan Ibu Guru, saya pantas dihukum mati.”

Dengan amarah meledak-ledak, Yue Buqun kembali membentak, “Selama setengah tahun ini apa saja yang kau kerjakan? Ilmu silat apa yang kau latih di sini?”

“Murid tidak... murid tidak berlatih ilmu silat baru,” jawab Linghu Chong ketakutan.

“Dari mana kau dapatkan pikiran liar sehingga mampu menciptakan jurus yang nyaris mencelakakan nyawa ibu-gurumu tadi?” bentak Yue Buqun dengan suara nyaring.

“Jurus yang tadi datang begitu saja. Murid… murid tidak pernah merencanakan apalagi melatihnya. Semua itu terjadi tanpa sengaja,” jawab Linghu Chong gugup.

Yue Buqun menghela napas panjang. “Baiklah, aku juga menduga kau mengerahkan jurus tadi tanpa berpikir lebih dulu. Jurus tadi kau peroleh tanpa sengaja karena terdesak,” lanjutnya. “Hanya saja apa yang kau lakukan tadi sudah mulai mengarah ke jalan salah dan jika terlanjur akan sulit bagimu untuk melepaskan diri.”

“Jalan yang salah?” sahut Linghu Chong sambil menyembah. “Mohon Guru sudi memberikan petunjuk.”

Sementara itu perasaan Ning Zhongze sudah mulai tenang. Melihat kedua pipi Linghu Chong yang merah bengkak akibat tamparan suaminya, segera timbul rasa kasihnya. Ia pun berkata lembut, “Sudahlah, lekas kau bangun! Kunci persoalan ini memang kau belum mengetahuinya.”

Wanita itu kemudian berpaling ke arah suaminya, “Kakak, bakat Chong’er sebenarnya sangat bagus. Namun sayang, selama beberapa bulan ini kita membiarkannya berlatih sendiri sehingga ia pun tersesat menuju jalan yang salah. Namun untungnya, dia belum terjerumurs terlalu dalam, sehingga masih bisa kita arahkan untuk kembali ke jalan yang benar.”

Yue Buqun termangu-mangu kemudian berkata pada Linghu Chong, “Bangunlah!”

Linghu Chong lekas merangkak bangun. Menyaksikan pedang dan sarungnya yang hancur menjadi tiga bagian dan berserakan di tanah membuatnya bergidik ngeri. Selain itu ia juga merqasa heran mengapa guru dan ibu-guru menyebutnya telah menempuh jalan yang salah dalam berlatih ilmu silat.

Yue Buqun kemudian memanggil pula ketiga murid yang lain, “Kalian bertiga lekas kemari!”

“Baik, Guru,” jawab Shi Daizi, Lu Dayou, dan Yue Lingshan bersamaan. Mereka segera berlari mendekat dan kemudian berkumpul di hadapan sang guru.

Perlahan Yue Buqun duduk di atas sebongkah batu dan mulai bercerita, “Dua puluh lima tahun yang lalu, ilmu silat perguruan kita telah terbagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok benar dan kelompok salah....”

Para murid terkejut dan sama-sama berpikir, “Ilmu silat Huashan terbagi menjadi dua? Bagaimana bisa ada kelompok benar dan kelompok salah? Mengapa selama ini kami belum pernah mendengarnya?”

Yue Lingshan yang tidak sabaran menukas, “Ayah, apakah ilmu silat yang kita pelajari selama ini termasuk kelompok yang benar?”

“Sudah tentu. Lagipula untuk apa kita mempelajari ilmu yang salah?” sahut Yue Buqun balik bertanya. “Sebaliknya, kelompok mereka juga mengaku ilmu mereka adalah ilmu yang benar, dan kelompok kita dikatakan salah. Namun akhirnya kelompok mereka bubar begitu saja. Selama beberapa tahun ini keberadaan mereka sudah tidak lagi terdengar di dunia persilatan.”

“Pantas saja aku tidak pernah mendengar berita ini,” kata Yue Lingshan. “Tapi Ayah, kalau kelompok salah itu sudah musnah, maka tidak perlu kita khawatirkan lagi, bukan?”

“Kau ini tahu apa?” gerutu Yue Buqun. “Mereka tetap saja saudara kita. Hanya saja mereka itu melakukan kesalahan dalam mempelajari ilmu. Coba katakan, bagian mana yang lebih dulu kuajarkan kepada kalian?” Sambil bertanya demikian ia memandang ke arah Linghu Chong.

Dengan cepat Linghu Chong menjawab, “Guru lebih dulu mengajarkan rumus dan cara mengatur napas. Yang kita pelajari adalah ilmu tenaga dalam sebelum belajar jurus pedang.”

“Benar sekali,” sahut Yue Buqun. “Inti ilmu silat Huashan terletak pada latihan tenaga dalam. Bila tenaga dalam sudah dikuasai, maka jurus-jurus silat pun mudah dipelajari. Tidak peduli senjata apapun yang kita pergunakan, baik itu pedang, tombak, ataupun pukulan dan tendangan, semuanya akan menjadi serangan yang ampuh. Sebaliknya, kelompok mereka lebih menekankan pada teknik penguasaan jurus pedang. Meskipun tenaga dalam rendah, tapi kalau jurus pedang sudah dikuasai maka sudah bisa digunakan untuk mengalahkan musuh. Perbedaan inilah yang menyebabkan perguruan kita terpecah menjadi dua kelompok.”

“Ayah,” sela Yue Lingshan kembali. “Apakah Ayah berjanji tidak akan marah jika aku punya pendapat yang berbeda?”

“Pendapat bagaimana?” tanya Yue Buqun.

“Meskipun tenaga dalam sangat penting, jurus pedang juga tidak boleh diabaikan, bukan? Meskipun memiliki tenaga dalam yang hebat tapi kalau tidak bisa menguasai pedang tetap saja tidak bisa menunjukkan kehebatan perguruan kita,” lanjut Yue Lingshan.

“Huh, kau ini tahu apa?” ujar Yue Buqun. “Siapa bilang jurus pedang lebih penting? Yang lebih penting tentu saja yang mengendalikan pedang, dalam hal ini tentu saja tenaga yang mengendalikan pedang.”

“Apa tidak sebaiknya tenaga dalam dan jurus pedang dilatih beriringan sehingga keduanya sama-sama sempurna?” sahut Yue Lingshan kembali bertanya.

Yue Buqun menjawab, “Ucapanmu barusan bisa membuatmu terjerumus ke jalan salah. Saat kau berkata kedua-duanya sama-sama penting, sama artinya kau mengatakan bahwa kedua-duanya saling mengendalikan. Waktu itu keadaan begitu tidak menentu. Ucapanmu tadi terkesan menentang kelompok tenaga dalam, tapi juga merendahkan kelompok pedang. Kalau saja ucapanmu itu disampaikan tiga puluh tahun silam, bisa-bisa kau akan kehilangan kepalamu dalam beberapa jam saja.

“Hah? Hanya karena bicara seperti itu kepala langsung dipenggal? Wah, mereka sungguh keterlaluan,” ujar Yue Lingshan sambil menjulurkan lidah.

Yue Buqun menjawab, “Saat itu aku masih remaja. Perselisihan antara Kelompok Tenaga Dalam dan Kelompok Pedang tidak memperoleh titik temu. Jika ucapanmu disampaikan saat perselisihan itu terjadi, maka Kelompok Pedang akan membunuhmu, sedangkan Kelompok Tenaga Dalam juga tidak akan membiarkanmu hidup. Kau mengatakan bahwa tenaga dalam dan jurus pedang bisa dipelajari bersama-sama dan keduanya sama-sama penting. Kelompok Tenaga Dalam akan menganggapmu telah menyejajarkan Kelompok Pedang sederajat dengan mereka; sebaliknya, Kelompok Pedang menuduhmu mencampur aduk dua hal yang tidak bisa disejajarkan. Begitulah, kedua kelompok sama-sama merasa unggul dan tidak sudi untuk disejajarkan.”

Yue Lingshan kembali berkata, “Untuk apa mereka berselisih panjang lebar? Kenapa mereka tidak bertanding saja biar semuanya menjadi jelas.”

Yue Buqun menghela napas dan melanjutkan ceritanya, “Tiga puluh tahun silam Kelompok Tenaga Dalam kita jumlahnya lebih sedikit. Sebaliknya, jumlah pengikut Kelompok Pedang lebih banyak. Apalagi mempelajari jurus pedang cenderung lebih cepat dan lebih mudah daripada mempelajari tenaga dalam. Jika sama-sama berlatih dalam sepuluh tahun, tentu Kelompok Pedang lebih unggul. Kalau berlatih hingga dua puluh tahun, kedua kelompok sama-sama punya peluang untuk menjadi pemenang. Akan tetapi kalau berlatih selama tiga puluh tahun, tentu Kelompok Tenaga Dalam yang lebih unggul. Namun ini berarti paling tidak membutuhkan waktu dua puluh tahun untuk bersaing dan membuktikan mana yang lebih unggul. Kau bisa membayangkan betapa dahsyat pertarungan yang terjadi apabila dua kelompok yang sama-sama berlatih selama dua puluh tahun.”

“Jika demikian, apakah Kelompok Pedang akhirnya mengaku kalah?” sahut Yue Lingshan.

Yue Buqun menggeleng perlahan. Sejenak kemudian ia kembali bercerita, “Mereka tetap keras kepala bahwa jalan yang mereka tempuh adalah benar, dan mereka tidak mau mengakui kekalahan. Dalam pertandingan yang digelar di Puncak Gadis Kumala ini, mereka menderita kekalahan habis-habisan. Namun sebagian besar dari mereka… sebagian besar dari mereka memilih bunuh diri daripada mengakui kekalahan. Sisanya tinggal beberapa orang memilih mengasingkan diri dalam kesunyian, serta tidak mau menampakkan diri lagi di dunia persilatan.”

Linghu Chong dan yang lain sampai menjerit karena terkejut mendengar cerita itu.

Yue Lingshan kembali bertanya, “Hanya karena kalah bertanding sesama saudara seperguruan kenapa sampai nekad bunuh diri segala?”

“Masalahnya tidak sesederhana itu, karena ini menyangkut prinsip dan pondasi dalam berlatih ilmu silat,” ujar Yue Buqun. “Dalam Serikat Pedang Lima Gunung, perguruan kita memiliki jagoan paling banyak, juga ilmu silat paling hebat. Namun gara-gara pertandingan di Puncak Gadis Kumala ini, lebih dari dua puluh orang sesepuh perguruan kita menjadi korban. Bukan hanya para sesepuh Kelompok Pedang yang mati bunuh diri, bahkan sesepuh Kelompok Tenaga Dalam juga banyak yang gugur. Itulah sebabnya, mengapa jabatan ketua serikat akhirnya bisa direbut oleh Perguruan Songshan. Peristiwa waktu itu sungguh sangat mengerikan dan memprihatinkan.”

Linghu Chong dan yang lain kembali mengangguk dengan perasaan ngeri membayangkan apa yang telah terjadi.

Yue Buqun melanjutkan, “Memang benar perguruan kita tidak bisa menjadi pemimpin Serikat Pedang Lima Gunung. Memang benar nama besar Perguruan Huashan kita merosot tajam. Namun yang lebih mengerikan adalah murid-murid dalam perguruan kita saling bunuh tanpa ampun padahal sebelumnya bagaikan saudara kandung satu sama lain. ‘Jika kau tidak membunuhku, maka aku yang akan membunuhmu.’ Sungguh brutal dan keji. Tiap kali aku mengingat peristiwa itu, aku selalu dicekam kengerian teramat sangat. Bagaimana tidak? Setiap detik setiap waktu kita bisa kehilangan nyawa di tangan saudara sendiri.” Usai berkata demikian ia melirik ke arah sang istri.

Raut wajah Ning Zhongze juga terlihat tegang. Perasaan wanita itu kembali dicekam ketakutan karena teringat peristiwa dahsyat tersebut, di mana para jagoan Perguruan Huashan saling bunuh satu sama lain.

Perlahan-lahan Yue Buqun membuka bajunya. Tampak sebuah bekas luka cukup panjang menghiasi dadanya. Dari bahu kiri memanjang sampai dada sebelah kanan. Meskipun luka itu sudah sembuh namun masih terlihat kemerah-merahan. Sepertinya luka itu sangat dalam dan nyaris merenggut nyawa Yue Buqun kala itu.

Melihat itu Yue Lingshan menjerit ngeri, “Aih, Ayah! Dadamu itu... dadamu itu....”

Meskipun sejak kecil tinggal di Huashan, namun baru kali ini Linghu Chong dan Yue Lingshan mengetahui kalau sang guru memiliki bekas luka parah di dada.

Yue Buqun kembali mengenakan pakaiannya dan berkata, “Waktu itu di Puncak Gadis Kumala ini, seorang paman guru menebas dadaku sehingga aku jatuh pingsan. Mungkin Beliau mengira aku sudah mati sehingga tidak peduli lagi kepadaku. Kalau saja pedangnya menyambar lagi, tentu nyawaku saat itu sudah melayang.”

“Kalau Ayah tiada, tentu aku sendiri tidak akan lahir di dunia ini,” sahut Yue Lingshan tertawa.

Yue Buqun tersenyum. Tapi sekejap kemudian ia kembali berkata dengan galak, “Ceritaku tadi benar-benar sebuah rahasia besar dalam perguruan kita. Jangan sampai kalian mebocorkan berita ini keluar! Orang-orang dari perguruan lainnya hanya mengetahui kalau dalam waktu sehari saja perguruan kita sudah kehilangan lebih dari dua puluh orang jagoan. Namun, tidak ada seorang pun yang mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Yang kita sampaikan ke luar hanyalah berita bohong, bahwa telah terjadi wabah penyakit yang nyaris menghancurkan Perguruan Huashan. Jangan sampai cerita memalukan ini tersebar ke pihak luar. Kali ini aku terpaksa bercerita karena masalah ini sungguh sangat penting. Apabila Chong’er meneruskan langkah yang diambilnya, tentu tidak sampai tiga tahun ia akan lebih mengutamakan jurus pedang daripada tenaga dalam. Hal ini tentu sangat berbahaya bagi dirimu sendiri, bahkan, pengorbanan para sesepuh kita juga akan sia-sia. Tidak hanya itu, Perguruan Huashan juga akan mengalami kehancuran.”

Linghu Chong mengucurkan keringat dingin. Ia pun berkata sambil membungkuk serendah-rendahnya, “Murid telah melakukan kesalahan besar. Mohon Guru dan Ibu Guru menghukum seberat-beratnya.”

Yue Buqun menghela napas dan berkata, “Apa yang telah kau lakukan sesungguhnya di luar kesengajaan, sehingga tidak sepantasnya aku menyalahkanmu. Namun, coba bayangkan apa saja yang telah dilakukan para sesepuh di Kelompok Pedang? Mereka yang seharusnya bertanggung jawab atas kejayaan Perguruan Huashan, namun terlanjur menempuh jalan yang salah sehingga tidak mampu keluar dari kesesatan itu. Apabila aku tidak menamparmu dan memberikan nasihat kepadamu, tentu kau akan terjerumus pula ke dalam kesesatan Kelompok Pedang. Apalagi dengan kepandaianmu yang berada di atas rata-rata murid-muridku, maka kau akan jatuh ke dalam jalan yang salah lebih cepat dari yang kau duga.”

“Baik, Guru!” jawab Linghu Chong.

Yue Buqun menceritakan pertempuran dua kelompok di puncak Huashan.

(Bersambung)