Bagian 51 - Si Licin Susah Dipegang

Nyonya Zhang dan You Xun.

Lembah sungai tempat kapal rombongan Huashan berlabuh itu ternyata sangat terpencil dan sunyi. Rumput alang-alang tumbuh dengan suburnya. Namun di kejauhan sebelah timur terlihat ada deretan rumah, seperti sebuah kota kecil.

Yue Buqun berkata, “Agaknya di dalam kapal masih terdapat sisa-sisa racun. Terpaksa kita tidak bisa menumpang kapal itu lagi. Mari kita menuju ke sana dan coba lihat apa yang bisa kita temukan.”

Dewa Dahan Persik segera menggendong Linghu Chong, sementara Dewa Ranting Persik menggendong Dewa Buah Persik untuk kemudian berjalan di depan rombongan tersebut. Sesampainya di kota kecil itu, Dewa Dahan Persik dan Dewa Akar Persik mendahului masuk ke dalam sebuah rumah makan. Mereka lantas berteriak-teriak, “Hai, pelayan! Sediakan arak, buatkan lauk, ambilkan nasi!”

Linghu Chong yang sudah diletakkan di atas kursi sempat melihat di dalam rumah makan tersebut tampak duduk seorang pendeta Tao bertubuh kecil. Ia sangat terkejut karena pendeta itu tidak lain adalah Yu Canghai, Ketua Perguruan Qingcheng.

Sepertinya Yu Canghai sedang dalam keadaan terkepung. Ia terlihat duduk di sisi sebuah meja kecil, yang di atasnya tersedia sepoci arak, sepasang sumpit, dan tiga piring makanan ringan. Selain itu terdapat pula sebilah pedang mengkilap yang sudah dikeluarkan dari sarungnya di atas meja tersebut. Di sekeliling meja terdapat tujuh buah bangku panjang, yang masing-masing diduduki oleh satu orang.

Tujuh orang itu ada yang laki-laki, ada yang perempuan. Rata-rata mereka berwajah bengis dan jahat. Di tiap bangku juga terdapat senjata masing-masing orang. Mereka bertujuh sama sekali tak bersuara. Semuanya menatap tajam kepada Yu Canghai. Sebaliknya, Ketua Perguruan Qingcheng itu tenang-tenang saja. Tangan kirinya tampak memegang cawan arak yang kemudian diteguk isinya. Sedikit pun lengan bajunya tidak bergetar.

Menyaksikan itu, Dewa Akar Persik berkata, “Pendeta kerdil itu sebenarnya ketakutan setengah mati. Dia hanya berlagak tidak gentar.”

“Sudah tentu dia takut. Satu dikeroyok tujuh, pasti dia akan kalah,” kata Dewa Ranting Persik.

“Benar. Jika dia tidak takut, kenapa tangan kiri yang dipakai memegang cawan arak, bukan tangan kanan? Tentunya tangan kanan siap sedia menyambar pedang bila perlu,” sahut Dewa Dahan Persik.

Mendengar itu Yu Canghai mendengus. Cawan arak pun dipindahkannya dari tangan kiri ke tangan kanan.

“Hah, dia mendengar ucapan Kakak Kedua,” kata Dewa Bunga Persik. “Tapi matanya sama sekali tidak berani memandang ke arah Kakak Kedua, itu berarti dia memang takut. Bukannya takut kepada Kakak Kedua, tapi takut sedikit lengah saja akan diserang serentak oleh ketujuh orang musuhnya itu, dan tubuhnya akan terpotong menjadi tujuh.”

“Salah!” seru Dewa Ranting Persik. “Kalau ketujuh orang itu turun tangan, maka si pendeta kerdil akan terpotong menjadi delapan, bukan tujuh.”

Dewa Daun Persik tertawa dan menanggapi, “Pendeta itu sudah kerdil, kalau terpotong menjadi delapan bukannya semakin kerdil?”

Meskipun Linghu Chong bermusuhan dengan Yu Canghai, tapi begitu menyaksikan Ketua Perguruan Qingcheng itu sedang dikepung musuh, ia merasa tidak ingin mengambil kesempatan untuk menuntut balas. Ia hanya berkata, “Keenam Saudara Persik, pendeta itu adalah Ketua Perguruan Qingcheng.”

“Kalau dia Ketua Perguruan Qingcheng, memangnya kenapa? Apakah dia temanmu?” tanya Dewa Akar Persik.

“Mana berani aku mengikat persahabatan dengan tokoh terkemuka seperti dia? Dia bukan temanku,” kata Linghu Chong.

“Jika dia bukan temanmu, maka kita dapat menyaksikan tontonan yang menarik,” ujar Dewa Dahan Persik.

“Benar!” seru Dewa Bunga Persik sambil bertepuk tangan. “Pelayan, mana makanan dan araknya? Aku akan minum sambil menyaksikan orang-orang itu mencacah pendeta kerdil ini menjadi sembilan potong.”

Dewa Daun Persik bertanya, “Mengapa sembilan?”

Dewa Bunga Persik menjawab, “Musuhnya memang ada tujuh. Namun coba kau lihat biksu peminta sedekah itu membawa sepasang golok kepala harimau? Sudah pasti dia nanti yang akan membuat satu potong lagi.”

“Belum tentu!” sergah Dewa Akar Persik. “Beberapa orang ini ada yang bersenjata gada bergerigi, ada pula yang bersenjata tongkat emas. Mana bisa senjata macam itu untuk memotong?”

“Sudahlah, kalian jangan bicara lagi. Kita tidak membantu pihak mana pun, tapi juga jangan mengganggu perhatian Pendeta Yu yang sedang menghadapi lawan-lawannya,” tukas Linghu Chong.

Maka Enam Dewa Lembah Persik pun tidak bersuara lagi, hanya menyeringai sambil memandangi Yu Canghai.

Linghu Chong mengamati ketujuh pengepung itu satu per satu. Biksu peminta sedekah memiliki rambut panjang sampai bahu, dengan ikat kepala dari bahan tembaga yang memancarkan sinar berkilauan. Di sisinya tertaruh sepasang golok melengkung berbentuk bulan sabit. Di sebelah biksu berambut itu duduk seorang wanita berusia lima puluhan, dengan rambut sudah beruban, berwajah suram, serta memiliki senjata berupa sebilah golok pendek.

Di sebelahnya lagi berturut-turut adalah seorang biksu dan seorang pendeta Tao. Si biksu memakai jubah berwarna merah darah. Di sampingnya tertaruh sebuah simbal dan sebuah mangkuk derma, yang keduanya terbuat dari baja murni. Tepian simbal itu tampak sangat tajam. Sementara itu perawakan si pendeta Tao di sampingnya tinggi besar. Senjata yang terletak di atas bangkunya adalah sebuah gada dihiasi gigi serigala yang terlihat sangat berat.

Di sebelah si pendeta Tao tampak seorang pengemis setengah umur duduk dengan kaki berselonjor. Bajunya kotor compang-camping. Di atas bahunya melingkar dua ekor ular hijau yang melilit di seputar lehernya. Kepala ular-ular itu berbentuk segitiga dengan lidah yang menjulur-julur tanpa henti, terlihat sangat ganas.

Dua orang terakhir adalah laki-laki dan perempuan. Yang lelaki buta mata sebelah kirinya, sedangkan yang perempuan buta mata sebelah kanan. Di sisi kedua orang itu tersandar dua batang tongkat penyangga yang berwarna kuning emas berkilauan. Jika kedua tongkat itu terbuat dari emas murni tentu bobotnya luar biasa. Usia mereka agaknya baru empat puluhan dengan penampilan kumal seperti para pengembara dunia persilatan pada umumnya. Namun, tongkat yang mereka bawa terbuat dari logam mulia yang berharga mahal sehingga agak sulit diterima akal sehat.

Si biksu berambut panjang menatap tajam ke arah Yu Canghai. Perlahan kedua tangannya menggenggam gagang sepasang golok bulan sabit sambil tetap memandang bengis. Si pengemis juga memindahkan kedua ular di lehernya untuk kemudian digenggam di tangan, dengan kepala mengarah kepada Yu Canghai. Si biksu berjubah juga meraih simbal bajanya, sedangkan si pendeta Tao mempersiapkan gada gigi serigala di tangan. Si nyonya setengah baya juga terlihat mengangkat golok pendeknya. Sepertinya ketujuh orang tersebut bersiap menyerang Yu Canghai bersama-sama. 

Namun Yu Canghai menanggapi dengan tertawa, “Hahahaha. Mengandalkan jumlah banyak untuk main keroyok memang kebiasaan lama kaum sesat seperti kalian. Silakan saja, Yu Canghai kenapa harus gentar?”

Si lelaki mata satu berkata, “Orang bermarga Yu, kami tidak bermaksud membunuhmu.”

“Benar,” sambung si wanita mata satu. “Asalkan kau sudi menyerahkan Kitab Pedang Penakluk Iblis secara baik-baik, maka kami akan membiarkanmu pergi secara baik-baik pula.”

Yue Buqun, Linghu Chong, Lin Pingzhi, dan Yue Lingshan sangat terkejut begitu mendengar “Kitab Pedang Penakluk Iblis” tiba-tiba disebut. Sama sekali mereka tidak menduga bahwa ketujuh orang itu mengepung Yu Canghai adalah untuk merebut Kitab Pedang Penakluk Iblis dari Ketua Perguruan Qingcheng tersebut. Keempat oraang Huashan itu saling berpandangan dan bertanya-tanya dalam hati, “Apakah Kitab Pedang Penakluk Iblis benar-benar berada di tangan Yu Canghai?”

Si nyonya setengah baya berkata dengan nada dingin, “Untuk apa buang-buang waktu dengan si kerdil ini? Lekas kita bunuh dia, kemudian geledah mayatnya.”

Si wanita mata satu menanggapi, “Mungkin saja dia menyembunyikan kitab itu di tempat sepi. Kalau kita bunuh dia dan tidak menemukan kitab pusaka itu di balik bajunya, bukankah ini sungguh celaka?”

Si nyonya setengah baya mencibir dan berkata, “Kalau kita tidak menemukan kitab itu pada mayatnya, ya sudah. Mengapa celaka segala?” Suaranya terdengar mendesis tidak jelas. Ketika membuka mulut ternyata wanita beruban itu sudah kehilangan setengah jumlah giginya.

Si wanita mata satu lantas berkata kepada Yu Canghai, “Orang bermarga Yu, aku sarankan kepadamu supaya kau serahkan saja kitab itu secara baik-baik. Kitab itu bukan milikmu tapi sudah kau kangkangi berhari-hari. Isinya tentu sudah kau hafalkan luar kepala. Buat apa kau menyembunyikannya mati-matian? Untuk apa?”

Yu Canghai diam tak bersuara. Menyadari ketujuh lawannya bukan orang sembarangan, diam-diam ia pun menghimpun tenaga yang berpusat pada titik Dantian di bawah pusar.

Pada saat itulah tiba-tiba di luar sana terdengar suara gelak tawa seseorang. Orang itu kemudian masuk dengan wajah berseri-seri. Ia memakai jubah sutra dengan kepala setengah botak dan dahi licin berkilauan. Tubuhnya terlihat gemuk dan dagunya dihiasi janggut berwarna hitam. Wajahnya berhias senyum yang terlihat sangat ramah. Tangan kanan orang gemuk itu menggenggam botol zamrud, sedangkan tangan kiri membawa kipas lipat. Penampilannya yang mewah dan rapi mirip seorang saudagar kaya raya.

Begitu melangkah masuk ke dalam rumah makan ia langsung terkejut melihat pemandangan yang ada. Senyumnya terlihat berkurang, namun sekejap kemudian mulutnya kembali bergelak tawa. Sambil memberi hormat pria gemuk itu berseru, “Aha, selamat bertemu, selamat bertemu! Sungguh tidak kusangka para kesatria gagah di dunia ini ternyata sedang berkumpul di sini. Aku benar-benar beruntung dapat berjumpa dengan kalian.”

Kemudian ia memberi salam kepada Yu Canghai dan berkata, “Wah, angin apa yang membawa Pendeta Yu, Ketua Perguruan Qingcheng sampai datang ke Henan sini? Aku sudah lama mendengar kehebatan ilmu Pedang Cemara Angin yang tiada tandingannya di dunia persilatan. Sepertinya hari ini mata kita akan terbuka dan bertambah pengalaman.”

Yu Canghai sendiri sedang menghimpun tenaga dalam sehingga tidak ambil peduli terhadap apa yang diucapkannya.

Kemudian orang gemuk itu menyapa laki-laki dan wanita mata satu dengan tersenyum, “Eh, sudah lama aku tidak berjumpa dengan Sepasang Orang Aneh Tongbai. Sepertinya kalian bertambah makmur saja.”

Si lelaki mata satu menjawab dengan tersenyum pula, “Rezeki kami mana bisa lebih besar daripada rezeki Saudagar You?”

Si gemuk yang bermarga You itu tertawa beberapa kali kemudian berkata, “Aku ini hanya kelihatannya saja begitu, tapi sebenarnya uang masuk di tangan kiri masuk, keluar di tangan kanan. Cukup dari julukanku saja sudah bisa diketahui kalau hanya tampaknya saja diriku ini hebat, tapi di dalamnya sebenarnya kosong melompong.”

Dewa Ranting Persik yang sejak tadi menonton tidak bisa menahan diri untuk bertanya, “Apa julukanmu?”

Orang gemuk bermarga You itu langsung menoleh ke arah suara. Ia melihat enam orang berpenampilan aneh namun tidak tahu menahu dari mana mereka berasal. Sambil tersenyum ia pun menjawab, “Namaku You Xun. Julukanku tidak enak didengar, yaitu ‘Si Licin Susah Dipegang’. Orang-orang mengatakan diriku ini suka berteman. Demi teman, sedikit pun aku tidak sayang mengeluarkan uang. Sama sekali tidak pelit. Meski aku pandai mencari uang, tapi uang itu selamanya susah dipegang dan selalu lolos dengan licin meninggalkan tangan.”

“Tuan You ini memiliki julukan lain,” kata si lelaki mata satu.

“Benarkah? Mengapa aku tidak tahu?” tanya You Xun dengan bibir tetap tersenyum.

“Si Belut Direndam Minyak, licin dan susah dipegang,” sahut yang lain dengan nada dingin. Suaranya terdengar tidak jelas, ternyata berasal dari si wanita setengah baya bergigi ompong.

“Luar biasa!” seru Dewa Bunga Persik. “Belut sendiri sudah licin, kalau direndam minyak tentu bertambah licin. Siapa yang bisa menangkapnya?”

“Ah, itu hanya pujian kawan-kawan persilatan karena ilmu ringan tubuhku yang katanya lincah seperti belut. Sebenarnya aku sangat malu karena ilmu silatku sebenarnya sangat rendah dan tidak pantas dibicarakan,” kata You Xun sambil tersenyum. Ia kemudian menyapa wanita setengah baya berambut putih, “Nyonya Zhang, semakin hari kau semakin lincah saja.”

Wanita setengah baya yang dipanggil Nyonya Zhang itu memutar mata hingga bagian putihnya terlihat sambil berkata lantang, “Ilmu silatmu yang paling hebat adalah bersilat lidah. Sana, pergilah jauh-jauh!”

Orang bernama You Xun itu ternyata sangat sabar. Sedikit pun ia tidak marah. Ia lantas menyapa si pengemis berkalung ular, “Aha, Saudara Yan, Si Pengemis Sakti Sepasang Naga, kedua naga hijau piaraanmu itu tampaknya makin lama makin gesit dan lincah.”

Pengemis itu bernama Yan Sanxing. Ia sebenarnya berjuluk “Si Pengemis Jahat Sepasang Ular” namun oleh You Xun diubah menjadi “Si Pengemis Sakti Sepasang Naga”. Meskipun berwatak keji, namun Yan Sanxing tidak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum mendengar sapaan bernada memuji tersebut.

You Xun juga mengenali Chou Songnian si biksu berambut, Xibao si biksu berjubah, dan Yuling si pendeta Tao, serta memuji-muji mereka sehingga ketiganya tersenyum senang. Begitulah, You Xun terus menerus tertawa dan bercanda sehingga dalam sekejap bisa mengubah suasana yang tadinya tegang menjadi damai.

Tiba-tiba terdengar Dewa Daun Persik berseru, “Hei, Belut Direndam Minyak, kenapa kau tidak memuji kepandaian kami, enam bersaudara yang hebat ini?”

“Oh, tentu saja … tentu saja akan aku puji ….” sahut You Xun dengan tertawa. Tak disangka belum habis ia berkata, tahu-tahu kedua kaki dan kedua tangannya sudah dipegang oleh Dewa Akar Persik, Dewa Dahan Persik, Dewa Ranting Persik, dan Dewa Daun Persik, untuk kemudian diangkat ke atas.

You Xun terkejut namun dengan cepat menguasai diri. Ia pun memuji, “Hebat sekali, sungguh kepandaian yang hebat! Ilmu silat hebat seperti ini sungguh jarang ada dari dulu sampai sekarang!”

Mendengar pujian itu keempat Dewa Lembah Persik tidak menarik tubuh You Xun ke empat penjuru. Dewa Akar Persik dan Dewa Ranting Persik pun serentak bertanya, “Mengapa kau sebut ilmu silat kami hebat sepanjang masa?”

You Xun menjawab, “Aku dijuluki ‘Si Licin Susah Dipegang’. Selama ini tidak ada orang yang mampu memegang diriku. Tapi dalam sekali bergerak kalian berempat sudah dapat menangkap aku. Sedikit pun kalian tidak merasa licin, juga pegangan kalian tidak terlepas sama sekali. Jelas kepandaian kalian memang jarang ada sepanjang masa. Untuk selanjutnya, ke mana pun aku pergi tentu aku akan menyiarkan nama besar kalian berenam agar segenap kaum persilatan mengenal bahwa di dunia ini ada tokoh-tokoh sakti seperti kalian.”

Dewa Akar Persik dan adik-adiknya sangat senang mendengar sanjungan tersebut. Mereka pun segera melepaskan You Xun.

Nyonya Zhang berkata dengan sinis, “Si Licin Susah Dipegang benar-benar bukan julukan kosong. Lihat saja, bagaimana kau baru saja meloloskan diri.”

“Ah, kepandaian keenam pendekar ini memang benar-benar hebat. Aku sungguh kagum dan menaruh hormat,” kata You Xun. “Hanya sayang, wawasanku terlalu payah. Mohon maaf, aku belum kenal siapa julukan keenam pendekar yang mulia ini?”

“Kami enam bersaudara bergelar Enam Dewa Lembah Persik. Aku sendiri bernama Dewa Akar Persik, yang ini adikku Dewa Dahan Persik, yang itu Dewa Ranting Persik ….” begitulah Dewa Akar Persik memperkenalkan adik-adiknya satu per satu.

“Bagus, benar-benar bagus!” seru You Xun sambil bertepuk tangan. “Pantas saja aku tidak mengenal kalian. Julukan ‘dewa’ memang cocok untuk orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi, namun hidup suci jauh dari pergaulan duniawi seperti kalian.”

Kontan saja keenam bersaudara itu bertambah senang. Mereka pun berseru bersama-sama, “Pikiranmu memang tajam, pandanganmu memang tepat. Kau benar-benar seorang yang sangat hebat!”

Nyonya Zhang kembali melotot ke arah Yu Canghai sambil membentak, “Orang bermarga Yu, Kitab Pedang Penakluk Iblis jadi kau serahkan atau tidak?”

Sedikit pun Yu Canghai tidak ambil peduli dan tetap berkonsentrasi menghimpun tenaga.

“Aih, aih, apa yang sedang kalian ributkan?” tukas You Xun. “Setahuku Kitab Pedang Penakluk Iblis tidak berada di tangan Pendeta Yu.”

“Lalu, apa kau tahu kitab itu ada di tangan siapa?” tanya Nyonya Zhang.

“Orang itu punya nama besar. Kalau kusebutkan mungkin kau akan ketakutan,” sahut You Xun.

“Lekas katakan,” bentak Chou Songnian, si biksu berambut panjang. “Tapi kalau tidak tahu sebaiknya lekas kau enyah dari sini dan jangan ganggu kami!”

“Wah, biksu hebat ini pasti terlalu banyak makan daging babi atau kambing bakar sehingga mudah sekali panas,” kata You Xun sambil tertawa. “Ilmu silatku memang tidak seberapa. Tapi mengenai berita, kalian boleh tanya apa saja kepadaku. Setiap kabar hangat dan berita rahasia di dunia persilatan rasanya tidak ada yang lolos dari mata dan telingaku.”

Nyonya Zhang dan keenam lainnya sudah hafal sepak terjang You Xun yang memang kaya berita. Pria gemuk berpakaian saudagar itu selalu ingin tahu dan suka mencampuri urusan orang lain. Hampir semua peristiwa di dunia persilatan dapat diketahuinya.

“Jangan main tebak-tebakan! Lekas katakan saja!” kata wanita bermata satu.

“Sebenarnya Kitab Pedang Penakluk Iblis ada di tangan siapa?” tanya Nyonya Zhang.

You Xun tersenyum menyeringai kemudian menjawab, “Bukankah kalian sudah kenal julukanku ‘Si Licin Susah Dipegang’? Uang masuk ke tangan kiri, keluar di tangan kanan. Sungguh sial, beberapa hari terakhir ini aku benar-benar jatuh miskin, pasaran sepi, dagangan macet. Kalian semua orang kaya. Sehelai rambut kalian saja sudah lebih tebal daripada kakiku. Namun aku berhasil memperoleh berita yang sangat berharga ini, meskipun dengan susah payah. Pepatah mengatakan, ‘Pedang diberikan kepada pahlawan, bedak-gincu diberikan untuk si cantik.’ Maka, berita baik ini akan kupersembahkan kepada pihak yang berkepentingan pula. Kali ini aku tidak main tebak-tebakan, tapi sedang menjual berita. Tidak mahal, cukup dengan harga yang pantas saja.”

“Baik, kalau itu keinginanmu. Kau tunggu saja di sini. Nanti setelah kami bunuh Yu Canghai, maka giliranmu untuk kami paksa mengaku,” kata Nyonya Zhang. Sekejap kemudian ia memberi aba-aba, “Serang!”

Serentak terdengarlah suara benturan senjata yang sangat ramai. Nyonya Zhang dan keenam rekannya telah meninggalkan bangku masing-masing dan melancarkan beberapa jurus serangan terhadap Yu Canghai. Usai menyerang, mereka lantas melompat mundur, namun tetap dalam keadaan mengepung. Tampak darah segar mengucur dari paha Biksu Xibao dan Chou Songnian. Sebaliknya, Yu Canghai sendiri telah memindahkan pedang dari tangan kanan ke tangan kiri. Jubah di bagian bahu kanan terlihat robek-robek, entah terkena senjata siapa.

“Serang lagi!” teriak Nyonya Zhang. Sekali lagi mereka bertujuh menyerang maju. Suara benturan senjata kembali terdengar riuh, kemudian mereka melompat mundur kembali dalam keadaan masih mengepung Yu Canghai.

Kali ini muka Nyonya Zhang tampak terluka memanjang, yaitu dari tengah alis kiri miring ke bawah sampai dagu akibat tergores pedang. Sebaliknya, lengan kiri Yu Canghai telah terkena sabetan golok. Ia terpaksa memindahkan pedang kembali ke tangan kanan, meskipun bahu kanannya masih terluka.

Pendeta Yuling tampak mengacungkan gada gigi serigala di tangannya sambil berkata. “Pendeta Yu, kita ini sama-sama penganut agama Tao. Aku sarankan lebih baik kau mengalah saja.”

Yu Canghai hanya mendengus dan memaki dengan suara rendah. Tangan kanannya hendak mengangkat pedang, tapi baru terangkat sedikit saja sudah terasa lemas.

Nyonya Zhang tidak mau membuang waktu. Tanpa mengusap darah yang mengalir di mukanya, wanita setengah baya itu kembali mengangkat golok pendeknya sambil berteriak, “Serang lagi ….”

“Tunggu dulu!” tiba-tiba terdengar suara seseorang membentak. Orang itu kemudian melompat masuk ke dalam kalangan dan berdiri di samping Yu Canghai. “Kalian bertujuh mengeroyok satu orang, sungguh tidak adil. Bukankah Tuan You tadi sudah mengatakan kalau Kitab Pedang Penakluk Iblis tidak berada di tangan Yu Canghai?” Ternyata orang yang menghentikan pengeroyokan tersebut adalah Lin Pingzhi.

Sejak tadi pandangan mata Lin Pingzhi tidak pernah sedikit pun lepas dari Yu Canghai. Ketika melihat kedua lengan Yu Canghai sudah terluka, ia yakin jika Nyonya Zhang bertujuh kembali menyerang tentu Ketua Perguruan Qingcheng itu akan tercincang habis. Dendamnya kepada Yu Canghai lebih dalam daripada lautan. Ia pernah bersumpah suatu hari kelak ia harus membunuh Yu Canghai dengan tangannya sendiri. Maka, pemuda itu pun maju melerai karena tidak rela Yu Canghai hari ini mati di tangan orang lain.

“Siapa kau? Apa kau ingin mampus bersama dia?” bentak Nyonya Zhang bengis.

Lin Pingzhi menjawab, “Mampus bersama dia jelas bukan keinginanku. Aku hanya merasa urusan ini tidak adil. Maka itu, aku ingin bicara sebagai pihak tengah. Aku sarankan lebih baik kalian jangan bertempur lagi.”

“Kita cincang saja bocah ini sekalian,” seru Chou Songnian.

“Siapa kau, bocah kurang ajar? Besar sekali nyalimu berani mencampuri urusan kami?” bentak Pendeta Yuling.

“Namaku Lin Pingzhi dari Perguruan Huashan ….” jawab si pemuda.

“Kau berasal dari Perguruan Huashan? Lalu, di mana Tuan Muda Linghu?” sahut Sepasang Orang Aneh Tongbai, Pengemis Jahat Sepasang Ular, dan Nyonya Zhang hampir bersamaan.

Linghu Chong memberi hormat dan berkata, “Aku Linghu Chong. Aku hanya anak kampung, mana pantas dipanggil ‘tuan muda’ segala? Apa barangkali kalian kenal seorang sahabatku?”

Di sepanjang jalan, Linghu Chong diperlakukan istimewa oleh orang-orang berilmu tinggi dan tokoh-tokoh berkelakuan aneh. Mereka menaruh hormat kepadanya demi untuk menyenangkan seorang “sahabat” yang entah siapa. Ia merasa kesulitan menebak siapa kiranya sahabatnya yang berkuasa itu, atau kapan pernah bertemu dengan orang itu. Maka, begitu mendengar Nyonya Zhang bertujuh bertanya tentang dirinya dengan sebutan penghormatan, Linghu Chong yakin mereka pasti melakukan itu demi “sang sahabat” yang luar biasa tersebut.

Pendeta Yuling segera menurunkan senjatanya dan membungkuk dengan penuh hormat. Ia berkata, “Begitu mendapat kabar, kami bertujuh segera menuju kemari. Siang dan malam kami berjalan tanpa henti dengan harapan bisa bertemu dengan Tuan Muda Linghu. Sekarang kami bisa bertemu di sini, sungguh sangat membahagiakan.”

Sementara itu Yu Canghai sempat terkejut saat mengetahui bahwa orang yang telah menolongnya adalah Lin Pingzhi. Namun, setelah berpikir sejenak, ia akhirnya memahami maksud dan tujuan pemuda itu terhadapnya. Kini, melihat ketujuh penyerangnya sedang berbicara dengan Linghu Chong, ia pun sadar bahwa ini adalah kesempatan baik untuk meloloskan diri dan menyembuhkan luka di kedua lengan. Karena kedua kakinya baik-baik saja, Yu Canghai pun melompat masuk ke belakang rumah makan, kemudian keluar melalui pintu belakang dan kabur secepat kilat bagaikan terbang.

Melihat itu, Yan Sanxing dan Chou Songnian hanya bisa berteriak kaget namun sudah terlambat untuk melakukan pengejaran.

You Xun, Si Licin Susah Dipegang berjalan mendekati Linghu Chong. Dengan tertawa-tawa ia berkata, “Ketika aku datang dari timur, di sepanjang jalan banyak sekali kawan persilatan menyebut nama Tuan Muda Linghu yang mulia. Sungguh hatiku sangat kagum. Menurut berita yang kuperoleh, ada puluhan ketua sekte, partai, perkumpulan, juga majikan gua dan pulau yang semuanya ingin menemui Tuan Muda Linghu di atas Lembah Lima Raja Kejam. Maka itu, buru-buru aku datang untuk melihat keramaian. Sungguh tidak kusangka bisa berjumpa lebih dulu dengan Tuan Muda Linghu di sini. Tidak apa-apa, jangan khawatir, kali ini obat-obatan mujarab yang dibawa ke Lembah Lima Raja Kejam, paling tidak mencapai seratus macam. Sedikit penyakit Tuan Muda Linghu yang tak berarti ini pasti bisa disembuhkan di sana. Hahaha, bagus sekali, bagus sekali!” Demikian ia berkata sambil menarik-narik tangan Linghu Chong seolah-olah sudah akrab dengan pemuda itu.

Linghu Chong terkejut dan bertanya, “Ketua sekte, partai, perkumpulan, majikan gua dan pulau apa? Seratus macam obat mujarab apa pula? Aku sama sekali tidak paham.”

Kembali You Xun terbahak-bahak dan berkata, “Tuan Muda Linghu tidak perlu khawatir. Meskipun aku memiliki nyali setinggi langit, tetap saja tidak berani menceritakan seluk beluk masalah ini. Hendaknya Tuan Muda Linghu tenang saja, hahaha. Walaupun aku sembarangan bicara dan Tuan Muda Linghu tidak marah kepadaku, tapi bagaimana kalau sampai diketahui orang lain? Memangnya si marga You ini punya berapa kepala? Meskipun aku sepuluh kali lebih lincah dan licin, tetap saja cepat atau lambat kepalaku akan dipenggal orang.”

“Kau bilang tidak berani bicara sembarangan, tapi mengapa terus-menerus mengoceh tentang urusan ini?” sahut Nyonya Zhang. “Apa pun yang akan terjadi di Lembah Lima Raja Kejam, Tuan Muda Linghu akan menyaksikannya sendiri. Jadi, apa gunanya kau banyak cerewet di sini? Coba jawab, Kitab Pedang Penakluk Iblis itu sebenarnya berada di tangan siapa?”

You Xun pura-pura tidak mendengar dan berpaling ke arah Yue Buqun suami-istri. Sambil terssenyum ia menyapa, “Sejak aku melangkah masuk ke rumah makan ini dan melihat kalian berdua, hatiku bertanya-tanya: Siapa gerangan Tuan dan Nyonya yang terlihat begitu anggun dan tenang perilakunya ini? Dari golongan manakah kiranya mereka berdua berasal? Karena kulihat kalian bersama Tuan Muda Linghu, maka aku berani menebak bahwa kalian berdua adalah Ketua Perguruan Huashan yang ternama, ‘Si Pedang Budiman’ Tuan Yue beserta Nyonya.”

Yue Buqun tersenyum menanggapi, “Tuan terlalu menyanjung. Aku tidak berani menerima pujian itu.”

You Xun berkata lagi, “Pepatah mengatakan: Punya mata tapi tak melihat besarnya Gunung Taishan. Hari ini saya punya mata tapi tak melihat keagungan Huashan. Baru-baru ini Tuan Yue telah membutakan mata lima belas musuh tangguh dengan hanya sekali mengayunkan pedang. Berita ini telah menggetarkan dunia persilatan. Saya sangat kagum dan ingin sekali menghaturkan sembah. Sungguh ilmu pedang yang hebat! Sungguh hebat!”

Demikian pria gemuk itu bercerita dengan menggebu-gebu seolah pernah menyaksikan kejadian itu dengan mata kepala sendiri. Yue Buqun hanya mendengus dengan wajah memancarkan perasaan tidak suka.

You Xun melanjutkan, “Dan Nyonya Yue, Pendekar Wanita Ning ….”

“Kau bicara ke sana kemari, kapan berhenti? Cepat katakan, di mana Kitab Pedang Penakluk Iblis berada?” bentak Nyonya Zhang menukas. Meskipun telah disebutkan nama Yue Buqun suami-istri namun wanita setengah baya itu ternyata tidak ambil peduli.

“Berikan seratus tahil perak kepadaku dan segera akan kuberitahukan padamu,” kata You Xun dengan tertawa sambil menjulurkan sebelah tangannya.

“Keparat, dalam kehidupanmu yang sebelumnya pasti kau tidak pernah melihat duit! Selalu minta uang untuk ini, untuk itu,” damprat Nyonya Zhang.

Si lelaki mata satu dari Sepasang Orang Aneh Tongbai mengeluarkan sejumlah uang perak dari balik bajunya dan melemparkannya kepada You Xun, sambil berkata, “Itu seratus tahil perak. Sekarang lekas bicara!”

You Xun menimbang-nimbang uang perak itu, lalu menjawab, “Terima kasih banyak. Sekarang mari kita keluar. Akan kukatakan kepadamu.”

“Untuk apa keluar? Bicara saja di sini agar didengar semua orang,” kata si lelaki mata satu.

“Ya, benar! Kenapa harus sembunyi-sembunyi?” seru orang banyak.

Tapi You Xun menggeleng-geleng dan berkata, “Tidak bisa, tidak bisa. Aku minta seratus tahil perak, artinya setiap orang harus membayar seratus tahil. Berita sepenting ini memangnya bisa dijual obral? Apa kata dunia?”

Si lelaki mata satu melambaikan tangan. Chou Songnian, Nyonya Zhang, Yan Sanxing, Biksu Xibao, dan yang lain segera maju dan mengepung You Xun, sama seperti saat mereka mengepung Yu Canghai tadi.

Nyonya Zhang berkata, “Dia dijuluki ‘Si Licin Susah Dipegang’. Untuk menghadapinya tidak bisa menggunakan tangan kosong. Lekas siapkan senjata!”

Pendeta Yuling mengangkat gada gigi serigalanya dan memutar-mutar senjata itu di udara hingga mengeluarkan bunyi desiran angin. Ia berkata, “Benar! Coba lihat, apakah kepalanya juga licin dan susah dipegang?”

Semua orang memandangi gigi-gigi serigala yang tajam berkilauan dan terpasang pada gada tersebut, kemudian memandang pula ke arah dahi You Xun yang licin dan rambutnya yang hitam berkialauan seperti diminyaki. Mereka pun berpikir, “Kepala si marga You itu sepertinya tidak akan bernasib baik.”

You Xun pun berkata kepada Linghu Chong, “Tuan Muda Linghu, tadi sobat muda dari perguruanmu yang mulia telah menolong Pendeta Yu dari kepungan mereka dengan mengucapkan beberapa kalimat. Sekarang si marga You ini sedang mengalami kesulitan besar, mengapa Tuan Muda Linghu seakan tidak mendengar dan melihatnya?”

Linghu Chong menjawab, “Kalau kau tidak mengatakan di mana Kitab Pedang Penakluk Iblis berada, maka aku akan ikut campur membantu Nyonya Zhang dan kawan-kawan dan terpaksa menyulitkanmu.” Sampai di sini hatinya terasa pilu dan tanpa sadar ia menoleh ke arah Yue Lingshan sambil berpikir, “Bahkan kau pun menuduhku mengambil kitab pedang milik Lin Kecil.”

“Bagus sekali, bagus sekali! Tuan Muda Linghu silakan turun tangan sekalian!” seru Nyonya Zhang bertujuh.

“Aih!” You Xun menghela napas lalu berkata, “Baiklah, akan kukatakan saja. Silakan kalian kembali ke bangku masing-masing. Untuk apa masih mengepungku?”

“Terhadap Si Licin Susah Dipegang, kami terpaksa harus meningkatkan kewaspadaan,” ujar Nyonya Zhang.

“Wah, ini namanya cari penyakit,” gumam You Xun. “Seharunya aku menunggu di Lembah Lima Raja Kejam saja untuk melihat keramaian, bukannya malah mengantar nyawa ke sini.”

“Sudahlah, tak perlu cerewet lagi! Kau mau bicara atau tidak?” ancam Nyonya Zhang.

“Baiklah, baiklah, akan kukatakan, mengapa tidak?” sahut You Xun. Tiba-tiba ia berteriak keras sambil matanya memandang ke luar rumah makan dengan wajah penuh rasa heran dan segan, “Hah, Ketua Dongfang, ternyata kau juga berkenan untuk berkunjung kemari?”

Semua orang terkejut dan serentak menoleh ke arah You Xun memandang. Bagaimana tidak, Dongfang Bubai adalah Ketua Sekte Iblis yang kesaktiannya menggetarkan dunia persilatan. Namun yang tampak di jalan raya sana hanya seorang tukang sayur yang berjalan pelan dengan menjinjing keranjang.

Waktu semua orang berpaling kembali, ternyata You Xun sudah menghilang entah ke mana. Baru sekarang mereka sadar telah tertipu mentah-mentah. Nyonya Zhang, Chou Songnian, Yuling, dan yang lain hanya bisa mencaci maki. Mereka sadar kalau You Xun memiliki ilmu ringan tubuh luar biasa. Kalau ia sudah melarikan diri tentu sulit untuk menangkapnya kembali.

Tiba-tiba Linghu Chong berkata lantang, “Aha, ternyata Kitab Pedang Penakluk Iblis sebenarnya berada di tangan You Xun, Sungguh tidak kusangka bahwa dia yang berhasil mendapatkannya.”

“Benarkah itu?” tanya orang banyak. “Apa benar kitab itu ada di tangan You Xun?”

“Sudah tentu berada di tangannya,” sahut Linghu Chong. “Kalau tidak, mengapa dia tidak mau mengaku terus terang dan memilih kabur?” Saat bicara sampai di sini ia merasa tenaganya benar-benar terkuras habis.

Mendadak terdengar suara You Xun berteriak di luar pintu, “Tuan Muda Linghu, mengapa kau sengaja memfitnah diriku?” Menyusul kemudian orang itu melangkah masuk kembali ke dalam rumah makan tersebut.

Nyonya Zhang dan yang lain segera melompat maju dan mengepung pria gemuk itu di tengah-tengah.

“Hahaha, kau telah masuk perangkap Tuan Muda Linghu!” seru Pendeta Yuling sambil tertawa.

You Xun terlihat sangat khawatir. Ia berkata, “Benar, aku pun sadar akan perangkap Tuan Muda Linghu. Tapi kalau ucapannya tadi tersiar di dunia persilatan, maka untuk selanjutnya hidupku pasti tidak bisa berlalu dengan tenang, meski hanya sedetik. Setiap orang persilatan tentu akan mencari perkara denganku. Meskipun memiliki tiga kepala dan enam lengan tetap saja aku tidak akan mampu melawan. Aih, Tuan Muda Linghu, kau sungguh hebat! Hanya satu kalimatmu saja sudah dapat menangkap kembali diriku yang dijuluki Si Licin Susah Dipegang ini.”

Linghu Chong hanya tersenyum. Dalam hati ia berkata, “Apanya yang hebat? Aku juga pernah difitnah orang dengan cara seperti ini.” Tanpa terasa pandangan matanya mengarah kepada Yue Lingshan. Ternyata si nona juga sedang memandang ke arahnya. Begitu tatapan mata mereka bertemu, wajah keduanya sama-sama bersemu merah dan cepat-cepat berpaling kembali.

Nyonya Zhang berkata, “Saudara You, kau tadi barusan lari keluar untuk menyembunyikan Kitab Pedang Penakluk Iblis supaya kami tidak bisa menemukannya, bukan begitu?”

“Wah, celaka, celaka! Tuduhan Nyonya Zhang ini sangat keterlaluan. Kau benar-benar bisa membuat kepalaku melayang,” sahut You Xun. “Coba kalian pikir, jika Kitab Pedang Penakluk Iblis itu benar-benar berada padaku, tentu senjata yang kupakai adalah pedang. Tentu ilmu pedangku juga sangat tinggi. Tapi mengapa sekarang aku tidak membawa pedang dan juga tidak mengeluarkan ilmu pedang? Ilmu silatku juga terbilang sangat rendah.” Mendengar ini diam-diam orang-orang yang mengepungnya merasa ucapan tersebut sangat beralasan.

Tiba-tiba Dewa Akar Persik ikut bicara, “Meskipun Kitab Pedang Penakluk Iblis ada di tanganmu juga belum tentu kau sempat mempelajarinya. Andaikan kau mempelajarinya juga belum tentu kau bisa menguasainya. Kau bilang tidak membawa pedang, bisa jadi pedangmu itu sudah dicuri orang.”

“Kipas yang kau bawa itu sebenarnya sebilah pedang pendek. Ketika kau gunakan untuk menunjuk, bukankah itu adalah salah satu jurus dalam ilmu Pedang Penakluk Iblis?” kata Dewa Dahan Persik menambahkan.

“Benar sekali! Coba lihat, sekarang kipasnya itu menunjuk miring ke depan. Jelas itu adalah jurus Menunjuk Iblis Licik dan Jahat, yaitu jurus ke-59 dari ilmu Pedang Penakluk Iblis. Ke mana ujung kipasnya menuding, ke situlah sasarannya akan dibinasakan.”

Saat itu kebetulan ujung kipas You Xun menunjuk ke arah Chou Songnian. Biksu berambut panjang ini termasuk orang yang berangasan. Tanpa pikir panjang ia segera menggeram seperti macan dan langsung menerjang maju dengan sepasang goloknya.

You Xun menghindar sambil berseru, “Hei, hei! Jangan dianggap serius! Dia hanya bergurau!”

Maka terdengarlah suara nyaring sebanyak empat kali. Rupanya sepasang golok Chou Songnian yang masing-masing telah diayunkan dua kali dapat ditangkis semua oleh You Xun menggunakan kipasnya yang sepertinya terbuat dari baja murni. Meskipun tubuhnya terlihat gemuk dan berkulit putih seperti lazimnya kaum hartawan, tapi gerakan You Xun ternyata sangat gesit. Bahkan ketika kipasnya diayunkan perlahan bisa membuat golok Chou Songnian tergetar ke samping sampai beberapa inci. Jelas ilmu silatnya lebih tinggi daripada biksu berambut panjang tersebut. Namun karena sedang terkepung, pria gemuk itu tidak berani menyerang balik.

Melihat itu Dewa Bunga Persik berseru, “Nah, nah, jurus itu adalah jurus ke-32 dari ilmu Pedang Penakluk Iblis yang bernama ‘Kura-Kura Kentut’, sedangkan jurus untuk menangkis golok adalah jurus ke-25 yang bernama ‘Kura-Kura Bertempurung Lunak Membalik Tubuh’”

Linghu Chong berkata, “Tuan You, kalau Kitab Pedang Penakluk Iblis itu benar-benar tidak ada di tanganmu, lalu berada di tangan siapa?”

“Benar, berada di tangan siapa?” sahut Pendeta Yuling dan Nyonya Zhang ikut bertanya.

You Xun pun tertawa terbahak-bahak kemudian berkata, “Sebenarnya aku tidak bicara karena ingin menjual cerita rahasia ini dengan harga yang lebih bagus, beberapa ribu tahil perak. Tapi kalian terlalu kikir, pelit, tentunya ingin menghemat uang. Baiklah, akan kukatakan saja. Hanya saja, begitu mendengar siapa yang menyimpan kitab pusaka itu, kalian hanya bisa menginginkannya di dalam hati. Kalau kitab itu jatuh ke tangan orang lain, kalian masih bisa berharap untuk merebutnya. Tapi karena kitab itu jatuh ke tangan jagoan ini, maka … aih ….”

Semua orang sampai menahan napas menunggu disebutkannya nama tokoh tersebut. Tiba-tiba dari jauh terdengar suara derap kaki kuda diselingi suara derit roda kereta menggelinding di jalanan.

You Xun menggunakan kesempatan itu untuk mengalihkan perhatian. Ia mengarahkan telinga untuk mendengar dengan seksama sambil bertanya, “Eh, siapa yang datang?”

Pendeta Yuling berkata dengan gusar, “Lekas katakan, siapa yang menyimpan kitab itu?”

“Sudah tentu akan kukatakan. Untuk apa kau terburu-buru seperti ini?” sahut You Xun.

Sementara itu kereta kuda tersebut sudah sampai di depan rumah makan dan lantas berhenti. Terdengar suara serak seorang tua sedang bertanya, “Apakah Tuan Muda Linghu berada di sini? Perkumpulan kami sengaja mengirimkan kereta ini untuk menyambut kedatangan Tuan Muda!” 

Yu Canghai.
Chou Songnian.
Pendeta Yuling dan Biksu Xibao.
Sepasang Orang Aneh Tongbai.
Yan Sanxing.

(Bersambung)