Bagian 122 - Terjebak dalam Gua

Linghu Chong, Ren Yingying, dan Lan Fenghuang datang ke Huashan.

Pada saat itulah tiba-tiba dari jauh terdengar suara-suara mendesing nyaring perlahan. Ren Yingying mengenali itu adalah suara suitan sebagai kode rahasia antara sesama anggota Sekte Matahari dan Bulan. Ia lantas memberi isyarat kepada Linghu Chong untuk tidak berbicara, lalu mengajaknya berlari ke arah sumber datangnya suara suitan tersebut.

Tidak jauh kemudian, tampak seorang perempuan berdandan seperti pelayan rumah makan berlari dari arah barat. Tempat di situ cukup lapang, tidak terdapat semak atau pohon untuk bersembunyi, sehingga orang itu dapat melihat kedatangan Ren Yingying dan langsung tercengang agak tak percaya.

Maka, perempuan itu pun memberi hormat sambil menyapa, “Hamba Sang Sanniang, ketua Balai Angin Surga, menyampaikan sembah hormat kepada Gadis Suci. Semoga Ketua panjang umur, hidup abadi, merajai dunia persilatan!”

Ren Yingying mengangguk beberapa kali. Menyusul kemudian tampak dari arah timur muncul pula seorang tua bertubuh kecil, memakai baju berwarna cokelat tua, mirip kaum hartawan kampung. Dengan langkah cepat ia mendekati Ren Yingying dan memberi hormat, lalu berkata, “Hamba Wang Cheng menyampaikan sembah bakti kepada Gadis Suci. Semoga Ketua berjaya selalu, melindungi rakyat jelata.”

“Kau juga berada di sini, Tetua Wang?” tanya Ren Yingying kepadanya. Rupanya Wang Cheng adalah salah satu di antara sepuluh tetua utama dalam agama mereka.

Wang Cheng menjawab hormat, “Hamba ditugasi Ketua Ren untuk mencari berita di sekitar sini. Saudari Sang, apakah ada suatu berita yang kau peroleh?”

“Lapor kepada Gadis Suci dan Tetua Wang,” ujar Sang Sanniang, “pagi ini saat berada di rumah penukaran kuda, hamba melihat rombongan Perguruan Songshan yang berjumlah sekitar enam sampai tujuh puluh orang sedang menuju ke Gunung Huashan.”

“Jadi mereka benar-benar menuju ke Huashan?” sahut Wang Cheng menegas.

“Ada urusan apa orang-orang Perguruan Songshan pergi ke Huashan?” sela Ren Yingying.

Wang Cheng menjawab, “Ketua Ren memperoleh berita, bahwa sejak Yue Buqun menjabat sebagai ketua Perguruan Lima Gunung lantas bermaksud memerangi agama kita. Kabarnya ia sibuk mengumpulkan murid-murid dari Perguruan Lima Gunung di Gunung Huashan. Melihat gelagat ini kemungkinan besar mereka hendak menyerang Tebing Kayu Hitam secara besar-besaran.”

“Benarkah demikian?” sahut Ren Yingying penasaran. Ia merasa sangsi jangan-jangan Wang Cheng yang terkenal licik ini sengaja memutarbalikkan kenyataan. Padahal, mungkin saja orang tua ini yang memimpin penangkapan murid-murid Perguruan Henshan dan bermaksud mengalihkan tuduhan. Namun, raut wajah Sang Sanniang tampaknya bersungguh-sungguh. Sepertinya ada masalah lain di balik semua dugaan ini, demikian ia berpikir. Gadis itu lantas berkata, “Pendekar Linghu adalah ketua Perguruan Henshan, namun mengapa dia tidak tahu-menahu tentang apa yang kau katakan tadi? Bukankah ini aneh?”

“Hamba telah mnyelidiki bahwa murid-murid Perguruan Taishan dan Hengshan juga sudah bergerak menuju ke Huashan. Hanya Perguruan Henshan saja yang belum tampak bergerak,” jawab Wang Cheng. “Pelindung Kiri Xiang Wentian telah memerintahkan kami untuk menyelidiki masalah ini. Lebih dulu Tetua Bao Dachu telah diperintahkan untuk menyelidiki Perguruan Henshan. Hamba diperintah pula untuk berjaga di sekitar sini sebagai penghubung berita yang akan dibawa Tetua Bao.”

Ren Yingying saling pandang sejenak dengan Linghu Chong. Meskipun hati mereka bimbang, namun penuturan Wang Cheng ini jelas bersungguh-sungguh. Dalam hati masing-masing muncul pertanyaan, “Apakah semua yang dikatakannya benar?”

Wang Cheng lantas memberi hormat kepada Linghu Chong dan meminta maaf, “Hamba hanya sekadar melaksanakan perintah, oleh karena itu mohon Ketua Linghu jangan marah.”

Linghu Chong membalas hormat dan berkata, “Tidak lama lagi aku dan Nona Ren akan menikah ….”

“Hei!” seru Ren Yingying terkejut dengan muka bersemu merah. Ia tidak menyangka Linghu Chong akan berkata seperti itu di depan orang lain, namun ia juga tidak membantah sama sekali.

“Tetua Wang menerima perintah dari calon ayah mertuaku,” lanjut Linghu Chong, “oleh karena itu, sebagai kaum muda sudah tentu kami ikut bertanggung jawab atas hal ini.”

Dengan wajah gembira Wang Cheng dan Sang Sanniang serentak berkata, “Selamat untuk Gadis Suci dan Ketua Linghu! Selamat!”

Dengan wajah semakin merah Ren Yingying menyingkir agak jauh.

Wang Cheng kembali berkata, “Pelindung Kiri Xiang berpesan kepada hamba dan Tetua Bao agar jangan sekali-kali berlaku kasar terhadap murid-murid Perguruan Henshan. Kami hanya boleh mencari berita saja, dan dilarang melakukan kekerasan. Hamba pun menjalankan perintah Beliau dengan taat.”

Tiba-tiba dari arah belakang terdengar suara seorang perempuan menyela dengan tertawa, “Ilmu pedang Pendekar Linghu tanpa tanding di dunia ini. Bahwasanya Pelindung Kiri Xiang menyuruh kalian jangan main kekerasan sebenarnya adalah demi kebaikan kalian sendiri.”

Begitu menoleh, Linghu Chong melihat seorang perempuan muncul di atas dahan pepohonan. Ternyata yang baru datang ini tidak lain adalah Lan Fenghuang, ketua Partai Lima Dewi.

“Adik, kau baik-baik saja?” sahut Linghu Chong menyapa kepadanya.

“Kau juga baik-baik saja, Kakak?” balas Lan Fenghuang. Ia lantas berpaling ke arah Wang Cheng dan menegur, “Jika kau ingin menyapa diriku, silakan! Mengapa harus mengerutkan kening segala?”

“Ah, mana aku berani?” sahut Wang Cheng. Ia tahu sekujur badan perempuan ini penuh dengan benda berbisa, maka yang lebih baik jangan mengganggu sedikit pun. Segera ia pun mendekati Ren Yingying dan berkata, “Bagaimana selanjutnya hamba bertindak terhadap masalah ini, mohon Gadis Suci sudi memberi petunjuk.”

“Lakukan saja sesuai perintah Ketua,” sahut Ren Yingying.

“Baik,” jawab Wang Cheng dengan hormat. Ia dan Sang Sanniang lantas mohon diri.

Setelah mereka berdua pergi, Lan Fenghuang berkata, “Murid-murid Perguruan Henshan telah ditawan orang, mengapa kalian tidak lekas pergi menolongnya?”

“Kami baru saja meninggalkan Gunung Henshan, tapi di sepanjang jalan belum juga menemukan jejak,” jawab Linghu Chong.

“Jalan ini bukan menuju ke Gunung Huashan. Kalian telah salah arah,” ujar Lan Fenghuang.

“Jalan ke Huashan?” sahut Linghu Chong menegas. “Jadi mereka ditawan ke Huashan? Apa kau sendiri melihatnya?”

Lan Fenghuang menjawab, “Di Lembah Tongyuan kemarin aku merasa air teh yang kuminum agak-agak aneh. Namun, aku diam saja tanpa menunjukkan rasa curigaku. Satu per satu orang-orang di sana roboh tak sadarkan diri. Aku pun pura-pura ikut roboh pingsan.”

“Main racun melawan Ketua Lan dari Partai Lima Dewi sama saja mengundang masalah sendiri,” ujar Linghu Chong dengan tersenyum.

Lan Fenghuang tertawa pula dan berkata, “Keparat-keparat itu memang tidak tahu adat.”

Linghu Chong bertanya, “Apakah kau tidak membalas mereka dengan racun pula?”

“Kenapa tidak?” sahut Lan Fenghuang. “Ada dua bangsat yang mengira aku benar-benar jatuh pingsan. Mereka mendekatiku dan bermaksud main gila. Begitu menggerayangi tubuhku, mereka langsung mati keracunan. Sisanya menjadi ketakutan dan tidak berani mendekat. Katanya aku sudah sekarat tapi masih tetap berbisa.” Usai berkata demikian ia pun tertawa geli.

“Lantas bagaimana?” tanya Linghu Chong.

“Untuk mengetahui permainan apa yang akan mereka lakukan, aku tetap pura-pura tidak sadarkan diri,” lanjut Lan Fenghuang. “Kemudian kawanan bangsat ini turun dari Puncak Jianxing dengan menculik serombongan biksuni. Kulihat sendiri yang memimpin kawanan bangsat ini adalah gurumu, Tuan Yue. Kakak, sepertinya gurumu itu agak-agak tidak beres. Kau telah menjabat sebagi ketua Perguruan Henshan, tapi dia malah memimpin anak buahnya menangkap sekian banyak anak buahmu. Bukankah ia sengaja ingin bermusuhan denganmu?”

Linghu Chong hanya terdiam. Ia paham Lan Fenghuang seorang perempuan dari suku Miao yang pada umumnya berwatak polos, lugu, dan suka berbicara tanpa pikir.

“Melihat perbuatannya itu aku sungguh merasa gemas,” lanjut Lan Fenghuang. “Pada saat itu juga aku bermaksud meracuninya sampai mampus. Tapi kemudian aku berpikir tentang perasaanmu kepadanya. Andaikan aku ingin meracuninya juga bisa kulakukan lain waktu.”

“Kau selalu memikirkan perasaanku, aku sungguh berterima kasih,” kata Linghu Chong.

“Ah, biasa saja,” ujar Lan Fenghuang. “Kudengar pula percakapan mereka bahwa selagi kau tidak berada di Gunung Henshan, maka mereka harus lekas-lekas pergi. Orang-orang itu takut jika kau pulang dan memergoki perbuatan mereka. Namun, ada pula yang menyayangkan dirimu sedang tidak berada di Henshan. Andai saja kau ada tentu sekaligus akan ditawan pula, dan segala urusan pun beres sudah. Huh, enak saja bicara demikian!”

Linghu Chong menjawab, “Adik, ada kau yang mendampingiku di sana, rasanya tidaklah mudah jika mereka hendak menangkap diriku.”

Lan Fenghuang sangat senang. Ia tertawa dan berkata, “Boleh dikata mereka sedang beruntung. Coba saja mereka berani mengganggu seujung rambutmu, hm, pasti akan kubalas dengan meracuni seratus orang di antara mereka.” Berkata demikian ia lantas berpaling kepada Ren Yingying, “Nona Ren, janganlah kau minum cuka. Hubunganku dengan Kakak Linghu bagaikan saudara kandung.”

Wajah Ren Yingying menjadi merah. Dengan tersenyum ia menjawab, “Ketua Linghu sendiri sering membicarakan tentang dirimu. Katanya, kau sangat baik kepadanya.”

“Bagus sekali kalau begitu!” seru Lan Fenghuang senang. “Sebenarnya aku khawatir kalau-kalau dia tidak berani menyebut namaku di hadapanmu.”

Ren Yingying lantas bertanya, “Kau pura-pura tak sadarkan diri, tapi mengapa bisa lolos dari cengkeraman mereka? Mengapa kau tidak ikut dibawa mereka?”

“Mereka takut terhadap tubuhku yang berbisa sehingga tak ada seorang pun yang berani menyentuhku,” jawab Lan Fenghuang. “Ada di antaranya yang menyarankan agar aku dibacok saja sampai mati dengan golok, ada pula yang mengusulkan agar membunuhku dengan senjata rahasia. Akan tetapi, mereka hanya berani bicara saja, tapi tak seorang pun yang berani turun tangan. Akhirnya, mereka pun beramai-ramai kabur turun gunung. Aku lantas mengikuti jejak mereka. Setelah yakin mereka menuju ke arah Gunung Huashan, aku pun segera berusaha mencari Kakak Linghu untuk menyampaikan berita penting ini.”

“Sungguh aku sangat berterima kasih padamu. Kalau tidak bertemu denganmu, tentu kami akan menuju ke Tebing Kayu Hitam dengan sia-sia,” kata Linghu Chong. “Sekarang urusan ini tidak boleh ditunda-tunda lagi. Mari kita lekas mengejar ke Gunung Huashan.”

Ketiga orang itu lantas berbelok ke barat dan melanjutkan perjalanan secepat-cepatnya. Namun, di sepanjang jalan ternyata tidak tampak satu pun tanda-tanda yang mencurigakan.

Linghu Chong dan Ren Yingying sama-sama merasa ragu dan bimbang. Mereka berpikir, “Rombongan itu berisi ratusan orang. Tapi aneh, kenapa tidak ada jejak sama sekali. Mustahil pula tidak ada seorang pun yang melihat mereka. Jangan-jangan mereka tidak menempuh jalur ini?”

Pada hari ketiga di sebuah kedai kecil, ketiganya bertemu empat orang yang memakai seragam Perguruan Hengshan. Saat itu Linghu Chong sedang menyamar sehingga tidak dikenali oleh mereka. Diam-diam Linghu Chong memasang telinga mendengarkan percakapan mereka. Orang-orang Perguruan Hengshan itu tampak sedang bergembira seolah ada banyak harta karun di Gunung Huashan sedang menunggu kedatangan mereka.

Terdengar salah seorang serkata, “Untungnya Kakak Huang sangat baik hati dan sudi mengirim kabar gembira ini kepada kita. Beruntung pula kita sedang berada di Shanxi sehingga masih sempat menyusul ke sana. Sementara itu, para kakak dan adik seperguruan yang berada di Gunung Hengshan tentu tidak seberuntung kita.”

“Tapi kita juga jangan senang dulu. Yang paling penting adalah kita harus lekas-lekas menyusul ke sana,” ujar yang lain menanggapi. “Urusan seperti ini kurasa bisa terjadi perubahan setiap saat.”

Linghu Chong sangat penasaran ingin tahu ada persoalan menarik apa sehingga keempat orang ini begitu berhasrat menuju ke Gunung Huashan. Tapi mereka berempat sama sekali tidak menyinggung persoalan yang dimaksudkan itu.

Lan Fenghuang beratnya, “Apakah perlu merobohkan mereka dengan racun untuk dimintai keterangan?”

Mengingat Tuan Besar Mo sangat baik kepadanya, Linghu Chong tidak ingin menyusahkan murid-murid Perguruan Hengshan tersebut. Maka, ia pun menjawab, “Kita tidak perlu mengganggu mereka. Yang paling baik adalah kita harus secepatnya berangkat ke Huashan.”

Beberapa hari kemudian sampailah mereka di kaki Gunung Huashan. Saat itu matahari sudah terbenam, namun Linghu Chong sendiri sudah sangat hafal keadaan di pegunungan itu. Ia berkata, “Sebaiknya kita naik ke atas melalui jalan kecil di belakang gunung, tentu tidak akan bertemu dengan orang lain.”

Di antara kelima pegunungan, Huashan memang terkenal yang paling curam. Jalan kecil di belakang gunung juga sangat terjal dan sulit didaki. Untungnya ilmu silat ketiga orang ini sama-sama tinggi. Tebing yang terjal bukan rintangan bagi mereka. Akhirnya mereka pun sampai di puncak saat menjelang pagi dini hari.

Linghu Chong membawa kedua rekannya menuju ke Aula Utama. Keadaan di tempat itu ternyata gelap gulita. Masing-masing memasang telinga untuk mendengarkan dengan seksama, namun keadaan tetap sunyi senyap. Sewaktu mendatangi tempat tinggal para murid Huashan, ternyata di sana juga kosong melompong. Ketika Linghu Chong menyalakan api, kamar yang kosong itu tampak penuh dengan debu. Beberapa kamar yang lain juga demikian, pertanda para murid sudah lama tidak pulang ke Huashan.

Lan Fenghuang menjadi rikuh karena keadaan tidak sesuai dengan laporannya. Ia berkata, “Apakah mungkin aku tertipu oleh kawanan bangsat itu? Mungkinkah mereka mengaku datang ke Huashan sini, tapi sebenarnya menuju ke tempat lain?”

Linghu Chong juga merasa sangsi dan khawatir. Teringat olehnya saat menyerbu Biara Shaolin dulu, waktu itu rombongannya pun menyerbu tempat kosong, lalu menghadapi bahaya. Jangan-jangan Yue Buqun kembali menggunakan siasat yang sama? Namun sekarang mereka hanya bertiga. Andaikan masuk perangkap juga mudah untuk meloloskan diri. Justru yang dikhawatirkan adalah murid-murid Perguruan Henshan. Jangan-jangan mereka dikurung di suatu tempat rahasia dan sukar untuk diketemukan lagi mengingat sudah sekian lamanya mereka digiring kemari.

“Bagaimana kalau kita berpencar diri untuk mencari? Dua jam lagi kita berkumpul kembali di tempat ini,” kata Lan Fenghuang.

“Baiklah,” jawab Linghu Chong setuju. Ia berpikir kepandaian Lan Fenghuang dalam ilmu racun tidak perlu disangsikan lagi, tentu tiada seorang pun yang sanggup menghadapinya. Namun ia tetap berpesan, “Orang lain tidak perlu kau takuti. Tapi, bila bertemu guruku hendaknya kau berhati-hati terhadap ilmu pedangnya yang sangat cepat luar biasa.”

Diterpa cahaya lilin Lan Fenghuang dapat melihat wajah Linghu Chong berkata dengan sungguh-sungguh. Ia pun terkesan dan menjawab, “Kakak, aku akan selalu mengingat nasihatmu ini.” Usai berkata ia lantas mendorong pintu dan bergegas pergi.

Linghu Chong dan Ren Yingying memeriksa lagi ke beberapa tempat lainnya. Sampai-sampai tempat tinggal pribadi Yue Buqun dan Ning Zhongze di tepi Jurang Tianqin juga diselidiki, namun tetap tiada seorang pun yang mereka temukan.

“Ini benar-benar aneh,” kata Linghu Chong. “Biasanya kalau orang-orang Huashan turun gunung, sedikitnya disisakan beberapa orang sebagai penjaga rumah. Tapi sekarang mengapa tiada seorang pun yang tinggal di sini?”

Terakhir mereka mendatangi tempat tinggal Yue Lingshan yang terletak di sebelah Jurang Tianqin, tidak jauh dari tempat tinggal Yue Buqun suami-istri. Begitu membuka pintu, seketika ia teringat kenangan masa lalu saat datang menjemput sang adik kecil untuk bermain-main atau berlatih pedang bersama. Namun, kini Yue Lingshan telah tiada, pergi untuk selamanya. Tak kuasa menahan pilu, air mata Linghu Chong pun berlinang di pipi.

Pemuda itu lantas mendorong pintu, ternyata dipalang dari dalam. Ren Yingying pun melompati pagar dan membukanya dari dalam. Mereka masuk ke ruangan dalam dan menyalakan lilin yang terdapat di atas meja. Keadaan ruangan itu juga kosong melompong dan penuh debu, bahkan perabot keperluan perempuan juga tidak terdapat sama sekali.

Melihat itu Linghu Chong berpikir, “Mungkinkah setelah menikah dengan Adik Lin, lantas Adik Kecil tidak tinggal di sini lagi? Tentu mereka tinggal di rumah baru, dan semua perabotan dibawa pula ke sana.”

Diperiksanya laci meja dan di situ tersimpan berbagai mainan anak-anak seperti boneka, kuda kayu, kelereng batu, keranjang bambu, dan sebagainya. Itu semua adalah mainan yang pernah mereka gunakan di waktu kecil dulu, dan sebagian adalah buatan tangan Linghu Chong sendiri. Yue Lingshan masih merawat dan menyimpan semuanya dengan baik. Linghu Chong merasa pedih teringat kenangan masa lalu. Kini, sang adik kecil sudah berada di alam sana, tanpa terasa ia kembali mencucurkan air mata.

Ren Yingying terdiam dan perlahan melangkah keluar kemudian menutup pintu. Seorang diri Linghu Chong termangu-mangu cukup lama di dalam ruangan tersebut. Setelah menguasai dirinya kembali, ia pun memadamkan lilin dan keluar ruangan pula.

Agar Linghu Chong melupakan kepedihan hatinya, Ren Yingying berkata, “Kakak Chong, di puncak tertinggi Huashan ada suatu tempat yang sangat berarti dalam hidupmu. Maukah kau membawaku ke sana?”

“Tentu yang kau maksud itu adalah Tebing Perenungan,” kata Linghu Chong. “Baiklah. Mari kita pergi ke sana. Tapi entah apakah Kakek Guru Feng masih di sana atau tidak?”

Segera ia mendahului melangkah di depan menyusuri jalan setapak menuju ke tempat itu. Linghu Chong sangat mengenal tempat tersebut dengan baik. Meskipun Tebing Perenungan terletak di belakang gunung dan jaraknya juga tidak dekat, namun keduanya sampai di sana dengan cepat.

Setibanya di puncak Linghu Chong berkata, “Aku pernah tinggal di gua itu ….” Baru sekian ia bicara, tiba-tiba terdengar suara senjata berbenturan dua kali. Mereka berdua sangat terkejut dan bergegas mendekati gua. Tak lama kemudian terdengar suara jerit ngeri seseorang. Sepertinya ada yang bertarung di dalam gua dan ada yang terluka pula.

Linghu Chong segera melolos pedang dan mendahului berlari ke dalam gua. Ia pernah tanpa sengaja menemukan gua rahasia di dalam gua tersebut yang berisikan gambar-gambar ukiran ilmu pedang Serikat Pedang Lima Gunung. Dulu sebelum pergi ia sempat menutup lorong masuk ke dalam gua rahasia tersebut. Namun, kini penutup lorong itu telah terbuka. Tampak pula cahaya api menerangi bagian dalam gua rahasia itu. Linghu Chong dan Ren Yingying segera melangkah menyusuri lorong dengan hati berdebar-debar.

Tak disangka ternyata keadaan di dalam gua rahasia itu terang benderang oleh cahaya berpuluh-puluh obor. Paling tidak ada dua ratus orang berada di sana. Mereka sedang asyik memandangi jurus-jurus ilmu silat yang terukir di dinding gua tersebut. Masing-masing memperhatikan ukiran-ukiran itu dengan seksama, sehingga suasana terasa hening dan sunyi.

Ketika mendengar suara benturan senjata dan jeritan ngeri tadi, Linghu Chong dan Ren Yingying membayangkan keadaan di dalam gua tentu gelap gulita dan terjadi pertarungan sengit yang berdarah-darah. Siapa sangka ternyata keadaan di dalam gua itu terang benderang dan sangat hening meskipun terdapat ratusan orang berdiri di dalamnya?

Meskipun gua depan tempat Linghu Chong dikurung dulu sangat sempit, namun gua rahasia di bagian belakang sangat luas dan lebar. Meskipun di dalamnya berdiri sekitar dua ratus orang, tetap saja masih terlihat adanya tempat luang. Hanya saja, orang-orang sebanyak itu masing-masing terdiam seperti mayat hidup. Keadaan tampak begitu menyeramkan.

Ren Yingying berdiri merapat pada bahu kiri Linghu Chong. Melihat raut muka gadis itu agak pucat dan menunjukkan rasa takut, perlahan-lahan Linghu Chong merangkul pinggangnya. Mereka melihat orang-orang di dalam gua itu memakai tiga jenis seragam berbeda warna. Setelah diperhatikan dengan seksama, ternyata mereka adalah orang-orang Perguruan Songshan, Taishan, dan Hengshan. Di antaranya bahkan terdapat orang-orang tua yang sudah beruban. Jelas sekali di dalam gua ini terdapat banyak tokoh terkemuka dan para sesepuh dari ketiga perguruan tersebut yang ikut hadir. Setelah diperhatikan lagi, ternyata murid-murid Perguruan Huashan dan Henshan tidak seorang pun yang berada di dalam situ.

Orang-orang ketiga perguruan itu sama-sama memandangi ukiran di dinding dengan seksama, namun mereka tidak bercampur aduk. Masing-masing berdiri di dalam kelompoknya. Orang-orang Songshan memandangi ukiran ilmu ilmu pedang Perguruan Songshan, begitu pula orang-orang Taishan dan Hengshan. Seketika Linghu Chong teringat kepada percakapan keempat murid Hengshan yang ditemuinya di kedai kecil dalam perjalanan tadi. Konon mereka mendapat berita penting dan buru-buru menyusul ke Huashan seolah terdapat harta karun di gunung ini. Ternyata harta karun yang mereka maksudkan adalah gambar-gambar ilmu pedang sakti peninggalan leluhur yang terukir di dinding gua tersebut.

Sekilas Linghu Chong memandang ke arah kelompok Perguruan Hengshan. Tampak seorang tua kurus berambut putih memandang dinding gua dengan penuh perhatian. Wajahnya sama sekali tidak menunjukkan perasaan apa-apa. Orang tua itu tidak lain adalah Tuan Besar Mo, ketua Perguruan Hengshan sendiri. Linghu Chong merasa bingung hendak mendekat ke arahnya untuk menyampaikan salam hormat atau tidak.

Tiba-tiba terdengar suara seseorang dalam kelompok Perguruan Songshan berteriak gusar, “Hei, kau ini bukan murid Songshan, mengapa kau ikut melihat ukiran di dinding sebelah sini?” Orang yang membentak itu ternyata seorang tokoh tua berseragam kuning. Ia sedang melotot kepada seorang laki-laki jangkung setengah baya, sambil mengacungkan pedangnya ke dada orang itu.

Si jangkung mendengus dan menjawab, “Huh, memangnya aku memandangi ukiran milik perguruanmu?”

“Kau berani menyangkal?” damprat orang tua dari Songshan itu. “Kau ini berasal dari perguruan mana? Kalau kau hanya mencuri lihat ilmu pedang Perguruan Songshan kami, masih bisa dimaafkan. Tapi kau berani pula memandangi cara mematahkan ilmu pedang perguruan kami, ini benar-benar kurang ajar!”

Serentak lima orang murid Songshan bergerak mengelilingi si jangkung dengan pedang di tangan masing-masing.

“Aku sama sekali tidak paham terhadap ilmu pedang kalian yang mengesankan itu. Andaikan aku memandangi ukiran mengenai cara untuk mematahkan ilmu pedang kalian juga tidak ada gunanya,” ujar si jangkung berusaha membela diri.

“Pendek kata, dengan memandangi ukiran dinding di sebelah sini tentu kau punya niat tidak baik pula,” jawab si Songshan tua bengis.

Si jangkung menyahut, “Tapi ketua Perguruan Lima Gunung, Tuan Yue, telah mengundang kita kemari untuk mempelajari berbagai macam ilmu pedang leluhur yang terukir di dinding ini. Beliau tidak pernah membatasi bagian mana yang boleh dilihat dan bagian mana dilarang.”

Si Songshan tua tetap bersikeras, “Jelas kau punya maksud tidak baik terhadap Perguruan Songshan kami dan hal ini tidak dapat kami biarkan.”

“Serikat Pedang Lima Gunung telah dilebur menjadi satu. Yang ada kini hanyalah Perguruan Lima Gunung, mana ada Perguruan Songshan segala?” sahut si jangkung dengan angkuh. “Bila Serikat Pedang Lima Gunung tidak dilebur menjadi satu mana mungkin Tuan Yue mengizinkan kita semua ini masuk ke dalam gua rahasia di puncak Huashan sini, apalagi untuk mendalami ilmu pedang leluhur ini?”

Si Songshan tua tidak bisa menjawab. Tiba-tiba salah seorang rekannya mendorong keras pundak belakang si jangkung sambil membentak, “Mulutmu memang pintar bicara, ya?”

Si jangkung serentak membalik sehingga pergelangan murid Songshan itu tertangkap olehnya, lantas ditarik pula. Seketika murid Songshan itu pun terbanting jatuh.

Pada saat itulah terdengar pula suara teriakan di tengah-tengah kelompok Perguruan Taishan, “Siapa kau? Beraninya kau memakai seragam Perguruan Taishan kami dan menyusupkan diri di sini untuk mencuri lihat? Beraninya kau mengamati ukiran ilmu pedang Perguruan Taishan di dinding ini?”

Menyusul kemudian terlihat seorang muda berseragam Taishan berlari keluar meninggalkan kalangan. Namun, ia segera dihadang oleh seorang murid Taishan lainnya yang juga membentak, “Berhenti! Siapa kau? Beraninya kau mengacau di sini?”

Pemuda itu tidak menjawab, tapi pedangnya lantas menusuk sambil tubuh menerjang ke depan. Tapi si penghadang mengelak sambil tangannya mencolok kedua mata lawan. Terpaksa si anak muda melompat mundur. Namun si penghadang terus saja memburu maju. Kembali tangannya menjulur ke depan untuk menyerang kedua mata pemuda itu.

Lantaran diserang dari jarak dekat, pedang si pemuda sukar digunakan untuk menangkis. Terpaksa ia kembali melompat mundur. Segera si penghadang menyapu dengan sebelah kakinya. Untung pemuda itu sempat meloncat ke atas, tapi tetap saja dadanya terkena pukulan. Seketika ia pun jatuh terguling dan muntah darah. Dari belakang dua orang murid Taishan memburu maju dan membekuknya.

Sementara itu, di sisi lain si jangkung sudah terkepung oleh empat-lima orang murid Perguruan Songshan dan sedang diserang dengan gencar. Ilmu pedang si jangkung terlihat sangat lihai. Ditinjau dari gerakannya, ia jelas bukan orang Serikat Pedang Lima Gunung sendiri.

Serentak beberapa orang Songshan yang menonton di pinggir berteriak, “Keparat ini bukan orang Serikat Pedang Lima Gunung kita! Dia adalah mata-mata musuh yang ikut menyusup kemari.”

Karena terjadi pertempuran di dua tempat, seketika suasana di dalam gua yang tadinya sunyi senyap itu berubah menjadi kacau-balau.

Dalam keadaan ribut tersebut Linghu Chong berpikir, “Orang-orang di sini berkumpul atas undangan Guru, pasti bukan untuk tujuan yang baik. Aku harus mencari Paman Mo dan memintanya untuk memimpin orang-orang Hengshan meninggalkan gua ini. Mengenai ilmu pedang Hengshan yang terukir di sini dapat kuceritakan pada Beliau lain kali.”

Segera ia pun menyelinap maju ke arah kalangan Perguruan Hengshan. Namun, baru beberapa langkah saja, tiba-tiba terdengar suara gemuruh keras laksana gugurnya batu-batuan gunung yang sangat dahsyat. Banyak di antara orang-orang itu yang menjerit ngeri dan ketakutan.

Linghu Chong terkejut. Dengan cepat ia berputar balik. Dilihatnya debu pasir bertebaran di dalam gua. Ia tidak berpikiran untuk mencari Tuan Besar Mo lagi. Yang perlu segera didatanginya saat ini adalah Ren Yingying. Akan tetapi, suasana telah berubah menjadi sangat kacau. Orang-orang berlari serabutan, senjata menyambar tak kenal arah, dan yang terlihat hanya debu pasir belaka. Linghu Chong benar-benar tidak tahu di mana Ren Yingying saat itu berada.

Sekuat tenaga Linghu Chong berdesak-desakan di tengah banyak orang. Beberapa kali ia harus berkelit untuk menghindari serangan senjata yang datang entah dari mana. Begitu sampai di mulut gua, ia malah mengeluh. Tampak sepotong batu yang sangat besar telah menutup mulut gua itu dengan sangat rapat. Entah berapa ton berat batu besar tersebut. Dengan kata lain, pintu gua itu kini telah buntu tersumbat oleh batu. Dalam keadaan gugup Linghu Chong tidak melihat suatu lubang pun untuk dijadikan jalan keluar.

“Yingying! Yingying! Di mana kau?” serunya kemudian.

Sayup-sayup terdengar Ren Yingying menjawab satu kali di kejauhan. Sepertinya gadis itu juga ikut terkurung di dalam gua. Namun, di tengah keramaian dua ratus orang sungguh sulit menentukan dengan pasti di mana si nona berada. Diam-diam Linghu Chong merasa heran, “Aneh, kenapa Yingying ikut terkurung di dalam gua? Bukankah tadi ia menunggu di lorong dekat mulut gua?” Sejenak kemudian ia pun paham dan berpikir, “Aku tahu. Begitu batu besar ini jatuh, Yingying tidak pergi begitu saja. Tapi dia memilih masuk ke dalam gua untuk ikut terkurung bersamaku. Hm, aku ke sini untuk mencarinya, tapi dia malah menerjang ke sana untuk mencariku.” Berpikir demikian Linghu Chong pun segera berputar balik ke dalam gua lebar.

Pada mulanya keadaan di dalam gua terang benderang oleh cahaya berpuluh-puluh obor. Namun, dalam keadaan kacau-balau tersebut, tanpa sadar ada di antara mereka yang melemparkan obor di tangan untuk mencari selamat. Ditambah lagi debu dan pasir memenuhi gua tersebut, sehingga pemandangan menjadi remang-remang seperti berkabut tebal.

“Mulut gua telah tersumbat! Kita terkurung di sini!” demikian orang-orang itu berteriak ketakutan.

“Ini pasti tipu muslihat si keparat Yue Buqun!” teriak seorang lainnya dengan murka.

“Benar!” sahut seorang lagi dengan mengertakkan gigi. “Bangsat itu memancing kita ke sini untuk melihat ilmu pedang sialan ….”

Beberapa puluh orang lantas beramai-ramai mendorong batu raksasa itu. Akan tetapi, batu ini laksana sebuah bukit, sedikit pun tidak bergerak meski orang-orang itu mendorong sepenuh tenaga.

“Lekas, lekas keluar melalui terowongan di belakang sana!” teriak seseorang kemudian.

Sebelumnya memang sudah ada beberapa orang yang berpikir demikian. Mereka menemukan terowongan sempit yang dulu digali seorang gembong aliran sesat menggunakan kapak. Gua rahasia ini memang pernah digunakan untuk mengurung sepuluh tetua Sekte Iblis pada zaman tersebut. Setelah satu per satu orang-orang itu mati, akhirnya tinggal seorang saja yang mencoba menggali jalan keluar menggunakan kapak. Namun, belum sampai mendapatkan hasil, ia akhirnya tewas pula karena kehabisan tenaga.

Lebih dari dua puluh orang sudah berbondong-bondong mendahului lari ke arah ujung terowongan sempit bawah tanah tersebut dan berdesak-desakan di sana. Padahal terowongan itu hanya cukup dilewati satu orang saja. Kini puluhan orang berebut untuk melewatinya lebih dulu, tentu saja hal ini sangat tidak mungkin. Karena keributan ini, kembali belasan obor menjadi padam pula.

Di tengah keributan itu ada dua orang laki-laki kekar mendesak maju sekuatnya dengan menyisihkan orang-orang lainnya. Mereka terus saja menyusup maju ke mulut terowongan. Tapi mulut terowongan itu sangat sempit. Karena kedua orang itu juga saling berebut lebih dulu, akhirnya kepala masing-masing malah terbentur dinding. Tidak seorang pun yang akhirnya mampu memasuk lubang lorong tersebut.

Tiba-tiba laki-laki kekar di sebelah kanan mengayunkan tangannya. Seketika laki-laki sebelah kiri menjerit ngeri. Pada dadanya telah tertancap sebilah belati. Menyusul kemudian laki-laki sebelah kanan itu mendorongnya minggir. Dengan cepat ia sendiri lantas menerobos masuk ke dalam lorong disusul oleh yang lainnya secara dorong-mendorong dan tarik-menarik. Masing-masing berebut menyelamatkan diri lebih dulu.

Sementara itu, Linghu Chong sangat cemas dan khawatir karena tidak dapat menemukan Ren Yingying. Ia berpikir, “Zaman dulu kesepuluh tetua Sekte Iblis itu memiliki ilmu silat setinggi langit. Namun ternyata mereka juga terjebak dan terkubur di dalam gua ini. Jangan-jangan nasib buruk demikian juga akan menimpa diriku dan Yingying. Bila muslihat ini memang sengaja diatur oleh Guru, maka bisa jadi sangat berbahaya, karena aku tahu betapa tinggi kepandaian Guru.”

Dilihatnya orang-orang itu semakin berdesakan di mulut terowongan. Karena terlalu gelisah tiba-tiba timbul pikiran jahat dalam benak Linghu Chong, “Orang-orang ini hanya menghalang-halangi saja. Mereka harus dibunuh semua agar aku dan Yingying dapat lolos dengan selamat.”

Segera ia bermaksud mengayunkan pedang untuk membunuh orang yang paling dekat di sebelahnya. Tiba-tiba dilihatnya seorang pemuda menjambak-jambak rambut sendiri dengan badan gemetar dan wajah pucat pasi. Sepertinya pemuda itu sangat takut mati. Seketika timbul rasa kasihan dalam hati Linghu Chong. Ia merenung, “Aku dan dia bernasib sama. Kami sama-sama terjebak oleh perangkap musuh. Seharusnya aku bahu-membahu bersama mereka untuk mencari jalan keluar. Mana boleh aku membunuh orang lain untuk mencari selamat sendiri?” Karena itu pedangnya pun lantas ditarik kembali dan dipegang melintang di depan dada.

Tak lama kemudian terdengar orang-orang itu berteriak, “Ayo, lekas masuk ke sana, lekas!”

“Hei, kenapa diam saja? Lekas merangkak ke depan!”

Beberapa orang yang tidak sabar lantas memaki, “Keparat, kenapa diam saja? Apa kau sudah mampus di situ?”

“Tarik saja! Tarik saja kembali!”

Ternyata laki-laki kekar tadi belum juga menerobos masuk lubang lorong sejak tadi. Kedua kakinya masih tertinggal di belakang. Sepertinya ia juga menghadapi jalan buntu di depan sana, hanya saja tidak mau mundur kembali.

Dua orang yang berteriak-teriak tadi benar-benar tidak sabar lagi. Mereka masing-masing menarik sebelah kaki laki-laki kekar itu sekuat tenaga. Sejenak kemudian belasan orang menjerit kaget. Yang ditarik kembali itu ternyata sesosok tubuh yang sudah tidak berkepala lagi. Potongan leher laki-laki kekar itu masih menyemburkan darah segar. Rupanya seseorang telah menunggu di dalam terowongan dan memenggal kepala laki-laki bertubuh kekar itu.

Pada saat itulah Linghu Chong melihat seseorang duduk di sudut gua. Di bawah cahaya obor yang remang-remang samar-samar orang itu seperti Ren Yingying. Karena senangnya ia pun berlari ke sana, namun baru beberapa langkah lantas bertumbukan dengan desakan banyak orang. Sekuat tenaga Linghu Chong mendorong ke depan. Namun, keadaan orang-orang itu sudah sangat panik dan kacau. Mereka sudah kehilangan akal sehat. Bagaikan orang kalap mereka menerjang kian-kemari tak menentu. Ada yang memutar senjatanya secara serabutan, ada yang berteriak-teriak seperti orang gila, ada yang merangkul orang lain tanpa mau melepaskan, ada pula yang merangkak-rangkak di tanah sambil mengerang-erang.

Baru saja Linghu Chong maju dua-tiga langkah kedua kakinya lantas dirangkul orang. Ia menepuk keras satu kali pada kepala orang itu sampai menjerit kesakitan. Namun, bukannya melepaskan tangan, orang itu bahkan memeluk lebih kencang.

“Lepaskan! Kalau tidak akan kubunuh kau!” bentak Linghu Chong.

Mendadak betisnya terasa sakit, rupanya karena digigit orang itu. Terkejut dan gusar hati Linghu Chong dibuatnya. Dilihatnya keadaan orang-orang itu sudah semakin gila. Obor di dalam gua semakin sedikit pula. Kini yang menyala hanya tinggal dua obor saja, lebih-lebih tergeletak di tanah.

“Ambil obor itu, ambil obor itu, lekas!” seru Linghu Chong.

Namun, seorang pendeta gemuk terbahak-bahak sambil mengangkat sebelah kakinya. Seketika salah satu obor itu pun diinjaknya hingga padam. Tanpa pikir lagi Linghu Chong mengangkat pedangnya. Sekali tebas ia pun memenggal kepala orang yang memeluk kedua kakinya itu. Tiba-tiba pandangannya menjadi gelap. Rupanya api obor yang terakhir pun sudah padam pula.

Begitu semua obor padam, suasana di dalam gua menjadi sunyi. Semuanya kebingungan oleh perubahan yang mendadak ini. Sekejap kemudian, keributan kembali terjadi. Orang-orang itu kembali berteriak-teriak dan menjerit-jerit seperti orang gila.

Diam-diam Linghu Chong, “Hari ini rasanya tidak ada lagi kesempaatan untuk bisa keluar dengan selamat. Tapi untungnya, aku bisa mati bersama Yingying,” Karena berpikiran demikian, hatinya tidak lagi merasa takut, tapi malah berbalik senang. Perlahan-lahan ia mencoba maju menuju ke tempat Ren Yingying tadi berada.

Namun, baru beberapa langkah, mendadak dari samping ada orang berlari dan menabraknya dengan keras. Rupanya tenaga dalam orang ini sangat kuat. Tumbukannya yang keras membuat Linghu Chong terdorong mundur dan hampir jatuh terduduk. Untung ia masih sempat menahan diri dan memutar kembali. Segera ia pun menyelinap lagi ke arah Ren Yingying duduk tadi. Apa yang terdengar olehnya hanya suara jerit tangis dan bentakan melulu disertai benturan berpuluh-puluh senjata.

Dalam keadaan gelap gulita, semua orang menjadi bingung dan gelisah. Hampir semuanya sudah setengah gila ingin mencari selamat sendiri-sendiri. Beberapa di antara mereka memang tokoh sepuh yang berpengalaman dan bisa berpikir panjang. Namun, menghadapi sambaran senjata orang lain yang sedang kalap, mau tidak mau mereka terpaksa harus mengangkat senjata untuk menjaga diri. Maka itu yang terdengar hanya suara benturan senjata yang nyaring dan jeritan ngeri tak terputus-putus. Menyusul kemudian ada orang merintih kesakitan dan mencaci maki, jelas banyak di antaranya yang terluka oleh serangan membabi buta kawan sendiri.

Meskipun ilmu pedang Linghu Chong sangat tinggi juga tidak berdaya menghadapi keadaan seperti itu. Setiap saat ia pun bisa terluka oleh serangan yang sukar diketahui dari mana datangnya. Tiba-tiba pikirannya tergerak. Segera ia pun mengangkat pedang dan memutarnya dengan kencang untuk melindungi tubuh bagian atas. Selangkah demi selangkah ia bergesar mendekati dinding gua. Asalkan dinding gua bisa teraba, ia merasa lebih aman. Dengan berjalan merapat di dinding tentu ia akan lebih terhindar dari bahaya-bahaya yang mengancam. Apabila merambat di dinding sedikit demi sedikit tentu juga bisa secepatnya bergabung dengan Ren Yingying di sebelah sana.

Linghu Chong dan Ren Yingying melihat tiga perguruan dalam gua.

(Bersambung)