Bagian 46 - Seni Minum Arak

Zu Qianqiu menawarkan arak dalam cawan miliknya.

Berkat hembusan angin yang cukup kencang membuat kapal melaju dengan cepat menuju hilir sungai. Memasuki senja, rombongan telah mendekati kota Lanfeng. Si jurumudi telah menurunkan jangkar dan segera menyiapkan makan malam. Selagi mereka hendak bersantap, tiba-tiba terdengar suara orang berseru lantang di daratan, “Permisi, numpang tanya! Apakah para kesatria dari Perguruan Huashan berada di dalam kapal ini?”

Sebelum Yue Buqun menjawab, Dewa Ranting Persik sudah mendahului berteriak, “Benar, para kesatria gagah dari Lembah Persik dan Perguruan Huashan berada di kapal ini. Ada urusan apa?”

“Syukurlah kalau demikian,” seru orang itu gembira. “Kami sudah menunggu sehari semalam di sini. Ayo, lekas, lekas kita bawa ke sana!”

Terlihat belasan orang laki-laki kekar terbagi dalam dua barisan berjalan keluar dari sebuah pondok beratap jerami dengan memikul belasan peti berwarna merah secara berpasangan. Seorang laki-laki berbaju biru dan bertangan kosong mendekati kapal, lalu berkata sambil memberi hormat, “Majikan kami mendengar bahwa Pendekar Linghu sedang tidak enak badan. Beliau merasa ikut prihatin. Sebenarnya majikan kami ingin datang menjenguk langsung, namun sayang ada urusan lain di tempat jauh yang tidak bisa ditinggalkan. Maka, majikan kami hanya bisa memberi perintah melalui merpati pos kepada kami supaya mengantarkan sedikit hadiah kepada Pendekar Linghu. Mohon Pendekar Linghu sudi menerima.”

Dua barisan orang kekar itu lantas berjalan ke atas kapal. Belasan peti merah tersebut mereka letakkan di atas geladak kapal.

Linghu Chong berseru keheranan. Ia lalu bertanya, “Aku yang bernama Linghu Chong. Bolehkah aku bertanya siapakah majikan kalian yang mulia? Sungguh aku merasa tidak pantas menerima hadiah-hadiah ini.”

Laki-laki berbaju biru menjawab, “Semoga Pendekar Linghu mendapat keberuntungan dan lekas pulih kembali. Untuk itu kami harap Pendekar Linghu suka menjaga diri baik-baik.” Usai berkata demikian, orang itu memberi hormat dan kemudian melangkah pergi.

Linghu Chong yang masih terheran-heran pun berkata sendiri, “Sungguh aneh. Entah siapa orang yang telah mengirimkan hadiah-hadiah ini untukku.”

Kelima Dewa Lembah Persik tidak mampu menahan diri dan segera berkata bersamaan, “Ayo kita buka saja semuanya!”

Kakek-kakek aneh itu lantas berhamburan maju dan membuka tutup peti-peti merah tersebut. Tampak sebagian berisi macam-macam makanan lezat. Ada panggang ayam, daging babi, dan makanan lain yang cocok untuk minum arak. Selain itu ada pula ginseng, tanduk rusa, sarang burung walet, jamur emas, dan obat-obatan lain yang tidak ternilai harganya. Dua peti terakhir berisi penuh dengan emas dan perak. Sepertinya disediakan sebagai bekal perjalanan Linghu Chong. Meskipun tadi si laki-laki berbaju biru menyebutkan “sedikit hadiah” namun pada kenyataannya sama sekali tidak dapat disebut sedikit.

Begitu melihat kue, manisan, buah-buahan, dan berbagai makanan di dalam peti tersebut, kelima Dewa Lembah Persik tanpa disuruh segera mengambil dan memasukkannya ke dalam mulut sambil berteriak-teriak, “Enak sekali! Sungguh lezat!”

Linghu Chong memeriksa setiap peti dengan saksama namun sama sekali tidak menemukan adanya kartu nama ataupun catatan dan tanda pengenal sehingga ia tidak menemukan petunjuk dari mana sebenarnya hadiah-hadiah tersebut berasal.

Segera ia berkata kepada Yue Buqun, “Guru, urusan ini benar-benar membuat saya bingung. Pengirim hadiah ini tampaknya tidak punya maksud jahat, juga tidak sedang bergurau dengan kita.” Usai berkata demikian ia lantas mengambilkan makanan tersebut untuk guru dan ibu-gurunya, serta adik-adik seperguruan semua.

Yue Buqun mengamati Enam Dewa Lembah Persik yang sepertinya baik-baik saja dan tidak mengalami tanda-tanda keracunan pada wajah mereka. Ia lalu bertanya, “Apakah kau punya kawan persilatan yang tinggal di daerah sini?”

Linghu Chong berpikir sejenak, kemudian menggeleng sambil menjawab, “Tidak ada.”

Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara derap kaki kuda yang cukup ramai. Terlihat ada delapan orang penunggang kuda tiba. Seorang di antaranya berseru, “Apakah Pendekar Linghu dari Perguruan Huashan ada di sini?”

“Ya, ya! Dia ada di sini!” seru Enam Dewa Lembah Persik bersamaan. “Barang enak apa lagi yang kalian antar kemari?”

“Ketua perkumpulan kami mendengar perihal kedatangan Pendekar Linghu di kota Lanfeng. Beliau juga mendengar bahwa Pendekar Linghu gemar minum arak. Maka, kami diperintah untuk mencari enam belas macam arak pilihan untuk kemudian khusus diantar kemari. Semoga Pendekar Linghu dapat menikmatinya sebagai teman perjalanan,” kata orang tadi.

Sesudah dekat, terlihat pada pelana kedelapan ekor kuda masing-masing tergantung dua guci arak. Pada setiap guci terdapat label bertuliskan nama arak yang bersangkutan, seperti Arak Istana Bermutu Tinggi, Arak Fen Unggulan, ada pula Arak Shaoxing Merah. Ternyata keenam belas guci arak itu masing-masing berisi jenis arak yang berbeda pula. Linghu Chong merasa bahwa tidak ada hadiah yang lebih baik daripada enam belas guci arak tersebut. Ia lalu memberi hormat dan berkata, “Maafkan atas kebodohanku ini. Mohon diberi tahu dari perkumpulan manakah saudara-saudara ini berasal? Siapa pula nama Saudara yang terhormat?”

Orang itu tertawa dan menjawab, “Ketua perkumpulan kami telah berpesan agar kami jangan sampai menyebutkan nama perkumpulan kepada Pendekar Linghu. Ketua kami berkata bahwa hadiah dari perkumpulan kami sangat kecil sehingga jika kami menyebutkan nama perkumpulan kami tentu hanya akan membuat malu saja.” Begitu ia memberi isyarat, serentak para penunggang kuda lainnya pun mengangkat guci-guci arak itu ke atas geladak kapal.

Dari dalam kabin kapal Yue Buqun mengamat-amati kedelapan orang itu. Mereka semua terlihat sangat cekatan. Masing-masing tangan membawa sebuah guci arak dan kaki mereka dapat melompat ke atas kapal dengan gesit dan ringan. Dari gerakan mereka tidak ada yang istimewa sehingga dapat dipastikan mereka bukan berasal dari suatu perguruan yang sama, melainkan dari sebuah perkumpulan. Hanya saja, mereka tidak mau menyebutkan dari perkumpulan mana mereka berasal.

Setelah mengusung keenam belas guci arak tersebut ke atas kapal, kedelapan orang itu lantas memberi hormat kepada Linghu Chong, kemudian melompat ke atas kuda masing-masing dan melaju pergi dengan cepat.

Linghu Chong tersenyum kepada Yue Buqun dan berkata, “Guru, kejadian ini benar-benar sangat aneh. Entah siapakah yang sengaja bercanda dengan mengirim arak sebanyak ini?”

“Apakah ini perbuatan Tian Boguang? Ataukah mungkin Biksu Bujie?” ucap Yue Buqun sesudah termenung sejenak.

“Benar juga. Kelakuan kedua orang itu memang aneh dan sukar diduga. Bisa jadi ini hasil perbuatan mereka,” jawab Linghu Chong. “Hei, Enam Dewa Lembah Persik, kita punya banyak arak. Apakah kalian tidak ingin minum?”

“Tentu saja! Tentu saja! Mana mungkin kami tidak mau?” sahut Enam Dewa Lembah Persik bersamaan.

Dewa Akar Persik dan Dewa Dahan Persik masing-masing langsung mengangkat sebuah guci arak, kemudian menuang isinya ke dalam mangkuk. Seketika bau wangi pun menusuk hidung. Tanpa segan-segan keenam orang aneh itu lantas meneguk sendiri arak enak itu.

Linghu Chong juga menuang semangkuk dan disuguhkannya kepada Yue Buqun, “Guru, silakan mencicipi. Arak ini kelihatan enak.”

Yue Buqun hanya mengerutkan kening.

Lao Denuo segera menanggapi, “Guru, tiada salahnya kalau kita tetap berhati-hati. Kita tidak tahu arak ini pemberian siapa. Siapa tahu di dalam arak ini terdapat sesuatu yang mencurigakan?”

“Benar juga,” jawab Yue Buqun ambil mengangguk. “Chong’er, lebih baik kita berhati-hati.”

Namun begitu mencium bau arak yang wangi itu, Linghu Chong merasa tidak tahan lagi. Sambil tertawa ia berkata, “Umur saya tidak lama lagi. Jika arak ini mengandung racun juga tidak masalah bagi saya.” Usai berkata demikian ia lantas mengangkat mangkuk dengan kedua tangan. Hanya beberapa kali teguk saja seluruh isi mangkuk itu sudah berpindah ke dalam perutnya.

Sambil menjilat-jilat bibir pemuda itu memuji, “Hm, arak bagus! Arak bagus!”

Tiba-tiba terdengar suara orang memuji dari tepi sungai, “Arak bagus! Sungguh menakjubkan!”

Linghu Chong segera menoleh ke arah datangnya suara. Tampak di bawah pohon Liu ada seorang laki-laki berpakaian sastrawan yang kotor dan lusuh. Tangan kanan laki-laki itu sedang menggoyang-goyang sebuah kipas rusak, sambil kepalanya mendongak dan mencium bau arak yang tersebar dari arah kapal. Ia kemudian memuji lagi, “Benar-benar arak yang sedap!”

Linghu Chong tertawa dan menyapa si sastrawan, “Saudara belum mencicipi, bagaimana bisa mengetahui baik atau jeleknya arak ini?”

“Dari baunya saja aku sudah tahu kalau itu adalah Arak Fen Unggulan yang sudah berumur enam puluh dua tahun,” jawab si sastrawan dekil.

Wawasan Linghu Chong dalam memahami arak telah berkembang pesat di atas rata-rata setelah ia menerima pelajaran dari Lu Zhuweng di Pondok Bambu Hijau. Sebenarnya ia sudah menduga kalau Arak Fen Unggulan yang ia minum tadi berusia sekitar enam puluh tahun, namun sungguh aneh si sastrawan dengan yakin bisa menebak kalau arak itu berusia enam puluh dua tahun. Mungkin saja si sastrawan terlalu berlebihan. Berpikir demikian, ia pun berkata, “Jika Saudara tidak menolak, silakan naik kemari untuk minum beberapa cawan.”

Si sastrawan dekil menggeleng dan berkata, “Aih, kita belum saling kenal, hanya secara kebetulan saja bertemu di sini. Dengan mencium bau arak dari sini saja aku sudah mengganggu, mana mungkin aku berani mencicipi arak Saudara yang enak itu? Aku sungguh tidak berani, tidak berani!”

“Pepatah mengatakan, Di atas samudra, setiap orang adalah saudara,” ujar Linghu Chong sambil tertawa. “Dari ucapan Saudara tadi jelas Saudara adalah sesepuh ahli arak. Justru aku ingin minta beberapa petunjuk dari Tuan. Silakan naik ke atas perahu dan jangan segan-segan lagi. Di kapal ini juga ada guruku, Tuan Yue, dan ibu-guruku, Nyonya Yue.”

Mendengar itu, perlahan-lahan si sastrawan menyusuri papan titian ke atas kapal. Sesudah berhadapan ia membungkuk dan memberi hormat, kemudian berkata, “Aku bermarga Zu, sama seperti dalam kata ‘zuzong’ yang berarti ‘kakek moyang’. Aku adalah keturunan jauh Zu Ti dari zaman Dinasti Han, yang selalu bangun pagi untuk berlatih setiap mendengar ayam berkokok. Namaku adalah Qianqiu, yang berarti seribu musim semi, sebagai kiasan panjang umur. Mohon dijawab siapakah marga Saudara yang mulia, dan nama Saudara yang harum?”

“Margaku rangkap, yaitu Linghu, dan namaku tunggal, yaitu Chong,” jawab Linghu Chong.

“Hmm, marga yang bagus, namanya juga baik,” ujar Zu Qianqiu. “Pada zaman Dinasti Tang, ada tokoh besar yang menjadi perdana menteri, bernama Linghu Chu, juga Linghu Xian.” Usai berkata demikian ia pun mendaratkan kaki di atas geladak kapal.

Linghu Chong tersenyum. Dalam hati ia berkata, “Aku mengundangmu minum arak. Sudah tentu kau mengumbar pujian untukku.” Kemudian ia menuangkan arak ke dalam mangkuk dan menyuguhkannya kepada Zu Qianqiu sambil berkata, “Silakan minum!”

Zu Qianqiu sendiri berusia sekitar lima puluhan. Wajahnya pucat kekuningan, matanya sayu, dan hidungnya kemerah-merahan pertanda ia sering minum arak. Bagian depan bajunya agak mengkilap karena terkena minyak. Saat ia mengulurkan tangan, tampak kuku jarinya kotor kehitaman. Tubuhnya kurus kering, namun perutnya terlihat buncit.

Ketika Linghu Chong menyuguhkan semangkuk arak, Zu Qianqiu tidak langsung menerima, namun berkata, “Saudara Linghu, meski kau memiliki arak bagus, namun sayang sekali kau tidak punya wadah yang bagus. Sungguh sangat disayangkan!”

“Di tengah perjalanan yang ada hanya mangkuk kasar dan cawan lama. Harap Tuan Zu dapat memakluminya,” ujar Linghu Chong.

“Tidak bisa begitu! Tidak bisa begitu!” kata Zu Qianqiu sambil menggeleng. “Ternyata kau belum terlalu paham seni minum arak. Kau tidak boleh mengabaikan soal wadah. Dalam seni minum arak juga harus memperhatikan cawan yang dipakai untuk minum pula. Arak tertentu harus diminum memakai cawan tertentu pula. Kalau minum arak Fen harus memakai cawan kumala. Dalam sebuah syair dari zaman Dinasti Tang menyatakan, mangkuk kumala dapat menambah keindahan warna arak.”

“Tepat sekali!” jawab Linghu Chong.

Zu Qianqiu melanjutkan sambil menunjuk sebuah guci arak, “Lihat guci itu yang berisi Arak Putih dari Timur Laut. Rasa sangat enak, namun baunya kurang harum. Maka, sebaiknya arak ini diminum memakai cawan dari cula badak. Hendaknya kau tahu bahwa cawan kumala bisa menambah keindahan warna arak, sedangkan cawan dari cula badak bisa menambah wangi bau arak. Ternyata orang zaman kuna tidak membohongi kita.”

Di pinggir kota Luoyang, Linghu Chong telah mendapatkan pelajaran dari Lu Zhuweng mengenai berbagai macam jenis arak ternama, baik itu asal-usul, aroma, ataupun bagaimana cara pembuatannya. Namun mengenai wadah untuk seni meminum arak, ia sama sekali tidak mendapat pengetahuan. Kini begitu mendengar Zu Qianqiu berbicara dengan penuh keyakinan, membuat pemuda itu bagaikan mendapat pencerahan.

Zu Qianqiu melanjutkan, “Untuk meminum arak dari buah anggur, sebaiknya memakai cawan kemilau. Puisi dari zaman kuna berbunyi, ‘Arak anggur yang istimewa telah memenuhi cawan kemilau. Maksud hati hendak meminum, namun suara musik pipa telah memanggilku kembali memacu kuda.’ Arak anggur berwarna kemerah-merahan, kurang menunjukkan semangat kepahlawanan jika diminum kaum laki-laki seperti kita. Namun jika arak anggur dituang ke dalam cawan kemilau, maka warnanya menjadi merah menyala seperti darah. Meminum arak seperti meminum darah. Yue Fei menulis dalam puisinya, ‘Cita-citaku setinggi langit, ingin memakan daging bangsa Hu untuk penawar rasa lapar, dan sambil bersenda gurau aku ingin meminum darah Xiongnu untuk pembunuh rasa haus.’ Benar-benar hebat!”

Linghu Chong hanya bisa mengangguk-angguk. Pengetahuannya mengenai seni sastra sangat terbatas, sehingga saat Zu Qianqiu membacakan beberapa puisi kuna, ia sering tidak memahami apa isinya. Namun begitu sampai pada kalimat “sambil bersenda gurau aku ingin meminum darah Xiongnu untuk pembunuh rasa haus” benar-benar membuat semangatnya bangkit karena menurutnya, kalimat ini benar-benar menggelorakan jiwa kepahlawanan.

Zu Qianqiu kemudian menunjuk sebuah guci dan berkata, “Arak gandum adalah arak paling tua dalam sejarah umat manusia. Yi Di yang hidup di zaman Dinasti Xia pada masa kepemimpinan Raja Yu telah menemukan cara pembuatan arak jenis ini. Ketika Raja Yu meminumnya, ia sangat menyukai rasanya. Saudara Linghu, pada umumnya orang-orang berpengetahuan sempit, hanya mengetahui kalau Raja Yu telah berhasil mengendalikan banjir besar, hingga sangat dihormati sepanjang masa bahkan di alam baka. Namun sesungguhnya penemuannya yang lebih besar bukanlah cara pengendalian banjir. Kau tahu apakah itu?”

“Cara pembuatan arak!” sahut Linghu Chong dan Enam Dewa Lembah Persik bersamaan.

“Tepat sekali!” kata Zu Qianqiu yang kemudian diikuti suara gelak tawa mereka berdelapan.

“Untuk meminum arak gandum harus memakai cangkir jue yang terbuat dari perunggu supaya kesan antik tetap terjaga,” lanjut Zu Qianqiu. “Sedangkan untuk arak beras, meskipun terbuat dari beras pilihan,  memang rasanya lezat tetapi kurang manis dan terlalu ringan. Untuk meminumnya, kita perlu menggunakan gantang besar supaya dapat memperlihatkan kesan gagah dan wibawa.”

Linghu Chong menukas, “Aku hanyalah orang pedalaman yang kurang berpendidikan. Aku sama sekali tidak tahu kalau ada hubungan sedemikian rupa antara arak dengan wadah untuk meminumnya.”

Zu Qianqiu lalu menepuk pelan sebuah guci arak yang bertuliskan nama “Arak Seratus Rumput”. Ia kemudian berkata, “Untuk membuat Arak Seratus Rumput, seseorang harus mengumpulkan berbagai macam jenis rumput dan merendamnya dalam arak bermutu tinggi. Hal ini akan membuat aroma arak bertambah wangi, sehingga yang menciumnya seperti berjalan di tengah padang rumput. Sebelum meminum saja sudah membuat mabuk. Untuk meminum Arak Seratus Rumput, harus menggunakan cangkir yang terbuat dari rotan tua berusia seratus tahun, yang dapat menambah wangi aroma arak.”

“Mencari rotan tua berusia seratus tahun tentu sangat sulit,” kata Linghu Chong menanggapi.

“Saudara Linghu, apa yang kau katakan itu tidak benar,” ujar Zu Qianqiu dengan wajah bersungguh-sungguh. Dibandingkan dengan rotan tua berusia seratus tahun, arak tua berusia seratus tahun jauh lebih sulit ditemui. Coba bayangkan, kau bisa pergi ke hutan belantara nun jauh di sana untuk menemukan rotan tua berusia seratus tahun. Namun terhadap arak berusia seratus tahun, tentu setiap orang ingin meminumnya. Setelah diminum tentu akan habis begitu saja, sedangkan cangkir yang terbuat dari rotan tua berusia seratus tahun masih bisa digunakan ribuan kali, dan tetap ada.”

“Ah, tepat sekali! Aku sungguh bodoh. Terima kasih atas pencerahan ini,” jawab Linghu Chong.

Sejak tadi Yue Buqun memerhatikan setiap perkataan Zu Qianqiu yang terkesan berlebihan tetapi jika dipikirkan memang masuk akal. Saat itu ia melihat Dewa Ranting Persik, Dewa Dahan Persik, dan yang lain sedang sibuk membuka tutup guci Arak Seratus Rumput dan membiarkan isinya berceceran membasahi meja, seolah mereka tidak menyadari betapa bernilainya arak tersebut. Meskipun Yue Buqun tidak terlalu suka minum arak, namun ia dapat mencium bau arak tersebut sangat wangi dan menyengat. Ia sadar kalau arak tersebut golongan kelas satu, namun sungguh sayang kalau disia-siakan Enam Dewa Lembah Persik begitu saja.

Terdengar Zu Qianqiu melanjutkan, “Untuk meminum Arak Shaoxing Merah, kita gunakan cawan porselen kuna, dan yang paling baik adalah cawan dari Dinasti Song Utara. Cawan dari Dinasti Song Selatan juga bisa digunakan, namun mutunya lebih rendah. Cawan dari zaman Lima Dinasti memang yang paling baik, namun sudah sangat langka. Kalau cawan dari Dinasti Yuan agak kasar dan tidak aturan. Untuk meminum Arak Bunga Pir, tentu saja harus menggunakan cawan dari zamrud. Bai Yuji dalam puisinya yang berjudul Pemandangan Musim Semi di Hangzhou berkata, ‘Kain lengan baju warna merah yang dipakai gadis penenun sutra mencerminkan daun pohon kesemak, dan bendera hijau zamrud pada kedai arak mengimbangi Arak Bunga Pir.’ Coba bayangkan, kedai arak di Hangzhou menjual Arak Bunga Pir dan mereka memasang bendera hijau zamrud di luar. Warnanya benar-benar membuat warna arak semakin menyala. Nah, apabila kita ingin meminum Arak Embun Kumala, maka dapat menggunakan cawan kaca bening. Dalam arak jenis ini terdapat gelembung udara yang jika dilihat dari cawan kaca bening akan terlihat semakin indah, seperti manik-manik.”

“Tut… tut… tut…! Kau hanya meniup terompetmu sendiri!” tiba-tiba terdengar suara seorang gadis menyela pembicaraan. Ia adalah Yue Lingshan yang berkata sambil menunjuk-nunjuk pipi kanannya.

“Shan’er, kau jangan lancang!” bentak Yue Buqun. “Apa yang dikatakan Tuan Zu masuk akal.”

“Masuk akal bagaimana?” balas Yue Lingshan. “Kalau minum arak sekadar untuk bersenang-senang atau membangkitkan semangat memang boleh saja. Tapi kalau siang dan malam menenggak arak melulu dengan bermacam-macam aturan yang dinamakan seni segala, apakah itu perbuatan seorang kesatria besar?”

“Ucapan nona ini jelas salah,” kata Zu Qianqiu. “Apakah Liu Bang bukan seorang kesatria besar? Jika bukan karena ia sedang mabuk dan berhasil memenggal seekor ular putih, mana mungkin ia bisa mendirikan Dinasti Han yang turun-temurun sampai ratusan tahun? Bukankah Fan Kuai juga seorang kesatria besar? Dalam Perjamuan Hongman, ia telah mengiris daging di atas perisai dan minum arak memakai topi perang. Bukankah tindakannya itu mencerminkan kegagahannya?”

“Jika Tuan Zu sudah tahu arak-arak di sini bagus semua, dan juga kau katakan kalau kaum kesatria suka minum arak, lantas mengapa sejak tadi tidak juga minum?” ujar Linghu Chong dengan tertawa.

Zu Qianqiu menjawab, “Sejak tadi aku sudah bilang, kalau minum arak tanpa memakai wadah yang tepat hanya akan menyia-nyiakan arak bagus saja.”

“Ah, dari tadi kau hanya membual tentang cawan zamrud, cawan kemilau, cawan cula badak, atau apapun namanya. Di dunia ini mana ada cawan arak seperti itu?” tiba-tiba Dewa Dahan Persik mengejek. “Seandainya benar-benar ada paling-paling hanya satu-dua macam saja. Siapa orangnya yang mampu memiliki cawan selengkap itu?”

“Seorang pria berbudi yang anggun, apalagi seorang penyair, yang sangat peduli terhadap nilai arak bagus sudah tentu memilikinya,” jawab Zu Qianqiu. “Kalau minum gaya keledai seperti kalian, tentu bisa memakai sembarangan wadah. Bisa memakai mangkuk besar atau cawan kasar seadanya.”

“Memangnya kau ini seorang pria berbudi yang anggun?” tanya Dewa Daun Persik.

“Hm, tidak terlalu banyak, juga tidak terlalu sedikit, aku memiliki ciri-ciri pria berbudi yang anggun,” jawab Zu Qianqiu.

“Hahaha. Jika begitu, cawan untuk meminum kedelapan macam arak bagus ini ada berapa macam yang kau punya?” tanya Dewa Daun Persik sambil bergelak tertawa.

“Dikatakan banyak juga tidak, dikatakan sedikit juga tidak. Tapi untuk setiap jenis aku membawanya,” sahut Zu Qianqiu.

“Pembual! Pembual!” teriak Enam Dewa Lembah Persik bersamaan.

“Bagaimana kalau kita bertaruh saja?” ajak Dewa Akar Persik tiba-tiba. “Jika kau benar-benar membawa kedelapan macam cawan itu, biarlah nanti akan kami makan satu demi satu cawan-cawan itu ke dalam perut. Sebaliknya kalau kau tidak punya cawan yang kau katakan itu, lantas bagaimana?”

“Jika begitu aku yang akan memakan cawan dan mangkuk arak yang kasar ini satu per satu ke dalam perutku,” sahut Zu Qianqiu.

“Bagus, bagus!” sorak Enam Dewa Lembah Persik. “Coba kita lihat bagaimana dia….”

Belum selesai mereka berkata, tiba-tiba Zu Qianqiu sudah mengeluarkan sebuah cawan dari balik bajunya. Cawan itu halus mengkilap, jelas merupakan sebuah cawan kumala yang sangat indah, putih seperti susu kambing.

Enam Dewa Lembah Persik sangat terkejut sehingga tidak melanjutkan olok-olok mereka. Mereka melihat Zu Qianqiu kembali mengeluarkan cawan dari balik bajunya. Berturut-turut ia mengeluarkan cawan zamrud, cawan cula badak, cawan rotan tua, cawan perunggu, cawan kemilau, cawan kaca bening, dan cawan porselen kuna. Tidak berhenti sampai di situ, Zu Qianqiu terus menerus mengeluarkan cawan jenis lain. Ada cawan emas gemerlapan, ada cawan perak berukir indah, ada cawan batu berwarna-warni, ada pula cawan gading gajah, cawan gigi harimau, cawan kulit kerbau, cawan bumbung bambu, cawan kayu merah tua, dan lain-lain. Ada yang berukuran besar, ada yang berukuran kecil; satu sama lain tidak sama.

Tentu saja semua yang melihat terkesima. Siapa pun tidak menduga bahwa di balik baju si sastrawan miskin ternyata tersimpan cawan arak sebanyak itu.

“Sekarang bagaimana?” tanya Zu Qianqiu dengan suara bangga kepada Dewa Akar Persik.

Dewa Akar Persik terlihat sedih. Ia berkata, “Aku kalah. Biarlah kumakan kedelapan cawan arak itu.” Usai berkata ia pun mengambil cawan rotan tua, dan langsung menggigitnya sampai patah jadi dua. Setelah itu ia mengunyah benda tersebut mentah-mentah dan sesaat kemudian sudah masuk ke dalam perutnya.

Saat semua orang terperanjat melihat pemandangan itu, Dewa Akar Persik sudah menjulurkan tangan hendak mengambil cawan cula badak. Tiba-tiba Zu Qianqiu mengayunkan tangan kirinya ke bawah untuk memukul pergelangan Dewa Akar Persik. Dewa Akar Persik pun menggeser tangannya, kemudian berbalik hendak memegang pergelangan Zu Qianqiu. Namun Zu Qianqiu segera menyentilkan jari tengah ke arah telapak tangan lawan. Dewa Akar Persik terkejut dan lekas-lekas menarik kembali tangannya, sambil berseru, “Hei, kenapa kau tidak ingin aku memakannya?”

“Sudahlah, aku mengaku kalah. Anggap saja kedelapan cawanku ini kau santap masuk ke dalam perutmu. Kalau kau makan semua, aku yang rugi,” jawab Zu Qianqiu. Mendengar itu semua orang pun tertawa geli.

Pada mulanya Yue Lingshan sangat takut kepada Enam Dewa Lembah Persik. Namun sejak menyaksikan tingkah laku dan ucapan mereka yang lucu dan tidak menunjukkan kekerasan dan kekejaman, maka rasa ngeri gadis itu sedikit demi sedikit mulai pudar. Dengan memberanikan diri, ia pun bertanya, “Hei, bagaimana rasanya? Enak atau tidak rasa cawan rotan itu?”

“Pahit sekali! Apanya yang enak?” jawab Dewa Akar Persik dengan mulut masih berkecap-kecap.

Zu Qianqiu mengerutkan kening, lalu berkata, “Aduh, cawan rotan tua telah kau makan. Sekarang Arak Seratus Rumput ini harus diwadahi dengan cawan apa? Kau sudah mengacaukan rencanaku. Ah, terpaksa memakai cawan kayu merah tua ini saja untuk sementara.”

Usai berkata demikian ia lalu mengeluarkan selembar saputangan dari balik bajunya. Dengan saputangan itu ia mengusap sisa-sisa pecahan cawan rotan tua, kemudian mengelap cawan kayu merah tua luar dalam. Saputangan tersebut terlihat kotor dan lembab, sehingga cawan kayu merah tua semakin dilap bukannya menjadi bersih, justru semakin kotor.

Setelah dirasa cukup, Zu Qianqiu kemudian menaruh cawan kayu merah tua itu di atas meja yang dijajar dalam satu baris bersama ketujuh cawan yang lain. Cawan-cawan yang tidak terpakai segera dimasukkan kembali ke dalam baju. Kemudian sastrawan dekil itu menuang delapan jenis arak seperti arak Fen, arak Anggur, arak Shaoxing Merah, dan yang lain ke dalam delapan cawan sesuai penjelasannya tadi.

Setelah menuang arak, Zu Qianqiu menghela nafas lega, kemudian berkata, “Saudara Linghu, kedelapan cawan arak ini sudah kuisi penuh. Silakan kau minum satu per satu. Setelah selesai, aku akan minum delapan cawan juga. Setelah itu kau bisa membandingkan perbedaan cita rasa arak-arak ini dengan arak-arak yang pernah kau minum memakai wadah biasa.”

“Baiklah!” sahut Linghu Chong. Ia lalu mengangkat cawan kayu merah tua. Dalam sekali teguk Arak Seratus Rumput dalam cawan itu sudah berpindah ke dalam kerongkongannya. Tiba-tiba, ia merasa arak itu sangat pedas, dan ketika masuk ke dalam perut terasa begitu panas. Dengan perasaan sangat terkejut ia berpikir, “Aneh, mengapa rasa arak ini sedemikian aneh?”

Terdengar Zu Qianqiu berkata, “Cawan-cawan arakku ini merupakan benda pusaka di mata kaum pecinta arak. Sebelum ini aku pernah berjumpa para pengecut yang tidak berani minum cawan kedua karena arak pada cawan pertama terasa aneh. Terus terang, selama ini aku belum pernah melihat ada orang yang sanggup minum delapan cawan berturut-turut sampai tuntas.”

Linghu Chong tertegun dan berpikir, “Hidupku tidak akan lama lagi. Andaikan di dalam arak ini terdapat racun juga aku tidak peduli. Apa bedanya mati karena sakit atau karena racun? Mati lebih baik daripada diejek orang ini.”

Maka Linghu Chong pun mengangkat cawan kedua dan ketiga kemudian meminum isinya sampai habis. Ia merasa arak yang satu terasa pahit, sedangkan yang lain terasa pesing, ama sekali tidak terasa seperti arak enak.

Ketika hendak mengambil cawan keempat, tiba-tiba terdengar Dewa Akar Persik berseru kesakitan, “Aduh, celaka! Perutku rasanya panas seperti dibakar!”

“Kau telah memakan mentah-mentah cawan rotan tua, sudah tentu perutmu kesakitan,” kata Zu Qianqiu dengan tertawa. “Cawan rotan tua keras seperti baja. Entah bagaimana perutmu bisa mencerna cawanku? Kau harus banyak minum obat cuci perut agar dapat terkuras keluar. Kalau tidak dapat keluar terpaksa kau harus meminta pertolongan Ping Yizhi si Tabib Sakti Pembunuh untuk membedah perutmu dan mengeluarkan cawan itu.”

Mendengar itu Linghu Chong pun berpikir, “Ada yang tidak beres pada kedelapan cawan ini. Dewa Akar Persik telah memakan cawan rotan tua. Seandainya rotan tua adalah benda keras seperti baja yang tidak bisa dicernakan, lantas mengapa bisa menimbulkan rasa panas seperti dibakar? Tapi, ah, seorang laki-laki sejati memandang kematian seperti pulang ke rumahnya, kenapa harus takut? Semakin ampuh racunnya justru semakin baik bagiku.”

Maka sekali teguk ia kembali menghabiskan isi secawan arak pula.

“Kakak Pertama, arak itu jangan diminum lagi! Jangan-jangan di dalamnya terdapat racun,” tiba-tiba Yue Lingshan berseru demikian. “Kau pernah membutakan mata lima belas orang. Hendaknya kau waspada mereka menuntut balas kepadamu.”

“Tuan Zu ini seorang laki-laki yang suka berterus terang, rasanya tidak mungkin meracuni diriku. Lagipula, kalau dia mau membunuhku bisa segera dilakukannya. Untuk apa harus banyak membuang waktu dan pikiran?” kata Linghu Chong sambil tersenyum sedih. Dalam hati ia justru berharap di dalam arak tersebut benar-benar ada racun mematikan. Jika tubuhnya nanti roboh dan sekarat, ia ingin tahu apakah Yue Lingshan akan bersedih atau tidak.

Dengan berpikir demikian pemuda itu pun kembali meminum dua cawan arak. Arak pada cawan keenam ini terasa asam dan asin, bahkan agak berbau bacin. Rasanya benar-benar tidak pantas disebut sebagai “arak bagus”, bahkan sama sekali tidak pantas disebut “arak”. Waktu mengalir masuk ke dalam perut, mau tidak mau keningnya pun berkerut.

Melihat Linghu Chong minum enam cawan berturut-turut, Dewa Dahan Persik penasaran dan ingin ikut mencoba. Ia pun berkata, “Sisa dua cawan itu berikan saja kepadaku.” Bersamaan dengan itu, tangannya pun menjulur untuk mengambil cawan ketujuh dan kedelapan.

Dengan cekatan Zu Qianqiu mengayunkan kipasnya untuk memukul punggung tangan Dewa Dahan Persik sambil berkata, “Sabar dulu! Sabar dulu! Setiap orang harus minum delapan cawan secara berurut-turut sampai habis, supaya dapat merasakan intisari arak-arak ini yang sesungguhnya.”

Dewa Dahan Persik melihat pukulan kipas tersebut disertai tenaga yang cukup kuat shingga jika mengenai sasaran mungkin bisa membuat tulangnya patah. Maka dengan gerakan cepat ia pun memutar tangan untuk merebut kipas tersebut sambil berkata, “Kalau aku ingin minum dua cawan ini, kau mau apa?”

Melihat gerakan lawan, Zu Qianqiu tiba-tiba membuka kipas tersebut dan ujungnya pun menjentik jari telunjuk Dewa Dahan Persik. Dalam keterkejutannya, Dewa Dahan Persik menarik tangannya yang terkena pukul itu. Ia merasa jarinya agak kesemutan. Sambil menjerit kesakitan, ia pun mundur satu langkah.

Zu Qianqiu berseru, “Saudara Linghu, lekas habiskan isi kedua cawan itu!”

Tanpa pikir lagi, Linghu Chong langsung meraih dua cawan terakhir dan segera menghabiskan isinya. Keduanya tidak berbau, namun yang satu terasa pedas di lidah. Bahkan tenggorokan pun terasa seperti diiris-iris dengan pisau tajam. Sementara itu arak terakhir rasanya seperti obat. Bahkan, baunya terasa sangat menyengat melebihi obat yang paling keras.

Melihat raut muka Linghu Chong terkesan aneh, Enam Dewa Lembah Persik merasa penasaran, kemudian serentak bertanya, “Bagaimana rasanya setelah kedelapan arak itu kau minum habis?”

Zu Qianqiu menyela, “Kalau kedelapan arak itu diminum bersama, sudah tentu rasanya enak sekali. Hal ini tertulis pada naskah kuna.” sela Zu Qianqiu.

“Omong kosong! Naskah kuna apa?” seru Dewa Dahan Persik.

Tiba-tiba, empat saudaranya berkelebat secepat kilat dan tahu-tahu masing-masing sudah memegangi tangan dan kaki Zu Qianqiu. Entah isyarat apa yang disampaikan Dewa Dahan Persik yang membuat keempat saudaranya maju menyerang secara mendadak? Cara yang dilakukan Enam Dewa Lembah Persik benar-benar aneh dan sangat cepat. Apa yang mereka lakukan dalam sekejap sudah membuat Zu Qianqiu berada di pihak yang kalah. Meskipun memiliki ilmu silat hebat, namun Zu Qianqiu sepertinya sulit untuk meloloskan diri.

Sekejap kemudian, tubuh Zu Qianqiu sudah terangkat ke atas. Para murid Huashan menjerit kaget karena teringat nasib Cheng Buyou yang terpotong menjadi empat oleh tindakan Enam Dewa Lembah Persik seperti itu. Sementara itu, Zu Qianqiu memeras otak untuk menyelamatkan dirinya. Tiba-tiba ia berteriak nyaring, “Di dalam arak terdapat racun! Aku punya penawarnya!”

Keempat Dewa Lembah Persik yang menangkap Zu Qianqiu itu sudah minum arak cukup banyak dari dalam guci. Begitu mendengar bahwa arak-arak tersebut mengandung racun membuat mereka tertegun. Meskipun hanya sedetik keempat orang itu lengah, namun Zu Qianqiu mampu memanfaatkannya dengan baik. Sekuat tenaga ia berteriak, “Kentut bau! Kentut bau!”

Dalam sekejap keempat Dewa Lembah Persik merasakan sesuatu terlepas dari cengkeraman tangan mereka. Selanjutnya terdengar suara benturan keras dan tahu-tahu atap kabin sudah jebol. Zu Qianqiu sendiri sudah menghilang entah ke mana. Sepertinya sastrawan miskin itu melompat ke atas dan menerobos atap kabin untuk meloloskan diri. Dewa Akar Persik dan Dewa Ranting Persik sudah tidak memegang apa-apa, sedangkan Dewa Bunga Persik dan Dewa Daun Persik masing-masing hanya tinggal memegang sepatu kotor dan butut.

Gerakan kelima Dewa Persik juga tidak kalah cepat. Serentak mereka melesat memburu ke tepi sungai, namun bayangan Zu Qianqiu sudah terlanjur lenyap tanpa jejak.

Tiba-tiba di ujung jalan sana terdengar suara seseorang berteriak, “Zu Qianqiu, kau bajingan busuk! Lekas kembalikan obatku! Kurang satu biji saja tentu akan kucincang dan kukuliti tubuhmu!”

Mendengar ada orang memaki-maki Zu Qianqiu jelas membuat kelima Dewa Lembah Persik merasa senang. Mereka pun berhenti untuk melihat siapa kiranya orang yang bisa mereka jadikan teman tersebut. Sekejap kemudian terlihat sosok seperti segumpal bola daging yang menggelinding datang mendekat. Setelah jaraknya semakin dekat barulah kelima Dewa Lembah Persik dapat mengenali kalau bola daging tersebut ternyata seorang laki-laki yang bertubuh sangat pendek dan gemuk, bahkan sulit disebut manusia. 

Orang itu bertubuh sangat aneh. Kepalanya tampak pipih, tapi sangat lebar dan menempel di atas bahu tanpa leher, bagaikan sewaktu bayi ada orang yang memukul kepalanya sehingga melesak ke bawah. Pipi, hidung, dan mulutnya pun seperti ikut tertarik pula. Melihat kedatangannya, semua orang merasa geli dan berpikir, “Tabib Ping bertubuh pendek, tapi orang ini jauh lebih pendek. Mungkin lebih tepat kalau orang ini disebut cebol.”

Jika Ping Yizhi memiliki bahu yang lebar, maka orang cebol ini memiliki dada dan punggung yang lebar. Lengan orang ini juga terlihat sangat pendek. Seperti hanya memiliki lengan bawah saja, tanpa lengan atas. Begitu pula dengan perutnya yang buncit, sepertinya hanya memiliki perut bagian atas saja.

Rombongan pembawa hadiah untuk Linghu Chong.
Zu Qianqiu si sastrawwan dekil.
Yue Lingshan memperingatkan Linghu Chong supaya hati-hati.

(Bersambung)