Bagian 91 - Menumpas Para Penyergap

Lin Pingzhi dan Yue Lingshan menulisi boneka salju.
 
Pikiran Linghu Chong menjadi kacau. Ia merenungkan kembali percakapan guru dan ibu-gurunya tadi sehingga lupa mengerahkan tenaga. Tiba-tiba arus hawa dingin datang merasuk melalui telapak tangan sehingga membuatnya menggigil. Seluruh badannya terasa kedinginan luar biasa sampai menusuk tulang. Lekas-lekas ia mengerahkan tenaga untuk menahan serangan hawa dingin tersebut. Karena tergesa-gesa, tiba-tiba saluran tenaga di bahu kiri terasa macet, terhalang, dan tidak bisa lancar. Ia menjadi gelisah dan berusaha mengerahkan tenaga lebih kuat.

Linghu Chong mempelajari Jurus Penyedot Bintang berdasarkan apa yang terukir pada dipan besi dahulu tanpa petunjuk seorang pembimbing, sehingga ada bagian-bagian penting yang sama sekali ia tidak mendapatkan penjelasan. Caranya belajar juga sekenanya. Kini, semakin ia mengerahkan tenaga, tubuhnya terasa semakin kaku dan macet. Mula-mula lengan kiri, menyusul iga kiri, pinggang kiri, dan menurun lagi hingga paha kiri juga terasa kaku. Dalam keadaan yang mengkhawatirkan itu ia bermaksud hendak berteriak minta tolong, namun mulutnya juga terasa kaku sulit dibuka sedikit pun.

Pada saat itulah terdengar suara derap kaki kuda. Kembali tempat itu didatangi dua orang penunggang kuda. Terdengar salah seorang berkata, “Di sini banyak terdapat jejak kaki kuda yang berantakan. Sepertinya Ayah dan Ibu tadi berhenti di sini.”

Linghu Chong terkejut bercampur senang, karena suara itu adalah suara Yue Lingshan. Ia berpikir, “Kenapa Adik Kecil juga datang ke sini?”

Lalu terdengar seorang lagi berkata, “Kaki Guru terluka. Kita jangan berlama-lama di sini. Lekas kita menyusul Beliau dengan mengikuti jejak-jejak kuda ini.” Suara ini jelas suara Lin Pingzhi.

Linghu Chong merenung, “Hm, tentu saja mereka berdua juga ikut datang ke Biara Shaolin. Dan sekarang mereka tentu kembali ke Gunung Huashan dengan menyusuri jalan setapak ini, mengikuti jejak kaki kuda Guru dan Ibu Guru.”

Tiba-tiba Yue Lingshan berseru, “Lin Kecil, coba lihat ke sini! Bagus sekali keempat boneka salju ini. Satu sama lain saling bergandeng tangan.”

“Di sekitar sini rasanya tidak ada penduduk. Kenapa ada yang membuat boneka salju di sini?” tanya Lin Pingzhi heran.

“Eh, bagaimana kalau kita menyusun dua boneka salju lagi?” ajak Yue Lingshan dengan tertawa.

“Boleh, kita buat satu laki-laki dan satu perempuan. Keduanya juga bergandeng tangan,” sahut Lin Pingzhi.

Segera Yue Lingshan melompat turun dari kudanya, lalu mulai mengeruk salju dan menimbunnya.

Tapi Lin Pingzhi lantas berkata, “Lebih baik kita menyusul Guru dan Ibu Guru saja. Nanti kalau sudah bertemu Beliau berdua, barulah kita membuat boneka salju.”

“Kau selalu merusak kesenangan orang,” sahut Yue Lingshan. “Meskipun kaki Ayah terluka, tapi kalau menunggang kuda tidak kelihatan. Apalagi ada Ibu yang mendampingi, kenapa kau khawatir mereka diganggu orang? Dulu sewaktu mereka berdua malang melintang di dunia persilatan, kau sendiri bahkan belum lahir.”

“Tapi sebelum kita bertemu Guru dan Ibu Guru, rasanya tidak tenteram bila bermain-main di sini,” kata Lin Pingzhi.

“Baiklah, aku menurut padamu. Tapi sesudah bertemu Ayah dan Ibu nanti, kau harus menemaniku membuat dua boneka salju yang cantik.”

“Tentu saja,” sahut Pingzhi.

Diam-diam Linghu Chong memuji ketulusan hati Lin Pingzhi yang menjawab dengan kata-kata lugas itu. Ia berpikir, “Andai saja Adik Kecil mengajakku, pasti aku akan menjawab, ‘Baiklah, akan kita buat boneka salju secantik dirimu.’ Atau bahkan, ‘Mana mungkin bisa membuat boneka salju yang lebih cantik darimu?’ – Tapi Adik Lin cuma menjawab, ‘Tentu saja.’ Hm, Adik Lin memang polos dan tenang, tidak seperti diriku yang suka bicara seenaknya. Andai saja Adik Kecil mengajakku membuat boneka salju, pasti aku akan langsung setuju. Meskipun terjadi masalah sebesar gunung juga tidak akan kuhiraukan. Anehnya, Adik Kecil sangat menurut pada Adik Lin, meski dalam hati punya keinginan lain. Mungkinkah Adik Kecil juga bisa menurut padaku tanpa membantah? Hei, Adik Lin sudah sembuh. Entah siapa yang telah melukainya, yang jelas Adik Kecil telah menuduh diriku.”

Linghu Chong mengosongkan pikiran demi untuk mendengarkan percakapan Yue Lingshan dan Lin Pingzhi, sehingga melupakan keadaan tubuhnya yang kaku. Tak disangka, yang demikian itu justru cocok dengan prinsip dasar Jurus Penyedot Bintang yang mengharuskan pikiran tenang, tidak gelisah: “Jangan berpikir apa-apa, jangan merasakan apa-apa.” Lambat laun rasa kaku pada tubuhnya menjadi berkurang.

Tiba-tiba terdengar Yue Lingshan berseru, “Baiklah, kita tidak jadi membuat boneka salju. Tapi aku mau menulis beberapa huruf pada boneka salju ini.” Usai berkata ia lantas melolos pedangnya.

Kembali Linghu Chong terkejut khawatir, “Kalau dia menulis serabutan pada tubuh kami, ini sungguh berbahaya.” Sebelum sempat berpikir lagi, mendadak terdengar suara pedang menggores berulang-ulang, sepertinya Yue Lingshan telah mengukir beberapa kata pada salju tebal yang melapisi tubuh Xiang Wentian. Ujung pedangnya terus menggeser ke samping dan akhirnya sampai pada tubuh Linghu Chong. Untung ukirannya tidak terlalu dalam sehingga tidak sampai menembus dan melukai kulit mereka berempat.

“Tulisan apa yang ia ukir pada tubuh kami?” pikir Linghu Chong dalam hati.

“Coba kau tulis juga beberapa kata,” pinta Yue Lingshan lembut.

“Baik,” jawab Lin Pingzhi. Ia sambut pedang gadis itu, lalu ikut mengukir beberapa huruf pada keempat boneka salju. Ia pun mengukir pula dari kanan ke kiri, mulai dari tubuh Xiang Wentian dan berakhir pada tubuh Linghu Chong.

Linghu Chong bertambah penasaran, “Tulisan apa lagi yang diukir Adik Lin?”

Kemudian terdengar suara Yue Lingshan berkata, “Betul, kita berdua harus seperti itu.” Keduanya lantas terdiam sampai agak lama.

Tentu saja Linghu Chong semakin heran, “Harus seperti apa? Nanti bila mereka sudah pergi dan racun dingin dalam tubuh Ketua Ren sudah bersih baru aku meronta keluar dari timbunan salju ini untuk melihat tulisan apa yang mereka ukir tadi. Tapi, ah, kalau aku bergerak tentu timbunan salju ini akan rontok dan tulisan yang mereka ukir ikut hancur. Lebih-lebih kalau kami berempat bergerak bersama-sama, tentu satu huruf pun tidak bisa diketahui lagi.”

Sejenak kemudian Linghu Chong kembali mendengar suara derap kaki kuda dari jauh. Rupanya Lin Pingzhi dan Yue Lingshan masih belum mendengarnya. Linghu Chong dapat memperkirakan jumlah kuda yang datang itu ada belasan ekor, dan pasti itu murid-murid Perguruan Huashan lainnya yang datang menyusul.

Makin lama suara kuda-kuda itu makin mendekat. Tapi Lin Pingzhi dan Yue Lingshan agaknya masih belum merasakannya.

Linghu Chong mendengar belasan penunggang kuda itu datang dari arah timur laut. Pada jarak satu sampai dua li mereka lantas berpencar. Ada sebagian yang menuju ke arah barat, kemudian membelok dan sama-sama menuju ke arah semula. “Aih, mereka berniat mengepung Adik Lin dan Adik Kecil. Pasti mereka orang-orang jahat,” pikir Linghu Chong.

Mendadak terdengar Yue Lingshan berseru, “Hei, ada orang datang!”

Menyusul kemudian terdengar suara dua anak panah melesat, diikuti dengan suara kuda meringkik pilu, kemudian roboh di tanah. Dalam hati Linghu Chong menduga ilmu silat para pendatang itu tidak lemah. Tujuan mereka juga tidak baik. Dari jauh lebih dulu mereka memanah mati kuda-kuda Lin Pingzhi dan Yue Lingshan agar keduanya tidak bisa lari jauh. Sejenak kemudian belasan orang itu sudah mendekat sambil bergelak tawa.

Yue Lingshan berseru khawatir sambil mundur selangkah. Lalu terdengar seseorang di antara para pendatang itu bertanya, “Hehe, ada dua orang adik cilik di sini. Kalian ini murid siapa dan dari perguruan mana?”

Lin Pingzhi menjawab dengan suara lantang, “Aku murid Perguruan Huashan, namaku Lin Pingzhi. Kakakku ini bermarga Yue. Selamanya kita tidak saling kenal, tapi mengapa kalian membunuh kuda-kuda kami tanpa sebab?”

“Murid Perguruan Huashan?” orang itu menegas dengan tertawa. “Jadi guru kalian adalah Tuan Yue, Si Pedang Budiman yang kalah bertanding melawan muridnya sendiri?”

Mendengar itu Linghu Chong merenung sedih, “Aku bertanding melawan Guru baru kemarin, tapi beritanya sudah menyebar ke seluruh dunia persilatan. Ini mengerikan. Sungguh dosa besar.”

Terdengar Lin Pingzhi menjawab, “Kelakuan Linghu Chong tidak baik. Berkali-kali dia melanggar peraturan. Sudah setahun yang lalu dia dipecat dari Perguruan Huashan.” Ucapannya ini bermaksud mengatakan bahwa kekalahan Sang Guru di tangan Linghu Chong merupakan kekalahan melawan orang luar, bukan pertarungan antara guru dan murid lagi.

“Hei, gadis cilik ini bermarga Yue. Ada hubungan apa dengan Tuan Besar Yue?” tanya orang itu lagi.

“Peduli apa denganku?” damprat Yue Lingshan gusar. “Kau telah memanah mati kudaku, sekarang kau harus ganti.”

“Wah, melihat galaknya, kemungkinan besar dia seorang gundik Yue Buqun,” kata orang itu sambil cengar-cengir. Serentak belasan orang kawannya ikut tertawa bergemuruh.

Mendengar kata-kata yang tidak senonoh itu, Linghu Chong berpikir, “Ucapan orang-orang ini sangat kasar, pasti bukan dari aliran lurus. Aku khawatir mereka akan mencelakai Adik Kecil.”

Sementara itu Lin Pingzhi berkata, “Tuan-tuan adalah tokoh sepuh di dunia persilatan, kenapa bicara sekotor itu? Asal tahu saja, kakak seperguruanku ini adalah putri kesayangan guruku.”

“Oh, kiranya putri Yue Buqun, haha, sama sekali tidak cocok dengan kenyataan,” ujar orang tadi sambil tertawa.

Seorang temannya lantas bertanya, “Kakak Lu, kenapa kau bilang tidak cocok dengan kenyataan?”

“Pernah kudengar orang bercerita, katanya putri Yue Buqun sangat cantik, terhitung nona paling ayu di antara angkatan muda zaman sekarang. Tapi nyatanya, cuma begini saja,” sahut si marga Lu tadi.

“Wajah gadis cilik ini memang biasa saja, tapi kulitnya putih dan halus. Kalau ditelanjangi mungkin boleh juga. Hahahahaha!” Serentak mereka tertawa bergemuruh dengan pikiran kotor.

Yue Lingshan dan Lin Pingzhi, serta Linghu Chong gusar mendengar ucapan-ucapan tidak sopan itu. Lin Pingzhi lantas mencabut pedangnya dan berkata, “Jika kalian mengeluarkan kata-kata tidak senonoh lagi, biarpun mati akan kulayani.”

Tiba-tiba seseorang berseru, “Hei, coba kalian lihat, dua sejoli cabul ini telah menulis apa di atas orang-orangan salju ini?”

Lin Pingzhi semakin tidak tahan lagi. Pedangnya lantas menusuk ke arah gerombolan itu. Maka terdengarlah suara ramai orang bertempur. Seorang musuh telah melompat turun dari kudanya untuk melayani Lin Pingzhi. Yue Lingshan juga ikut menerjang maju. Beberapa laki-laki lantas berseru, “Biar aku yang melayani gadis cilik ini!”

“Jangan ribut, jangan berebut, semuanya akan mendapat giliran,” ujar seorang tua dengan tertawa.

Linghu Chong mendengar suara beradunya senjata. Kiranya Yue Lingshan juga telah bertempur melawan musuh. Mendadak seorang laki-laki menjerit gusar menahan sakit, sepertinya ia terluka oleh pedang Yue Lingshan. Seorang laki-laki lainnya lantas berkata, “Ganas juga gadis ini. Saudara Shi, akan kubalaskan sakit hatimu.”

Di tengah suara nyaring beradunya senjata terdengar Yue Lingshan berseru, “Awas!”

Lalu terdengar suara pedang berbenturan sangat keras disusul oleh suara tertahan Lin Pingzhi.

“Lin Kecil!” seru Yue Lingshan pula. Sepertinya Lin Pingzhi telah terluka.

“Ayo kita bantai bocah ini!” seru seseorang.

“Jangan bunuh dia! Tangkap saja hidup-hidup!” seru pemimpin gerombolan. Kalau anak dan menantu Yue Buqun sudah kita bekuk, mana mungkin Si Pedang Banci bermarga Yue itu takkan tunduk kepada kita?”

Linghu Chong mencoba mendengar lagi dengan lebih cermat. Terdengar suara sambaran senjata menderu di udara, agaknya Yue Lingshan memutar pedangnya dengan kencang. Mendadak terdengar suara “trang”, lalu suara “plak” sekali lagi. Seorang laki-laki lantas mencaci maki, “Kurang ajar kau, gundik cilik!”

Mendadak Linghu Chong merasa badannya disandari seseorang, lalu terdengar suara napas Yue Lingshan tersengal-sengal. Ternyata gadis itu sedang bersandar pada tubuh boneka salju jelmaannya. Setelah terdengar suara senjata beradu lagi beberapa kali, seorang laki-laki di antaranya lantas berseru gembira, “Mana mungkin kau tidak bisa kubekuk?”

Terdengar Yue Lingshan berseru khawatir, lalu tidak terdengar lagi suara beradunya senjata. Sebaliknya, orang-orang itu saling bergelak tawa. Linghu Chong merasa Yue Lingshan yang sedang bersandar pada tubuhnya itu sedang diseret dengan paksa. Terdengar gadis itu berteriak, “Lepaskan aku, lepaskan!”

Seseorang di antaranya berkata dengan tertawa, “Saudara Min, tadi kau bilang dia berkulit putih mulus. Aku tidak percaya. Mari kita telanjangi saja, dan coba lihat dugaanmu betul atau tidak?”

Semua orang lantas bersorak gembira. Lin Pingzhi memaki dengan gusar, “Kawanan bangsat ….” mendadak ia ditendang satu kali, disusul kemudian terdengar suara kain robek.

Linghu Chong tidak tahan lagi mendengar adik kecilnya hendak dilecehkan. Tanpa menghiraukan keadaan Ren Woxing, segera ia melepaskan tangan Ren Yingying yang dipegangnya, lantas kemudian melompat keluar menghancurkan timbunan salju yang menutupi sekujur tubuhnya. Tangan kanan dipakai mencabut pedang, sedangkan tangan kiri berusaha mengusap salju yang masih menutupi matanya.

Tak disangka tangan kirinya ternyata sukar bergerak. Di tengah suara terkejut gerombolan itu, Linghu Chong sempat menggunakan pangkal lengan kanan untuk mengusap mukanya. Pandangannya menjadi terang, pedang pun menusuk ke depan. Dalam sekaligus tiga orang musuh roboh di tangannya.

Segera Linghu Chong memutar tubuh. Dua kali ayunan pedangnya kembali membinasakan dua orang musuh. Dilihatnya seorang laki-laki sedang menelikung kedua tangan Yue Lingshan ke belakang, seorang lagi dengan golok terhunus siap melawannya. Ia pun menerjang maju. Pedangnya menusuk iga laki-laki bergolok itu hingga tembus. Sekali depak ia singkirkan mayat lawan sambil mencabut pedang dari mayat tersebut. Sementara itu terdengar suara dua orang hendak menyergapnya dari belakang. Tanpa menoleh pedangnya menusuk jantung kedua orang itu. Kontan mereka pun jatuh terkapar. Tanpa berhenti ia terus menubruk maju. Pedang berkelebat, dan selanjutnya tenggorokan orang yang menelikung tangan Yue Lingshan tersebut tertembus seketika. Cengkeraman orang itu pada lengan Yue Lingshan menjadi kendur dan ia pun terkapar di atas pundak si nona. Darah segar tampak membanjir keluar dari lehernya, membuat tubuh Yue Lingshan basah kuyup oleh darah.

Sekaligus Linghu Chong telah membunuh sembilan orang dalam sekejap mata. Sisanya masih delapan orang menjadi sangat ketakutan. Mendadak pemimpin gerombolan itu berteriak dan mendahului maju sambil memutar senjatanya yang berbentuk perisai ke atas kepala Linghu Chong.

Namun dengan kecepatan luar biasa Linghu Chong mendahului menusuk sehingga pedangnya tepat menembus mata kiri orang itu sampai ke belakang. Kontan orang itu menjerit dan roboh terguling. Tidak berhenti sampai di situ, Linghu Chong kembali menebas dan menusuk berulang-ulang. Tiga orang lawan kembali terbunuh. Masih sisa empat orang yang ketakutan setengah mati. Mereka menjerit dan lari berpencar.

“Kalian berani kurang ajar pada adik kecilku, satu pun tidak boleh diampuni,” seru Linghu Chong sambil memburu maju. Dengan menggerakkan pedang dua kali, dua orang musuh pun tertembus punggungnya sampai ke dada. Karena kaki mereka sudah terlanjur berlari sekencang-kencangnya, dalam keadaan sekarat pun mereka tetap berlari sampai akhirnya jatuh tersungkur di atas salju.

Tinggal dua orang lagi yang berlari ke dua arah berbeda. Linghu Chong melemparkan pedangnya sekuat tenaga, dan secepat kilat menembus punggung orang yang sedang berlari ke arah timur sehingga terpantek di atas tanah. Linghu Chong kemudian mengejar orang terakhir yang berlari ke arah barat. Kira-kira puluhan meter jauhnya orang itu pun sudah tersusul olehnya. Jarinya bergerak menotok punggung orang itu. Namun karena ilmu silat tangan kosongnya biasa-biasa saja, orang yang dikejarnya itu hanya merasa kesakitan namun tidak sampai terluka.

Tak disangka orang itu berubah menjadi nekat. Mendadak ia memutar tubuh dan mengayunkan goloknya. Baru sekarang Linghu Chong sadar bahwa dirinya sudah tidak bersenjata lagi. Mau tidak mau hatinya merasa cemas dan segera melompat mundur. Orang itu mendesak maju dan terus menebaskan goloknya. Linghu Chong melihat pada serangan tersebut terdapat celah kelemahan yang sangat lebar. Ia bermaksud menggunakan tangan kiri sebagai pedang, namun terasa sulit untuk digerakkan. Di lain pihak, golok lawan telah menebas ke arah mukanya.

Terpaksa Linghu Chong melompat mundur. Orang itu semakin nekat dan mengayunkan goloknya dengan gencar. Tanpa senjata di tangan, Linghu Chong tidak berani gegabah. Terpaksa ia memutar balik dan berlari ke tempat semula. Terlihat olehnya Yue Lingshan memungut pedang di tanah dan berseru, “Kakak Pertama, pakailah ini!”

Yue Lingshan melemparkan pedang itu dan segera ditangkap oleh Linghu Chong yang kemudian memutar balik sambil bergelak tawa. Saat itu lawannya sudah mengangkat golok hendak mencincang, namun wajahnya berubah ngeri ketakutan melihat pedang Linghu Chong yang berkelebat. Ia pun terpaku ketakutan.

Perlahan-lahan Linghu Chong melangkah maju. Laki-laki itu semakin gemetar. Memegang senjata saja tidak kuat lagi. Goloknya pun jatuh ke tanah. Tanpa terasa ia berlutut di hadapan Linghu Chong.

“Aku tidak akan mengampunimu,” kata Linghu Chong sambil menyodorkan ujung pedangnya ke leher orang itu. Tiba-tiba pikirannya tergerak. Perlahan ia bertanya dengan suara parau, “Tulisan apa yang terdapat pada orang-orangan salju tadi?”

Dengan suara gemetar orang itu menjawab, “Tulisan tadi … berbunyi: ‘Sampai laut kering dan … dan gunung runtuh, cinta kita … cinta kita … tetap teguh.’ ”

Dengan suara datar Linghu Chong berkata, “Hm, sampai laut kering dan gunung runtuh, cinta kita tetap teguh.” Hatinya bergejolak, tangan pun gemetar. Tak kuasa menahan perasaan, ia pun mendorong pedangnya hingga menembus leher musuhnya yang terakhir itu.

Sewaktu berpaling kembali, dilihatnya Yue Lingshan sedang memapah Lin Pingzhi. Tubuh dan wajah kedua muda-mudi itu sama-sama bermandikan darah. Setelah berdiri, Lin Pingzhi lantas memberi hormat, “Terima kasih banyak atas pertolongan Pendekar Linghu.”

“Tidak masalah,” sahut Linghu Chong. “Apa lukamu parah?”

“Tidak apa-apa,” jawab Lin Pingzhi.

“Guru dan Ibu Guru menuju ke sana,” kata Linghu Chong sambil menunjuk bekas-bekas tapak kuda.

Sementara itu Yue Lingshan telah menuntun dua ekor kuda milik gerombolan tadi. Ia mendahului naik ke atas kuda dan berkata, “Mari kita menyusul Ayah dan Ibu!”

Dengan susah payah Lin Pingzhi menaiki kudanya. Ketika Yue Lingshan lewat di samping Linghu Chong, tiba-tiba ia menahan kudanya dan memandang sejenak. Perlahan Linghu Chong mengangkat kepalanya, melihat si nona menatap, dan ia pun balas memandang.

“Terima … terima kasih … Kakak ….” Yue Lingshan tidak dapat melanjutkan kata-katanya. Segera ia berpaling kembali dan melarikan kudanya menuju ke arah barat laut menyusul Yue Buqun dan Ning Zhongze.

Linghu Chong termangu-mangu melepas kepergian Lin Pingzhi dan Yue Lingshan. Sampai bayangan mereka berdua menghilang di balik hutan barulah ia menoleh ke arah Ren Woxing bertiga. Ternyata ketiganya sudah membersihkan salju yang menempel pada badan masing-masing dan memandang tajam ke arahnya.

Dengan gembira Linghu Chong berseru, “Hei, Ketua Ren, apakah aku … aku menyusahkanmu?”

“Kau memang tidak menyusahkanku, tapi dirimu sendiri yang sedang bermasalah. Bagaimana lengan kirimu?” sahut Ren Woxing.

“Untuk sementara terasa kaku. Sepertinya jalan darahku kurang lancar sehingga tangan ini tidak mau digerakkan,” kata Linghu Chong.

“Urusan ini agak sulit, biarlah kita mencari jalan keluarnya nanti,” ujar Ren Woxing. “Baru saja kau telah menyelamatkan putri Yue Buqun, anggap saja kau telah membalas budi baik perguruanmu. Untuk selanjutnya kau tidak perlu merasa berhutang budi lagi. Eh, Adik Xiang, mengapa si tua Lu makin lama makin tidak senonoh? Sampai-sampai perbuatan kotor begini juga dilakukannya?”

“Dari nadanya dapat kuduga mereka ingin membekuk kedua muda-mudi itu untuk dibawa ke Tebing Kayu Hitam,” jawab Xiang Wentian.

“Apa mungkin mereka melaksanakan perintah Dongfang Bubai? Ada urusan apa lagi dia dengan si munafik Yue Buqun?” ujar Ren Woxing.

Linghu Chong menyela, “Apakah orang-orang ini anak buah Dongfang Bubai?”

“Anak buahku,” sahut Ren Woxing.

Linghu Chong mengangguk paham.

Ren Yingying ikut membuka suara, “Ayah, bagaimana dengan lengannya?”

“Jangan khawatir, anak manis,” sahut Ren Woxing. “Menantuku yang baik telah membantu mertua memusnahkan racun dingin, sudah tentu si bapak mertua akan berusaha menyembuhkan lengannya.” Usai berkata ia tertawa terbahak-bahak, dan menatap tajam ke arah Linghu Chong yang terlihat rikuh.

“Jangan bicara begitu, Ayah,” sahut Ren Yingying. “Kakak Chong dibesarkan bersama-sama dengan Nona Yue. Mereka saling menyayangi sejak kecil. Apa Ayah tidak melihat bagaimana sikap Kakak Chong terhadap Nona Yue tadi?”

“Hm, manusia macam apa si munafik Yue Buqun itu? Mana bisa anak perempuannya dibandingkan dengan putriku?” ujar Ren Woxing sambil tertawa. “Lagipula Si Nona Yue itu sudah punya tambatan hati. Perempuan yang hatinya gampang berubah seperti dia mana bisa dipercaya? Selanjutnya Chong’er tentu akan melupakan gadis itu. Kejadian masa kecil mana bisa dijadikan patokan?”

Ren Yingying menjawab lirih, “Demi diriku Kakak Chong telah membuat onar di Biara Shaolin yang termasyhur di seluruh dunia. Demi diriku dia tidak mau kembali ke Perguruan Huashan. Kedua hal ini sudah cukup membuat hatiku senang dan puas. Tentang urusan lain tidak perlu diungkit-ungkit lagi.”

Ren Woxing hafal sifat putrinya yang angkuh dan tinggi hati. Jika Linghu Chong tidak mengajukan lamaran, maka putrinya juga tidak mau memaksa. Lagipula urusan perjodohan dapat diatur belakangan. Maka dengan bergelak tawa ia pun berkata, “Bagus, bagus! Memang urusan mahapenting yang menyangkut kebahagiaan seumur hidupmu bisa dibicarakan nanti. Eh, Chong’er, akan kuajari dirimu cara melancarkan urat nadi di bagian lengan kirimu yang macet itu.”

Lalu ia menarik Linghu Chong ke pinggir dan mengajarkan rumus bagaimana cara mengerahkan tenaga dan melancarkan aliran darah. Setelah mengulangi sekali lagi, ia kemudian meminta Linghu Chong menghafalkannya. Setelah Linghu Chong benar-benar hafal, orang tua itu lalu berkata, “Kau telah membantuku memusnahkan racun dingin, sekarang aku mengajarimu cara melancarkan aliran darah. Kita masing-masing tidak saling berhutang budi lagi. Untuk menyembuhkan seluruh lenganmu yang kaku itu diperlukan waktu tujuh hari. Harus bersabar, tidak boleh terburu nafsu.”

“Baik,” jawab Linghu Chong.

Ren Woxing lalu melambaikan tangan ke arah Xiang Wentian dan Ren Yingying. Setelah mereka berkumpul semua, ia berkata, “Chong’er, ketika di Wisma Meizhuang tempo hari aku pernah mengajakmu masuk Sekte Matahari dan Bulan. Waktu itu dengan tegas kau menolaknya. Sekarang keadaan sudah berubah. Aku mengulangi lagi pertanyaan lama. Kali ini tentu kau takkan menolaknya, bukan?”

Selagi Linghu Chong masih bimbang dan belum menjawab, Ren Woxing menyambung lagi, “Kau telah mempelajari Jurus Penyedot Bintang, kelak tentu akan banyak mendatangkan kesusahan. Bila bermacam-macam hawa murni yang berlainan dalam tubuhmu itu bergejolak, maka tak terkatakan derita yang akan kau rasakan. Apa yang kukatakan takkan kutarik kembali. Kalau kau tidak masuk aliran kami, biarpun Yingying menjadi istrimu, aku tetap tidak mau mengajarkan cara memusnahkan tenaga-tenaga liar di dalam tubuhmu itu. Meskipun seumur hidup putriku akan marah kepadaku, aku takkan berubah pikiran. Sekarang masih ada urusan mahapenting yaitu membalas perbuatan Dongfang Bubai. Apakah kau akan ikut pergi bersama kami?”

“Mohon maaf, Ketua Ren. Selama hidup aku sudah pasti tidak akan masuk Sekte Matahari dan Bulan,” sahut Linghu Chong dengan mantap dan tegas.

Seketika raut muka Ren Woxing bertiga berubah. Xiang Wentian bertanya, “Apa sebabnya? Apakah kau memandang rendah Sekte Matahari dan Bulan kami?”

“Di dalam Sekte Matahari dan Bulan penuh orang-orang macam begini. Meskipun aku hina dan rendah, tapi aku malu berkumpul dengan mereka,” sahut Linghu Chong sambil menunjuk belasan mayat yang menggeletak di tanah. “Lagipula aku sudah berjanji kepada Biksuni Dingxian untuk menjabat sebagai Ketua Perguruan Henshan.”

Ren Woxing, Ren Yingying, dan Xiang Wentian langsung terheran-heran begitu mendengar ucapan tersebut. Bahwa Linghu Chong menolak masuk aliran mereka bukanlah hal yang mengherankan. Namun kalimat yang terakhir benar-benar di luar dugaan, sampai-sampai mereka tidak percaya pada telinga masing-masing.

Sambil menunjuk muka Linghu Chong, tiba-tiba Ren Woxing terbahak-bahak geli. Sejenak kemudian baru ia berkata, “Kau … kau ingin menjadi biksuni? Kau mau menjadi ketua para biksuni?”

“Bukan menjadi biksuni, hanya menjadi Ketua Perguruan Henshan saja,” sahut Linghu Chong. “Sebelum mengembuskan napas terakhir, Biksuni Dingxian telah meminta dengan sangat kepadaku. Apabila aku tidak menyanggupinya, Beliau mengaku akan mati penasaran. Apalagi kematian Biksuni Dingxian adalah karena diriku. Aku juga sadar peristiwa ini pasti akan menggemparkan. Tapi aku tidak bisa menolak permintaannya.”

Ren Woxing masih saja tertawa geli terbahak-bahak.

“Biksuni Dingxian juga meninggal karena aku,” kata Ren Yingying dengan memandang tajam kepada ayahnya. Linghu Chong menoleh ke arah gadis itu dengan hati penuh rasa terima kasih.

Perlahan-lahan Ren Woxing berhenti tertawa, lalu berkata, “Jadi kalau orang lain meminta sesuatu padamu, kau merasa harus mengerjakannya dengan patuh, begitu?”

“Benar,” sahut Linghu Chong. “Apalagi kematian Biksuni Dingxian lantaran memenuhi janjinya padaku.”

“Bagus,” kata Ren Woxing. “Aku adalah si tua aneh dan kau si kecil aneh. Kalau tidak berbuat sesuatu yang menggemparkan, mana bisa menjadi tokoh pengguncang langit dan bumi? Baiklah, kau pergi saja menjadi ketua kaum biksuni itu. Sekarang juga apa kau akan berangkat ke Gunung Henshan?”

“Tidak, aku akan pergi ke Biara Shaolin dulu,” jawab Linghu Chong.

Ren Woxing agak heran, tapi kemudian memahami maksudnya, “Ya, tentu saja kau ingin mengusung kedua jenazah biksuni tua itu kembali ke Henshan, bukan?” Lalu ia menoleh kepada Ren Yingying dan bertanya, “Apakah kau akan ikut Chong’er pergi ke Biara Shaolin?”

“Tidak, aku akan ikut Ayah,” jawab Ren Yingying.

“Betul, mana mungkin kau juga pergi ke Gunung Henshan? Bisa-bisa kau ikut menjadi biksuni di sana,” ujar Ren Woxing sambil bergelak tawa, namun suara tawanya bernada getir.

Linghu Chong lantas memberi hormat dan berkata, “Ketua Ren, Kakak Xiang, Yingying, sampai berjumpa lagi.” Ia kemudian memutar tubuh dan melangkah pergi. Baru belasan langkah tiba-tiba ia berpaling dan bertanya, “Ketua Ren, kapan kalian pergi ke Tebing Kayu Hitam?”

“Ini urusan rumah tangga aliran kami, orang luar tidak perlu ikut campur,” sahut Ren Woxing. Ia tahu Linghu Chong bermaksud membantu menghadapi Dongfang Bubai bila tiba waktunya kelak. Namun dengan tegas ia menolak maksud permuda itu.

Linghu Chong menganggukkan kepala, lalu memungut sebilah pedang yang berserakan di atas salju. Pedang itu digantungkannya di pinggang, lalu melangkah pergi.

Menjelang senja, ia pun tiba di Biara Shaolin. Ia menyampaikan maksud kedatangannya kepada biksu penerima tamu dan memohon diizinkan mengusung jenazah Biksuni Dingxian dan Biksuni Dingyi pulang ke Gunung Henshan. Biksu penerima tamu itu segera melapor ke dalam, dan kemudian kembali lagi dengan berkata, “Menurut Kepala Biara, jenazah kedua biksuni sudah diperabukan dan sekarang sedang dilakukan doa bersama untuk arwah Beliau berdua oleh segenap penghuni biara ini. Tentang abu jenazah kedua biksuni selekasnya akan kami antar ke Gunung Henshan.”

Linghu Chong kemudian berjalan memasuki ruang sembahyang. Ia membungkuk hormat di hadapan altar kedua biksuni beberapa kali. Dalam hati ia berkata, “Selama aku masih hidup, aku akan menjaga Perguruan Henshan dengan sepenuh hati dan segenap kekuatanku, serta tidak menyia-nyiakan kepercayaan yang diberikan Biksuni kepadaku.” Setelah itu ia melangkah keluar tanpa meminta bertemu Mahabiksu Fangzheng terlebih dahulu. Kepada biksu penerima tamu ia pun mohon pamit kemudian bergegas pergi menuruni Gunung Shaoshi.

Sesampainya di kaki gunung, salju masih belum juga reda. Malam itu ia menginap di rumah seorang petani. Esoknya ia melanjutkan perjalanan menuju ke arah utara. Di sebuah kota kecil dibelinya seekor kuda sebagai kendaraan. Karena lengan kiri masih terasa kaku, maka perjalanannya pun agak terganggu. Setiap hari ia hanya menempuh jarak tujuh sampai delapan puluh li saja lantas mencari tempat penginapan. Di setiap peristirahatan ia menerapkan rumus yang diajarkan Ren Woxing untuk melancarkan aliran darah. Setelah tujuh hari lengan kirinya itu sudah bisa digerakkan dengan leluasa.

Beberapa hari kemudian, pada suatu siang Linghu Chong mampir di sebuah rumah makan untuk minum arak. Saat itu sudah dekat tahun baru, suasana tampak ramai. Orang-orang berlalu-lalang belanja untuk persiapan perayaan tahun baru. Sambil minum arak sendirian di loteng, Linghu Chong terkenang pada masa lampau, “Di Gunung Huashan menjelang tahun baru, Ibu Guru menyuruh kami untuk bersih-bersih, menggiling tepung untuk membuat kue, juga menyiapkan amplop merah. Semuanya dalam suasana riang gembira. Adik Kecil membuat banyak guntingan pula untuk menghias dinding. Tapi tahun ini, aku harus merayakannya sendirian ditemani arak ini.”

Selagi hatinya bersedih mengenang masa lalu, tiba-tiba terdengar suara tangga berbunyi, seperti ada orang banyak sedang naik ke atas. Terdengar salah seorang dari mereka berkata, “Haus sekali, mari kita minum dulu di sini!”

“Seandainya tidak haus juga boleh minum, bukan?” ujar yang lain.

“Haus dan minum saling berkaitan. kenapa harus dipisah-pisah?” sahut seorang lagi.

“Minum arak ya minum arak, haus ya haus. Kenapa harus dikait-kaitkan?” sahut yang lain tak mau kalah.

“Semakin banyak minum arak malah semakin haus. Keduanya bukan hanya tidak bisa dikait-kaitkan, tapi juga sangat berlawanan,” sambung yang lainnya.

Mendengar percakapan yang bertele-tele itu Linghu Chong segera tahu siapa yang datang. Dengan cepat ia berseru, “Enam Saudara Persik, lekas kemari, minum bersama aku!”

Serentak terdengarlah suara berisik. Enam Dewa Lembah Persik telah melompat ke atas bersama-sama dan mengelilingi Linghu Chong. Ada yang memegang tangannya, ada yang memegang bahunya, ada pula yang memegang bajunya. Beramai-ramai mereka berteriak, “Aku yang temukan dia!”

“Aku yang pegang dia paling dulu!”

“Aku yang temukan dia. Suaraku yang pertama kali didengar olehnya!”

“Aku yang mengajak kalian ke sini. Kalau kalian tidak kuajak ke sini, bagaimana kalian bisa bertemu dia?”

Linghu Chong tertawa heran dan berkata, “Apa-apaan kalian ini?”

Tiba-tiba Dewa Bunga Persik berlari ke pinggir jendela dan berseru keras-keras, “Hei, biksuni cilik, biksuni besar, biksuni tua, biksuni muda, dan biksuni tidak tua tidak muda, aku telah menemukan Tuan Muda Linghu. Lekas serahkan seribu tael perak kepada kami!”

Dewa Ranting Persik ikut berlari ke tepi jendela dan berteriak, “Bukan dia, tapi aku yang pertama memegang Tuan Muda Linghu! Lekas serahkan seribu tael yang kalian janjikan itu!”

Sementara itu Dewa Dahan Persik dan Dewa Buah Persik juga tidak mau kalah. Sambil masih memegangi Linghu Chong mereka berteriak-teriak, “Tidak, aku yang melihat dia paling dulu!”

“Aku yang menemukan dia!”

Maka terdengarlah suara seorang wanita berseru di luar rumah makan, “Benarkah kalian telah menemukan Pendekar Linghu?”

“Benar! Aku yang menemukan dia! Lekas serahkan uangnya! Ada uang ada barang!” ujar Enam Dewa Lembah Persik berteriak-teriak.

Dewa Ranting Persik berkata, “Benar! Kalau mereka sampai ingkar janji, kita sembunyikan saja Tuan Muda Linghu.”

Dewa Akar Persik menyambung, “Bagaimana caranya menyembunyikan dia? Kita kurung saja dia di sini supaya biksuni cilik tidak melihatnya.”

Di tengah keramaian itu terdengarlah suara orang menaiki tangga loteng. Orang pertama yang muncul adalah murid Perguruan Henshan, bernama Yihe. Di belakangnya ikut pula empat biksuni dan dua murid awam, yaitu Zheng E dan Qin Juan. Melihat Linghu Chong benar-benar berada di situ, mereka bertujuh sangat gembira. Ada yang memanggil “Pendekar Linghu”, ada yang memanggil “Kakak Linghu”, ada pula yang memanggil “Tuan Muda Linghu”.

Dewa Dahan Persik tiba-tiba menghadang di tengah-tengah mereka dan berkata, “Mana uangnya? Ada uang ada barang! Tanpa seribu tael perak takkan kuserahkan orang ini.”

“Keenam Saudara Persik,” kata Linghu Chong dengan tertawa, “sebenarnya bagaimana ceritanya soal seribu tael perak segala?”

“Di tengah jalan tadi kami bertemu mereka,” tutur Dewa Ranting Persik. “Mereka bertanya kepada kami apa pernah melihatmu. Kukatakan sementara ini tidak, tapi sebentar lagi pasti akan bertemu.”

“Paman ini bohong!” seru Qin Juan menyela. “Tadi dia menjawab, ‘Linghu Chong punya kaki sendiri, saat ini mungkin dia berada di ujung langit. Ke mana kami akan menemukan dia?’”

“Tidak, tidak! Kami bisa meramalkan apa yang bakal terjadi. Sebelumnya kami sudah tahu akan menemukan Tuan Muda Linghu di sini!” bantah Dewa Bunga Persik.

“Benar! Kalau tidak, mengapa kami tiba-tiba datang kemari?” tambah Dewa Dahan Persik.

Linghu Chong tertawa dan menyela, “Sudahlah, aku dapat menebak. Tentu adik-adik ini sedang mencariku dan mereka meminta bantuan kalian. Lalu kalian membuka harga seribu tael perak sebagai upah, betul tidak?”

“Harga seribu tael perak memang setinggi langit. Salah mereka sendiri tidak pandai tawar-menawar,” ujar Dewa Dahan Persik. “Mereka begitu dermawan. Kami minta upah seribu tael perak, tanpa menawar mereka langsung setuju asalkan Pendekar Linghu dapat ditemukan. Janji ini telah kalian sanggupi, bukan?”

Yihe menjawab, “Benar, memang kami telah berjanji akan memberikan seribu tael perak asalkan kalian dapat menemukan Kakak Linghu.”

“Nah, sekarang bayar segera,” kata Enam Dewa Lembah Persik bersama-sama sambil menjulurkan tangan masing-masing.

“Kaum biarawati seperti kami mana bisa membawa uang sebanyak itu?” kata Yihe. “Silakan kalian berenam ikut ke Gunung Henshan untuk menerimanya nanti.”

Dalam hati Yihe mengira mereka berenam tentu malas ikut ke Gunung Henshan yang letaknya sangat jauh. Tak disangka, Enam Dewa Lembah Persik menjawab serentak, “Baik, kami akan ikut ke Henshan untuk menerima pembayaran. Kalian tidak boleh hutang, ya?”

“Wah, selamat untuk kalian berenam, sekarang menjadi kaya raya!” puji Linghu Chong sambil tertawa. “Kalian telah menjual diriku dengan bayaran yang sangat besar.”

“Terima kasih, terima kasih!” sahut Enam Dewa Lembah Persik.

Tiba-tiba Yihe dan kawan-kawan serentak berlutut menyembah kepada Linghu Chong dengan wajah berduka.

“Hei, kenapa kalian berbuat demikian?” tanya Linghu Chong terkejut dan buru-buru membalas hormat.

“Kami menyampaikan sembah bakti kepada Ketua,” kata Yihe.

“O, jadi kalian sudah tahu? Silakan bangun untuk bicara,” kata Linghu Chong.

“Benar, bicara sambil berlutut begitu tentu tidak nyaman,” sahut Dewa Akar Persik ikut bicara.

“Keenam Saudara Persik,” kata Linghu Chong, “sekarang aku sudah termasuk anggota Perguruan Henshan. Kami punya urusan penting yang harus dirundingkan. Kalian silakan minum arak di sebelah sana, tidak boleh mengganggu atau kalian akan kehilangan seribu tael perak.”

Sebenarnya Enam Dewa Lembah Persik bermaksud mengoceh lagi. Tapi begitu mendengar kalimat yang terakhir, mereka langsung bungkam dan terpaksa menyingkir ke sebuah meja di salah satu sudut ruangan sambil berteriak-teriak memesan makanan dan minuman.

Gerombolan Penyergap menyerang Lin Pingzhi dan Yue Lingshan.

Linghu Chong membantai para penyergap.

Yue Lingshan berpamitan kepada Linghu Chong.

Linghu Chong kembali ke Biara Shaolin.

(Bersambung)