Bagian 22 - Jurus Pedang Ning Tanpa Tanding


Lin Pingzhi meratapi ayah dan ibunya.
Linghu Chong menghela napas menyaksikan kematian pasangan suami-istri Lin tersebut. Dalam hati ia berpikir, “Yu Canghai dan Mu Gaofeng memaksa Paman dan Bibi Lin membocorkan di mana Kitab Pedang Penakluk Iblis disimpan. Meskipun dianiaya sampai setengah mati, mereka berdua pantang menyerah. Sekarang pun ketika ajal di depan mata, Paman Lin masih juga berusaha merahasiakannya kepadaku. Dia takut aku menggelapkan benda pusaka tersebut sehingga menjelaskan bahwa benda itu bisa mendatangkan malapetaka besar. Hm, kau pikir Linghu Chong ini manusia macam apa? Padahal, mempelajari semua ilmu silat Perguruan Huashan saja aku belum tuntas. Lalu, untuk apa aku harus bersusah payah mengincar ilmu silat orang lain? Kekhawatiran kalian sungguh sia-sia.”
Linghu Chong kemudian duduk di lantai bersandar pada dinding untuk mengistirahatkan kakinya sambil memejamkan mata. Tiba-tiba dari arah pintu terdengar suara Yue Buqun berkata, “Pendeta Yu, apakah kau masuk ke dalam kuil ini?”
Seketika Linghu Chong pun berteriak, “Guru! Guru!”
Yue Buqun menjawab, “Chong’er, apa kau berada di dalam?”
“Benar, saya di sini!” jawab Linghu Chong sambil perlahan-lahan berdiri dengan bersandar pada tiang.
Yue Buqun segera masuk ke dalam kuil. Saat itu fajar sudah mulai menyingsing sehingga ia dapat melihat jasad suami-istri Lin Zhennan dengan mudah.
“Apakah mereka ini Ketua Lin dan istrinya?” tanya Yue Buqun kemudian.
“Benar,” jawab Linghu Chong. Ia lantas menceritakan semua yang ia ketahui, mulai dari pemaksaan yang dilakukan Mu Gaofeng; bagaimana ia menakut-nakuti dan mengusir Mu Gaofeng pergi; bagaimana kematian Lin Zhennan dan istrinya; serta bagaimana isi wasiat terakhir ketua Biro Pengawalan Fuwei tersebut.
“Apa? Mereka sudah mati?” sahut Yue Buqun ketika melihat pasangan tersebut ternyata telah menjadi mayat dengan keadaan masih terikat di tiang kuil.
Sejenak Yue Buqun termenung, baru kemudian ia berkata, “Dosa Yu Canghai semakin bertambah banyak, tapi ia tidak memperoleh apa-apa.”
“Apakah pendeta kerdil itu memohon belas kasihan kepada Guru?” tanya Linghu Chong dengan perasaan ingin tahu.
“Pendeta Yu memiliki sepasang kaki yang sangat gesit. Aku sudah berusaha keras mengejarnya namun jarak kami semakin jauh dan jauh saja,” ujar Yue Buqun. Sejenak ia menghela napas kemudian melanjutkan, “Ilmu meringankan tubuh Perguruan Qingcheng memang lebih bagus daripada Perguruan Huashan kita.”
“Benar, Guru!” jawab Linghu Chong sambil tetawa. “Apalagi jurus Belibis Mendarat Tampak Pantat mereka paling hebat di dunia persilatan.”
Yue Buqun memasang wajah bengis dan membentak, “Chong’er, jaga mulutmu! Lidahmu memang tajam dan suka bicara tanpa dipikir lebih dulu. Mana bisa kau menjadi teladan bagi adik-adikmu?”
Linghu Chong langsung berhenti tertawa, kemudian berpaling sambil menjulurkan lidah dan menjawab, “Baik, Guru!” Ia memang dipungut Yue Buqun sejak kecil sehingga gurunya itu sudah seperti ayah sendiri baginya. Namun demikian, meskipun sangat menghormati sang guru, ia tetap suka bergurau di hadapan ketua Perguruan Huashan tersebut.
“Apakah Guru melihatku menjulurkan lidah?” ujar Linghu Chong kemudian.
Yue Buqun menjawab, “Meskipun kau berpaling, tapi aku melihat urat di bawah telingamu sedikit tegang. Sudah pasti kau menjulurkan lidahmu untuk meledek diriku. Huh, kau ini memang suka usil dan membuat onar. Kali ini tentu kau sudah kenyang menderita. Bagaimana dengan lukamu?”
“Sudah jauh lebih baik,” jawab Linghu Chong. “Semakin banyak menderita di masa kini, maka akan semakin pintar di masa depan.”
Yue Buqun mendengus dan berkata, “Apa kau merasa tidak cukup pintar saat ini?”
Usai berkata demikian ia lantas mengeluarkan kembang api dan berjalan ke luar kuil. Sesampainya di halaman, kembang api itu segera dinyalakan dan dilemparkannya ke atas. Kembang api tersebut melesat ke angkasa dan meletus menjadi seberkas cahaya terang berbentuk pedang berwarna putih keperakan. Beberapa menit kemudian, pedang cahaya tersebut perlahan turun ke bawah dan kemudian pecah menjadi titik-titik terang berhamburan. Ternyata nyala kembang api tersebut merupakan tanda isyarat Yue Buqun alias Si Pedang Budiman untuk memanggil segenap murid-murid Perguruan Huashan.
Tidak lama kemudian dari jauh terdengar suara langkah kaki seseorang sedang berlari menuju ke arah kuil kecil tersebut.
“Guru!” sahut orang itu setelah sampai di pelataran. Ternyata ia adalah Gao Genming si murid kelima.
“Ya, aku berada di dalam,” jawab Yue Buqun yang saat itu telah masuk kembali ke dalam kuil.
Gao Genming segera masuk dan memberi hormat kepada sang guru. Begitu melihat Linghu Chong, ia langsung berseru gembira, “Kakak Pertama, kau sudah sembuh? Kami sungguh mengkhawatirkan keadaanmu.”
Linghu Chong tersenyum haru. Ia menjawab, “Aku baik-baik saja. Langit telah melindungi aku. Kali ini aku benar-benar beruntung tidak sampai mati.”
Sayup-sayup terdengar suara langkah dua orang mendatangi kuil tersebut. Kali ini yang datang adalah Lao Denuo si murid kedua dan Lu Dayou si murid keenam. Begitu melihat Linghu Chong, tanpa memberi hormat lebih dulu kepada sang guru, Lu Dayou langsung melompat memeluknya sambil berseru gembira, “Kakak Pertama, kami sangat mengkhawatirkanmu!”
Sejenak kemudian muncul Liang Fa si murid ketiga bersama Shi Daizi si murid keempat. Selang agak lama, muncullah Tao Jun si murid ketujuh, Ying Bailuo si murid kedelapan, Yue Lingshan putri sang guru, dan akhirnya Lin Pingzhi si murid baru.
Begitu melihat ayah dan ibunya telah meninggal dunia, Lin Pingzhi langsung menubruk dan memeluk jenazah mereka. Melihat tangisan pemuda itu, murid-murid Huashan yang lain ikut merasa prihatin.
Sebenarnya Yue Lingshan sangat senang melihat Linghu Chong telah sembuh dari luka. Namun melihat Lin Pingzhi sedang menangisi jasad kedua orang tuanya, maka ia pun menahan diri untuk tidak bersorak gembira. Perlahan-lahan gadis itu mendekat dan mencubit si kakak pertama sambil bertanya, “Apa kau... baik-baik saja?”
“Aku baik-baik saja,” jawab Linghu Chong.
Selama beberapa hari ini Yue Lingshan selalu dilanda kekhawatiran tentang berita kematian Linghu Chong. Kini, begitu melihat si kakak pertama tiba-tiba muncul dalam keadaan selamat, ia tidak dapat lagi menahan perasaannya yang sudah menyesakkan dada. Maka, tanpa pikir lagi ia pun menarik lengan baju Linghu Chong dan menangis keras-keras.
Perlahan Linghu Chong menyandarkan kepala Yue Lingshan di bahunya sambil berkata lirih, “Adik Kecil, mengapa kau menangis? Siapa yang telah mengganggumu?”
Yue Lingshan tidak menjawab, melainkan terus saja mencucurkan air mata. Setelah perasaannya agak lega, ia pun berkata, “Kau tidak mati, kau tidak mati!”
“Tentu saja aku masih hidup,” jawab Linghu Chong sambil menggeleng.
“Aku dengar kau terkena pukulan Yu Canghai. Aku tahu ketua Perguruan Qingcheng itu menguasai Tapak Penghancur Jantung yang bisa membunuh orang tanpa mengeluarkan darah. Aku melihat sendiri bagaimana ia membantai banyak orang. Aku sangat takut dia... dia....” sampai di sini Yue Lingshan tidak sanggup lagi melanjutkan kata-katanya dan kembali menangis.
“Aku sangat beruntung karena bisa menghindari pukulan itu,” sahut Linghu Chong sambil tersenyum. “Tapi aku baru saja melihat pertarungan Guru melawan Yu Canghai, serta bagaimana pendeta kerdil itu lari terbirit-birit. Sayang sekali kau melewatkan peristiwa menarik itu.”
“Jangan kau ceritakan hal ini kepada orang lain,” sahut Yue Buqun menukas.
“Baik, Guru!” jawab Linghu Chong disertai murid-murid Huashan lainnya.
Yue Lingshan lantas memandangi wajah Linghu Chong yang terlihat kurus dan pucat pasi. Gadis itu lantas berkata, “Kakak Pertama, kali ini kau terluka sangat parah. Kau harus segera kembali ke Gunung Huashan untuk beristirahat.”
Sementara itu, Yue Buqun mendekati Lin Pingzhi yang masih menangisi jasad ayah dan ibunya. Ia pun berkata, “Pingzhi, jangan terus-menerus menangisi kedua orang tuamu. Lebih baik mari kita urus jenazah mereka.”
“Baik, Guru!” jawab Lin Pingzhi sambil bangkit berdiri. Namun begitu melihat wajah ayah dan ibunya yang berlumuran darah, mau tidak mau air matanya kembali bercucuran. Ia pun berkata dengan suara parau, “Ayah dan Ibu tidak melihatku pada saat-saat terakhir mereka. Mungkin mereka ingin... ingin memberikan nasihat perpisahan kepadaku.”
“Adik Lin,” sahut Linghu Chong, “aku berada di sini mendampingi ayah dan ibumu menjelang wafat. Beliau berdua berpesan kepadaku supaya selalu menjaga dirimu. Sudah tentu ini adalah kewajibanku. Selain itu, ayahmu juga meninggalkan sebuah wasiat untuk disampaikan kepadamu.”
“Oh... jadi Kakak Pertama mendampingi Ayah dan Ibu ketika mereka meninggal? Terima kasih banyak, terima kasih banyak, Kakak,” ujar Lin Pingzhi menahan haru.
“Paman dan Bibi Lin sungguh pantang menyerah. Meskipun Beliau berdua disiksa oleh para keparat dari Perguruan Qingcheng sampai terluka parah, namun keduanya tidak mau mengatakan di mana Kitab Pedang Penakluk Iblis disimpan,” ujar Linghu Chong. “Kemudian Mu Gaofeng datang pula untuk memaksa Paman dan Bibi Lin menyerahkan kitab tersebut. Si bungkuk itu memang seorang penjahat, sehingga tidak mengherankan kalau dia berbuat kejam seperti itu. Tapi Yu Canghai seorang ketua perguruan golongan putih. Tindakannya yang memalukan sudah tentu akan membuatnya dipandang rendah oleh seisi dunia persilatan.”
“Benar, Kakak Pertama!” sahut Lin Pingzhi dengan menggertakkan gigi. “Jika sakit hati ini tidak bisa kubalas, maka Lin Pingzhi lebih hina daripada babi.” Usai berkata demikian, pemuda itu mengepalkan tangan dan menghantam tiang batu di sebelahnya. Meskipun ilmu silatnya sangat rendah, namun karena kebenciannya sudah memuncak membuat pukulan itu sangat keras, sampai-sampai merontokkan debu dan kotoran di langit-langit kuil.
Yue Lingshan menyahut, “Adik Lin, semua ini terjadi karena kau membela diriku di kedai arak waktu itu. Tentu saja kelak jika kau mendapat kesempatan membalas dendam, aku tidak akan berpeluk tangan.”
“Terima kasih banyak, Kakak,” sahut Lin Pingzhi.
Yue Buqun menghela napas dan berkata, “Perguruan Huashan selama ini selalu bersikap teguh pendirian. Jika orang lain tidak mengganggu, maka kita tidak akan mengganggu mereka pula. Oleh sebab itu, perguruan kita jarang terlibat perselisihan dengan pihak mana pun. Namun sejak saat ini kita tidak bisa lagi hidup tenang. Mulai saat ini, Perguruan Qingcheng... Perguruan Qingcheng... Hm, sekali tercebur di dunia persilatan sulit sekali bagi kita untuk menghindari perselisihan.”
“Adik Kecil dan Adik Lin,” sahut Lao Denuo ikut berbicara, “Yu Canghai membunuh keluargamu bukan karena perbuatanmu menolong Adik Kecil, tapi sejak awal semua ini memang sudah ia rencanakan. Orang itu berambisi memiliki Kitab Pedang Penakluk Iblis. Benih-benih dendamnya muncul sejak gurunya yang bernama Tang Qingzi dikalahkan oleh kakek buyut Adik Lin yang perkasa.”
“Benar,” sahut Yue Buqun. “Kaum persilatan memang sukar terhindar dari keinginan untuk menjadi yang terhebat. Begitu mendengar adanya sebuah kitab rahasia ilmu silat –tidak peduli apakah berita itu benar atau tidak– tentu setiap orang berusaha mati-matian mendapatkannya, entah dengan cara gagah ataupun dengan cara licik. Padahal seorang guru besar seperti Pendeta Yu yang memiliki kepandaian tinggi dan nama besar, tidak sepantasnya mengincar ilmu silat pihak lain.”
“Guru, dalam keluarga kami sama sekali tidak terdapat Kitab Pedang Penakluk Iblis,” kata Lin Pingzhi. “Selama ini Ayah mengajarkan Ilmu Pedang Penakluk Iblis secara lisan, dan menyuruh saya mengingat-ingat di dalam otak. Seandainya kitab itu benar-benar ada, mustahil Ayah tidak memberitahukannya kepada saya. Bukankah saya ini putra tunggalnya?”
Yue Buqun mengangguk dan berkata, “Aku sendiri tidak yakin apakah Kitab Pedang Penakluk Iblis benar-benar ada. Jika kitab itu sungguh ada, tentu Yu Canghai tidak mampu mengalahkan ayahmu. Bukankah ini merupakan bukti nyata?”
Tiba-tiba terlintas pikiran dalam benak Linghu Chong. Ia segera berkata, “Adik Lin, sebelum meninggal dunia, ayahmu sempat berkata bahwa di Gang Matahari di Kota Fuzhou....”
Yue Buqun menukas, “Wasiat Ketua Lin hanya boleh kau sampaikan kepada Pingzhi seorang. Orang lain tidak perlu ikut mendengar.”
“Baik!” jawab Linghu Chong sambil mengangguk paham.
Yue Buqun kembali berkata, “Denuo dan Genming, kalian berdua pergilah ke Kota Hengshan untuk membeli dua buah peti mati.”
Kedua murid Huashan itu pun berangkat melaksanakan perintah sang guru. Singkat cerita mereka telah kembali dengan disertai beberapa orang kuli membawa dua buah peti mati besar. Setelah memasukkan jasad kedua orang tua Lin Pingzhi ke dalam masing-masing peti, Yue Buqun memutuskan untuk pulang ke Gunung Huashan melalui jalur sungai.
Pada sore harinya, rombongan Perguruan Huashan telah sampai di tepi sungai. Di sana Yue Buqun menyewa sebuah kapal untuk mengangkut rombongannya, beserta kedua peti mati yang berisi jasad Lin Zhennan dan istrinya.
Kapal pun berlayar menyusuri sungai menuju ke arah barat. Sesampainya di wilayah Provinsi Henan, rombongan tersebut berganti menempuh jalur darat. Saat itu Yue Buqun telah menyewa pedati untuk mengangkut kedua peti. Linghu Chong yang belum sembuh benar juga ikut menumpang di dalam pedati tersebut.

Perjalanan pulang ke Huashan.
Beberapa hari kemudian, rombongan Yue Buqun itu akhirnya tiba di kaki Gunung Huashan. Setelah sampai di Puncak Gadis Cantik, kedua peti mati diletakkan di dalam sebuah kuil kecil, untuk selanjutnya tinggal mencari tanggal yang tepat guna menguburkan jasad pasangan suami-istri Lin Zhennan tersebut.
Gao Genming dan Lu Dayou lantas mendahului pulang untuk menyampaikan kabar kepulangan sang guru. Tak lama kemudian murid-murid Huashan lainnya tampak berdatangan menyambut rombongan. Murid-murid yang tidak ikut ke Hengshan berjumlah sekitar dua puluhan atau lebih. Satu per satu mereka diperkenalkan kepada Lin Pingzhi selaku murid baru. Beberapa di antaranya sudah berusia tiga puluhan, namun ada juga yang masih berusia belasan tahun. Selain itu terlihat pula enam orang murid perempuan yang segera mengerumuni Yue Lingshan. Dalam sekejap mereka sudah terlibat pembicaraan seru.
Sesuai peraturan, Lin Pingzhi yang saat itu berusia sembilan belas tahun harus memanggil “kakak” kepada semua murid Huashan yang masuk perguruan sebelum dirinya, termasuk kepada murid paling kecil, yaitu Su Qi yang baru berusia dua belas tahun.
Namun demikian, peraturan tersebut tidak berlaku untuk Yue Lingshan. Sebagai putri sang guru, ia berhak memanggil “kakak” dan “adik” berdasarkan usia, bukan berdasarkan urutan masuk perguruan. Meskipun demikian, ia menolak memanggil “kakak” kepada Lin Pingzhi yang setahun lebih tua daripada dirinya. Karena Yue Buqun tidak melarang, serta Lin Pingzhi juga tidak keberatan, maka Yue Lingshan pun bisa leluasa memanggil pemuda itu dengan sebutan “adik”.
Yue Buqun lantas memimpin rombongan murid-muridnya itu mendaki menuju puncak. Sepanjang perjalanan, Lin Pingzhi menyaksikan pemandangan indah terhampar di mana-mana. Gunung Huashan memang sangat terjal, namun sangat sedap dipandang mata. Pepohonan cemara tua yang rindang dan berwarna hijau asri serta suara burung berkicau membuat suasana bertambah nyaman. Beberapa bangunan megah berderet-deret tersebar menurut tinggi rendahnya tanah pegunungan, dan kesemuanya berwarna putih bersih.
Di depan salah satu gedung tampak seorang wanita cantik setengah umur muncul menyambut rombongan. Begitu melihatnya, Yue Lingshan langsung berlari ke arahnya dan berseru, “Ibu, aku baru saja mendapat satu adik perguruan lagi.”
Dalam perjalanan tadi Lin Pingzhi sempat mendengar bahwa istri Yue Buqun atau yang biasa dipanggil dengan sebutan “ibu-guru” juga seorang pendekar pedang terkenal, bernama Ning Zhongze. Sebenarnya ia juga seorang murid Huashan, yaitu adik seperguruan Yue Buqun sendiri.
Maka, begitu tiba di hadapan Ning Zhongze, Lin Pingzhi langsung membungkukkan badan dan berkata dengan penuh sopan santun, “Lin Pingzhi menyampaikan salam hormat kepada Ibu Guru.”
“Sudahlah, tidak usah terlalu banyak adat,” jawab Ning Zhongze. Ia kemudian berpaling kepada sang suami dan berkata, “Kakak, setiap kali turun gunung kau biasa kembali dengan membawa beberapa murid baru. Tapi, kali ini kenapa hanya satu orang saja?”
“Bukankah kau sering berkata lebih baik seorang tapi baik, daripada sepuluh orang tapi tidak bermutu?” sahut Yue Buqun sambil tertawa. “Kalau menurutmu yang ini bagaimana?”
“Rasanya dia ini terlalu tampan, tidak pantas menjadi orang persilatan,” kata Ning Zhongze ikut tertawa. “Mungkin lebih baik dia belajar kitab sastra klasik saja kepadamu. Siapa tahu kelak dia bisa lulus ujian Xiucai dan menjadi seorang Zhuangyuan.”
“Bagus sekali gagasanmu,” ujar Yue Buqun. “Jika Perguruan Huashan bisa menghasilkan seorang Zhuangyuan, tentu akan menjadi legenda bagi angkatan selanjutnya.’
Wajah Lin Pingzhi bersemu merah. Dalam hati ia berkata, “Ibu Guru memandang rendah terhadapku karena badanku yang lemah dan sikapku yang lembut ini. Aku berjanji kepada diriku sendiri, aku harus giat belajar supaya bisa mengejar ketertinggalan dari saudara-saudara lainnya.”
Ning Zhongze kemudian melirik ke arah Linghu Chong dan menegur, “Hei, kau habis berkelahi lagi, bukan? Kenapa wajahmu begitu pucat? Apa kau terluka?”
Linghu Chong tersenyum dan menjawab, “Kesehatan saya sebenarnya sudah pulih. Mungkin karena kehilangan banyak darah sehingga wajah saya terlihat pucat. Kali ini hampir saja saya tidak bisa bertemu dengan Ibu Guru lagi untuk selamanya.”
“Ya, memang harus begitu,” ujar Ning Zhongze sambil melotot. Meskipun terlihat galak namun sebenarnya ia sangat menyayangi Linghu Chong seperti anak kandung sendiri. “Dengan bertarung seperti itu, tentu kau menjadi sadar bahwa di atas langit masih ada langit. Kau juga akan bertambah kuat dibanding sebelumnya. Apakah dirimu kalah dalam pertarungan secara kesatria?”
Linghu Chong menjawab, “Ilmu golok Tian Boguang sangat cepat dan ganas, saya merasa kesulitan untuk menangkisnya. Untuk itu saya ingin meminta petunjuk kepada Ibu Guru.”
Begitu mendengar bahwa yang telah melukai murid suaminya itu ternyata Tian Boguang si penjahat cabul, wajah Ning Zhongze langsung berubah ramah. Ia pun berkata, “Oh, ternyata kau terluka karena bertempur melawan seorang bajingan bernama Tian Boguang. Bagus sekali, bagus sekali! Tadinya aku kira kau mencari gara-gara dan membuat onar lagi. Coba katakan kepadaku, seperti apa ilmu goloknya itu. Mungkin kita bisa memecahkan rahasianya sehingga kelak bisa melabrak penjahat itu sekali lagi.”
Selama perjalanan pulang, Linghu Chong banyak meminta petunjuk kepada gurunya mengenai bagaimana cara untuk menghadapi kecepatan golok Tian Boguang. Namun, Yue Buqun tidak mau menjawab dan menyuruhnya untuk bertanya kepada sang ibu guru sesampainya nanti di Gunung Huashan. Sebaliknya, Ning Zhongze sendiri sangat tertarik begitu mendengar pengalaman Linghu Chong tersebut. Ia ingin lekas-lekas melihat seperti apa ilmu golok penjahat itu untuk menentukan bagaimana cara menandinginya.
Yue Buqun dan para murid lantas masuk ke dalam gedung utama perguruan. Dalam waktu singkat para murid langsung terbagi menjadi dua kelompok. Murid-murid perempuan mengerumuni Yue Lingshan untuk mendengarkan bagaimana penyamarannya sebagai gadis burik di Kota Fuzhou, sementara murid-murid laki-laki yang tidak ikut ke Hengshan mengerumuni Lu Dayou untuk mendengarkan kehebatan sang kakak pertama dalam mengahdapi Tian Boguang, serta bagaimana Luo Renjie dari Perguruan Qingcheng terbunuh. Tentu saja cerita tersebut ditambahi dengan bumbu di sana-sini supaya terdengar lebih menarik.

Ning Zhongze istri Yue Buqun.
Setelah meminum secawan teh sambil duduk di sudut ruangan, Ning Zhongze meminta Linghu Chong memperagakan ilmu golok Tian Boguang serta bagaimana dia telah menandingi jurus tersebut.
Linghu Chong menjawab sambil tersenyum, “Ilmu golok Tian Boguang sangat bagus dan cepat. Saya hanya bisa terbelalak menyaksikan kehebatannya, serta kesulitan dalam menangkis serangannya. Jadi, mana bisa saya dikatakan telah menandinginya?”
“Kalau kau tidak mampu menangkis serangannya, tentu kau menggunakan tipu muslihat dalam menghadapinya,” ujar Ning Zhongze menyimpulkan. Bagaimanapun juga ia telah merawat Linghu Chong sejak kecil sehingga mengetahui sifat dan kebiasaan pemuda itu.
Linghu Chong tertawa dan menjawab, “Saya pertama kali bertarung dengannya di dalam gua. Setelah Adik Yilin dari Perguruan Henshan berhasil melarikan diri, saya pun mengerahkan segenap kemampuan untuk mengalahkan Tian Boguang. Tapi penjahat itu lantas mengerahkan ilmu goloknya yang cepat. Baru menangkis dua kali saya langsung merasa seperti daging cincang. Maka, saya pun tertawa untuk mengalihkan perhatiannya.
Tian Boguang lantas menarik goloknya dan bertanya, ‘Apanya yang lucu? Kau pikir dirimu bisa menangkis Tiga Belas Jurus Golok Topan Badai milikku?’
Saya menjawab, ‘Aha, aku tahu sekarang. Ternyata Tian Boguang yang terkenal adalah bekas murid Huashan; atau lebih tepatnya, seorang murid buangan. Sungguh tak kusangka, sungguh tak kuduga. Mungkin karena tingkah lakumu yang buruk itu, maka kau dikeluarkan dari Perguruan Huashan.’
Tian Boguang menjadi marah dan berkata, ‘Murid buangan Perguruan Huashan kepalamu! Omong kosong apa pula ini? Ilmu silatku ini punya ciri khas tersendiri. Mana mungkin ada sangkut-pautnya dengan perguruanmu?’
Saya pun tertawa dan balik bertanya, ‘Kenapa kau masih tidak mengaku juga? Bukankah ilmu golokmu ada tiga belas jurus? Apa kau memberinya nama Jurus Golok Topan Badai hanya sekadar asal-asalan? Aku sendiri pernah menyaksikan permainan golok seperti itu dimainkan ibu-guruku jauh sebelum ini. Beliau mendapat inspirasi untuk menciptakan ilmu golok tersebut ketika sedang menyulam. Tentunya kau tahu kalau di Gunung Huashan terdapat sebuah puncak bernama Puncak Gadis Cantik, bukan?’
Tian Boguang menjawab, ‘Tentu saja setiap orang tahu. Memangnya apa yang aneh dengan puncak itu?’
Saya menjawab, ‘Ilmu golok yang diciptakan Ibu Guru bernama Tiga Belas Jurus Jarum Gadis Cantik. Salah satu jurusnya ada yang diberi nama Gadis Cantik Memasang Benang, Menyulam Jubah Kahyangan, atau ada pula yang diberi nama Semalam Menyulam Gambar Burung.’
Saya lantas menghitung-hitung dengan jari dan melanjutkan, ‘Ah, tidak salah lagi! Jurus-jurus yang baru saja kau gunakan untuk menyerangku adalah ciptaan Ibu Guru pula. Namanya Jurus Gadis Cantik Melempar Benang. Sungguh mengherankan, kenapa seorang gagah dan kasar seperti dirimu bisa meniru jurus ibu-guruku yang lembut dan gemulai? Gerakanmu benar-benar mirip seorang perempuan yang sedang menyulam, dari kiri ke kanan, dari kanan ke kiri. Bukankah ini sangat-sangat mengherankan....”
Mendengar sampai di sini Yue Lingshan dan murid-murid perempuan lainnya tertawa geli. Yue Buqun bahkan ikut tertawa sambil berseru, “Kau benar-benar lancang!”
“Huh!” bentak Ning Zhongze kepada Linghu Chong, “Kenapa kau melibatkan ibu-gurumu ini sebagai bahan ocehanmu?”
“Ibu Guru harap maklum,” jawab Linghu Chong. “Tian Boguang sangat sombong. Bila dia mendengar bahwa ilmu goloknya adalah hasil ciptaan seorang wanita, tentu dia akan menjadi sangat tersinggung. Maka, untuk membersihkan tuduhan itu, ia tidak mungkin langsung membunuh saya. Bahkan, ia justru memperagakan ketiga belas jurus goloknya yang luar biasa, dan bertanya di setiap jurus, ‘Apakah ini ilmu golok ciptaan ibu-gurumu?’
Waktu itu saya diam saja agar hatinya semakin gusar, sambil menggunakan kesempatan itu untuk menghafal gerakan goloknya. Setelah ketiga belas jurus selesai diperagakan olehnya, barulah saya menjawab, ‘Saudara Tian, sepertinya ada beberapa bagian dari ilmu golokmu yang tidak sama dengan ilmu pedang ibu-guruku. Namun secara umum, dapat kukatakan ilmu silat kalian berdua memiliki banyak kemiripan. Entah bagaimana kau bisa menjelaskan ini semua? Apakah benar kau tidak mencuri ilmu silat Perguruan Huashan kami?’
Ternyata Tian Boguang sungguh cerdik dan mengetahui maksud dan tujuan saya. Ia pun berkata gusar, ‘Huh, karena kau tidak mampu melawan ilmu golokku, lantas kau mengoceh sembarangan untuk mengulur-ulur waktu. Memangnya kau kira aku ini bodoh dan tidak paham maksud serta tujuanmu? Linghu Chong, karena kau sudah mengatakan Perguruan Huashan juga memiliki ilmu golok yang mirip denganku, maka aku harus meminta sedikit pelajaran darimu, supaya diriku ini bertambah pengalaman.”
Saya pun menjawab, ‘Perguruan Huashan kami hanya menggunakan pedang, tidak memakai golok. Selain itu, ilmu golok ciptaan ibu-guruku hanya diajarkan kepada murid-murid perempuan saja. Jadi, mana mungkin kami sebagai kaum laki-laki ikut-ikutan berlatih jurus pedang yang berlenggak-lenggok seperti itu? Tentunya sangat lucu, bukan?’
Tian Boguang semakin gusar dan berkata, ‘Lucu atau tidak, yang jelas kau harus mengakui kalau di dalam Perguruan Huashan tidak ada ilmu golok seperti milikku ini. Saudara Linghu, sebenarnya si marga Tian ini sangat kagum pada keberanianmu. Untuk itu seharusnya... seharusnya kau tidak sepantasnya sembarangan mengoceh mempermainkan aku!’”
Yue Lingshan menyahut, “Huh, siapa juga yang sudi dikagumi manusia rendah seperti dia? Menurutku, sudah sepantasnya Kakak Pertama mempermainkan dia. Biar tahu rasa.”
“Yah, waktu itu mau tidak mau aku harus memainkan beberapa jurus yang kukatakan sebelumnya tadi,” ujar Linghu Chong. “Jika tidak, mungkin aku akan langsung ditebas mati olehnya.”
“Maksudmu, kau berlenggak-lenggok menirukan gaya kaum wanita, begitu?” tanya Yue Lingshan sambil tertawa.
“Aku sudah sering melihatmu berlatih,” jawab Linghu Chong. “Jadi, tidak sulit bagiku untuk menirukan jurus pedang berlenggak-lenggok seperti kaum wanita.”
“Apa? Jadi kau anggap aku suka berlenggak-lenggok, hah? Awas, aku tidak mau bicara denganmu lagi!” seru Yue Lingshan dengan nada manja.
Ning Zhongze yang sejak tadi hanya terdiam akhirnya membuka suara, “Shan’er, coba kau berikan pedangmu kepadanya.”
Yue Lingshan mengangguk, lantas memberikan pedangnya kepada Linghu Chong sambil berkata, “Nah, Ibu ingin melihat caramu memainkan pedang dengan gaya berlenggak-lenggok.”
“Hus!” bentak Ning Zhongze. “Jangan dengarkan dia, Chong’er. Nah, sekarang coba kau perlihatkan gerakanmu sewaktu menghadapi penjahat itu!”
Linghu Chong memahami maksud perkataan sang ibu-guru. Ia pun memberi hormat terlebih dulu dan berkata, “Baiklah, izinkan saya memperagakan ilmu golok Tian Boguang yang saya hadapi waktu itu.”
Yue Buqun dan Ning Zhongze mengangguk. Melihat itu Lu Dayou segera berbisik kepada Lin Pingzhi, “Adik Lin, ini adalah adat istiadat dalam perguruan kita. Barangsiapa hendak memperagakan ilmu silat, harus lebih dulu meminta izin kepada yang lebih tua.”
“Terima kasih atas pemberitahuan Kakak Keenam,” jawab Lin Pingzhi.
Linghu Chong mulai mengacungkan pedangnya dengan gerakan lamban tak bertenaga. Tiba-tiba tanpa memberi tanda terlebih dulu, pedangnya sudah menebas secara berturut-turut sebanyak tiga kali dengan kecepatan tinggi, hingga mengeluarkan suara mendengung-dengung.
Murid-murid Huashan terkejut melihatnya. Bahkan, murid-murid wanita sampai menjerit ngeri. Linghu Chong sendiri memainkan pedangnya sebagai golok dengan cepat seperti tak teratur. Namun dalam pandangan pasangan gurunya, serangan-serangan tersebut benar-benar ganas dan mematikan. Sebentar kemudian ia pun mengakhiri permainan dan membungkuk hormat kepada guru dan ibu-gurunya.
Yue Lingshan terlihat kecewa dan bertanya, “Hanya begitu saja sudah selesai?”
“Semakin cepat semakin bagus,” ujar Ning Zhongze. “Ilmu golok penjahat itu terdiri dari tiga belas jurus, namun setiap jurusnya mengandung tiga sampai empat gerakan perubahan. Jadi, dalam sekejap saja dapat bermain lebih dari empat puluh macam gerakan. Ini benar-benar ilmu golok yang jarang ada bandingannya di dunia persilatan.”
Linghu Chong menambahkan, “Apabila si keparat Tian Boguang yang memainkannya, bisa jauh lebih cepat daripada saya.”
Yue Buqun saling pandang dengan Ning Zhongze. Kedua suami-istri itu sama-sama merasa kesal sekaligus kagum di dalam hati.
Tiba-tiba Ning Zhongze bangkit dan mencabut pedang yang tergantung di pinggang salah seorang murid perempuannya. Ia kemudian melompat dan berseru, “Chong’er, gunakan jurus golok kilat penjahat itu!”
“Baik,” jawab Linghu Chong sambil kemudian mengayunkan pedangnya ke arah sang ibu-guru. Serangan tersebut seolah-olah meleset melewati tubuh Ning Zhongze, namun tiba-tiba ujung pedang Linghu Chong melengkung berbalik menuju pinggang wanita itu.
Seketika Yue Lingshan menjerit, “Ibu, hati-hati!”
Ning Zhongze sendiri sudah melompat maju tanpa memedulikan tusukan dari belakang tersebut, kemudian ia membalas menusuk ke arah dada Linghu Chong.
Kembali Yue Lingshan berteriak, namun dengan sasaran berbeda, “Hati-hati, Kakak Pertama!”
Linghu Chong ternyata tidak menangkis pula. Sebaliknya, ia menebas satu kali sambil berseru, “Tian Boguang jauh lebih cepat dari ini, Ibu Guru!”
Ning Zhongze menghadapinya dengan tiga kali tusukan. Sebaliknya, Linghu Chong juga melancarkan tiga kali sabetan. Makin lama gerakan kedua orang itu semakin cepat. Serangan-serangan mereka juga sama-sama berbahaya. Tidak seorang pun di antara keduanya yang asal menangkis. Mereka hanya berusaha mengelak dan membalas serangan. Tidak terasa lebih dari dua puluh jurus terlewati hanya dalam waktu yang sangat singkat.
Melihat pemandangan itu Lin Pingzhi sangat terkesima. Diam-diam ia berpikir, “Kakak Pertama suka bicara sembarangan dan bertingkah seenaknya. Tak disangka ilmu silatnya sedemikian hebat. Aku harus lebih giat belajar, supaya tidak dipandang rendah lagi oleh orang lain.”
Pada saat itu tiba-tiba pedang Ning Zhongze meluncur ke depan dan kali ini tepat mengancam tenggorokan Linghu Chong. Pemuda itu tidak sempat mengelak, hanya berkata, “Percuma, dia dapat menangkisnya.”
“Baiklah kalau begitu,” sahut Ning Zhongze sambil menarik mundur pedangnya dan melancarkan serangan-serangan lainnya. Sekejap kemudian pedang wanita itu sudah mengancam di depan jantung Linghu Chong. Namun pemuda itu tetap berkata, “Dia masih dapat menangkisnya.”
Maksud ucapan Linghu Chong ialah, serangan Ning Zhongze itu memang tidak bisa dipatahkannya, namun tetap bisa ditangkis oleh Tian Boguang.
Ning Zhongze kembali membangun serangan yang lebih cepat dan ganas. Sampai-sampai Linghu Chong tidak sempat lagi mengatakan, “dia masih bisa menangkis,” ketika pedang ibu-gurunya itu kembali mengancam bagian tubuhnya. Namun demikian, ia tetap menggelengkan kepala seolah memberi tahu bahwa Tian Boguang masih bisa lebih cepat.
Ning Zhongze semakin bersemangat. Tiba-tiba ia membentak nyaring. Pedangnya gemerlap menyilaukan, membuat sekeliling tubuh Linghu Chong bagaikan terbungkus sinar perak. Tiba-tiba pedang istri Yue Buqun itu menusuk ke depan dan secepat kilat sudah mengancam ulu hati Linghu Chong. Kali ini Linghu Chong berteriak ngeri, “Ibu Guru!”
Tidak berhenti sampai di sini, pedang tersebut terus maju dan terlihat sudah menusuk tubuh Linghu Chong, bahkan gagangnya sampai menempel di dada pemuda itu.
Melihat pemandangan tersebut Yue Lingshan menjerit ketakutan, “Ibu!”
Sesaat kemudian, terdengar suara logam berjatuhan di lantai. Ternyata pedang Ning Zhongze tidak benar-benar menusuk dada Linghu Chong, melainkan hancur berkeping-keping menjadi beberapa potongan kecil dan jatuh berserakan di kaki pemuda itu. Yang tersisa di tangan Ning Zhongze hanya tinggal gagangnya saja, dan menempel di dada Linghu Chong.
Yue Buqun tertawa memuji istrinya, “Adik, tenaga dalammu sungguh luar biasa. Sampai-sampai aku tidak mengetahuinya.”
Ning Zhongze tersenyum dan menjawab, “Kakak terlalu memuji. Kepandaian yang hanya sedikit ini tidak berarti apa-apa. Untuk apa harus dipermasalahkan?”
Pasangan suami-istri ini sebelumnya adalah saudara seperguruan. Itulah sebabnya meskipun sudah menikah mereka masih tetap saling memanggil “kakak” dan “adik”.
Linghu Chong masih termangu-mangu tidak percaya atas apa yang baru saja dialaminya. Baru sekarang ia menyadari kalau ibu-gurunya telah menusukkan pedang dengan kecepatan tinggi ke arah dadanya. Namun begitu pedang tersebut menyentuh kain bajunya, Ning Zhongze dengan segenap kekuatan memutar pedang tersebut agar tidak sampai benar-benar menusuk sasaran. Tenaga dalam Ning Zhongze yang sangat hebat itu akhirnya mematahkan pedang di tangannya hingga hancur berkeping-keping.
Maka, Linghu Chong pun memuji, “Dengan kepandaian Ibu Guru seperti ini, bagaimanapun cepatnya gerakan Tian Boguang, tetap saja ia tidak bisa menghindar.”
Lin Pingzhi juga terkesima menyaksikan baju Linghu Chong yang penuh lubang akibat putaran pedang sang ibu-guru tadi. Dalam hati ia berpikir, “Dibandingkan dengan Ilmu Pedang Penakluk Iblis yang menjadi rebutan Yu Canghai dan Mu Gaofeng, ilmu pedang Ibu Guru sepertinya jauh lebih unggul. Oh, aku baru tahu ternyata di dunia ada ilmu pedang sehebat ini. Kalau aku tekun belajar dan berlatih, aku pasti bisa membalas kematian Ayah dan Ibu.”
Ning Zhongze tersenyum puas dan berkata, “Chong’er, kau bilang seranganku yang terakhir tadi mampu membinasakan Tian Boguang; maka itu, kau harus giat berlatih supaya ilmu tadi bisa kuturunkan kepadamu.”
“Terima kasih banyak, Ibu Guru,” sahut Linghu Chong gembira.
“Ibu, aku juga ingin mempelajarinya,” seru Yue Lingshan.
Ning Zhongze menjawab sambil menggelengkan kepala, “Tenaga dalammu belum cukup. Jurus serangan tadi tidak bisa kau pelajari dengan sempurna.”
“Tapi... tapi tenaga dalam Kakak Pertama hanya selisih sedikit di atasku. Kalau dia boleh kenapa aku tidak?” ujar gadis itu penasaran.
Ibunya hanya tersenyum tidak menjawab. Dengan manja Yue Lingshan lantas menarik tangan sang ayah dan berkata, “Ayah, tolong ajari aku satu jurus ilmu pedang yang bisa mematahkan serangan tadi. Biar kelak aku tidak diejek Kakak Pertama.”
Yue Buqun menggeleng sambil tertawa, lalu menjawab, “Ilmu yang dimainkan ibumu tadi bernama ‘Jurus Pedang Ning Tanpa Tanding’. Mana mungkin aku bisa menciptakan jurus untuk mengatasinya?”
“Kau bicara apa?” sahut Ning Zhongze tersenyum. “Bila ucapanmu tersiar, bisa-bisa aku ditertawakan dunia persilatan.”
Ilmu pedang Ning Zhongze tadi memang diciptakan secara spontan sesuai keadaan. Di dalamnya terkandung intisari tenaga dalam dan ilmu pedang Perguruan Huashan yang paling murni. Ditambah dengan kecerdasan Ning Zhongze yang teramat tinggi, membuat jurus tersebut sangat ganas dan mematikan.
Yue Buqun sendiri mengenal watak istrinya yang tidak suka bersandar pada nama besar sang suami. Istrinya itu lebih suka dipanggil dengan sebutan “Pendekar Ning” daripada “Nyonya Yue”. Maka itu, jurus baru yang digunakan untuk menyerang Linghu Chong tadi langsung ia sebut dengan nama “Jurus Pedang Ning Tanpa Tanding” untuk membesarkan hati sang istri. Meskipun Ning Zhongze menanggapi pemberian nama itu dengan nada dingin, namun dalam hati ia merasa bangga dan berterima kasih kepada sang suami.
Sementara itu Yue Lingshan kembali mengusik, “Ayah, kapan-kapan kau juga bisa menciptakan jurus pedang Yue yang tiada tandingannya di muka bumi. Kemudian, ajarkan kepadaku agar aku bisa mengalahkan Kakak Pertama.”
“Tidak bisa begitu,” jawab Yue Buqun sambil tertawa. “Kecerdasan ayahmu ini masih kalah jauh dibandingkan ibumu. Mana mungkin Ayah bisa menciptakan ilmu pedang?”
Menanggapi itu Yue Lingshan mendekat dan berbisik lirih di telinga sang ayah, “Sebenarnya Ayah bukannya kalah cerdas, tapi takut pada istri. Maka itu, tidak berani menciptakan ilmu tandingan.”
“Omong kosong!” seru Yue Buqun sambil tertawa dan mencubit pipi putrinya yang nakal.

Pedang Ning Zhongze yang tinggal gagang.
(Bersambung)

bagian 21 ; halaman muka ; bagian 23