Bagian 34 - Niat Baik, Hasil Buruk

Linghu Chong siuman dari pingsan.

Sementara itu Linghu Chong yang terluka parah akibat pukulan Cheng Buyou tadi sampai kehilangan kesadarannya ketika dilarikan Enam Dewa Lembah Persik. Ketika siuman dan membuka mata, ia mendapati dua orang bermuka panjang sedang menunggui dirinya dengan wajah harap-harap cemas. Kedua pasang mata itu terlihat memandang kepadanya tanpa berkedip.

“Aha, dia sudah sadar! Dia sudah sadar! Bocah ini tidak akan mati,” seru salah seorang dari mereka yang tidak lain adalah Dewa Bunga Persik.

“Tentu saja dia tidak akan mati. Mana mungkin dia mati hanya karena pukulan tadi?” sahut yang lainnya, yaitu Dewa Buah Persik.

“Huh, enak saja kau bicara,” tukas Dewa Bunga Persik. “Kalau pukulan tadi mengenai tubuhmu tentu kau tidak akan terluka. Tapi bocah ini jangan disamakan dengan dirimu. Bisa jadi dia kehilangan nyawa karena pukulan itu.”

“Sudah jelas dia tidak mati, mengapa kau katakan dia akan kehilangan nyawa?” desak Dewa Buah Persik tidak mau kalah.

“Aku tidak bilang dia pasti mati, tapi aku bilang bisa jadi dia akan mati,” kata Dewa Bunga Persik.

“Kalau dia sudah siuman kembali tentu tidak ada alasan lagi mengatakan bisa jadi dia akan mati,” sahut Dewa Buah Persik.

“Kalau aku tetap berpendapat demikian, kau mau apa?” kata Dewa Bunga Persik tidak kalah keras.

“Itu membuktikan kalau pandanganmu kurang tajam. Bahkan, bisa kukatakan pada hakikatnya kau tidak mengetahui apa-apa,” ujar Dewa Buah Persik.

“Jika kau tahu dia tidak akan mati, mengapa tadi kau menghela napas dan merasa begitu khawatir?” tanya Dewa Bunga Persik.

“Aku menghela napas bukan karena mengkhawatirkan kematiannya, tapi aku takut biksuni cilik merasa cemas bila melihat keadaannya,” kata Dewa Buah Persik. “Alasan kedua, kita telah bertaruh dengan biksuni cilik bahwa kita pasti bisa membawa bocah ini turun gunung hidup-hidup untuk menemuinya. Tapi kini Linghu Chong dalam keadaan setengah mati. Aku takut biksuni cilik tidak mau mengakui keberhasilan kita.”

Linghu Chong dapat mendengar dengan baik apa yang menjadi perdebatan kedua bersaudara itu. Kata-kata mereka sangat lucu namun menunjukkan bahwa mereka sangat menaruh perhatian terhadap keselamatan dirinya. Dalam hal ini Linghu Chong merasa geli sekaligus terharu. Saat mereka menyebut soal “biksuni cilik”, Linghu Chong yakin bahwa yang dimaksud adalah Yilin dari Perguruan Henshan. Dengan tersenyum ia berkata lirih, “Kalian berdua jangan khawatir. Aku, Linghu Chong, tidak akan mati semudah ini.”

“Nah, kau dengar itu?” sahut Dewa Buah Persik kepada saudaranya dengan perasaan gembira. “Dia sendiri yang menyatakan kalau dia tidak akan mati.”

“Waktu aku berpendapat tadi, dia belum bisa bersuara,” sahut Dewa Bunga Persik tidak mau kalah.

“Sejak tadi dia sudah membuka matanya. Dengan sendirinya ia juga bisa bersuara. Akan hal ini siapa pun bisa menduganya,” kata Dewa Buah Persik.

Linghu Chong semakin merasa jemu mendengar pertengkaran kedua orang yang tidak bermanfaat itu. Jika diterus-teruskan mereka bisa bertengkar seharian. Ia pun berkata sambil tersenyum, “Sebenarnya aku akan mati. Tapi ketika mendengar kalian berharap aku jangan mati, maka aku pun tidak mati. Enam Dewa Lembah Persik mempunyai nama besar di.. uhuk-uhuk… dunia persilatan. Bila kalian meminta aku jangan mati, maka aku pun tidak berani mati.”

Mendengar pujian itu hati Dewa Buah Persik dan Dewa Bunga Persik merasa senang sekali. Mereka pun berkata bersamaan, “Benar sekali, benar sekali! Ucapan bocah ini masuk akal. Mari kita beri tahu saudara-saudara yang lain.”

Setelah kedua bersaudara itu pergi, Linghu Chong baru menyadari kalau dirinya sedang terbaring di atas ranjang kayu. Kelambu yang menyelubungi ranjang tersebut sudah kumal dan lapuk. Dalam keadaan tidak tahu menahu di mana dirinya saat ini, ia mencoba menoleh namun dadanya langsung terasa sakit dan panas. Maka, ia pun kembali ke posisi semula.

Tidak seberapa lama kemudian Enam Dewa Lembah Persik masuk ke dalam kamar. Keenam orang aneh itu langsung bicara tanpa henti. Ada yang membual tentang jasanya sendiri; ada yang menyatakan khawatir atas luka yang dialami Linghu Chong; ada yang bersyukur karena pemuda itu memilih tetap hidup demi mereka; ada yang mengatakan demi menyelamatkan Linghu Chong yang terluka maka mereka batal membuat perhitungan dengan orang-orang Songshan, karena jika tidak, keenam orang aneh itu pasti akan membelah tubuh mereka menjadi empat.

Demi untuk menyenangkan hati Enam Dewa Lembah Persik, Linghu Chong ikut bersuara dan memberikan beberapa pujian. Namun setelah itu ia jatuh pingsan. Beberapa saat kemudian pemuda itu siuman dan samar-samar ia merasa dadanya muak dan sesak. Darah di seluruh tubuhnya seakan-akan bergolak saling tumbuk. Apa yang ia rasakan sangat tidak enak dan sulit diungkapkan.

Linghu Chong merasa tubuhnya panas seperti sedang dipanggang. Tak kuasa menahan lagi ia pun merintih pelan. Namun terdengar suara membentak kepadanya, “Diam! Jangan bersuara!”

Begitu membuka mata, Linghu Chong melihat sebuah pelita dengan api sebesar kacang menyala di atas meja. Tubuhnya sendiri terbaring di lantai dalam keadaan nyaris telanjang. Rupanya hawa panas yang menjalar di sekujur tubuhnya berasal dari Enam Dewa Lembah Persik yang mengelilingi tubuhnya dan menyalurkan tenaga dalam masing-masing. Satu orang memegangi kepalanya, satu orang menahan perutnya, dua orang memegangi tangan kanan dan kiri, serta dua orang lagi memegangi kaki kanan dan kirinya.

Dalam keadaan terkejut Linghu Chong merasakan suatu hawa panas menyusup masuk melalui telapak kaki kiri, naik ke paha, perut, dada, lengan kanan, dan berakhir di telapak tangan kanan. Bersamaan dengan itu, hawa panas yang lain juga menyusup masuk melalui telapak tangan kiri, naik ke lengan, dada, perut, paha kanan, dan akhirnya sampai ke telapak kaki kanan. Kedua arus hawa panas tersebut terus berputar-putar kian kemari di dalam tubuh Linghu Chong. Pemuda itu merasa tubuhnya semakin panas seperti dipanggang.

Dalam hati Linghu Chong merasa sangat berterima kasih atas perhatian Enam Dewa Lembah Persik yang bermaksud menyembuhkan lukanya dengan menyalurkan tenaga dalam mereka. Maka, ia pun mengerahkan tenaga dalam Huashan untuk menambah kekuatan hawa panas dari keenam orang itu. Tidak disangka-sangka, begitu tenaga dalam Linghu Chong bekerja mulai dari pusarnya, tiba-tiba bagian perut terasa sakit luar biasa seperti ditikam. Kontan saja darah segar pun menyembur deras dari mulut pemuda itu.

“Celaka!” seru Enam Dewa Lembah Persik bersamaan.

Dewa Daun Persik yang memegangi ubun-ubun Linghu Chong segera memberikan tepukan sehingga pemuda itu pingsan kembali. Dalam keadaan samar-samar itu Linghu Chong marasakan tubuhnya sebentar panas sebentar dingin. Kedua arus hawa murni tersebut menelusur kian kemari di antara urat nadi anggota badannya. Di antara kedua tangan dan kedua kaki kadang-kadang terasa betapa kedua aliran hawa tersebut saling bertabrakan dan saling menundukkan. Rasanya benar-benar menderita.

Selang agak lama Linghu Chong merasa tubuhnya agak segar. Kepalanya terasa dingin dan ia pun mendapatkan kembali kesadarannya. Sayup-sayup terdengar suara Enam Dewa Lembah Persik berdebat adu pendapat. Begitu membuka mata, pemuda itu melihat Dewa Dahan Persik sedang berdiri di hadapannya dan berkata, “Coba kalian lihat, dia sudah tidak berkeringat lagi. Cara yang kugunakan berhasil, betul tidak? Hawa murni yang kusalurkan mengalir dari titik Zhong-Du menuju titik Feng-Shi dan Huan-Tiao, kemudian berputar kembali menuju titik Yuan-Ye pada tubuhnya. Aku yakin, caraku ini bisa mengobati luka dalam di tubuhnya.”

“Masih juga kau berani membual!” sahut Dewa Akar Persik. “Coba kalau dua hari yang lalu aku tidak menggunakan caraku, yaitu dengan menyalurkan hawa murni ke berbagai urat nadi di bagian kaki dan hati, tentu bocah ini sudah mati sejak lama. Apa kau mengira masih punya kesempatan untuk mengirim hawa murni memutar menuju titik Yuan-Ye?”

“Memang benar!” sahut Dewa Ranting Persik. “Hanya saja, meskipun Kakak Pertama bisa menyembuhkan luka dalamnya, namun kedua kakinya bisa lumpuh. Bukankah ini berarti metode pengobatanmu kurang sempurna? Aku rasa cara yang kugunakan adalah yang paling baik. Luka dalam bocah ini terletak di bagian jantung yang mengalami penyumbatan. Segala penyembuhan harus dimulai dari sana.”

“Huh, omong kosong apa pula ini?” tukas Dewa Akar Persik dengan gusar. “Kau bukan cacing dalam perutnya, dari mana kau tahu kalau luka dalamnya terletak di bagian jantung? Memangnya kau sudah masuk dan memeriksa ke dalam tubuhnya?”

Dewa Daun Persik ikut berkata, “Cara menyalurkan hawa murni yang berputar di titik Yuan-Ye dalam tubuhnya aku rasa kurang baik. Sebaiknya kita sembuhkan dulu kakinya melalui saluran Shaoyin dekat ginjal.” Usai berkata demikian –tanpa menunggu pendapat dari saudara yang lain– ia langsung menekan titik Yin-Gu pada lutut kiri Linghu Chong dan menyalurkan tenaga dalamnya.

Melihat itu Dewa Dahan Persik menjadi gusar dan berkata, “Hei, kau sungguh berani! Baiklah, kita lihat saja siapa yang benar.” Usai berkata demikian ia langsung menyalurkan tenaga dalam lebih hebat dari sebelumnya ke tubuh Linghu Chong. Tidak mau ketinggalan, keempat saudara yang lain ikut menyalurkan tenaga dalam masing-masing ke tubuh pemuda itu.

Akan tetapi Linghu Chong justru merasa muak dan ingin muntah. Darah terasa sudah memenuhi kerongkongan hendak menyembur keluar dari mulut. Dalam hati ia hanya bisa mengeluh. “Gawat, ini sungguh gawat! Keenam orang aneh ini sebenarnya bermaksud baik ingin menyelamatkan hidupku, namun mereka sama-sama tidak mau mengalah dan memegang teguh pendapat masing-masing. Nasibku sungguh sial kali ini.” Sesungguhnya ia ingin berteriak menyuruh mereka berhenti saja, namun sedikit pun mulutnya tidak mampu bersuara dan lidah terasa kelu.

Kembali terdengar suara Dewa Akar Persik berkata, “Bocah ini mendapat pukulan di dada, yang tentunya mengakibatkan luka dalam di beberapa bagian. Untuk itu pengobatan terbaik adalah menyalurkan hawa murni melalui tangan menuju paru-paru. Mari kita salurkan tenaga dalam melalui titik Zhong-Fu, Chi-Ze, Kong-Zui, Lie-Que, Tai-Yuan, dan Shao-Shang.”

Dewa Dahan Persik menanggapi, “Kakak Pertama, aku mengagumi kepandaianmu dalam banyak hal. Namun dalam hal pengobatan menggunakan hawa murni jelas ilmuku lebih baik. Bocah ini mendderita demam di sekujur tubuhnya. Ini pertanda bahwa di dalamnya terlalu banyak mendapat arus tenaga panas. Kita harus mengobatinya melalui jalur Tai-Yang. Mari kita sembuhkan dia dengan menyalurkan tenaga melalui titik Shang-Yang, He-Gu, Shousan-Li, Qu-Chi, dan Ying-Xiang.”

“Salah semua! Salah semua!” seru Dewa Ranting Persik sambil menggelengkan kepala.

“Kau tahu apa? Kenapa kau bilang cara yang kuusulkan salah?” bentak Dewa Dahan Persik.

Di lain pihak, Dewa Akar Persik menanggapi dengan tersenyum gembira, “Adik Ketiga mempunyai pemahaman yang bagus dalam ilmu pengobatan. Dia tahu kalau caramu salah dan caraku benar.”

Dewa Daun Persik menyela, “Hm, Kakak Kedua mungkin saja salah, tapi Kakak Pertama juga belum tentu benar. Lihat bocah itu. Pandangannya terlihat kosong. Bibirnya bergetar tapi dia tidak mau bicara.”

Dalam hati Linghu Chong menggerutu, “Siapa bilang aku tidak mau bicara? Kalian telah menyalurkan hawa murni secara sembarangan dalam tubuhku, dan sekarang aku sudah tidak kuat bicara.”

Dewa Daun Persik melanjutkan, “Hei, lihat! Bocah ini mulai tidak waras, pikirannya sudah tidak berfungsi dengan baik. Kita harus mengobatinya melalui saluran Yang-Ming pada perut.” 

Linghu Chong menggerutu dalam hati, “Pikiran kalian yang tidak jalan! Kalian yang sudah tidak waras!” 

Begitulah, Linghu Chong lantas merasa sakit pada titik Si-Bai yang tepat di bawah matanya. Kemudian pada titik Di-Cang di sudut mulut juga terasa ngilu. Selanjutnya beberapa titik nadi juga mengalami sakit, mulai dari Da-Ying, Jia-Che di bagian wajah dan beberapa titik di atas kepala, seperti Tou-Wei dan Xia-Guang. Pada detik selanjutnya rasa ngilu dan gatal menjalar di seluruh wajahnya sampai terasa kejang.

“Lihatlah, meskipun kau tekan di sana-sini tetap saja dia tidak bicara,” kata Dewa Buah Persik. “Aku rasa bukan otaknya yang sakit, tapi lidahnya yang kelu. Ini artinya dia terkena gejala demam berat. Biar aku alirkan tenaga dalam melalui titik Yin-Bai, Tai-Bai, Gong-Sun, Shang-Qiu, Di-ji,  dan lain-lainnya. Tapi... tapi kalau dia tidak sembuh kalian jangan salahkan aku!”

“Enak saja!” sahut Dewa Dahan Persik. “Kalau dia tidak sembuh berarti jiwanya melayang. Sudah tentu kau yang harus disalahkan.”

Dewa Buah Persik menanggapi, “Tapi jika kalian sudah tahu bahwa lidahnya kelu, dan penyembuhan pada saluran Tai-Yin dari kaki ke limpa tidak berhasil, apakah kalian akan membiarkan dia mati begitu saja?”

“Tapi kalau cara pengobatanmu salah, urusan bisa menjadi runyam,” desak Dewa Ranting Persik.

Dewa Bunga Persik menyela, “Cara pengobatan yang salah memang bisa menjadi urusan yang runyam. Tapi kalau tidak bisa menyembuhkanya, urusan bisa lebih runyam lagi. Kita sudah berusaha cukup lama tapi dia tidak juga pulih. Aku yakin dia mempunyai masalah pada jantung. Mari kita obati dia melalui saluran Shao-Yang dari tangan ke jantung. Jelas bahwa kunci dari pengobatan ini adalah titik Shao-Hai, Tong-Li, Shen-Men, dan Shao-Chong.”

Dewa Buah Persik menukas, “Bukankah kemarin kau bilang bahwa kita harus mengobati melalui saluran Shao-yin dari kaki ke ginjal, mengapa sekarang kau bilang soal saluran Shao-Yang dari tangan ke jantung? Saluran Shao-yang mengumpulkan energi panas, sadangkan saluran Shao-Yin mengumpulkan energi dingin. Yin dan Yang jelas-jelas berlawanan. Kenapa pikiranmu bisa berubah-ubah seperti ini?”

“Salah atau benar sulit untuk diketahui karena belum kau lakukan,” ujar Dewa Bunga Persik. “Padahal bocah ini hanya terluka luarnya saja dan tidak terlalu parah. Tapi sudah sekian lama kita berusaha menyembuhkannya kenapa tetap saja gagal? Kukira penyakitnya ini harus kita sembuhkan dari dalam.”

Dewa Buah Persik menjawab,” Yin ada karena Yang; Yang ada karena Yin. Yin dan Yang memang berlawanan tapi sebenarnya saling melengkapi. Tai Chi melahirkan dua bagian, bergabung menjadi Tai Chi maka itu sesuatu dibagi menjadi dua, dan yang dua digabung menjadi satu. Shao-Yang dan Shao-Yin adalah dua bagian yang berpasangan. Sunguh tidak benar kalau hanya mengobati pada satu saluran saja.” 

Mendengar perdebatan itu, Linghu Chong hanya bisa memaki dalam hati, “Kalian hanya berdebat seperti orang bodoh, tapi bagaimana dengan nyawaku? Sungguh tidak berguna!”

Terdengar Dewa Akar Persik berkata, “Kita sudah mencoba dengan berbagai cara namun tetap saja tidak berhasil. Terpaksa aku harus menggunakan cara yang luar biasa.”

“Cara yang luar biasa, bagaimana?” tanya saudara-saudaranya.

“Penyakit bocah ini sepertinya semacam penyakit yang aneh, maka harus disembuhkan dengan cara yang aneh pula,” jawab Dewa Akar Persik. “Maka, aku akan menyembuhkannya dengan menotok titik Yin-Tang, Jin-Lu, Yu-Ye, Yu-yao, Bai-Lao, dan dua belas jalan darahnya yang paling aneh serta jarang dikenal.”

“Kakak Pertama, jangan lakukan itu! Itu terlalu berbahaya,” seru Dewa Bunga Persik juga yang lainnya.

“Jangan bagaimana?” bentak Dewa Akar Persik. “Jika tidak kita lakukan maka jiwa bocah ini tidak akan tertolong lagi.”

Sekejap kemudian Linghu Chong merasa titik Yin-Tang, Jin-Lu, dan beberapa lainnya sakit luar biasa bagaikan ditusuk pisau tajam. Rasa sakitnya begitu dahsyatnya sehingga ia tidak bisa membedakan titik mana yang paling sakit. Ia membuka mulut ingin berteriak namun tidak bisa bersuara sama sekali. Pada saat itu, suatu arus hawa panas mendesak masuk ke dalam tubuhnya bagaikan gelombang pasang air laut melalui jalur Tai-Yin dari kaki ke limpa. Sesaat kemudian sebuah arus lain masuk melalui jalur Shao-Yang dari tangan menuju jantung. Kedua arus panas itu terkadang saling bertubrukan dan saling mendesak dengan hebat dan liar. Menyusul kemudian tiga arus hawa panas lainnya mendesak masuk melalui jalur yang berbeda.

Enam Dewa Lembah Persik menyalurkan tenaga dalam kepada Linghu Chong.

Linghu Chong merasa gusar dan marah luar biasa karena tubuhnya menderita menjadi ajang pertempuran arus panas yang dikerahkan ke enam orang tua aneh itu. Memang sudah dua hari lamanya keenam orang itu mengobati Linghu Chong dengan cara-cara liar, akan tetapi saat ia sedang pingsan sehingga tidak mengetahui apa yang terjadi. Sedangkan saat ini ia dalam keadaan sadar tapi tidak mampu menghentikan perbutan Enam Dewa Lembah Persik. Yang kini ia rasakan adalah enam arus hawa panas saling mendesak di sekujur tubuhnya dan menjadikan bagian-bagian penting seperti hati, ginjal, paru-paru, jantung, limpa, lambung, usus, kantong kemih, dan yang lain sebagai arena bermain dan ajang pertempuran. Dalam hati ia hanya bisa mencaci maki Enam Dewa Lembah Persik, “Awas kalian, anjing tua! Jika aku tidak mati maka kalian akan kucincang habis.”

Jauh di lubuk hatinya, Linghu Chong tahu kalau Enam Dewa Lembah Persik mempunyai niat baik yaitu ingin mengobati dirinya menggunakan tenaga dalam mereka. Cara seperti ini biasanya hanya digunakan untuk mengobati orang yang mempunyai hubungan dekat. Akan tetapi linghu Chong sendiri merasa seperti dibakar hidup-hidup. Penderitaannya sudah tak tertahankan dan andai ia bisa bicara tentu ia akan memaki dengan kata-kata yang paling kasar.

Enam Dewa Lembah Persik tetap saja berdebat sambil tangan mereka mengobati Linghu Chong. Mereka tidak menyadari kalau perbuatan mereka justru membuat luka pada tubuh Linghu Chong semakin parah dan keadaannya bertambah buruk. Untungnya sejak kecil Linghu Chong sendiri sudah mempelajari ilmu tenaga dalam Perguruan Huashan yang hebat. Meskipun belum mencapai tingkat sempurna, namun karena yang ia pelajari adalah ilmu tenaga dalam murni sehingga ia mempunyai dasar-dasar yang kuat. Berkat dasar-dasar tenaga dalam itulah ia mampu bertahan hidup dan tidak mudah menyerah menghadapi penderitaan akibat ulah keenam orang tua itu.

Selang agak lama Enam Dewa Lembah Persik akhirnya mengetahui kalau keadaan menjadi buruk mereka dapat merasakan denyut jantung Linghu Chong  terdengar semakin lemah, nafasnya pun semakin berat. Mau tidak mau Enam Dewa Lembah Persik merasa khawatir jangan-jangan pemuda itu akan segera tewas beberapa detik lagi .

Dewa Buah Persik yang penakut mula-mula melepaskan tangannya dari tubuh Linghu Chong. “Sudahlah, aku tidak mau meneruskannya lagi. Aku takut dia nanti terlanjur mati. Aku takut arwahnya penasaran dan mungkin akan datang menggodaku. Aku takut.”

Dewa Akar Persik membentak, “Jika bocah ini berontak maka yang akan dimaki pertama kali adalah kau. Dan jika ia  menjadi hantu maka yang akan dikejar adalah kau dan hanya kau!” 

Dewa Buah Persik semakin ketakutan dan menjerit kemudian melompat keluar jendela

Kelima Dewa Persik yang lain menarik tangan masing-masing. Mereka saling pandang satu sama lain dan kemudian menggelengkan kepala tidak tahu harus berbuat apa.

“Tampaknya bocah ini sulit diselamatkan lagi. Lantas bagaimana ini baiknya?” tanya Dewa Daun Persik.

“Bagaimana kalau kita katakan pada biksuni cilik bahwa bocah ini terluka parah akibat pukulan musuh bertubuh pendek itu, dan akhirnya mati? Kemudian kita sampaikan pula bahwa si pendek itu sudah kita belah menjadi empat untuk membalas dendam bocah ini,” usul Dewa Dahan Persik.

“Apa perlu kita katakan juga kalau kita telah berusaha menyembuhkan dia menggunakan tenaga dalam kita?” tanya Dewa Akar Persik.

“Tidak, tidak! Sebaiknya jangan sekali-kali kita beri tahukan!” seru Dewa Dahan Persik.

“Tapi bagaimana kalau biksuni cilik bertanya mengapa kita tidak berusaha menyembuhkannya? Bagaimana coba?” sahut Dewa Akar Persik kembali bertanya.

“Kalau begitu katakan saja kalau kita sudah berusaha menyembuhkannya namun tidak berhasil,” kata Dewa Dahan Persik.

“Lalu, apakah biksuni cilik tidak akan menganggap kita, Enam Dewa Lembah Persik, sebagai orang-orang tidak berguna, tidak becus, lebih rendah daripada enam ekor anjing?” tanya Dewa Akar Persik.

Dewa Dahan Persik menyahut, “Apa? Biksuni cilik memaki kita sebagai anjing? Sungguh keterlaluan!”

“Tidak, biksuni cilik tidak memaki. Aku saja yang bilang demikian,” kata Dewa Akar Persik.

“Jika dia tidak memaki, dari mana kau tahu dia menyebut kita anjing?” tanya Dewa Dahan Persik.

“Aku tadi hanya membayangkan saja,” sahut Dewa Akar Persik.

“Atau mungkin dia tidak akan memaki kita,” kata Dewa Dahan Persik ragu-ragu.

“Kalau bocah ini mati pasti biksuni cilik akan sangat sedih kemungkinan besar dia akan memaki kita seperti itu,” ujar Dewa Akar Persik.

“Aku yakin biksuni cilik pasti akan menangis sedih tapi tidak sampai memaki kita,” ujar Dewa Dahan Persik.

“Aku lebih suka dia memaki kita sebagai anjing daripada kita melihatnya menangis sedih,” kata Dewa Akar Persik.

“Seandainya dia benar-benar memaki kita juga tidak akan memanggil kita sebagai anjing,” kata Dewa Dahan Persik.

“Lantas, dia memaki kita sebagai apa?” tanya Dewa Akar Persik.

Dewa Dahan Persik menjawab, “Memangnya kita berenam ini mirip anjing? Sedikit pun tidak mirip anjing. Maka, kukira dia mungkin akan memaki kita sebagai kucing.”

“Huh, mengapa memaki kita sebagai kucing?” sela Dewa Daun Persik. “Memangnya kita mirip kucing?”

“Kata-kata untuk memaki tidak perlu harus mirip dengan orang yang dimaki,” sahut Dewa Bunga Persik. “Kita adalah manusia. Kita adalah orang. Bila biksuni cilik mengatakan kita adalah orang, maka ini bukan lagi makian.”

“Tapi bagaimana kalau dia menyebut kita sebagai orang tolol atau orang bodoh? Bukankah itu juga makian,” sahut Dewa Buah Persik.

Dewa Bunga Persik menyahut, “Tapi setidaknya itu lebih lumayan daripada disebut anjing.”

“Tapi bagaimana kalau kita di sebut anjing pintar, anjing hebat, anjing pemberani, atau anjing kesatria? Mana yang lebih baik di sebut sebagai orang bodoh atau anjing pintar?” tanya Dewa Ranting Persik.

Sejak tadi Linghu Chong terbaring lemah tapi dalam hati merasa geli mendengar perdebatan yang tidak bermanfaat itu. Entah bagaimana ada arus hawa panas mendorong ke atas sehingga membuatnya dapat bersuara, “Enam ekor anjing tentu lebih baik daripada kalian!”

Kontan saja para kakek aneh itu terperanjat mendengar suara pemuda tersebut. Tiba-tiba Dewa Buah Persik yang bersembunyi di luar kamar berteriak, “Mengapa enam ekor anjing lebih baik daripada kami?”

“Benar, kenapa enam anjing lebih baik dari pada kami?” sahut kelima yang lainnya

Linghu Chong ingin sekali mencaci maki mereka namun sedikit pun tidak ada tenaga. Hanya dengan suara lemah ia berkata, “Antarkan... antarkan aku kembali... ke Gunung Huashan. Hanya guruku... hanya guruku saja yang bisa menolong jiwaku.....”

“Apa katamu?” sahut Dewa Akar Persik. “Kau bilang hanya gurumu saja yang mampu menolong jiwamu? Jadi maksudmu Enam Dewa Lembah Persik tidak mampu melakukannya?”

Linghu Chong berusaha keras untuk menganggukkan kepala. Mulutnya dapat terbuka namun sulit mengeluarkan suara.

“Omong kosong!” bentak Dewa Daun Persik. “Apa kepandaian gurumu? Mana mungkin ia lebih pandai daripada Enam Dewa Lembah Persik?”

“Hm, bagaimana kalau kita ajak gurunya bertanding melawan kita?” seru Dewa Bunga Persik.

“Benar. Nanti kita berempat menarik tangan dan kakinya ke arah yang berbeda. Kita buat tubuhnya menjadi empat potong,” kata Dewa Dahan Persik.

“Benar sekali,” teriak Dewa Buah Persik sabil melompat masuk dalam kamar. “Bahkan setiap laki-laki dan perempuan Huashan akan kita belah menjadi empat potong.”

“Tidak hanya mereka,” seru Dewa Bunga Persik. “Kucing, anjing, kambing, ayam peliharaan mereka juga kita belah menjadi empat potong. Bahkan, ikan dan udang juga kita potong-potong. Semua kita tarik tangan dan kaki nya sampai robek tubuhnya menjadi empat potong.”

“Hei, bagaimana caranya? Memangnya ikan dan udang punya tangan dan kaki?” tanya Dewa Ranting Persik.

“Ya... ya... kita belah kepalanya, ekornya, siripnya, dan perutnya.... jadilah empat potong,” jawab Dewa Bunga sambil berpikir sejenak.

“Tapi kepala ikan bukan tangan atau kaki,” desak Dewa Ranting Persik

“Memang bukan tapi tidak masalah,” jawab dewa Bung persik.

“Tentu saja ini jadi masalah. Karena itu bukan tangan dan kaki sehingga ucapanmu yang pertama tadi tidak tepat,” kata Dewa Ranting Persik.

Dewa Bunga Persik tetap tidak mau kalah. Ia berkata, “Kenapa kau bilang ucapanku tidak tepat? Ucapan yang mana?”

“Bukankah tadi kau berkata, kucing, anjing, kambing, ayam peliharaan mereka juga kita belah menjadi empat potong. Bahkan, ikan dan udang juga kita potong-potong. Semua kita tarik tangan dan kaki nya sampai robek tubuhnya menjadi empat potong?”

“Tentu saja aku bilang begitu. Tapi yang kukatakan itu bukan kalimat pertama. Aku telah berkata ratusan bahkan ribuan kalimat, lantas kenapa kau bilang itu kalimat pertama? Jika kita menghitung mulai hari kelahiranku, maka aku telah berkata sebanyak jutaan kalimat. Dengan demikian yang kukatakan tadi bukan kalimat pertama,” jawab Dewa Bunga Persik.

Dewa Ranting Persik terdiam tidak bisa bicara menghadapi alasan yang dikemukakan tersebut. Ia tidak punya pendapat untuk menyerang balik.

Enam Dewa Lembah Persik saling bertengkar sendiri.

Dewa Dahan Persik menyahut, “Apa tadi kau bilang kura-kura juga?”

“Tentu saja. Kura-kura juga punya dua kaki depan juga kaki belakang, jadi keempatnya juga bisa ditarik sampai putus.”

Dewa Dahan Persik bertanya, “Tapi kalau kita tarik empat kakinya mana mungkin bisa merobek tubuhnya menjadi empat potong?”

“Mengapa tidak bisa? Memangnya kura-kura punya ilmu silat untuk menghadapi kita?” tanya Dewa Bunga Persik tidak paham.

“Memang mudah membelah tubuh kura-kura menjadi empat potong, tapi bagaimana dengan tempurungnya yang keras? Apa kita bisa merobek tempurung dengan cara menarik keempat kakinya? Kalau kita paksakan maka yang putus hanya empat kakinya sedangkan tempurung tetap utuh. Itu artinya tubuh kura-kura terbelah menjadi lima, bukan empat potong,” kata Dewa Dahan Persik.

Dewa Akar Persik menengahi, “Kalian hanya bisa membelah tubuh kura-kura menjadi empat dan menyisakan tempurungnya saja. Maka kau bisa katakan ‘merobek menjadi empat potong ditambah sebuah tempurung yang tidak bisa dirobek. Maka bisa kukatakan menjadi lima potong bukan hanya keliru, tapi salah kaprah.”

Dewa Daun Persik berkata, “Kakak pertama, apa yang kau bilang juga tidak benar. Keliru bicara tidak sama dengan salah kaprah, sedangkan salah kaprah juga tidak sama dengan keliru bicara. Keduanya jelas berbeda. Kenapa kau campur adukkan keduanya menjadi satu sehingga membuat bingung?”

Mendengar ocehan keenam orang itu, Linghu Chong pasti tertawa terbahak-bahak andai saja dirinya tidak dalam keadaan setengah mati. Percakapan mereka sungguh sangat lucu dan jenaka, tapi juga membuat persaan jengkel. Diam-diam Linghu Chong berpikir, “Entah seperti apa kedua orang tua yang melahirkan keenam orang aneh yang selalu bertengkar ini. Apakah mungkin yang kuasa membuat lelucon dengan menciptakan mereka? Perdebatan mereka bisa berlarut-larut, sedangkan hidupku lebih berharga. Aku harus mencari cara untuk bisa lolos dari semua ini.”

Berpikir demikian membuat semangat Linghu Chong bangkit. Ia pun berkata, “Aku minta arak.”

Mendengar itu Enam Dewa Lembah Persik bersorak gembira, “Lihat, dia ingin minum arak! Dia tidak jadi mati!”

“Mati atau tidak urusan nanti,” jawab Linghu Chong sambil merintih. “Yang jelas sekarang aku ingin minum arak sepuas-puasnya.”

“Ya, baik! Aku ambilkan,” sahut Dewa Ranting Persik yang segera melangkah pergi dan sekejap kemudian sudah kembali membawa sepoci arak.

Keadaan Linghu Chong sebenarnya sudah sangat parah. Namun begitu mencium bau arak semangatnya bangkit kembali. Ia berkata, “Tolong... suapi aku!”

Dewa Ranting Persik lantas menempelkan poci arak itu ke mulut Linghu Chong dan menuangkannya seteguk demi seteguk membuat pemuda itu merasa sedikit segar. Pikirannya pun kembali bekerja, “Keenam orang ini suka dipuji. Aku terpaksa harus menipu mereka.”

Maka, pemuda itu pun berkata, “Guruku sering memuji bahwa jago paling... paling sakti di dunia ini adalah... Enam Dewa... Enam Dewa....”

Linghu Chong sengaja menghentikan suaranya untuk memancing perhatian keenam orang tua aneh itu. Benar dugaanya, keenamnya pun serentak bertanya, “Enam dewa apa?”

Linghu Chong menyambung, “Enam Dewa Lembah… Lembah ….”

“Enam Dewa Lembah Persik!” sahut keenam orang aneh bersamaan.

Linghu Chong tersenyum dan menjawab, “Benar. Guruku sering berkata bahwa Beliau sangat ingin memiliki... memiliki kesempatan bisa minum arak dan bersahabat dengan keenam kesa... kesa....”

“Keenam kesatria, begitu?” seru Enam Dewa mempertegas.

“Betul, Guru ingin keenam kesatria besar itu sudi memperlihatkan kesaktian mereka di hadapan murid-murid Huashan....” kali ini Linghu Chong benar-benar berhenti bicara karena nafasnya terasa sesak.

Akan tetapi Enam Dewa Lembah Persik semakin penasaran dan tidak mau berhenti. Bersama-sama mereka bertanya, “Bagaimana? Selanjutnya bagaimana?”

“Dari mana gurumu mengetahui kesaktian kami?”

“Wah, ketua Perguruan Huashan itu memang benar-benar baik hati. Barangsiapa berani mengganggu sebatang rumput saja di Huashan, tentu kita takkan mengampuninya.”

 “Kami ingin bersahabat dengannya. Mari kita berangkat sekarang juga ke Huashan!”

Linghu Chong gembira mendengar kata-kata itu. Ia pun segera menanggapi, “Betul, kita berangkat sekarang juga!”

Enam Dewa Lembah Persik begitu polos dan lugu. Setelah Linghu Chong mengenakan kembali pakaiannya, mereka langsung menggotong pemuda itu dan membawanya pergi menuju ke Gunung Huashan.

Setengah hari kemudian tiba-tiba Dewa Akar Persik menghentikan perjalanan berkata, “Celaka ini! Biksuni cilik menyuruh kita membawa bocah ini ke hadapannya. Tapi, mengapa kita justru membawanya kembali ke Huashan? Jika kita tidak membawa bocah ini kepada si biksuni cilik, lantas bagaimana kita bisa memenangkan taruhan? Kita harus menang dua kali. Ini sungguh memalukan.”

“Kali ini ucapan Kakak Pertama benar,” sahut Dewa Dahan Persik. “Lebih baik kita menghadap biksuni cilik dulu, baru kemudian berangkat menuju Huashan. Kita harus memenangkan taruhan ini lebih dulu.”

Serentak mereka berenam pun memutar haluan menuju ke arah selatan. Menyadari itu Linghu Chong langsung berteriak, “Yang ingin ditemui biksuni cilik itu orang yang masih hidup atau orang yang sudah mati?”

“Sudah tentu yang masih hidup,” jawab Dewa Akar Persik.

“Nah, apabila kalian tidak mengantarkan aku ke Huashan, maka aku akan memutus urat nadiku sendiri supaya aku mati seketika,” kata Linghu Chong.

“Bagus sekali,” seru Dewa Buah senang. “Ilmu memutuskan urat nadi adalah ilmu yang unik dan kami belum pernah melihatnya. Coba kau jelaskan kepada kami bagaimana caranya!”

Dewa Dahan Persik menyahut, “Apa gunanya kau ingin melatih ilmu itu? Sekali kau memutus urat nadimu maka kau akan langsung mati. Apa manfaatnya ilmu seperti itu?”

“Ada manfaatnya,” seru Linghu Chong. “Misalnya dalam keadaan di mana kalian dipaksa oleh seseorang dan kalian merasa tidak mampu lagi menanggung siksaan, maka daripada menderita lebih baik memutuskan urat nadi sendiri supaya segera mati.”

Mendengar itu Enam Dewa lembah Persik menjadi khawatir. Mereka berkata, “Biksuni cilik ingin bertemu denganmu hidup-hidup. Kami sama sekali tidak bermaksud menyakitimu.”

Linghu Chong menjawab sambil menghela nafas , “Ya, kalian mungkin memang bermaksud baik. Tapi, aku harus melapor dan minta izin terlebih dahulu kepada Guru. Jika tidak, lebih baik aku mati bunuh diri daripada dipaksa-paksa. Lagi pula Guru dan ibu guru sejak lama ingin sekali bertemu kalian enam Pend… Pend….”

“Enam Pendekar Besar!” seru Enam Dewa Lembah Persik bersamaan.

Linghu Chong menganggukkan kepala.

“Baiklah,” jawab Dewa Akar. “Terlambat sedikit tidak menjadi masalah. Biarlah kami mengantarmu pulang ke Huashan dahulu.”

Setelah berjalan beberapa jam akhirnya sampailah rombongan itu di Gunung Huashan. Begitu melihat kedatangan mereka para murid bergegas melapor kepada Yue Buqun. Mendengar Linghu Chong dan keenam penculiknya telah kembali, Yue Buqun dan Ning Zhongze segera keluar menyambut mereka disertai para murid dengan perasaan heran.

Enam Dewa Lembah Persik berjalan sangat cepat dan mereka  sudah tiba di halaman Gedung Kebajikan saat pihak Yue Buqun baru saja melangkah keluar dari pintu gedung utama Perguruan Huashan tersebut. Tampak dua di antara orang-orang aneh itu menggotong  Linghu Chong  yang terbaring di atas tandu.

Ning Zhongze langsung berlari menghampiri. Tampak keadaan murid pertama suaminya itu begitu lemah dengan wajah pucat dan tubuh kurus. Setelah diperiksa denyut nadinya pun lemah dan kacau. Jiwanya sungguh dalam bahaya.

Nyonya Yue berseru kaget, “Chong’er, Chong’er!”

Linghu Chong membuka mata sedikit dan menyapa dengan suara lirih, “Ibu... Ibu Gu....”

Air mata Ning Zhongze bercucuran. Ia kemudian berkata, “Chong’er, biar aku yang membalaskan sakit hatimu!” Usai berkata demikian wanita itu mencabut pedangnya siap menusuk Dewa Bunga Persik yang menggotong tandu Linghu Chong tersebut.

Enam Dewa Lembah Persik membawa Linghu Chong ke Huashan.
(Bersambung)