Bagian 118 - Mengutarakan Isi Hati

Yilin mengungkapkan perasaan.

Setibanya di bawah pohon, Yilin lantas mengajaknya duduk di atas sebongkah batu panjang. Linghu Chong sengaja duduk miring dan membelakangi sinar rembulan agar wajahnya tidak tampak dengan jelas. Dalam hati ia berpikir, “Apakah penyamaranku ini begitu mirip dengan babu bisu itu, sampai-sampai Adik Yilin tidak dapat membedakannya? Mungkin karena tertutup oleh gelapnya malam sehingga lumayan mirip. Ternyata kepandaian Yingying dalam ilmu menyamar memang luar biasa.”

Yilin termangu-mangu memandangi bulan sabit di langit sambil menghela napas. Hampir saja Linghu Chong berkata, “Kau ini masih begitu muda, tapi mengapa menanggung beban begitu berat? Sebenarnya ada masalah apa?” Untung saja ia segera ingat pada penyamarannya dan mampu menahan diri.

Terdengar Yilin berkata lirih, “Nenek bisu, kau sangat baik padaku. Aku sering mengajakmu ke sini dan mengutarakan isi hatiku kepadamu. Selamanya kau tidak pernah merasa jemu. Dengan sabar kau menunggu semua kisahku. Sebenarnya aku tidak sepantasnya membuatmu repot. Tapi kau memang sangat baik, bagaikan ibu kandungku sendiri. Aku tidak punya ibu. Jika punya, apakah mungkin aku berani berbicara kepadanya seperti apa yang telah kubicarakan kepadamu?”

Mendengar biksuni muda itu hendak membeberkan isi hatinya, Linghu Chong berpikir, “Sungguh tidak pantas kalau aku mendengarkan rahasia orang lain dan membuatnya tertipu seperti ini. Sebaiknya aku pergi saja.” Perlahan-lahan ia pun mencoba bangkit dari duduk.

Namun, Yilin lantas menarik lengan bajunya dan berkata, “Nenek bisu, apakah kau hendak pergi?” Suaranya terdengar penuh dengan rasa kecewa.

Linghu Chong memandang sekejap padanya. Wajahnya tampak sayu, dengan sinar mata penuh permohonan. Perasaan pemuda itu langsung luluh dan berpikir, “Raut mukanya tampak kurus. Jika isi hatinya tidak disampaikan, jangan-jangan ia bisa jatuh sakit. Biarlah kudengarkan semua apa yang akan diceritakannya. Asalkan dia tetap tidak mengenali samaranku tentu dia tidak akan malu.” Berpikir demikian, perlahan-lahan Linghu Chong pun duduk kembali.

“Nenek bisu, kau baik sekali sudi mendengarkan isi hatiku,” ujar Yilin perlahan sambil merangkul pundak Linghu Chong. “Harap kau mau menemani aku duduk sebentar di sini. Andai saja kau tahu betapa kesal rasa hatiku.”

Diam-diam Linghu Chong merasa geli. Ia merenung, “Dalam hidupku ini nasibku memang tidak jauh dari nenek-nenek. Dulu ketika pertama kali bertemu Yingying, aku mengira ia seorang nenek tua. Kini ganti Adik Yilin yang mengira diriku seorang nenek pula. Entak berapa ratus kali aku memanggil nenek kepada Yingying. Kini aku harus bersiap-siap jika Adik Yilin memanggil nenek pula kepadaku. Ini namanya hukum karma, barangsiapa menanam, ia akan menuai hasil perbuatannya.”

Yilin terus saja berbicara, “Pagi tadi ayahku hampir saja mati gantung diri, apakah kau tahu? Dia dikerek tinggi-tinggi di atas pohon entah oleh siapa, pada tubuhnya ditempeli pula semacam pita kertas yang menyebutkan bahwa Ayah adalah manusia tak berperasaan nomor satu di dunia, manusia yang paling doyan perempuan. Padahal seumur hidup, ayahku hanya memikirkan ibuku seorang. Entah atas dasar apa tuduhan itu dialamatkan kepada Ayah? Pasti orang yang memasang pita itu telah salah tempel. Pita yang seharusnya dipasang pada tubuh Tian Boguang justru ditempel di tubuh Ayah. Padahal, sebenarnya ini bukan masalah besar. Cukup robek dan buang saja pita itu sudah habis perkara. Tapi, kenapa pula Ayah harus gantung diri segala?”

Linghu Chong terkejut sekaligus merasa geli. Ia berpikir, “Kenapa Biksu Bujie mencoba bunuh diri? Yilin mengatakan ayahnya hampir saja mati gantung diri, itu berarti Biksu Bujie belum mati. Mungkin saja ada rahasia lain yang tersembunyi di balik masalah ini. Rupanya Adik Yilin terlalu polos dan tidak mengetahui gelagat pada diri ayahnya.”

Yilin menyambung, “Kemudian Tian Boguang berlari-lari ke Puncak Jianxing untuk mencari diriku, tapi ia bertemu Kakak Yihe. Tian Boguang pun dianggap telah melanggar peraturan berani sembarangan datang ke Puncak Jianxing. Tanpa banyak bicara Kakak Yihe lantas melolos pedang dan menyerangnya. Hampir saja jiwa Tian Boguang melayang, sungguh sangat berbahaya.”

Seketika Linghu Chong pun teringat pada hari pelantikannya sebagai ketua Perguruan Henshan. Ia berpikir, “Waktu itu aku menempatkan para anggota baru yang kebanyakan laki-laki di Lembah Tongyuan. Aku menetapkan peraturan bahwa tidak seorang pun di antara mereka boleh naik ke Puncak Jianxing tanpa izin dariku. Apalagi seorang Tian Boguang sudah terlanjur memiliki nama busuk sebagai mantan penjahat cabul. Sebaliknya, Yihe terkenal berwatak keras, maka tidak heran begitu bertemu langsung main senjata. Namun, ilmu silat Tian Boguang jauh lebih tinggi daripada murid-murid Henshan pada umumnya. Yihe tidak mungkin mampu membunuhnya.”

Hampir saja Linghu Chong hendak mengangguk sebagai tanda setuju atas ucapan Yilin tadi, namun ia segera sadar bahwa dirinya sedang menyamar sebagai perempuan bisu tuli. “Tak peduli apa pun yang ia katakan, apakah benar atau salah, sama sekali aku tidak boleh menggeleng atau mengangguk. Si nenek bisu yang asli pasti tak bisa mendengar apa pun yang ia ucapkan,” pikirnya.

Yilin kembali melanjutkan, “Ketika Tian Boguang menjelaskan maksud kedatangannya, Kakak Yihe sudah melancarkan belasan jurus. Untung Kakak Yihe segera menarik pedangnya sehingga Tian Boguang tidak sampai terluka. Begitu mendengar berita itu aku segera berlari ke Lembah Tongyuan, tapi Ayah sudah tidak terlihat lagi. Aku pun bertanya kepada orang-orang. Mereka berkata Ayah tadi hanya menangis meraung-raung di dalam pekarangan. Tidak seorang pun yang berani mendekatinya. Setelah itu, Ayah menghilang entah ke mana. Aku lantas mencarinya di sekitar Lembah Tongyuan, dan akhirnya kutemukan ia di belakang gunung sana dalam keadaan tergantung di atas pohon. Aku sangat khawatir. Segera aku pun melompat ke atas pohon itu. Kulihat seutas tali menjerat di lehernya. Sepertinya napas Ayah sudah hampir putus. Syukur berkat Sang Buddha aku bisa datang pada saat yang tepat. Kuturunkan Ayah dan ia pun sadar. Kami lantas saling berpelukan dan menangis.”

Yilin terdiam sejenak lalu melanjutkan, “Kulihat di leher Ayah masih tetap tertempel sehelai pita kertas yang bertuliskan, ‘Manusia tak berperasaan nomor satu di dunia dan sebagainya’. Kukatakan kepada Ayah, ‘Orang itu sungguh jahat. Berkali-kali ia mencoba menggantungmu. Salah tempel pita kertas juga tidak dibetulkan.’

Sambil menangis Ayah menjawab, ‘Kali ini aku bukan digantung orang lain, tapi aku sendiri yang hendak gantung diri. Aku … aku tidak ingin hidup lagi,’

Aku lantas menghiburnya, ‘Ayah, tentunya kau diserang mendadak oleh orang itu, dan karena kurang waspada kau pun dipecundangi. Ayah tidak perlu sedih. Biarlah kita mencarinya untuk bertanya. Kalau tidak bisa memberi alasan yang tepat, ganti kita yang menangkap dan menggantungnya, lalu pita ini kita tempel pula di lehernya.’

Tapi Ayah menjawab, ‘Pita ini ditujukan kepadaku, mana boleh digantung pada orang lain? Aku, Biksu Bujie, memang manusia tak berperasaan nomor satu di dunia, manusia paling doyan perempuan. Mana ada orang lain yang melebihi aku? Dasar anak kecil, jangan sembarang bicara kalau kau tidak tahu seluk-beluknya.’

Wahai Nenek bisu, ucapan ayahku ini sungguh aneh, bukan? Maka, aku pun bertanya, ‘Ayah, kau bilang pita kertas ini tidak salah pasang?’

Ayah menjawab, ‘Sudah tentu tidak salah. Aku … aku telah berdosa kepada ibumu. Kau tidak perlu mengkhawatirkan aku, karena aku tidak ingin hidup lagi.’”

Linghu Chong teringat Biksu Bujie pernah bercerita konon ia sangat mencintai ibu Yilin seorang. Namun, karena perempuan itu seorang biksuni, Bujie pun meninggalkan rumah dan menjadi biksu pula. Menurut jalan pikiran Bujie yang polos, hanya seorang biksu yang pantas menikahi biksuni. Peristiwa ini benar-benar aneh dan jarang terjadi. Bujie mengaku berdosa kepada ibu Yilin, mungkin karena di kemudian hari ia jatuh hati kepada wanita lain. Pantas saja kalau ia mengaku sebagai “manusia tak berperasaan, manusia paling doyan perempuan”. Berpikir sampai di sini, Linghu Chong merasa agak jelas terhadap seluk-beluk permasalahan ini.

Terdengar Yilin melanjutkan, “Karena Ayah menangis dengan sangat sedih, maka aku pun ikut menangis. Sebaliknya, Ayah malah kemudian menghiburku dan berkata, ‘Anak manis, jangan menangis, jangan menangis! Kalau Ayah nanti mati, tentu kau akan sebatang kara di dunia ini dan siapa lagi yang akan menjaga dirimu?’ – Kata-katanya itu justru membuat tangisku semakin keras.”

Diam-diam Linghu Chong melirik dan melihat air mata bercucuran di pipi Yilin.

Dengan terisak-isak biksuni muda itu melanjutkan, “Kemudian Ayah berkata pula, ‘Baiklah, aku tidak jadi mati saja. Hanya saja, aku merasa tidak enak terhadap mendiang ibumu.’

Aku pun bertanya, ‘Sebenarnya apa dosa Ayah terhadap Ibu?’

Ayah menghela napas lalu menjawab dengan sedih, ‘Sebagaimana yang sudah kau ketahui, semula ibumu seorang biksuni. Sekali melihat ibumu aku langsung tergila-gila. Bagaimanapun juga aku bertekad harus menikahi dia. Tapi ibumu menyatakan keberatan karena dia sudah menjadi biksuni, takut terhadap Sang Buddha. Lalu kukatakan bahwa aku yang akan menanggung akibatnya. Kalau Sang Buddha marah biarlah Dia marah kepadaku dan aku yang dikutuk. Ibumu menjawab bahwa orang awam seperti diriku memang sepantasnya menikah dan punya anak, sedangkan ibumu sudah menyucikan diri dan mempersembahkan jiwa raga untuk agama. Bila sampai punya pikiran menyimpang, ibumu takut mendapat murka dari Sang Buddha. Kupikir ucapannya cukup masuk akal. Namun, aku sudah bertekad akan menikahi ibumu. Untuk menghindarkan ibumu dari derita bila kelak harus masuk neraka, maka aku pun menjadi biksu. Kalau Sang Buddha marah biarlah marah kepadaku. Andaikan harus masuk neraka biarlah kami suami-istri masuk bersama-sama.”

Mendengar itu Linghu Chong merenung, “Biksu Bujie sungguh berhasrat besar. Ia menjadi biksu justru untuk memikul beban dosa calon istrinya. Jika perasaannya sedemikian dalam, lantas mengapa ia kemudian berpindah ke lain hati?”

Yilin melanjutkan, “Aku lantas bertanya, ‘Apakah setelah itu Ayah bisa menikahi Ibu?’

Ayah menjawab, ‘Sudah tentu kami menikah. Kalau tidak, lantas dari mana kau dilahirkan? Hanya saja, ini semua memang salahku. Pada waktu kau berumur tiga bulan, aku menggendongmu berjemur sinar matahari di depan pintu .…’

Aku menukas, ‘Berjemur sinar matahari apa salahnya?’

Ayah menjawab, ‘Bukan itu masalahnya. Kebetulan waktu itu ada seorang nyonya muda yang cantik lewat dengan menunggang kuda. Ketika melihat seorang biksu berbadan besar menggendong bayi mungil, ia pun memandang heran sambil memuji, ‘Cantik sekali bayi ini.’ Aku merasa senang dan menjawab, ‘Anda sendiri juga sangat cantik.’ – Nyonya itu tertegun dan bertanya, ‘Dari mana kau dapatkan bayi ini?’ – Aku pun tersinggung dan berkata, ‘Apa maksud ucapanmu? Bayi ini adalah anakku sendiri.’ – Nyonya muda itu kelihatan marah dan memaki, ‘Aku bertanya baik-baik, kenapa kau malah menggoda aku? Apakah kau sudah bosan hidup?’ – Aku menjawab, ‘Menggoda bagaimana? Memangnya biksu bukan manusia, sehingga tidak boleh punya anak? Kalau kau tidak percaya, baiklah, akan kubuktikan padamu.’ – Tak disangka nyonya itu bertambah marah. Ia lantas melolos pedang dan melompat turun dari kuda untuk kemudian menyerang diriku. Bukankah perbuatannya itu sungguh keterlaluan?”

Dalam hati Linghu Chong merasa geli. “Biksu Bujie benar-benar polos. Ia tidak merasa pantang berbicara apa saja. Ia mengatakan segala yang ingin ia ucapkan. Namun, bagi orang lain kata-katanya itu bisa jadi terkesan kurang sopan. Seorang biksu menggendong anak bayi memang sudah janggal, apalagi itu anak kandungnya sendiri. Kalau demikian kenapa tidak piara rambut saja?”

Terdengar Yilin masih saja terus bercerita, “Kukatakan kepada Ayah, ‘Benar, nyonya muda itu memang agak galak. Sudah jelas aku adalah anakmu dan ini tidak bohong, tapi kenapa dia melolos senjata menyerang Ayah?’

Ayah menjawab, ‘Benar. Waktu itu aku dapat menghindari serangannya sambil berkata, ‘Hei, kenapa kau menyerang orang tanpa alasan? Anak ini kalau bukan anakku, memangnya anakmu?’ Ternyata ucapanku ini membuat nyonya itu bertambah marah. Sebanyak tiga kali dia menusuk padaku. Karena semua serangannya tidak bisa mengenai diriku, maka dia pun menyerang dengan lebih gencar. Sebenarnya aku tidak gentar padanya. Namun waktu itu aku sedang menggendongmu dan takut kalau sampai kau terkena pedangnya. Maka, ketika dia menusuk untuk kedelapan kalinya, aku mendapat peluang dan segera kutendang perutnya hingga ia jatuh terguling. Nyonya itu lantas merangkak bangun sambil terus memaki, ‘Dasar biksu jahat tidak tahu malu, kotor dan rendah, suka melecehkan perempuan!’ –  Pada saat itulah ibumu pulang dari mencuci pakaian di tepi sungai dan mendengar caci maki wanita itu. Setelah memaki, perempuan itu lantas pergi dengan kudanya. Ketika aku mengajak ibumu bicara, ternyata ibumu tidak menjawab sama sekali, melainkan langsung menangis. Aku bertanya mengapa dia menangis, namun dia tidak menjawabnya. –  Esok paginya ibumu lantas menghilang. Di atas meja kutemukan secarik kertas bertuliskan, ‘Manusia tak berperasaan, suka main perempuan’. Aku sangat sedih dan membawamu pergi mencari ibumu ke segala penjuru, tapi tak bisa menemukannya lagi.’

Aku pun berkata, ‘Mungkin Ibu mendengar caci maki perempuan itu terhadap Ayah dan menyangka Ayah benar-benar telah menggoda perempuan itu.’

Ayah menjawab, ‘Benar, tuduhan itu memang tidak beralasan. Tapi kemudian setelah kupikir-pikir lagi ternyata tuduhan itu pun tidak salah. Sewaktu aku melihat perempuan itu, seketika timbul dalam pikiranku bahwa wanita itu memang cantik. Aku tidak hanya berpikiran demikian bahkan juga sempat memujinya memakai mulutku ini. Padahal, waktu itu aku sudah menikah dengan ibumu tapi tetap saja memuji kecantikan wanita lain, baik itu dalam hati maupun dengan ucapan. Aku memang manusia tidak berperasaan dan doyan main perempuan.’”

Linghu Chong termangu-mangu menanggapi dalam hati, “Ternyata ibu Adik Yilin sangat pencemburu. Ini benar-benar kesalahpahaman besar. Seharusnya ia sudi mendengar penjelasan Biksu Bujie sehingga permasalahan ini menjadi jelas.”

Yilin melanjutkan: “Aku lantas bertanya kepada Ayah, ‘Apakah Ayah bisa menemukan Ibu atau tidak?’

Ayah menjawab, ‘Aku telah mencarinya ke mana-mana, tapi tidak dapat menemukan ibumu. Ibumu seorang biksuni, kupikir tentu ia kembali masuk ke dalam biara. Oleh karena itu, aku pun mendatangi setiap biara namun tetap tidak dapat menemukannya. Sampai akhirnya aku datang ke Gunung Henshan dan bertemu Biksuni Dingyi di Biara Awan Putih. Beliau sangat menyukaimu yang lucu dan mungil. Apalagi waktu itu kau sedang sakit sehingga Beliau pun menyarankan agar aku menitipkanmu kepada Beliau. Dengan demikian kau tidak perlu kubawa ke mana-mana dan keselamatanmu bisa tetap terjaga.’”

Menyinggung tentang Biksuni Dingyi membuat Yilin kembali menangis sedih. Ia berkata, “Sejak kecil aku tidak mempunyai ibu. Aku bisa seperti ini adalah berkat Guru yang telah membesarkanku. Akan tetapi, sekarang Guru telah meninggal dibunuh orang, dan orang yang telah mencelakainya adalah guru Kakak Linghu sendiri. Masalah ini benar-benar membuatku serbasalah. Sama seperti aku, sejak kecil Kakak Linghu juga tidak memiliki ibu, dan ia pun dibesarkan oleh gurunya. Bahkan dia lebih menderita lagi karena selain tidak punya ibu, juga tidak memiliki ayah. Sudah tentu ia sangat menghormati gurunya bagai orang tua kandung sendiri. Kalau aku membalas dendam Guru dengan membunuh guru Kakak Linghu, entah betapa sedih perasaan Kakak Linghu.”

Yilin terdiam sejenak kemudian melanjutkan, “Menurut cerita Ayah, setelah diriku dititipkan di dalam Biara Awan Putih, ia kembali mencari Ibu ke dalam setiap biara di dunia ini. Bahkan, Ayah sampai mengunjungi Tembok Besar, Mongolia, Tibet, negeri barat, dan berbagai tempat terpencil demi untuk mencari ibuku. Namun, sedikit pun ia tidak mendengar berita tentang Ibu. Berpikir demikian, Ayah menduga Ibu pasti sangat kecewa dan takut terhadap murka Sang Buddha dan memutuskan untuk bunuh diri. Wahai, Nenek bisu. Ibuku telah menyerahkan jiwa raga kepada Sang Buddha. Ia memilih untuk menjalani kehidupan sebagai seorang biarawati dan menahan diri dari semua godaan duniawi. Meskipun demikian, pada akhirnya Ibu menerima cinta Ayah dan menikah dengannya. Namun, baru saja melahirkanku, Ibu melihat Ayah menggoda perempuan lain dan dicaci maki sebagai manusia rendah dan tidak tahu malu, sudah tentu Ibu sangat marah dan putus asa. Ibu berwatak sangat keras dan merasa hidupnya telah penuh dengan dosa. Maka, sangat masuk akal kalau Ibu kemudian mengambil keputusan bunuh diri.”

Yilin menghela napas dan melanjutkan, “Setelah Ayah menceritakan ini semua, barulah aku mengerti kenapa Ayah begitu sedih melihat pita bertuliskan, ‘Manusia tak berperasaan nomor satu di dunia, manusia paling doyan main perempuan’. Aku pun bertanya kepadanya, ‘Apakah tulisan yang ditinggalkan Ibu di atas meja itu lantas kau perlihatkan kepada orang lain?’

Ayah menjawab, ‘Sama sekali tidak. Aku tidak pernah bercerita kepada siapa pun tentang masalah ini. Sudah tentu aku pun merasa tidak pantas menceritakan hal ini kepada orang lain. Tapi aku merasa ini benar-benar aneh. Sepertinya hantu ibumu datang mencariku. Ia bermaksud membalas sakit hati dan membersihkan nama baiknya. Kalimat yang tertulis pada pita yang menempel di leherku mirip sekali dengan pesan terakhirnya sebelum pergi dulu. Sepertinya ibumu memang menghendaki nyawaku. Baiklah, aku pun rela ikut dengannya.’

Ayah kemudian berkata, ‘Aku sendiri sudah lama putus asa karena tidak bisa menemukan ibumu. Ingin rasanya aku mengakhiri hidup agar bisa bersama ibumu di alam sana. Akan tetapi, umurku memang masih panjang. Sering aku mencoba bunuh diri namun selalu saja gagal. Setiap kali aku menggantung diri selalu saja talinya putus. Mungkin karena badanku terlalu berat. Cara kedua aku bermaksud menggorok leherku ini namun golok yang tergantung di pinggangku mendadak hilang entah ke mana. Aih, benar-benar runyam. Ingin mati ternyata tidak mudah.’

Aku lantas berkata, ‘Ayah keliru. Justru Sang Buddha memberkatimu agar tidak bunuh diri, sehingga tali gantunganmu pun putus dan golokmu mendadak hilang. Kalau tidak, saat ini tentu aku sudah tidak punya ayah lagi.’

Ayah menjawab, ‘Ucapanmu mungkin ada benarnya juga. Kemungkinan besar Sang Buddha ingin menghukumku agar lebih lama menderita di dunia ini, agar aku tidak lekas-lekas bertemu ibumu di alam sana.’

Aku lalu berkata, ‘Semula aku mengira pita kertas yang terpasang di leher Tian Boguang itu tertukar denganmu, sehingga aku sangat marah.’

Ayah menjawab, ‘Mana mungkin keliru? Dahulu si Bukebujie pernah berlaku kurang ajar kepadamu, bukankah pantas kalau ia disebut ‘manusia tidak berguna’? Aku juga menyuruhnya menjadi perantara agar si bocah Linghu Chong itu menikahimu, tapi dia selalu bermalas-malasan dan tidak bisa melaksanakan tugasnya dengan baik. Bukankah pantas kalau dia disebut ‘tidak becus bekerja’ seperti yang tertera pada pita kertas itu? Semua yang tertulis pada pita kertas itu memang sangat cocok dan tepat baginya.’

Aku pun berkata, ‘Ayah, kalau kau kembali menyuruh Tian Boguang untuk melakukan hal-hal yang tidak pantas seperti itu, maka aku benar-benar sangat marah. Sejak awal Kakak Linghu menyukai adik seperguruannya, dan kini dia menyukai Nona Ren dari Sekte Iblis. Meskipun dia juga sangat baik kepadaku, tapi selamanya tidak pernah menempatkan diriku dalam hatinya.’”

Ucapan terakhir ini benar-benar membuat Linghu Chong merasa bersalah. Sejak awal ia telah berlaku sangat baik kepada Yilin sehingga biksuni muda itu jatuh hati. Memang pada mulanya ia tidak merasakan cinta Yilin kepadanya, namun kemudian lambat laun ia pun mengetahui akan hal itu. Akan tetapi, perasaan hatinya memang sama persis sebagaimana yang dikatakan Yilin tersebut. Pada awalnya ia memang mencintai Yue Lingshan, dan kemudian beralih kepada Ren Yingying dengan sepenuh hati. Selama ia berkelana di dunia persilatan, jarang sekali pikirannya teringat kepada Yilin.

Terdengar Yilin berkata, “Mendengar ucapanku itu, Ayah menjadi gusar. Dia mencaci maki Kakak Linghu, ‘Bocah Linghu Chong itu memang buta. Dia punya dua bola mata tapi tidak bisa melihat. Sungguh jauh lebih tolol daripada Tian Boguang. Bagaimanapun juga Tian Boguang masih bisa melihat kecantikan putriku, tapi Linghu Chong benar-benar manusia paling tolol di muka bumi.’

Sebenarnya masih banyak kata-kata kotor yang dilontarkan Ayah kepada Kakak Linghu, sulit bagiku untuk menirukannya. Ayah berkata pula, ‘Kau kira siapa orang paling buta di dunia ini? Bukan Zuo Lengchan, tetapi Linghu Chong! Walaupun mata Zuo Lengchan sudah buta, tapi Linghu Chong jauh lebih buta daripada dia.’

Nenek bisu, bukankah tidak sepantasnya Ayah mencaci maki Kakak Linghu seperti itu? Aku pun berkata, ‘Ayah, Nona Yue dan Nona Ren seratus kali lebih cantik daripada anakmu ini. Bagaimana mungkin mereka bisa dibandingkan denganku? Lagipula aku sudah menyerahkan jiwa raga kepada Sang Buddha. Aku sudah cukup bersyukur atas budi pertolongannya waktu itu serta kebaikannya terhadap Guru. Maka itu, aku senantiasa terkenang kepadanya. Ibu memang benar. Setelah menjadi biarawati pikiran kita harus bersih dari hasrat dan nafsu. Jika tidak, maka Sang Buddha akan murka dan menghukum kita.’

Ayah berkata, ‘Sekali kau sudah masuk agama apa lantas tidak boleh menikah? Jika semua perempuan memeluk agama dan tidak menikah serta punya anak, bukankah di dunia ini takkan ada manusia lagi? Ibumu seorang biksuni, tapi bukankah dia menikah dengan biksu semacam aku serta melahirkanmu ke dunia?’

Aku menjawab, ‘Ayah, jangan lagi kita bicarakan urusan ini. Bagiku lebih … lebih baik Ibu tidak usah melahirkanku saja.’”

Berkata sampai di sini suara Yilin menjadi terputus-putus. Setelah diam sejenak ia pun menyambung kembali, “Ayah berkata bahwa ia akan mencari Kakak Linghu dan membawanya kepadaku agar kami bisa menikah. Aku sangat khawatir dan menyatakan jika sampai Ayah melakukan hal ini maka aku tidak akan mau bicara lagi dengannya. Jika Ayah datang ke Puncak Jianxing maka aku akan menghidar dan tidak mau bertemu lagi dengannya. Apabila Tian Boguang yang ditugasi menyampaikan hal ini kepada Kakak Linghu, maka aku akan segera meminta agar Kakak Yihe dan Kakak Yiqing mengusirnya. Selamanya Tian Boguang tidak boleh lagi menginjakkan kaki di Gunung Henshan. Ayah mengenal sifatku yang teguh. Melihat tekadku sudah bulat seperti itu, Ayah hanya menghela napas kemudian melangkah pergi.

Wahai Nenek bisu, kepergian Ayah kali ini entah sampai kapan aku bisa melihatnya lagi. Aku juga tidak tahu apakah Ayah akan bunuh diri lagi atau tidak. Sungguh aku sangat khawatir. Untung kemudian aku bertemu Tian Boguang dan menyuruhnya mencari dan menjaga Ayah. Setelah itu aku melihat beberapa orang menuju ke Lembah Tongyuan secara mencurigakan. Mereka lantas bersembunyi di tengah semak-semak, entah apa yang mereka lakukan? Diam-diam aku pun membuntuti mereka, tapi malah bertemu denganmu. Nenek bisu, kau ini tidak bisa ilmu silat, juga tidak dapat mendengar pembicaraan orang. Bila sampai orang lain melihatmu bukankah sangat berbahaya? Untuk selanjutnya jangan lagi bersembunyi di semak-semak seperti tadi. Memangnya kau kira sedang bermain petak umpet seperti anak kecil?”

Mendengar sampai di sini, hampir saja Linghu Chong tertawa geli. Ia berpikir, “Adik Yilin benar-benar polos dan kekanak-kanakan sehingga menganggap orang lain juga berpikiran seperti dirinya.”

Yilin melanjutkan, “Akhir-akhir ini Kakak Yihe dan Kakak Yiqing selalu menyuruhku giat berlatih pedang. Aku mendengar dari Adik Qin Juan konon Kakak Yihe dan Kakak Yiqing pernah berunding dengan beberapa kakak yang lain, bahwa Kakak Linghu tentu tidak mau menjadi ketua Perguruan Henshan untuk selamanya. Sementara itu, Yue Buqun adalah orang yang telah membunuh Guru dan Bibi Ketua, dengan sendirinya Perguruan Henshan tidak sudi dilebur ke dalam Perguruan Lima Gunung dan menerimanya sebagai ketua. Oleh sebab itu, para kakak bermaksud memintaku untuk menjadi ketua Perguruan Henshan. Nenek bisu, waktu itu sedikit pun aku tidak percaya pada cerita Adik Qin, tapi Adik Qin berani bersumpah bahwa apa yang diceritakannya tidak bohong. Katanya, menurut pertimbangan para kakak yang berunding itu, di antara para biksuni angkatan ‘Yi’, Kakak Linghu paling baik kepadaku. Apabila aku yang menjadi ketua, tentu cocok dengan kehendak Kakak Linghu. Mereka mendukung diriku, semuanya adalah demi Kakak Linghu. Mereka berharap aku berlatih pedang dengan baik supaya bisa membunuh Yue Buqun, sehingga tidak seorang pun yang keberatan bila aku diangkat sebagai ketua Perguruan Henshan. Andai saja aku tidak bisa membunuh Yue Buqun, maka mereka akan mengepungnya dengan formasi tujuh pedang. Dengan penjelasan ini, barulah aku percaya. Hanya saja, jabatan ketua itu rasanya terlalu berat bagiku. Ilmu pedangku biarpun dilatih sepuluh tahun lagi juga tidak bisa melebihi Kakak Yihe dan Kakak Yiqing, apalagi untuk membunuh Yue Buqun lebih-lebih sangat tidak mungkin. Pikiranku sendiri sedang kusut. Urusan ini membuat hatiku bertambah bingung. Nenek bisu, apa yang harus kulakukan sekarang?”

Baru sekarang Linghu Chong paham duduk permasalahannya. Pantas saja Yihe, Yiqing, dan yang lain begitu giat dalam mengawasi Yilin berlatih pedang. Rupanya mereka berharap Yilin kelak dapat mewarisi jabatan ketua Perguruan Henshan darinya. Ia pun berpikir, “Sungguh jerih payah mereka patut dipuji dan mereka pun telah memikirkan segalanya, itu juga demi diriku.”

Dengan perasaan hambar, Yilin lalu berkata, “Nenek bisu, sering kukatakan padamu bahwa aku senantiasa terkenang kepada Kakak Linghu. Siang terkenang, malam terkenang, selalu terbawa mimpi pula. Teringat olehku betapa ia mati-matian tanpa menghiraukan keselamatan jiwanya sendiri demi untuk menolongku dari niat jahat Tian Boguang dulu. Sesudah ia terluka, kugendong tubuhya untuk melarikan diri. Teringat olehku ia meminta agar aku mendongeng untuknya. Lebih-lebih yang sering teringat olehku adalah ketika aku dan dia ti… tidur bersama dalam satu ranjang di wisma apa itu di Kota Hengshan. Satu selimut kami pakai bersama. Nenek bisu, aku tahu kau tidak bisa mendengar, sehingga aku tidak malu mengatakan hal ini kepadamu. Jika tidak kukatakan sekarang, rasanya aku bisa gila. Akan kupanggil nama Kakak Linghu, supaya dalam beberapa hari ini hatiku merasa tenteram.”

Sejenak Yilin terdiam, kemudian dengan perlahan ia memanggil, “Kakak Linghu! Kakak Linghu!”

Suara panggilan ini terdengar sedemikian halus, lembut, dan mesra. Sungguh penuh dengan rasa rindu yang mendalam. Tanpa terasa tubuh Linghu Chong bergetar. Ia mengetahui kalau biksuni muda tersebut menyimpan rasa cinta kepadanya, namun ia tidak mengira kalau perasaan Yilin sedalam ini. Ia pun merenung, “Sedemikian dalam perasaannya kepadaku, selama hidupku ini entah bagaimana bisa membalasnya?”

Terdengar Yilin menghela napas, lalu berkata, “Nenek bisu, Ayah tidak memahami perasaanku. Kakak Yihe, Kakak Yiqing, dan para kakak yang lain juga tidak memahami diriku. Aku merindukan Kakak Linghu hanya karena aku tidak bisa melupakan dia. Aku pun sadar bahwa pikiranku ini tidak sepantasnya. Sebagai biksuni mana boleh aku memikirkan seorang laki-laki, apalagi dia adalah ketua perguruanku sendiri? Setiap hari aku selalu berdoa kepada Dewi Guanyin, serta memohon agar Sang Buddha memberkati diriku, membantuku agar bisa melupakan Kakak Linghu. Setiap hari aku membaca kitab yang mengajarkan agar memandang segala yang ada di dunia fana ini sebagai ilusi belaka. Biarpun cantik jelita, gagah serta cakap, pada akhirnya juga tinggal tulang belulang saja. Apakah artinya kemewahan dan kesenangan? Manusia hidup tidak ubahnya seperti impian belaka. Ajaran dalam kitab suci sudah pasti benar, akan tetapi … akan tetapi … apa yang dapat kulakukan? Aku hanya dapat berdoa dan memohon semoga Buddha Yang Maha Pengasih memberkati Kakak Linghu selalu selamat dan supaya dia terikat jodoh dengan Nona Ren, hidup bahagia sampai tua, selamanya riang gembira. Kakak Linghu suka hidup merdeka tanpa keterikatan, semoga Nona Ren tidak mengekangnya. Jika selamanya Kakak Linghu selalu gembira, maka aku pun ikut bahagia.” Ia diam sejenak kemudian melanjutkan lirih, “Kami percaya bahwa Sang Buddha dan Dewi Guanyin yang welas asih selalu memberkati semua orang di penjuru dunia.”

Ucapannya ini terdengar sungguh-sungguh dan sangat tulus. Ia kemudian memandang rembulan di langit dan berkata, “Hari sudah larut malam, aku harus pulang. Hendaknya kau pun pulang juga.” Bersama itu ia mengeluarkan dua potong kue mantou dan menggenggamkannya ke dalam tangan Linghu Chong sambil melanjutkan, “Nenek bisu, mengapa hari ini kau tidak memandang diriku sama sekali? Apakah badanmu kurang sehat?”

Setelah menunggu sejenak dan tidak mendapatkan jawaban, Yilin lantas bergumam sendiri, “Sungguh bodoh. Sudah jelas kau tidak bisa mendengar, tapi aku malah bertanya padamu.”

Perlahan-lahan Yilin pun bangkit dan melangkah pergi.

Linghu Chong masih saja duduk di atas batu dan menyaksikan bayangan Yilin menghilang dalam kegelapan malam. Ia mencoba mengingat kembali apa yang diucapkan gadis itu tadi. Kata-kata biksuni muda tersebut sungguh sangat menggetarkan hatinya. Tanpa terasa ia pun termangu-mangu seorang diri.

Beberapa lama kemudian, ketika ia berpaling dan memandang sungai seketika hatinya menjadi terkejut karena tampak pada permukaan air terdapat dua bayangan yang sama persis sedang duduk berjajar di atas batu. Ia mengira pandangannya sedang kabur. Setelah mengusap-usap kedua mata dan kembali memandang, tetap saja ia melihat dua bayangan yang sama persis. Seketika ia pun berkeringat dingin dan tidak berani menoleh.

Kedua bayangan di permukaan air itu sangat mirip satu sama lain. Yang satu jelas dirinya, sedangkan yang satu lagi berada tepat di belakangnya. Ia yakin, sekali tangan orang itu bergerak seketika dirinya pasti akan dibereskan. Dalam keadaan demikian ia benar-benar tercengang dan sama sekali tidak berpikir harus melompat ke depan.

Entah bagaimana, orang itu tahu-tahu berada di belakangnya tanpa suara sedikit pun. Linghu Chong sama sekali tidak menyadari kedatangannya sehingga dapat dibayangkan betapa tinggi kepandaian orang ini. Seketika muncul suatu pikiran dalam benaknya, “Hantu! Dia pasti hantu.” Berpikir tentang hantu, perasaannya semakin bertambah takut. Untuk sekian lamanya ia tertegun, kemudian baru memandang lagi ke arah sungai.

Air sungai yang mengalir tenang perlahan itu membuat bayangan remang-remang tersebut tidak jelas terlihat. Namun, kedua bayangan itu sama-sama memakai baju wanita yang berlengan longgar. Tusuk konde di atas kepala masing-masing juga sama persis. Semakin dirasakan, Linghu Chong semakin ketakutan. Jantungnya berdebar kencang seakan-akan hendak melompat keluar dari rongga dadanya. Tiba-tiba entah dari mana datangnya keberanian, ia pun menoleh sehingga tepat muka bertemu muka dengan hantu tersebut.

Setelah melihat dengan jelas, tanpa terasa ia menarik napas panjang. Wanita di hadapannya ini samar-samar dapat dikenalinya sebagai si babu bisu-tuli yang menjaga Kuil Gantung di Gunung Cuiping. Namun, bagaimana perempuan ini tiba-tiba hadir di belakangnya tanpa menimbulkan suara, sungguh sangat mengherankan.

Rasa takut Linghu Chong segera lenyap seketika, tapi rasa herannya sedikit pun tidak berkurang. Segera ia berkata, “O, Nenek bisu, ternyata ... kau yang datang. Sungguh ... sungguh membuatku sangat ... terkejut.” Suaranya ini agak gemetar. Sekalipun dikatakan tidak takut, tapi agaknya ia masih diliputi perasaan gentar.

Nenek bisu itu mengenakan pakaian dan tusuk konde yang sama persis dengan dirinya. Bajunya juga berwarna abu-abu pucat seperti yang dikenakan Linghu Chong. Setelah agak tenang pemuda itu pun berkata, “Maaf, Nenek bisu. Ingatan Nona Ren sungguh hebat. Dia masih ingat dandananmu dan mendandaniku sama persis denganmu. Sekarang kita bagaikan saudara kembar.”

Dilihatnya raut muka si nenek bisu dingin dan kaku, sedikit pun tidak menunjukkan rasa gusar ataupun senang. Entah apa yang sedang terpikir dalam benak perempuan tua ini? Diam-diam Linghu Chong merenung. “Orang ini sungguh aneh. Aku telah menyamar sebagai dirinya dan ketahuan pula olehnya, maka aku tidak boleh tinggal terlalu lama di sini.” Segera ia pun bangkit dan memberi hormat kepada nenek itu sambil berkata, “Sudah larut malam, aku mohon diri dulu.”

Usai berkata Linghu Chong lantas memutar tubuh dan melangkah pergi. Namun, baru beberapa langkah ia berjalan tiba-tiba di depannya sudah berdiri seseorang menghalangi jalannya, siapa lagi kalau bukan si nenek bisu tersebut. Entah bagaimana caranya tahu-tahu wanita itu sudah berada di hadapannya. Saat bertarung melawan Dongfang Bubai yang mahagesit sekalipun ia masih bisa melihat sekelebat bayangannya. Namun, kecepatan orang ini bahkan tidak menimbulkan suara sama sekali, seolah-olah kakinya melayang tidak menginjak tanah, benar-benar sangat mengherankan.

Sungguh heran bercampur kaget perasaan Linghu Chong bukan kepalang. Ia sadar malam ini benar-benar bertemu seorang sakti. Yang lebih celaka lagi ialah dirinya justru sedang menyamar sebagai orang itu. Jelas hal ini sangat mengundang kemarahannya.

Maka, Linghu Chong pun kembali memberi hormat dan berkata, “Maafkan aku, Nenek. Aku mengaku salah. Baiklah, aku akan segera berganti pakaian dan setelah itu aku akan datang ke Kuil Gantung untuk meminta maaf kepadamu.”

Nenek bisu itu tetap kaku tidak menunjukkan perasaan apa pun di wajahnya.

“Ah, aku lupa. Tentunya kau tidak dapat mendengar ucapanku,” ujar Linghu Chong. Kemudian ia berjongkok dan menulis di atas tanah menggunakan jari: “Maaf, lain kali aku tidak berani lagi.” Sewaktu tegak kembali, dilihatnya si nenek tetap berdiri mematung, sedikit pun tidak memandang kepada apa ia tuliskan.

Sambil menunjuk tulisan di atas tanah itu, dengan suara keras Linghu Chong berseru, “Maaf, lain kali tidak berani lagi!”

Namun, nenek itu tetap tidak bergerak. Ia hanya berdiri seperti patung belaka.

Diam-diam Linghu Chong berpikir, “Celaka, jangan-jangan dia buta huruf!”

Berkali-kali ia lantas membungkuk-bungkukkan badan, sambil tangannya bergerak-gerak seolah hendak melepas pakaian samaran dan rambut palsu yang ia kenakan. Ia juga memberi hormat sebagai tanda meminta maaf. Namun, nenek itu tetap saja diam, sedikit pun tidak bergerak.

Linghu Chong benar-benar kehabisan akal. Tanpa sadar tangannya menggaruk-garuk kepala meski tidak gatal. Sambil memiringkan tubuh, ia lalu bergegas menyelinap lewat di samping si nenek.

Baru saja kakinya bergerak, mendadak nenek itu menggeliat dan tahu-tahu sudah menghadang lagi di depannya. Linghu Chong terkesiap dan berkata, “Maaf!” Kakinya lantas melangkah ke kanan, tapi menyusul ia meloncat lewat ke sebelah kiri. Namun, baru saja kakinya menapak di tanah, tahu-tahu si nenek sudah berdiri lagi di depannya dan kembali menghadang langkahnya.

Tentu saja Linghu Chong sangat penasaran. Berkali-kali ia melompat, makin lama makin cepat. Namun, selangkah pun si nenek bisu tidak mau ketinggalan, selalu saja menghadang jalan yang hendak dilewatinya. Linghu Chong menjadi gusar. Melihat si nenek bisu masih merintangi, segera tangan kirinya mendorong pundak wanita itu. Namun, baru saja jarinya hampir mengenai sasaran, tahu-tahu tangan si nenek yang kurus kering itu memotong ke bawah, menebas pergelangan tangannya.

Linghu Chong lekas menarik tangannya. Walaupun begitu cepat ia menarik serangan tetap saja punggung tangannya tergores kuku jari kelingking si nenek. Betapa sakit rasanya seperti disayat pisau. Lantaran merasa bersalah, Linghu Chong tidak berani bertempur melawan si nenek bisu. Yang ia harapkan hanya secepatnya bisa pergi menghindarinya. Segera ia pun menunduk dan bermaksud menyelinap di sisi orang itu. Namun, baru saja tubuhnya bergerak tiba-tiba angin pukulan sudah menyambar. Rupanya nenek bisu telah menghantamkan telapak tangan ke arah batok kepalanya.

Lekas-lekas Linghu Chong berkelit, namun serangan itu teramat cepat. Pukulan itu sempat mengenai bahunya. Sebaliknya, nenek itu agak menggeliat. Ternyata pada saat pukulan si nenek mengenai sasaran, bersamaan pula Jurus Penyedot Bintang dalam tubuh Linghu Chong bekerja sehingga menghisap tenaga pukulan lawan tersebut.

Tiba-tiba si nenek menjulurkan tangan yang satunya. Kali ini jarinya yang lentik kurus bagaikan cakar ayam menusuk kedua mata Linghu Chong. Dengan perasaan terkejut Linghu Chong lekas-lekas menunduk ke bawah untuk menghindar, sehingga punggungnya menjadi terbuka. Untungnya si nenek bisu sudah jera terhadap Jurus Penyedot Bintang, sehingga tidak berani melanjutkan serangan meski kesempatan terbuka lebar. Sebaliknya, tangan kanannya lantas mencukil balik ke atas untuk tetap menyerang kedua mata Linghu Chong. Jelas si nenek sudah memutuskan akan mencakar bola mata lawannya itu. Bagaimanapun hebatnya Jurus Penyedot Bintang tentu tidak bisa dikerahkan melalui bola mata. Sedikit saja kedua mata terkena tusukan jari nenek itu, maka Linghu Chong pasti akan buta.

Linghu Chong pun mengangkat tangannya untuk menangkis serangan. Si nenek bisu mengikuti dengan memutar tangannya. Kelima jarinya lantas mencakar mata kiri Linghu Chong. Begitu Linghu Chong menangkis, mendadak jari kanan si nenek mencolok telinganya. Terpaksa ia pun melompat menghindar.

Gaya bertarung nenek bisu itu terlihat lucu, mirip cara bertengkar perempuan bawel yang kampungan, namun selalu mengincar titik-titik penting di tubuh lawan. Ditambah lagi gerakannya yang cepat luar biasa, sehingga dalam beberapa jurus saja Linghu Chong sudah terdesak mundur.

Sebenarnya ilmu silat perempuan tua ini tidak terlalu tinggi.  Yang istimewa darinya hanyalah pada gerakannya yang lincah dan sangat gesit, serta sergapan secara tiba-tiba. Dibandingkan Yue Buqun atau Zuo Lengchan, atau bahkan dengan Ren Yingying sekalipun ia masih kalah jauh. Akan tetapi, Linghu Chong sendiri kurang mahir dalam ilmu silat tangan kosong. Andai saja si nenek bisu tidak terlalu takut terhadap Jurus Penyedot Bintang, maka dapat dipastikan pemuda itu sudah kenyang terkena pukulan sejak tadi.

Biksu Bujie meratapi diri.

Biksu Bujie diserang nyonya muda.

(Bersambung)