Bagian 87 - Pertaruhan Tiga Babak

Ren Woxing menerima tantangan.

Demi mencegah agar perdebatan kedua orang itu tidak melebar, Mahabiksu Fangzheng segera menyela, “Mengenai siapa yang membunuh kedua biksuni, kita bisa bertanya kepada Pendekar Linghu. Tentu segalanya bisa terungkap jelas. Tapi kalian bertiga datang ke Biara Shaolin, tahu-tahu mencelakai delapan orang kami. Tolong katakan apa sebab dari semua ini?”

Ren Woxing menjawab, “Aku sudah biasa datang dan pergi di dunia persilatan sesuka hatiku. Tidak ada seorang pun yang berani mengaturku. Tapi kedelapan orang ini berani membentak-bentak dan menyuruhku keluar dari tempat persembunyian. Bukankah dosa mereka ini cukup pantas dibayar dengan kematian?”

“Amitabha!” ujar Fangzheng. “Hanya karena membentak beberapa kali, Tuan Ren lantas mengambil tindakan sekeji ini. Apakah caramu ini tidak keterlaluan?”

“Hahaha! Jika Kepala Biara menganggap ini keterlaluan, tidak masalah,” sahut Ren Woxing. “Karena kau tidak membuat susah putri tercintaku, maka aku berhutang budi kepadamu. Kedatanganku kemari sebenarnya untuk berterima kasih kepadamu. Maka, kali ini aku tidak ingin banyak berdebat denganmu. Namun sekarang rasanya aku tidak perlu berterima kasih lagi. Masalah ini kuanggap beres dan selesai sampai di sini.”

Mahabiksu Fangzheng menjawab, “Jika Tuan Ren menganggap sudah beres, maka aku pun akan menganggap beres. Namun kalian telah membunuh delapan orang di biara kami. Lantas bagaimana kami harus menyelesaikan masalah ini?”

“Penyelesaian apa lagi?” sahut Ren Woxing. “Anggota Sekte Matahari dan Bulan sangat banyak. Jika kalian mampu silakan saja bunuh delapan orang di antara mereka supaya impas.”

“Amitabha! Sembarangan membunuh orang adalah dosa besar, hanya menambah karma buruk saja,” kata Fangzheng. “Hm, Ketua Zuo, dua di antara delapan orang yang terbunuh ini adalah murid-murid Perguruan Songshan kalian. Menurutmu, bagaimana cara penyelesaian masalah ini?”

Belum sempat Zuo Lengchan menanggapi, Ren Woxing segera mendahului, “Aku yang telah membunuh mereka, kenapa kau tanya cara penyelesaiannya kepada orang lain? Kenapa tidak tanya kepadaku saja? Dari nadamu ini rupanya kalian hendak mengandalkan jumlah yang banyak untuk main kerubut terhadap kami bertiga, begitu?”

“Bukan begitu maksudku,” kata Fangzheng. “Hanya saja, Tuan Ren sekarang telah muncul kembali di dunia persilatan. Aku takut banyak orang akan binasa di tangan Tuan Ren. Maka itu, aku bermaksud meminta kalian agar sudi tinggal di biara ini untuk bersembahyang dan membaca kitab. Dengan demikian barulah dunia persilatan menjadi aman dan tenteram. Entah bagaimana pendapat kalian?”

Ren Woxing menengadah dan tertawa, “Hahaha, bagus sekali, bagus sekali! Usul yang sangat menarik.”

Fangzheng berkata lagi, “Ketika putrimu tinggal di belakang biara ini, setiap murid Shaolin menaruh hormat kepadanya. Segala pelayanan kami tidak pernah kurang suatu apa. Aku menahan putrimu di sini bukan untuk membalas dendam atas murid-murid kami yang menjadi korban keganasannya. Aih, dendam dibalas dendam tidak akan pernah ada ujungnya. Mungkin kematian murid-murid kami itu adalah karma atas perbuatan mereka sendiri di kehidupan sebelumnya. Hanya saja … Nona Ren sendiri begitu mudah mencabut nyawa orang. Bila dia berdiam di sini untuk mendamaikan pikiran dan menenangkan jiwanya, tentu hal ini sangat baik untuk orang banyak.”

Ren Woxing kembali tertawa, “Hahaha, dalam hal ini Kepala Biara memiliki maksud yang sangat baik.”

Fangzheng melanjutkan, “Namun di luar dugaan, karena maksudku itu, dunia persilatan menjadi kacau. Padahal, aku sama sekali tidak bermaksud menyekap Nona Ren. Putrimu datang sendiri ke biara ini dengan menggendong Pendekar Linghu untuk meminta pertolongan. Apabila kami bersedia mengobati penyakit Pendekar Linghu, ia bersedia dihukum mati demi menebus nyawa murid-murid kami. Namun aku tidak setuju menukar nyawa dengan nyawa. Aku hanya meminta Nona Ren tinggal di belakang biara untuk menemukan kedamaian batin, serta tidak boleh meninggalkan Gunung Shaoshi ini tanpa seizin dariku. Putrimu langsung setuju. Bukankah begitu, Nona Ren?”

Ren Yingying menjawab lirih, “Benar.”

Linghu Chong sangat bersyukur setelah mendengar perkataan tersebut. Sejak awal ia yakin Mahabiksu Fangzheng tidak mungkin menyusahkan Ren Yingying, dan kini ia semakin yakin atas hal itu. Memang ia sudah mendengar cerita tentang bagaimana Ren Yingying menggendong dirinya untuk meminta pertolongan ke Biara Shaolin, namun berbeda rasanya jika mendengar langsung dari penuturan Mahabiksu Fangzheng. Membayangkan betapa besar pengorbanan Ren Yingying untuknya, tanpa terasa air mata pun meleleh di pipi.

Tiba-tiba Yu Canghai tertawa, “Hehe, gadis ini sungguh setia dan penuh cinta. Tapi sayang, Linghu Chong itu punya kelakuan yang tidak senonoh. Dulu aku pernah memergokinya bermalam di rumah pelacuran di Kota Hengshan. Sungguh tidak sepadan dengan cinta tulus Nona Ren.”

Xiang Wentian menanggapi, “Jadi, Pendeta Yu memergoki dia di rumah pelacuran? Apakah kau melihatnya dengan mata kepala sendiri? Apa tidak keliru?”

“Tentu saja aku melihatnya sendiri. Mana mungkin aku salah lihat?” sahut Yu Canghai.

Xiang Wentian berkata dengan suara perlahan, “Apakah Pendeta Yu juga berada di rumah pelacuran itu?”

“Tentu saja,” jawab Yu Canghai mantap.

“Hahahaha,” Xiang Wentian bergelak tawa. “Ternyata Pendeta Yu suka jajan, ya? Kalau begitu sama dengan aku. Eh, siapa nama perempuan kegemaranmu di rumah pelacuran itu? Wajahnya cantik, tidak? Bagaimana kalau kapan-kapan aku yang bayar?”

“Omong kosong! Omong kosong!” gerutu Yu Canghai dengan muka merah.

“Hahahaha, sungguh menggelikan! Aku ingin menraktirmu, tapi kau justru memaki-maki. Benar-benar air susu dibalas air tuba, hahaha!” sahut Xiang Wentian dengan gelak tawa semakin menjadi-jadi.

Mahabiksu Fangzheng kembali berkata, “Tuan Ren bertiga, silakan kalian berdiam di Gunung Shaoshi ini saja. Kita ubah hubungan dari lawan menjadi kawan. Asalkan kalian bertiga tidak meninggalkan pegunungan ini, saya berani menjamin takkan ada orang yang berani mencari perkara kepada dengan bertiga. Selanjutnya kita akan sama-sama hidup tenteram sejahtera. Bukankah hidup damai dan bahagia adalah dambaan setiap orang?”

Mendengar itu, Linghu Chong merenung, “Mahabiksu Fangzheng sungguh polos. Maksud baiknya jelas tidak masuk akal. Ketiga orang ini mudah menurunkan tangan keji, mencabut nyawa tanpa berkedip. Tapi Kepala Biara meminta mereka tinggal di Gunung Shaoshi dengan sukarela. Sungguh tidak masuk akal.”

Sambil tersenyum Ren Woxing menjawab, “Maksud baik Mahabiksu Fangzheng benar-benar pantas dipuji. Sebenarnya aku bisa menuruti keinginanmu.”

“Jadi, Tuan Ren bersedia tinggal di Gunung Shaoshi ini?” sahut Fangzheng dengan nada senang.

“Benar,” jawab Ren Woxing.

“Kalau demikian, saya akan segera mempersiapkan ruang kamar. Mulai sekarang kalian bertiga menjadi warga kehormatan di Biara Shaolin ini,” ujar Fangzheng dengan gembira.

“Tapi,” sahut Ren Woxing menyela, “aku hanya bisa tinggal di sini selama tidak lebih dari enam jam saja. Lebih lama dari itu aku tidak sanggup.”

Fangzheng tampak sangat kecewa dan berkata, “Hanya enam jam? Apa gunanya waktu sesingkat itu?”

Ren Woxing tertawa dan menjawab, “Sebenarnya aku ingin tinggal beberapa hari lebih lama agar bisa bercengkerama dengan para sahabat di sini. Namun sayang, namaku ini sudah telanjur kurang baik. Jadi, apa boleh buat?”

“Saya tidak paham,” kata Fangzheng bingung. “Apa hubungannya dengan nama Tuan yang terhormat?”

“Hm, margaku kurang baik, namaku juga kurang baik,” sahut Ren Woxing. “Aku bermarga Ren, dan bernama Woxing. Andai aku tahu, sejak awal aku akan mencari nama yang lebih bagus, misalnya Ren Nixing. Sekarang sudah telanjur punya nama seperti ini, apa boleh buat? Terpaksa aku berbuat sesuka hatiku.”

Ren-wo-xing bermakna “berbuat sesuai kemauanku” sedangkan ren-ni-xing bermakna “berbuat sesuai kemauanmu”.

Fangzheng pun menanggapi, “Oh, rupanya Tuan Ren hanya ingin mempermainkan saya.”

“Mana aku berani?” sahut Ren Woxing. “Di antara tokoh-tokoh terkemuka pada zaman ini sebenarnya hanya sedikit yang kukagumi. Kalau kuhitung-hitung ternyata hanya tiga setengah orang saja. Kepala Biara termasuk satu di antaranya. Selain itu masih ada tiga setengah orang lagi yang tidak kusukai.” Ucapannya ini terdengar sungguh-sungguh, sama sekali tidak ada maksud bercanda.

Dengan merangkap kedua tangan Fangzheng berkata, “Amitabha! Saya tidak berani menerima sanjungan Tuan Ren.”

Semua orang, termasuk Linghu Chong yang bersembunyi di balik papan nama, merasa heran dan ingin tahu siapa saja tiga setengah orang pada zaman ini yang dikagumi oleh gembong Sekte Iblis ini, dan siapa pula tiga setengah orang yang tak disukainya itu.

Tiba-tiba terdengar suara seseorang berteriak nyaring, “Tuan Ren, siapa saja orang yang kau kagumi itu?”

Dengan merasakan jumlah hembusan napas di tempat itu, Linghu Chong memperkirakan ada sepuluh orang dalam kelompok aliran lurus. Namun sayang, ia hanya mengenali tujuh di antara mereka sesuai dengan yang disebutkan oleh Kepala Biara tadi, yaitu Mahabiksu Fangzheng sendiri, Pendeta Chongxu, Zuo Lengchan, Pendeta Tianmen, guru dan ibu-gurunya, serta Yu Canghai. Sisanya yang tiga orang belum sempat diperkenalkan, termasuk orang yang berteriak lantang itu.

“Maaf, Tuan yang mulia tidak termasuk di antaranya,” sahut Ren Woxing dengan tertawa.

“Mana aku berani disejajarkan dengan Mahabiksu Fangzheng?” kata orang itu. “Sudah tentu aku termasuk orang yang tidak disukai Tuan Ren.”

“Kau pun tidak termasuk di antara tiga setengah orang yang tidak kusukai,” kata Ren Woxing. “Jika kau berlatih selama tiga puluh tahun lagi, mungkin kelak bisa membuatku tidak suka kepadamu.”

Orang itu langsung terdiam tak bersuara. Di persembunyiannya, Linghu Chong berpikir, “Ternyata menjadi orang yang tidak disukai Tuan Ren juga tidak mudah.”

“Apa yang dikatakan Tuan Ren benar-benar sangat menarik,” kata Fangzheng.

“Kepala Biara, apakah kau ingin tahu siapa-siapa lagi yang kukagumi dan siapa-siapa pula yang tidak kusukai?” tanya Ren Woxing.

“Memang saya ingin mendengar penjelasan Tuan,” jawab Fangzheng.

“Kepala Biara, kau berhasil mempelajari Kitab Mengubah Urat dengan sempurna. Tenaga dalammu juga mahatinggi. Tapi kau tetap rendah hati dan sederhana, sangat berbeda dengan diriku yang angkuh ini. Aku benar-benar mengagumi biarawan berbudi luhur seperti dirimu.”

“Saya tidak pantas menerima sanjungan Tuan Ren,” ujar Fangzheng.

Ren Woxing melanjutkan, “Namun Mahabiksu Fangzheng bukanlah orang yang paling kukagumi. Di dunia ini, orang yang paling kukagumi adalah dia yang telah merebut jabatanku dalam Sekte Matahari dan Bulan. Dia adalah Dongfang Bubai.”

“Hah!” seru semua orang terkejut heran karena hal ini sungguh di luar dugaan. Untungnya Linghu Chong masih bisa menahan diri untuk tidak bersuara. Ia hanya tidak habis mengerti, mengapa Dongfang Bubai yang telah berhasil menangkap dan memenjarakan Ren Woxing sekian lamanya, justru masuk ke dalam daftar orang yang dikagumi, bukannya dibenci sampai tulang sumsum?

Terdengar Ren Woxing melanjutkan, “Ilmu silatku cukup tinggi. Aku juga terkenal cerdik dan banyak akal, bahkan merasa tidak punya tandingan di muka bumi. Tak kusangka, aku bisa dipecundangi oleh tutur kata Dongfang Bubai dan hampir terkubur seumur hidup di dasar danau. Dongfang Bubai adalah tokoh hebat. Orang seperti dia apa tidak pantas untuk dikagumi?”

“Betul juga alasan Tuan Ren,” ujar Fangzheng sambil mengangguk.

Ren Woxing melanjutkan, “Dan orang ketiga yang kukagumi adalah jago paling hebat dari Perguruan Huashan saat ini.”

Kembali semua orang merasa heran bukan kepalang. Linghu Chong sendiri bingung mendengarnya karena tadi Ren Woxing sengaja mengolok-olok Yue Buqun, tapi siapa tahu di dalam hati justru mengagumi gurunya itu.

Merasa suaminya dipermainkan, Ning Zhongze membuka suara, “Kau tidak perlu menyindir dan mempermalukan orang.”

Ren Woxing tertawa sinis dan berkata, “Nyonya Yue, apakah kau mengira suamimu termasuk orang yang kukagumi? Hahaha, masih terlalu jauh. Jago terhebat Perguruan Huashan yang kukagumi adalah Feng Qingyang. Ilmu pedang Tuan Feng mahasakti dan jauh lebih hebat dariku. Aku merasa tidak mampu mencapai tingkatan seperti itu. Aku sungguh-sungguh mengagumi kehebatan Tuan Feng setulus hati.”

“Apakah Tuan Feng saat ini masih hidup?” tanya Fangzheng sambil memandang Ren Woxing, lalu berpaling ke arah Yue Buqun.

“Paman Guru Feng sudah mengasingkan diri beberapa puluh tahun yang lalu. Selama ini tidak pernah terdengar kabar beritanya,” jawab Yue Buqun. “Apabila Beliau masih hidup, tentu sungguh suatu keberuntungan bagi Perguruan Huashan kami.”

Ren Woxing menanggapi, “Hm, Tuan Feng adalah anggota Kelompok Pedang, sementara dirimu dari Kelompok Tenaga Dalam. Kedua cabang Perguruan Huashan ini biasanya saling bermusuhan, tidak bisa untuk bersatu. Apa untungnya bagimu jika Tuan Feng ternyata benar-benar masih hidup?”

Mendengar teguran itu, Yue Buqun terdiam tanpa menjawab.

Sejak awal Linghu Chong hanya menduga-duga kalau Feng Qingyang berasal dari Kelompok Pedang cabang perguruannya. Kini setelah mendengar ucapan Ren Woxing tersebut dan Sang Guru sama sekali tidak menyangkal, hatinya pun menjadi semakin yakin.

Terdengar Ren Woxing tertawa dan berkata, “Kau tidak perlu khawatir. Tuan Feng sudah melepaskan urusan dunia persilatan. Apa kau takut ia akan muncul kembali dan merebut kedudukanmu sebagai ketua?”

Dengan tegas Yue Buqun menjawab, “Aku tidak punya kepandaian apa-apa. Bila Paman Guru Feng muncul kembali dan memberikan nasihat kepadaku, sungguh aku merasa sangat gembira. Apakah Tuan Ren dapat memberi tahu tempat kediaman Paman Guru Feng agar aku dapat mengunjungi Beliau? Jika demikian, kami semua dari Perguruan Huashan akan sangat berterima kasih kepadamu.”

Ren Woxing menggelengkan kepala, kemudian berkata, “Pertama, aku tidak tahu di mana keberadaan Tuan Feng. Kedua, seandainya aku tahu juga tidak akan kukatakan kepadamu. Tombak yang ditusukkan dari depan mudah dielakkan, tapi senjata rahasia yang dilempar dari belakang sukar dihindari. Sangat mudah untuk menghadapi musuh yang benar-benar jahat, tapi menghadapi seorang munafik sungguh membuat kepala pusing.”

Yue Buqun kembali terdiam tak menanggapi.

Linghu Chong berpikir, “Guru seorang kesatria yang ramah dan santun. Beliau tidak mungkin bertukar kata-kata kasar dengan Tuan Ren.”

Ren Woxing kemudian berpaling ke arah Pendeta Chongxu dan berkata, “Orang keempat yang kukagumi adalah si hidung kerbau tua ini. Ilmu Pedang Taiji andalan Perguruan Wudang yang kau pimpin sungguh luar biasa. Kau sendiri pandai menjaga diri dan tidak suka banyak ikut campur urusan dunia persilatan. Hanya saja, kau tidak mahir mendidik murid. Di antara sekian banyak murid-murid Perguruan Wudang tidak ada satu pun bibit unggul yang menonjol. Lihat saja, kalau kau si tua bangka sudah berpulang ke dunia atas, mungkin ilmu Pedang Taiji kalian juga ikut lenyap. Lagipula meski kau memiliki ilmu pedang cukup tinggi, namun belum tentu mampu mengalahkan diriku. Maka itu, aku hanya kagum setengah saja kepadamu.”

“Hahaha, bisa mendapat setengah kekaguman dari Tuan Ren sudah cukup menaikkan harga diriku. Terima kasih banyak,” seru Pendeta Chongxu sambil tertawa.

“Tidak perlu segan,” sahut Ren Woxing. Ia kemudian berpaling kepada Zuo Lengchan dan berkata, “Ketua Zuo, kau tidak perlu tersenyum-senyum, tapi di dalam hati memendam amarah. Kau memang tidak termasuk dalam daftar orang-orang yang kukagumi, namun dalam daftar tiga setengah orang yang tidak kusukai, kau yang mulia menduduki peringkat pertama.”

“Hehe, aku merasa sangat tersanjung,” sahut Zuo Lengchan.

“Ilmu silatmu hebat, pikiranmu juga cerdas. Sangat cocok dengan seleraku,” ujar Ren Woxing. “Kau bermaksud melebur Serikat Pedang Lima Gunung menjadi satu perguruan besar untuk mengimbangi Shaolin dan Wudang. Cita-citamu setinggi langit, sungguh patut dipuji. Hanya sayang, kau suka menggunakan berbagai macam tipu muslihat keji dan cara-cara licik. Ini jelas bukan perbuatan seorang kesatria sejati dan tidak pantas dikagumi.”

Zuo Lengchan menanggapi, “Hm, di antara tiga setengah tokoh-tokoh yang tidak kusukai di zaman ini, kau justru hanya termasuk yang setengah saja.”

“Huh, kau hanya bisa meniru saja, sama sekali tidak punya pemikiran sendiri. Maka itu, kau memang tidak pantas dikagumi, bahkan sangat tidak kusukai,” kata Ren Woxing sambil menggeleng. “Meskipun kau sudah mempelajari semua ilmu perguruanmu dengan mendalam, namun semuanya hanyalah ilmu warisan. Apabila semua orang seperti dirimu yang hanya bisa meniru tanpa memiliki pemikiran sendiri, tentu dalam sepuluh tahun kemudian dunia persilatan ini akan sepi dari jurus-jurus baru.”

Zuo Lengchan berkata, “Hm, kau sengaja mengobrol ke barat dan ke timur. Apakah kau ingin mengulur waktu untuk menunggu datangnya bala bantuan?”

Ren Woxing tertawa lirih, “Hehe, apakah kau bermaksud mengandalkan jumlah yang banyak untuk mengerubut kami bertiga?”

Zuo Lengchan menjawab, “Kalian datang ke Biara Shaolin ini dan membunuh sesuka hati, lalu hendak pergi begitu saja, memangnya kau anggap kami ini patung semua? Kalau kau menuduh kami main kerubut atau menyebut kami tidak mengindahkan tata tertib dunia persilatan, apa boleh buat? Yang pasti kau telah membunuh murid-murid Perguruan Songshan kami, dan sekarang aku, Zuo Lengchan, sudah ada di sini. Bagaimanapun juga aku ingin minta petunjuk beberapa jurus dari Tuan Ren yang mulia.”

Ren Woxing berpaling kepada Mahabiksu Fangzheng dan berkata, “Kepala Biara, di sini ini wilayah Biara Shaolin ataukah Perguruan Songshan?”

“Aih, Tuan Ren sudah tahu tapi sengaja bertanya. Sudah tentu di sini Biara Shaolin,” jawab Fangzheng.

“Jika demikian, terhadap segala urusan di sini siapa yang berhak mengambil keputusan? Apakah Kepala Biara Shaolin, ataukah Ketua Perguruan Songshan?” tanya Ren Woxing.

“Meski saya yang mengambil keputusan, tapi kalau kawan-kawan memiliki saran juga akan saya dengarkan,” kata Fangzheng.

“Hahahaha, memang benar-benar saran yang bagus,” seru Ren Woxing sambil tertawa. “Karena sadar kalau bertempur satu lawan satu pasti kalah, maka sekarang kalian ingin main kerubut. Hei, orang bermarga Zuo, jika hari ini kau mampu merintangi kepergianku, maka selanjutnya kau tidak perlu turun tangan lagi. Aku akan menggorok leher sendiri di depan matamu.”

Zuo Lengchan berkata, “Kami berjumlah sepuluh orang. Merintangi dirimu mungkin suatu pekerjaan yang sulit. Tapi untuk membunuh anak perempuanmu kurasa bukan masalah yang berat.”

“Amitabha! Janganlah kita main bunuh-membunuh,” sela Fangzheng.

Jantung Linghu Chong berdebar kencang. Ia tahu apa yang dikatakan Zuo Lengchan itu sungguh bukan gertakan belaka. Meskipun ia tidak tahu siapa tiga di antara kesepuluh orang tersebut, tapi ia yakin mereka juga berilmu tinggi. Kalau bukan ketua perguruan ternama tentu pendekar silat papan atas. Bagaimanapun tingginya ilmu Ren Woxing paling-paling hanya bisa menyelamatkan diri sendiri saja. Apakah Xiang Wentian juga bisa menyelamatkan nyawa sukar untuk dipastikan. Apalagi Ren Yingying, jelas tiada harapan baginya.

Namun Ren Woxing dengan tenang menjawab, “Bagus sekali. Aku dengar Ketua Zuo punya seorang anak laki-laki bernama Zuo Ting yang berjuluk Si Cemara Dingin di Angkasa. Konon ilmu silatnya tidak terlalu tinggi juga tidak terlalu cerdas, tentu tidak sulit untuk membunuhnya. Tuan Yue juga punya seorang anak perempuan. Pendeta Yu kabarnya punya beberapa gundik cantik dan tiga anak laki-laki yang masih muda. Pendeta Tianmen tidak punya anak, tapi punya banyak murid kesayangan. Tuan Besar Mo masih punya ayah dan ibu yang sudah tua di rumah. Zhenshan Zi, si Pedang Tunggal Qiankun dari Perguruan Kunlun punya seorang cucu laki-laki. Ada lagi Ketua Xie dari Partai Pengemis, eh, Saudara Xiang, apakah dia punya orang yang disayangi?”

Mendengar itu Linghu Chong merenung, “Jadi Paman Guru Mo juga ada di sini. Meskipun Mahabiksu Fangzheng belum tuntas memperkenalkan rombongannya, tapi Tuan Ren ternyata sudah mengenali mereka semua, bahkan mengetahui pula dengan rinci seluk-beluk keluarga masing-masing kesepuluh tokoh tersebut.”

Terdengar Xiang Wentian menjawab, “Kudengar dua petinggi Partai Pengemis yang menjabat sebagai Utusan Teratai Putih dan Utusan Teratai Hijau sebenarnya adalah anak haram Ketua Xie, meskipun berbeda marga.”

“Apakah kau tidak keliru? Jangan sampai kita salah membunuh orang baik-baik,” ujar Ren Woxing.

“Tidak mungkin salah,” jawab Xiang Wentian, “hamba sudah menyelidikinya dengan jelas.”

“Apa hendak dikata? Andaikan salah membunuh juga tidak bisa dihindari,” kata Ren Woxing sambil mengangguk. “Terpaksa kita bunuh saja tiga atau empat puluh orang Partai Pengemis. Paling tidak, dua di antaranya adalah sasaran yang kita cari.”

“Pendapat Ketua sungguh tepat,” ujar Xiang Wentian memuji.

Setiap kali Ren Woxing menyebut sanak keluarga kesepuluh lawannya, baik Zuo Lengchan maupun yang lain merasa ngeri. Mereka tahu setiap perkataan gembong Sekte Iblis itu bukanlah omong kosong. Jika anak perempuannya benar-benar dibunuh, maka dia pasti akan membalas dengan cara yang lebih keji terhadap sanak keluarga mereka. Membayangkan hal ini sungguh membuat setiap orang merinding ketakutan. Maka, suasana ruangan itu langsung menjadi sunyi. Wajah semua orang tampak berubah pucat.

Selang sejenak barulah Fangzheng berkata, “Mata dibalas mata tentu tiada akhirnya. Tuan Ren, kami tidak akan mengganggu putrimu. Kami hanya meminta kalian bertiga sudi menjadi tamu kehormatan di sini selama sepuluh tahun saja.”

“Tidak bisa,” sahut Ren Woxing. “Nafsu membunuhku sudah tergerak. Aku sudah tidak sabar ingin mulai membunuh putra Ketua Zuo dan keempat gundik cantik Pendeta Yu itu. Begitu pula dengan anak perempuan Tuan Yue juga takkan kubiarkan hidup.”

Linghu Chong terperanjat di tempat persembunyinya. Ren Woxing memiliki sifat yang sulit dipahami. Apakah ucapannya itu hanya untuk menakut-nakuti saja atau sungguh-sungguh akan mengadakan pembantaian secara besar-besaran juga tidak dapat dipastikan.

“Tuan Ren, bagaimana kalau kita mengadakan taruhan?” tiba-tiba Pendeta Chongxu bertanya.

“Tidak. Dalam hal taruhan aku sering sial, tidak punya keahlian,” jawab Ren Woxing. “Tapi kalau membunuh orang aku yakin pasti berhasil. Membunuh jago-jago papan atas mungkin bisa gagal. Tapi kalau membunuh anak-istri atau ayah-ibu mereka, aku yakin bisa terlaksana.”

“Membunuh orang-orang yang tidak paham ilmu silat bukan perbuatan kesatria,” kata Chongxu.

“Meskipun tidak kesatria, tapi kalau bisa membuat musuh-musuhku menyesal seumur hidup, sudah bisa membuatku gembira,” kata Ren Woxing.

Pendeta Chongxu menukas, “Kau sendiri akan kehilangan anak perempuan, apakah itu menyenangkan? Kehilangan anak perempuan berarti takkan punya menantu pula. Dan menantumu tentu akan menjadi menantu orang lain. Untuk ini rasanya kau pun akan kehilangan nama baik.”

“Apa boleh buat?” kata Ren Woxing. “Terpaksa aku harus membunuh mereka semuanya. Siapa suruh calon menantuku tidak setia kepada anak perempuanku?”

“Begini saja, kami tidak akan main kerubut dan kau juga jangan sembarangan membunuh,” kata Chongxu. “Kita bisa bertanding secara adil. Kalian bertiga bertanding tiga babak melawan tiga orang di antara kami. Bisa menang dua babak saja sudah cukup.”

Mahabiksu Fangzheng mengangguk setuju, “Usulan Saudara Chongxu memang lain daripada yang lain. Kita bisa bertanding secara bersahabat, tidak perlu sampai binasa.”

“Jika kami bertiga kalah, apakah harus tinggal selama sepuluh tahun di sini?” tanya Ren Woxing.

“Benar,” jawab Chongxu. “Tapi bila pihak kalian menang dua babak saja, maka kami mengaku kalah dan kalian bebas untuk pergi. Mengenai nasib kedelapan murid kami ini anggap saja mereka mati sia-sia.”

“Aku hanya setengah kagum kepadamu. Maka, aku pun merasa kata-katamu setengah masuk akal,” kata Ren Woxing. “Siapa di antara kalian yang akan maju? Bolehkah aku yang memilih?”

Zuo Lengchan langsung menanggapi, “Mahabiksu Fangzheng adalah tuan rumah, sudah pasti dia akan turun gelanggang. Kepandaianku sudah terlena selama belasan tahun. Ini adalah saat yang tepat untuk mencoba-coba tenagaku lagi. Bagaimana dengan babak ketiga? Karena pertandingan ini adalah usulan Pendeta Chongxu, rasanya aneh jika dia hanya berpeluk tangan menjadi penonton saja. Mau tidak mau ia harus memperlihatkan pula kehebatan ilmu Pedang Taiji andalan Perguruan Wudang.”

Zuo Lengchan sungguh cerdik dalam menunjuk orang. Kesepuluh orang dalam kelompoknya adalah para pesilat papan atas, sedangkan Mahabiksu Fangzheng, Pendeta Chongxu, dan dirinya sendiri boleh dibilang merupakan tiga jago yang paling sakti di antara mereka. Begitu menyebutkan tiga nama yang akan maju, Zuo Lengchan seolah menunjukkan kalau pihaknya pasti keluar sebagai pemenang. Di lain pihak, Ren Yingying hanya seorang gadis yang belum genap sembilan belas tahun. Meskipun memiliki ilmu silat tinggi, tapi pengalaman bertandingnya cenderung masih kurang. Maka, dengan siapa pun ia nanti akan berhadapan sudah dapat dipastikan kekalahannya. Sementara itu, Yue Buqun dan yang lain tersenyum setuju memahami siasat Zuo Lengchan tersebut.

Mahabiksu Fangzheng, Pendeta Chongxu, dan Zuo Lengchan memang tiga tokoh terhebat dalam aliran lurus. Ilmu silat mereka tidak berada di bawah Ren Woxing. Bahkan dibandingkan dengan Xiang Wentian, mereka bisa jadi lebih unggul. Jadi, secara perhitungan, pihak Ren Woxing sangat sulit bisa menang dua babak saja. Yang dikhawatirkan orang-orang itu adalah apabila Ren Woxing melanggar perjanjian dan berhasil meloloskan diri, tentu ia akan membantai sanak keluarga mereka sesuai dengan yang disebutkan di awal tadi.

Ren Woxing yang menyadari hal itu pun menggeleng dan berkata, “Pertandingan tiga babak kurasa tidak bagus. Lebih baik kita bertanding hanya satu babak saja. Kalian boleh pilih seorang jago, demikian juga pihak kami. Dengan demikian urusan menjadi sederhana.”

Zuo Lengchan berkata, “Saudara Ren, hari ini kalian bertiga berada dalam wilayah kami. Kami bersepuluh ini sudah tiga kali lebih kuat daripada pihakmu. Bahkan, seandainya Kepala Biara mengeluarkan perintah, puluhan jago-jago Biara Shaolin seketika akan muncul. Belum lagi ditambah jago-jago dari perguruan lainnya,” kata Zuo Lengchan.

“Itu sebabnya kalian ingin menang dengan cara mengerubut kami, begitu?” ejek Ren Woxing.

“Memang,” sahut Zuo Lengchan. “Kami akan mengerubut kalian.”

“Huh, tidak tahu malu!” ujar Ren Woxing mengolok-olok lagi.

“Membunuh orang tanpa alasan adalah perbuatan yang lebih memalukan,” balas Zuo Lengchan.

“Apakah membunuh orang harus memakai alasan? Ketua Zuo, kau ini pemakan daging atau pemakan sayuran?” Ren Woxing bertanya.

“Jika aku ingin membunuh seseorang, maka akan kubunuh dia. Apa hubungannya dengan jenis makanan?” sahut Zuo Lengchan geram.

“Apakah setiap orang yang kau bunuh memang pantas dibunuh?” desak Ren Woxing.

“Tentu saja,” jawab Zuo Lengchan.

Ren Woxing tersenyum, “Kau memakan daging sapi dan kambing. Memangnya dosa apa yang telah mereka lakukan kepadamu?”

Mahabiksu Fangzheng menyela, “Amitabha, ucapan Tuan Ren sungguh welas asih.”

“Mahabiksu Fangzheng jangan tertipu ucapannya,” sahut Zuo Lengchan. “Dia menyamakan kedelapan murid kita dengan sapi dan kambing.”

“Serangga, semut, sapi, kambing, Sang Buddha, manusia biasa, semuanya adalah makhluk bernyawa,” kata Ren Woxing.

Fangzheng mengangguk, “Benar sekali, benar sekali, Amitabha!”

“Saudara Ren, kau terus-menerus mengulur waktu. Apakah kau takut bertanding hari ini?” seru Zuo Lengchan mengalihkan pembicaraan.

Tiba-tiba Ren Woxing bersuit panjang, sampai menggetarkan dinding ruangan. Beberapa lilin besar yang menerangi ruangan itu sampai buram nyala apinya. Setelah suara suitannya reda barulah cahaya lilin itu kembali terang. Jantung semua orang pun berdebar-debar karena suaranya itu. Wajah mereka tampak berubah agak pucat.

“Baiklah,” kata Ren Woxing kemudian, “marilah kita mulai pertandingan ini, wahai orang bermarga Zuo!”

“Seorang laki-laki sejati sekali bicara harus memegang janji,” sahut Zuo Lengchan. “Jika dua di antara kalian kalah, maka kalian harus tinggal selama sepuluh tahun di Gunung Shaoshi ini.”

“Baiklah. Kalau kami kalah dalam dua babak, maka kami akan tinggal di sini selama sepuluh tahun,” sahut Ren Woxing.

Pihak lawan terlihat berseri-seri lega melihat Zuo Lengchan telah berhasil menggiringnya untuk menyetujui pertaruhan tersebut.

Ren Woxing melanjutkan, “Mari kita mulai. Aku melawan dirimu. Saudara Xiang nanti akan melawan si pendek Yu. Anak perempuanku biar melawan sesama perempuan. Biarlah dia meminta petunjuk kepada Pendekar Ning.”

“Tidak bisa,” sahut Zuo Lengchan. “Siapa saja di pihak kami yang harus maju adalah pilihan kami sendiri. Mana boleh kau main tunjuk sesukanya?”

“Jago masing-masing pihak harus dipilih sendiri, pihak lawan tidak boleh ikut campur, begitu?” tanya Ren Woxing.

“Benar,” jawab Zuo Lengchan. “Dari pihak kami yang akan maju adalah kedua ketua dari Perguruan Shaolin dan Wudang, ditambah dengan aku sendiri.”

Ren Woxing mengejek, “Dengan kedudukan dan ilmu silatmu itu, mana mungkin dapat disejajarkan dengan ketua-ketua dari Perguruan Shaolin dan Wudang?”

Dengan muka merah Zuo Lengchan menjawab, “Hm, sudah tentu aku tidak berani disejajarkan dengan Mahabiksu Fangzheng dan Pendeta Chongxu. Tapi paling tidak, rasanya aku sudah cukup untuk melayani dirimu.”

“Hahaha!” Ren Woxing bergelak tawa kemudian berpaling kepada Fangzheng. “Kepala Biara, apa aku boleh berkenalan dengan ilmu pukulan Perguruan Shaolin kalian yang hebat itu?”

“Amitabha! Sudah lama saya tidak berlatih. Jelas bukan tandingan Tuan Ren,” jawab Fangzheng. “Namun karena saya berharap dapat menahan Tuan Ren di sini, terpaksa beberapa kerat tulangku yang sudah lapuk ini harus rela menerima pukulanmu.”

Zuo Lengchan tidak menduga kalau Ren Woxing justru menantang Fangzheng bertanding. Hal ini jelas memandang remeh terhadap dirinya. Namun dalam hati ia bukannya marah, tapi justru merasa senang. Diam-diam ia berpikir, “Tadinya aku khawatir kau menantangku bertarung, kemudian Xiang Wentian melawan Pendeta Chongxu, dan anak perempuanmu melawan Mahabiksu Fangzheng. Aku sendiri tidak yakin bisa mengalahkanmu, dan jangan-jangan Pendeta Chongxu juga lengah dan dapat dikalahkan Xiang Wentian yang banyak muslihat itu. Tentunya ini bisa menjadi bencana.”

Selangkah demi selangkah Zuo Lengchan berjalan mundur untuk memberikan tempat bagi Fangzheng dan Ren Woxing. Kedelapan mayat juga sudah dipindahkan dari tengah ruangan.

“Silakan, Kepala Biara,” kata Ren Woxing sambil memberi hormat. Sepasang lengan bajunya tampak berkibar-kibar.

“Tuan Ren silakan buka serangan lebih dulu,” sahut Fangzheng sambil merangkap tangan membalas hormat.

Ren Woxing berkata, “Yang akan kumainkan adalah ilmu silat murni Sekte Matahari dan Bulan. Sebaliknya, yang akan Mahabiksu mainkan adalah ilmu silat murni Perguruan Shaolin. Babak pertama ini merupakan pertandingan antara murni melawan murni.”

Tiba-tiba Yu Canghai mengejek, “Huh, dalam Sekte Iblis mana ada ajaran murni? Dasar tidak tahu malu!”

Ren Woxing berkata, “Kepala Biara, izinkan aku membunuh si pendek ini dulu, baru kemudian kita mulai pertandingan.”

“Jangan!” seru Fangzheng berseru sambil melancarkan serangan pertama. “Terimalah seranganku ini!”

Ia paham watak Ren Woxing yang berani berkata dan berani berbuat. Serangan gembong Sekte Iblis itu bagaikan kilat bisa-bisa membuat Yu Canghai kehilangan nyawa dalam waktu sekejap. Maka, ia pun memutuskan untuk membuka serangan lebih dulu.

Pukulan Fangzheng tersebut terlihat sangat enteng dan biasa saja. Namun begitu sampai di tengah jalan mendadak pukulannya bergerak-gerak. Satu telapak tangannya berubah menjadi dua, kemudian menjadi empat, kemudian berubah lagi menjadi delapan, dan seterusnya.

“Seribu Tapak Buddha!” teriak Ren Woxing mengenali jurus itu. Maka, ia pun segera membalas memukul bahu kanan Fangzheng. Segera Fangzheng menarik kembali pukulannya, dan kemudian tangan yang lain berganti menyerang dengan cara yang sama. Tangan kiri itu tampak bergoyang-goyang, satu berubah dua, dua berubah empat, dan seterusnya. Tapi Ren Woxing lantas melompat ke atas. Berturut-turut ia membalas dengan dua kali pukulan.

Linghu Chong mengintip pertarungan itu dari atas. Dilihatnya pukulan Fangzheng sukar diduga perubahannya. Belum lanjut pukulannya segera berubah beberapa kali. Sungguh ilmu pukulan mahaaneh yang belum pernah ia lihat seumur hidup. Sebaliknya, pukulan Ren Woxing terlihat sangat sederhana. Tangannya hanya menjulur dan ditarik kembali secara biasa, seperti agak kaku. Tapi meskipun Mahabiksu Fangzheng melancarkan pukulan-pukulan yang sukar dijajaki, Ren Woxing selalu menyambut serangannya dengan tenang. Pada saat itu pula Fangzheng cepat ganti serangan yang lain. Tampaknya mereka berdua memang lawan yang seimbang.

Dalam hal ilmu pukulan tangan kosong, Linghu Chong tidak begitu mahir. Salah satu bagian dalam Ilmu Sembilan Pedang Dugu yaitu Jurus Mematahkan Pukulan juga belum dikuasainya dengan baik. Lagipula ia merasa kesulitan menemukan titik kelemahan dalam setiap jurus pukulan kedua orang yang sedang bertarung itu.

Kedua tokoh sakti tersebut sama-sama ahli dalam ilmu pukulan. Kehebatan mereka boleh dibilang nomor satu di dunia persilatan. Linghu Chong kebingungan menyaksikan jurus-jurus mereka dan tetap saja kesulitan menemukan intisari gerak serangan keduanya. “Dalam ilmu pedang aku berhasil mengalahkan Pendeta Chongxu dan juga tidak kalah menghadapi Tuan Ren di dalam penjara dulu. Namun kalau menghadapi jurus pukulan yang dilancarkan kedua tokoh ini, bisa-bisa aku hanya menyerang mereka dengan tusukan pedang terus-menerus. Kakek Guru Feng pernah berkata, bahwa aku harus berlatih dulu selama dua puluh tahun baru bisa menandingi tokoh-tokoh papan atas dunia persilatan, terutama menghadapi mereka-mereka yang sudah tidak memerlukan senjata untuk bertarung,” demikian ia berpikir.

Sejenak kemudian, Ren Woxing menyodokkan kedua tangannya ke depan secara mendadak. Kontan Mahabiksu Fangzheng terdesak mundur dua sampai tiga langkah berturut-turut. Linghu Chong terkesiap, hatinya menjerit, “Wah, celaka! Mahabiksu Fangzheng bisa kalah.”

Tapi ia kemudian melihat biksu tua itu memukulkan tangan kirinya melingkar saat lengan kanannya diserang musuh. Kedua tangannya bergerak ke kanan dan ke kiri, ke atas dan ke bawah, menyusul Ren Woxing berbalik mundur selangkah dan mundur lagi. Setelah beberapa jurus, Ren Woxing kembali terdesak mundur beberapa langkah.

Linghu Chong menanggapi dalam hati, “Bagus, bagus!” Tapi sejenak kemudian ia merenung, “Aneh, kenapa aku khawatir ketika melihat Mahabiksu Fangzheng terancam kalah, dan merasa senang jika ia berada di atas angin? Ya, bagaimanapun juga Mahabiksu Fangzheng adalah biarawan saleh, sementara Ketua Ren seorang gembong Sekte Iblis. Hati nuraniku tetap bisa membedakan antara yang baik dan yang buruk.” Tapi lantas terpikir pula olehnya, “Namun bila Ketua Ren kalah, maka Yingying akan terkurung lagi selama sepuluh tahun di Gunung Shaoshi. Hal ini jelas tidak kuinginkan.”

Kontan ia menjadi bingung. Hati kecilnya merasa serbasalah. Dalam beberapa saat ia tidak tahu harus memihak siapa. Ia yakin jika Ren Woxing dan Xiang Wentian kembali ke dunia persilatan, maka akan terjadi kekacauan besar. Namun ia sendiri tidak rela kalau Ren Yingying harus mengalami penderitaan di Gunung Shaoshi. Akhirnya ia pun berkata dalam hati, “Ah, kalau memang terjadi kekacauan, biar saja kacau. Justru bagus kalau suasana menjadi ramai.”

Diam-diam ia mengalihkan pandangannya ke arah gadis itu. Tampak Ren Yingying bersandar di sebuah tiang besar. Gadis itu terlihat begitu lemah dan rapuh, seperti tidak mampu menahan tiupan angin. Alisnya yang lentik agak berkerut seperti sedang memendam kesedihan. Seketika rasa kasihan Linghu Chong pun berkobar, “Bagaimana aku bisa membiarkan Yingying dikurung selama sepuluh tahun di sini? Bagaimana ia bisa melewati hari-hari yang penuh dengan perasaan tersiksa?” Ia kemudian teringat betapa gadis itu telah mengorbankan diri demi untuk menyelamatkan jiwanya. Dalam dunia persilatan ia memiliki banyak kawan yang gagah, juga tidak sedikit diperlakukan dengan baik oleh guru, ibu-guru, dan saudara-saudara seperguruan. Namun, hanya Ren Yingying seorang yang rela berkorban sejauh itu.

Darah panas pun bergelora memenuhi rongga dada Linghu Chong. Ia tidak peduli apakah Ren Yingying putri seorang gembong Sekte Iblis, atau penjahat wanita sekalipun. Yang jelas gadis itu pernah berkorban untuk menyelamatkan jiwanya, maka ia tidak akan pernah melupakan budi baik tersebut. Ia siap untuk melindungi Ren Yingying meskipun seluruh dunia akan berbalik memusuhinya.

Babak pertama, Fangzheng melawan Ren Woxing.

(Bersambung)