Bagian 74 - Perwira Sinting Muncul Kembali

Linghu Chong membangunkan Yilin.

Dingjing mengerutkan dahi, kemudian menjawab, “Biksuni tua seperti aku bukanlah siapa-siapa dalam Perguruan Henshan. Aku selamanya tidak pernah mengurusi hal-hal seperti itu. Kalau ingin membicarakan urusan penting, sebaiknya Saudara Zhong menemui Adik Ketua-ku saja. Yang paling penting bagiku sekarang adalah berusaha menyelamatkan murid-murid perguruan kami yang hilang itu. Urusan lainnya boleh dibicarakan lain hari.”

“Biksuni jangan khawatir,” ujar Zhong Zhen. “Karena Perguruan Songshan sudah memergoki masalah ini, maka urusan Perguruan Henshan menjadi urusan perguruan kami pula. Bagaimana pun kami pasti tidak akan membiarkan adik-adik dari Perguruan Henshan kalian yang mulia menderita. Semuanya akan baik-baik saja.”

“Terima kasih banyak,” kata Dingjing. “Tapi kalau boleh tahu, bagaimana Saudara Zhong begitu yakin semuanya akan baik-baik saja? Atas dasar apa Saudara Zhong bisa berkata demikian?”

Zhong Zhen menjawab, “Biksuni sendiri berada di sini. Seorang jago terkemuka dari Perguruan Henshan mengapa harus takut kepada beberapa siluman Sekte Iblis? Lagi pula adik-adik seperguruanku dan beberapa murid kami juga akan membantu mencari mereka dengan sekuat tenaga. Jika masih tidak bisa mengalahkan beberapa siluman renddahan Sekte Iblis, hehe, benar-benar keterlaluan, bukan?”

Mendengar pembicaraan yang berbelit-belit itu Dingjing semakin kesal dan bertambah gelisah. Segera ia pun bangkit dan berseru, “Karena Saudara Zhong sudah berkata demikian, bagus sekali! Kalau begitu mari kita berangkat sekarang!”

“Biksuni hendak berangkat ke mana?” tanya Zhong Zhen.

“Pergi menolong mereka!” sahut Dingjing.

“Menolong mereka? Menolong ke mana?” tanya Zhong Zhen pula.

Pertanyaan ini membuat Dingjing tak bisa menjawab. Setelah tertegun sejenak barulah ia berkata, “Murid-murid kami belum lama hilang, tentu mereka masih berada di sekitar sini. Semakin lama ditunda tentu akan semakin sulit menemukan mereka.”

Zhong Zhen berkata, “Setahu adik, tidak jauh dari Nianbapu sini terdapat sarang persembunyian Sekte Iblis. Kemungkinan besar adik-adik dari Perguruan Henshan dibawa ke sana. Menurut pendapat adik ….”

“Di mana letak sarang mereka itu? Marilah sekarang juga kita berangkat ke sana!” tukas Dingjing cepat.

Zhong Zhen menjawab, “Pihak Sekte Iblis jelas sudah mempersiapkan diri. Mereka bertindak dengan rencana yang sudah teratur. Jika kita pergi begitu saja, kemungkinan besar kita langsung masuk perangkap sebelum sempat menolong keluar orang-orang kita. Maka menurut pendapat adik, sebaiknya kita berunding dulu baru kemudian mulai bertindak.”

Terpaksa Dingjing duduk kembali dan berkata, “Baiklah, bagaimana pendapat Saudara Zhong?”

“Kedatangan adik ke Fujian ini adalah atas perintah Ketua Zuo untuk merundingkan suatu urusan penting dengan Biksuni,” kata Zhong Zhen perlahan-lahan. “Urusan ini menyangkut masa depan dunia persilatan Daratan Tengah dan menyangkut jaya atau runtuhnya Serikat Pedang Lima Gunung kita. Maka, urusan ini bukanlah perkara remeh. Jika urusan penting ini sudah ditetapkan, maka soal menolong orang segala boleh dikata semudah membalikkan telapak tangan.”

“Urusan penting apa yang kau maksudkan?” sahut Dingjing menegas.

“Yaitu seperti apa yang adik katakan tadi, tentang peleburan Serikat Pedang Lima Gunung menjadi satu itu,” jawab Zhong Zhen. Ia terus-menerus menyebut diri sendiri “adik” seolah-olah kelima perguruan sudah dilebur dan ia menjadi adik seperguruan Dingjing.

Serentak Dingjing bangkit dari tempat duduknya dengan muka merah padam, dan berkata, “Kau ini … kau ini ….”

Zhong Zhen tersenyum dan menjawab, “Harap Biksuni jangan salah paham dan menganggap adik mengambil kesempatan dalam kesempitan untuk memaksa Biksuni menyetujui urusan ini.”

“Kau sendiri yang mengatakan, bukan aku,” sahut Dingjing dengan gusar. “Kalau sekarang kau tidak sedang mengambil kesempatan dalam kesempitan, lantas apa namanya?”

Zhong Zhen berkata, “Perguruan Henshan kalian yang mulia bukanlah Perguruan Songshan kami, begitu pula sebaliknya. Urusan perguruan kalian yang mulia sudah tentu menjadi perhatian kami, tapi bagaimanapun juga tetap saja kami harus adu senjata dan mempertaruhkan nyawa. Sekalipun adik bersedia membantu Biksuni, tapi entah bagaimana dengan para adik dan keponakan perguruan kami? Apakah mereka juga sudi berkorban demi perguruanmu? Namun kalau kedua perguruan sudah dilebur menjadi satu, maka urusan ini menjadi urusan perguruan kita bersama. Dengan demikian kami tidak bisa mengelak dan harus ikut memikul tanggung jawab ini sepenuh tenaga.”

Dingjing menyahut, “Jelasnya, kalau Perguruan Henshan kami tidak mau bergabung dengan perguruanmu yang mulia, maka Perguruan Songshan kalian akan berpangku tangan terhadap hilangnya murid-murid kami yang diculik Sekte Iblis, begitu?”

“Tidak bisa dikatakan demikian,” kata Zhong Zhen. “Adik hanya menjalankan perintah Ketua Zuo untuk berunding dengan Biksuni. Mengenai urusan lain, terpaksa adik tidak berani sembarangan bertindak. Untuk ini harap Biksuni jangan marah.”

Dingjing sangat gusar sehingga wajahnya terlihat pucat pasi. Dengan nada dingin ia berkata, “Huh, biksuni tua ini tidak berhak mengambil keputusan mengenai peleburaan perguruan. Sekalipun aku menyanggupi, percuma juga kalau nanti Adik Ketua kami menolak.”

Zhong Zhen menggeser kursinya lebih dekat, lalu bicara agak berbisik, “Asalkan Biksuni sudah menyanggupi, kelak Biksuni Dingxian pasti akan menerima juga. Biasanya, jabatan ketua dari suatu perguruan dipegang oleh murid tertua. Bicara tentang keluhuran budi, ilmu silat, juga tentang siapa yang lebih dulu masuk perguruan, seharusnya Biksuni Dingjing yang menjadi ketua Perguruan Henshan ….”

“Brak”, mendadak Dingjing menggebrak meja sampai rompal salah satu sudutnya. Ia kemudian menukas dengan nada bengis, “Apa kau berniat hendak memecah belah kami? Aku sendiri yang memohon setulus hati kepada mendiang guru kami supaya adikku yang diangkat menjadi ketua. Jika aku mau menjadi ketua tentu sudah sejak dulu kulakukan. Tidak perlu menunggu orang luar menghasut seperti ini!”

Zhong Zhen menghela napas lalu berkata, “Aih, apa yang dikatakan Ketua Zuo memang tidak salah.”

“Apa yang Beliau katakan?” hardik Dingjing.

Zhong Zhen menjawab, “Sebelum berangkat ke selatan sini, Ketua Zuo sudah berkata kepadaku bahwa perangai Biksuni Dingjing dari Perguruan Henshan sangat baik, berbudi luhur, ilmu silatnya juga sangat tinggi, namun sayang kurang luas pandangannya. Aku lalu bertanya mengapa demikian? Beliau menjawab cukup mengenal pribadi Biksuni yang suka kepada ketenteraman, tidak memedulikan urusan duniawi, tidak suka mencari nama, juga tidak suka ikut campur urusan sehari-hari. Jika berbicara soal peleburan kelima perguruan dengan Biksuni tentu usahaku akan sia-sia belaka. Namun karena masalah ini sangat penting, walaupun tahu tidak akan berhasil, tetap akan kusampaikan juga kepada Biksuni. Jika Biksuni hanya memikirkan keselamatan diri sendiri dan tetap tidak menghiraukan hidup-mati ribuan orang aliran lurus kita, maka apabila dunia persilatan tertimpa bencana besar, terpaksa kita anggap saja ini sudah suratan takdir. Kami tidak bisa berbuat apa-apa lagi.”

Dingjing kembali bangkit dan berkata sinis, “Percuma saja kau memutar lidah dengan bermacam-macam kata-kata manis. Perbuatan Perguruan Songshan kalian bukan hanya mengambil kesempatan di dalam kesempitan, tapi juga menimpakan batu kepada orang yang tercebur ke dalam sumur.”

“Perkataan Biksuni tidak benar,” bantah Zhong Zhen. “Kalau Biksuni bersedia menerima ajakan kami, kemudian ikut mengemban tugas berat ini menyampaikan kepada Perguruan Taishan, Hengshan, dan Huashan sehingga bergabung menjadi satu, maka Perguruan Songshan kami akan sangat berterima kasih, dan mendukung Biksuni menjadi Ketua Perguruan Lima Gunung. Dengan demikian Biksuni dapat melihat betapa tulus maksud baik Ketua Zuo yang tidak memiliki ambisi pribadi ….”

“Sudahlah, tidak perlu kau teruskan, hanya membuat kotor telingaku saja!” seru Dingjing sambil menggoyang-goyang kedua tangan. Ia kemudian memberi hormat, lalu memukul daun pintu hingga terlepas dari bingkainya dan melayang seketika. Secepat kilat ia melesat keluar meninggalkan Penginapan Xianju tersebut.

Setibanya di luar, Dingjing merasa mukanya yang panas menjadi segar tertiup angin malam yang semilir. Ia pun berpikir, “Orang bermarga Zhong itu mengatakan Sekte Iblis mempunyai sarang persembunyian tidak jauh dari Nianbapu sini. Entah ucapannya itu benar atau tidak?”

Di tengah malam sunyi ia berjalan sendiri tanpa tujuan yang jelas sambil termenung-menung. Saat itu rembulan hampir terbenam sehingga bayang-bayangnya terlihat panjang pada bebatuan pelapis jalan. Setelah berjalan beberapa puluh meter tiba-tiba ia menghentikan langkah. “Hanya mengandalkan tenagaku seorang diri bagaimana aku mampu menolong puluhan murid yang tertawan? Seorang kesatria harus dapat bertindak sesuai keadaan. Rasanya untuk sementara tidak ada jeleknya aku menyanggupi permintaan orang bermarga Zhong itu. Nanti kalau para murid sudah diselamatkan maka aku akan segera bunuh diri untuk menebus kesalahanku. Dengan demikian Perguruan Songshan tidak memiliki saksi hidup serta bukti persetujuanku lagi. Seandainya ia menuduhku ingkar janji dan menghancurkan nama baikku di hadapan semua orang, maka biarlah semua kejelekan ini aku pikul sendiri.”

Setelah berpikir demikian ia pun menghela napas panjang, lalu berputar balik dan berjalan perlahan-lahan menuju ke Penginapan Xianju lagi. Pada saat itulah mendadak di ujung jalan besar terdengar suara seorang laki-laki sedang berteriaak-teriak, “Nenekmu, ada jenderal sudah kecapekan ingin bermalam dan minum arak, kenapa kalian tidak cepat-cepat membuka pintu?”

Apa yang didengarnya itu jelas suara Wu Tiande, komandan militer yang kemarin muncul di Pegunungan Xianxia. Seketika Dingjing merasa bagaikan seorang yang hampir mati tenggelam mendadak menemukan sebilah papan kayu yang terapung-apung sebagai pegangan. Sungguh senang perasaannya tidak terkatakan.

Orang yang baru datang itu memang betul Wu Tiande, alias Linghu Chong yang sedang menyamar sebagai perwira. Di Pegunungan Xianxia kemarin ia telah membantu rombongan Perguruan Henshan membebaskan diri dari perangkap musuh, membuat hatinya merasa puas. Ia kemudian berjalan dengan langkah cepat dan mendahului sampai di Nianbapu.

Ketika sampai di kota tersebut, keadaan masih pagi dan beberapa toko serta rumah makan baru saja buka. Segera ia memasuki sebuah kedai nasi dan berteriak, “Sediakan arak!”

Melihat tamu yang datang seorang perwira, sudah tentu si pelayan tidak berani membantah. Segera ia menuangkan arak, menghidangkan nasi, memotong lauk, dan memberikan pelayanan dengan penuh hormat dan agak gemetar.

Linghu Chong sendiri minum sepuas-puasnya sampai agak mabuk. Ia berpikir, “Kali ini Sekte Iblis mengalami kegagalan, tentu mereka merasa tidak senang dan akan mencari perkara lagi dengan Perguruan Henshan. Biksuni Dingjing memang pemberani dan berilmu tinggi, tapi kurang pandai bersiasat. Sudah tentu ia bukan lawan Sekte Iblis. Mungkin sebaiknya aku tetap melindungi mereka secara diam-diam.” Usai makan dan minum, ia membayar tagihan, lalu menyewa sebuah kamar di Penginapan Xianju untuk tidur.

Ketika hari sudah siang, ia bangun tidur dan mencuci muka. Tiba-tiba terdengar suara ramai-ramai di luar, seperti ada orang berteriak-teriak, “Malam ini kawanan bandit Huang Fengzhai dari Bukit Batu Kacau akan datang merampok Nianbapu! Kita semua akan dibunuh dan harta benda kita akan dirampas! Kita harus lekas-lekas menyelamatkan diri!”

Sekejap kemudian datanglah si pelayan menggedor pintu kamar penginapan sambil berteriak-teriak, “Tuan Perwira! Tuan Perwira! Celaka ini, celaka ini!”

Linghu Chong membuka pintu kamar dan memaki, “Nenekmu, apanya yang celaka?” tanya Linghu Chong

Si pelayan menjawab, “Kawanan bandit Huang Fengzhai dari Bukit Batu Kacau nanti malam akan menjarah kota ini. Sekarang semua orang berusaha kabur menyelamatkan diri.”

Linghu Chong memaki lagi, “Nenekmu, siang bolong begini mana ada bandit? Ada jenderalmu di sini, apa mereka masih berani main gila?”

Si pelayan berkata dengan wajah ketakutan, “Tapi … tapi gerombolan bandit itu sangat kejam. Mereka juga … juga tidak tahu Jenderal ada di sini.”

“Kau pergi saja ke sana, beri tahu mereka,” ujar Linghu Chong.

“Wah, mana hamba … berani? Bisa-bisa kepala hamba dipenggal mereka,” jawab si pelayan terbata-bata.

“Bukit Batu Kacau tempat Huang Fengzhai itu di mana?” tanya Linghu Chong.

“Hamba belum pernah tahu bukit itu ada di mana,” kata si pelayan. “Tapi kabarnya, Huang Fengzhai itu bandit yang sangat keji dan lihai. Dua hari yang lalu ia baru saja merampok Darongtou yang jaraknya belasan kilo di sebelah timur Nianbapu ini. Ia dan gerombolannya membunuh tujuh puluhan orang dan membakar lebih dari seratus rumah. Meskipun Jenderal memiliki kepandaian tinggi, tapi hanya dengan dua tangan sulit menghadapi banyak tangan. Kabarnya orang itu punya anak buah lebih dari tiga ratus orang.”

Linghu Chong membentak, “Nenekmu, kalau lebih dari tiga ratus orang lantas mau apa? Jenderalmu ini sudah biasa menghadapi pasukan musuh yang jumlahnya ribuan orang, menerjang ke sana kemari. Cuma bandit beberapa orang saja, apa artinya bagiku?”

“Iya, iya,” jawab si pelayan kemudian berbalik dan keluar kamar dengan langkah cepat.

Terdengar suara kacau-balau di luar. Seruan-seruan memanggil ibu terdengar di segala penjuru. Linghu Chong sama sekali tidak paham bahasa daerah selatan, sehingga hanya bisa menduga-duga mereka berkata, “Ibunya Ah Mao, apa kau sudah ambil selimut?” juga “Da Bao, Xiao Bao, cepat lari! Bandit datang!” atau sebagainya.

Linghu Chong menengok keluar penginapan. Dilihatnya berpuluh-puluh orang ramai-ramai menuju ke selatan dengan harta benda masing-masing yang bisa dibawa. Ada yang membawa bungkusan, ada pula yang menenteng kopor kayu. Melihat pemandangan tersebut ia pun berpikir, “Tempat ini adalah perbatasan antara Zhejiang dan Fujian. Agaknya para pembesar di Hangzhou dan Fuzhou tidak mengurus kota ini dengan baik, sehingga kaum bandit merajalela dan rakyat kecil yang menjadi korban. Sebagai komandan militer Quanzhou, mana boleh Wu Tiande tinggal diam berpangku tangan? Aku harus menumpas kawanan bandit itu untuk mendapat jasa. Makan gaji dari Kaisar, harus setia kepada Kaisar. Nenekmu, mana boleh aku tinggal diam? Hahaha!” Memikirkan hal itu membuatnya tertawa sendiri. Lalu ia pun berteriak-teriak, “Hei, pelayan! Bawakan arak dan makanan! Setelah kenyang jenderalmu akan menumpas para bandit.”

Namun waktu itu segenap penghuni penginapan sudah kabur. Majikan pemilik penginapan, istri pertama, istri kedua, istri ketiga, para pelayan dan juru masak, serta semua tamu sudah lari tunggang langgang. Maka biarpun Linghu Chong berteriak-teriak sampai suaranya serak juga tidak ada orang yang menggubrisnya.

Linghu Chong tidak mempunyai pilihan lain, terpaksa pergi ke dapur sendiri untuk mengambil arak, lalu duduk di ruangan depan untuk minum-minum sendirian. Suara hiruk-pikuk di kota itu bercampur baur antara manusia dan binatang seperti ayam, anjing, kuda, dan babi, pertanda penduduk mengungsi sambil membawa hewan peliharaan pula. Setelah agak lama suara ramai berangsur-angsur reda. Setelah Linghu Chong minum tiga cawan, segala suara akhirnya menghilang sama sekali. Keadaan kini benar-benar sunyi senyap.

“Aneh sekali. Kawanan bandit Huang Fengzhai itu benar-benar sial. Rencana mereka entah bagaimana bisa bocor. Nanti begitu mereka sampai di kota ini ternyata tidak ada barang yang bisa mereka jarah,” demikian ia berpikir.

Di kota yang sedemikian besar hanya tinggal ia seorang diri, sungguh peristiwa aneh yang sulit dipercaya. Dalam keadaan sunyi hening itu, tiba-tiba terdengar suara derap kaki kuda sedang mendekat. Tak lama kemudian terlihat empat orang penunggang kuda sedang berpacu dari arah selatan. Linghu Chong pun berpikir, “Tentu ini adalah pemimpin kawanan bandit. Mengapa jumlahnya cuma sedikit? Mana anak buah yang lain?”

Setelah para penunggang kuda itu sampai di tengah kota, seorang di antaranya lantas berteriak, “Wahai kambing-kambing Nianbapu! Yang Mulia Huang Fengzhai sudah datang dan memerintahkan kalian semua, laki-laki-perempuan, tua-muda, besar-kecil, supaya berdiri di luar gerbang kota. Yang berdiri di luar sana tidak akan dibunuh. Yang tetap di dalam kota akan dipenggal kepalanya.” Sambil berteriak-teriak, ia dan ketiga rekannya lantas memacu kuda ke sana kemari di jalanan kota.

Linghu Chong mengintip melalui sela-sela pintu. Namun yang terlihat olehnya hanyalah punggung keempat orang itu yang sudah makin menjauh. Ia pun terkesiap dan berpikir, “Aneh, dari sikap dan tindak-tanduk mereka sepertinya keempat orang itu berilmu tinggi. Kalau cuma anak buah kaum bandit mana mungkin sehebat ini?”

Perlahan-lahan ia membuka pintu, lalu berjalan merunduk melalui teras rumah penduduk. Belasan meter kemudian, dilihatnya kelenteng leluhur yang di sebelahnya terdapat pohon beringin rindang. Segera ia pun meloncat ke atas. Hanya dengan sekali menjejakkan kaki ia sudah mencapai cabang tertinggi.

Suasana di kota itu tetap sunyi senyap. Semakin lama menunggu Linghu Chong semakin merasa ada yang tidak beres. “Aneh sekali. Mengapa pasukan induk kaum bandit itu masih belum juga muncul? Untuk apa si Huang Fengzhai susah-susah mengirim empat anak buahnya memberi peringatan kepada kaum penduduk agar mereka bisa melarikan diri?”

Setelah menunggu lebih dari satu jam, sayup-sayup terdengar suara kaum perempuan yang sedang bicara berbisik-bisik. Linghu Chong menajamkan pendengaran dan lantas mengenali para perempuan yang sedang bercakap-cakap itu adalah murid-murid Perguruan Henshan. Diam-diam ia berpikir, “Mengapa mereka baru sampai di sini? Ah, aku tahu. Tentunya siang tadi mereka beristirahat di hutan.”

Dari percakapan rombongan Perguruan Henshan itu dapat diketahui kalau mereka tidak jadi masuk ke Penginapan Xianju dan menuju ke penginapan lain, yaitu Penginapan Nan’an. Begitu masuk ke dalam penginapan yang jaraknya cukup jauh dari kelenteng leluhur tersebut, pembicaraan mereka tidak lagi terdengar oleh Linghu Chong. Samar-samar dalam hati ia merasa orang-orang Sekte Iblis telah memasang perangkap itu untuk menjebak rombongan Perguruan Henshan. Maka, ia pun memutuskan tetap bersembunyi di atas pohon untuk melihat perkembangan selanjutnya.

Agak lama kemudian, tampak Yiqing bersama keenam rekannya keluar dari penginapan untuk menyalakan lampu. Dalam waktu singkat banyak rumah penduduk dan toko memancarkan sinar pelita melalui jendela.

Tidak lama kemudian, tiba-tiba dari arah timur laut terdengar suara wanita menjerit minta tolong. Linghu Chong terkejut dan berpikir, “Celaka! Murid-murid Perguruan Henshan masuk perangkap Sekte Iblis.”

Segera ia melompat turun dari pucuk pohon dan mendarat di tanah. Dengan ilmu meringankan tubuh ia berlari ke arah datangnya suara, dan dalam sekejap sudah sampai di depan rumah tempat suara jeritan wanita tadi berasal. Perlahan-lahan ia mengintip melalui celah-celah jendela, ternyata keadaan di dalam gelap gulita, tiada sinar lampu. Untung saja ada sinar rembulan masuk sehingga sekilas terlihat olehnya ada tujuh orang laki-laki berdiri merapat pada dinding. Seorang wanita tampak berdiri di tengah ruangan lantas berteriak-teriak lagi, “Tolong, ada pembunuhan, toloong!”

Linghu Chong hanya melihat wajah wanita itu dari samping. Meskipun berteriak-teriak minta tolong, tapi bibirnya tampak tersenyum menyeringai. Melihat gelagatnya jelas wanita itu sedang menunggu para mangsa berdatangan masuk ke dalam perangkapnya.

Benar juga, belum habis ia menjerit, di luar sudah ada seorang perempuan berseru, “Siapa yang melakukan pembunuhan di sini?”

Rupanya pintu rumah memang sengaja tidak dikunci. Maka dengan sekali dorong saja daun pintu lantas terbuka. Serentak ada tujuh orang perempuan menerjang dengan langkah gesit ke dalam sambil menghunus pedang. Orang yang menyerbu paling depan tidak lain adalah Yiqing.

Tiba-tiba wanita yang menjerit minta tolong tadi mengayunkan tangan kanannya. Selembar kain hijau selebar kira-kira satu meter persegi lantas terbentang ke depan. Entah mengapa Yiqing dan keenam kawannya langsung gemetar. Kepala mereka terasa pusing dan mata berkunang-kunang. Sesudah terhuyung-huyung sejenak, mereka pun roboh dan terguling di lantai.

Melihat itu Linghu Chong terkejut. Sekilas terpikir olehnya, “Kain yang dibentangkan wanita itu pasti mengandung obat bius yang sangat ampuh. Jika aku menyerbu ke dalam untuk menolong Yiqing bertujuh, tentu aku akan mengalami nasib yang sama. Lebih baik aku bersabar dulu menunggu di sini untuk melihat perkembangan selanjutnya.”

Ketujuh laki-laki yang berdiri rapat di dinding beramai-ramai maju ke dapan. Mereka mengeluarkan tali untuk mengikat erat kaki dan tangan Yiqing bertujuh.

Tidak lama kemudian di luar kembali terdengar suara. Seorang perempuan telah berteriak, “Siapa yang berada di dalam?”

Linghu Chong mengenali suara itu karena kemarin sempat berbicara dengannya beberapa kali di Pegunungan Xianxia. Sesuai dugaan, kali ini yang datang adalah kelompok yang dipimpin Yihe yang berwatak berangasan. Linghu Chong pun berpikir, “Kau ini berwatak kasar dan ceroboh. Kali ini kau akan menjadi bacang di Fujian sini.”

Terdengar Yihe kembali berseru di luar, “Adik Yiqing, apakah kalian berada di dalam?”

Menyusul kemudian kakinya menendang pintu hingga terpentang lebar. Ketujuh perempuan itu berturut-turut menerobos masuk dengan menyusun diri dalam dua barisan. Begitu melewati pintu mereka segera memutar pedang masing-masing untuk melindungi diri dari sergapan musuh di kiri maupun kanan. Betapa rapat pertahanan mereka sehingga tidak memungkinkan musuh untuk menyerang.

Musuh-musuh di dalam rumah itu ternyata diam menahan napas. Mereka menunggu Yihe bertujuh masuk ke dalam rumah barulah si wanita membentangkan kainnya. Tanpa ampun, Yihe dan keenam kawannya pun roboh tak sadarkan diri.

Menyusul kemudian Yu Sao dengan keenam kawannya juga mengalami nasib yang sama. Mereka masuk ke dalam rumah tersebut dan langsung dibuat pingsan. Jadi, saat itu sudah ada dua puluh satu murid Perguruan Henshan yang dirobohkan dalam keadaan tidak sadar, dan diikat di sudut-sudut rumah.

Sejenak kemudian, seorang tua yang berdiri di sudut rumah memberi isyarat. Beramai-ramai orang-orang itu lantas keluar melalui pintu belakang.

Dengan cepat Linghu Chong melompat ke atap rumah, lalu berjalan merunduk mengikuti mereka. Tiba-tiba terasa olehnya suara angin berkelebat, ia pun segera mendekam di sisi bubungan atap. Tampak belasan laki-laki sedang saling memberi isyarat, lalu berpencar dan bersembunyi di sisi bubungan atap sebuah rumah besar yang jaraknya hanya beberapa meter dari tempat Linghu Chong berada.

Linghu Chong pun menyelinap turun ke bawah tanpa bersuara. Pada saat itulah ia melihat Biksuni Dingjing dan tiga orang muridnya sedang menuju ke tempat itu. “Aih, ini pasti siasat ‘memancing harimau turun gunung’. Murid-murid yang ditinggalkan di penginapan pasti akan celaka,” demikian ia berpikir. Dan sesuai dugaan, dari jauh tampak beberapa sosok manusia sedang berlari cepat menuju ke Penginapan Nan’an.

Baru saja Linghu Chong bermaksud mengejar untuk mencari tahu, tiba-tiba di atas rumah terdengar orang berkata dengan suara lirih, “Kalian bertujuh tunggulah di sini. Sebentar lagi kalau biksuni tua itu datang, kalian bereskan dia.” Suara orang itu tepat berada di atasnya. Asalkan sedikit saja bergerak tentu keberadaannya akan langsung ketahuan. Terpaksa ia pun merapatkan diri ke tembok rumah.

Sementara itu terdengar Biksuni Dingjing telah mendepak pintu rumah hingga terpentang sambil berseru, “Yihe, Yiqing, Yu Sao, apakah kalian mendengar suaraku?” Menyusul kemudian biksuni tua itu mengelilingi rumah, lalu melompat ke atap, tapi tidak memeriksa ke dalam.

Melihat itu, Linghu Chong bertanya dalam hati, “Mengapa Biksuni Dingjing tidak masuk ke dalam rumah? Begitu ia masuk ke dalam, tentu akan langsung menemukan kedua puluh satu muridnya meringkuk di sana.” Namun lantas terpikir olehnya, “Ah, sebaiknya ia tidak masuk ke dalam rumah. Pihak Sekte Iblis sudah siap menunggu di atap. Begitu ia masuk ke dalam, tentu pihak musuh akan langsung mengepungnya dari segala arah dan menjadikannya sasaran empuk.”

Dilihatnya Biksuni Dingjing berlari ke sana kemari, seperti orang bingung kehabisan akal. Mendadak biksuni tua itu berlari kembali ke Penginapan Nan’an dengan cepat sekali sehingga tak tersusul oleh ketiga murid yang mengikuti di belakang. Secara tiba-tiba di tepi jalan muncul beberapa orang yang membentangkan kain bius. Seketika ketiga murid itu pun roboh terkapar dan diseret masuk ke dalam rumah.

Di bawah sinar rembulan Linghu Chong dapat mengenali salah satu murid yang baru saja dibius itu adalah Yilin. “Apakah aku harus segera menolong Adik Yilin?” Tapi segera terpikir lagi olehnya, “Jika aku langsung menyerbu tentu akan terjadi pertempuran sengit. Murid-murid Perguruan Henshan banyak sekali yang ditawan Sekte Iblis. Bisa jadi pihak musuh akan membunuh mereka bila terdesak. Sebaiknya aku tidak menyerang terang-terangan, tetapi bertindak secara diam-diam saja.”

Tidak lama kemudian dilihatnya Dingjing keluar lagi dari Penginapan Nan’an, kemudian berteriak mencaci-maki di tengah jalanan. Kemudian ia melompat ke atap rumah dan memaki-maki Dongfang Bubai segala. Pihak Sekte Iblis tidak dapat menahan diri. Tujuh orang yang sudah bersiap tadi segera menampakkan diri dan bertempur dengannya.

Sesudah menyaksikan beberapa jurus, Linghu Chong berpikir, “Ilmu pedang Biksuni Dingjing sangat hebat. Untuk sementara tentu ia tidak akan kalah melawan tujuh orang itu. Sekarang lebih baik aku pergi dulu untuk menolong Adik Yilin.”

Segera ia menyelinap masuk ke dalam rumah tadi. Dilihatnya di tengah ruangan terdapat seorang penjaga dengan golok terhunus. Ketiga murid tampak tergeletak di samping kakinya dalam keadaan teringkus. Tanpa bicara lagi Linghu Chong lantas melompat maju. Sekali goloknya bergerak keluar dari sarung langsung menusuk tenggorokan penjaga itu. Belum lagi orang itu menyadari apa yang terjadi, jiwanya sudah lebih dulu melayang.

Linghu Chong tertegun keheranan. Ia pun berpikir, “Mengapa sabetan golokku bisa begitu cepat? Hanya sekali bergerak mengapa bisa langsung menusuk titik penting pada tenggorokannya?” Ia tidak menyadari bahwa sejak berhasil menguasai Jurus Penyedot Bintang, maka hawa murni Enam Dewa Lembah Persik, Biksu Bujie, Biksu Fangsheng, dan Heibaizi yang terhimpun di dalam tubuhnya dapat ia pergunakan sebagai milik sendiri. Ditambah lagi dengan Ilmu Sembilan Pedang Dugu membuatnya menjadi pendekar papan atas tanpa tanding. Padahal tadi ia hanya berniat melancarkan serangan pancingan menggunakan goloknya. Ketika si penjaga menangkis, maka ia akan memukul kaki orang itu menggunakan sarung golok untuk merobohkannya. Tak disangka, penjaga itu tidak mampu menahan kekuatan serangannya sehingga terpaksa harus kehilangan nyawa seketika.

Linghu Chong merasa agak menyesal. Ia pun menyingkirkan mayat itu, kemudian memeriksa ketiga murid Perguruan Henshan yang tertawan. Benar juga, ternyata salah satunya memang Yilin. Linghu Chong lalu menjulurkan tangannya untuk memeriksa hembusan napas Yilin. Terasa pernapasan biksuni muda itu teratur dengan baik, pertanda ia tidak terluka apa-apa selain pingsan karena pengaruh obat bius saja. Segera ia pergi ke dapur untuk mengambil segayung air dingin kemudian mencipratkannya sedikit di atas muka Yilin.

Selang sejenak Yilin mulai bersuara dan menggeliat seperti orang baru bangun tidur. Semula ia tidak tahu dirinya berada di mana. Waktu matanya perlahan-lahan terbuka barulah mendadak ia teringat sesuatu. Segera ia pun melompat bangun dan bermaksud melolos pedang, tapi segera menyadari kalau kaki dan tangannya dalam keadaan terikat, sehingga hampir saja ia terjatuh lagi.

Linghu Chong segera menotong tali pengikat tangan dan kaki Yilin menggunakan golok, sambil berkata, “Jangan takut, Biksuni cilik. Jenderalmu sudah membunuh orang jahat itu.”

Dalam keadaan gelap gulita, samar-samar Yilin seperti mendengar suara “Kakak Linghu” yang senantiasa ia rindukan, membuat hatinya terkejut bercampur senang. Segera ia berseru, “kau … kau Kakak Ling….” tapi belum selesai ia memanggil, segera disadarinya kalau yang ada di depannya adalah orang lain. Mendadak mukanya menjadi merah padam dan dengan terbata-bata ia bertanya, “Kau … kau siapa?”

Linghu Chong paham Yilin hampir mengenalinya dan mendadak berganti ucapan. Dengan suara perlahan ia pun menjawab, “Jenderal ada di sini. Kawanan bandit kecil itu tidak akan berani mengganggu kalian lagi.”

“Ah, ternyata Jenderal Wu,” seru Yilin. “Di mana … di mana Bibi Guru?”

“Dia sedang bertempur dengan musuh di luar sana. Marilah kita pergi melihatnya,” ajak Linghu Chong.

Yilin berkata, “Kakak Zheng, Adik Qin .…” ia lantas mengeluarkan pemantik api dari balik bajunya. Setelah api menyala, terlihat kedua saudaranya itu masih tergeletak di lantai. Segera ia berkata, “Oh, mereka berdua ada di sini semua.” Lalu ia dengan cepat memotong tali pengikat mereka dan mencipratkan air dingin ke wajah keduanya sehingga terbangun dari pingsan.

Linghu Chong berkata, “Sekarang yang paling penting adalah kita harus cepat-cepat membantu Biksuni Dingjing.”

“Benar!” jawab Yilin, Zheng E, dan Qin Juan serentak. Mereka kemudian melangkah keluar rumah mengikuti Linghu Chong yang sudah berjalan lebih dulu.

Sesampainya di luar, terlihat tujuh sosok bayangan orang secepat kilat melayang, menyusul kemudian terdengar suara nyaring jatuhnya senjata, lalu ada suara orang memuji ilmu pedang Biksuni Dingjing yang tinggi, sebaliknya Dingjing juga lantas mengenali orang yang baru datang itu adalah tokoh Perguruan Songshan. Tidak lama kemudian Biksuni Dingjing tampak mengikuti belasan laki-laki itu menuju ke Penginapan Xianju. Linghu Chong lantas melambaikan tangan mengajak Yilin bertiga menyelinap masuk ke dalam penginapan itu untuk menguping pembicaraan mereka dari balik jendela.

Linghu Chong kemudian mendengar Dingjing sedang berbicara dengan orang bernama Zhong Zhen di dalam ruangan. Orang bermarga Zhong itu mendesak agar Dingjing atas nama Perguruan Henshan menyetujui peleburan kelima perguruan, baru setelah itu ia mau membantu menolong murid-murid yang tertawan musuh. Diam-diam Linghu Chong merasa kesal mendengar sikap orang Perguruan Songshan itu yang sengaja mengambil kesempatan di dalam kesempitan. Ia juga mendengar Dingjing marah-marah dan akhirnya meninggalkan penginapan.

Linghu Chong menunggu Dingjing pergi agak jauh, barulah ia ikut menyelinap keluar dan pura-pura berteriak-teriak meminta arak dan menggedor pintu Penginapan Xianju seperti apa yang diceritakan di depan tadi. “Nenekmu, Jenderal ingin minum arak dan tidur! Pelayan sial, mengapa kalian tidak lekas-lekas mebuka pintu?”

Saat itu Dingjing merasa sudah kehabisan akal. Begitu mendengar suara “jenderal gadungan” itu, ia langsung bersemangat dan segera memutar balik untuk menghampirinya. Terlihat pula Yilin, Zheng E, dan Qin Juan berlari-lari menyambutnya. Air mata tampak berlinangan di pipi Qin Juan saat gadis itu menyapa, “Guru!”

Dingjing bertambah gembira dan segera bertanya, “Dari mana saja kalian tadi?”

Zheng E menjawab, “Kami baru saja ditawan kawanan siluman Sekte Iblis. Untungnya ada Jenderal yang telah menolong kami ….”

Sementara itu Linghu Chong sudah mendorong pintu Penginapan Xianju dan masuk ke dalam. Biksuni Dingjing dan ketiga murid segera ikut masuk pula.

Sesampainya di ruangan tengah tampak menyala dua batang lilin besar dengan sinarnya yang cukup terang. Zhong Zhen duduk di kursi tengah dengan wajah murung, lalu membentak, “Siapa kau berani gembar-gembor di sini?”

Linghu Chong balas memaki, “Nenekmu, kau berani kurang ajar terhadap seorang jenderal, hah? Apa kau minta digantung? Juragan penginapan, nyonya juragan, pelayan, lekas keluar semua!”

Orang-orang Perguruan Songshan menjadi kesal bercampur geli. Mereka menduga perwira ini hanya berlagak saja, padahal sebenarnya dalam hati merasa takut karena dia memaki-maki sebentar lalu memanggil-manggil pengurus penginapan dan nyonya majikan segala.

Zhong Zhen berpikir bahwa dirinya sedang menjalankan tugas penting, untuk apa melayani seorang perwira tolol seperti itu? Maka dengan suara perlahan ia memberi perintah, “Totok orang itu sampai roboh, tapi tidak perlu membunuhnya.”

Gao Gexin mengangguk. Ia lantas menghampiri Linghu Chong sambil menyapa dengan tersenyum, “Eh, ternyata Tuan Pejabat yang datang. Mohon maaf jika kami kurang sopan.”

Linghu Chong menjawab, “Kalian rakyat jelata memang tidak tahu aturan ….”

“Baik-baik!” jawab Gao Gexin sambil tersenyum. Mendadak ia menubruk maju, lalu jari telunjuknya menotok “titik tertawa” pada pinggang Linghu Chong. Barangsiapa terkena totokan tersebut tentu akan bergelak tawa terbahak-bahak sampai pingsan.

Akan tetapi, Linghu Chong lebih dulu mengerahkan tenaga dalam dan memusatkannya pada bagian pinggang, sehingga totokan Gao Gexin itu hanya membuatnya tertawa geli saja. Ia pun berkata, “Hei, kau ini benar-benar tidak tahu aturan. Mengapa main kitik-kitik segala? Memangnya kau ingin bercanda dengan jenderalmu?”

Gao Gexin tercengang. Ia pun melancarkan totokan kedua dengan mencurahkan segenap tenaga pada ujung jarinya. Linghu Chong lantas terbahak-bahak sambil melonjak dan mengejek, “Nenekmu, mengapa kau meraba-raba pinggang tuanmu segala? Memangnya kau ingin mencuri dompetku, ya? Penampilanmu gagah, tapi ternyata begitu, hahaha ….”

Tanpa pikir lagi, Gao Gexin menjulurkan tangan kirinya kemudian menyambar pergelangan kanan Linghu Chong. Dengan cepat ia bergeser ke kanan, hendak menarik Linghu Chong hingga roboh ke lantai dengan sekali telikung. Tak disangka, begitu tangannya menempel pergelangan lawan, seketika tenaga dalamnya terasa mencurah keluar dengan sangat deras dan tidak bisa dihentikan. Teringat pada sesuatu, hatinya menjadi sangat ketakutan. Ingin sekali ia berteriak namun mulutnya hanya terbuka lebar tanpa bisa mengeluarkan suara.

Linghu Chong sendiri juga terkejut ketika merasakan tenaga dalam lawan mengalir masuk ke dalam tubuhnya, seperti apa yang terjadi saat ia mencengkeram lengan Heibaizi tempo hari. Ia pun berpikir, “Aku tidak boleh menggunakan ilmu sesat ini.” Maka dengan sekuat tenaga ia pun mengelak sehingga tangan Gao Gexin terlepas dari lengannya.

Gao Gexin terbengong-bengong sejenak, seperti seorang narapidana hukuman mati yang tiba-tiba mendapat pengampunan dari Kaisar. Dengan cepat ia lalu melompat mundur. Seluruh badannya terasa lemas lunglai seperti baru sembuh dari sakit berat.

“Jurus … Jurus Penyedot Bintang!” teriaknya dengan suara parau, penuh rasa ngeri.

Zhong Zhen, Teng Bagong, dan murid-murid Perguruan Songshan yang lain serentak melonjak kaget dan bertanya, “Apa katamu?”

“Orang ini … orang ini mahir Jurus Penyedot Bintang,” jawab Gao Gexin.

Serentak sinar pedang berkelebat dengan suara nyaring mendesing. Rupanya semua orang telah melolos pedang, kecuali Teng Bagong yang memakai senjata cambuk panjang lemas. Ilmu pedang Zhong Zhen paling lihai dan cepat. Sekali sinar pedangnya berkelebat, secepat kilat ia sudah menusuk ke arah leher Linghu Chong.

Sewaktu Gao Gexin berteriak-teriak tadi Linghu Chong sudah menduga orang-orang Perguruan Songshan pasti akan mengerubut maju. Maka begitu melihat mereka melolos senjata, ia pun segera menyiapkan goloknya yang masih terselubung sarung. Sebelum tusukan Zhong Zhen mencapai sasaran, ujung golok bersarungnya sudah lebih dulu mengetuk punggung tangan setiap lawan yang mengepung.

Maka terdengarlah suara gemerantang nyaring memekakkan telinga. Pedang lawan berjatuhan di lantai. Hanya Zhong Zhen yang berilmu paling tinggi tidak mengalami hal itu. Meskipun punggung tangannya tidak terketuk, dan pedangnya tidak sampai terlepas dari pegangan, namun ia sangat terkejut dan melompat mundur. Sementara itu, Teng Bagong terlihat konyol. Gagang cambuknya terlepas dari genggaman, dan senjatanya yang lemas itu berbalik membelit leher sendiri sehingga ia pun tercekik dan tidak bisa bernapas.

Zhong Zhen bersandar pada dinding dengan wajah pucat pasi. Ia pun berkata, “Di dunia persilatan tersiar kabar bahwa Ketua Ren dari Sekte Iblis terdahulu, telah … telah muncul kembali. Apakah kau … kau adalah Ketua Ren … Ren Woxing?”

“Nenekmu, siapa itu Ren Woxing? Jenderalmu ini tidak pernah mengganti marga, tidak pernah mengganti nama. Sejak dulu namaku Wu Tiande, tahu?” maki Linghu Chong dengan tertawa. “Nah, kalian ini maling ayam dari mana? Di hadapan jenderalmu kenapa tidak lekas lari pulang ke tempat nenekmu, hah?”

Zhong Zhen merangkap kedua tangannya, lalu berkata, “Ketua Ren yang mulia sudah kembali ke dunia persilatan. Si marga Zhong ini tahu diri bukan tandinganmu. Untuk itu, kami mohon diri.” Usai berkata, mendadak ia meloncat ke luar dengan membobol jendela, disusul Gao Gexin, Teng Bagong, dan yang lain juga ikut meloncat pergi. Tidak ada seorang pun yang berani memungut pedang yang berserakan di lantai.

Para murid Perguruan Henshan terbius pingsan.

Si wanita penebar bius.

Linghu Chong menghadapi orang-orang Songshan.

(Bersambung)