Bagian 93 - Kejutan di Upacara Pelantikan

Linghu Chong dilantik menjadi Ketua Perguruan Henshan.

Keduanya mempercepat langkah menjauhi keenam orang tua konyol yang masih berdebat persoalan tidak penting itu. Sayup-sayup terdengar Dewa Dahan Persik berkata, “Tentu saja namanya Lisuo Dangran Bukebujie, artinya ‘Tanpa Membantah Tanpa Ragu Tidak Boleh Tanpa Pantangan’.”

Dewa Bunga Persik bertanya, “Lantas, kalau Lisuo Dangran Bukebujie memiliki murid, diberi gelar apa?”

Dewa Ranting Persik menjawab, “Bisa memakai nama Lisuo Dangran Bukebujie Zhizhi, artinya ‘Tanpa Membantah Tanpa Ragu Tidak Boleh Tanpa Pantangan Sudah Pasti’.”

Tian Boguang memulai cerita, “Ketua Linghu, tempo hari aku datang menemuimu di Puncak Huashan atas perintah Kakek Guru Bujie. Namun sebenarnya masih banyak kisah di balik itu semua.”

Linghu Chong berkata, “Yang aku tahu hanyalah dia memaksamu menggunakan racun, juga menipu dirimu telah menotokmu pada titik mematikan.”

“Benar, itu juga sudah kuceritakan kepadamu,” ujar Tian Boguang. “Saat aku bertarung melawan si pendek Yu Canghai di luar Wisma Kumala di Kota Hengshan, aku khawatir para pendekar aliran lurus akan semakin banyak yang berdatangan. Maka, aku memutuskan untuk meloloskan diri dari si pendek itu. Perjalananku akhirnya sampai ke Henan. Sebenarnya aku malu untuk menceritakannya. Saat itu kebiasaan lamaku sedang kambuh. Di Kota Kaifeng, aku menyelinap ke dalam rumah seorang perempuan muda dari keluarga kaya. Ketika kusingkap kelambu di kamar tidurnya, dan kuraba ranjangnya, ternyata yang kurasakan adalah kepala gundul seseorang.”

Linghu Chong tertawa, “Hahaha. Tentu dia seorang biksuni. Kau takut dengan biksuni, bukan?”

Tian Boguang tersenyum hambar, “Kau salah. Dia seorang biksu.”

Linghu Chong tertawa semakin keras dan berkata, “Seorang wanita muda di dalam kamar bersama biksu? Aku sama sekali tidak pernah membayangkan seorang wanita terhormat memasukkan pria ke dalam kamarnya, apalagi memasukkan seorang biksu.”

Tian Boguang menggeleng, “Kau salah lagi. Biksu itu adalah Kakek Guru. Sebenarnya Kakek Guru sedang memburuku. Beliau akhirnya menemukan jejakku di daerah Kaifeng itu. Beliau diam-diam melihatku saat mengendap-endap di dekat rumah perempuan itu pada siang hari. Maka, Beliau pun mendahului pergi untuk memberi tahu keluarganya, dan mendapat izin bersembunyi di tempat tidur perempuan itu agar bisa menyergapku.”

Linghu Chong berkata, “Saudara Tian tentu sangat menderita waktu itu.”

Tian Boguang berkata, “Apa perlu diceritakan? Ketika aku meraba kepala Kakek Guru waktu itu, aku merasa ada yang tidak beres. Tiba-tiba perutku terasa sakit karena Beliau telah menotok titik nadi pentingku. Kakek Guru melompat dari ranjang dan menyalakan lampu. Beliau bertanya apakah aku memilih hidup atau mati. Aku sadar seumur hidup banyak melakukan kejahatan, pasti suatu hari akan mendapatkan pembalasan. Maka, aku pun menjawab, ‘Aku pilih mati.’

Kakek Guru tercengang dan bertanya, ‘Kenapa kau pilih mati?’

Aku menjawab, ‘Aku kurang berhati-hati dan tertangkap olehmu. Kenapa aku masih berharap hidup?’

Kakek Guru memandangku hambar lalu berkata, ‘Kau bilang karena kurang berhati-hati lantas tertangkap olehku?’ Beliau kemudian membuka totokanku sambil berkata, ‘Bagus sekali, bagus sekali!’

Aku duduk dan bertanya, ‘Apa tujuanmu?’

Beliau berkata, ‘Kau memiliki sebilah golok di pinggangmu, kenapa tidak kau gunakan untuk menebas tubuhku? Kau juga punya kaki yang lincah, kenapa tidak segera melompat keluar jendela untuk melarikan diri?’

Aku menjawab, ‘Aku ini seorang laki-laki sejati. Mana bisa aku berbuat seperti pengecut?’

Beliau hanya tertawa dan berkata, ‘Apa kau bukan seorang pengecut? Kau sudah berjanji untuk menjadi murid putriku, tapi kenapa kau masih mengingkarinya?’

Aku merasa heran dan menegas, ‘Putrimu?’

Beliau berkata, ‘Di loteng rumah makan di Kota Hengyang, bukankah kau mengadakan perjanjian melawan seorang murid Perguruan Huashan? Kau berkata jika kalah bertanding melawannya, maka kau akan menjadi murid putriku, bukan? Aku telah menemui putriku di Gunung Henshan dan dia telah menceritakan semuanya padaku dari awal sampai akhir.’

Aku pun berkata, ‘Oh, jadi biksuni kecil itu putrimu? Sungguh aneh, sungguh aneh!’

Beliau bertanya, ‘Apanya yang aneh?’”

Linghu Chong tertawa, “Hahahaha, masalah ini memang sangat aneh. Orang lain menjadi biksu setelah punya anak. Tapi Biksu Bujie punya anak setelah menjadi biksu. Nama gelarnya berarti Tanpa Pantangan. Ia memang benar-benar tidak peduli pada pantangan.”

Tian Boguang berkata, “Kau benar. Saat itu aku berkata, ‘Perjanjian itu hanya akal-akalan. Untuk apa aku menganggapnya sungguhan? Kau benar, aku memang kalah bertaruh. Oleh karena itu aku tidak akan mengganggu putrimu lagi.’

Beliau berkata, ‘Kau tidak akan mengganggu putriku? Malah sebaliknya, aku ingin kau menjadi murid putriku. Kau harus menghormatinya sebagai guru. Aku tidak akan membiarkan seorang pun melecehkan putriku. Aku menghabiskan banyak waktu untuk mencari dirimu. Kau ini licin dan berilmu tinggi. Jika tidak memanfaatkan niat jahatmu terhadap perempuan yang tinggal di sini, tentu akan sulit menangkapmu seperti ini.’

Aku melihatnya sedang lengah, maka segera kukerahkan Jurus Tiga Langkah Bayangan untuk melarikan diri. Aku yakin dengan kemampuanku meringankan tubuh, Beliau tentu tidak mampu menangkapku lagi. Namun ternyata aku mendengar langkah kaki menyusulku di belakang. Aku pun berteriak, ‘Biksu besar, karena kau tadi tidak membunuhku, maka aku pun tidak ingin membunuhmu. Tapi jika kau terus memaksa, maka aku pun terpaksa bertindak lebih kejam.’

Kakek Guru tertawa terbahak-bahak dan berkata, “Aku ingin lihat bagaimana kau bertindak lebih kejam terhadapku.”

Aku lantas mencabut golok dan berbalik menebas ke arahnya. Tak disangka, ilmu silat Kakek Guru sangat tinggi. Dengan tangan kosong ia mampu melayani jurus-jurusku yang sangat cepat. Aku tidak bisa menandingi kecepatannya. Bahkan setelah empat puluh jurus, Beliau dapat menangkap leherku dan membuang golokku jauh-jauh.

Beliau lantas berkata kepadaku, ‘Apa kau menyerah?’

Aku menjawab, ‘Kau sudah menang. Silakan bunuh saja!’

Beliau berkata, ‘Untuk apa aku membunuhmu? Apa itu bisa membuat putriku hidup kembali?’

Aku terkejut dan bertanya, ‘Apakah biksuni cilik telah mati?’

Beliau menjawab, ‘Putriku belum mati. Tapi kelakuannya seperti orang mati. Sewaktu menemuinya di Gunung Henshan, ia tampak begitu kurus dan tidak bersemangat. Aku menangis melihat keadaannya. Dan ia pun menceritakan semua yang telah menimpa dirinya. Ini semua karena perbuatanmu.’

Aku pun berkata, ‘Jika mau membunuhku, bunuh saja. Tian Boguang seorang laki-laki jujur dan pantang berbohong. Aku memang yang pertama kali menangkapnya. Tapi dia kemudian ditolong oleh murid Perguruan Huashan bernama Linghu Chong. Aku tidak pernah menjamahnya. Putrimu masih suci bagaikan permata.’

Kakek Guru berkata, ‘Nenekmu, apa maksudmu dengan mengatakan putriku masih suci? Dia kurus karena sakit rindu. Jika Linghu Chong tidak menikahinya, maka ia tidak punya semangat hidup lagi. Ketika aku mengatakan padanya hendak membawa pemuda itu, dia malah memakiku. Katanya, seorang biksuni tidak pantas menyimpan hasrat duniawi. Jika tidak, Sang Buddha tidak akan menerima dirinya, dan setelah mati akan dimasukkan ke dalam neraka.’

Tiba-tiba ia mencekik leherku dan mengancam, ‘Bocah sial, ini semua karena ulahmu. Jika kau tidak menculiknya, maka ia tidak akan kenal dengan Linghu Chong. Dengan demikian putriku tidak akan menjadi kurus.’

Aku berkata, ‘Tidak juga. Putrimu cantik seperti bidadari. Meskipun aku tidak menculiknya, tetap saja suatu hari Linghu Chong akan datang untuk melamarnya.’”

Linghu Chong kesal dan menukas, “Saudara Tian jangan berlebihan!”

Tian Boguang menjawab, “Maaf jika aku membuatmu tersinggung. Tapi saat itu keadaanku serbasulit. Jika aku tidak berkata demikian, Kakek Guru tentu tidak akan melepaskanku. Benar juga, mendengar ucapanku itu Beliau menjadi senang. Beliau pun berkata, ‘Bocah sial, coba hitung berapa banyak dosa yang kau perbuat selama hidupmu? Andai saja bukan karena menculik putriku, mungkin sejak dulu aku sudah memenggal kepalamu.’”

Linghu Chong merasa aneh dan bertanya, “Kenapa dia malah senang kau menculik putrinya?”

Tian Boguang menjawab, “Dia bukan senang, dia hanya memuji kosong saja.”

Linghu Chong tidak dapat menahan senyum. Tian Boguang melanjutkan, “Kakek Guru mengangkat tubuhku ke atas dengan tanan kiri dan memukuli telingaku dengan tangan kanan sebanyak tujuh belas atau delapan belas kali. Aku sampai pingsan dibuatnya. Beliau lalu merendam tubuhku dalam selokan. Ketika aku bangun, Beliau berkata, ‘Kuberi kau kesempatan satu bulan untuk membawa Linghu Chong ke Gunung Henshan menemui putriku. Meskipun ia tidak menikahi putriku, tapi paling tidak mereka bisa saling berbicara. Nyawa putriku bisa terselamatkan. Sekarang gurumu sedang dalam masalah, tapi kenapa kau tidak datang membantu sebagai murid yang baik?’

Beliau kemudian menotok beberapa titik nadiku, yang menurutnya adalah titik-titik kematian. Kemudian, aku dipaksa minum racun. Jika dalam sebulan aku bisa membawamu menemui biksuni cilik, maka Beliau akan memberiku penawarnya. Tapi bila aku gagal, racun itu akan bekerja dan tidak seorang pun bisa menolongku.”

Linghu Chong mengangguk-angguk paham. Waktu itu ketika Tian Boguang datang ke puncak Huashan, ia tampak menyimpan suatu rahasia dan tidak mau berkata terus terang. Tak disangka ternyata ada banyak kejadian rumit di balik itu semua.

Tian Boguang melanjutkan, “Aku naik ke Gunung Huashan untuk mengajakmu pergi, namun aku kalah bertanding melawanmu. Saat itu aku merasa ajalku segera tiba. Tidak kusangka, Kakek Guru merasa tidak enak hati dan datang menyusul ke Huashan bersama biksuni cilik. Seperti yang kau tahu, Beliau memberikan obat penawar kepadaku. Aku juga selalu melaksanakan nasihatmu untuk berhenti memerkosa wanita baik-baik. Dasar sifatku yang suka main perempuan, maka begitu punya uang aku langsung mencari pelacur. Ini tidak sulit. Maka, setengah bulan yang lalu, Kakek Guru bisa menemukanku lagi. Beliau berkata bahwa dirimu telah diangkat sebagai Ketua Perguruan Henshan, namun banyak mendapat ejekan serta hinaan di dunia persilatan. Nama baikmu menjadi tercemar. Kakek Guru sangat menyayangi putrinya, menyayangi calon menantunya pula ….”

Linghu Chong menyela, “Saudara Tian, jangan bicara omong kosong lagi!”

Tian Boguang menjawab, “Ya, ya. Aku hanya mengulangi perkataan Kakek Guru. Dia bilang ingin bergabung dengan Perguruan Henshan dan menyuruhku mengikuti rencananya. Langkah pertama adalah menerimaku sebagai murid putrinya. Aku menolak sehingga Beliau pun memukulku. Tentu saja aku bukan tandingannya. Lari juga tidak bisa sehingga mau tidak mau aku terpaksa mengakui biksuni cilik sebagai guruku, dan Beliau sebagai kakek guru.” Berbicara sampai di sini wajahnya terlihat muram dan tertunduk malu.

Linghu Chong berkata, “Kau hanya perlu menghormat kepada gurumu. Kenapa harus menjadi biksu segala? Bukankah Biara Shaolin juga memiliki murid dari golongan awam?”

Tian Boguang menggeleng dan menjawab, “Kakek Guru memiliki pemikiran lain. Beliau berkata, ‘Kau adalah lelaki bejat. Sekali kau bergabung dengan Perguruan Henshan, tentu bibi-bibi gurumu berada dalam bahaya. Mereka adalah biksuni-biksuni cantik. Langkah yang paling tepat adalah memotong akar permasalahannya.’ Beliau kemudian memukulku sampai jatuh, melepas celanaku, merebut golokku, dan memotong kemaluanku hingga tinggal setengah.”

“Hah,” seru Linghu Chong terkejut sampai menggeleng-gelengkan kepala. Meskipun ia menganggap hal ini terlalu kejam, namun ia juga sadar bahwa Tian Boguang sendiri sudah terlalu banyak memerkosa wanita baik-baik. Jadi, anggap saja ia telah mendapatkan karma yang setimpal.

Tian Boguang juga menggeleng, lalu melanjutkan, “Aku langsung pingsan dibuatnya. Ketika sadar, Kakek Guru telah menaburkan obat dan membungkus lukaku. Beliau berkata beberapa hari lagi lukaku akan sembuh. Beliau kemudian memaksaku menggunduli rambut dan menjadi biksu, serta berkata, ‘Mulai saat ini kau tidak bisa lagi memerkosa perempuan. Aku menyuruhmu menjadi bisku dengan gelar Bukebujie supaya semua orang mengetahuinya, sehingga kehormatan Perguruan Henshan bisa tetap terjaga. Umumnya, laki-laki tidak sepantasnya bercampur dengan kaum biksuni. Namun untuk seorang biksu bergelar Bukebujie rasanya tidak ada masalah.’”

Linghu Chong tersenyum berkata, “Kakek Gurumu memang pintar dan penuh perhitungan.”

Tian Boguang menjawab, “Kakek Guru berkata, ‘Demi putriku tercinta, kau harus berusaha sekuat tenaga untuk menyelamatkan nyawanya.’ Beliau lantas menyuruhku menceritakan ini semua kepadamu. Beliau juga menyuruhku untuk memintamu supaya tidak menyalahkan guruku.”

Merasa bingung, Linghu Chong bertanya, “Kenapa aku harus menyalahkan Adik Yilin? Ia tidak tahu apa-apa soal ini.”

Tian Boguang menjawab, “Kakek Guru berkata, tiap kali melihat guruku, Beliau merasa prihatin. Guru semakin hari semakin kurus. Jika Kakek Guru bertanya, guruku langsung meneteskan air mata dan tidak menjawab apa-apa. Kakek Guru berkata, ‘Ini semua gara-gara dia yang telah memarahi putriku.’”

Linghu Chong tersentak dan menjawab, “Bukan aku! Aku tidak pernah memarahi Adik Yilin. Ia sangat baik hati, bagaimana aku tega memakinya?’”

Tian Boguang bertanya, “Kalau kau memang tidak pernah memakinya, lalu kenapa ia menangis?”

“Aku tidak tahu,” jawab Linghu Chong.

“Kakek Guru juga memukulku saat menanyai diriku soal ini,” kata Tian Boguang.

Linghu Chong menggaruk kepala memikirkan ucapan Biksu Bujie yang kusut seperti obrolan Enam Dewa Lembah Persik.

Tian Boguang berkata, “Menurut Kakek Guru, setelah Beliau menikah dengan Nenek Guru, sepanjang waktu mereka selalu bertengkar. Namun caci maki mereka justru memupuk rasa cinta di antara keduanya. Kau tidak pernah memaki guruku, itu berarti kau tidak akan menikah dengannya.”

“Ini … gurumu seorang biksuni. Aku tidak pernah memikirkan soal itu,” kata Linghu Chong bingung.

“Aku juga bilang begitu, tapi Kakek Guru marah dan kembali memukulku beberapa kali. Beliau berkata, nenek guruku semula juga seorang biksuni, dan ketika Beliau ingin menikahinya, Beliau pun menjadi biksu. Jika seorang biksuni dan biksu tidak boleh menikah, bagaimana guruku bisa lahir ke dunia ini? Dan jika guruku tidak ada, lantas bagaimana aku bisa berada di dunia ini?” sambung Tian Boguang.

Linghu Chong tertawa mendengar ucapan Tian Boguang yang aneh itu. Padahal, sudah jelas-jelas Tian Boguang jauh lebih tua daripada Yilin, tapi mengapa harus mencampuradukkan silsilah seperti itu.

Tian Boguang melanjutkan, “Kakek Guru berkata, jika kau tidak menikahi guruku, lalu untuk apa kau menjadi Ketua Perguruan Henshan? Murid-murid Perguruan Henshan sebanyak itu tak seorang pun yang bisa menandingi kecantikan guruku. Jika kau tidak menikahi guruku, lantas biksuni mana yang akan kau nikahi?”

Diam-diam Linghu Chong merasa kasihan dan tidak menanggapi urusan ini lebih jauh. Ia berpikir, “Awal mula Biksu Bujie menjadi biksu adalah agar bisa menikahi seorang biksuni. Ia lantas berpikir semua laki-laki juga berpikiran sama seperti dirinya. Kalau sampai hal ini tersebar ke luar bisa menjadi masalah besar.”

Tian Boguang tersenyum kecut dan melanjutkan, “Kakek Guru bertanya padaku, apakah guruku wanita paling cantik di dunia. Aku pun menjawab, ‘Tentu saja. Meskipun Guru bukan wanita paling cantik, tapi ia adalah wanita yang sangat cantik.’ Kakek Guru marah mendengarnya dan memukulku lagi sampai dua gigiku lepas. Beliau berkata, ‘Kenapa putriku bukan wanita paling cantik? Kalau dia memang bukan wanita paling cantik, kenapa kau dulu menculiknya? Kenapa Linghu Chong mati-matian menolongnya?’ Aku pun menjawab, ‘Tentu saja … tentu saja Guru adalah wanita paling cantik di dunia.’ Mendengar itu Guru menjadi senang dan memuji ketajaman penglihatanku.”

Linghu Chong tersenyum. “Adik Yilin memang cantik jelita. Sudah sepantasnya Biksu Bujie sangat bangga kepadanya.”

Tian Boguang berkata gembira, “Jadi kau setuju kalau guruku cantik? Bagus kalau begitu.”

Linghu Chong terkejut. “Bagus apa maksudmu?”

Tian Boguang menjawab, “Kakek Guru menyuruhku memanggilmu … memanggilmu ….”

“Memanggilku apa?” sahut Linghu Chong penasaran.

Tian Boguang tersenyum. “Memanggilmu Bapak Guru.”

Linghu Chong merasa heran. Ia berkata, “Saudara Tian, Biksu Bujie memang sangat menyayangi putrinya. Tapi kau seharusnya paham hal ini mustahil terlaksana.”

“Memang benar,” jawab Tian Boguang. “Aku menyampaikan kepada Kakek Guru bahwa hal ini sangat berat dan tidak mungkin terjadi. Aku katakan kepada Beliau bahwa kau telah memimpin ribuan orang persilatan demi menyelamatkan Nona Besar Ren dari Sekte Matahari dan Bulan. Aku juga berkata, ‘Meskipun kecantikan Nona Besar Ren tidak melebihi guruku, tapi Pendekar Linghu sudah ditakdirkan berjodoh dengannya. Ia tergila-gila kepada Gadis Suci, dan orang lain tidak ada yang berani mencampuri urusannya.’ Waktu itu aku terpaksa berkata demikian. Aku takut tangannya kembali merontokkan gigiku. Tolong kau jangan tersinggung.”

Linghu Chong tersenyum dan berkata, “Tentu saja aku mengerti.”

Tian Boguang melanjutkan, “Kakek Guru berkata bahwa Beliau juga sudah mendengar hal ini. Menurut Beliau, masalahnya cukup sederhana, yaitu bagaimana memikirkan cara untuk membunuh Nona Besar Ren, itu saja. Aku langsung melarangnya karena jika Nona Besar Ren terbunuh, maka Linghu Chong pasti akan bunuh diri. Kakek Guru berkata, ‘Apa yang kau katakan benar juga. Jika si bocah Linghu Chong mati, maka putriku akan menjadi janda, ini sama saja dengan nasib buruk. Bagaimana ini? Ah, begini saja, katakan kepada Linghu Chong supaya tetap menikahi putriku dan menjadikannya istri kedua. Ini tentu lebih baik.’

Aku berkata, ‘Kakek Guru, bagaimana kau tega memperlakukan putrimu sendiri seperti itu?’

Beliau menghela napas dan menjawab, ‘Kau tidak tahu rupanya. Jika putriku tidak bisa menikah dengan Linghu Chong, cepat atau lambat ia tidak akan berumur panjang.’

Berkata demikian, Beliau lantas meneteskan air mata. Aih, mereka ayah dan anak sungguh orang-orang yang polos. Sama sekali tidak bisa menyembunyikan perasaan.”

Linghu Chong dan Tian Boguang saling pandang dan masing-masing merasa rikuh. Tian Boguang berkata, “Pendekar Linghu, aku telah mengatakan kepadamu semua hal yang dipesankan Kakek Guru. Aku tahu beberapa di antaranya sulit untuk dilakukan, bahkan terkesan tabu, terutama sejak kau menjadi Ketua Perguruan Henshan. Tapi aku menyarankan kepadamu supaya sudi berbicara lebih banyak dengan guruku. Buat dia bahagia.”

Linghu Chong mengangguk dan berkata, “Baiklah.”

Yilin memang terlihat semakin kurus dari hari ke hari. Ternyata baru sekarang ia tahu kalau itu semua disebabkan karena cinta tak terbalas. Perasaan biksuni muda itu begitu dalam kepadanya, mengapa ia tidak menyadarinya? Namun, Yilin seorang biksuni dan juga masih sangat belia. Linghu Chong berharap perasaan tersebut akan berkurang seiring berjalannya waktu dan akhirnya musnah. Sejak bertemu di Pegunungan Xianxia, mulai dari Fujian sampai Jiangxi, sama sekali mereka belum pernah bicara berdua. Selama berada di Perguruan Henshan, Linghu Chong selalu menghindari Yilin supaya tidak menimbulkan kecurigaan di antara murid-murid yang lain. Memang, ia tidak peduli dengan nama baiknya sendiri yang sudah tercemar, namun bagaimanapun juga nama baik Perguruan Henshan harus tetap diutamakan. Bahkan, ketika mengajarkan jurus pedang kepada para murid, ia sama sekali tidak pernah mengajak Yilin bicara. Kini apa yang disampaikan Tian Boguang benar-benar membuat hatinya terkejut.

Linghu Chong melamun memandang ke atas puncak gunung yang diselimuti salju putih. Tiba-tiba terdengar suara ramai rombongan banyak orang berjalan menuju ke atas. Hal ini sungguh aneh karena puncak tersebut biasanya tenang dan sunyi, selamanya tidak pernah terdengar suara ribut demikian. Ia merasa heran mengapa tiba-tiba datang ratusan orang menuju ke sana.

Tidak lama kemudian terdengar suara orang yang paling depan berteriak, “Terimalah ucapan selamat dari kami, Tuan Muda Linghu! Hari ini adalah hari bahagiamu!” Orang itu berbadan pendek juga gemuk, siapa lagi kalau bukan Lao Touzi. Di belakangnya tampak pula Ji Wushi, Zu Qianqiu, Huang Boliu, Sima Da, Lan Fenghuang, You Xun, Sepasang Beruang Gurun Utara, dan banyak lagi yang lainnya. Sama sekali Linghu Chong tidak menduga kalau mereka semua akan datang.

Linghu Chong terkejut bercampur senang. Segera ia melangkah maju sambil berkata, “Aku menerima wasiat terakhir Biksuni Dingxian dan terpaksa mengetuai Perguruan Henshan. Sungguh, aku tidak berani merepotkan kawan-kawan semua. Mengapa kalian malah datang ke sini?”

Lao Touzi dan rombongannya ini pernah mengikuti Linghu Chong menyerang Biara Shaolin. Setelah mengalami pertempuran hidup dan mati di biara megah tersebut, kini di antara mereka sudah terjalin persahabatan yang kekal. Mereka lantas beramai-ramai melangkah maju dan mengerumuni Linghu Chong sambil mengelu-elukan pemuda itu dalam suasana akrab.

“Semua orang gembira mendengar Tuan Muda Linghu telah berhasil menyelamatkan Gadis Suci,” ujar Lao Touzi. “Tentang Tuan Muda akan menjabat sebagai Ketua Perguruan Henshan, hal ini sudah tersiar di dunia persilatan. Maka itu, jika kami tidak datang ke sini untuk mengucapkan selamat kepadamu, rasanya kami pantas mati.” Orang-orang ini memang lugas dan suka berterus terang. Sekejap kemudian terdengar suara gelak tawa di dalam rombongan besar itu.

Sejak tiba di Gunung Henshan, setiap hari Linghu Chong hanya bersama para biksuni dan perempuan-perempuan muda, sehingga ia tidak berani mengumbar kata-kata kasar di hadapan mereka. Kini, tiba-tiba saja datang sekian banyak kawan mengerumuninya, sudah pasti hal ini membuat hatinya sangat senang. Terdengar Huang Boliu berkata, “Kami adalah tamu-tamu tak diundang, maka Perguruan Henshan tidak perlu bersusah payah menyediakan hidangan bagi orang-orang kasar seperti kami ini. Untuk urusan makanan dan arak, kami telah membawa sendiri. Sebentar lagi juga datang.”

“Wah, bagus sekali!” seru Linghu Chong gembira. Ia berpikir suasana demikian ini mirip sekali dengan pertemuan besar di Lembah Lima Tiran dahulu. Tak lama kemudian kembali beberapa ratus orang datang membanjir ke atas gunung.

“Tuan Muda Linghu, kita ini seperti keluarga, maka murid-murid perguruanmu yang lembut itu tidak perlu melayani orang-orang kasar seperti kami,” kata Ji Wushi sambil tersenyum. “Biarlah kita pakai acara bebas saja. Kami akan melayani diri kami sendiri.”

Suasana di puncak gunung tersebut seketika menjadi ramai. Pihak Perguruan Henshan sangat terkejut karena tidak menduga akan kedatangan sekian banyak tamu yang bermaksud memberi selamat. Murid-murid yang berpengalaman ternyata mengenal orang-orang yang baru datang itu. Meskipun orang-orang itu banyak yang dikenal sebagai pendekar ternama, namun mereka berasal dari golongan hitam. Sebagian dari orang-orang itu berasal dari kaum penjahat pula. Tata tertib Perguruan Henshan mengharuskan murid-muridnya untuk menjaga kehormatan. Mereka jarang berhubungan dengan sesama aliran lurus, apalagi bergaul dengan aliran sesat. Tak disangka, orang-orang itu justru datang ke Puncak Henshan untuk memberi selamat, sedangkan Linghu Chong menyambut mereka dengan sangat ramah. Melihat itu mau tidak mau para murid merasa rikuh sendiri.

Siang harinya, muncul beberapa laki-laki membawa ayam, itik, kambing, kerbau, sayur-mayur, beras, dan juga arak. Rupanya ini adalah rombongan pembawa bekal seperti yang dikatakan Huang Boliu tadi. Linghu Chong berpikir, “Puncak Henshan ini adalah tempat keramat untuk memuja Dewi Guanyin. Aku adalah ketua di sini, tapi lantas menyembelih dan menyantap daging kambing atau kerbau, rasanya terlalu mencolok dan tidak enak terhadap leluhur Perguruan Henshan.” Segera ia pun memerintahkan rombongan tukang masak itu memindah dapur mereka ke sisi gunung yang agak jauh. Meskipun demikian, tetap saja asap dan bau daging tercium juga ke puncak membuat para biksuni saling pandang sambil mengerutkan kening.

Setelah makan siang, para tamu duduk memenuhi pelataran di depan biara induk. Linghu Chong sendiri duduk di ujung barat sementara para murid Perguruan Henshan berdiri di belakangnya menurut tingkatan masing-masing. Suasana hening menunggu datangnya waktu baik yang telah ditentukan.

Tiba-tiba terdengar suara beberapa orang meniup seruling semakin dekat dan semakin dekat. Tampak dua orang tua berjubah hitam muncul diiringi banyak pengikut. Para tamu terkejut dan beberapa ada yang berseru heran melihat kedatangan orang-orang itu. Banyak di antara mereka yang langsung berdiri dengan sikap hormat.

Salah satu orang tua berjubah hitam yang memimpin rombongan itu berseru, “Ketua Dongfang dari Sekte Matahari dan Bulan mengutus kami berdua, Jia Bu dan Shangguan Yun, untuk memberi selamat kepada Pendekar Linghu yang hari ini dilantik sebagai Ketua Perguruan Henshan. Semoga Perguruan Henshan berkembang lebih jaya dan berwibawa, serta nama besar Pendekar Linghu lebih gemilang di dunia persilatan.”

Mendengar ucapan tersebut, para hadirin kembali terkejut dan suasana menjadi gempar. Bagaimanapun juga, hampir setengah dari para pendekar yang hadir di situ memiliki hubungan dengan Sekte Iblis, dan banyak pula di antara mereka telah menelan Tiga Pil Penghancur Otak pemberian Dongfang Bubai. Maka begitu mendengar nama “Ketua Dongfang” disebut, mereka menjadi sangat ketakutan.

Mungkin saja para hadirin tidak mengenal kedua utusan Dongfang Bubai itu, namun nama besar mereka berdua sudah lama mereka dengar. Yang berdiri di sebelah kiri, yaitu yang berbicara tadi, bernama Jia Bu, bergelar Si Orang Agung Muka Kuning. Sementara yang berdiri di sebelah kanan bernama Shangguan Yun, bergelar Si Pendekar Elang. Ilmu silat mereka terkenal jauh lebih tinggi di atas rata-rata tokoh-tokoh persilatan sebangsa ketua partai, misalnya Huang Boliu dan Sima Da, namun jasa dan kesaktian mereka di dalam Sekte Matahari dan Bulan pada awalnya tidak terlalu istimewa. Hanya saja, dalam beberapa tahun terakhir ini banyak anggota sepuh yang dipecat dan mengundurkan diri, misalnya Xiang Wentian, sehingga kedudukan mereka pun mengalami kenaikan pesat. Bisa dikatakan, Jia Bu dan Shangguan Yun adalah tokoh papan atas di dalam Sekte Matahari dan Bulan saat ini. Jika mereka dikirim untuk mengucapkan selamat ke Perguruan Henshan, itu berarti Dongfang Bubai sangat menghargai kedudukan Linghu Chong.

Linghu Chong lantas melangkah ke depan dan berkata, “Selama ini saya dan Ketua Dongfang tidak saling kenal. Maka itu, saya tidak berani menerima penghormatan dari Tuan-Tuan berdua.” Dilihatnya wajah Jia Bu kurus dan kuning seperti lilin, dengan tulang pelipis yang menonjol. Di sisi lain Shangguan Yun memiliki lengan dan kaki yang panjang, serta penuh percaya diri. Matanya tampak tajam berkilat-kilat bagaikan elang. Linghu Chong dapat merasakan kedua utusan Dongfang Bubai ini pasti memiliki tenaga dalam yang sangat bagus.

Jia Bu lantas berkata, “Hari ini adalah hari bahagia Pendekar Linghu. Sebenarnya Ketua Dongfang bermaksud datang sendiri untuk memberikan selamat secara pribadi. Namun Beliau sedang sibuk menangani bermacam-macam pekerjaan sehingga sukar berada di dua tempat dalam waktu sekaligus. Untuk ini, mohon Pendekar Linghu bisa memaklumi.”

“Ah, mana berani aku berpikir macam-macam?” sahut Linghu Chong. Mendengar ucapan dan sikap kedua utusan tersebut, ia berpikir saat ini tentu Ren Woxing belum berhasil merebut kedudukannya kembali. Ia berharap Ren Woxing, Ren Yingying, dan Xiang Wentian dalam keadaan baik-baik saja.

Sementara itu Jia Bu tampak memiringkan tubuhnya dan menggerakkan tangan kiri ke belakang sambil berkata, “Sedikit oleh-oleh ini adalah pemberian Ketua Dongfang. Mohon Ketua Linghu sudi menerimanya.”

Tidak lama kemudian terlihat ratusan orang menggotong empat puluh peti berukuran besar ke depan. Setiap peti digotong oleh empat laki-laki kekar. Melihat para penggotong itu melangkah dengan berat, dapat dibayangkan isi peti tersebut tentu tidaklah ringan.

Dengan cepat Linghu Chong menolak, “Linghu Chong sudah mendapat suatu kehormatan besar atas kunjungan Tuan-Tuan berdua yang mulia. Saya tidak berani menerima hadiah-hadiah ini. Harap disampaikan kepada Ketua Dongfang bahwa saya mengucapkan banyak terima kasih. Lagipula, murid-murid Perguruan Henshan hidup sederhana sehingga tidak terbiasa dengan barang-barang semewah dan sebanyak ini.”

“Jika Ketua Linghu tidak sudi menerima, maka saya dan Saudara Shangguan berada dalam masalah besar,” ujar Jia Bu. Ia lalu berpaling kepada Shangguan Yun dan berkata, “Betul tidak perkataanku, Saudara Shangguan?”

“Betul sekali!” jawab Shangguan Yun mantap.

Linghu Chong menjadi serbasalah menghadapi persoalan ini. Dalam hati ia berpikir, “Perguruan Henshan adalah aliran lurus yang tidak bisa hidup berdampingan dengan aliran sesat. Apalagi Ketua Ren dan Yingying hendak menyerbu dan membuat perhitungan dengan Dongfang Bubai. Jadi, mana boleh aku menerima sumbangan mereka?” Maka ia lantas berkata, “Saudara Jia harap menyampaikan kepada Ketua Dongfang bahwa hadiahnya ini sama sekali saya tidak berani menerima. Bila kalian tidak mau membawa pulang barang-barang ini, terpaksa saya menyuruh orang untuk mengantar semuanya ke markas besar agama Saudara yang mulia.”

Jia Bu tersenyum menjawab, “Apakah Ketua Linghu mengetahui apa isi keempat puluh peti besar ini?”

“Sudah tentu tidak tahu,” sahut Linghu Chong.

“Bila Ketua Linghu sudah melihat isinya tentu takkan menolak lagi,” ujar Jia Bu dengan tertawa. “Sesungguhnya isi keempat puluh peti itu juga tidak seluruhnya sumbangan Ketua Dongfang. Justru sebagian adalah milik Ketua Linghu sendiri. Bisa dikatakan kami ini datang untuk mengembalikan barang kepada pemiliknya.”

Linghu Chong menjadi heran. “Apa maksudmu? Kenapa kau bilang barang-barang milikku? Barang apakah itu?”

Jia Bu maju selangkah dan berkata lirih, “Sebagian besar di antaranya adalah pakaian, perhiasan, dan barang-barang keperluan sehari-hari yang ditinggalkan Nona Besar Ren di Tebing Kayu Hitam. Ketua Dongfang menyuruh kami mengantarkannya ke sini agar bisa dipakai oleh Nona Besar Ren. Sebagian lagi di antaranya adalah hadiah Ketua Dongfang kepada Ketua Linghu dan Nona Besar Ren. Ini sama sekali tidak ada maksud jahat dari kami, oleh sebab itu harap Ketua Linghu jangan segan-segan lagi untuk menerimanya. Hahaha!”

Watak Linghu Chong pada dasarnya terbuka dan tidak suka banyak pikiran. Melihat maksud sumbangan Dongfang Bubai itu memang sungguh-sungguh, apalagi sebagian barang-barang tersebut adalah milik Ren Yingying, maka ia pun tidak menolak lagi. Sambil bergelak tawa ia berkata, “Hahaha, baiklah. Dalam hal ini aku menerima hadiah dari Ketua Dongfang. Terima kasih banyak.”

Pada saat itulah seorang murid perempuan datang mendekat dan melapor, “Pendeta Chongxu dari Perguruan Wudang datang sendiri untuk memberi selamat.”

Linghu Chong terkejut dan segera berjalan keluar biara untuk menyambut. Dilihatnya Pendeta Chongxu datang bersama delapan muridnya. Linghu Chong membungkuk untuk memberi hormat lalu menyapa, “Atas kunjungan Pendeta, Linghu Chong merasa sangat berterima kasih.”

“Adik Linghu diangkat sebagai Ketua Perguruan Henshan, berita ini sungguh membuat hatiku gembira,” ujar Pendeta Chongxu. “Kabarnya Mahabiksu Fangzheng dan Biksu Fangsheng juga akan datang dari Biara Shaolin untuk memberi selamat. Entah mereka berdua sudah tiba atau belum?”

Mendengar itu Linghu Chong bertambah heran dan terkejut. Ia hanya bisa berkata, “Wah, ini … ini ….”

Pada saat itulah di jalan pegunungan tampak muncul serombongan biksu. Dua orang yang paling depan jelas Mahabiksu Fangzheng dan Biksu Fangsheng.

“Pendeta Chongxu, langkahmu sungguh cepat sehingga mendahului rombongan kami,” seru Fangzheng dari jauh.

Linghu Chong segera bergegas menuruni jalan untuk menyongsong ke depan kemudian berseru, “Kedua Biksu Agung datang secara pribadi ke sini, sungguh Linghu Chong merasa tidak pantas menerima kehormatan besar ini.”

Dengan tertawa Biksu Fangsheng menjawab, “Pendekar Linghu, kau sendiri sudah tiga kali berkunjung ke Biara Shaolin, sementara kami baru berkunjung sekali ini ke Gunung Henshan. Anggap saja ini hanya sekadar kunjungan balasan saja.”

Linghu Chong lantas mengajak rombongan dari Biara Shaolin dan Perguruan Wudang itu naik ke atas. Melihat ketua-ketua dari dua perguruan nomor satu di dunia persilatan datang secara pribadi, hal ini sungguh membuat para hadirin terperanjat. Tidak ada lagi di antara mereka yang berani banyak bicara. Murid-murid Henshan saling berpikir dalam hati masing-masing, “Kakak Ketua sungguh memiliki nama besar di dunia persilatan.”

Sementara itu Jia Bu dan Shangguan Yun saling pandang seolah tidak percaya kalau Mahabiksu Fangzheng dan Pendeta Chongxu datang secara langsung untuk memberi selamat kepada Linghu Chong.

Linghu Chong kemudian mempersilakan Fangzheng dan Chongxu duduk di kursi kehormatan. Dalam hati ia berpikir, “Dulu sewaktu Guru dilantik sebagai Ketua Perguruan Huashan, pihak Shaolin dan Wudang hanya mengirim perwakilan untuk mengucapkan selamat. Meskipun waktu itu aku masih kecil dan tidak mengenali para tamu yang datang, namun aku tidak pernah lupa siapa saja para hadirin yang diceritakan oleh Guru dan Ibu Guru. Tapi sekarang ketua-ketua dari kedua perguruan terbesar di dunia persilatan ini sudi berkunjung ke sini. Apakah mereka benar-benar datang memberi selamat ataukah masih ada maksud lainnya?”

Sementara itu tamu-tamu yang berdatangan seolah tidak ada habis-habisnya. Kebanyakan dari mereka adalah jago-jago persilatan aliran sesat yang pernah ikut menggempur Biara Shaolin tempo hari. Menyusul kemudian utusan-utusan dari Perguruan Kunlun, Diancang, Emei, Kongtong, Partai Pengemis, dan lain-lain juga tiba dengan membawa sejumlah hadiah dan kartu ucapan selamat dari ketua masing-masing. Melihat itu Linghu Chong berpikir, “Mereka sudi datang ke sini tentu karena nama besar Perguruan Henshan dan Biksuni Dingxian. Sama sekali bukan karena aku. Tapi, di antara sekian banyak orang ini, kenapa tidak ada utusan dari Perguruan Songshan, Huashan, Hengshan, dan Taishan?”

Kemudian terdengar suara petasan ramai, pertanda sudah tiba waktunya upacara pelantikan dimulai. Linghu Chong bangkit dan memberikan hormat kepada para hadirin sambil mengucapkan kata pengantar, “Ketua Perguruan Henshan terdahulu, yaitu Biksuni Dingxian telah dicelakai orang secara licik. Bersama Biksuni Dingyi, Beliau berdua akhirnya meninggal dunia. Si bocah Linghu Chong telah menerima wasiat terakhir dari Beliau supaya melanjutkan kepemimpinan di Perguruan Henshan. Kami selaku tuan rumah berterima kasih atas kunjungan dan doa restu dari para hadirin sekalian.”

Di tengah suara tetabuhan alat musik, murid-murid Perguruan Henshan mulai berbaris ke tengah pelataran dengan dipimpin oleh keempat murid tertua, yaitu Yihe, Yiqing, Yizhen, dan Yizhi. Mereka berempat menghadap Linghu Chong dan memberi hormat. Linghu Chong menyilangkan kedua tangan di depan dada untuk membalas penghormatan.

Yihe berkata, “Keempat alat keagamaan ini adalah pusaka peninggalan Biksuni Xiaofeng, leluhur pendiri Perguruan Henshan. Benda-benda ini diwariskan turun-temurun kepada ketua baru yang dilantik. Oleh karena itu, Kakak Linghu diharap sudi menerimanya.”

“Baik,” jawab Linghu Chong. Lalu keempat murid tertua itu menyerahkan alat-alat keagamaan yang mereka bawa masing-masing, yaitu sejilid kitab, sebuah kentungan kayu kecil, seuntai tasbih, dan sebatang pedang pendek. Agak rikuh juga Linghu Chong menerima kentungan kecil dan tasbih segala, karena dirinya tidak pernah bersembahyang dan membaca kitab. Terpaksa ia pun menerima benda-benda itu sambil menunduk tanpa berani menatap ke arah hadirin.

Yiqing lalu membuka sebuah kitab dan berseru, “Perguruan Henshan memiliki lima pantangan. Yang pertama, dilarang melawan atasan atau saudara yang lebih tua. Yang kedua, dilarang menyakiti sesama anggota perguruan. Yang ketiga, dilarang membunuh orang yang tidak berdosa. Keempat, selalu menjaga kehormatan diri. Kelima, dilarang bergaul dengan golongan sesat dan kaum penjahat. Untuk ini hendaklah Kakak Ketua memberi teladan dan memimpin para murid dengan bijaksana.”

“Baik,” jawab Linghu Chong. Namun dalam hati ia berpikir pantangan keempat dan kelima jelas sukar untuk dijalankan. Bagaimana tidak, selama ini ia suka berbuat ugal-ugalan, dan yang lebih merepotkan lagi, para tamu yang hadir saat ini saja sebagian besar berasal dari golongan sesat dan kaum penjahat.

Kemudian Yizhen berkata, “Sekarang silakan Kakak Ketua memulai bersembahyang menghormati arwah para leluhur Perguruan Henshan kita.”

Belum sempat Linghu Chong melangkah, tiba-tiba terdengar suara seseorang berteriak, “Ketua Zuo dari Serikat Pedang Lima Gunung menyampaikan perintah: Linghu Chong tidak boleh menyerobot kedudukan sebagai Ketua Perguruan Henshan.”

Linghu Chong mendengarkan cerita Tian Boguang.
Linghu Chong menyambut Lao Touzi dan kawan-kawan.
Jia Bu dan Shangguan Yun diutus Sekte Matahari dan Bulan
Linghu Chong menyambut Chongxu, Fangzheng, dan Fangsheng.

(Bersambung)