Bagian 92 - Mempersiapkan Pelantikan

Para murid Henshan menyambut Linghu Chong.

Yihe dan yang lain bangkit kembali. Namun begitu teringat pada kematian Biksuni Dingxian dan Biksuni Dingyi yang mengenaskan, isak tangis mereka pun lagi-lagi pecah.

Dewa Bunga Persik menyahut, “Hei, aneh sekali. Kenapa kalian tiba-tiba menangis? Kalau kalian menangis gara-gara bertemu Linghu Chong, apa sebaiknya kalian tidak usah bertemu saja?”

Linghu Chong langsung menoleh dan melotot kepadanya. Dewa Bunga Persik ketakutan dan lekas-lekas membungkam mulutnya sendiri menggunakan tangan.

Yihe berkata, “Tempo hari Kakak Linghu, maksudku, Paman Ketua mendarat dan tidak kembali lagi ke kapal, kemudian datang Paman Guru Mo dari Perguruan Hengshan memberi tahu kami bahwa Paman Ketua telah pergi ke Biara Shaolin untuk menyusul Bibi Ketua dan Bibi Dingyi. Setelah berunding, kami pun bermaksud ikut menyusul ke sana. Tak disangka di tengah jalan kami bertemu belasan tokoh persilatan yang membicarakan kehebatan Paman Ketua saat memimpin ribuan pendekar menduduki Biara Shaolin, juga saat menakut-nakuti para biksu sehingga melarikan diri. Di antara mereka ada seorang bertubuh bulat pendek yang mengaku bermarga Lao, juga seorang sastrawan setengah baya bermarga Zu. Mereka berdua mengatakan … mengatakan bahwa Bibi Ketua dan Bibi Dingyi telah meninggal di dalam Biara Shaolin. Sebelum meninggal, konon Bibi Ketua telah meminta kepadamu untuk mewarisi kedudukan ketua perguruan kita, dan kau telah menerima permintaan itu. Wasiat tersebut katanya juga telah disaksikan banyak orang ….” sampai di sini suaranya terputus-putus oleh karena isak tangisnya yang semakin memilukan. Keenam adiknya juga ikut menangis sedih.

“Benar, waktu itu Biksuni Dingxian memang telah memintaku untuk memikul tugas berat ini,” kata Linghu Chong. “Tapi, aku seorang laki-laki dan namaku sudah tercemar pula. Semua orang tahu aku pemuda berandalan, mana pantas menjadi Ketua Perguruan Henshan? Namun keadaan waktu itu memang sangat mendesak. Jika aku tidak menerimanya, maka Biksuni Dingxian tidak akan tenteram hatinya. Aih, aku merasa serbasalah.”

Yihe menyahut, “Tapi … tapi kami semua sangat mengharapkanmu menjadi Ketua Perguruan Henshan kita.”

Zheng E berkata, “Paman Ketua, kau pernah memimpin kami dalam pertempuran, dan beberapa kali kau telah menyelamatkan nyawa kami. Setiap murid Perguruan Henshan mengenalmu sebagai seorang kesatria sejati. Meskipun kau seorang laki-laki, tapi di dalam peraturan perguruan kita tidak pernah ada larangan kaum lelaki menjadi ketua.”

Yiwen, seorang biksuni setengah baya ikut bicara, “Kami sangat sedih ketika mendengar wafatnya kedua bibi. Tapi begitu mengetahui kalau kau yang akan menjabat sebagai Ketua Perguruan Henshan, hati kami menjadi lega dan sangat terhibur.”

Yihe menyambung, “Guruku telah dicelakai orang, kedua bibi juga tewas di tangan musuh. Dalam waktu beberapa bulan saja tiga tokoh utama Perguruan Henshan dari angkatan ‘Ding’ telah wafat susul-menyusul, dan siapa pembunuhnya sama sekali tidak diketahui. Paman Ketua, sungguh sangat tepat jika kau yang menjadi pemimpin kami. Tidak ada salahnya kalau kau mengganti nama menjadi Linghu Dingchong. Jika bukan dirimu rasanya sukar untuk menuntut balas bagi ketiga orang tua kami.”

Linghu Chong mengangguk dan berkata, “Tugas berat membalaskan dendam ketiga biksuni sepuh memang menjadi tanggung jawabku.”

Qin Juan berkata, “Kau sudah dikeluarkan dari Perguruan Huashan, dan kini menjadi bagian dari Perguruan Henshan. Gunung barat dan gunung utara sejajar derajatnya. Kelak jika kau bertemu Tuan Yue tidak perlu lagi memanggil ‘Guru’ kepadanya, tapi cukup memanggil ‘Saudara Yue’ saja.”

Linghu Chong hanya tersenyum. Dalam hati ia berpikir, “Mana mungkin aku berani?”

Zheng E berkata, “Setelah mendengar berita duka meninggalnya kedua guru kami, kami pun bergegas menuju Biara Shaolin. Tapi di tengah jalan kami kembali bertemu Paman Guru Mo. Beliau berkata bahwa kau sudah meninggalkan Gunung Shaoshi. Kami dianjurkan lekas-lekas mencari keberadaanmu.”

Qin Juan menyahut, “Paman Guru Mo mengatakan makin cepat menemukanmu akan semakin baik. Kata Beliau, terlambat sedikit saja bisa jadi kau sudah dibujuk orang masuk Sekte Iblis. Padahal antara aliran lurus dan aliran sesat bagaikan air dan api, jelas tidak bisa hidup berdampingan. Selain itu, Perguruan Henshan bisa-bisa kehilangan seorang ketua pula.”

“Adik Qin suka bicara tanpa dipikir dulu. Mana mungkin Paman Ketua sudi masuk Sekte Iblis semudah itu?” ujar Zheng E.

“Tapi kenyataannya Paman Guru Mo memang bicara demikian, bukan?” balas Qin Juan.

Dalam hati Linghu Chong memuji perhitungan Tuan Besar Mo tersebut. Andai saja waktu itu Ren Woxing tidak memberikan iming-iming berupa rumus penangkal pengaruh buruk Jurus Penyedot Bintang, tetapi mengajaknya dengan hati tulus, maka ajakan masuk menjadi anggota Sekte Iblis tentu sulit ia tolak. Apalagi mengingat budi baik Ren Yingying dan Xiang Wentian kepadanya, bukan mustahil dirinya akan berjanji untuk bergabung dengan Sekte Iblis apabila urusan Perguruan Henshan sudah selesai.

“Oh, jadi karena itu kalian lantas menyediakan seribu tahil perak sebagai upah kepada siapa saja yang bisa membekuk Linghu Chong?” kata Linghu Chong kemudian.

“Membekuk Linghu Chong? Mana berani kami berbuat demikian?” kata Qin Juan dengan tertawa meski air matanya masih meleleh di pipi.

Zheng E menyambung, “Setelah mendengar pesan Paman Guru Mo, maka kami lantas membagi diri ke dalam kelompok-kelompok, yang masing-masing beranggotakan tujuh orang untuk mencari Paman Ketua. Untung saja kami bertemu Enam Dewa Lembah Persik. Mereka membuka harga seribu tahil perak untuk menemukanmu. Padahal, jangankan cuma seribu tahil, sekalipun sepuluh ribu tahil perak juga akan kami bayar asalkan Paman Ketua dapat diketemukan.”

Linghu Chong tersenyum dan berkata, “Sebagai ketua kalian, aku merasa tidak bisa memberikan manfaat apa-apa. Tapi paling tidak, kemampuan kalian dalam meminta sedekah kepada kaum hartawan kikir dan pembesar korup akan mengalami banyak kemajuan.”

Ketujuh murid Perguruan Henshan itu seketika teringat pada kejadian saat meminta sedekah kepada Bai Si Tukang Menguliti yang terkenal kikir. Rasa sedih mereka berkurang dan seulas senyum pun terlihat di bibir mereka.

Linghu Chong berkata, “Baiklah, kalian tidak perlu khawatir lagi. Linghu Chong sudah berjanji kepada Biksuni Dingxian pasti tidak akan mengingkari. Jabatan Ketua Perguruan Henshan sudah pasti akan kuterima, asalkan kalian tidak ada yang keberatan. Mengenai nama tidak perlu diganti Linghu Dingchong segala. Mari sekarang kita makan kenyang dulu, baru kemudian kita berangkat ke Gunung Henshan.”

Ketujuh murid Henshan itu senang mendengarnya. Serentak mereka berseru, “Mana mungkin kami keberatan?”

Linghu Chong kemudian makan satu meja dengan Enam Dewa Lembah Persik. Ia pun bertanya kepada mereka, “Enam Saudara Persik, uang seribu tahil perak itu akan kalian gunakan untuk apa?”

Dewa Akar Persik berkata, “Ji Wushi, Si Burung Hantu Malam sangat miskin dan tidak mampu mencukupi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Padahal dia juga berhutang seribu tahil perak kepada kami.”

Dewa Dahan Persik menyambung, “Sewaktu di Biara Shaolin, Ji Wushi mengadakan taruhan dengan kami ….”

Dewa Bunga Persik buru-buru menyela, “Tentu saja dia yang kalah. Mana mungkin Burung Hantu Malam bisa menang taruhan melawan kami, enam bersaudara?”

Dalam hati Linghu Chong berpikir, “Mana bisa kalian menandingi kecerdasan Ji Wushi?” Ia lalu bertanya, “Memangnya kalian bertaruh soal apa?”

Dewa Buah Persik menjawab, “Ini mengenai dirimu. Kami bertaruh kau pasti tidak mau menjadi Ketua Perguruan Henshan, eh … bukan … kami bertaruh kau pasti mau menjadi Ketua Perguruan Henshan.”

Dewa Bunga Persik menyambung, “Si Burung Hantu Malam bertaruh bahwa kau pasti tidak sudi menjadi Ketua Perguruan Henshan. Sebaliknya kami bilang kepadanya seorang laki-laki harus bisa pegang janji. Kau telah berjanji kepada biksuni tua untuk menjadi Ketua Perguruan Henshan, dan hal ini telah didengar setiap kesatria di dunia persilatan. Mana mungkin dirimu ingkar janji?”

Dewa Ranting Persik ikut bicara, “Menurut Si Burung Hantu Malam, kau ini sudah biasa berkelana. Tidak lama lagi pasti akan menikah dengan Gadis Suci dari Sekte Iblis, mana betah membuang-buang waktu bersama kaum biksuni tua dan muda itu?”

Dalam hati Linghu Chong berkata, “Ji Wushi sangat menghormati Yingying, tidak mungkin dia berani menyebut ‘Sekte Iblis’ segala. Tentu keenam orang ini yang telah memutarbalikkan perkataan.” Maka ia lantas bertanya, “Dan kalian kemudian bertaruh seribu tahil perak dengannya?”

“Benar, dan saat itu kami yakin pasti menang,” sahut Dewa Dahan Persik. “Si Burung Hantu Malam juga berkata supaya seribu tahil perak itu didapatkan dengan cara baik-baik, bukan dari hasil mencuri atau merampok. Maka aku pun berkata kepadanya bahwa kami enam bersaudara tidak mungkin mencuri atau merampok.”

Dewa Akar Persik menyambung, “Kemudian tadi pagi kami bertemu biksuni-biksuni yang sedang mencarimu ini. Mereka berkata hendak menjemputmu untuk menjadi Ketua Perguruan Henshan. Itu berarti kami yang jelas-jelas memenangkan taruhan seribu tahil perak.”

Linghu Chong tersenyum dan berkata, “Kemudian kalian merasa kasihan kepada Si Burung Hantu Malam yang sangat miskin itu, sehingga kalian berusaha mendapatkan seribu tahil perak dari para biksuni untuk diberikan kepadanya, supaya dia bisa membayar kekalahannya pada kalian, begitu?”

“Tepat sekali, dugaanmu benar-benar sangat tepat,” seru Dewa Bunga Persik. “Ternyata kau pandai meramal.”

“Kepandaianmu meramal hanya sedikit di bawah kami enam bersaudara,” sambung Dewa Buah Persik.

Linghu Chong tidak menggubris omong kosong mereka lagi. Usai makan, rombongan itu lantas berangkat ke Gunung Henshan. Setelah beberapa hari sampailah mereka di kaki gunung tersebut. Rupanya murid-murid Henshan sudah menerima kabar dan mereka pun beramai-ramai menjemput kedatangan rombongan tersebut. Begitu melihat Linghu Chong, mereka segera berlutut memberi hormat dan Linghu Chong pun membalas penghormatan mereka. Semuanya terlihat berduka ketika berbicara tentang wafatnya Biksuni Dingxian dan Biksuni Dingyi.

Linghu Chong melihat Yilin berada di antara kerumunan para murid itu dengan wajah pucat dan tubuh lebih kurus dibandingkan dulu. Segera ia bertanya, “Adik Yilin, apakah akhir-akhir ini kau kurang sehat?”

“Tidak, aku baik-baik saja,” jawab Yilin dengan mata basah. “Sekarang kau adalah ketua kami. Jangan panggil aku ‘adik’ lagi.”

Dalam perjalanan tadi, Yihe dan yang lain selalu memanggil Linghu Chong dengan sebutan “paman guru” atau “paman ketua”. Setelah mendengar ucapan Yilin tersebut, Linghu Chong pun berkata, “Kakak dan Adik sekalian, Linghu Chong menjadi ketua hanya karena perintah dari ketua terdahulu. Sesungguhnya, aku tidak pantas dan tidak mampu memikul tugas besar ini. Aku sama sekali merasa berat untuk menerimanya.”

Para murid menjawab, “Sungguh suatu keberuntungan apabila Paman Ketua sudi memimpin kami. Tolong terima tanggung jawab yang berat ini.”

Linghu Chong berkata, “Baiklah. Tapi kalian harus berjanji satu hal kepadaku.”

Para murid berseru, “Kami siap menerima perintah Paman Ketua.”

Linghu Chong berkata, “Mulai sekarang kalian tidak boleh memanggilku ‘Paman Ketua’, cukup ‘Kakak Ketua’ saja.”

Yihe, Yiqing, Yizhen, Yiwen, dan murid-murid tertua lainnya lantas berunding. Sejenak kemudian mereka pun berkata, “Ketua terlalu rendah hati. Baiklah, kami tidak berani melawan perintah Ketua.”

Linghu Chong tersenyum dan berkata, “Nah, demikian lebih baik.”

Begitulah, mereka lantas beramai-ramai menuju ke atas Gunung Henshan. Puncak gunung itu sangat tinggi. Meskipun mereka melangkah dengan cepat, namun perlu setengah hari lagi untuk mencapai Puncak Jianxing. Biara utama di sana hanya sebuah biara kecil yang disebut Biara Wuse, yang dikelilingi dua sampai tiga puluh buah rumah beratap genting sebagai tempat tinggal para murid. Bila dibandingkan dengan Biara Shaolin yang megah itu, Biara Wuse bagaikan semut bertemu gajah.

Masuk ke dalam biara, Linghu Chong melihat patung Bodhisatwa Guanyin sang dewi welas asih memakai jubah putih. Ruangan bagian dalam tampak sangat bersih dan terawat, sama sekali tidak terdapat debu sebutir pun. Perabotan di sana terbuat dari bahan kasar dan biasa-biasa saja. Linghu Chong tidak menyangka bahwa Perguruan Henshan yang terkenal di dunia persilatan ternyata memiliki markas yang begitu kecil dan sederhana.

Setelah bersembahyang di depan patung Dewi Guanyin, Linghu Chong diantarkan Yu Sao ke kamar yang biasa dipakai Biksuni Dingxian untuk bersamadi. Keadaan kamar itu pun bersih tanpa sesuatu pajangan, hanya terdapat sebuah bantalan bundar di lantai, dan di sisinya terdapat sebuah kentungan kecil yang sudah tua. Selain itu tak terdapat benda yang lain lagi.

Watak Linghu Chong suka bergerak bebas dan biasa hidup di tempat ramai. Ia gemar minum arak dan makan enak pula, bagaimana bisa disuruh hidup di tempat sesunyi ini? Andai saja boleh membawa arak dan daging anjing tentu akan menyenangkan. Namun bukankah itu akan menodai kesucian tempat ibadah tersebut? Maka, ia pun berkata kepada Yu Sao, “Meskipun aku menjabat sebagai ketua, tapi aku ini bukan orang beragama, juga tidak menjadi biksu. Lagipula kakak dan adik di sini semua kaum wanita. Hanya aku saja yang laki-laki, sudah tentu aku merasa tidak pantas tinggal di sini. Sebaiknya kau sediakan saja sebuah rumah yang agak jauh dari sini. Biarlah aku tinggal di sana bersama Enam Dewa Lembah Persik.”

Yu Sao menjawab, “Baik, di puncak barat ada tiga buah pondok yang biasa digunakan sebagai tempat menginap para tamu. Kebanyakan para tamu yang menginap di sana adalah orang tua para murid yang datang berkunjung. Kalau Ketua tidak keberatan, maka untuk sementara Ketua bisa tinggal di sana. Lain hari kita bisa membangun rumah kediaman yang baru untuk Ketua.”

“Itu saja cukup, untuk apa harus membangun rumah baru segala?” ujar Linghu Chong gembira. Dalam hati ia berpikir, “Memangnya aku mau menjadi ketua seumur hidup di sini? Asalkan nanti aku sudah menemukan calon yang pantas sebagai ketua, tentu aku akan menyerahkan kedudukan ini kepadanya. Untuk selanjutnya, aku bisa kembali hidup berkelana secara bebas gembira di dunia persilatan. Apabila Perguruan Henshan ditimpa masalah, maka aku akan datang lagi untuk memberikan bantuan.”

Begitu tiba di pondok tersebut, Linghu Chong menemukan sebuah bangunan yang tidak ubahnya seperti rumah kaum petani kaya dengan perlengkapan meja, kursi, tempat tidur berkasur, walaupun semuanya berbahan kasar. Namun tentu saja ini lebih mendingan daripada kamar samadi Biksuni Dingxian yang kosong tadi.

Yu Sao berkata, “Ketua silakan duduk. Saya akan mengambil arak.”

“Hei, apa di sini ada arak?” tanya Linghu Chong gembira.

“Tidak cuma sekadar arak, tapi arak pilihan,” jawab Yu Sao. “Begitu mendengar Ketua akan tiba, Adik Yilin bilang kepadaku kalau tidak disediakan arak enak, mungkin Ketua tidak akan betah berlama-lama menjabat sebagai ketua. Maka, malam-malam kami mengirim orang untuk turun gunung membeli belasan guci arak enak sebagai persediaan.”

Linghu Chong merasa rikuh juga dan berkata, “Aih, kaum kita biasa hidup sederhana, tapi untuk diriku harus membuang biaya sebanyak ini. Seharusnya tidak perlu begitu.”

Yu Sao menyela, “Ketua jangan khawatir, uang sedekah yang diperoleh dari Bao Si Tukang Menguliti masih sisa cukup banyak. Meskipun setengahnya sudah disedekahkan kepada fakir miskin, tapi masih saja tersisa banyak. Untuk biaya minum-minum Ketua rasanya masih cukup sampai sepuluh atau dua puluh tahun lagi.”

Malam itu Linghu Chong minum-minum sepuasnya bersama Enam Dewa Lembah Persik. Esok paginya ia berunding dengan Yiqing, Yihe, Yu Sao, dan yang lain tentang bagaimana menyambut kedatangan abu jenazah Biksuni Dingxian dan Biksuni Dingyi serta cara menuntut balas kematian ketiga biksuni sepuh.

Yiqing berkata, “Kakak Ketua telah menjadi pemimpin baru di Perguruan Henshan, hal ini harus diumumkan kepada sesama kawan dunia persilatan. Kita juga harus mengirim utusan untuk memberi tahu Paman Guru Zuo selaku pimpinan Serikat Pedang Lima Gunung.”

Yihe menyahut, “Huh, guruku meninggal dibunuh orang-orang Perguruan Songshan. Bibi Ketua dan Bibi Dingyi kemungkinan besar juga tewas di tangannya. Untuk apa kita memberi tahu mereka segala?”

“Kita tidak boleh meninggalkan adat istiadat,” ujar Yiqing. “Bila kelak kita sudah menyelidiki dengan jelas dan terbukti ketiga guru dicelakai oleh Perguruan Songshan, maka kita tentu bersama-sama di bawah pimpinan Kakak Ketua membuat perhitungan dengan mereka.”

“Ucapan Adik Yiqing memang benar,” kata Linghu Chong. “Mengenai jabatan ketua ini, aku sudah pasti menerimanya, untuk apa pakai adat upacara segala?” Ia masih ingat ketika dulu gurunya dilantik sebagai Ketua Perguruan Huashan, upacara yang diselenggarakan sungguh sangat ramai. Kawan-kawan persilatan yang datang memberi selamat tak terhitung banyaknya. Ia juga teringat pada peristiwa Liu Zhengfeng ketika mengadakan upacara Cuci Tangan Baskom Emas, waktu itu Kota Hengshan juga penuh dengan orang-orang persilatan. Sekarang dirinya diangkat menjadi Ketua Perguruan Henshan yang sejajar dengan Huashan dan Hengshan. Kalau yang datang memberi selamat hanya sedikit tentu sama artinya dengan kehilangan muka. Sebaliknya, kalau yang datang terlalu banyak, tentu mereka bermaksud menertawakan dirinya sebagai seorang laki-laki yang diangkat menjadi pemimpin kaum biksuni.

Rupanya Yiqing memahami perasaan Linghu Chong. Ia pun berkata, “Kalau Kakak Ketua segan mengundang teman-teman dunia persilatan, maka kita tidak perlu mengundang mereka. Namun kita tetap harus memberi tahu mereka tentang hari peresmianmu dilantik sebagai ketua.”

Linghu Chong berpikir Perguruan Henshan adalah satu di antara Serikat Pedang Lima Gunung. Kalau upacara peresmian ketua baru dilaksanakan dengan terlalu sederhana rasanya akan merugikan pamor Perguruan Henshan sendiri. Maka, ia pun mengangguk menerima saran Yiqing itu. Hanya saja, ia meminta agar Yiqing mencarikan hari baik dalam waktu sesegera mungkin.

Yiqing pun mengambil kitab primbon dan membacanya beberapa saat, kemudian berkata, “Tanggal sembilan belas bulan dua, tanggal delapan bulan tiga, dan tanggal dua puluh tujuh bulan tiga, adalah hari-hari yang membawa peruntungan. Kakak Ketua silakan memilih, tanggal berapa yang paling cocok.”

Sebenarnya Linghu Chong tidak memercayai hari baik atau hari buruk. Menurutnya, makin cepat diresmikan tentu semakin sedikit pula tamu yang datang, sehingga keadaan yang memalukan dapat dihindari. Maka, ia pun berkata, “Apakah tidak ada hari yang baik di bulan satu ini?”

Yiqing menjawab, “Sebenarnya ada beberapa hari baik dalam bulan satu, namun lebih cocok untuk bepergian, membuka usaha, atau pernikahan. Kalau di bulan dua tanggal enam belas ada hari baik untuk menerima lencana.”

Linghu Chong tersenyum dan berkata, “Aku tidak menjadi pejabat pemerintahan, jadi tidak perlu menerima lencana.”

Yiqing menjawab, “Tapi bukankah sebelumnya kau pernah menjadi jenderal? Menjadi ketua perguruan juga perlu menerima lencana, bukan?”

Linghu Chong tidak mau berdebat lebih lama. Ia pun menjawab, “Baiklah, aku setuju tanggal enam belas bulan dua sebagai hari pelantikanku.”

Setelah itu ia lantas membagi para murid untuk menjalankan tugas masing-masing. Antara lain ada yang dikirim ke Biara Shaolin untuk menjemput abu jenazah kedua biksuni sepuh, ada pula yang dikirim ke perguruan-perguruan lain untuk memberitahukan tanggal upacara pelantikannya sebagai Ketua Perguruan Henshan. Kepada mereka ia berpesan, “Tolong kabarkan kepada semua ketua perguruan yang kalian datangi bahwa untuk sementara ini kami belum memikirkan urusan balas dendam. Perguruan Henshan sedang berkabung. Untuk itu, upacara peresmianku sebagai ketua juga akan dilangsungkan dengan cara yang sederhana. Katakan pada mereka, tidak perlu mengirimkan orang untuk menghadiri upacara kita.”

Setelah mengirimkan para murid itu, Linghu Chong berpikir, “Sebagai Ketua Perguruan Henshan, seharusnya aku memahami ilmu pedang Henshan dengan lebih baik.” Maka ia pun mengumpulkan murid-murid yang tersisa untuk mengetahui jurus-jurus pedang yang telah mereka pelajari, mulai dari tingkat dasar sampai yang paling tinggi. Yang memeragakan di hadapan Linghu Chong adalah dua murid yang berilmu paling tinggi, yaitu Yihe dan Yiqing.

Linghu Chong dapat melihat bahwa ilmu pedang Perguruan Henshan memang rumit dan bagus, tapi lebih mengutamakan pertahanan. Hanya pada saat-saat tertentu mendadak mereka mampu melancarkan serangan maut yang tidak terduga. Meskipun jurus serangan tersebut kurang ganas dan kurang bertenaga, namun memang itulah ilmu pedang yang cocok untuk kaum wanita.

Linghu Chong dapat memakluminya karena dari generasi ke generasi murid-murid Perguruan Henshan semuanya adalah kaum wanita. Pantas saja jika jurus serangan mereka pun tidak sekuat jurus-jurus yang biasa digunakan kaum pria. Akan tetapi, jurus pertahanan dalam ilmu pedang Henshan sangat bagus, dan memiliki sedikit celah kelemahan, hanya setingkat di bawah ilmu Pedang Taiji. Akan tetapi, dibandingkan dengan ilmu pedang dari Perguruan Wudang tersebut, ilmu pedang Henshan lebih unggul dalam hal serangan mendadak yang tidak terduga-duga.

Linghu Chong kemudian teringat pada dinding gua rahasia di puncak Huashan terdapat ukiran-ukiran jurus pedang Henshan yang sangat bagus dan jauh lebih ampuh daripada ilmu pedang yang dimainkan Yihe dan Yiqing saat ini. Meskipun jurus-jurus pedang yang bagus itu telah dipatahkan juga oleh musuh yang membuat ukitan tersebut, namun ada baiknya diajarkan kepada para murid demi perkembangan Perguruan Henshan di masa depan. Tentu saja perlu diadakan perbaikan di beberapa bagian pada ilmu pedang tersebut supaya menjadi lebih kuat.

Ia juga teringat pada kehebatan Biksuni Dingjing ketika bertempur melawan musuh menjelang kematiannya dulu. Waktu itu jurus pedang yang dimainkan Dingjing jauh lebih hebat daripada Yihe atau Yiqing, dan tenaga dalamnya juga lebih dahsyat. Bahkan, konon kabarnya ilmu silat Biksuni Dingxian lebih hebat lagi daripada kakak seperguruannya itu. Tampaknya kepandaian ketiga biksuni sepuh masih banyak yang belum diwariskan kepada para murid. Kini ketiganya telah meninggal berturut-turut dalam waktu beberapa bulan saja. Linghu Chong khawatir bermacam-macam ilmu silat Perguruan Henshan yang bagus akan ikut punah bersama waktu.

Melihat Linghu Chong termangu-mangu tidak menanggapi permainan pedangnya, Yihe pun berkata, “Kakak Ketua, kepandaian kami tentu masih sangat hijau dan tidak sedap dipandang olehmu. Maka itu, kami mengharapkan petunjuk-petunjukmu yang berharga.”

Linghu Chong melangkah maju dan mengambil pedang dari tangan Yihe sambil berkata, “Aku punya satu jurus ilmu pedang Henshan, entah ketiga biksuni sepuh pernah mengajarkan ini kepada kalian atau belum?” Ia kemudian memainkan ilmu pedang yang pernah dilihatnya pada dinding gua rahasia tersebut.

Jurus pedang itu dimainkannya sangat perlahan agar dapat diikuti dengan jelas oleh para murid. Setelah melihat beberapa gerakan, para murid pun bersorak memuji. Mereka melihat dasar-dasar ilmu pedang Henshan namun dikembangkan dengan berbagai perubahan yang aneh. Mereka tidak dapat mengukur entah jurus tersebut berapa kali lebih hebat daripada ilmu pedang yang telah mereka pelajari. Sungguh ilmu pedang ini telah membangkitkan semangat dan kebanggaan mereka. Sebenarnya ukiran-ukiran tersebut hanya benda mati, namun menjadi hidup berkat kepandaian Linghu Chong merangkainya satu per satu. Tentu saja untuk merangkainya ia pun menciptakan beberapa gerakan baru. Setelah permainan pedang tersebut berakhir, para murid pun beramai-ramai memberikan penghormatan di hadapannya dengan penuh kekaguman.

Yihe berkata, “Kakak Ketua, ilmu pedang yang kau mainkan tadi jelas merupakan ilmu pedang Perguruan Henshan kita. Tapi mengapa selama ini kami belum pernah melihatnya? Mungkin saja ketiga biksuni sepuh juga belum mengetahuinya. Kalau boleh tahu, dari mana kau mempelajarinya?”

“Aku mempelajarinya dari sebuah ukiran yang berada di suatu gua,” jawab Linghu Chong. “Jika kalian ingin belajar, aku bisa mengajarkannya pada kalian.”

Para murid sangat gembira. Beramai-ramai mereka mengucapkan terima kasih. Seharian itu Linghu Chong mengajarkan tiga jurus kepada mereka dengan memberikan penjelasan secara rinci dan seksama mengenai di mana letak kehebatan ketiga jurus tersebut, kemudian para murid disuruh berlatih sendiri.

Meskipun hanya tiga jurus, namun ternyata kandungannya cukup luas dan mendalam untuk dipahami. Sekalipun murid-murid terpandai seperti Yihe atau Yiqing ternyata butuh waktu tujuh sampai delapan hari untuk memahaminya, apalagi murid-murid muda seperti Zheng E, Qin Juan, dan Yilin, tentu butuh waktu lebih lama lagi. Pada hari kesepuluh, Linghu Chong kembali mengajarkan dua jurus lanjutannya. Begitulah, meski ilmu pedang yang terukir pada dinding gua rahasia itu hanya terdiri dari beberapa jurus saja, tapi diperlukan waktu hampir sebulan barulah murid-murid Henshan itu dapat mempelajarinya secara tuntas. Mengenai apakah mereka mampu memahaminya dengan baik jelas tergantung pada tingkat kepandaian masing-masing.

Selama sebulan itu utusan-utusan yang dikirim ke berbagai perguruan berturut-turut sudah pulang ke Gunung Henshan. Semuanya kembali dengan memperlihatkan wajah murung. Sewaktu melapor kepada Linghu Chong pun mereka tergagap-gagap seolah takut untuk menceritakan yang sebenarnya. Namun Linghu Chong juga tidak bertanya secara mendalam. Ia tahu para utusan tersebut tentu telah banyak mendapat cemooh dan ejekan, karena kaum biksuni telah mengangkat seorang laki-laki muda sebagai ketua perguruan atau bermacam-macam ejekan lainnya. Linghu Chong lantas menghibur mereka dengan kata-kata halus dan menyuruh mereka belajar ilmu pedang baru kepada saudara-saudara yang lain. Apabila ada yang kurang jelas, maka mereka boleh bertanya langsung kepadanya.

Utusan yang dikirim ke Perguruan Huashan adalah Yu Sao dan Yiwen yang berusia setengah baya dan mampu mengendalikan diri. Jarak antara Gunung Huashan dan Gunung Henshan tidak terlalu jauh, dan seharusnya mereka dapat pulang lebih dulu daripada utusan yang lain. Tapi kenyatannnya, keduanya justru belum kembali sedangkan yang lain sudah tiba. Sementara itu tanggal enam belas bulan dua sudah semakin dekat, sehingga Linghu Chong merasa perlu untuk mengirim lagi dua murid yang lain, yaitu Yiguang dan Yishi untuk menyusul ke Huashan.

Para murid Henshan yakin tidak ada perguruan yang mengirim utusan sehingga mereka tidak perlu menyiapkan tempat penginapan dan makanan. Mereka hanya sibuk menggosok lantai, mengapur dinding, mencabut ilalang, dan melakukan pembersihan seperlunya. Masing-masing dari mereka juga membuat baju dan sepatu baru. Zheng E dan yang lain juga menjahit satu setel jubah hitam untuk dipakai Linghu Chong pada hari upacara nanti. Hitam memang warna resmi seragam Perguruan Henshan dalam Serikat Pedang Lima Gunung.

Tanggal enam belas bulan dua akhirnya tiba juga. Pagi-pagi sekali setelah bangun tidur, Linghu Chong keluar pondok dan melihat ke arah Puncak Jianxing yang tampak benar-benar meriah karena telah terpasang banyak lampion dan hiasan melambai-lambai. Murid-murid Perguruan Henshan ternyata sangat rajin dalam mempersiapkan acara pelantikan yang akan dilangsungkan tersebut. Menyaksikan itu Linghu Chong merasa terharu dan berpikir, “Kedua biksuni sepuh mengalami nasib malang karena aku, tapi para murid tidak ada yang menyalahkan diriku. Mereka justru menghargai aku sedemikian rupa. Kalau aku tidak dapat membalaskan sakit hati ketiga biksuni sepuh, juga tidak dapat memajukan Perguruan Henshan, maka percuma saja aku menjadi manusia.”

Tiba-tiba ia mendengar teriakan seseorang dari balik salah satu sisi gunung, “Lin’er, Lin’er, Ayah datang menjengukmu. Apa kau sehat-sehat saja? Lin’er, aku di sini!” Suara orang itu sangat keras dan menggelegar. Sebelum gema suaranya berakhir, ia sudah berteriak kembali, “Lin’er … Lin’er ….”

Yilin yang mendengar panggilan itu segera muncul dan berseru, “Ayah! Ayah!”

Dari balik gunung muncul seorang biksu bertubuh tinggi besar. Ia tidak lain adalah ayah Yilin, yaitu Biksu Bujie. Tampak pula seorang biksu yang lebih muda berjalan di belakangnya. Keduanya melangkah dengan cepat dan sekejap saja sudah tiba di depan bangunan biara. Biksu Bujie bersuara lantang, “Selamat, Tuan Muda Linghu! Kau tidak mati oleh lukamu yang sangat parah dulu, dan kini malah menjadi ketua perguruan tempat putriku berada. Bagus sekali, bagus sekali!”

Linghu Chong tersenyum, “Ini semua berkat Tuan Biksu.”

Yilin mendekati Biksu Bujie dan menarik lengan ayahnya itu dengan lembut, “Ayah ternyata mendengar hari ini Kakak Linghu dilantik menjadi Ketua Perguruan Henshan. Apakah kau datang untuk memberi ucapan selamat kepadanya?”

Bujie tertawa, “Hahaha. Aku tidak datang untuk memberi selamat. Aku ke sini untuk bergabung dengan Perguruan Henshan. Kita sama-sama dari satu perguruan, untuk apa saling memberi selamat?”

Linghu Chong terkesiap dan menegas, “Tuan Biksu hendak menjadi anggota Perguruan Henshan?”

Bujie menjawab, “Benar. Anakku anggota Perguruan Henshan. Aku adalah ayahnya, maka, aku pun anggota Perguruan Henshan. Huh, aku mendengar orang-orang di luar sana mengolok-olok dirimu. Mereka berkata bahwa kau seorang laki-laki tapi suka memanfaatkan kesempatan menjadi pemimpin para biksuni dan nona-nona muda. Huh, mereka tahu apa? Mereka tidak tahu kalau kau seorang manusia berbudi luhur yang menjaga kebenaran.”

Wajahnya lantas berubah dari marah menjadi gembira, “Aku lalu memukul mulut orang itu sehingga beberapa giginya lepas. Aku juga berteriak kepadanya, ‘Kau ini tahu apa? Apa Perguruan Henshan hanya berisi kaum biksuni saja? Bapakmu ini juga berasal dari Perguruan Henshan. Meskipun kepala bapakmu gundul, lantas apa bapakmu ini seorang biksuni? Jika kau tidak percaya, ini kubuka saja celanaku.’ Begitu aku hendak membuka celana, orang itu lari terbirit-birit ketakutan. Hahahaha.”

Linghu Chong dan Yilin ikut tertawa mendengarnya.

“Ayah sungguh kasar,” sahut Yilin. “Kau sama sekali tidak takut ditertawai orang.”

Bujie menjawab, “Kalau aku tidak menunjukkan dengan jelas, tentu dia tidak bisa membedakan mana biksu mana biksuni. Saudara Linghu, aku akan bergabung dengan Perguruan Henshan. Bahkan, aku juga mengajak cucu muridku ikut serta. Nah, Bukebujie, lekas kau beri salam kepada Ketua Linghu.”

Ketika Biksu Bujie bercerita tadi, biksu yang mengikuti di belakangnya itu hanya menunduk saja. Sama sekali ia tidak pernah menatap wajah Linghu Chong atau Yilin. Seolah-olah ia sedang menyembunyikan rasa malu yang begitu besar. Begitu Bujie memberi perintah, biksu bernama Bukebujie tersebut langsung memandang Linghu Chong dengan senyuman kecut. Linghu Chong merasa mengenal wajah biksu tersebut namun entah siapa. Akhirnya, ia pun sangat terkejut begitu menyadari kalau biksu itu adalah Si Pengelana Tunggal Ribuan Li alias Tian Boguang. Dengan tergagap-gagap Linghu Chong berkata, “Kau … kau … Saudara Tian?”

Biksu tersebut memang si maling cabul Tian Boguang. Ia tersenyum dan membungkuk hormat ke arah Yilin, “Salam … salam hormat, Guru.”

Yilin juga sangat terkejut. “Bagaimana … bagaimana kau bisa menjadi biksu? Apa kau sedang menyamar?”

Biksu Bujie terlihat bangga dan menjawab, “Ini benar-benar nyata dan sama sekali ia tidak sedang menipu siapa-siapa. Ia benar-benar menjadi biksu. Gelar kebudhaannya adalah Biksu Bukebujie.”

Tian Boguang kembali tersenyum, “Guru, Kakek Guru memang memberiku nama Bukebujie.”

Yilin bertanya, “Mengapa namanya Bukebujie? Mengapa namanya sepanjang itu?”

Bujie menjawab, “Kau tahu apa? Dalam kitab suci juga banyak Bodhisatwa yang punya nama panjang. ‘Bodhisatwa Guan Shiyin Yang Maha Pengampun dan Pemurah, Penolong Kaum Miskin.’ Apa itu tidak panjang? Sedangkan nama dia hanya empat huruf, apanya yang panjang?”

“Benar juga,” kata Yilin. “Lalu mengapa dia bisa menjadi biksu? Apakah Ayah telah menerimanya sebagai murid?”

Bujie menjawab, “Bukan. Aku adalah kakek-gurunya, sedangkan gurunya adalah kau sendiri. Tapi kau ini seorang biksuni muda, jika mempunyai murid laki-laki awam maka nama Perguruan Henshan akan ikut tercemar. Maka, aku pun menasihatinya supaya menjadi biksu.”

“Menasihati apanya? Ayah pasti memaksanya supaya menjadi biksu, benar begitu?” kata Yilin sambil tersenyum.

Bujie menjawab, “Aku tidak memaksanya. Memeluk agama tidak boleh dengan paksaan. Dia menjadi biksu dengan sukarela. Orang ini sebenarnya baik. Hanya saja ada sebagian kelakuannya yang kurang baik. Maka itu ia kuberi nama Bukebujie.”

Wajah Yilin merona merah. Ia paham maksud perkataan ayahnya. Tian Boguang seorang hidung belang pemetik bunga yang terkenal. Entah bagaimana caranya sang ayah berhasil menangkapnya namun mengampuni jiwnya. Sebagai hukuman ia pun diharuskan menjadi biksu.

Bujie melanjutkan, “Namaku adalah Bujie, yang artinya ‘tanpa pantangan’. Sementara Tian Boguang ini adalah mantan penjahat cabul yang banyak melakukan kejahatan, maka dia harus selalu mengekang diri. Kalau dia tidak berpantang, mana bisa menjadi anggota Perguruan Henshan? Ketua Linghu pasti akan berpikiran sama denganku. Kelak pun ia akan menerima warisan mangkuk sedekah dariku. Maka, nama yang tepat untuknya harus mengandung unsur ‘Bujie’, yaitu ‘Bukebujie’, yang artinya ‘tidak boleh tanpa pantangan’.”

Tiba-tiba terdengar seseorang berteriak, “Biksu Bujie dan Biksu Bukebujie telah bergabung dengan Perguruan Henshan. Maka kami, Enam Dewa Lembah Persik juga akan bergabung dengan Perguruan Henshan.” Ternyata yang berseru adalah Dewa Dahan Persik. Ia datang bersama kelima saudaranya.

Dewa Akar Persik berkata, “Kami yang lebih dulu datang ke sini bertemu Linghu Chong. Maka, kami berhak disebut sebagai saudara tua, sedangkan Biksu Bujie menjadi saudara muda.”

Linghu Chong merenung, “Dengan bergabungnya Biksu Bujie dan Tian Boguang ke dalam Perguruan Henshan, maka tidak ada salahnya jika aku menerima Enam Dewa Lembah Persik. Sebaliknya, ini justru akan menghapus pembicaraan orang bahwa Linghu Chong adalah satu-satunya laki-laki di antara kaum biksuni.” Maka ia lantas berkata, “Enam Saudara Persik bersedia masuk Perguruan Henshan, ini sungguh berita menggembirakan. Tapi untuk menentukan siapa yang lebih tua di antara kalian atau Biksu Bujie, ini sungguh merepotkan. Maka, hal ini tidak perlu dilakukan.”

Dewa Daun Persik tiba-tiba berkata, “Biksu Bujie artinya ‘Tanpa Pantangan’ punya murid bernama Biksu Bukebujie, artinya ‘Tidak Boleh Tanpa Pantangan’. Kelak, jika Bukebujie punya murid, diberi gelar apa?”

Dewa Buah Persik menjawab, “Tentu saja harus memiliki unsur nama yang sama. Beri saja nama ‘Dangranbukebujie’, artinya ‘Tanpa Ragu Tidak Boleh Tanpa Pantangan’.”

Dewa Ranting Persik berkata, “Lalu jika ‘Dangranbukebujie’ memiliki murid, lantas diberi gelar apa?”

Linghu Chong melihat Tian Boguang tampak rikuh. Segera ia pun menggandeng biksu baru itu dan mengajaknya pergi, sambil berkata, “Ada yang ingin kutanyakan kepadamu.”

“Baik,” jawab Tian Boguang.

Para murid menghias Biara Wuse.

Biksu Bujie memperkenalkan Bukebujie.

Enam Dewa Lembah Persik menjadi anggota Perguruan Henshan.

(Bersambung)