Bagian 78 - Satu Kebenaran Terungkap

Tenaga dalam Zhong Zhen dihisap Linghu Chong.

Melihat itu, Yihe segera memberi aba-aba. Serentak empat belas kawannya maju menjadi satu formasi barisan. Pedang mereka bergerak menari-nari menangkis serangan Zhong Zhen bertiga. Ilmu silat masing-masing murid Perguruan Henshan itu sebenarnya tidak terlalu tinggi. Namun begitu membentuk formasi empat belas pedang, dalam menyerang maupun bertahan, kekuatan mereka cukup untuk menghadapi empat atau lima orang jago silat papan atas.

Semula Yue Buqun bermaksud melerai pertempuran itu. Namun bermacam-macam masalah tersebut sama sekali di luar dugaannya. Ia tidak tahu-menahu mengapa antara kedua pihak yang pada awalnya satu rumpun itu kini tiba-tiba berselisih. Apalagi di hatinya sekarang timbul perasaan kurang senang terhadap perbuatan orang-orang Perguruan Songshan dan Henshan itu. Ia pikir sebaiknya menunggu perkembangan selanjutnya terlebih dulu baru kemudian bertindak.

Formasi pedang keempat belas murid Perguruan Henshan itu bertahan sangat rapat. Meski Zhong Zhen dan kedua adiknya mencoba bermacam-macam gaya serangan namun tetap saja tidak dapat maju lebih dekat. Bahkan sedikit lengah saja paha Gao Kexin tertusuk pedang Yiqing. Meski lukanya tidak parah, tapi telah mengeluarkan darah bercucuran, sehingga keadaannya menjadi agak runyam.

Dalam keadaan sadar dan tidak sadar, Linghu Chong dapat mendengar suara dentingan senjata beradu. Ketika matanya sedikit terbuka, tampak wajah Yilin penuh rasa cemas sedang membaca doa, “Semua makhluk dalam marabahaya, menderita kesulitan tak tertahankan. Namun berkat kekuatan dan kebijaksanaan Dewi Guanyin yang welas asih dapat menyelamatkan dunia dari penderitaan ….” Seketika teringat olehnya kejadian di luar Kota Hengshan dulu saat dirinya terluka. Dalam hati ia merasa sangat berterima kasih.

Linghu Chong kemudian bangkit dan berkata lirih, “Adik cilik, terima kasih banyak atas bantuanmu. Sekarang berikan pedangmu kepadaku.”

Yilin menjawab, “Jangan … kau jangan … jangan ….”

Linghu Chong tersenyum lembut. Ia mengambil pedang dari tangan Yilin, kemudian tangan kirinya bertumpu pada bahu kanan biksuni muda itu dan kakinya lantas melangkah sempoyongan ke depan. Sebenarnya Yilin sangat cemas dan khawatir. Namun begitu bahunya mampu menahan beban tubuh Linghu Chong, seketika timbul keberaniannya. Ia pun mengerahkan kekuatannya pada bahu kanan tersebut dan ikut berjalan mengiringi ke mana Linghu Chong pergi.

Linghu Chong berjalan perlahan-lahan melewati formasi empat belas murid Henshan sehingga kini berhadapan dengan Zhong Zhen bertiga. Sekali pedangnya menyambar, pedang Gao Kexin kembali jatuh ke tanah. Ketika pedang bergerak untuk kedua kalinya, tanpa ampun cambuk panjang Teng Bagong lagi-lagi melilit leher sendiri. Dan gerakan pedang yang ketiga kalinya pun dengan tepat membentur pedang Zhong Zhen.

Zhong Zhen sadar ilmu pedang Linghu Chong sangat aneh dan sukar ditandingi olehnya. Namun melihat langkah Linghu Chong yang terhuyung-huyung, ia berpikir bahwa kali ini ada kesempatan emas untuk mengalahkannya, yaitu dengan cara mengadu senjata sekuat tenaga untuk membentur jatuh pedang lawan. Maka ketika kedua senjata mereka beradu, ia pun mengerahkan segenap tenaga dalamnya dan menyalurkannya ke pedang.

Tapi sungguh celaka baginya. Begitu kedua pedang berbenturan, terasa tenaga dalamnya tiba-tiba membanjir keluar dengan deras melalui batang pedangnya dan sukar ditahan lagi. Sebaliknya, semangat Linghu Chong justru terasa bangkit kembali. Ternyata Jurus Penyedot Bintang tanpa disadari makin hari makin sempurna. Tidak perlu anggota tubuh saling bersentuhan, cukup hanya senjata yang beradu saja sudah bisa menghisap tenaga dalam pihak lawan.

Zhong Zhen terperanjat dan buru-buru menarik pedangnya kemudian menusuk ke depan. Linghu Chong melihat di bawah ketiaknya terdapat celah yang terbuka. Ia hanya tinggal menunggu kesempatan untuk membalas dengan satu tusukan saja tentu sudah dapat membuat lawan binasa. Namun tangannya terasa lemas, lengannya terasa nyeri tak bertenaga, sehingga terpaksa hanya melintangkan pedangnya untuk menangkis serangan tersebut.

Sekejap kemudian pedang mereka kembali berbenturan. Lagi-lagi tenaga dalam Zhong Zhen membanjir keluar, jantungnya pun berdebar kencang, perasaannya terkejut bercampur gusar. Kembali ia mengerahkan segenap tenaganya untuk menusuk. Namun sampai di tengah jalan tiba-tiba pedangnya berganti arah, yaitu menuju dada Yilin yang berada di samping Linghu Chong dan menjadi tumpuan berdirinya.

Serangan Zhong Zhen ini sangat keji. Kalau Linghu Chong melintangkan pedangnya untuk menolong Yilin, tentu lawan segera memutar balik senjata untuk menusuk perutnya. Namun jika Yilin tidak ditolong, maka tusukan itu akan benar-benar mengenainya. Hal ini cukup mengacaukan pikiran Linghu Chong sehingga kesempatan akan terbuka lebar bagi lawan untuk menyerangnya secara lebih ganas.

Di tengah jerit khawatir banyak orang, tampak ujung pedang Zhong Zhen sudah mengenai baju bagian dada Yilin. Tiba-tiba pedang Linghu Chong menyambar dan tepat menindih di atas batang pedang Zhong Zhen. Seketika pedang Zhong Zhen menjadi lengket dan berhenti di tengah jalan tanpa bisa bergerak lagi, bagaikan terperangkap oleh jepitan besi yang sangat kuat.

Sekuat tenaga Zhong Zhen berusaha mendorong ke depan, tapi sedikit pun pedangnya tidak mampu bergerak lagi. Pedang yang didorong dan ditahan dari atas itu tampak perlahan-lahan mulai melengkung. Bersamaan itu Zhong Zhen merasakan pula tenaga dalamnya kembali membanjir keluar dengan sangat cepat. Untungnya ia segera menyesuaikan diri dengan menarik pedangnya dan melompat mundur. Namun saat itu semua tenaganya telah habis, dan untuk mengerahkan tenaga baru juga tidak sempat lagi. Maka ketika badannya masih terapung di udara rasanya sudah lemas lunglai. Ia pun jatuh terbanting dengan keras dengan punggung menyentuh tanah lebih dulu, seperti orang biasa yang sama sekali tidak mengerti ilmu silat.

Zhong Zhen meringis dan bermaksud merangkak bangun dengan kedua tangan bertumpu pada tanah. Namun baru saja badannya terangkat sedikit mendadak ia kembali jatuh terbanting. Teng Bagong dan Gao Kexin segera maju untuk memapahnya sambil bertanya, “Kakak, ada apa?”

Sepasang mata Zhong Zhen menatap tajam ke arah Linghu Chong sambil membayangkan saat tenaga dalamnya terhisap keluar tadi. Seketika ia pun teringat pada Ren Woxing, Ketua Sekte Iblis terdahulu yang puluhan tahun silam pernah menggetarkan dunia persilatan. Akan tetapi lawan yang dihadapinya ini terlihat masih muda sehingga tidak mungkin ia adalah Ren Woxing itu. Maka, dengan suara terputus-putus Zhong Zhen pun berkata, “Kau … kau adalah … murid … Ren Woxing! Kau bisa menggunakan … Jurus Penyedot Bintang!”

“Kakak, jadi tenaga dalammu tadi dihisap olehnya?” tanya Gao Kexin kaget.

“Benar,” jawab Zhong Zhen lesu. Namun ketika ia berdiri, tiba-tiba tenaganya terasa mulai pulih kembali.

Rupanya Jurus Penyedot Bintang yang dipelajari Linghu Chong itu belum sempurna benar. Lagipula ia hanya memusnahkan tenaga dalam yang dikerahkan oleh Zhong Zhen melalui batang pedang dan tidak sungguh-sungguh ingin menghisap seluruh tenaga murninya. Hanya saja Zhong Zhen sendiri terlanjur kaget dan ketakutan ketika merasa tenaga dalamnya membanjir keluar tanpa bisa dibendung lagi, sehingga ia pun melompat mundur dan terbanting jatuh dalam keadaan konyol.

Teng Bagong lantas berbisik, “Kakak, sebaiknya kita pergi saja. Lain kali kita bisa membalas kekalahan ini.”

Zhong Zhen segera melambaikan tangan, lalu berseru, “Siluman Sekte Iblis, kau telah menggunakan ilmu sesat, tentu kau akan dimusuhi oleh para kesatria di muka bumi. Hari ini si marga Zhong mengaku bukan tandinganmu. Tapi ribuan kesatria gagah dari kaum aliran lurus seperti kami tidak mungkin sudi bertekuk lutut di bawah ancaman ilmu silumanmu. Adik Teng, Adik Gao, gembong Sekte Iblis sudah muncul kembali. Marilah kita pulang dan melaporkan ini kepada Ketua.” Habis itu ia lantas memutar tubuh ke arah Yue Buqun dan berkata sambil memberi hormat, “Tuan Yue, apakah siluman Sekte Iblis ini mempunyai hubungan denganmu?”

“Huh,” sahut Yue Buqun hanya mendengus tanpa menjawab.

Sebenarnya Zhong Zhen juga tidak berani bersikap kurang sopan di hadapan Yue Buqun. Ia lalu berkata, “Urusan ini kelak pasti akan jelas dengan sendirinya.” Segera ia melangkah pergi bersama kedua adik seperguruannya tanpa berpamitan.

Yue Buqun kemudian melangkah menuruni undak-undakan batu di depan gerbang kantor biro. Dengan nada dingin ia berkata, “Bagus sekali, Linghu Chong! Ternyata kau telah berhasil menguasai Jurus Penyedot Bintang milik Ren Woxing.”

Linghu Chong tidak bisa membela diri karena ia memang telah mempelajari ilmu tersebut meskipun secara tidak sengaja.

Yue Buqun membentak, “Linghu Chong, aku tanya kepadamu. Apa benar demikian?”

“Benar,” jawab Linghu Chong.

Yue Buqun berkata, “Karena benar demikian, sejak hari ini kau menjadi musuh bersama golongan lurus bersih. Sekarang kau terluka parah, aku tidak sudi mengambil keuntungan dengan membunuh orang yang sedang menderita. Tapi kelak jika bertemu lagi, kalau bukan aku yang membunuhmu, maka biarlah kau yang membunuhku.” Kemudian ia berpaling kepada murid-muridnya dan berkata, “Mulai sekarang orang ini adalah musuh bebuyutan kalian. Barangsiapa yang menganggap dia sebagai saudara seperguruan, berarti mengkhianati golongan lurus bersih. Kalian dengar, tidak?”

“Baik, Guru!” jawab murid-murid Perguruan Huashan serentak.

Melihat bibir anak perempuannya bergerak-gerak seperti hendak mengatakan sesuatu, Yue Buqun segera menambahkan, “Shan’er, meskipun kau adalah putriku, tapi peraturan ini juga berlaku untukmu. Kau dengar, tidak?”

Yue Lingshan menunduk dan menjawab lirih, “Dengar.”

Linghu Chong sudah sangat lemas, dan begitu mendengar perkataan itu membuat tenaganya semakin lemas. Tak terasa pedangnya pun jatuh ke tanah dan lututnya terkulai lunglai.

Yihe yang berdiri di dekatnya segera menyangga bahu kanan Linghu Chong, lalu berseru, “Paman Guru Yue, di dalam urusan ini tentu ada kesalahpahaman. Tanpa menyelidiki lebih dulu duduk perkaranya kau lantas begitu saja mengambil keputusan keji seperti tadi. Rasanya kau terlalu tergesa-gesa mengambil kesimpulan.”

“Salah paham bagaimana?” tanya Yue Buqun.

“Yang jelas beberapa kali rombongan Perguruan Henshan kami disergap kaum siluman Sekte Iblis dan mendapat penghinaan, Jenderal Wu inilah yang menyelamatkan kami. Jika dia satu komplotan dengan Sekte Iblis, mana mungkin mau membantu kami dan berbalik menggempur orang-orang Sekte Iblis sendiri?” kata Yihe.  Meskipun ia telah mendengar Yilin memanggil “Kakak Linghu” dan Yue Buqun memanggil “Linghu Chong”, namun ia terlanjur mengenalnya sebagai “Jenderal Wu” sehingga tetap memanggil demikian.

“Kaum Sekte Iblis memiliki banyak tipu muslihat. Hendaknya kalian jangan mudah terjebak olehnya,” ujar Yue Buqun. “Kunjungan kalian ke selatan ini dipimpin oleh biksuni yang mana?”

Menurut dugaan Yue Buqun, para biksuni dan perempuan muda ini tentu telah terpikat oleh Linghu Chong yang pintar bicara dengan kata-kata manis. Hanya biksuni dari angkatan tua Perguruan Henshan dan berpengalaman luas yang dapat menyelami tipu muslihat keji musuh.

Yihe menjawab dengan sedih, “Sayang sekali guru kami Biksuni Dingjing telah dicelakai oleh Sekte Iblis.”

“Haaah!” seru Yue Buqun dan istrinya bersamaan. Mereka terlihat sangat kaget.

Pada saat itulah dari ujung jalan raya satunya tampak berlari seorang biksuni setengah baya sambil berseru, “Ada surat datang dari merpati pos yang dikirim Biara Awan Putih!”

Biksuni setengah baya itu mendekati Yihe lalu mengeluarkan sebuah tabung bambu kecil. Yihe menerima tabung bambu itu dan membuka sumbatnya, lalu mengeluarkan segulung kertas kecil. Perlahan ia membaca isinya kemudian tiba-tiba berseru khawatir, “Wah, celaka!”

Begitu tadi mendengar ada kiriman surat dari Biara Awan Putih, para murid Perguruan Henshan lainnya segera mengerumuni Yihe. Maka begitu melihat wajah Yihe yang sedang cemas, beramai-ramai mereka lantas bertanya, “Ada apa? Apanya yang celaka? Bagaimana isi surat itu?”

“Adik, coba kau baca ini!” kata Yihe sambil menyerahkan surat itu kepada Yiqing.

Yiqing menerimanya dan membaca dengan suara lantang, “Aku dan Adik Dingyi terkepung musuh di Lembah Tempa Pedang dekat Longquan.” Lalu ia menggumam sendiri, “Ini adalah tulisan darah dari … dari Bibi Ketua. Mengapa Beliau sampai berada di Longquan?”

“Ayo kita lekas pergi ke sana!” seru Yizhen.

“Tapi siapa pihak musuh yang mengepung itu?” kata Yiqing.

“Tidak peduli apakah dia setan belang segala. Yang penting kita harus segera berangkat ke sana,” ujar Yihe. “Sekalipun harus mati, biarlah kita mati bersama kedua Bibi Guru saja.”

Yiqing yang mempunyai pikiran panjang tidak segera menjawab. Ia menyadari ilmu silat kedua Bibi Guru sedemikian hebat ternyata mereka masih bisa dikepung musuh. Andaikan rombongan bergegas ke sana juga kemungkinan tiada gunanya.

Maka ia lantas membawa surat berdarah itu mendekati Yue Buqun, kemudian memberi hormat dan berkata, “Paman Guru Yue, menurut surat dari bibi guru kami, Beliau berdua saat ini terkurung oleh musuh di Lembah Tempa Pedang dekat Longquan. Mohon Paman Guru Yue mengingat hubungan abadi sesama Serikat Pedang Lima Gunung dan sudilah untuk turun tangan membantu.”

Yue Buqun menerima surat itu dan membaca isinya, kemudian berkata agak menggumam, “Biksuni Dingxian dan Biksuni Dingyi mengapa bisa sampai ke Zhejiang Selatan? Ilmu silat Beliau berdua sangat tinggi, tapi mengapa bisa terkepung musuh? Ini sangat aneh. Apakah surat ini benar-benar ditulis oleh Beliau?”

“Memang benar, ini tulisan tangan Bibi Ketua,” jawab Yiqing. “Mungkin sekali Beliau sudah terluka, dan dalam keadaan tergesa-gesa surat ini ditulis menggunakan darah.”

“Siapakah musuh yang mengepung itu?” tanya Yue Buqun.

“Kemungkinan besar orang-orang Sekte Iblis. Perguruan kami tidak mempunyai musuh selain mereka,” jawab Yiqing.

Yue Buqun melirik sekejap ke arah Linghu Chong, lalu berkata dengan perlahan, “Bisa jadi pihak Sekte Iblis sengaja membuat surat palsu untuk memancing kalian masuk perangkap mereka. Para siluman itu punya banyak tipu muslihat. Oleh sebab itu kalian harus waspada.”  Ia diam sejenak kemudian melanjutkan, “Masalah ini perlu kita selidiki lebih dulu dengan lebih seksama. Ada baiknya kita pertimbangkan semua masak-masak.”

Yihe yang tidak sabaran segera berteriak, “Kedua bibi guru dalam bahaya, keadaan sangat mendesak. Lebih baik kita lekas-lekas berangkat membantu Beliau berdua. Adik Yiqing, mari kita pergi saja. Paman Guru Yue sedang sibuk, tidak ada gunanya kita memohon-mohon kepadanya.”

Yizhen menambahkan, “Benar. Sedikit saja kita terlambat mungkin akan menyesal selamanya.”

Melihat Yue Buqun enggan memberi bantuan dengan bermacam-macam alasan dan tidak mengindahkan rasa setia kawan sebagai sesama orang persilatan, apalagi sebagai sesama anggota Serikat Pedang Lima Gunung, membuat murid-murid Perguruan Henshan merasa kesal.

Yilin kemudian berkata, “Kakak Linghu, sebaiknya kau merawat lukamu di Fuzhou saja. Setelah kami menyelamatkan Bibi Ketua dan Guru, tentu kami akan datang lagi untuk menjengukmu.”

Namun Linghu Chong berteriak, “Kawanan penjahat kembali mengacau, mana boleh jenderalmu berpangku tangan? Ayo kita berangkat bersama untuk menolong mereka!”

“Tapi … tapi kau terluka. Bagaimana kau sanggup menempuh perjalanan jauh?” ujar Yilin.

“Jenderalmu sudah biasa berkecimpung di medan perang, siap mengorbankan nyawa demi negara. Apa artinya cuma luka kecil begini?” seru Linghu Chong. “Ayolah kita berangkat sekarang juga. Lekas kita pergi!”

Sebenarnya murid-murid Perguruan Henshan tidak yakin mampu menyelamatkan guru mereka. Namun sekarang Linghu Chong ikut berangkat, jelas menambah keberanian mereka. Wajah para biksuni dan perempuan itu terlihat senang. Yizhen pun berkata, “Terima kasih banyak. Kami akan mencari kuda untuk kau tunggangi.”

Linghu Chong menjawab, “Kita semua naik kuda. Pergi ke medan perang kalau tidak naik kuda lantas bagaimana? Ayo berangkat sekarang, ayo berangkat sekarang!” Ia bersikap angkuh karena hatinya geram sekaligus getir melihat Sang Guru begitu tega dan tak berperasaan.

Yiqing kemudian memberi hormat kepada Yue Buqun dan Ning Zhongze sambil berkata, “Jika demikian, kami mohon diri dulu.”

Yihe menyahut dengan kesal, “Huh, untuk apa kau bersikap sopan kepada orang macam ini? Hanya buang-buang waktu saja. Sama sekali tidak punya rasa setia kawan, julukan ‘Si Pedang Budiman’ hanya nama kosong belaka. Masih kalah jauh dengan ….”

“Adik, tidak perlu banyak omong!” seru Yu Sao menukas.

Yue Buqun hanya tersenyum pura-pura tidak dengar. Sebaliknya Lao Denuo lantas melompat maju karena tersinggung gurunya dihina. Ia membentak, “Mulutmu yang kotor bicara apa? Serikat Pedang Lima Gunung kita senapas sehaluan, satu akar dengan banyak cabang. Tapi kalian telah berkomplot dengan bajingan Sekte Iblis bernama Linghu Chong. Perbuatan kalian mencurigakan, sudah tentu guru kami harus mempertimbangkan setiap tindakan lebih dulu. Buktikan kalau kalian bersih dengan membunuh iblis Linghu Chong ini. Jika tidak, Perguruan Huashan kami tidak sudi ikut berkubang lumpur bersama kalian.”

Yihe sangat marah dan menghentakkan kakinya. Ia meraba gagang pedang sambil berkata lantang, “Apa maksudmu dengan kata-kata ‘ikut berkubang lumpur’ segala?”

“Kalian bersekongkol dengan Sekte Iblis, itu artinya ‘ikut berkubang lumpur’,” jawab Lao Denuo.

Yihe menyahut, “Pendekar Linghu seorang budiman sejati, siap mengangkat senjata untuk membela keadilan dan menolong yang kesusahan. Tidak seperti kalian yang menganggap diri sendiri sebagai kesatria, tapi sesungguhnya hanyalah para budiman munafik yang berjiwa rendah dan tidak peduli pada kesulitan orang lain!”

Di dunia persilatan Yue Buqun berjuluk Si Pedang Budiman, sehingga sebutan “budiman munafik” jelas merupakan penghinaan bagi Perguruan Huashan. Maka, Lao Denuo pun melolos pedangnya untuk menusuk ke arah leher Yihe.

Yihe sendiri tidak menduga akan diserang secara mendadak. Ia tidak sempat mencabut pedangnya untuk menangkis. Dalam sekejap ujung pedang lawan sudah mendekati lehernya. Ia pun menjerit kaget. Tapi bersamaan itu tampak beberapa sinar pedang berkelebat. Rupanya ada tujuh pedang sekaligus telah menyerang ke arah Lao Denuo.

Begitu melihat Yihe dalam bahaya, serentak tujuh orang saudarinya bergerak cepat membentuk formasi dan menyerang Lao Denuo dengan pedang masing-masing. Lao Denuo segera mengayunkan pedangnya, namun hanya bisa menangkis pedang yang menusuk ke dadanya saja. Pada saat yang sama terdengar suara robeknya kain. Rupanya enam pedang yang lain sudah merobek bajunya di enam tempat. Setiap robekan ada belasan senti panjangnya. Namun murid-murid Henshan itu tidak bermaksud mencabut nyawanya sehingga serangan tersebut segera mereka tarik kembali begitu menyentuh bajunya. Hanya Zheng E yang paling muda masih kurang terampil dalam mengendalikan pedangnya sehingga tidak hanya merobek lengan baju Lao Denuo, tapi juga melukai tangan kanan orang tua itu.

Lao Denuo sangat terkejut tak terkatakan. Lekas-lekas ia melompat mundur, namun mendadak dari balik bajunya yang robek terjatuh sebuah kitab. Di bawah sinar matahari yang terang semua orang dapat melihat dengan jelas pada sampul kitab itu tertulis judul “Rahasia Ilmu Awan Lembayung”.

Seketika wajah Lao Denuo tampak pucat pasi. Buru-buru ia melompat ke depan untuk memungut kembali kitab yang terjatuh itu, tapi Linghu Chong segera berseru, “Hentikan dia!”

Saat itu Yihe sudah menghunus pedangnya. Dengan cepat ia pun menusuk tiga kali sehingga Lao Denuo terpaksa menangkis dan tidak mampu lagi melangkah maju.

Terdengar Yue Lingshan berkata, “Ayah, mengapa kitab pusaka perguruan kita bisa berada di balik baju Kakak Kedua?”

Linghu Chong pun berteriak, “Lao Denuo, jadi kau yang telah membunuh Adik Keenam, benar tidak?”

Seketika pikiran Linghu Chong pun kembali ke masa lalu saat menyaksikan Lu Dayou si Monyet Keenam yang tiba-tiba tewas secara misterius, disertai hilangnya kitab Rahasia Ilmu Awan Lembayung. Sejak itu ia menjadi tersangka yang selalu dicurigai. Namun kini kitab pusaka tersebut telah ditemukan dari balik baju Lao Denuo yang robek akibat serangan formasi tujuh pedang murid-murid Perguruan Henshan.

“Omong kosong!” seru Lao Denuo yang kemudian berlari ke kiri dan menyusup masuk sekencang-kencangnya ke sebuah gang kecil dan menghilang di sana.

Linghu Chong sangat marah dan berusaha mengejar. Namun baru beberapa langkah ia sudah terhuyung-huyung dan roboh di tanah. Melihat itu Yilin dan Zheng E segera memburu maju untuk memapahnya bangun.

Yue Lingshan memungut kitab Awan Lembayung yang jatuh itu dan menyerahkannya kepada sang ayah, kemudian berkata, “Ayah, ternyata Kakak Kedua yang mencuri kitab ini.”

Wajah Yue Buqun tampak pucat pasi saat menerima kitab itu. Ia kemudian memeriksa dan ternyata memang benar-benar kitab pusaka Perguruan Huashan peninggalan leluhur yang telah lama hilang. Untung saja isinya masih utuh tidak rusak sedikit pun. Ia kemudian berkata dengan gemas, “Ini semua gara-gara dirimu. Kau yang mengambilnya untuk diserahkan pada orang lain sehingga kemudian Lao Denuo bisa mencurinya.”

Yihe yang bermulut tajam segera menggunakan kesempatan itu untuk mengolok-olok, “Nah, itu namanya ‘ikut berkubang dalam lumpur’.”

Sementara itu, Yu Sao telah mendekati Linghu Chong dan bertanya, “Pendekar Linghu, bagaimana keadaanmu?”

Linghu Chong berkata, “Adik seperguruanku telah dibunuh oleh pengkhianat itu. Sayang sekali aku tidak bisa mengejarnya.” Melihat Yue Buqun dan murid-muridnya telah masuk kembali ke dalam rumah dan menutup pintu begitu saja, ia pun berpikir, “Murid pertama telah mempelajari ilmu sesat Sekte Iblis, sedangkan murid kedua mencuri kitab pusaka perguruan dan membunuh sesama saudara, sungguh tidak mengherankan kalau Beliau menjadi gusar.”

Ia kemudian berkata kepada murid-murid Perguruan Henshan, “Guru kalian dalam bahaya, kita tidak boleh membuang-buang waktu. Sekarang yang paling penting adalah kita harus segera pergi menolong Beliau berdua. Si pengkhianat Lao Denuo itu suatu hari nanti pasti akan jatuh ke tanganku.”

Yu Sao berkata dengan gugup, “Tapi keadaanmu … tapi keadaanmu … aih, aku tidak tahu bagaimana mengatakannya.” Perempuan setengah baya ini dulunya adalah pelayan Biksuni Dingxian. Meskipun sekarang ilmu silatnya lumayan tinggi, namun tetap saja pengalamannya terbatas sehingga tidak tahu bagaimana mengungkapkan perasaannya yang terharu sekaligus berterima kasih kepada Linghu Chong.

Linghu Chong sendiri berkata, “Kita harus segera pergi membeli kuda. Tidak perlu tawar-menawar, aku punya cukup uang.” Tangannya kemudian merogoh saku baju dan mengeluarkan sekantong uang emas dan perak yang dirampasnya dari Wu Tiande tempo hari.

Yu Sao menerima uang tersebut. Mereka lantas beramai-ramai menuju ke pasar. Namun sayangnya kuda yang mereka temukan masih kurang dua belas ekor. Terpaksa beberapa murid yang bertubuh ringan pun menunggang secara berboncengan. Setelah dirasa cukup mereka pun berpacu menuju ke utara.

Setelah beberapa kilo meninggalkan Kota Fuzhou, mereka melihat puluhan kuda sedang merumput di sebuah tanah lapang. Tampak pula enam atau tujuh orang prajurit sedang berjaga. Sepertinya kuda-kuda itu memang milik barak militer pasukan kerajaan.

Linghu Chong pun berkata, “Kita rebut saja kuda-kuda itu.”

Yu Sao menjawab, “Tapi kuda-kuda itu milik tentara, rasanya tidak pantas.”

Linghu Chong berkata, “Yang paling penting adalah menolong orang. Tidak peduli itu kuda milik Kaisar juga kalau perlu kita rampas.”

Yiqing menyahut, “Tapi kalau kita menyinggung pejabat kekaisaran dan melanggar hukum bagaimana? Jangan-jangan ….”

“Mana yang lebih penting, menolong guru kalian ataukah mematuhi hukum?” tukas Linghu Chong. “Nenekmu, aku ini Jenderal Wu juga pejabat kekaisaran. Kalau Jenderal minta kuda, mana mungkin keroco-keroco itu berani membantah?”

Yihe yang lugu menjawab, “Benar juga.”

Linghu Chong menambahkan, “Totok saja mereka, lalu bawa kuda-kudanya kemari.”

Yiqing berkata, “Kalau begitu kita ambil dua belas ekor saja.”

“Tidak!” kata Linghu Chong. “Kita ambil semua saja, supaya di jalan bisa bertukar tunggangan.”

Suara Linghu Chong saat memberi perintah terdengar penuh wibawa. Sejak kematian Biksuni Dingjing, murid-murid Perguruan Henshan itu selalu merasa sedih dan cemas, tidak tahu harus berbuat apa. Kini begitu mendengar perintah Linghu Chong, mereka seperti mendapat semangat baru dan segera memacu kuda menuju sasaran. Sebagian dari mereka menotok para prajurit yang sedang berjaga, sedangkan yang lain mengambil puluhan kuda yang sedang merumput.

Para prajurit itu kebingungan karena baru kali ini melihat sejumlah biksuni dan perempuan yang begitu liar. “Apa yang kalian lakukan? Kalian sedang main apa?” seru mereka yang hanya bisa berteriak-teriak, kemudian jatuh ke tanah dan tidak bisa berkutik lagi.

Murid-murid Henshan yang sebagian besar masih muda belia itu bersenda gurau dan tertawa cekikikan. Bagi mereka, mencuri dan merampas adalah perbuatan baru yang sama sekali belum pernah dilakukan. Dengan penuh bersemangat, para biksuni dan perempuan itu melompat ke punggung kuda tersebut dan berpacu melanjutkan perjalanan.

Menjelang tengah hari sampailah mereka di sebuah kota kecil. Penduduk setempat terheran-heran melihat ada rombongan biksuni dan perempuan awam membawa begitu banyaik kuda, dan di antaranya terdapat pula seorang laki-laki.

Selesai mengisi perut, Yiqing merogoh kantong namun uang yang tersisa ternyata tinggal sedikit. Dengan suara lirih ia pun berbisik, “Kakak Linghu, uang kita tidak cukup.”

Rupanya sewaktu membeli kuda di pasar Fuzhou tadi, mereka tidak sempat tawar-menawar karena sangat terburu-buru demi menyelamatkan kedua guru. Akibatnya, saat ini di kantong yang tersisa hanya beberapa keping uang tembaga saja. Maka, Linghu Chong pun berkata, “Tidak apa-apa. Adik Zheng, kau pergilah bersama Yu Sao untuk menjual seekor kuda. Tapi jangan kuda milik pemerintah yang dijual.”

Zheng E dan Yu Sao mengiakan dan segera berangkat. Murid-murid yang lain cekikian sambil diam-diam berpikir, “Yu Sao memang tidak bisa apa-apa, sedangkan Zheng E masih muda dan manis tapi pergi ke pasar menjual kuda. Sungguh pemandangan yang menggelikan.”

Namun pada dasarnya Zheng E memang gadis yang cerdas dan cekatan. Ia belum lama berada di Fujian tapi sudah menguasai ratusan kata bahasa daerah selatan. Itu sebabnya tidak sukar baginya untuk menjual kuda. Tidak lama kemudian ia dan Yu Sao sudah kembali dengan membawa uang untuk membayar tagihan makan dan minum rombongan.

Menjelang senja mereka sampai di sebuah kota yang cukup besar. Di situ terdapat sekitar delapan ratus rumah yang berjajar rapat seperti sisik ikan. Selesai makan malam dan membayar tagihan, ternyata sisa uang hasil penjualan kuda siang tadi tinggal sedikit.

Dengan penuh semangat Zheng E tertawa lalu berkata, “Besok kita jual kuda lagi.”

Tapi Linghu Chong lantas berbisik, “Tidak perlu. Coba kau jalan-jalan keluar, carilah keterangan siapa hartawan paling kaya dan siapa yang paling jahat di kota ini.”

Zheng E manggut-manggut tanda mengerti. Ia pun berangkat dengan mengajak Qin Juan sebagai kawan. Tidak sampai satu jam mereka telah kembali dengan membawa laporan, “Di kota ini hanya ada seorang hartawan kaya raya bermarga Bai. Ia dijuluki Si Tukang Menguliti. Orang ini membuka gadai dan memiliki toko beras serta lain-lainnya. Dari julukannya itu kita dapat membayangkan kalau dia pasti bukan manusia baik-baik.”

“Kalau begitu malam ini kita akan minta sedekah kepadanya,” kata Linghu Chong dengan tertawa.

“Orang seperti itu pasti sangat pelit, mana bisa dimintai sedekah? Jangankan memberi uang sekeping, memberi sesuap nasi saja pasti menolak,” ujar Zheng E.

Tapi Linghu Chong hanya tersenyum dan berkata, “Ayo kita berangkat.”

Sebenarnya hari sudah mulai gelap. Namun demi keselamatan guru mereka, murid-murid Henshan itu tidak berani membantah meskipun harus berjalan sepanjang malam. Segera mereka pun melanjutkan perjalanan menuju ke utara.

Beberapa kilo kemudian mereka telah keluar dari kota. Tiba-tiba Linghu Chong berkata, “Cukup di sini saja. Kita beristirahat dulu.”

Semua orang pun menuruti perkataannya. Mereka lantas duduk-duduk di tepi sungai kecil dekat pegunungan tersebut.

Linghu Chong memejamkan mata dan menenangkan pikiran. Satu jam kemudian barulah ia membuka mata dan berkata kepada Yu Sao dan Yihe, “Kalian berdua masing-masing bawalah enam orang adik pergi minta sedekah kepada Si Tukang Menguliti. Adik Zheng yang akan menjadi penunjuk.”

Yu Sao dan Yihe diam-diam merasa heran, tapi mereka lantas mengiakan.

Linghu Chong melanjutkan, “Paling sedikit kalian harus minta sedekah lima ratus tahil perak, dan paling bagus kalau bisa dua ribu tahil perak.”

Yihe bertanya dengan lantang, “Untuk apa meminta sedekah sebanyak itu?”

“Dua ribu tahil itu kecil. Jenderalmu hanya memandang dengan sebelah mata,” jawab Linghu Chong. “Nanti yang seribu tahil kita pakai sendiri, dan yang seribu dapat kita bagi-bagikan kepada fakir miskin di kota ini.”

Sampai di sini semua orang menjadi paham apa maksudnya. Mereka pun saling berpandangan. Yihe bertanya, “Jadi kau … kau mengajak kami merampok harta si kaya untuk dibagi-bagikan kepada yang miskin?”

“Kita bukannya merampok, tapi minta sedekah kepada orang kaya,” sahut Linghu Chong. “Kita sendiri kehabisan uang saku dan kalau semua uang kita dikumpulkan, paling juga tidak lebih dari dua tahil saja. Kita ini sama miskinnya dengan janda tua. Kalau kita tidak meminta orang kaya untuk memberi sedekah kepada kaum miskin seperti kita ini, lantas bagaimana kita dapat mencapai Lembah Tempa Pedang di Longquan?”

Begitu mendengar Longquan, seketika murid-murid Henshan itu bersemangat dan tidak ragu-ragu lagi. Serentak mereka berseru, “Ayo kita berangkat meminta sedekah!”

Linghu Chong menambahkan, “Minta sedekah dengan cara seperti ini jangan-jangan belum pernah kalian lakukan. Maka nanti harus dilakukan dengan cara lain daripada yang lain. Setibanya di rumah Si Tukang Menguliti, kalian harus menutup wajah menggunakan saputangan. Di waktu minta sedekah juga tidak perlu membuka suara. Asal melihat emas dan perak langsung diambil saja.”

“Kalau dia tidak mau memberi, bagaimana?” tanya Zheng E dengan tertawa.

“Kalau demikian berarti Si Tukang Menguliti adalah orang yang tidak tahu diri,” ujar Linghu Chong. “Para kesatria Perguruan Henshan bukanlah orang sembarangan di dunia persilatan. Meskipun ada orang mengundang kalian untuk meminta sedekah kepadanya dan menjemput dengan joli yang diusung delapan orang juga kalian belum tentu mau datang. Sementara Si Tukang Menguliti hanyalah begundal kecil yang tidak punya kedudukan apa-apa di dunia persilatan. Kalau ada lima belas orang sudi berkunjung ke rumahnya, bukankah ini merupakan suatu kehormatan besar baginya? Tapi kalau dia memang berkepala batu dan tidak sudi bertemu kalian, maka kalian boleh mencoba-coba ilmunya. Lihat saja, apakah Si Tukang Menguliti itu tahan menerima pukulan Adik Zheng?”

Semua orang tertawa mendengar gurauan Linghu Chong itu. Murid yang berwawasan luas seperti Yiqing samar-samar merasa meminta sedekah seperti ini sangat tidak pantas. Hal demikian jelas melanggar tata tertib Perguruan Henshan yang sangat ketat dan melarang segala jenis perampokan. Namun Yihe, Yu Sao, Zheng E, dan dua belas murid lainnya sudah berangkat pergi dengan langkah cepat. Mereka merasa tidak mempunyai pilihan lain.

Sewaktu menoleh, Linghu Chong melihat Yilin sedang memandanginya dengan penuh perhatian. Ia pun tersenyum dan menegur, “Adik cilik, apakah kau menganggap caraku ini tidak benar?”

Yilin agak menunduk untuk menghindari sorot mata Linghu Chong. Perlahan ia menjawab, “Entahlah. Apa pun yang kau katakan, aku … aku selalu menganggapnya benar.”

“Dulu ketika aku ingin makan semangka, bukankah kau pernah pergi ke kebun meminta sedekah satu buah?” kata Linghu Chong.

Wajah Yilin menjadi merah. Teringat olehnya saat mereka berduaan di tengah hutan belantara dulu. Kebetulan saat itu di angkasa terlihat sebuah bintang jatuh berkelebat. Linghu Chong yang juga teringat pada kejadian itu lantas bertanya, “Apakah kau masih ingat pada permohonan yang pernah kau panjatkan waktu itu?”

“Permohonan?” sahut Yilin sambil berpaling kembali. “Kakak Linghu, permohonan waktu itu ternyata terkabul.”

“Benarkah? Permohonan apa?” tanya Linghu Chong.

Yilin menunduk tidak menjawab. Ia hanya membatin, “Aku sudah memohon seribu kali semoga dapat bertemu lagi denganmu. Akhirnya permohonanku benar-benar terkabul juga sekarang.”

Pada saat itulah tiba-tiba dari jauh berkumandang suara derap kaki kuda yang berlari cepat dari arah Yihe dan rombongan. Namun mereka teringat bahwa rombongan tadi berangkat dengan berjalan kaki. Ada apakah sebenarnya yang terjadi?

Serentak semua orang berdiri sambil memandang ke arah datangnya suara. Terdengar seorang perempuan sedang berseru memanggil, “Linghu Chong! Linghu Chong!”

Hati Linghu Chong terguncang begitu mendengar panggilan itu. “Adik Kecil, aku di sini!” jawabnya demikian, karena suara tersebut tidak lain memang suara Yue Lingshan.

Yilin tergetar mendengarnya. Wajahnya berubah pucat dan ia pun mundur dua langkah. Dalam kegelapan tampak seekor kuda putih muncul mendekat. Kira-kira beberapa meter di depan mereka mendadak kuda itu meringkik sambil berjingkrak berdiri dengan kedua kaki belakang, habis itu baru berhenti. Hal ini jelas dikarenakan Yue Lingshan secara tiba-tiba menarik tali kekang kudanya.

Melihat Yue Lingshan datang tergesa-gesa, diam-diam Linghu Chong merasa ada firasat buruk. Ia berseru, “Adik Kecil, apakah Guru dan Ibu Guru baik-baik saja?”

Di bawah sinar rembulan yang remang-remang, Yue Lingshan tampak duduk di atas punggung kuda. Wajahnya hanya terlihat sebelah saja, tapi tampak dingin dan pucat. Gadis itu lalu menjawab dengan ketus, “Siapa guru dan ibu gurumu? Ayah dan ibuku apa ada hubungan denganmu?”

Dada Linghu Chong terasa seperti dihantam palu godam. Memang sikap Yue Buqun sangat bengis kepadanya. Namun, sikap Ning Zhongze dan Yue Lingshan biasanya tidaklah demikian. Mereka masih selalu mengingat akan hubungan baik di masa lalu dan tetap memperlakukannya dengan ramah. Tapi sekarang begitu mendengar Yue Lingshan bersikap galak, membuat Linghu Chong merasa pilu. Ia menjawab, “Aku memang sudah dikeluarkan dari Perguruan Huashan, sehingga tidak berhak memanggil Guru dan Ibu Guru lagi.”

“Sudah tahu begitu, mengapa mulutmu masih terus mengoceh?” omel Yue Lingshan.

Linghu Chong menunduk dengan lesu. Perasaannya seperti disayat-sayat sembilu.

Yue Lingshan menjalankan kudanya ke depan kemudian berkata sambil menjulurkan tangan kanannya, “Berikan kepadaku!”

“Berikan apa?” tanya Linghu Chong lemah.

“Sampai sekarang kau masih berlagak bodoh. Apa kau kira bisa mengelabui aku?” kata Yue Lingshan. Mendadak ia meninggikan suaranya, “Serahkan padaku!”

“Aku tidak mengerti. Apa yang kau inginkan?” tanya Linghu Chong sambil menggeleng.

“Apa yang kuinginkan? Tentu saja Kitab Pedang Penakluk Iblis milik Keluarga Lin!” seru Yue Lingshan.
Linghu Chong tercengang keheranan. Ia lalu bertanya balik, “Kitab Pedang Penakluk Iblis? Mengapa kau memintanya kepadaku?”

“Kalau tidak minta kepadamu, lantas harus minta kepada siapa?” sahut Yue Lingshan. “Aku tanya kepadamu, siapa orang yang telah merampas jubah biksu itu dari rumah tua Keluarga Lin?”

“Itu perbuatan dua orang Perguruan Songshan. Yang satu bernama Bo Chen si Dewa Rambut Putih, dan satu lagi bernama Sha Tianjang si Elang Gundul.”

“Lalu kedua keparat itu dibunuh oleh siapa?” desak Yue Lingshan.

“Aku,” jawab Linghu Chong singkat.

“Dan jubah biksu itu kemudian diambil oleh siapa?” desak Yue Lingshan.

“Aku,” jawab Lingu Chong.

“Bagus! Sekarang serahkan jubah itu!” kata Yue Lingshan.

Linghu Chong berkata, “Tapi aku terluka dan pingsan. Aku kemudian … kemudian ditolong oleh Ibu Gu… oleh ibumu. Sekarang jubah biksu itu tidak lagi berada padaku.”

“Hahahaha!” Yue Lingshan mendadak tertawa sambil menengadah, tapi sedikit pun tidak menunjukkan nada tertawa. Gadis itu kemudian berkata, “Ucapanmu ini seakan-akan hendak mengatakan kalau ibuku telah menggelapkan jubah biksu itu, benar tidak? Huh, bisa-bisanya kau mengucapkan kata-kata rendah dan kotor seperti itu. Sungguh tidak tahu malu.”

Linghu Chong menjatuhkan senjata Teng Bagong dan Gao Kexin.
Yiqing menyerahkan surat darah kepada Yue Buqun.
Kitab Awan Lembayung jatuh dari baju Lao Denuo.
Linghu Chong memimpin rombongan berkuda Perguruan Henshan.
(Bersambung)