Bagian 5 - Tuan Muda Hidup Mengemis


Lin Pingzhi mendengar dari balik semak-semak.
Keadaan kini menjadi sunyi senyap. Selang agak lama, Lin Pingzhi mendengar suara langkah kaki kuda sedang berjalan mendekat. Sesaat kemudian, dua ekor kuda yang masing-masing ditunggangi Fang Renzhi dan Yu Renhao muncul dan melewati jalanan hutan tersebut. Lin Zhennan dan Nyonya Wang tampak berjalan di belakang dengan tangan terikat pada pelana. Hampir saja Lin Pingzhi berteriak memanggil ayah dan ibunya itu namun berhasil menahan diri. Ia sadar, sedikit saja menimbulkan suara tentu akan segera tertangkap dan kehilangan kesempatan membebaskan kedua orang tuanya.
Di belakang Lin Zhennan dan istrinya terdapat seorang pria berjalan terpincang-pincang. Ia tidak lain adalah Jia Renda. Darah terlihat membasahi pembalut warna putih yang membungkus kepalanya. Rupanya sewaktu berada di dapur tadi ia telah dipukul seseorang sehingga Fang Renzhi dan Yu Renhao bergegas mendatanginya. Pada saat itulah si gadis burik masuk ke dalam kedai dan membawa Lin Pingzhi kabur.
“Bangsat! Kalian boleh senang bisa menyelamatkan si anak kelinci itu! Tapi aku masih memiliki dua kelinci tua ini. Setiap saat mereka akan kusiksa sesuka hati. Lihat saja, sampai di Gunung Qingcheng nanti apakah nyawa mereka masih ada!” seru Jia Renda memaki-maki Kakek Sa dan Wan’er yang sudah lama pergi.
Mendengar itu Fang Renzhi membentak, “Adik Jia, ingat baik-baik pesan Guru yang menyuruh kita untuk menangkap Lin Zhennan suami-istri hidup-hidup! Kalau sampai kedua orang ini mati atau cacad, entah berapa banyak lembaran kulitmu yang akan dibeset nanti?”
Jia Renda mendengus dan langsung berhenti memaki.
Lin Pingzhi mendengar orang-orang Qingcheng itu berjalan semakin jauh dan akhirnya lenyap ditelan gelapnya hutan. Hatinya merasa sedikit lega dengan apa yang baru saja ia dengar. “Mereka harus membawa Ayah dan Ibu ke Gunung Qingcheng dalam keadaan hidup. Szechwan terletak sangat jauh di barat sana. Aku masih punya kesempatan untuk menolong Ayah dan Ibu.” Sejenak ia terdiam, kemudian berpikir lagi, “Setelah menemukan cabang Biro Fuwei yang paling dekat dari sini, aku harus segera mengirim surat kepada Kakek di Luoyang.”
Setelah berpikir demikian, Lin Pingzhi mencoba bangkit namun totokan pada tubuhnya ternyata belum terbuka. Terpaksa ia harus sabar menunggu meskipun banyak nyamuk dan serangga menggigit kulitnya. Setelah menahan gatal dan kesal selama beberapa jam, akhirnya ia bisa kembali bergerak. Saat itu matahari telah terbenam dan keadaan menjadi gelap gulita.
“Sebaiknya aku menyamar saja. Tiga bangsat dari Qingcheng itu sudah hafal dengan wajahku. Entah bagaimana aku bisa membebaskan Ayah dan Ibu kalau sampai terbunuh?” Berpikir demikian, Lin Pingzhi segera bergegas menuju kedai kecil tempat keluarganya disekap musuh tadi.
Begitu masuk ke dalam, ia langsung mencari pelita di dapur dan segera menyalakannya. Dicarinya pula seperangkat pakaian untuk menyamar namun tidak juga ia dapatkan. Rupanya suami-istri pemilik kedai ini benar-benar sangat miskin. Mereka bahkan tidak memiliki pakaian ganti.
Merasa kecewa Lin Pingzhi pun berjalan keluar dan menemukan mayat kedua pemilik kedai itu yang dibiarkan tergeletak begitu saja di atas tanah. Terpaksa ia harus menelanjangi mayat si laki-laki dan mengambil pakaiannya. Tiba-tiba angin berhembus memadamkan pelita, sehingga ia merasa ngeri juga berada di dalam kegelapan bersama dua sosok mayat.
Dengan langkah berat, Lin Pingzhi menyeret mayat si suami menuju dapur. Setelah menyalakan pelitanya kembali, ia pun melucuti pakaian pria malang itu. Tak disangka, baunya sungguh memuakkan. Tadinya Lin Pingzhi berniat mencuci pakaian itu terlebih dahulu; namun, begitu teringat keadaan ayah dan ibunya yang harus segera ditolong, ia langsung mengurungkan niat tersebut.
“Jika aku sampai kehilangan kesempatan hanya karena mencuci pakaian kotor ini, aku pasti akan menyesal seumur hidup,” demikian pikirnya.
Tanpa banyak pertimbangan lagi, Lin Pingzhi pun mengganti pakaiannya dengan pakaian pria pemilik kedai tersebut sambil menggertakkan gigi. Mayat pasangan suami-istri itu lalu dikuburnya dalam satu liang. Setelah itu ia juga menemukan senjata ayah dan ibunya yang berserakan di tanah. Dipungutnya pedang dan golok tersebut lalu dibungkusnya menggunakan selembar kain untuk kemudian disembunyikannya di balik baju.
Keadaan malam itu sangat sunyi. Samar-samar hanya terdengar suara katak bertalu-talu. Lin Pingzhi merasa sangat pilu dan hampir saja menjerit keras-keras. Pelita di tangannya pun dilemparkan ke udara hingga akhirnya jatuh ke dalam sebuah kolam di depan kedai. Suasana kini kembali gelap gulita.
“Lin Pingzhi, Lin Pingzhi! Jika kau hanya menuruti amarahmu, maka kau akan lengah dan akhinya jatuh ke tangan Perguruan Qingcheng lagi. Nasibmu tentu tak jauh beda dengan pelita yang tercebur kolam tadi,” teriaknya kepada diri sendiri.
Perlahan ia mengusap matanya yang hampir menangis menggunakan lengan baju. Kembali ia mencium bau busuk dan hampir saja muntah dibuatnya. Namun, hatinya kembali berkata, “Kalau aku tidak dapat menahan bau busuk pakaian ini, maka aku bukan laki-laki sejati.”
Dengan menahan rasa sakit akibat terjatuh dari kuda tadi, Lin Pingzhi melangkah sedikit demi sedikit. Ia terus saja berjalan tanpa kenal arah dan tujuan, naik dan turun menyusuri perbukitan sepanjang malam. Ketika pagi tiba, ia pun tersentak kaget karena matanya disilaukan cahaya matahari yang terbit di ufuk timur.
“Astaga! Bukankah bangsat-bangsat itu membawa Ayah dan Ibu menuju ke Gunung Qingcheng? Szechwan terletak di barat, tapi kenapa aku justru berjalan menuju timur?” Berpikir demikian ia pun berputar balik dan langsung berlari membelakangi matahari. “Ayah dan Ibu sudah berjalan sepanjang malam ke arah barat, sudah pasti aku tertinggal jauh. Tidak mungkin aku bisa mengejar mereka kalau hanya berjalan kaki. Aku harus membeli seekor kuda. Tapi, entah berapa harganya kira-kira?”
Lin Pingzhi meraba saku yang ternyata kosong melompong. Ketika meninggalkan Fuzhou, ayah dan ibunya membungkus sejumlah uang dan perhiasan sebagai bekal mereka dan mengikat bungkusan itu di pelana kuda. Kini kuda itu sudah dibawa serta oleh orang-orang Qingcheng. Lin Pingzhi benar-benar patah semangat. Ia tidak memiliki uang sedikit pun untuk membeli kuda baru.
“Apa yang harus aku lakukan? Apa yang harus aku lakukan?” ujarnya bingung sambil mendongak ke langit. “Aku harus menolong Ayah dan Ibu. Entah bagaimana caranya, aku tidak boleh menyerah!”
Pemuda itu melanjutkan perjalanan menuruni bukit. Menjelang tengah hari ia merasa perutnya sangat lapar. Tiba-tiba matanya melihat beberapa pohon lengkeng sedang berbuah lebat. Meskipun belum matang benar, namun lumayan baginya untuk sekadar mengganjal perut.
Segera dihampirinya pohon itu lalu ia julurkan lengan ke atas untuk meraih buahnya yang ranum. Hampir saja ujung jarinya menyentuh sasaran pada saat hatinya tiba-tiba berontak, “Buah lengkeng ini pasti ada yang memiliki. Mengambil tanpa izin sama artinya dengan mencuri. Keluarga Lin turun temurun melakukan pekerjaan mengawal dan menjaga harta benda milik orang lain; mana boleh sekarang aku mencuri hanya demi mengenyangkan perut sendiri? Jika sampai ada orang yang melihatku dan melapor kepada Ayah, tentu Ayah akan sangat malu. Nama baik Keluarga Lin dan Biro Ekspedisi Fuwei akan tercemar oleh perbuatanku.”
Sejak kecil Lin Pingzhi sering mendapatkan nasihat dari Lin Zhennan bahwa segala kejahatan merampok sesungguhnya berasal dari mencuri. Mula-mula mereka mengambil harta orang lain secara kecil-kecilan, dan perbuatan ini lama-lama menjadi kebiasaan. Setelah kekuatannya bertambah besar, si pencuri akhirnya tidak malu lagi mengambil milik orang lain secara paksa.
Teringat nasihat ayahnya itu, Lin Pingzhi berkeringat dingin. Mulutnya pun mengucapkan tekad, “Suatu hari nanti Ayah dan aku akan membangun kembali Biro Ekspedisi Fuwei. Aku harus selalu bersikap kesatria dan melakukan perbuatan laki-laki sejati. Aku tidak akan mencuri. Lebih baik mengemis daripada mencuri.”
Dengan langkah cepat, Lin Pingzhi melanjutkan perjalanan dan membuang jauh-jauh keinginannya terhadap buah lengkeng tadi, atau buah-buah lain yang ditemuinya di jalan. Sampai akhirnya ia memasuki sebuah desa kecil. Dengan perasaan canggung, ia mulai meminta-minta di depan sebuah rumah. Selama ini ia selalu hidup berkecukupan dan dilayani para pembantu keluarganya; tentu sungguh aneh rasanya kalau sekarang harus mengisi perut dengan cara mengemis. Meskipun hanya mengucapkan satu-dua patah kata, seketika wajahnya langsung merah dan kepala pun tertunduk malu.
Istri si pemilik rumah muncul dengan wajah bengis. Rupanya ia baru saja dimarahi dan dipukul oleh suaminya yang seorang petani. Begitu melihat ada pengemis muda datang ke rumahnya, wanita itu langsung melampiaskan amarahnya habis-habisan.
“Dasar kau maling kecil!” bentaknya sambil mengacungkan sebatang sapu. “Pasti kau yang telah mencuri ayam-ayamku! Kau sudah sering mencuri di sini dan kini berani datang lagi. Gara-gara ulahmu suamiku marah dan memukuli tubuhku. Huh, sekalipun aku mempunyai nasi basi, juga tidak akan kuberikan kepada maling sialan sepertimu!”
Wanita itu mencaci-maki Lin Pingzhi sambil terus mendesak maju. Lin Pingzhi yang merasa serbasalah melangkah mundur sedikit demi sedikit. Wanita itu semakin kesal dan memukulkan sapunya ke wajah Lin Pingzhi. Pemuda itu menjadi gusar. Sambil mengelak ia berusaha membalas dengan sebuah pukulan. Akan tetapi hatinya lantas berbisik, “Sungguh memalukan! Aku berusaha memukul wanita desa ini hanya karena tidak diberi makan.”
Karena berusaha membatalkan pukulannya secara tiba-tiba, ditambah lagi dengan perutnya yang semakin lapar, Lin Pingzhi pun kehilangan keseimbangan. Ia akhirnya terpeleset dan jatuh tertelungkup dengan wajah menimpa kotoran kerbau. Tanpa ampun, sapu wanita itu pun mendarat pula berkali-kali di atas kepalanya.
Melihat keadaan Lin Pingzhi yang konyol, wanita itu tertawa geli dan berkata, “Hahaha. Dasar maling busuk! Kau pantas mendapatkan ini semua.” Usai berkata ia meludahi punggung pemuda itu dan kemudian masuk kembali ke dalam rumah.
Lin Pingzhi sangat gusar tak terkatakan. Dengan susah payah ia mencoba bangkit meskipun kembali jatuh berkali-kali. Wajah dan tangannya penuh dengan kotoran kerbau. Tiba-tiba wanita pemilik rumah itu keluar lagi dengan membawa empat batang jagung rebus yang masih panas.
“Pergilah, setan kecil! Bawa ini untukmu!” katanya sambil menyodorkan jagung itu ke tangan Lin Pingzhi. “Kau ini sebenarnya tampan, bahkan lebih cantik daripada menantu perempuanku. Tapi kau malas bekerja dan menjadi pengemis. Dasar tak berguna!”
Lin Pingzhi semakin gusar. Hampir saja ia membanting jagung-jagung itu ke tanah. Tampak si wanita tertawa dan berkata, “Bagus sekali! Silakan kau buang saja jagung-jagung ini! Buang saja kalau kau memang tidak takut mati kelaparan.”
Dalam hati Lin Pingzhi menyadari kesalahannya, “Demi menyelamatkan Ayah dan Ibu, demi membangun kembali kejayaan Biro Ekspedisi Fuwei, aku harus kuat menahan segala penghinaan. Mulai hari ini aku harus tegar, tak peduli betapa berat penghinaan yang aku terima. Aku hanya perlu menggertakkan gigi dan menerima semuanya. Hanya dihina seorang istri petani rasanya bukan masalah besar.”
Usai berpikir demikian ia pun berkata, “Terima kasih banyak” Tanpa menunggu jawaban, ia segera menggerogoti jagung-jagung tersebut dengan lahap. Karena sangat lapar, keempat jagung rebus itu sudah habis dalam waktu singkat.
Si wanita desa tersenyum dan berkata, “Aku tahu kau tidak akan membuang jagung-jagung ini.” Ia lantas masuk kembali ke dalam rumah sambil menggumam, “Bocah ini terlalu lapar. Sepertinya memang bukan dia yang telah mencuri ayam-ayamku. Huh, andai saja suamiku memiliki kesabaran seperti dia, tentu hidupku akan jauh lebih baik.”

Lebih baik mengemis daripada mencuri.
Lin Pingzhi pun melanjutkan perjalanan dengan semangat baru. Di sepanjang jalan ia mengisi perut dengan cara mengemis atau kadang memakan buah-buahan liar di hutan. Untungnya saat itu Provinsi Fujian sedang mengalami kemakmuran. Panen melimpah ruah sehingga banyak penduduk yang kelebihan bahan pangan. Lagipula, meskipun Lin Pingzhi memoles mukanya dengan lumpur dan kotoran tetap saja tutur bahasanya lembut dan sopan sehingga banyak orang yang senang memberinya sedekah.
Sambil mengemis, pemuda itu juga berusaha mencari informasi tentang keberadaan ayah dan ibunya, meskipun sampai saat ini hasilnya tetap saja nihil. Delapan hari kemudian sampailah ia di Provinsi Jiangxi. Ia kemudian bertanya di mana letak ibu kota daerah itu yang bernama Nancang. Ia berpikir di sana pasti terdapat kantor cabang Biro Ekspedisi Fuwei yang dapat memberinya informasi, atau sekadar uang untuk membeli kuda.
Begitu memasuki Kota Nancang, ia langsung bertanya di mana alamat Biro Ekspedisi Fuwei cabang Jiangxi. Seorang laki-laki menjawab, “Untuk apa kau bertanya soal Biro Fuwei? Perusahaan itu sudah habis terbakar dan rata dengan tanah. Bahkan, tidak sedikit rumah tetangga ikut dimakan api.”
Lin Pingzhi mengeluh dalam hati. Ia pun mendatangi kantor cabang perusahaan keluarganya itu dan melihat dengan mata kepala sendiri betapa yang tersisa di sana hanya tinggal puing-puing reruntuhan saja. Cukup lama ia berdiri mematung sambil menggerutu dalam hati, “Huh, ini pasti perbuatan orang-orang Qingcheng pula. Aku tidak mau mati dulu sebelum bisa membalas sakit hati ini.”
Tanpa menunggu lebih lama, ia pun melanjutkan perjalanan ke arah barat. Beberapa hari kemudian sampailah ia di Changsha, ibu kota Provinsi Hunan. Setelah bertanya kepada penduduk di sana, ternyata kantor Biro Ekspedisi Fuwei di kota ini masih berdiri tegak dan tidak mengalami kebakaran. Seketika perasaannya lega dan ia pun bergegas menuju ke sana dengan langkah lebar.
Lin Pingzhi akhirnya menemukan di mana letak kantor cabang perusahaan keluarganya itu berada. Meskipun tidak semegah gedung pusat di Kota Fuzhou, kantor cabang di Kota Changsa ini terhitung lumayan besar. Tampak pintu utama gedung juga bercat warna merah, dengan dihiasi dua patung singa jantan di kanan-kiri gerbang.
Perlahan-lahan Lin Pingzhi mengintip ke dalam, namun keadaan tampak sangat sepi. Untuk melangkah masuk ke dalam gedung ia merasa ragu-ragu karena keadaannya sangat kotor dan dekil; jangan-jangan para pegawai di situ tidak mengenalinya pula. Ketika mendongak ke atas, dilihatnya papan nama perusahaan tidak terpasang sebagaimana mestinya. Papan yang bertuliskan “Biro Ekspedisi Fuwei Cabang Hunan” itu tampak terbalik cara memasangnya.
“Bagaimana mungkin para pegawai di sini sedemikian ceroboh?” katanya dalam hati.
Lin Pingzhi kemudian memandang ke arah tiang bendera di depan gedung. Betapa terkejut hatinya menyaksikan bukannya panji-panji kebesaran Biro Fuwei yang berkibar, melainkan sepasang sepatu rusak di tiang sebelah kiri, dan selembar celana wanita di tiang sebelah kanan. Celana wanita itu bermotif bunga-bunga dan terlihat robek di sana-sini.
Belum habis rasa herannya tiba-tiba dari dalam kantor keluar seorang laki-laki yang langsung membentak dirinya, “Hei, anak bulus! Apa yang kau lakukan di sini? Mau mencuri, hah?”
Mendengar logat bicara orang itu mirip dengan murid-murid Qingcheng, Lin Pingzhi buru-buru memutar badan untuk segera pergi. Akan tetapi, sebuah tendangan lebih dulu mendarat di punggungnya, membuat pemuda itu jatuh tersungkur.
Lin Pingzhi berniat bangun dan melawan, namun segera ia teringat bahwa menuruti amarah hanya akan merugikan diri sendiri. Justru ini adalah kesempatan yang baik untuk mendapatkan informasi di mana ayah dan ibunya berada. Maka itu, ia pun menenangkan diri dan pura-pura meringis kesakitan. Untungnya, murid Qingcheng tersebut kurang cermat sehingga hanya bergelak tawa sambil memaki, “Dasar anak bulus!”
Setelah orang itu kembali ke dalam, Lin Pingzhi bangun dan berjalan dengan gaya terpincang-pincang memasuki sebuah gang kecil. Di sana ia kembali mengemis dan mendapatkan semangkuk beras untuk mengisi perut.
“Di sekelilingku banyak musuh berkeliaran, aku harus berhati-hati!” katanya dalam hati. Ia kemudian mengusap wajahnya dengan debu dan jelaga sehingga terlihat hitam dan kotor. Sambil menunggu hari gelap, ia pun tidur di sudut gang tersebut.
Ketika malam tiba, Lin Pingzhi bergegas menyusup ke dalam gedung perusahaan. Dengan sebilah pedang disiapkan di pinggang, ia pun mengendap-endap menuju pintu belakang. Setelah yakin keadaan aman, pemuda itu lantas melompati pagar tembok, dan hinggap di pekarangan gedung yang ternyata berupa sebidang kebun sayur. Perlahan-lahan ia menyusuri tembok tersebut selangkah demi selangkah.
Suasana kantor cabang Changsa yang biasanya ramai itu kini telah sunyi sepi dan gelap gulita. Tidak terdengar suara seorang pun, juga tidak terdapat cahaya pelita sedikit pun. Sampai-sampai Lin Pingzhi dapat mendengar suara detak jantungnya sendiri. Dengan tangan meraba-raba tembok, ia terus berjalan perlahan-lahan. Kakinya sangat berhati-hati dalam melangkah jangan sampai tersandung batu atau menginjak ranting kecil agar tidak menimbulkan suara berisik sedikit pun.
Setelah melintasi pekarangan, Lin Pingzhi melihat seberkas cahaya pelita memancar dari arah jendela ruangan sisi timur. Dengan perasaan tegang ia pun merangkak mendekati jendela itu dan kemudian duduk meringkuk di bawah sambil menahan napas. Telinganya lantas mendengar suara orang sedang bercakap-cakap di dalam ruangan tersebut.
“Besok pagi kita bakar saja gedung ekspedisi bulus ini supaya kita tidak perlu tinggal lebih lama di sini seperti orang tolol,” ujar seseorang kepada rekannya.
“Jangan! Tidak boleh!” jawab seorang lainnya. “Kakak Pi dan yang lain telah membakar gedung kantor cabang di Nancang. Konon belasan rumah penduduk di sana ikut terbakar pula. Kejadian seperti ini sudah tentu merugikan nama baik Perguruan Qingcheng kita. Guru pasti akan menghukum mereka.”
Lin Pingzhi merasa geram mendengarnya. Kini ia tidak ragu lagi bahwa pelaku pembakaran kantor cabang Nancang adalah orang-orang Perguruan Qingcheng pula. Namun ia merasa heran mengapa setelah pembantaian besar-besaran itu mereka masih juga mempersoalkan nama baik?
Pembicaraan di dalam terus berlanjut. Terdengar orang yang pertama tadi berkata, “Kalau tidak dibakar, apa terus dibiarkan begini saja? Apa kita tinggalkan dalam keadaan utuh seperti ini?”
Rekannya menjawab, “Adik Ji, kau ini memang suka terburu nafsu. Kita sudah membalik papan nama biro ini; kita juga menggantung celana wanita dan sepatu rusak pada tiang bendera di depan. Nama baik Biro Ekspedisi Fuwei Cabang Hunan sudah kita hancurkan. Jadi, untuk apa lagi kita bersusah payah membakar gedung bulus ini?”
“Kau benar, Kakak Shen,” kata orang pertama yang bermarga Ji sambil tertawa. “Celana wanita robek itu akan memberikan pengaruh buruk bagi Biro Fuwei. Bisa dijamin selama tiga ratus tahun mereka akan bernasib sial terus menerus. Hahahaha...”
Kedua murid Qingcheng itu pun tertawa terbahak-bahak. Si marga Ji kembali berkata, “Besok kita akan pergi ke Kota Hengshan untuk menghadiri upacara yang diadakan Liu Zhengfeng. Hadiah apa yang bisa kita berikan kepadanya? Huh, berita ini sangat mendadak. Kalau hadiah yang kita berikan kurang berharga, tentu akan merusak nama baik Perguruan Qingcheng.”
“Masalah hadiah sudah kupersiapkan dengan baik,” jawab si marga Shen sambil tersenyum. “Kau tidak perlu khawatir. Aku jamin, Perguruan Qingcheng tidak akan kehilangan muka dalam upacara Cuci Tangan Baskom Emas tersebut. Bahkan, hadiah dari perguruan kita pasti menjadi hadiah yang paling istimewa.”
“Hei, hadiah apa itu? Kenapa aku tidak tahu sama sekali?” sahut si marga Ji senang.
Si marga Shen tertawa bangga, lalu menjawab, “Hadiah ini sebenarnya kita ‘pinjam’ dari orang lain. Kita sama sekali tidak perlu keluar uang untuk membelinya. Coba lihat, apakah ini cukup bagus?”
Samar-samar Lin Pingzhi mendengar suara tangan membuka bungkusan atau sejenisnya. Sesaat kemudian terdengar si marga Ji berseru, “Wah, hebat! Kakak Shen, apa kau mempunyai ilmu sihir? Dari mana kau dapatkan benda-benda ini?”
Lin Pingzhi sangat penasaran dan ingin sekali mengetahui benda apa yang sedang dibicarakan kedua orang itu. Namun ia sadar, begitu mengangkat kepala untuk mengintip ke dalam, seketika bayangannya akan terlihat oleh mereka berdua. Maka itu, ia pun berusaha menahan diri dan tetap bersabar.
“Memangnya kita menempati kantor Biro Fuwei ini dengan cuma-cuma?” sahut si marga Shen. “Sepasang kuda kumala ini sebenarnya hendak kupersembahkan kepada Guru; namun sekarang sebaiknya si tua Liu Zhengfeng itu saja yang beruntung mendapatkannya.”
Perasaan Lin Pingzhi kembali bergolak mendengar ucapan si marga Shen. Ia pun menggerutu dalam hati, “Huh, kelakuan Perguruan Qingcheng tidak ada bedanya dengan perampok jalanan. Mereka merampas benda kawalan Biro Fuwei untuk mengambil hati orang lain. Mereka merugikan pihak lain demi mengangkat nama sendiri. Padahal, jika ada benda yang hilang, tentu Ayah yang harus bertanggung jawab mengganti kerugiannya. Dasar keparat!”
Si marga Ji terdengar berkata, “Kakak Shen, hubungan Guru dengan Liu Zhengfeng konon kurang begitu akrab. Apa tidak sebaiknya kita berikan sedikit hadiah saja, sementara sisanya kita bawa pulang?”
“Rupanya kau belum paham juga, Adik Ji,” jawab si marga Shen. “Liu Zhengfeng hendak menggelar upacara Cuci Tangan Baskom Emas. Tentunya dalam acara tersebut banyak tokoh persilatan yang hadir. Sesungguhnya hadiah yang kita bawa ini hanya sekadar untuk pamer, supaya Perguruan Qingcheng tidak dipandang rendah oleh mereka.”
Si marga Ji menjawab, “Kakak Shen memang cerdik.” Ia diam sejenak kemudian melanjutkan, “Tapi, kalau kita... kalau kita pulang ke Szechwan dengan tangan hampa tentu rasanya tidak enak juga.”
“Jangan khawatir!” sahut si marga Shen tenang. “Guru mungkin tidak terlalu peduli dengan benda-benda seperti ini. Yang perlu kita pikirkan justru istri muda Beliau. Ini ada empat bungkusan sudah kupersiapkan. Satu untuk para istri Guru, terutama yang paling muda; satu untuk segenap saudara seperguruan; dan sisa dua bungkus untuk kita berdua. Terserah kau boleh pilih yang mana.”
“Terima kasih, Kakak Shen,” sahut si marga Ji. “Memangnya apa saja isi bungkusan ini?”

Mengintai dari luar jendela.
Lin Pingzhi kembali mendengar suara bungkusan dibuka. Disusul kemudian terdengar suara si marga Ji berseru kaget, “Wah, ternyata isinya emas dan permata! Dasar keparat! Kita sekarang kaya raya! Biro Fuwei memang pandai mengumpulkan harta. Kakak Shen, di mana kau menemukan ini semua? Padahal, sudah kucari belasan kali, sampai-sampai lantai juga kugali; namun tidak juga kutemukan harta benda apapun, selain seratus tael perak saja. Kakak Shen, di mana kau temukan harta karun ini?”
Si marga Shen tersenyum bangga dengan dirinya sendiri. “Harta kekayaan perusahaan ini tidak mungkin disimpan di sembarang tempat. Mungkin kau tidak tahu kalau selama ini aku mengamati kegiatanmu membongkar lemari, mencongkel dinding, dan membobol laci. Sungguh kesibukan yang sia-sia,” ujarnya. “Kita hidup di dunia persilatan tidak boleh hanya mengandalkan ilmu silat belaka, tapi juga ini...” katanya sambil menunjuk kepala sendiri.
Si marga Ji menjawab, “Aku tahu, tapi bagaimana caranya? Kakak Shen, tolong katakan padaku!”
“Coba pikir, apakah menurutmu ada yang aneh dengan tempat ini?” tanya si marga Shen.
“Aneh? Banyak yang aneh menurutku,” sahut si marga Ji. “Perusahaan bulus ini memiliki ilmu silat rendah, tapi berani-beraninya memasang bendera bergambar singa gagah.”
“Maka itu kita menggantinya dengan celana perempuan,” kata si marga Shen sambil tertawa. “Coba kau ingat lagi, apakah ada yang aneh dengan perusahaan pengawalan ini?”
“Aku ingat sekarang,” ujar si marga Ji sambil menepuk pahanya. “Ketua cabang di sini, yaitu Pengawal Zhang telah meletakkan peti mati di dalam kamar tidurnya. Bukankah ini malah membawa kesialan? Hahaha.”
“Gunakan kepalamu!” sahut si marga Shen dengan suara tertahan. “Kenapa dia meletakkan peti mati di dalam kamar tidur? Apakah peti itu berisi jasad istrinya, ataukah anaknya, ataukah orang lain yang sangat dicintainya? Aku rasa tidak. Tentu peti mati itu digunakan untuk menyimpan....”
“Aha!” seru si marga Ji sampai melonjak dari kursinya. “Harta karun ini pasti disimpan di dalam peti mati itu. Keparat! Dasar anak bulus! Kakak Shen, dua bungkusan ini sama beratnya. Mana berani aku mengambil jumlah yang sama denganmu? Sudah seharusnya kau mendapatkan bagian lebih banyak.” Usai berkata, ia lantas membuka bungkusannya dan memindahkan sebagian isinya ke dalam bungkusan si marga Shen. Si marga Shen hanya tersenyum-senyum tanpa menolak sedikit pun.
Si marga Ji kembali berkata, “Sekarang sudah larut malam. Aku akan mengambil air hangat untuk mencuci kaki kita sebelum tidur.” Sambil menguap ia pun mendorong pintu dan berjalan keluar kamar.
Lin Pingzhi memberanikan diri melirik ke dalam melalui celah jendela. Samar-samar ia melihat si marga Ji ternyata bertubuh pendek dan gemuk. Kemungkinan besar orang itulah yang menendangnya tadi siang. Tidak lama kemudian orang bermarga Ji itu telah kembali dengan membawa sebaskom air hangat.
“Kakak Shen,” katanya sambil menyodorkan baskom di tangan. “Kali ini Guru telah mengirim belasan murid untuk menghancurkan Biro Ekspedisi Fuwei. Namun, sepertinya kita berdua saja yang memperoleh harta rampasan paling banyak. Berkat dirimu kita bisa mendapatkan hasil seperti ini. Kelompok Kakak Jiang yang dikirim menyerang cabang Guangzhou, atau kelompok Kakak Ma yang menyerang cabang Hangzhou, mungkin mereka tidak menemukan apa-apa. Meskipun mereka melihat ada peti mati di sana, namun sudah pasti tidak ada yang menduga terdapat harta karun di dalamnya.”
Si marga Shen menjawab, “Kakak Fang dan Adik Yu, serta si bodoh Jia Renda kabarnya telah menklukkan kantor pusat Biro Fuwei di Fuzhou. Tentu mereka mendapatkan hasil yang lebih besar. Akan tetapi sayangnya, putra bungsu guru kita tewas di sana. Sepertinya mereka akan mendapat marah besar.”
“Sebenarnya bukan mereka yang menghancurkan kantor pusat Biro Fuwei di Fuzhou,” sahut si marga Ji. “Kakak Fang dan Adik Yu hanya bertugas mengintai. Guru tidak akan memarahi mereka atas kematian putra bungsu Beliau. Guru memang telah mempersiapkan serangan ini secara besar-besaran. Segenap murid-murid Qingcheng dikirim untuk menghancurkan Biro Ekspedisi Fuwei baik itu pusat ataupun cabang-cabangnya sekaligus. Bahkan, Guru sendiri ikut datang ke Fuzhou untuk membantai para pegawai di sana. Dalam hal ini Guru terlalu berlebihan karena ilmu silat Keluarga Lin ternyata tidak sehebat nama besarnya. Hanya tiga orang saudara kita saja sudah cukup untuk menangkap Lin Zhennan dan istrinya.”
Lin Pingzhi tergetar dan berkeringat dingin begitu mendengar percakapan yang terakhir ini. Ternyata Perguruan Qingcheng sejak awal memang sudah berniat untuk menghancurkan Biro Ekspedisi Fuwei. Bahkan, Yu Canghai sendiri ikut datang ke Fuzhou dan turun tangan secara langsung. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa yang membantai para pegawai ayahnya dengan jurus Tapak Penghancur Jantung tidak lain adalah ketua Perguruan Qingcheng tersebut.
Lin Pingzhi pun bertanya-tanya dalam hati mengapa Perguruan Qingcheng menghancurkan Biro Fuwei? Memangnya ada dendam apa di antara kedua pihak? Ia merasa sedikit lega setelah mengetahui penyebab kehancuran Biro Fuwei ternyata bukan karena perbuatannya yang telah membunuh putra bungsu Yu Canghai. Sebaliknya, rasa dendamnya semakin berkobar-kobar. Andai saja ia tidak ingat kalau ilmu silat lawan lebih hebat, tentu ia sudah menerobos jendela dan mencincang habis kedua murid Qingcheng itu. Samar-samar terdengar mereka berdua sedang mencuci kaki masing-masing.
Si marga Shen berkata, “Guru tidak berlebihan, Adik Ji. Puluhan tahun yang lalu Biro Ekspedisi Fuwei dan Ilmu Pedang Penakluk Iblis pernah menggetarkan dunia persilatan. Mungkin keturunan mereka saja yang terlalu bodoh sehingga tidak becus mewarisi kepandaian leluhur.”
Raut muka Lin Pingzhi langsung berubah merah mendengarnya. Dalam hati ia mengakui kalau ilmu silatnya memang terlalu rendah.
Terdengar si marga Shen melanjutkan, “Sebelum kita berangkat bukankah Guru telah mengajarkan beberapa jurus Ilmu Pedang Penakluk Iblis? Memang sulit untuk mendalami semua jurus yang diajarkan Beliau itu dalam waktu dua bulan. Akan tetapi, aku bisa merasakan di dalam ilmu pedang Keluarga Lin itu tersembunyi banyak kekuatan yang mengerikan. Kau sendiri sudah hafal berapa jurus, Adik Ji?”
Si marga Ji menjawab, “Guru pernah bilang bahwa jurus ini sangat istimewa, bahkan Lin Zhennan sendiri belum menguasainya dengan sempurna. Maka itu, aku jadi malas mempelajarinya. Kakak Shen, kabarnya Guru telah memberi perintah agar kita semua berkumpul di Kota Hengshan. Ini berarti, Kakak Fang akan membawa Lin Zhennan suami-istri ke sana pula, bukan begitu? Aku jadi penasaran ingin melihat seperti apa wajah ahli waris Ilmu Pedang Penakluk Iblis yang luar biasa itu, hahaha.”
Lin Pingzhi terkejut bercampur senang mendengar di mana keberadaan ayah dan ibunya.
“Beberapa hari lagi kau akan bertemu dengannya. Kau bisa belajar langsung kepadanya tentang kehebatan Ilmu Pedang Penakluk Iblis itu, hahaha,” jawab si marga Shen sambil tertawa pula.
Tiba-tiba daun jendela terbuka. Lin Pingzhi terkejut mengira persembunyiannya telah diketahui oleh kedua orang itu. Ketika hendak beranjak pergi mendadak kepalanya sudah basah kuyup tersiram air hangat. Hampir saja ia menjerit kaget. Untungnya setelah itu jendela ditutup kembali dan pelita di dalam kamar dipadamkan pula. Keadaan kini menjadi gelap gulita tanpa cahaya.
Jantung Lin Pingzhi berdebar kencang setelah mengalami kejadian yang sangat mengejutkan itu. Ia baru sadar kalau si marga Ji baru saja membuang air kotor bekas cucian kaki melalui jendela dan tepat menyiram kepalanya. Meskipun demikian, ia merasa gembira karena baru saja memperoleh informasi tentang keberadaan kedua orang tuanya. Jangankan disiram air kotor, disiram air kencing sekalipun juga tidak menjadi masalah baginya.
Suasana malam mulai sepi. Khawatir kedua murid Qingcheng itu mendengarnya melangkah pergi, Lin Pingzhi pun menunggu sampai mereka benar-benar tertidur lelap. Selang agak lama, terdengar suara dengkuran dari dalam kamar. Perlahan-lahan Lin Pingzhi berdiri. Namun seketika ia terkejut dan langsung berjongkok kembali begitu melihat bayangan orang bergerak-gerak di dalam kamar. Setelah diperhatikan dengan seksama, ternyata itu adalah bayangan yang terjadi akibat api pelita bergoyang-goyang tertiup angin malam. Sepertinya si marga Ji lupa mengunci jendela kamar setelah membuang air bekas cucian kaki tadi.
“Ini adalah kesempatan emas untuk membalas dendam,” pikirnya. Pemuda itu lantas menghunus pedang milik ayahnya dan perlahan-lahan masuk ke dalam kamar melalui jendela yang tidak terkunci itu.
Di bawah cahaya rembulan yang menerobos masuk, Lin Pingzhi dapat melihat dua orang tertidur pulas di atas ranjang masing-masing. Yang satu berkepala botak, tidur menghadap dinding; sementara yang satunya lagi tidur terlentang dengan alis tebal dan janggut kasar.
Di antara kedua ranjang itu terdapat sebuah meja di mana lima buah bungkusan serta dua bilah pedang tertaruh di atasnya. Lin Pingzhi mengangkat pedangnya dan mendekati si janggut sambil berpikir, “Dengan sekali tusuk aku bisa membunuh mereka seperti memotong sayur.” Namun, baru saja hendak mengayunkan pedangnya, tiba-tiba ia berpikir, “Tunggu dulu! Membunuh mereka yang sedang tidur adalah perbuatan manusia rendah. Ini bukan perbuatan seorang kesatria. Lebih baik aku memperdalam ilmu silatku lebih dulu, baru kemudian menantang mereka bertarung secara jantan.”
Berpikir demikian, Lin Pingzhi pun menyarungkan kembali pedangnya di pinggang. Perlahan ia mengambil kelima bungkusan di atas meja, kemudian melangkah keluar melalui jendela. Setelah mengikat tiga bungkus harta Biro Fuwei itu di punggung, serta membawa kedua sisanya di tangan kiri dan kanan, ia lalu berjalan dengan sangat hati-hati menuju pekarangan belakang.
Takut menimbulkan suara berisik yang akan membangunkan kedua murid Qingcheng tadi, Lin Pingzhi mendorong pintu belakang dengan sangat perlahan dan keluar meninggalkan gedung kantor cabang perusahaan keluarganya tersebut. Setelah berpikir sejenak untuk membedakan arah, ia lalu berlari menuju gerbang kota sisi selatan.
Saat itu gerbang belum dibuka karena masih tengah malam. Lin Pingzhi terpaksa bersembunyi di balik gundukan tanah sambil beristirahat menunggu fajar tiba. Meskipun demikian, ia tidak bisa memejamkan mata karena jantungnya berdebar kencang, takut kedua murid Qingcheng tadi tiba-tiba muncul mengejar dirinya.
Akhirnya fajar pun menyingsing di ufuk timur. Begitu para petugas membuka gerbang, Lin Pingzhi langsung berlari sekencang-kencangnya meninggalkan Kota Changsa tersebut. Setelah berlari sejauh belasan kilo, ia mulai yakin telah terlepas dari bahaya sehingga memperlambat langkah kakinya. Sejak meninggalkan Fuzhou, baru kali ini hatinya merasa lega; karena selain mengetahui keberadaan ayah dan ibunya, ia juga mendapatkan cukup banyak uang sebagai bekal perjalanan.
Pagi itu ia singgah di sebuah kedai tepi jalan untuk mengisi perut. Di sana ia hanya makan semangkuk bakmi karena khawatir pihak Qingcheng datang mengejarnya. Untuk membayar makanannya, Lin Pingzhi merogoh salah satu bungkusan yang ia bawa dan mengeluarkan sepotong perak. Pemilik kedai segera mengumpulkan semua uang miliknya untuk membayar kembalian namun tetap saja tidak mencukupi. Lin Pingzhi berkata, “Sudahlah, ambil saja semuanya!” Selama masa pelarian itu ia sudah kenyang dihina orang. Baru kali ini sifatnya sebagai seorang majikan muda yang dermawan pulih kembali.
Setelah melewati belasan kilo selanjutnya, Lin Pingzhi sampai di sebuah kota besar. Ia mencari penginapan dan memesan sebuah kamar yang paling mewah. Di dalam kamar itu ia membuka kelima bungkusan yang diambilnya dari cabang Changsa tadi. Ternyata keempat bungkusan yang pertama berisi emas, perak, perhiasan, dan batu permata; sementara bungkusan yang satunya lagi berisi sebuah kotak yang dilapisi kain beludru. Di dalam kotak itu terdapat sepasang patung kuda yang terbuat dari kumala.
“Hanya dari satu cabang saja sudah terkumpul harta karun sebanyak ini. Tidak heran kalau Perguruan Qingcheng begitu serakah ingin menguasai Biro Ekspedisi Fuwei,” demikian pikirnya.
Lin Pingzhi memasukkan beberapa potong perak ke dalam saku sebagai bekal perjalanan, kemudian membungkus sisanya menjadi satu bungkusan besar, untuk kemudian digendongnya di punggung. Setelah meninggalkan penginapan, ia pergi ke pasar membeli dua ekor kuda. Dengan cara menunggangi kedua kuda itu secara bergantian, ia pun melaju sekencang-kencangnya. Setiap hari pemuda ini hanya beristirahat sekitar empat atau lima jam saja.
Setelah melalui perjalanan panjang dan memakan waktu berhari-hari, Lin Pingzhi akhirnya sampai juga di Kota Hengshan. Di sana ia menjumpai begitu banyak kaum persilatan berlalu-lalang di jalan. Khawatir bertemu Fang Renzhi atau murid Qingcheng lainnya, ia pun berjalan menunduk dan berusaha mencari penginapan untuk memperbaiki penyamaran. Tak disangka, penginapan-penginapan di kota itu telah penuh oleh pengunjung.
Salah seorang pemilik penginapan yang ditemuinya berkata, “Tiga hari lagi Tuan Majikan Liu akan mengadakan upacara Cuci Tangan Baskom Emas. Tidak heran kalau semua kamar di penginapan kami telah habis ditempati para tamu Beliau.”
Tanpa kenal menyerah Lin Pingzhi mencari penginapan di pinggiran kota. Akhirnya ia pun menemukan sebuah penginapan kecil yang menyediakan kamar-kamar sederhana.
Setelah menutup pintu dan jendela kamar yang disewanya, pemuda itu berpikir, “Meskipun wajahku kukotori dengan debu dan lumpur, namun bajingan bermarga Fang itu sangat cerdik. Sudah pasti ia dapat mengetahui penyamaranku.”
Berpikir demikian, Lin Pingzhi bergegas pergi membeli tiga lembar koyo di toko obat dan segera kembali ke penginapan. Dua lembar koyo itu lantas ditempelkannya di ujung dahi kiri dan kanan sehingga kedua alisnya tertarik ke bawah. Selembar lainnya ditempelkan di pipi kiri sehingga tepi mulutnya ikut tertarik ke atas dan giginya pun kelihatan. Ketika bercermin, wajahnya terlihat begitu jelek, sampai-sampai ia sendiri muak melihat wajahnya itu.
Kemudian Lin Pingzhi membungkus semua emas dan perak yang ia bawa menjadi satu dan mengikatnya di punggung. Bungkusan tersebut lantas ditutupinya dengan baju luar sehingga wujudnya kini terlihat seperti seorang bungkuk.
“Penampilanku sungguh mengerikan. Jangankan orang-orang Qingcheng, bahkan Ayah dan Ibu mungkin tidak bisa mengenaliku lagi,” demikian pikirnya.

Menyamar sebagai buruk rupa.
(Bersambung)

bagian 4 ; halaman muka ; bagian 6