Bagian 101 - Pertemuan di Puncak Songshan

Rombongan Henshan mendaki Gunung Songshan.


Pada tanggal tiga belas sampailah rombongan Perguruan Henshan di kaki Gunung Songshan. Dua hari kemudian, pada tanggal lima belas pagi-pagi sekali Linghu Chong memimpin rombongan berangkat menuju ke atas gunung. Sampai di pertengahan jalan, di sebuah gardu istirahat mereka disambut empat orang murid Perguruan Songshan. Dengan sangat hormat mereka menyapa, “Kami dari Perguruan Songshan mengucapkan selamat datang dan terima kasih atas kunjungan Ketua Linghu dari Perguruan Henshan. Para paman dari Perguruan Taishan, Hengshan, dan Huashan sudah sejak kemarin tiba lebih dulu di sini. Dengan kedatangan Ketua Linghu bersama para kakak dari Perguruan Henshan, kami sungguh mendapatkan kehormatan besar.”

Linghu Chong melanjutkan perjalanan mendaki ke atas. Rupanya jalur menuju puncak sudah dibersihkan. Di sepanjang jalan pada setiap beberapa li tampak beberapa murid Songshan menyambut dengan menyuguhkan teh dan makanan ringan. Cara mereka menyambut tamu sangat sopan dan teratur. Hal ini menunjukkan betapa rapi persiapan Zuo Lengchan dan sepertinya ia berusaha menggunakan segala cara untuk mendapatkan kedudukan sebagai Ketua Perguruan Lima Gunung.

Dalam perjalanan menuju puncak tersebut terlihat lagi beberapa murid Songshan datang menyambut sebagai pemandu rombongan tamu. Mereka memberi hormat sambil berkata, “Para tokoh dan ketua Perguruan Kulun, Emei, Kongtong, dan Qingcheng juga telah datang di Gunung Songshan ini untuk ikut menyaksikan upacara pemilihan Ketua Perguruan Lima Gunung. Ketua Linghu datang pada saat yang tepat. Para tamu yang lain sudah menunggu di atas sana. Silakan!” Sikap murid-murid Songshan ini sangat angkuh. Kata-kata mereka pun bernada sombong seakan-akan jabatan Ketua Perguruan Lima Gunung sudah pasti akan dipegang oleh perguruan mereka.

Setelah naik lagi sekian lama, terdengar suara gemuruh yang cukup berisik. Tampak dua buah air terjun mengalir deras ke bawah jurang bagaikan dua ekor naga kahyangan yang terbang meliuk-liuk. Rombongan pun berhenti sejenak untuk menyaksikan kedua air terjun tersebut.

Dengan perasaan bangga, murid Songshan yang menjadi pemandu berkata, “Di atas sana itu yang disebut Puncak Kemenangan. Ketua Linghu, menurutmu apakah ada tempat di Gunung Henshan yang bisa dibandingkan dengan tempat ini?”

Linghu Chong menjawab, “Pemandangan di Gunung Henshan sama indahnya dengan Gunung Songshan ini.”

Orang itu berkata, “Gunung Songshan disebut sebagai pusat dunia sejak zaman Dinasti Han dan Dinasti Tang. Songshan juga menjadi kepala dari semua gunung di dunia. Ketua Linghu bisa melihat sendiri betapa indah pemandangan di sini. Tidak heran kalau raja-raja dari berbagai dinasti selalu mendirikan ibu kota di kaki Gunung Songshan.” Di balik ucapannya itu ia hendak mengatakan bahwa Songshan adalah kepala dari semua gunung di dunia, maka Perguruan Songshan juga selalu menjadi pimpinan dari semua golongan persilatan.

Linghu Chong tersenyum dan menjawab, “Kaum persilatan macam kita mana ada hubungan dengan para kaisar dan pembesar negeri? Apakah Ketua Zuo sering berhubungan dengan para pejabat kerajaan?”

Seketika muka murid Songshan itu menjadi merah dan ia tidak berbicara lagi.

Jalanan ke atas untuk selanjutnya semakin curam. Murid Songshan yang menjadi penunjuk jalan tadi kembali berkata sambil menunjuk beberapa tempat, “Yang itu adalah Dataran Lembah Hijau, sedangkan yang itu Puncak Lembah Hijau. Lalu yang ini adalah Jembatan Besi Besar, sementara yang itu adalah Jembatan Besi Kecil. Nah, kalau yang di sebelah kanan itu adalah Jurang Sepuluh Ribu, yang kedalamannya luar biasa.”

Murid Songshan itu kemudian memungut sebongkah batu dan melemparkannya ke bawah. Begitu batu itu membentur dinding jurang terdengar suara yang sangat nyaring dan semakin lama semakin pelan dan akhirnya lenyap. Ini menunjukkan kalau jurang tersebut memang sangat dalam luar biasa.

Tiba-tiba Yihe menyahut, “Bolehkah aku bertanya kepada Saudara, berapa jumlah tamu yang akan datang ke Puncak Songshan?”

“Sekitar dua ribu orang,” jawab orang itu.

Yihe berkata, “Jika setiap ada orang yang datang kau menjatuhkan sebongkah batu ke dalam jurang itu, lama-lama gedung Perguruan Songshan bisa pindah ke sana pula.”

Murid Songshan itu hanya mendengus tidak menanggapi ucapan Yihe.

Setelah melewati suatu tikungan, tiba-tiba kabut datang bertaburan. Kemudian di tengah jalan pegunungan itu tampak belasan laki-laki menghadang dengan senjata di tangan. Salah seorang di antaranya berseru dengan suara seram, “Apakah Linghu Chong akan datang ke sini? Kalau melihatnya, harap kawan-kawan sekalian sudi memberitahukan pada kami.”

Linghu Chong melihat orang yang sedang berbicara itu bercambang pendek, kaku, dan lebat. Wajahnya sangat seram, tapi kedua matanya buta. Ketika melihat orang-orang yang lain, ternyata semua juga buta. Linghu Chong terkesiap dan segera berseru, “Linghu Chong ada di sini. Saudara ada perlu apa?”

Begitu mendengar “Linghu Chong ada di sini”, serentak belasan orang buta itu berteriak-teriak mencaci-maki. Dengan senjata masing-masing mereka menerjang maju sambil berteriak, “Bangsat keparat Linghu Chong, kau telah membuat kami susah! Hari ini, biarlah kami mengadu nyawa denganmu!”

Linghu Chong segera teringat kejadian di sebuah kuil tua saat ia bersama rombongan Perguruan Huashan diserang lima belas orang berkedok. Dengan menggunakan Ilmu Sembilan Pedang Dugu yang baru saja dipelajarinya, Linghu Chong berhasil membutakan semua bola mata para penyerang itu. Tadinya ia tidak tahu asal-usul kelima belas orang tersebut. Namun kini ia menduga mereka pasti orang-orang suruhan Perguruan Songshan.

Dilihatnya keadaan di tempat itu pun cukup berbahaya. Bila kelima belas orang buta tersebut benar-benar mengadu nyawa dengannya, tentu akan sangat fatal akibatnya. Asalkan ada seorang saja yang berhasil memeluk dan mendorongnya, maka bukan mustahil ia akan tergelincir jatuh ke dalam Jurang Sepuluh Ribu dan gugur bersama. Sementara itu murid-murid Songshan yang menjadi pemandu jalan bersikap acuh tak acuh dengan bibir sedikit terangkat seakan-akan bersyukur atas apa yang akan terjadi.

Linghu Chong pun memaklumi karena ia pernah membunuh banyak murid Songshan saat menolong rombongan Perguruan Henshan di Lembah Tempa Pedang, juga membunuh dua sesepuh yang merebut jubah biksu berisi naskah Kitab Pedang Penakluk Iblis di Kota Fuzhou. Maka, dalam pertemuan di Gunung Songshan ini sedikit pun ia tidak boleh lengah. Oleh karena itu, ia hanya bisa bertanya, “Apakah kawan-kawan buta ini murid Perguruan Songshan? Jika benar, sudilah kiranya Saudara memberi perintah agar mereka mau memberi jalan.”

“Bukan, mereka bukan orang kami,” jawab si pemandu jalan sambil tertawa. “Silakan Ketua Linghu sendiri yang membereskan mereka.”

Tiba-tiba terdengar suara seseorang membentak dengan suara menggelegar, “Biar bapakmu ini yang membersihkan jalan!” Suara ini ternyata suara Biksu Bujie yang datang bersama cucu muridnya, yaitu Biksu Bukebujie alias Tian Boguang. Dengan langkah lebar biksu berbadan tinggi besar itu menerjang maju. Sekali gerak ia langsung mencengkeram dua orang murid Songshan, lantas melemparkan tubuh mereka ke arah kawanan orang buta itu sambil berseru, “Ini dia, Linghu Chong telah tiba!”

Serentak kawanan orang buta itu mengayunkan senjata masing-masing. Mereka membacok dan menebas serabutan. Untung kedua murid Songshan itu cukup tangkas. Saat tubuh mereka terapung di udara, mereka sempat mencabut pedang untuk menangkis sambil berteriak, “Kami orang Songshan. Kita kawan sendiri. Lekas menyingkir!”

Mendengar itu kawanan orang buta menjadi kelabakan dan kacau-balau. Mereka berusaha menghindar sedapat mungkin. Namun Bujie sudah lebih dulu menyusul ke depan. Kembali kedua murid Songshan itu tertangkap olehnya. “Jika kalian tidak menyuruh kawanan buta itu enyah dari sini, akan kulemparkan tubuh kalian ke jurang!” bentaknya.

Kemudian sang biksu besar pun mengerahkan tenaga sekuatnya. Kedua murid Songshan itu dilemparkannya ke atas. Meskipun berat badan mereka masing-masing ada lebih dari seratus kati, tapi tenaga Biksu Bujie sendiri terlalu kuat. Sekali lempar, kedua orang itu lantas melayang ke atas beberapa meter tingginya. Tentu saja kedua murid Songshan itu ketakutan setengah mati. Hampir-hampir sukma mereka terbang meninggalkan raga. Terdengar suara keduanya menjerit ngeri, karena membayangkan tubuh mereka pasti hancur lumat begitu terjatuh ke dalam Jurang Sepuluh Ribu yang tak terkira dalamnya.

Namun sebelum kedua orang itu jatuh ke bawah, dengan sangat cepat Biksu Bujie kembali menangkap dan mencengkeram tengkuk mereka lalu mengancam, “Bagaimana? Mau mencoba lagi?”

Salah satu dari mereka berseru ketakutan, “Ti… tidak! Jang… jangan!”

Seorang lagi agaknya lebih pintar. Tiba-tiba saja ia berseru, “Hei, Linghu Chong, hendak lari ke mana kau? Hayo kawan-kawan buta, lekas kejar ke sini. Lekas!”

Mendengar itu kawanan orang buta pun percaya dan serentak mereka mengejar.

Tian Boguang lantas membentak, “Hei, bocah tengik! Nama Ketua Linghu mana boleh kau sebut sembarangan begitu? Ini hadiah untukmu!” Usai berkata ia melayangkan dua pukulan ke wajah orang itu, kemudian berteriak, “Pendekar Linghu ada di sini! Ketua Linghu ada di sini! Orang buta mana yang berani, lekas kemari kalau minta diberi pelajaran!”

Sebenarnya kawanan orang buta itu telah dihasut oleh pihak Songshan agar menuntut balas kepada Linghu Chong. Maka, dengan sabar mereka menanti di jalan pegunungan. Namun ketika mendengar jeritan ngeri kedua murid Songshan tadi, mau tidak mau mereka ikut merasa ngeri juga. Apalagi mereka telah berlari kian-kemari di jalan pegunungan itu dengan mata buta sehingga tidak tahu di mana sasaran sebenarnya. Akhirnya mereka pun bingung sendiri dan hanya bisa berdiri termenung di tempat masing-masing.

Linghu Chong, Biksu Bujie, Tian Boguang, dan murid-murid Perguruan Henshan lainnya segera melewati kawanan orang buta itu untuk melanjutkan perjalanan ke atas. Tidak lama kemudian terlihat dua buah batuan gunung mengapit sebuah celah alam sehingga berwujud bagaikan pintu gerbang. Angin kencang datang meniup keluar dari celah itu disertai kabut awan.

Biksu Bujie tiba-tiba membentak, “Hei, kalian yang suka pamer, apa nama tempat ini? Kenapa kalian berubah jadi pendiam?”

Dengan tersenyum kecut salah satu murid Songshan tadi menjawab, “Ini namanya Gerbang Menghadap Langit.”

Setelah memutar ke arah barat laut dan menanjak tidak seberapa jauh, terdapat sebidang tanah lapang di puncak gunung. Di situ sudah berkumpul ribuan orang. Kedua murid Songshan yang memandu jalan tadi lantas mendahului naik ke situ untuk melapor. Sejenak kemudian terdengar suara tetabuhan menyambut kedatangan Linghu Chong dan rombongannya.

Zuo Lengchan mengenakan jubah kuning kecoklatan tampak datang menyambut disertai dua puluh orang muridnya. Mereka semua serentak memberi hormat kepada rombongan Perguruan Henshan tersebut.

Meskipun kedudukan Linghu Chong saat ini sebagai Ketua Perguruan Henshan, namun ia sudah terbiasa memanggil “Paman Zuo”. Lagipula ia juga berasal dari angkatan yang lebih muda. Maka, sambil membalas hormat ia pun berkata, “Keponakan Linghu Chong memberi hormat kepada Ketua Perguruan Songshan.”

Zuo Lengchan menjawab, “Meskipun berpisah cukup lama, namun Saudara Linghu tampak bertambah gagah. Seorang kesatria muda dan tampan menjadi Ketua Perguruan Henshan, sungguh suatu peristiwa yang jarang ada di dunia persilatan. Selamat!”

Linghu Chong sadar ucapan Zuo Lengchan itu sebenarnya hanyalah olok-olok belaka. Apalagi ucapan selamat tersebut dilakukan dengan wajah datar tanpa senyum sedikit pun. Perkataan Zuo Lengchan itu tidak lain hanya untuk mengejek Linghu Chong sebagai seorang laki-laki namun memimpin kaum biksuni. Apalagi perkataan “muda dan tampan” jelas dalam hal ini bermakna kurang baik.

Maka, Linghu Chong pun menjawab sewajarnya saja, “Ini semua hanyalah wasiat terakhir dari Biksuni Dingxian. Aku hanya ingin membalas kematian kedua biksuni sepuh. Bila tugas membalas dendam sudah tercapai, dengan sendirinya aku akan mengundurkan diri dan menyerahkan jabatan ketua kepada yang lebih bijaksana.” Saat mengucapkan kalimat ini, Linghu Chong menatap tajam ke arah Zuo Lengchan yang diyakininya telah membunuh Biksuni Dingxian dan Biksuni Dingyi di Biara Shaolin. Ia ingin melihat apakah wajah Zuo Lengchan berubah menjadi marah ataukah malu jika disindir seperti itu.

Akan tetapi, raut muka Zuo Lengchan ternyata tidak berubah sedikit pun, bahkan ia berkata, “Serikat Pedang Lima Gunung selamanya senasib sepenanggungan. Bahkan, untuk selanjutnya kelima perguruan akan dilebur menjadi satu sehingga masalah sakit hati kedua biksuni sepuh bukan hanya menjadi urusan Perguruan Henshan belaka, namun juga menjadi urusan Perguruan Lima Gunung kita. Saudara Linghu sudah membulatkan tekad, sungguh patut dipuji.” Ia berhenti sejenak kemudian melanjutkan, “Pendeta Tianmen dari Perguruan Taishan, Tuan Besar Mo dari Perguruan Hengshan, Tuan Yue dari Perguruan Huashan, serta para undangan lainnya sudah berdatangan semua. Silakan Saudara Linghu bertemu dengan mereka.”

“Baik,” jawab Linghu Chong. “Apakah Mahabiksu Fangzheng dari Biara Shaolin dan Pendeta Chongxu dari Perguruan Wudang juga sudah datang?”

Dengan acuh tak acuh Zuo Lengchan menjawab, “Tempat tinggal mereka tidak jauh dari sini. Namun mengingat kedudukan mereka berdua yang tinggi itu, rasanya tidak akan hadir.” Usai berkata demikian, ia memandang Linghu Chong dengan tatapan penuh kebencian.

Linghu Chong tercengang, namun kemudian memakluminya. Tatapan kebencian itu tentu disebabkan oleh rasa cemburu atas kedatangan Mahabiksu Fangzheng dan Pendeta Chongxu secara pribadi ketika dirinya dilantik menjadi Ketua Perguruan Henshan tempo hari.

Pada saat itu tiba-tiba terlihat dua orang murid Songshan berlari dari arah bawah gunung. Melihat cara lari mereka yang terburu-buru, jelas ada suatu urusan penting yang perlu untuk segera dilaporkan. Para hadirin pun tertarik untuk mengetahui apa yang akan terjadi. Dalam sekejap saja kedua orang itu sudah berada di hadapan Zuo Lengchan. Mereka memberi hormat dan berkata, “Guru, Kepala Biara Shaolin Mahabiksu Fangzheng dan Ketua Perguruan Wudang Pendeta Chongxu bersama rombongan masing-masing sedang menuju kemari untuk menyampaikan selamat kepada Perguruan Lima Gunung kita.”

“O, mereka juga hadir? Wah, sungguh suatu kehormatan besar. Aku harus turun untuk menyambut langsung,” kata Zuo Lengchan dengan nada datar seolah tidak terlalu peduli. Meskipun demikian, Linghu Chong dapat melihat tubuh Ketua Perguruan Songshan tersebut agak bergetar menunjukkan perasaan gembira di dalam hatinya.

Para hadirin pun ikut gempar begitu mendengar bahwa ketua-ketua Perguruan Shaolin dan Wudang juga hadir di Puncak Songshan. Serentak mereka ikut di belakang Zuo Lengchan melangkah ke bawah untuk menyambut.

Linghu Chong bersama murid-murid Henshan menyisih ke tepi untuk memberi jalan kepada orang sebanyak itu. Tampak Pendeta Tianmen dari Perguruan Taishan, Tuan Besar Mo dari Perguruan Hengshan, Xie Feng dari Partai Pengemis, Yu Canghai dari Perguruan Qingcheng, Tuan Wen si sarjana, dan tokoh-tokoh persilatan sepuh lainnya ada di antara mereka. Kepada masing-masing pemimpin aliran itu Linghu Chong mengangkat tangan memberi hormat.

Akan tetapi, ada dua orang di antara para hadirin yang tiba-tiba muncul dari balik tembok dan membuat Linghu Chong gugup gemetar. Mereka tidak lain adalah Yue Buqun dan Ning Zhongze yang datang bersama murid-murid Perguruan Huashan. Dengan perasaan pilu Linghu Chong memburu maju, kemudian berlutut dan memberi hormat. “Harap kedua Sesepuh yang mulia menerima hormat Linghu Chong.” Ia tidak berani lagi memanggil “Guru” dan “Ibu Guru”, namun caranya memberi hormat masih sama seperti dulu.

Yue Buqun mengelak ke samping dan menjawab dengan nada dingin, “Untuk apa Ketua Linghu melakukan banyak adat seperti ini? Bukankah malah terlihat aneh dan lucu?”

Linghu Chong bangkit dan mundur ke tepi jalan setelah menyembah kedua orang tua asuhnya itu beberapa kali. Tampak mata Ning Zhongze basah dan merah. Wanita itu berkata, “Kabarnya kau telah menjabat sebagai Ketua Perguruan Henshan. Untuk selanjutnya asalkan kau tidak membuat masalah, aku kira masih banyak kesempatan bagimu untuk membersihkan diri.”

Yue Buqun tertawa dingin, “Dia? Tidak membuat masalah? Itu bisa terjadi kelak jika matahari terbit dari barat. Pada hari dia dilantik menjadi Ketua Perguruan Henshan saja sudah menerima ribuan orang dari golongan hitam, apa ini bukan masalah? Aku juga mendengar dia membantu Ren Woxing membunuh Dongfang Bubai dan merebut kembali kedudukan sebagai Ketua Sekte Iblis, apa itu bukan masalah? Seorang ketua perguruan lurus bersih membantu urusan mahabesar dalam tubuh aliran sesat, apakah ini bukan masalah namanya?”

“Benar, benar,” jawab Linghu Chong. Ia tidak ingin berdebat dengan mantan gurunya itu sehingga memilih untuk mengalihkan pembicaraan, “Dalam pertemuan di Gunung Songshan ini tampaknya Paman Zuo bermaksud melebur Serikat Pedang Lima Gunung menjadi Perguruan Lima Gunung. Entah bagaimana pendapat kedua Sesepuh terhadap urusan ini?”

“Pendapatmu sendiri bagaimana?” Yue Buqun balas bertanya.

“Menurut murid .…”

Yue Buqun tersenyum menyela, “Istilah ‘murid’ tidak perlu kau pakai lagi. Jika kau masih teringat saat-saat dirimu berada di Gunung Huashan dulu, hendaknya kau … kau .…” Ucapan Yue Buqun ini terdengar ramah namun sulit untuk dilanjutkan. Sepertinya ada suatu hal yang ingin ia sampaikan kepada Linghu Chong.

Sejak diusir dari Perguruan Huashan, belum pernah Linghu Chong menghadapi sikap ramah Yue Buqun seperti ini. Seketika ia menjadi senang dan segera menjawab, “Ada perintah apa dari kedua Sesepuh, murid … eh, saya pasti akan melaksanakannya.”

“Aku tidak punya perintah apa-apa,” ujar Yue Buqun manggut-manggut. “Hanya saja kaum persilatan seperti kita sangat mengutamakan budi dan kewajiban. Mengenai bagaimana kau dikeluarkan dari Perguruan Huashan sesungguhnya bukan karena kami yang berhati kejam dan tidak dapat memaafkan kesalahanmu, namun karena kau telah melanggar pantangan besar dalam dunia persilatan. Meskipun sejak kecil kau berada dalam asuhan kami sehingga hubungan kita seperti ayah dan anak, namun aku harus tetap bertindak adil tanpa pilih kasih.”

Mendengar sampai di sini, air mata Linghu Chong berlinang-linang. Dengan tersedu sedan ia berkata, “Budi baik Guru dan Ibu Guru sukar saya balas meski badan ini hancur lebur sekalipun.”

Yue Buqun menepuk-nepuk bahu Linghu Chong dengan perlahan, kemudian berkata, “Kita ini guru dan murid harus beradu senjata saat di Biara Shaolin tempo hari. Sebenarnya beberapa jurus yang kugunakan untuk melawanmu itu mengandung makna yang dalam dengan harapan agar kau bisa mengubah pikiranmu dan kembali ke dalam Perguruan Huashan. Namun sayangnya kau tidak sadar. Sungguh, kejadian itu membuat aku sangat bersedih.”

“Benar, saya pantas mati,” jawab Linghu Chong dengan menundukkan kepala. “Perbuatanku di Biara Shaolin tempo hari sungguh sukar dijelaskan. Saya seperti berada dalam pengaruh setan. Saya ingin dapat kembali mengabdi di bawah pimpinan Guru. Sungguh, inilah cita-cita saya selama hidup ini.”

Yue Buqun tersenyum menjawab, “Aku khawatir kata-katamu ini hanya manis di bibir saja. Sekarang ini kau sudah menjadi Ketua Perguruan Henshan, main perintah sana-sini dengan nyaman, mana mau kembali menjadi muridku? Lagipula melihat ilmu silatmu saat ini, mana pantas aku menjadi gurumu?” Usai berkata demikian ia melirik ke arah Ning Zhongze, istrinya.

Dari nada ucapan Yue Buqun ini terasa kalau ia tidak keberatan untuk menerima Linghu Chong kembali menjadi murid Perguruan Huashan. Segera Linghu Chong berlutut dan berkata, “Guru, Ibu Guru, murid telah banyak berbuat dosa. Untuk selanjutnya, murid berjanji akan memperbaiki kesalahan-kesalahan dahulu dan patuh kepada ajaran Guru dan Ibu Guru. Harapan murid hanyalah kesediaan Guru dan Ibu Guru untuk menaruh belas kasihan dan menerima saya kembali.”

Pada saat itu terdengar suara banyak orang sedang berdatangan. Para hadirin tampak mengiringi Mahabiksu Fangzheng dan Pendeta Chongxu naik ke atas. Segera Yue Buqun berkata dengan suara tertahan, “Lekas kau berdiri. Urusan ini bisa kita rundingkan nanti.”

Linghu Chong sangat senang. Ia menghormat beberapa kali dan mengucapkan terima kasih. Setelah itu, barulah ia berdiri.

Dengan perasaan pilu bercampur senang, Ning Zhongze berkata, “Adik kecilmu dan Adik Lin-mu bulan yang lalu telah … telah menikah.” Nada ucapannya terdengar khawatir kalau-kalau apa yang ia katakan itu akan mengecewakan Linghu Chong. Masalahnya, ia menduga maksud Linghu Chong ingin kembali ke Perguruan Huashan adalah demi Yue Lingshan.

Linghu Chong memang merasa berduka saat mendengar hal itu, meski sebelumnya sudah mendengar dari cerita Yilin. Perlahan ia melirik ke arah Yue Lingshan yang berdiri di belakang sang ibu. Tampak adik seperguruannya itu telah berganti dandanan menjadi seorang nyonya muda. Pakaiannya agak mewah, namun wajahnya masih sama seperti dulu. Tidak ada tanda-tanda riang gembira sebagaimana layaknya seorang pengantin baru. Ketika beradu pandang dengan Linghu Chong, mendadak wajah Yue Lingshan berubah merah dan kemudian menunduk.

Seketika dada Linghu Chong seperti dipukul dengan palu godam keras-keras, mata pun terasa berkunang-kunang. Hampir-hampir ia tidak sanggup berdiri tegak. Sayup-sayup telinganya mendengar seseorang menyapa, “Ketua Linghu, kau adalah tamu dari jauh, tapi malah sudah datang lebih dulu. Biara Shaolin adalah tetangga dekat, tapi si tua ini malah datang terlambat.”

Linghu Chong merasa bahunya dipapah seseorang. Dengan cepat ia menenangkan diri dan memperhatikan siapa yang mendekatinya itu. Ternyata orang itu adalah Mahabiksu Fangzheng yang memandangnya sambil tersenyum simpul. Segera Linghu Chong menjawab, “O, ternyata Mahabiksu Fangzheng. Terimalah hormat saya!”

“Ya, ya,” jawab Fangzheng.

“Sudahlah, kita tidak perlu banyak adat lagi,” sahut Zuo Lengchan. “Kalau setiap orang saling memberi hormat, sampai kapan ribuan orang yang hadir ini bisa tuntas semua? Silakan para hadirin masuk ke dalam Pelataran Samadi dan duduk di sana.”

Para hadirin beramai-ramai mengiakan dan kemudian masuk ke dalam ruang yang ditunjuk Zuo Lengchan.

Puncak tertinggi Gunung Songshan dikenal dengan sebutan Puncak Eji. Di puncak itu dibangun sebuah kuil yang disebut Pelataran Samadi, yang semula merupakan tempat ibadah Agama Buddha. Akan tetapi, sejak beberapa ratus tahun terakhir kuil tersebut menjadi tempat ibadah Agama Tao, kemudian akhirnya menjadi kediaman Ketua Perguruan Songshan. Meskipun nama Zuo Lengchan mengandung unsur “chan”, namun ia bukan seorang pengikut Agama Buddha. Ilmu silat Perguruan Songshan sendiri lebih dekat dengan ajaran Agama Tao.

Para hadirin telah memasuki Pelataran Samadi. Di dalamnya terdapat pekarangan yang penuh dengan pepohonan cemara berusia tua, serta sebuah balai yang bercorak Buddha, meskipun di dalamnya tidak terdapat patung Buddha sama sekali. Balai ini sangat luas, namun masih belum bisa menandingi kemegahan Balai Kesatria Agung milik Biara Shaolin. Tidak sampai seribu orang yang masuk ke dalam balai tersebut, keadaan sudah penuh sesak dan tidak ada lagi tempat untuk berpijak. Sementara itu para hadirin sisanya hanya bisa berdiri di pekarangan kuil saja.

Dengan suara lantang Zuo Lengchan membuka pembicaraan, “Hari ini adalah hari berkumpulnya para anggota Serikat Pedang Lima Gunung. Hari ini kami merasa mendapat kehormatan besar atas kehadiran para kawan dari berbagai aliran persilatan yang ikut menyaksikan peristiwa ini. Sungguh, ini di luar dugaan dan kami sama sekali kurang persiapan. Maka, jika ada kekurangan dalam penyambutan dan pelayanan, harap para hadirin sudi memaklumi dan memberi maaf.”

Seorang hadirin berteriak, “Sudahlah, tidak perlu banyak adat! Yang jadi masalah saat ini adalah jumlah hadirin terlalu banyak, sementara tempatnya terlalu sempit.”

Zuo Lengchan menjawab, “Jika kita mendaki ke atas sekitar dua ratus langkah, di sana terdapat sebuah tempat yang luas bernama Panggung Fengshan yang dulu biasa digunakan para kaisar untuk memuja langit dan bumi. Tempat itu cukup luas untuk menampung kita semua. Namun sayangnya, kita ini hanyalah rakyat jelata. Kalau kita berunding di sana dan sampai terdengar oleh kaum terpelajar yang berwawasan luas, tentu mereka akan mengolok-olok kita sebagai orang-orang tak tahu diri.”

Pada zaman dahulu para kaisar sering melakukan puji syukur atas keberhasilan pemerintahannya dengan memuja langit dan bumi di puncak Gunung Taishan, yang kemudian dipindahkan ke Gunung Songshan. Upacara tersebut juga bertujuan untuk memohon ketentraman negeri. Namun, saat ini yang ada di Puncak Songshan adalah kaum persilatan yang tidak tahu menahu soal pemujaan langit dan bumi. Mereka hanya merasa sesak berada di Pelataran Samadi dan meminta dibawa ke tempat lain yang lebih luas. Jangankan untuk berbicara, untuk bernapas saja rasanya sudah sangat sulit.

Maka dapat ditebak, para hadirin pun tidak peduli dengan nilai keramat yang diceritakan Zuo Lengchan tadi. Beberapa di antara mereka berteriak, “Kita ini tidak sedang merencanakan pemberontakan terhadap Kaisar. Apa peduli kita dengan tempat keramat atau tidak? Kalau ada tempat yang luas dan bagus seperti itu tidak digunakan sekarang lantas mau tunggu sampai kapan? Kalau ada yang mengolok-olok, persetan dengan mereka!” Bersama itu sebagian dari mereka sudah bergegas mendahului berlari ke arah yang ditunjuk sang tuan rumah.

Zuo Lengchan pun berkata, “Baiklah, jika demikian mari kita menuju ke sana!”

Dalam hati Linghu Chong merenung, “Zuo Lengchan sungguh cermat dalam menjalankan siasatnya. Ia sengaja membuat para hadirin merasa sesak berada di tempat ini dan memamerkan sebuah tempat keramat yang lebih luas. Namun, ia sendiri berlagak malu untuk mengajak mereka ke sana dan membiarkan para hadirin itu saling mendesak sendiri untuk berangkat ke sana.” Sejenak kemudian ia kembali berpikir, “Entah tempat macam apa yang dipamerkan Zuo Lengchan itu? Dia menyatakan tempat itu biasanya digunakan oleh para kaisar, dan sekarang dia mengundang para hadirin untuk pergi ke sana. Jangan-jangan Zuo Lengchan berniat ingin menjadi kaisar pula? Mahabiksu Fangzheng dan Pendeta Chongxu mengatakan bahwa orang ini memiliki ambisi yang sangat besar. Setelah melebur Serikat Pedang Lima Gunung, langkah selanjutnya adalah berusaha mencaplok Sekte Matahari dan Bulan, kemudian menghabiskan pula Perguruan Shaolin dan Wudang. Hm, dia dan Dongfang Bubai sepertinya memiliki cita-cita yang sama, panjang umur dan merajai dunia persilatan.”

Tanpa banyak bicara Linghu Chong lantas mengikuti para hadirin lainnya dan akhirnya sampai di tempat pemujaan bernama Panggung Fengshan itu. Kembali ia berpikir, “Mendengar ucapan Guru tadi, sepertinya Beliau memaafkan semua kesalahanku dan mengizinkan aku kembali ke Huashan. Mengapa Guru tiba-tiba berubah menjadi ramah kepadaku? Mungkin Beliau telah mendengar kalau tingkah laku dan perbuatanku di Henshan tetap sopan dan sama sekali tidak menodai nama baik Perguruan meskipun semua anggotanya kaum perempuan. Adik Kecil dan Adik Lin juga baru saja menikah, pasti Guru dan Ibu Guru merasa bersalah kepadaku. Mungkin saja Ibu Guru telah banyak membujuk Guru sehingga Guru akhirnya mengubah sikapnya kepadaku. Hari ini Zuo Lengchan berniat menjalankan rencananya untuk melebur kelima perguruan menjadi satu. Selama Guru masih menjadi Ketua Perguruan Huashan, pasti Beliau akan berusaha sekuat tenaga untuk menentang rencana ini. Beliau bersikap ramah kepadaku tentu mengharapkan dukunganku demi mempertahankan Perguruan Huashan. Baiklah, aku akan mengerahkan yang terbaik demi memenuhi harapan Guru, sekaligus demi menjaga keselamatan Perguruan Henshan.”

Panggung Fengshan terbuat dari batu kasar dan besar, yang dipahat dan ditata sedemikian rupa sehingga menjadi rata. Linghu Chong membayangkan saat Sang Kaisar memerintahkan pembangunan panggung raksasa tersebut, entah berapa banyak tukang batu di zaman dulu yang dikerahkan. Namun jika diamati dengan seksama, ternyata ada beberapa bagian yang nampak baru saja dipahat. Meskipun lumut sudah tumbuh di sana, namun Linghu Chong yakin bahwa panggung batu awalnya dalam keadaan rusak, kemudian Zuo Lengchan memerintahkan para anak buahnya untuk memperbaiki. Hanya saja, Zuo Lengchan berusaha menutupinya, dan semakin ditutup-tutupi justru semakin jelas terlihat.

Di sekitar panggung batu itu terdapat sebuah lapangan yang sangat luas. Di tempat itu semua orang merasa nyaman dan segar melihat puncak-puncak gunung yang tak terhitung banyaknya di bawah Puncak Songshan tersebut. Ditambah lagi hari itu cuaca sedang terang benderang, tanpa segumpal awan sedikit pun yang melayang di angkasa, sehingga pemandangan pun tampak semakin jelas. Linghu Chong memandang jauh ke arah utara dan dapat melihat jalur Sungai Yumen dan Sungai Kuning seperti untaian benang. Di sebelah barat samar-samar ia dapat melihat kota bersejarah Luoyang, sedangkan di tenggara ia bisa melihat lapisan-lapisan pegunungan.

Ia kemudian mendengar tiga orang tua di depannya sedang menunjuk-nunjuk ke arah selatan. Salah seorang berkata, “Yang itu adalah Puncak Beruang Besar, dan yang di sana adalah Puncak Beruang Kecil. Dua puncak yang berdekatan itu adalah Puncak Kumala Kembar. Dan tiga puncak yang berdekatan itu adalah Puncak Tonjolan Tiga.”

Orang tua lainnya berkata, “Gunung di seberang sana itu adalah Gunung Shaoshi, tempat Biara Shaolin yang termasyhur itu berada. Tempo hari aku pernah mengunjungi Biara Shaolin dan merasakan Gunung Shaoshi luar biasa tingginya. Namun jika dipandang dari sini, ternyata masih jauh di bawah Gunung Songshan.” Ketiga orang tua itu lantas tertawa bersama.

Melihat penampilan ketiga orang tua itu, Linghu Chong yakin mereka bukan orang Perguruan Songshan. Namun ucapan mereka itu jelas mengolok-olok Perguruan Shaolin dan meninggikan derajat Perguruan Songshan. Linghu Chong juga dapat merasakan ketiga orang tua itu memiliki tenaga dalam yang sangat tinggi. Ia menduga ketiganya adalah undangan Zuo Lengchan yang sengaja didatangkan untuk membantu bila terjadi sesuatu di luar rencananya. Sepertinya Zuo Lengchan memang mempersiapkan segalanya dengan sangat cermat.

Zuo Lengchan sendiri tampak sedang meminta Mahabiksu Fangzheng dan Pendeta Chongxu untuk naik ke atas panggung batu. Namun dengan tertawa Fangzheng menolak, “Kami berdua orang tua yang sudah lapuk ini hanya datang sebagai penonton saja. Untuk apa kami harus naik panggung dan mempermalukan diri sendiri? Nanti malah ditertawakan banyak orang.”

“Kenapa Mahabiksu berkata demikian, seperti baru kenal saja?” ujar Zuo Lengchan dengan tertawa pula.

“Para tamu sudah hadir semua, silakan Ketua Zuo melaksanakan acara utama dan tidak perlu melayani kami berdua tua bangka,” kata Pendeta Chongxu.

“Baiklah jika demikian,” jawab Zuo Lengchan. Ia kemudian naik ke atas panggung batu tersebut. Setelah naik beberapa puluh undak-undakan, kira-kira masih dua-tiga meter di bawah panggung, ia berhenti kemudian berseru lantang, “Para hadirin yang terhormat!”

Meski lapangan di puncak gunung itu sangat luas dan para tamu juga tersebar di mana-mana sambil menikmati pemandangan, namun ucapan Zuo Lengchan itu dapat didengar oleh setiap orang. Jelas ia berseru sambil mengerahkan tenaga dalam tingkat tinggi. Maka, orang-orang pun serentak berbondong-bondong mendekati panggung dan memperhatikan ucapan sang tuan rumah selanjutnya.

Zuo Lengchan lantas melanjutkan sambil memberi hormat, “Atas kunjungan kawan-kawan sekalian, sungguh aku sangat berterima kasih. Sebelum tiba di sini tentunya kawan-kawan sudah mendengar bahwa hari ini adalah hari bahagia Serikat Pedang Lima Gunung yang akan melebur menjadi satu.”

Ratusan orang yang berkeliling di bawah panggung berteriak ramai, “Benar, benar! Selamat! Selamat!”

“Terima kasih!” kata Zuo Lengchan. “Semuanya, silakan duduk!”

Para hadirin pun serentak duduk di atas tanah. Para murid tampak duduk di dekat ketua perguruan masing-masing.

Zuo Lengchan melanjutkan, “Bahwasanya Serikat Pedang Lima Gunung kami sudah ratusan tahun lamanya berserikat, selamanya satu napas dan satu haluan laksana satu keluarga. Sudah sekian tahun pula aku menjabat sebagai ketua perserikatan ini. Sayangnya, akhir-akhir ini di dunia persilatan telah terjadi banyak peristiwa penting. Aku dan saudara-saudara tertua dari Serikat Pedang Lima Gunung telah berunding. Kami akhirnya sepakat, jika Serikat Pedang Lima Gunung tidak dilebur menjadi satu, maka kelak tentu sangat berat dalam menghadapi kesulitan-kesulitan yang bakal menimpa.”

Tiba-tiba terdengar suara seseorang menyahut dengan nada dingin, “Entah Ketua Zuo pernah berunding dengan saudara tertua dari perguruan mana? Mengapa aku si marga Mo tidak pernah mengetahuinya?” Orang yang berbicara ini tidak lain adalah Tuan Besar Mo, Ketua Perguruan Hengshan. Dari nada bicaranya menunjukkan kalau Perguruan Hengshan tidak sepakat dengan rencana peleburan ini.

Zuo Lengchan menjawab, “Aku telah mengatakan di dunia persilatan telah terjadi banyak peristiwa penting sehingga terpaksa Serikat Pedang Lima Gunung harus dilebur menjadi satu. Salah satu peristiwa penting di antaranya adalah terjadinya saling bunuh dan saling mencelakai di antara saudara-saudara sesama Serikat Pedang Lima Gunung kita. Sepertinya banyak yang sudah lupa tentang semangat kesetiakawanan di antara sesama saudara. Tuan Besar Mo, murid Perguruan Songshan kami, yaitu Adik Fei si Tapak Songyang Besar telah tewas di luar Kota Hengshan. Ada orang yang menyaksikan bahwa pelaku pembunuhan itu adalah kau sendiri, benar tidak?”

Tuan Besar Mo terkesiap mendengarnya. Ia pun berpikir, “Waktu aku membunuh orang bernama Fei Bin itu, yang ada di sana hanya Adik Liu, Qu Yang, Linghu Chong serta seorang biksuni cilik dari Perguruan Henshan. Adik Liu dan Qu Yang beserta cucu perempuannya telah meninggal. Apakah mungkin Linghu Chong yang membocorkan rahasia ini ketika sedang mabuk-mabukan dan kelepasan bicara? Ataukah biksuni cilik yang masih hijau itu yang membocorkan rahasia?”

Sementara itu beribu-ribu pasang mata serentak memperhatikan raut muka Tuan Besar Mo. Namun Ketua Perguruan Hengshan itu ternyata tenang-tenang saja seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Ia menggeleng dan menjawab, “Tidak mungkin, tidak mungkin. Aku yang punya kepandaian rendah ini mana bisa membunuh Si Tapak Songyang Besar?”

Zuo Lengchan menjawab dengan tertawa dingin, “Kalau pertarungan satu lawan satu secara terang-terangan, tidak mungkin Tuan Besar Mo mampu membunuh Adik Fei. Namun saat itu kau menyerangnya secara tiba-tiba menggunakan Jurus Pedang Hantu milik perguruanmu sehingga Adik Fei pun mati tanpa sempat melawan. Kami menemukan mayat Adik Fei sudah dirusak oleh seseorang untuk mengaburkan bukti. Akan tetapi, bekas tusukan pedang tipismu tidak bisa begitu saja ditutup-tutupi. Bukankah kebenaran jika ditutup-tutupi justru akan terlihat semakin nyata?”

Dalam hati Tuan Besar Mo merasa lega. Ternyata tidak ada yang membocorkan peristiwa itu, sedangkan Zuo Lengchan melemparkan tuduhan kepadanya juga berdasarkan hasil pemeriksaan mayat saja. Maka, ia pun memutuskan untuk tidak akan pernah mengakui perbuatan tersebut.

Maka, sambil menggeleng-geleng Tuan Besar Mo berkata, “Huh, kau hanya menduga-duga, sama sekali tidak bisa membuktikannya.” Namun demikian, sejak saat ini permusuhan antara Perguruan Songshan dan Hengshan tidak bisa dihindari lagi. Bahkan, untuk lolos dari Gunung Songshan saja tentu akan sulit luar biasa.

Linghu Chong juga terperanjat mendengar Zuo Lengchan mengorek peristiwa yang terjadi lebih dari setahun yang lalu itu. Saat itu adalah masa di mana ia dan Yilin bertemu Qu Yang dan Liu Zhengfeng di tengah hutan dan mendapatkan warisan kitab musik dari mereka berjudul Menertawakan Dunia Persilatan.

Yue Buqun menepuk bahu Linghu Chong.
Para tamu berkumpul di ruang Pelataran Samadi.
Panggung Fengshan tempat pemujaan kaisar.

(Bersambung)