Bagian 109 - Menagih Hutang Darah

Lin Pingzhi menampar pipi Yu Canghai.

Terdengar Yu Canghai mengolok-olok, “Hm, kalau kau punya nyali untuk balas dendam, seharusnya kau datang sendiri ke Gunung Qingcheng. Namun, kalau kau menantangku ke sini dan secara licik menyiapkan serombongan kaum biksuni untuk ikut mengeroyok aku, huh, sungguh tak tahu malu. Benar-benar menggelikan.”

Yihe tersinggung dan segera menyahut, “Persetan dengan dendam bocah bermarga Lin ini! Kalau kalian mau berkelahi hingga mampus juga Perguruan Henshan kami tidak akan ambil pusing. Huh, kau pendeta pendek sebaiknya jangan omong kosong melulu. Kalau memang takut silakan lari saja, tapi Perguruan Henshan kami jangan dibawa-bawa!” Ia tidak tahu kalau Linghu Chong pernah berhutang nyawa kepada Lin Pingzhi. Yang ia tahu hanya satu, Lin Pingzhi adalah suami Yue Lingshan, dan ia sangat membenci putri Yue Buqun itu.

Yu Canghai sendiri memiliki hubungan akrab dengan Zuo Lengchan. Secara pribadi Zuo Lengchan telah mengundang ketua Perguruan Qingcheng itu untuk hadir di Gunung Songshan sebagai pendukungnya. Sejak berangkat meninggalkan Gunung Qingcheng, Yu Canghai sudah yakin bahwa Zuo Lengchan pasti akan menduduki jabatan ketua Perguruan Lima Gunung. Oleh sebab itu, ia sama sekali tidak ambil pusing terhadap orang-orang Perguruan Huashan yang memusuhinya.

Tak disangka, jabatan ketua Perguruan Lima Gunung ternyata dapat direbut oleh Yue Buqun. Menyadari perubahan yang sangat mendadak ini, Yu Canghai bermaksud meninggalkan Gunung Songshan malam itu juga. Namun sewaktu hendak turun gunung, tiba-tiba Lin Pingzhi menghampirinya. Dengan suara lirih pemuda itu mengajaknya bertemu di pelataran Panggung Fengshan nanti malam. Meskipun suaranya lirih, tapi sikapnya sangat angkuh dan kasar sehingga Yu Canghai merasa gusar melihatnya. Saat itu Yu Canghai berpikir, “Perguruan Huashan baru saja merebut kedudukan, tapi kau sudah bersikap begini sombong. Huh, kau ini masih hijau dan aku tidak takut padamu. Tapi aku tetap harus berhati-hati kalau-kalau kau membawa bala bantuan dan main keroyok.”

Maka, Yu Canghai sengaja datang terlambat ke Panggung Fengshan malam itu untuk memastikan apakah Lin Pingzhi membawa bala bantuan atau tidak. Di luar dugaan, Lin Pingzhi ternyata benar-benar berangkat sendiri ke tempat yang dijanjikan itu, sehingga dalam hati Yu Canghai merasa senang. Maka, ia hanya mengajak dua orang murid saja untuk menemaninya menuju Panggung Fengshan agar tidak dipandang rendah oleh pihak lawan. Murid-murid yang lain lantas menyebar ke sekeliling Puncak Songshan untuk memberikan bantuan jika dianggap perlu.

Ketika sampai di puncak, ternyata di samping Panggung Fengshan banyak orang yang berbaring di situ. Bukan hanya Lin Pingzhi saja yang terkejut, bahkan Yu Canghai juga merasa telah tertipu. Ia merasa seperti seorang ibu berumur tiga puluh tahun yang ditipu bayi kecil. Memang benar ilmu silat Perguruan Qingcheng belum tentu kalah hebat jika dibandingkan dengan ilmu silat Perguruan Henshan. Selain itu, Linghu Chong masih terluka parah akibat pertandingan siang tadi dan ketiga biksuni sepuh juga sudah lama meninggal, sehingga tidak ada jago hebat yang menjadi andalan perguruan ini. Akan tetapi, jumlah orang-orang Henshan di tepi panggung itu jauh lebih banyak, dan sewaktu-waktu mereka dapat membentuk beberapa Formasi Tujuh Pedang yang membuat Yu Canghai merasa agak gentar juga. Untung saja, meskipun secara kasar Yihe menyebutnya sebagai “pendeta pendek”, namun dengan jelas ia menyatakan tidak akan membantu pihak mana pun, sehingga dengan sendirinya perasaan Yu Canghai menjadi lega.

“Baik sekali jika kalian takkan membantu pihak mana pun,” kata Yu Canghai kemudian. “Silakan kalian saksikan bagaimana hasilnya nanti, pertandingan antara ilmu pedang Qingcheng melawan ilmu pedang Huashan.” Sejenak kemudian ia melanjutkan, “Jangan kalian kira dengan kekalahan Kakak Zuo lantas ilmu pedang Yue Buqun sudah dianggap jempolan. Andaikan benar ilmu pedangnya memang nomor satu di dalam Perguruan Lima Gunung, namun ilmu silat tiap-tiap golongan dan aliran di dunia persilatan mempunyai keistimewaan masing-masing. Bagaimanapun tingginya ilmu pedang Perguruaan Huashan juga belum tentu terhitung nomor satu di muka bumi. Menurut pandanganku, ilmu pedang Perguruan Henshan saja sudah jelas lebih bagus.”

Dengan ucapannya itu, pertama ia bermaksud mengadu domba, kedua bertujuan menyenangkan hati murid-murid Henshan agar mereka benar-benar tidak ikut campur dan tidak membantu Lin Pingzhi. Maka, jika bertarung satu lawan satu, sudah dapat dipastikan bocah bermarga Lin itu dapat dikalahkannya dengan mudah.

Menanggapi ucapan Yu Canghai tersebut tak disangka Yihe malah menjawab, “Jika kalian mau berkelahi silakan berkelahi saja sesukamu. Kenapa harus mengganggu ketenangan orang yang hendak tidur? Hm, kau ini tahu aturan atau tidak?”

Diam-diam Yu Canghai sangat gusar. Ia berpikir, “Kurang ajar kaum biksuni busuk ini. Saat ini aku tidak sempat membuat perhitungan dengan kalian. Tapi kelak, jika aku bertemu orang Henshan macam kalian di tempat lain, barulah kalian tahu rasa.” Dasar Yu Canghai memang berjiwa sempit, sudah biasa menganggap dirinya paling hebat, dan angkatan muda kalau tidak menghormatinya tentu akan mendapat kesulitan. Andaikan kata-kata kasar Yihe tadi diucapkan di waktu lain tentu Yu Canghai sudah marah-marah dan mendampratnya.

Sementara itu, Lin Pingzhi bergerak maju dua-tiga langkah, lalu berkata, “Yu Canghai, demi mengincar kitab pedang pusaka keluarga kami, kau telah membunuh ayah dan ibuku, serta membantai puluhan anggota Biro Ekspedisi Fuwei kami. Hutang atas darah ini sekarang juga harus kau bayar.”

Yu Canghai bertambah gusar dan membentak, “Putraku juga mati di tanganmu, binatang! Andaikan kau tidak mencariku, maka aku yang akan mencarimu dan mencincangmu sampai hancur luluh. Dasar anjing kecil, apa kau kira berlindung di bawah kolong Perguruan Huashan lantas bisa menyelamatkan jiwamu?” Usai berkata demikian ia lantas mencabut pedangnya. Meskipun tubuhnya pendek namun pedangnya sangat panjang dan tampak berkilat-kilat diterpa sinar bulan purnama.

Melihat itu, para murid Henshan berpikir, “Pendeta pendek ini sudah lama terkenal di dunia persilatan. Ternyata nama besarnya bukan omong kosong.”

Lin Pingzhi sendiri tidak mengeluarkan senjatanya, namun maju dua langkah sehingga jaraknya dengan Yu Canghai hanya tinggal dua-tiga meter saja. Dengan kepala agak miring, ia pun melotot ke arah pendeta berbadan pendek itu.

Sungguh gusar hati Yu Canghai melihat lawannya belum juga melolos senjata. Ia berpikir, “Berani sekali kau memandang rendah kepadaku? Huh, aku tinggal menggunakan Jurus Naga Terbang dari Telaga Hijau, maka paling tidak perutmu hingga ke tenggorokan akan robek membentuk mulut baru. Yang jadi masalah, kau terhitung angkatan muda, sehingga tidak pantas jika aku menyerang lebih dulu.” Maka ia pun membentak, “Hayo, keluarkan pedangmu!”

Sambil berteriak demikian, Yu Canghai tampak bersiap-siap pula. Rencananya, begitu Lin Pingzhi menyentuh gagang pedang dan menariknya, maka ia akan mendahului membedah perut pemuda itu dengan segera. Dengan demikian, murid-murid Henshan hanya akan memuji kecepatan pedangnya, tetapi tidak akan memakinya berbuat licik.

Melihat gelagat seperti itu, Linghu Chong segera berteriak memperingatkan Lin Pingzhi, “Awas, Adik Lin, dia akan menusuk perutmu!”

Namun Lin Pingzhi hanya tertawa dingin. Tiba-tiba saja ia menerjang ke depan, dan hanya dalam waktu sekejap jaraknya dengan Yu Canghai hanya tinggal beberapa senti saja. Begitu dekat jarak mereka sehingga hidung masing-masing nyaris saling bersentuhan.

Gerakan Lin Pingzhi ini sama sekali tidak terduga sebelumnya. Betapa cepat dan ringan tubuhnya sukar untuk dilukiskan. Karena terjangan Lin Pingzhi yang tiba-tiba merapat dengan cepat, kedua tangan dan pedang yang dipegang Yu Canghai sekarang justru berada di belakang punggung pemuda itu.

Tentu saja Yu Canghai tidak dapat membelokkan pedangnya untuk menusuk punggung Lin Pingzhi. Pada saat itu kedua tangan Lin Pingzhi juga telah bekerja. Tangan kirinya mencengkeram bahu Yu Canghai, sedangkan tangan kanannya menekan ulu hati pendeta pendek itu. Seketika Yu Canghai merasa titik Jianjing di bahunya lemas dan linu, serta lengan kanan pun lumpuh tak bertenaga, sehingga pedangnya terlepas dari genggaman. Hanya sekali gebrak saja Lin Pingzhi sudah menguasai lawan. Gerakannya yang aneh terlihat sama persis dengan gaya serangan Yue Buqun sewaktu mengalahkan Zuo Lengchan tadi sore.

“Dongfang Bubai!” tanpa terasa Linghu Chong dan Ren Yingying saling pandang dan mengucap bersama. Sorot mata mereka sama-sama memancarkan rasa terkejut dan bingung luar biasa, karena jurus yang dipakai Lin Pingzhi ini jelas-jelas sama persis dengan ilmu silat yang digunakan Dongfang Bubai di Tebing Kayu Hitam tempo hari.

Sepertinya Lin Pingzhi tidak mengerahkan tenaga pada telapak tangan kanannya yang menekan ulu hati lawan. Di bawah sinar rembulan tampak sorot mata Yu Canghai memancarkan rasa takut luar biasa. Lin Pingzhi sangat senang melihat musuh bebuyutannya itu telah jatuh ke tangannya hanya dalam sekali gebrak. Namun, ia merasa apabila Yu Canghai langsung dibunuh begitu saja tentu tidak akan setimpal dengan dosa-dosanya.

Pada saat itulah dari jauh terdengar suara Yue Lingshan memanggil-manggil, “Adik Ping, Adik Ping! Ayah menyuruhmu untuk mengampuninya malam ini!” Sambil berseru ia pun berlari-lari menuju ke puncak.

Sesampainya di atas, Yue Lingshan tertegun ngeri ketika tiba-tiba melihat Lin Pingzhi berdiri berhadapan dengan Yu Canghai dalam jarak begitu dekat. Dengan khawatir ia pun memburu maju, namun seketika menjadi lega setelah melihat sebelah tangan Lin Pingzhi sedang mencengkeram titik penting di bahu Yu Canghai, sedangkan tangan yang lain menekan di depan dada musuhnya itu.

“Ayah berkata, bagaimanapun juga hari ini Pendeta Yu adalah tamu kita. Janganlah kita membuat susah kepadanya,” lanjut Yue Lingshan pula.

Lin Pingzhi hanya mendengus. Tangan kirinya yang mencengkeram titik di bahu Yu Canghai itu mencengkeram lebih kuat dengan segenap tenaga dalamnya.

Yu Canghai bertambah kesakitan dan merasa linu pada bahunya itu. Namun, ia lantas dapat mengukur ternyata tenaga dalam pemuda itu hanya sedemikian saja. Yang menjadi masalah baginya adalah saat ini bahunya itu sedang kesakitan dan tidak dapat berkutik karena dicengkeram Lin Pingzhi. Kalau tidak, ia pasti bisa melawan dengan tenaga dalam yang jauh lebih kuat. Seketika hatinya menjadi gemas bercampur kecewa, karena tertangkap oleh musuh yang ilmu silatnya jauh lebih rendah. Bahkan, jika seandainya Lin Pingzhi berlatih sepuluh tahun lagi juga tetap bukan tandingannya.

Begitulah, hanya karena sedikit lengah saja Yu Canghai dapat dibekuk lebih dulu. Hancur sudah nama baiknya selama ini, bahkan kemungkinan besar Lin Pingzhi tidak peduli pada perintah Yue Buqun karena sudah sedemikian berhasrat ingin membalas dendam dendam atas kematian ayah dan ibunya.

Terdengar Yue Lingshan melanjutkan, “Ayah menyuruhmu mengampuni jiwanya hari ini. Untuk menuntut balas bisa dilakukan lain waktu. Tak perlu khawatir dia bisa terbang ke langit.”

Mendadak Lin Pingzhi mengangkat tangan kirinya, kemudian menampar pipi Yu Canghai dua kali. Sungguh gusar hati Yu Canghai tidak kepalang. Namun apa daya, tangan kanan pemuda itu masih menekan ulu hatinya. Meskipun tenaga dalam Lin Pingzhi tidak seberapa, tapi dengan sedikit menambah kekuatan saja sudah cukup untuk membuat jantungnya tergetar pecah. Bila langsung mati rasanya tidak terlalu mengerikan. Yang membuat Yu Canghai khawatir adalah tenaga dalam Lin Pingzhi yang tanggung itu hanya membuat dirinya setengah mati dan setengah hidup. Lantaran berpikir demikian, Yu Canghai pun tidak berani meronta sama sekali.

Setelah menampar dua kali, Lin Pingzhi tertawa panjang sambil melompat mundur beberapa meter jauhnya. Ia kemudian memiringkan wajah dan melotot ke arah Yu Canghai, sedang mulutnya tidak bersuara lagi.

Sebenarnya Yu Canghai bermaksud melabrak musuhnya itu. Namun, mengingat dalam sekali gebrak saja dirinya sudah dapat dibekuk oleh angkatan muda, serta kejadian ini juga disaksikan banyak orang, mau tidak mau ia harus mengurungkan niatnya tersebut. Kalau sekarang dirinya melakukan serangan lagi, ini jauh lebih memalukan daripada kalah dalam sebuah pertarungan. Cara rendah seperti ini bagaimanapun juga tidak boleh dilakukannya.

Di lain pihak, Lin Pingzhi terlihat hanya mendengus, lalu memutar tubuh dan melangkah pergi tanpa memedulikan sang istri. Yue Lingshan membanting kaki mencerminkan hatinya yang sangat kesal. Sekilas ia melihat Linghu Chong duduk di pinggir Panggung Fengshan. Segera ia pun melangkah mendekat dan menyapa, “Kakak Pertama, apakah lukamu sudah … sudah lebih baik?”

“Aku … aku ….” begitu melihat sang adik kecil, seketika jantung Linghu Chong berdebar kencang sehingga mulutnya sukar berbicara.

“Jangan khawatir, dia tidak akan mati!” sahut Yihe ketus.

Yue Lingshan pura-pura tidak mendengar ucapan itu. Matanya memandang Linghu Chong sambil berkata lirih, “Ketika pedangku terlempar, tanpa sengaja ... aku telah melukaimu.”

“Ya,” jawab Linghu Chong. “Tentu saja aku tahu ... tentu aku tahu ... tentu aku tahu ….” Biasanya ia selalu periang namun kini di hadapan sang adik kecil seketika menjadi salah tingkah dan tergagap-gagap. Ia seperti orang bodoh yang mengulangi tiga kali perkataannya, namun sama sekali tidak paham apa yang sedang ia bicarakan.

“Lukamu sangat parah. Aku benar-benar meminta maaf. Tapi tolong, jangan dendam kepadaku,” ujar Yue Lingshan memohon.

“Tidak mungkin ... tidak mungkin aku menyalahkanmu,” jawab Linghu Chong seketika.

Yue Lingshan menghirup napas panjang, kemudian wajahnya menunduk. Perlahan ia berkata, “Aku pergi dulu.”

“Kau sudah mau pergi?” sahut Linghu Chong seperti kehilangan sesuatu.

Dengan kepala tetap menunduk, perlahan-lahan Yue Lingshan melangkah pergi. Ketika hendak turun ke bawah, tiba-tiba ia menoleh dan berkata, “Kakak Pertama, mengenai kedua kakak yang diutus Perguruan Henshan dan yang sekarang masih tertahan di Gunung Huashan akan segera kami antar pulang. Ayah mengatakan perbuatan kami memang kurang sopan. Untuk itu harap dimaafkan.”

“Ya, baik, baik!” sahut Linghu Chong tergagap-gagap. Matanya terus memandang ke arah Yue Lingshan sampai sosok adik kecilnya itu menghilang di balik bebatuan gunung. Seketika ia pun terkenang saat-saat menjalani masa hukuman di Puncak Huashan dulu. Setiap hari Yue Lingshan datang dan pergi mengantarkan makanan untuknya, dan ia selalu memandangi kepergiannya seperti ini. Namun, pada akhirnya perasaan sang adik kecil berpindah kepada Lin Pingzhi.

Tiba-tiba terdengar Yihe mengejek, “Huh, di mana letak kebaikan perempuan seperti dia? Hatinya mendua dan gampang beralih. Ia suka memperlakukan orang lain tanpa ketulusan. Dibandingkan dengan Nona Besar Ren kita masih kalah jauh. Ia bahkan tidak pantas menjadi tukang gosok sepatu Nona Besar Ren.”

Linghu Chong terkejut dan baru sekarang ia teringat kalau Ren Yingying juga berada di tempat itu. Padahal, ia tadi telah bersikap linglung saat berhadapan dengan Yue Lingshan. Seketika wajah Linghu Chong menjadi merah. Perlahan-lahan ia melirik ke arah Ren Yingying yang tampak bersandar pada dinding Panggung Fengshan dalam keadaan mengantuk. Diam-diam ia berharap semoga gadis itu benar-benar tertidur sehingga tidak menyaksikan kejadian-kejadian tadi. Namun, Ren Yingying seorang gadis yang cerdik dan cermat, mana mungkin dalam keadaan seperti ini ia tertidur?

Linghu Chong merasa serbasalah namun ia juga sadar tidak ada gunanya berbicara mengada-ada untuk menghibur perasaan Ren Yingying. Benaknya pun bekerja mencari akal. Sungguh aneh, saat menghadapi Yue Lingshan ia menjadi gugup, tapi saat menghadapi Ren Yingying seketika pikirannya menjadi pintar. Jika tiada sesuatu yang dapat dibicarakan, maka cara yang paling baik adalah tidak berbicara apa-apa, tetapi mengalihkan perhatian Ren Yingying ke urusan lain. Maka, perlahan-lahan Linghu Chong pun menyandarkan dirinya pada dinding panggung, kemudian ia merintih perlahan seakan-akan lukanya terbentur sesuatu dan kembali terasa sakit.

Benar juga, Ren Yingying seketika menjadi khawatir. Gadis itu segera mendekat dan bertanya dengan suara lirih, “Apakah lukamu kembali sakit?”

“Tidak apa, tidak apa,” sahut Linghu Chong sambil memegangi tangan si nona. Ren Yingying bermaksud melepaskan tangannya tapi genggaman Linghu Chong terasa sangat kencang. Khawatir kalau gerak tangannya justru membuat luka Linghu Chong kambuh, terpaksa Ren Yingying membiarkan tangannya digenggam erat-erat.

Rupanya Linghu Chong sangat letih karena terlalu banyak kehilangan darah. Tidak lama kemudian ia pun kembali tertidur pulas. Esok paginya ketika terbangun, ternyata sinar matahari sudah memenuhi puncak pegunungan itu. Entah berapa lama ia tertidur, tak seorang pun berani bersuara, apalagi membangunkannya. Ternyata tangan Ren Yingying juga telah lepas dari genggamannya, namun sepasang mata gadis itu tetap memandanginya dengan sorot penuh perhatian. Linghu Chong tersenyum kepadanya, kemudian perlahan-lahan bangkit untuk duduk.

“Mari kita pulang ke Henshan saja!” seru Linghu Chong.

Sementara itu, Tian Boguang telah menyiapkan sebuah usungan kayu, lalu bersama dengan Biksu Bujie, mereka menggotong tubuh Linghu Chong turun dari Puncak Songshan tersebut.

Ketika melewati halaman utama markas Perguruan Songshan, tampak Yue Buqun dan beberapa murid berdiri di depan pintu, sedangkan Ning Zhongze dan Yue Lingshan tidak ada di antara mereka. Dengan muka berseri-seri, Yue Buqun tersenyum mengantarkan kepergian rombongan Perguruan Henshan itu.

“Murid tidak dapat memberi hormat kepada Guru, mohon dimaafkan” ujar Linghu Chong.

“Tidak perlu, tidak perlu,” jawab Yue Buqun. “Nanti kalau lukamu sudah sembuh barulah kita berbicara lebih lanjut. Sebagai ketua Perguruan Lima Gunung, tidak ada yang dapat kuandalkan selain dirimu. Mulai saat ini aku akan banyak membutuhkan bantuanmu.”

Linghu Chong tidak menjawab, hanya bibirnya berusaha tersenyum untuk menanggapinya.

Rombongan Perguruan Henshan itu kembali melanjutkan perjalanan turun gunung. Tian Boguang dan Biksu Bujie mengusung sang ketua dengan langkah sangat cepat. Dalam sekejap saja mereka sudah jauh meninggalkan Puncak Songshan tersebut. Sesampainya di kaki gunung barulah mereka menyewa dua buah kereta keledai dan kemudian mempersilakan Linghu Chong dan Ren Yingying masuk ke dalamnya. Masing-masing duduk dalam kereta yang berbeda. Di dalam kereta itu, Ren Yingying melepas penyamarannya dan kembali tampil sebagai wanita.

Ketika malam tiba sampailah mereka di sebuah kota kecil. Di sana mereka melihat sebuah kedai minuman beratap bambu yang penuh dengan tamu sedang beristirahat. Para tamu itu ternyata orang-orang Perguruan Qingcheng, di mana Yu Canghai tampak berada di dalamnya.

Melihat kedatangan rombongan orang-orang Henshan tersebut, raut muka Yu Canghai berubah seketika. Buru-buri ia sengaja berpaling ke arah lain dan pura-pura tidak tahu.

Karena di kota kecil itu tiada kedai lain, terpaksa orang-orang Henshan pun mencari tempat duduk di teras rumah penduduk di seberang jalan. Zheng E dan Qin Juan lantas masuk ke dalam kedai untuk memesan beberapa poci teh hangat, terutama untuk Linghu Chong.

Tiba-tiba terdengar suara derap kaki kuda melaju dari kejauhan. Debu mengepul tinggi dan tak lama kemudian terlihat dua orang penunggang melaju dengan kecepatan tinggi. Sesampainya di depan kedai, tiba-tiba keduanya menarik tali kendali untuk menghentikan laju kuda masing-masing. Ternyata kedua penunggang yang datang itu adalah pasangan suami-istri Lin Pingzhi dan Yue Lingshan.

Lin Pingzhi pun berteriak, “Yu Canghai, kau pasti sadar kalau aku tidak akan memberimu kesempatan untukmu beristirahat. Mengapa kau tidak lekas-lekas melarikan diri?”

Linghu Chong yang masih duduk di dalam kereta dapat mengenali suara itu. Ia pun bertanya, “Apakah Adik Lin yang datang?”

Qin Juan yang duduk di sampingnya sambil menghidangkan teh segera menyingkap tirai kereta agar Linghu Chong dapat melihat ke luar. Tampak Yu Canghai duduk di atas bangku sedang meneguk secangkir teh panas. Mula-mula ia berlagak tidak memperhatikan, dan setelah isi cawannya habis barulah ia menjawab, “Hm, aku memang sedang menunggumu di sini kalau-kalau kau ingin mengantarkan nyawa.”

“Baik!” sahut Lin Pingzhi. Begitu kata itu terucapkan, tahu-tahu pedangnya sudah terhunus dan ia pun melompat turun dari kudanya. Pedangnya menusuk sekali ke samping, kemudian ia hinggap kembali ke atas punggung kudanya. Sekali menghentak, kudanya pun kembali melaju kencang bersama Yue Lingshan. Tahu-tahu seorang murid Qingcheng yang berdiri di tepi jalan sudah roboh terkulai. Darah segar pun menyembur keluar dari dadanya.

Serangan Lin Pingzhi tadi sungguh tak terduga sebelumnya. Sambil menjawab “baik” ia telah melolos pedang dan melompat turun dari kuda, sepertinya hendak melabrak Yu Canghai. Hal ini sebenarnya sangat kebetulan bagi ketua Perguruan Qingcheng itu, sebab ia tahu kalau ilmu silat maupun tenaga dalam musuhnya ini sangat rendah. Diam-diam Yu Canghai gembira. Ia yakin dalam sekali gebrak, tentu nyawa Lin Pingzhi akan melayang di tangannya, sehingga rasa malu di depan Panggung Fengshan tadi malam akan terbalas sudah. Apabila kelak Yue Buqun datang menuntut balas kepadanya adalah urusan belakang, demikian pikirnya.

Sungguh tak disangka, serangan Lin Pingzhi itu ternyata tidak ditujukan kepadanya, melainkan secara mendadak berganti sasaran di tengah jalan. Dengan kecepatan luar biasa, tahu-tahu seorang murid Qingcheng telah ditusuk mati olehnya, kemudian ia hinggap kembali di atas punggung kudanya dan pergi begitu saja. Sungguh terkejut dan gusar bukan kepalang perasaan Yu Canghai melihat itu semua. Dengan cepat ia bangkit dari bangku untuk mengejar, namun laju kuda Lin Pingzhi dan Yue Lingshan terlalu cepat dan jarak mereka sudah sangat jauh.

Serangan Lin Pingzhi yang luar biasa tadi membuat Linghu Chong tercengang juga. Ia pun merenung, “Kalau serangan demikian tadi ditujukan kepadaku pada saat aku tidak memegang senjata, mungkin aku juga tidak bisa menangkis dan mati konyol begitu saja.” Sebenarnya Linghu Chong merasa ilmu pedangnya masih jauh di atas Lin Pingzhi, namun menghadapi tipuan secepat tadi benar-benar membuatnya bingung dan kesulitan mencari bagaimana cara mematahkan serangan tersebut.

Saat itu Yu Canghai sedang mencaci maki sambil menunjuk-nunjuk Lin Pingzhi yang sudah pergi jauh meninggalkan kepulan debu. Tentu saja caci makinya itu tak terdengar oleh lawan. Dengan penuh rasa murka yang tak terlampiaskan, tiba-tiba Yu Canghai berbalik lantas memaki orang-orang Henshan, “Kalian kawanan biksuni busuk! Pasti kalian sudah tahu kalau bocah sial bermarga Lin itu mau datang. Maka, kalian pun datang lebih dulu ke sini. Baik, binatang kecil itu sudah lari, kalau berani marilah kita saja yang bertempur!”

Yu Canghai yang biasanya penuh perhitungan, kali ini tidak bisa mengendalikan amarah dan berani menantang rombongan Perguruan Henshan. Padahal, jumlah orang-orang Henshan di tempat itu jauh lebih banyak daripada pihak Qingcheng. Ditambah lagi di dalam rombongan juga teradapat Biksu Bujie, Tian Boguang, Ren Yingying, dan Enam Dewa Lembah Persik. Kalau benar-benar terjadi pertempuran jelas pihak Qingcheng akan kalah telak.

Di antara murid-murid Henshan, Yihe adalah yang paling berangasan. Segera ia pun melolos pedang dan menjawab, “Kalau mau berkelahi, ayo maju saja! Siapa juga yang takut padamu?”

Untungnya Linghu Chong segera mencegah, “Kakak Yihe, jangan hiraukan dia!”

Ren Yingying lantas berbisik kepada Enam Dewa Lembah Persik. Secepat kilat Dewa Akar Persik, Dewa Daun Persik, Dewa Dahan Persik, dan Dewa Bunga Persik melompat maju dan menubruk seekor kuda yang tertambat di tepi kedai. Kuda itu adalah kuda tunggangan Yu Canghai. Sekejap kemudian terdengar suara meringkik ngeri, tahu-tahu tubuh kuda itu telah robek menjadi empat bagian dengan isi perut berceceran dan darah berhamburan.

Kuda tersebut berbadan tinggi besar, tapi keempat orang tua aneh itu telah merobeknya menjadi empat potong dengan tangan kosong. Masing-masing dari mereka menarik kaki kuda malang itu keempat arah yang berlawanan. Betapa kuat tenaga mereka sungguh luar biasa. Seketika murid-murid Qingcheng pun terkejut ngeri, bahkan murid-murid Henshan juga merasa gemetar, sampai-sampai jantung mereka berdebar kencang.

Ren Yingying berkata, “Pendeta Yu, orang bermarga Lin punya permusuhan denganmu, tapi kami tidak memihak siapa-siapa dan hanya menonton di pinggir saja. Jangan lantas kau membawa-bawa kami! Kalau kami benar-benar menjawab tantanganmu, maka kalian tidak mungkin bisa menang. Sebaiknya kau tahu diri sedikit dan menghemat tenaga.”

Setelah menyaksikan betapa cepat dan kuat keempat Dewa Lembah Persik tadi, seketika lagak angkuh Yu Canghai berangsur lenyap. Pedangnya kembali disimpan dan ia pun berkata, “Jika kita tidak saling mengganggu, maka kita bisa mengambil jalan masing-masing. Silakan kalian jalan lebih dulu!”

“Itu tidak bisa. Kami harus mengikuti kalian,” kata Ren Yingying.

“Mengapa?” Yu Canghai bertanya dengan mengerutkan kening.

“Terus terang, ilmu pedang orang bermarga Lin itu sungguh aneh. Kami jadi penasaran ingin melihatnya secara jelas,” ujar Ren Yingying.

Linghu Chong terkesiap mendengarnya. Apa yang dikatakan Ren Yingying ternyata sama persis dengan isi hatinya. Begitu aneh ilmu pedang Lin Pingzhi sampai-sampai Sembilan Jurus Pedang Dugu juga sukar untuk mematahkannya. Maka itu, ia ingin sekali mengetahui secara rinci gerak ilmu pedang Lin Pingzhi tersebut sampai jelas.

Terdengar Yu Canghai menjawab, “Kalau kau ingin tahu ilmu pedang bocah bermarga Lin itu, lantas ada hubungan apa denganku?” Namun segera ia merasa ucapannya itu keliru. Ia sendiri cukup sadar bahwa permusuhan antara dirinya dengan Keluarga Lin terlalu mendalam. Tidak mungkin Lin Pingzhi akan puas hanya dengan membunuh satu-dua orang muridnya saja. Tentu pemuda itu masih akan datang lagi untuk mencari perkara dengannya. Di lain pihak, orang-orang Henshan justru ingin menonton bagaimana cara Lin Pingzhi memainkan ilmu pedangnya untuk membunuh orang-orang Qingcheng satu per satu.

Bagi kaum persilatan, apabila melihat sebuah ilmu silat baru yang dahsyat tentu akan menimbulkan rasa penasaran ingin melihatnya sampai tuntas. Ini memang suatu hal yang wajar. Namun, cara orang-orang Henshan mengikuti rombongan Qingcheng seperti mengikuti domba-domba yang sedang digiring ke pejagalan untuk disembelih, demi untuk menyaksikan bagaimana cara si penjagal menyembelih, sungguh ini suatu perbuatan yang terlalu menghina.

Yu Canghai gusar dan bermaksud mencaci-maki Ren Yingying. Untung saja ia masih sanggup menguasai perasaan, sehingga hanya mendengus sekali saja. Ia lantas berpikir, “Bocah bermarga Lin itu menyerangku dua kali secara tiba-tiba. Apakah dia benar-benar memperoleh kesaktian, atau jangan-jangan dia hanya mengandalkan tipu muslihat di saat aku tidak siaga? Kalau benar demikian, baiklah, kalian orang-orang Henshan boleh mengikutiku agar kalian bisa melihat dengan jelas bagaimana aku mencincang anjing kecil itu hingga luluh.”

Usai berpikir demikian, ia pun kembali ke dalam kedai untuk melanjutkan minum. Akan tetapi, mendadak poci teh yang dipegangnya berbunyi, ternyata tutup poci itu tergetar oleh tangannya yang gemetar. Padahal, tadi sewaktu Lin Pingzhi datang ia masih bisa minum dengan tenang tanpa memedulikan kehadirannya. Namun kini ia hanya bisa bertanya-tanya sendiri, “Mengapa tanganku gemetar? Mengapa tanganku gemetar?” Sekuat tenaga ia berusaha menenangkan diri, namun suara getaran tutup poci itu tetap saja terdengar oleh para murid.

Murid-murid Qingcheng mengira tangan Sang Guru gemetar karena terlalu gusar menahan amarah, padahal saat ini yang ada di lubuk hati Yu Canghai adalah perasaan takut luar biasa. Ia sadar bahwa serangan Lin Pingzhi yang aneh dan cepat tadi kalau ditujukan kepadanya tentu ia juga tidak mampu menangkisnya.

Usai minum, perasaan Yu Canghai ternyata belum tenang juga. Segera ia memerintahkan beberapa muridnya untuk mengubur mayat kawan mereka yang mati itu di hutan luar kota. Ia bersama murid-murid yang lain lantas bermalam di halaman kedai makan tersebut. Melihat adanya pertarungan dan pembunuhan tadi, penduduk setempat menjadi ketakutan dan mereka pun menutup pintu masing-masing tidak berani keluar lagi.

Sementara itu, murid-murid Henshan beristirahat di teras-teras rumah penduduk. Ren Yingying tetap berada di dalam keretanya dan seperti menjaga jarak dengan Linghu Chong di kereta yang lain. Meskipun semua orang telah mengetahui kisah cinta di antara mereka, namun sifat Ren Yingying yang pemalu tetap saja tidak berkurang. Bahkan, ketika murid-murid Henshan mengganti perban dan menambah obat pada luka Linghu Chong, ia pura-pura tidak melihat dan memandang ke arah lain. Zheng E, Qin Juan, dan yang lain mengenal watak putri ketua Sekte Iblis tersebut. Mereka pun senantiasa memberitahukan perkembangan luka Linghu Chong, tetapi Ren Yingying hanya mengangguk saja tanpa berkata apa-apa.

Linghu Chong sendiri tampak sibuk memikirkan ilmu pedang yang dimainkan Lin Pingzhi tadi. Ia merasa jurus serangan tersebut biasa-biasa saja, dan yang membuatnya istimewa hanyalah kecepatannya yang luar biasa, serta sebelumnya juga tiada tanda-tanda akan ke mana arah serangan itu menuju. Begitu serangan semacam itu dilancarkan, seorang tokoh paling lihai sekalipun juga sukar untuk menahannya.

Dalam pertempuran di Tebing Kayu Hitam tempo hari, senjata yang dipakai Dongfang Bubai hanya sebatang jarum sulam saja, tapi Linghu Chong dan ketiga jago lainnya tidak mampu melawan. Kalau dipikir secara cermat ternyata itu semua bukan karena tenaga dalam atau jurus serangan Dongfang Bubai yang hebat, namun karena gerak-geriknya yang secepat kilat. Setiap serangannya dilakukan tanpa ada tanda-tanda sebelumnya, sehingga selalu di luar perhitungan lawan.

Cara Lin Pingzhi membekuk Yu Canghai tadi malam serta bagaimana ia membunuh seorang murid Qingcheng di kedai barusan juga benar-benar mirip dengan ilmu silat Dongfang Bubai. Sementara itu, cara Yue Buqun membutakan kedua mata Zuo Lengchan jelas juga menggunakan ilmu silat yang sama. Karena Kitab Bunga Mentari yang dipelajari Dongfang Bubai memiliki sumber yang sama dengan Kitab Pedang Penakluk Iblis, maka ia pun menyimpulkan bahwa ilmu aneh yang telah dipelajari mertua dan menantu itu pasti Jurus Pedang Penakluk Iblis tersebut.

Berpikir sampai di sini ia lantas menggeleng-geleng sendiri sambil menggumam, “Jurus Pedang Penakluk Iblis? Jurus Pedang Penakluk Iblis? Huh, penakluk iblis yang bagaimana? Justru ilmu ini sangat jahat bagaikan iblis.” 

Ia kemudian berpikir lagi, “Mungkin satu-satunya orang yang bisa menghadapi ilmu pedang aneh mereka hanyalah Kakek Guru Feng seorang. Nanti kalau lukaku sudah sembuh rasanya aku perlu berkunjung ke Gunung Huashan untuk meminta petunjuk kepada Beliau tentang cara-cara mematahkan ilmu pedang yang aneh ini. Kakek Guru Feng memang bersumpah tidak ingin bertemu orang-orang Huashan, tapi bukankah aku sudah dikeluarkan dari sana?” Tapi lantas terpikir lagi olehnya, “Dongfang Bubai sudah mati, Yue Buqun adalah guruku, Lin Pingzhi adalah adik seperguruanku. Mereka berdua tentu takkan menggunakan ilmu pedang hebat ini terhadapku, lalu untuk apa aku harus mempelajari cara mematahkan ilmu pedang mereka?” Membayangkan itu tiba-tiba ia teringat pada sesuatu, sehingga tubuhnya pun gemetar. Segera ia bangkit untuk duduk. Karena gerakannya mendadak, lukanya pun terasa sakit kembali. Tanpa terasa ia merintih perlahan.

“Apakah kau ingin minum?” sahut Qin Juan yang berdiri di samping keretanya.

“Tidak,” jawab Linghu Chong. “Adik, tolong kau undang Nona Ren kemari.”

Qin Juan mengiakan kemudian pergi. Tidak lama kemudian gadis belia itu kembali lagi dengan bersama Ren Yingying yang langsung bertanya. “Ada masalah apa?”

“Tiba-tiba aku teringat sesuatu,” jawab Linghu Chong. “Tempo hari ayahmu pernah bercerita telah memberikan Kitab Bunga Mentari milik kalian kepada Dongfang Bubai. Waktu itu aku mengira ilmu silat yang terdapat dalam Kitab Bunga Mentari itu tidak lebih bagus daripada ilmu sakti yang dipelajari oleh ayahmu sendiri, sehingga ayahmu sudi menurunkan kitab pusaka tersebut kepada Dongfang Bubai. Akan tetapi ….”

“Akan tetapi, ilmu silat ayahku ternyata tidak sehebat Dongfang Bubai, bukan?” sahut Ren Yingying.

“Benar,” jawab Linghu Chong. “Apa yang menjadi alasannya benar-benar tak kumengerti.”

Pada umumnya seorang jago silat bila melihat sebuah kitab hebat tentu mustahil kalau tidak ingin memilikinya sendiri. Seandainya ia tidak ingin mempelajarinya juga akan diberikan kepada orang terdekat, misalnya kepada istri, anak, guru, murid, atau kerabat lainnya. Akan tetapi, dalam hal ini Ren Woxing justru sengaja memberikan Kitab Bunga Mentari kepada Dongfang Bubai yang bukan siapa-siapa baginya. Sungguh kejadian ini benar-benar lain daripada yang lain.

“Aku pun pernah bertanya kepada Ayah tentang hal ini,” ujar Ren Yingying. “Ayah bilang, pertama, ilmu silat yang tertera dalam kitab itu tidak boleh dipelajari dan kalau memaksakan diri untuk mempelajarinya tentu akan mendatangkan kerugian bagi diri sendiri. Kedua, Ayah sendiri tidak tahu bahwa setelah berhasil mendalami Kitab Bunga Mentari ternyata Dongfang Bubai menjadi sedemikian sakti melebihi dirinya.”

“Jadi, menurut Beliau, kitab tersebut tidak boleh dipelajari? Kalau tidak boleh apa sebabnya?” sahut Linghu Chong menegas.

Tiba-tiba raut muka Ren Yingying berubah merah, kemudian ia menyahut, “Mengapa tidak boleh dipelajari, aku sendiri juga tidak tahu.” Setelah diam sejenak, ia lalu menyambung, “Apa baiknya kalau bernasib seperti Dongfang Bubai?”

Linghu Chong mendehem, samar-samar dalam hatinya ia merasa bahwa jalan yang ditempuh oleh Sang Guru seolah sedang menuju ke arah yang sama dengan Dongfang Bubai. Kini, Yue Buqun telah mengalahkan Zuo Lengchan dan menguasai Perguruan Lima Gunung. Linghu Chong khawatir jangan-jangan gurunya kelak juga akan memanjakan diri dengan sanjung puji menjijikkan seperti yang dilakukan orang-orang Sekte Iblis di Tebing Kayu Hitam.

“Kau harus merawat lukamu dengan tenang. Jangan berpikir macam-macam,” kata Ren Yingying menukas. “Aku ingin tidur.”

“Silakan,” jawab Linghu Chong. Ia kemudian menyingkap tirai kereta sehingga sinar rembulan yang lembut menyoroti wajah Ren Yingying yang cantik itu. Seketika Linghu Chong merasa sangat bersalah karena belum bisa membalas cinta gadis itu kepadanya.

Ren Yingying kemudian berkata, “Baju yang dipakai Adik Lin-mu itu bermotif bunga-bunga.” Usai berkata demikian ia lantas melangkah kembali menuju keretanya.

Seketika Linghu Chong merasa heran dan berpikir, “Dia berkata baju Adik Lin bermotif bunga-bunga? Apa yang aneh? Adik Lin baru saja menjadi pengantin, tidak heran kalau dia memakai baju-baju baru yang mewah. Dasar perempuan, bukannya memperhatikan ilmu pedang, tapi malah melihat baju yang dipakai, sungguh lucu.” Sambil memejamkan mata ia membayangkan keadaan Lin Pingzhi sewaktu melabrak Yu Canghai, namun baju motif bunga bagaimana yang tadi dipakai pemuda itu sudah dilupakan olehnya.

Sampai tengah malam, tiba-tiba dari jauh berkumandang suara derap laju kaki kuda. Dua sosok penunggang kuda kembali datang. Linghu Chong lantas bangkit dari tidur dan menyingkap tirai kereta. Dilihatnya murid-murid Henshan dan Qingcheng juga sudah bangun semua. Murid-murid Henshan segera membagi diri ke dalam beberapa kelompok yang terdiri atas tujuh orang, yang masing-masing kemudian membentuk Formasi Tujuh Pedang untuk menghadapi segala kemungkinan. Sementara itu, murid-murid Qingcheng juga sudah mengeluarkan senjata masing-masing. Ada yang berjaga di tepi jalan, ada pula yang bersandar pada tembok rumah. Keadaan mereka jauh lebih tegang dan gelisah daripada murid-murid Henshan yang terlihat tenang.

Tak lama kemudian tampak dua penunggang kuda datang mendekat dengan cepat. Di bawah sinar rembulan dapat terlihat dengan jelas, bahwa yang datang itu tidak lain tidak bukan adalah Lin Pingzhi dan Yue Lingshan.

Begitu mendekat, Lin Pingzhi segera berteriak, “Yu Canghai, demi untuk menguasai Jurus Pedang Penakluk Iblis milik keluarga kami, kau telah membunuh ayah dan ibuku. Sekarang biarlah aku memperlihatkan ilmu pedang yang kau incar ini sejurus demi sejurus. Hendaknya kau memperhatikan dengan seksama.” Ia lantas menahan kudanya, lalu melompat turun. Sebilah pedang tampak tersandang di balik punggungnya. Dengan langkah cepat ia lantas mendekati orang-orang Qingcheng.

Linghu Chong memperhatikan semua yang terjadi. Tampak Lin Pingzhi mengenakan baju berwarna hijau kumala, dengan ujung lengan bersulamkan motif bunga-bunga berwarna kuning emas. Pinggiran baju tampak dilapisi dengan renda kuning pula, sementara pinggangnya memakai sabuk berwarna kuning emas. Penampilannya begitu mewah. Menyaksikan itu Linghu Chong berpikir, “Biasanya Adik Lin berpakaian sederhana, tapi sesudah menjadi pengantin sifatnya lantas berubah seketika. Tapi aku juga tidak bisa menyalahkan dia. Seorang pemuda tampan mendapatkan jodoh yang serasi sudah tentu merasa gembira. Pantas kalau dia berdandan secakap mungkin.”

Kemarin malam ketika Lin Pingzhi membekuk Yu Canghai dalam sekali gebrak di samping Panggung Fengshan, lagaknya juga sama seperti saat ini. Sudah tentu pihak Qingcheng tidak mau memberikan kesempatan lagi kepadanya untuk mengulangi serangan yang licik seperti itu. Maka, begitu Yu Canghai membentak memberikan perintah, seketika empat orang muridnya pun menerjang maju dengan pedang terhunus. Dua pedang menusuk ke arah dada Lin Pingzhi dari kiri dan kanan, sedangkan dua pedang yang lain menebas ke arah sepasang kakinya pula.

Enam Dewa Lembah Persik ikut khawatir melihatnya. Seketika mereka pun berteriak memperingatkan Lin Pingzhi, “Awas, Nak!” seru tiga di antaranya, dan “Nak, awas!” seru tiga yang lain.

Lin Pingzhi dan Yue Lingshan mengejar Yu Canghai.

Bertamu di kedai minum.

(Bersambung)